Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Dry Eye Disease (DED) adalah penyakit multifaktorial pada permukaan


mata yang ditandai dengan hilangnya homeostasis lapisan air mata, dan disertai
dengan beberapa gejala mata, termasuk ketidakstabilan lapisan air mata dan
hiperosmolaritas, peradangan dan kerusakan permukaan okular, dan kelainan
neurosensori memainkan peran sebagai penyebab. Penyakit mata kering adalah
penyakit global dan berdampak pada ratusan juta orang di seluruh dunia dan
merupakan salah satu penyebab tersering kunjungan pasien ke praktisi mata.1,2,3.
DED merupakan masalah global yang melanda setidaknya 344 juta
orang di seluruh dunia. DED dengan gejala sedang hingga berat dikaitkan dengan
rasa tidak nyaman dan sakit yang signifikan, keterbatasan dalam melakukan setiap
kegiatan sehari-hari, mengurangi vitalitas, keadaan kesehatan umum yang buruk,
dan sering menjadi depresi serta mempengaruhi kualitas hidup seseorang.
Pengetahuan tentang DED terus berkembang setiap dekade karena semakin
luasnya keilmuan tentang masalah ini.2,3.
Sebuah organisasi kesehatan bernama Tear Film & Ocular Surface
Society (TFOS), meluncurkan TFOS Dry Eye Workshop II (TFOS DEWS II) pada
bulan Maret 2015 untuk meningkatkan pemahaman tentang DED. Tujuan dari
TFOS DEWS II adalah untuk mencapai konsensus global mengenai berbagai
aspek DED. TFOS DEWS II berusaha untuk memperbarui definisi dan klasifikasi
DED, mengevaluasi secara kritis epidemiologi, patofisiologi, mekanisme, dan
dampak gangguan DED, mengembangkan rekomendasi untuk diagnosis,
manajemen dan terapi penyakit.2,3.4
TFOS DEWS II melibatkan upaya 150 klinis dan dasar ahli penelitian
sains dari seluruh dunia, yang memanfaatkan sebuah pendekatan berbasis bukti
dan proses komunikasi terbuka, dialog dan transparansi untuk meningkatkan
pemahaman tentang DED. Karena banyaknya insidensi penyakit dan pentingnya
pengetahuan tentang Dry Eye Disease yang terus berkembang, pada makalah ini
akan di bahas mengenai diagnostik dan klasifikasi Dry Eye Disease terbaru sesuai
dengan TFOS DEWS II.

1
BAB II
DRY EYE DISEASE

2.1. Definisi Dry Eye Disease.


Definisi pertama Dry Eye Disease (DED), diterbitkan tahun 1995
berdasarkan konsensus dari National Eye Institute (NEI), Mata Kering adalah
kelainan lapisan air mata karena defisiensi air mata atau penguapan air mata yang
berlebihan yang menyebabkan kerusakan pada permukaan okular interpalpebral
dan berhubungan dengan gejala ketidaknyamanan okular. Definisi awal ini
mengidentifikasi relevansi kualitas serta kuantitas air mata sebagai penyebab mata
kering.2,3,5.
Definisi DED diperbarui tahun 2007 oleh TFOS DEWS I, menjadi
penyakit multifaktorial pada tear film dan permukaan mata yang menyebabkan
gejala ketidaknyamanan, gangguan penglihatan, dan ketidakstabilan lapisan air
mata dengan potensi kerusakan pada permukaan mata disertai dengan peningkatan
osmolaritas tear film dan peradangan pada permukaan mata. Meningkatnya fokus
pada diagnostik dan pendekatan terapeutik, menyebabkan revisi definisi yang
berpusat pada efek klinis dan tanda yang terkait dan menjelaskan penyebab yang
multifaktorial. 2,3.5
TFOS DEWS II tahun 2017 berdasarkan keilmuan terbaru
menyempurnakan definisi DED adalah penyakit multifaktorial pada permukaan
mata yang ditandai dengan hilangnya homeostasis lapisan air mata, dan disertai
dengan beberapa gejala mata, termasuk ketidakstabilan lapisan air mata dan
hiperosmolaritas, peradangan dan kerusakan permukaan okular, dan kelainan
neurosensori memainkan peran sebagai penyebab. Penyakit multifaktorial
menggambarkan gangguan fungsional signifikan dan kompleks yang tidak dapat
dicirikan oleh satu proses tanda atau gejala. Permukaan mata didefinisikan terdiri
dari struktur permukaan mata dan adneksa, termasuk tear film, lakrimal dan
kelenjar meibom, kornea, konjungtiva dan kelopak mata. Gangguan homeostasis
dianggap sebagai ketidakseimbangan tear film dan permukaan mata pada
DED.2,3,4.

2
2.2. Epidemiologi Dry Eye Disease.
Penelitian Meta-analisis menegaskan bahwa gejala dan tanda-tanda DED
meningkat dengan bertambahnya usia, peningkatan bertahap mulai usia 40 tahun
dan meningkat lebih nyata di atas usia 80 tahun, DED lebih banyak dilaporkan
pada wanita dibandingkan pria. Ras Asia adalah faktor risiko lebih tinggi
dibandingkan kaukasia, mencerminkan perbedaan geografis dan perbedaan
kerentanan terhadap penyakit antara populasi asia dan populasi lainnya. Variasi
iklim juga berpengaruh dalam kelembaban dan kecepatan penguapan tear film.6,7,8
Perbedaan terkait jenis kelamin dalam prevalensi DED ini sebagian
besar disebabkan oleh efek hormon steroid seksual (misalnya androgen, estrogen),
hormon hipofisis, glukokortikoid, insulin, dan hormon tiroid, serta komplemen
kromosom seks, faktor autosomal spesifik dan epigenetik (seperti mikroRNA).
Gender juga menjadi faktor risiko untuk DED, Gender mengacu pada representasi
diri seseorang sebagai pria atau wanita, sedangkan jenis kelamin membedakan
pria dan wanita berdasarkan karakteristik biologis mereka. Jenis kelamin dan
gender mempengaruhi risiko DED, presentasi penyakit, respon imun, nyeri,
perilaku untuk mencari perawatan, pemanfaatan layanan kesehatan, dan berbagai
aspek kesehatan mata lainnya. Gender juga mempengaruhi akses individu dan
interaksi dengan sistem perawatan kesehatan. Banyak kesenjangan kesehatan
terkait dengan gender. Disparitas muncul dari berbagai pengaruh yang bersifat
biologis, perilaku atau persepsi, budaya, dan masyarakat. 2,7,8

2.3. Faktor Resiko Dry Eye Disease


Faktor risiko dikategorikan sebagai konsisten, sugestif, dan belum jelas.
Usia, jenis kelamin, ras, Meibomian Gland Disease, penyakit jaringan ikat,
sindrom Sjogren, defisiensi androgen, penggunaan komputer, pemakaian lensa
kontak, penggunaan pengganti terapi estrogen, transplantasi sel induk
hematopoietik, kondisi lingkungan tertentu (seperti polusi, suhu dan kelembaban
rendah) dan penggunaan obat-obatan (misalnya, antihistamin, antidepresan,
anxiolitik, dan isotretinoin) diidentifikasi sebagai faktor risiko yang konsisten.
2,7,8.

3
Faktor risiko yang sugestif, termasuk diabetes, rosacea, infeksi virus,
penyakit tiroid, kondisi kejiwaan, pterygium, asupan asam lemak rendah, operasi
refraksi, konjungtivitis alergi, dan obat-obatan tambahan (anti-kolinergik, diuretik,
b-blocker). Faktor-faktor risiko potensial seperti penggunaan perangkat digital dan
penggunaan lensa kontak. Penggunaan layar seperti komputer, tablet, dan telepon
seluler mengakibatkan penurunan frekuensi berkedip dan percepat penguapan air
mata. Risiko DED yang masih belum jelas adalah Etnis Hispanik, menopause,
jerawat, sarkoidosis, merokok, alkohol, kehamilan, injeksi toksin botulinum,
multivitamin dan kontrasepsi oral. Variasi iklim, geografis, juga berpengaruh
dalam peningkatan Dry Eye Disease karena mempengaruhi kelembaban dan
kecepatan penguapan tear film.2,7,8

Tabel 1. Faktor Resiko Dry Eye Disease.7

DED dapat disebabkan oleh berbagai intervensi iatrogenik, termasuk


obat topikal dan sistemik, penggunaan lensa kontak, dan prosedur bedah
opthalmik dan non-bedah. Obat topikal yang menyebabkan DED berinteraksi
dengan permukaan mata dengan mengerahkan respon alergi, toksik, dan reaksi
inflamasi-immunologi. Beragam obat sistemik, seperti vasodilator, sulfonilurea,
ansiolitik, antidepresan, antihistamin, mungkin juga menginduksi DED sekunder
dengan penurunan produksi air mata, mengubah sekresi refleks air mata, efek

4
inflamasi pada sekretori kelenjar lakrimal, atau efek iritasi langsung melalui
sekresi ke dalam air mata.7,12.
DED pada pemakai lensa kontak telah diidentifikasi sebagai masalah
bagi banyak pasien. Perubahan biofisik pada tear film pada pemakai lensa kontak
adalah lapisan lipid yang lebih tipis dan tidak merata, ketidakstabilan tear film,
tingkat turnover air mata basal yang lebih rendah, dan menurunkan volume
meniskus. Prosedur bedah seperti bedah refraktif kornea dan keratoplasti dapat
menyebabkan atau memperburuk DED melalui mekanisme intrinsik (misal.
transeksi saraf kornea) atau bahkan oleh penggunaan obat topikal pasca operasi.
Operasi katarak, operasi pada kornea, aplikasi toksin botulinum dan prosedur
kosmetik juga dipertimbangkan sebagai faktor risiko untuk DED iatrogenik.2,6,7.

2.4. Patofisiologi Dry Eye Disease.


Berdasarkan literatur Subkomite Patofisiologi TFOS DEWS II,
menyimpulkan bahwa mekanisme inti DED adalah gangguan hiperosmolaritas
tear film, yang merupakan ciri khas penyakit ini. DED diakui menjadi dua jenis,
Aquos Deficient Dry Eye (ADDE) dan Evaporative Dry Eye (EDE). Pada ADDE
gangguan hiperosmolaritas terjadi ketika sekresi lakrimal berkurang, sementara
pada EDE gangguan hiperosmolaritas disebabkan oleh penguapan yang
berlebihan dari tear film saat mata terbuka, di saat kelenjar lakrimal yang
berfungsi normal dengan kata lain EDE dianggap lebih tepat disebut keadaan
hiper-evaporatif. 1,8,9.

5
Gambar 1. Patofisiologi ADDE dan EDE.1,9

Gangguan hiperosmolaritas dianggap sebagai pemicu untuk kaskade


sinyal dalam sel epitel yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi dan
protease. Hiperosmolaritas menyebabkan hilangnya sel goblet dan sel epitel serta
kerusakan pada glikokaliks epitel. Mediator inflamasi dari sel T teraktivasi,
direkrut ke permukaan mata, memperparah kerusakan jaringan, hasilnya adalah
epitel pungtata khas DED dan ketidakstabilan tear film.1,9,10
Ketidakstabilan tear film dapat dimulai tanpa hiperosmolaritas tear film
sebelumnya, pada kondisi yang mempengaruhi permukaan okular, termasuk
xerophthalmia, alergi mata, penggunaan obat tetes topikal dan pemakaian lensa
kontak. Berbagai penyebab ADDE, seperti gangguan sensorik ke kelenjar lakrimal
yang penting untuk menjaga homeostasis tear film. Anestesi topikal bilateral
dapat menyebabkan berkurangnya sekresi air mata dan tingkat kedipan. DED
karena blok refleks dapat disebabkan oleh penyalahgunaan kronis anestesi topikal,
kerusakan saraf trigeminal dan pembedahan refraktif termasuk operasi LASIK.
Obstruksi pada saluran lakrimal, yang mungkin terjadi pada segala bentuk
penyakit konjungtiva sikatrikal, seperti trachoma, pemfigoid cicatricial okular,

6
eritema multiforme, dan luka bakar kimia. Sejumlah obat yang digunakan
sistemik, seperti antihistamin, b-blocker, antispasmodik, diuretik dan beberapa
obat psikotropika, dapat menyebabkan pengurangan sekresi lakrimal dan
merupakan faktor risiko untuk DED serta pengurangan sekresi air mata di
kemudian hari.2,9,11.

Gambar 2. Etiologi MGD.9,13

Bagian atas gambar menggambarkan etiologi dari dua bentuk


Meibomian Gland Dysfunction (MGD) yang menyebabkan penurunan produksi
meibum, yaitu sikatrikal dan non-sikatrikal MGD. Dengan bertambahnya usia,
khususnya setelah usia 50 tahun, penurunan androgen sangat berkontribusi.
Pengobatan jerawat pada usia muda dengan asam retinoid dapat menyebabkan
atrofi kelenjar dan MGD. Obat anti glaukoma pilocarpin dan timolol juga
memiliki efek langsung pada kelenjar meibom karena mempengaruhi morfologi,
kelangsungan hidup dan kapasitas proliferasi sel. Gangguan kulit tertentu, seperti

7
rosasea, dermatitis atopik, dermatitis seboroik, dan psoriasis berhubungan dengan
MGD non-sikatrikal, sedangkan penyakit konjungtiva sikatrikal seperti trakoma,
eritema multiforme, dan pemfigoid, menyebabkan MGD sikatrikal.9,12,13
Peristiwa penting dalam MGD non-sikatrikal adalah hiperkeratinisasi
duktus terminal yang dapat sebabkan obstruksi dan dilatasi duktus. Obstruksi
dapat diperburuk oleh perubahan pada komposisi sebum yang meningkatkan
viskositas meibum. Mediator inflamasi dilepaskan ke dalam tear film dan ke
permukaan mata dan menyebabkan kerusakan epitel. Pada MGD sikatrikal,
jaringan parut konjungtiva submukosa menganggu saluran meibom, saluran
terminal dan mukokutan ke persimpangan posterior, melintasi perbatasan
posterior ke pelat tarsal, menyebabkan saluran yang menyempit dan bergeser tidak
bisa lagi memberikan meibum secara efektif ke lapisan lipid film air mata.
Perubahan komposisi lipid dapat menyebabkan ketidakstabilan tear film,
peningkatan penguapan air mata dan akhirnya menjadi EDE. Hiperosmolaritas air
mata dan cedera epitel yang disebabkan oleh DED merangsang ujung saraf
kornea, menyebabkan gejala ketidaknyamanan, peningkatan frekuensi berkedip
dan berpotensi meningkatkan refleks sekresi air mata.9,13,14
Penyebab paling umum dari ADDE di Negara barat adalah infiltrasi
inflamasi dari kelenjar lakrimal, paling banyak dijumpai lebih parah di DED yang
terkait dengan gangguan autoimun seperti Sjogren syndrome (SSDE) daripada
non-Sjogren sindrom (NSDE). Peradangan menyebabkan sel asinar dan duktus
mengalami disfungsi sel epitel dan kerusakan dan berpotensi blok neurosekretori
reversibel. Antibodi yang bersirkulasi ke reseptor muskarinik (M3) juga dapat
menyebabkan blok reseptor. Kadar androgen rendah jaringan dapat menjadi
predisposisi kelenjar lakrimal mengalami peradangan epitel dan kerusakan
glikokaliks, kehilangan volume air mata dan musin dari sel goblet, menyebabkan
peningkatan kerusakan akibat gesekan.2,9,10

2.5. Gejala, Tanda serta Tingkat keparahan.


Gejala klinis dari ADDE berkisar dari iritasi ringan pada permukaan
okular sampai gejala berat. Pasien biasanya merasakan seperti terbakar, sensasi
kering, fotofobia, dan penglihatan kabur. Gejala cenderung lebih buruk pada akhir

8
hari, dengan penggunaan mata yang berkepanjangan (diperburuk oleh tingkat
berkedip yang berkurang terkait dengan penggunaan komputer), atau dengan
paparan lingkungan yang ekstrem (misalnya tingkat kelembaban yang rendah
terkait dengan pemanas ruangan atau AC). Gejala pada mata kering akibat
penguapan, terdiri dari rasa terbakar, sensasi benda asing, warna kemerahan
kelopak mata dan konjungtiva, dan penglihatan yang lebih buruk di pagi hari.
Tanda-tanda klinis biasanya terbatas pada margin kelopak mata posterior,
meskipun pasien terkadang berhubungan dengan perubahan seborrheik pada
margin kelopak mata anterior. 1,11,13.

Tabel 2. Dry Eye Severity Level.1

9
BAB III
KLASIFIKASI DRY EYE DISEASE

3.1. Klasifikasi Dry Eye Disease.


Klasifikasi awal DED berdasarkan NEI pada tahun 1995, terdapat dua
kategori utama mata kering yaitu defisiensi air mata dan akibat penguapan yang
diyakini berkontribusi pada perkembangan mata kering. Klasifikasi defisiensi air
mata juga di bagi menjadi respons imunologi dan non-imunologi. Klasifikasi
TFOS DEWS I pada tahun 2007 mempertahankan dua kategori utama, defisiensi
air mata dan penguapan sebagai penyebab utama, meskipun defisiensi air mata
didefinisikan lebih spesifik sebagai defisiensi aquos. Masalah lebih di tekankan
pada kelainan sekresi dan kelainan eksresi. Tujuan dari subklasifikasi penyakit
adalah untuk membantu dokter dalam mendapatkan rencana manajemen yang
tepat dalam diagnosis DED serta untuk menghindari kesalahan diagnosis penyakit
permukaan okular lainnya.2,6,7

Gambar 3. Klasifikasi DED berdasarkan TFOS I.1,2,6

TFOS DEWS II menggabungkan algoritma klinis, berdasarkan


pengetahuan saat ini tentang patofisiologi DED, yang berupaya untuk
meningkatkan akurasi dalam klasifikasi DED Pada klasifikasi ini menghilangkan
persepsi eksklusivitas dalam klasifikasi mata kering yang menunjukkan dalam
skema bahwa diagnosis mata kering akibat defisiensi aquos dan penguapan
sebagai entitas yang terpisah. Skema klasifikasi mata kering ini menggabungkan

10
elemen triase untuk memberikan kejelasan dalam mendiagnosis DED dari
berbagai etiologi yang dapat dipertimbangkan sehingga rencana manajemen yang
tepat dapat dilakukan. 2,3,9
Penting untuk dicatat bahwa banyak penyakit permukaan okular dapat
bersifat komorbid dengan mata kering. Sebagai contoh, gejala dan perubahan film
air mata yang sepadan dengan DED mungkin terjadi dalam kondisi seperti
lagophthalmus, karena kelopak tidak dapat ditutup dengan baik, mencegah
pembentukan tear film yang stabil, jika tidak di tatalaksana penyebabnya, kondisi
menyerupai DED akan tetap terjadi meski tatalaksana DED sudah dilakukan
maksimal. Sehingga penyebab lain gejala yang menyerupai DED harus juga di
identifikasi dan di tatalaksana dengan baik agar tidak salah diagnosis dan
penatalaksanaan. 2,6,13

Gambar 4. Klasifikasi DED terbaru sesuai TFOS DEWS II. 2,6

11
Klasifikasi menurut TFOS DEWS II, pasien tanpa gejala dan tanda-tanda
klinis tidak termasuk dalam kelompok DED dan dianggap seperti normal.
Sebaliknya pasien tanpa gejala yang menunjukkan tanda dibedakan menjadi
pasien dengan sensitivitas kornea yang buruk (kondisi neurotropik), atau pasien
dengan tanda-tanda prodromal, yang mungkin berisiko menjadi DED yang nyata
dengan tergantung waktu atau provokasi, misalnya setelah operasi mata atau
pemasangan lensa kontak.6,13,17.
Pasien menunjukkan tanda-tanda penyakit permukaan mata, tetapi tidak
ada gejala ketidaknyamanan, memerlukan pertimbangan apakah manajemen mata
kering diindikasikan. Kerusakan saraf kornea sekunder akibat DED yang sudah
berlangsung lama adalah fenomena yang diakui dan berkurangnya sensitivitas
kornea dapat menutupi ketidaknyamanan. Sensasi disfungsional adalah fungsi dari
proses penyakit yang mendasarinya. Perubahan permukaan mata dengan tidak
adanya gejala yang muncul dapat ditemui selama pemeriksaan pra operasi katarak
atau operasi refraktif, dan menandakan penyakit awal risiko menjadi DED
simtomatik setelah peristiwa bedah.6,13,17.
Jika didapatkan gejala tanpa tanda kita bisa mencurigai ke arah nyeri
neuropatik atau predisposisi lain yang menyerupai DED. Skenario klinis nyeri
neuropatik akibat lesi atau penyakit dalam sistem somatosensori di mana gejala
nyeri mata secara tidak proporsional lebih besar daripada tanda-tanda klinis.
Perbedaan ini penting dalam diagnosis dan manajemen nyeri yang diperlukan
berada di luar ruang lingkup terapi DED. Gejala konsisten dengan DED, tetapi
tidak adanya tanda-tanda klinis, mungkin menunjukkan keadaan preklinis mata
kering, atau muncul gejala mata kering episodik.12,16,18.
Pada kondisi ini perlu kita edukasi dan pencegahan agar tidak menjadi
kondisi DED. Pasien yang didapatkan gejala mata kering dan tanda penyakit
okular lainnya dilakukan pertanyaan triase untuk diagnosa banding adakah kondisi
penyakit permukaan okular lainnya yang menjadi penyebab dan dirujuk untuk
ditangani sesuai dengan penyebabnya. Jika terdapat gejala dan tanda mengarah ke
DED setelah pertanyaan triase maka dapat di tatalaksana sesuai DED apakah
akibat penguapan atau defisiensi aquos atau bahkan keduanya untuk
mengembalikan sesuai homeostasis.12,16,18.

12
Defisiensi aquos menggambarkan kondisi yang mempengaruhi kelenjar
lakrimal, sementara mata kering akibat evaporasi terjadi pada kondisi yang
mempengaruhi kelopak mata (misalnya MGD dan kelainan berkedip) atau
permukaan okular (misal yang berhubungan dengan defisiensi musin atau
pemakaian lensa kontak). Dalam klasifikasi DED, bukti terbaru mendukung
skema berdasarkan patofisiologi mata kering akibat defisiensi aquos (Aquos
Defisient Dry Eye / ADDE) dan penyakit mata kering evaporatif (Evaporative Dry
Eye / EDE, sehingga elemen masing-masing perlu dipertimbangkan dalam
diagnosis dan tatalaksana. Mulai dengan penilaian gejala, dan tanda-tanda
penyakit permukaan okular. DED menunjukkan gejala dan tanda, dan dapat
dibedakan dari penyakit permukaan okular lainnya dengan penggunaan
pertanyaan triase serta pengujian tambahan.12,13,16.

13
BAB IV
DIAGNOSTIK DAN PEMERIKSAAN DRY EYE

4.1. Metodologi diagnostik Dry Eye Disease


Subkomite Metodologi Diagnostik TFOS DEWS II memeriksa bukti
penelitian untuk mengukur gejala pasien, gangguan penglihatan, stabilitas tear
film, osmolaritas, kerusakan permukaan mata, peradangan permukaan mata dan
tanda-tanda kelainan kelopak mata (seperti MGD), dan merekomendasikan tes
dan teknik diagnostik utama. Prinsip seleksi adalah: kemampuan diagnostik;
minimal invasif; objektivitas; dan penerapan klinis.2,13.14

Gambar 5. Metodologi Diagnostik DED13

4.2. Anamnesis dan Pertanyaan Triase


Sebelum menegakkan diagnosis, penting untuk menapiskan kondisi
yang dapat menyerupai DED dengan sejumlah pertanyaan triase dan menganalisis
faktor resiko yang terdapat pada pasien.13.

14
Gambar 6. Pertanyaan triase Dry Eye Disease. 2,13.

Dry Eye Questionnaire-5 (DEQ-5) atau Indeks Penyakit Permukaan


Mata (OSDI) harus diselesaikan untuk menunjukkan apakah seorang pasien
mungkin memiliki DED, dan skor gejala positif pada salah satu dari kuesioner ini
kemudian dilakukan pemeriksaan yang lebih rinci tanda-tanda klinis DED.2,13

Gambar 7. Dry Eye Questionnaire-5 (DEQ-5)13

15
Gambar 8. Ocular Surface Disease Index (OSDI).13

Nilai DEQ 5 lebih dari 6 atau nilai OSDI lebih dari 13 dengan salah satu
Homeostasis Markers positif mengindikasikan pasien mengalami Dry Eye
Disease.13

4.3. Pemeriksaan Diagnostik Dry Eye Disease.


Kehadiran salah satu dari tiga tanda pada pemeriksaan, seperti Tear
Break Up Time kurang dari 10 detik, osmolaritas yang meningkat, atau pewarnaan
permukaan okular (kornea, konjungtiva atau margin kelopak mata) di kedua mata,
dipertimbangkan mewakili homeostasis yang terganggu, mengkonfirmasikan
diagnosis DED. Tes klasifikasi subtipe lebih lanjut seperti meibografi,
interferometri lipid dan pengukuran volume air mata harus dilakukan untuk
menentukan DED jatuh pada spektrum ADDE atau EDE, dan menentukan
keparahan DED serta untuk memandu pengobatan yang tepat.13,15,16.

16
4.3.1. Pemeriksaan Tear Meniskus
Produksi air mata normal menghasilkan meniskus air mata yang penuh,
sedikit konkaf dan berukuran antara 0,5-1,0 mm. Meniskus air mata ini terletak
antara bola mata dan palpebra inferior. Nilai 0,3 mm atau kurang dianggap tidak
normal. Pada defisiensi tear film, tear meniscus akan berkurang atau tidak ada
sama sekali.16,17,25

4.3.2. Evaluasi Produksi air mata


4.3.2.1. Basic Secretion Test
Tes sekresi dasar dilakukan dengan anestesi topikal untuk
meminimalkan iritasi pada kornea selama tes, kertas strip tipis (lebar 5 mm,
panjang 30 mm) ditempatkan di sepertiga dari kelopak mata bawah, dengan 5 mm
panjang kertas terlipat dalam culdesac inferior dan 25 mm sisanya ke kelopak
mata bawah. Tes dapat dilakukan dengan mata pasien terbuka atau tertutup, tetapi
beberapa ahli merekomendasikan agar mata ditutup untuk menghilangkan
kedipan. Meskipun sekresi air mata normal cukup bervariasi, hasil kurang dari 3
mm membasahi setelah 5 menit dengan pengukuran berulang sangat menunjukkan
tanda ADDE. 16,17,25

4.3.2.2.Uji Schirmer
Uji Schirmer digunakan untuk menilai kuantitas air mata, menilai waktu
pecah air mata dan menilai refleks kecepatan sekresi air mata dengan memakai
kertas filter Whatman 41 (panjang 35 mm dan lebar 5 mm) yang dilipat 5 mm dari
ujungnya. Uji Schirmer ini ada 2 jenis yaitu uji Schirmer I dan II. Uji Schirmer I
merupakan pemeriksaan fungsi sekresi sistem lakrimal untuk menentukan apakah
produksi air mata cukup untuk membasahi mata. Pemeriksaan ini mengukur
sekresi basal dan refleks ekskresi lakrimal. Refleks sekresi terutama berasal dari
kelenjar lakrimal, sedangkan sekresi basal berasal dari Wolfring dan Krause.
3,23,25.

17
Gambar 9. Schirmer Test.25

Uji Schirmer I dilakukan tanpa anestesi topikal, pemeriksaan dilakukan


pada kedua mata secara bersamaan, lipatan kertas filter di insersikan ke sakus
konjungtiva forniks inferior pada pertemuan medial dan sepertiga temporal
palpebra inferior, pasien dianjurkan menutup mata perlahan-lahan, akan tetapi
sebagian peneliti manganjurkan mata tetap dibuka dan memfiksasikan matanya
pada titik diatas bidang horizontal. Setelah 5 menit kertas filter diangkat dan
diukur bagian kertas yang basah yang dimulai dari lekukan. Apabila filter basah
10-30 mm maka sekresi lakrimal normal. Bila kurang dari 5,5 mm menunjukan
sekresi basal kurang dan menunjukkan kearah ADDE. Tes ini relatif spesifik tapi
sensitivitasnya buruk.18,19,25
Uji Schirmer II bertujuan mengukur refleks sekresi, dilakukan dengan
cara yang sama dengan schirmer I tetapi dengan anestesi topikal untuk
menghilangkan efek iritasi lokal pada sakus konjungtiva, namun setelah strip
kertas saring telah dimasukkan ke dalam forniks inferior, ujung kapas aplikator
digunakan untuk mengiritasi mukosa hidung. Pembasahan kurang dari 15 mm
setelah 2 menit konsisten dengan defek pada sekresi refleks. Hasil yang konsisten
secara serial sangat menunjukkan ATD.1,6,,25.

4.3.3. Break Up Time (BUT)


Tes untuk melihat fungsi fisiologis tear film yang melindungi kornea dan
mengevaluasi stabilitas tear film. Pada pemeriksaan ini diukur kekeringan kornea
sesudah suatu kedipan pada suatu waktu tertentu yang disebut Break Up Time.
Beberapa saat setelah kelopak terbuka sesudah suatu kedipan, film air mata
didepan kornea akan pecah dan membentuk bercak kering pada kornea sesudah

18
kelopak terbuka. Cara melakukan pemeriksaan adalah pasien duduk didepan
slitlamp, fluoresein diberikan pada sakus inferior konjungtiva, kemudian pasien
menutup mata dengan tujuan agar fluoresein menyebar ke permukaan kornea.
Mata disinari dengan filter kobalt biru.24,25.
Pasien diminta mengedip beberapa kali, pasien diminta membuka kelopak
mata dan melihat kedepan dan tidak boleh mengedip. Dilihat terjadinya titik hitam
di daerah lapangan biru hijau yang merupakan daerah kering pada kornea (dry
spot). Dilihat waktu kelopak mulai dibuka sampai mulai terlihat bercak hitam
dilapangan biru hijau (bercak kering pada kornea). Pemeriksaan ini dilakukan tiga
kali. Dalam keadaan normal film air mata mempunyai waktu pembasahan kornea
15-30 detik. Bila kurang dari 10 detik berarti telah terjadi defisiensi musin, hal ini
menunjukan film air mata tidak stabil.24,25

Gambar 10. Tear Break-Up Time Test: dry spot


ditunjukkan dengan pewarnaan fluoresein tear film.25

Cara lain untuk mengukur stabilitas tear film adalah dengan pencitraan
pada permukaan kornea dan mengukur waktu yang dibutuhkan sebelum distorsi
atau break-up setelah mata berkedip. Cara ini dikenal dengan Noninvasive Break
Up Time (NIBUT) merupakan pemeriksaan stabilitas tear film yang tidak
memakai fluoresein. Keuntungan teknik NIBUT ini adalah meminimalkan secara
alami efek atau faktor yang dapat mempengaruhi tear film seperti pengaruh
fluoresein itu sendiri. Nilai normal NIBUT lebih dari 20 detik. Metoda lain untuk
mengukur indeks keteraturan permukaan kornea dengan menggunakan
videokeratoscopy. 2,6,25.

19
4.3.4. Pewarnaan Rose Bengal
Pewarnaan Rose Bengal dapat menilai keadaan sel-sel konjungtiva dan
kornea yang patologis, yang tidak dilapisi musin. Pewarnaan ini bertujuan untuk
mewarnai sel yang mati. Rose Bengal merupakan zat warna yang bila diberikan
pada permukaan mata akan diabsorbsi oleh sel epitel yang mati. Sel mati dengan
pewarnaan Rose Bengal akan memberikan warna merah. Pewarnaan positif akan
mewarnai sel-sel konjungtiva dan kornea oleh Rose Bengal dan selalu terlihat
pada sel-sel epitel konjungtiva dan kornea yang mati. Pewarna ini secara rutin
digunakan untuk mengevaluasi keadaan kekurangan air mata dan untuk
mendeteksi dan menilai berbagai lesi epitel, seperti mengevaluasi luasnya
neoplasia intraepitel kornea.24,25.
Cara melakukan pemeriksaan adalah berikan anestesi lokal pada mata
yang akan diperiksa, lalu teteskan beberapa tetes Rose Bengal ke konjungtiva
bulbi superior. Pasien diminta berkedip, tunggu selama 1 menit, Rose Bengal
yang menyebar dicuci dengan garam fisiologis. Setelah itu gunakan filter red-free
(hijau) pada slitlamp untuk melihat penyerapan zat warna pada konjungtiva dan
kornea. Catat pewarnaan dengan skala 0-3. Skor 0 : tidak ada penyerapan zat
warna, Skor 1 : pewarnaan ringan berupa titik, Skor 2 : pewarnaan berupa bercak-
bercak tak merata, Skor 3 : pewarnaan merata.24,25.

A. B.
Gambar 11. A. Pewarnaan Rose Bengal pada Kornea, B. Pewarnaan Rose
Bengal pada Konjungtiva.1,6,25

20
4.3.5. Tes Kuantitatif Tear Film
Prosedur-prosedur lain dapat juga berguna dalam mendukung diagnosis
DED, antara lain pemeriksaan:1,24,25.
 Tear film osmolarity : terdapat beberapa tipe osmometer untuk mengukur
tear osmolarity dengan sampel mikroliter air mata. Air mata mempunyai
osmolaritas 302 mOsm/l. Pada DED osmolaritas air mata meningkat
antara 330 dan 340 mOsm/l karena penurunan aliran aquos dan
peningkatan evaporasi air mata. Hasil lebih dari 306-308mOsm/L sangat
menunjukkan ADDE.
 Tear lisozyme: kadar normal tear lisozyme 2-4 mg/ml
 Tear lactoferrin : terdapat beberapa metode untuk mengukur kadar tear
lactoferrin yaitu lactoplate test, lactocard test dan colorimetrically.
Lactoferin merupakan protein pengikat besi yang disekresikan langsung
oleh sel asinar kelenjar lakrimal, levelnya berkorelasi langsung dengan
produksi air mata.
 MMP-9 yang merupakan sitokin inflamasi yang di lepaskan oleh sel epitel
yang meradang, jikan hasil lebih dari 40ng/mL dapat dikatakan alami
DED.
 Pemeriksaan IgE untuk bedakan ADDE dengan alergi pada mata.

4.3.6. Tes Kualitatif Tear Film


Meibomian Gland Dysfunction (MGD) adalah penyebab utama EDE,
pemeriksaan slit lamp kelopak mata dan saluran kelenjar meibom adalah hal yang
penting. Interferometry dan Infrared Meibography meningkatkan kemampuan
nilai struktur dan patologi kelenjar meibom, pemeriksaan ini juga dapat mengukur
ketinggian meniscus dengan akurasi submikroliter, ketebalan dan struktur lapisan
lipid serta evaluasi waktu dan pola berkedip.24,25.

21
Gambar 12. A. Infrared meibography kelopak mata atas, B. Gambaran
atrofi meibom.25.

4.3.8. Sitologi Impresi


Sitologi impresi menggunakan cellulose acetate filter dapat dilakukan
untuk menilai keadaan serta densitas sel-sel permukaan mata, seperti sel epitel,
nilai bentuk dan jumlah sel goblet, serta gambaran kerusakan sel yang mengalami
keratinisasi. 24,25.
Tabel 3. Kriteria Sitologi Impresi.24

4.3.7. Uji Ferning


Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai kualitas lapisan musin. Prinsip
uji ini adalah fenomena Ferning (daun pakis). Fenomena ini terjadi karena
interaksi elektrolit dengan glikoprotein yang mempunyai berat molekul tinggi.
Berbagai bentuk corakan daun pakis ini disebabkan karena adanya perbedaan
kadar garam dan gugus gula pada protein. Gambaran pakis yang padat merupakan
keseimbangan yang ideal antara musin dan elektrolit. Klasifikasi tes
Ferning:23,24,25

22
Grade 1: gambaran daun pakis baik serta banyak Grade 3: gambaran daun pakis mulai tidak berbentuk,
masih ada sebagian kecil yang berbentuk pakis

Grade 2: gambaran daun pakis mulai berkurang Grade 4: gambaran daunpakis tidak terbentuk sama sekali

Gambar 13. Klasifikasi Tes Ferning26

23
BAB V
KESIMPULAN

1. Dry Eye Disease (DED) menurut TFOS DEWS II adalah penyakit multifaktorial
pada permukaan mata yang ditandai dengan hilangnya homeostasis lapisan air
mata, termasuk ketidakstabilan lapisan air mata dan hiperosmolaritas, peradangan
dan kerusakan permukaan okular, dan kelainan neurosensori memainkan peran
sebagai penyebab.
2. Penyakit permukaan okular dapat menyerupai dan bersifat komorbid dengan DED
sehingga penyebab okular dan non-okular harus juga di identifikasi dan di
tatalaksana dengan baik agar tidak salah diagnosis dan penatalaksanaan.
3. TFOS DEWS II menghilangkan persepsi eksklusivitas diagnosis mata kering
akibat defisiensi aquos dan penguapan sebagai entitas yang terpisah. Mekanisme
inti DED adalah gangguan hiperosmolaritas tear film.
4. DED diakui menjadi dua jenis, (Aquos Defisient Dry Eye / ADDE) dan
(Evaporative Dry Eye / EDE). Pada ADDE, gangguan hiperosmolaritas terjadi
ketika sekresi lakrimal berkurang. Pada EDE, gangguan hiperosmolaritas
disebabkan oleh penguapan yang berlebihan.
5. Meibomian Gland Dysfunction (MGD) merupakan penyebab utama EDE, terdiri
dari masalah sikatrikal dan non-sikatrikal.
6. Metodologi diagnostik dimulai pertanyaan triase dan analisis faktor resiko yang
menapiskan kondisi yang menyerupai DED, dan dilakukan pemeriksaan
homeostasis dan tes klasifikasi subtipe untuk memberikan kejelasan dalam
diagnosis DED dari berbagai etiologi yang dapat dipertimbangkan sehingga
manajemen yang tepat dapat dilakukan

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Cantor LB, Rapuano CJ, McCannel CA. Dry Eye Disease. In: External
Disease and Cornea. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology;
2019-2020. p83-87.
2. Nelson JD, Craig JP, Akpek E, Azar DT, Belmonte C, Bron AJ, et al. TFOS
DEWS II introduction. Ocul Surf 2017.
3. Craig JP, et al., TFOS DEWS II Report Executive Summary, The Ocular
Surface (2017), http://dx.doi.org/10.1016/ j.jtos.2017.08.003
4. Herranz RM. Ocular Surface Anatomy and Physiology Disorder and
Theraupetic Care. America: 2013.
5. Levin LA et al. Formation and Function of the Tear Film. In: Adler’s
Physiology of the eye Eleventh Edition. Elsevier Saunders; 2011. p. 350-361.
6. Salmon JF. Kanski’s Clinical Ophtalmology A Systematic Approach.
America: Elsevier. 2016. p.156-157.
7. Stapleton F, Alves M, Bunya VY, Jalbert I, Lekhanont K, Malet F, et al.
TFOS DEWS II epidemiology report. Ocul Surf 2017.
8. Sullivan DA, Rocha EM, Aragona P, Clayton JA, Ding J, Golebiowski B, et
al. TFOS DEWS II sex, gender, and hormones report. Ocul Surf 2017.
9. Bron AJ, dePaiva CS, Chauhan SK, Bonini S, Gabison EE, Jain S, et al. TFOS
DEWS II pathophysiology report. Ocul Surf 2017
10. Willcox MDP, Argüeso P, Georgiev G, Holopainen J, Laurie G, Millar T, et
al. TFOS DEWS II tear film report. Ocul Surf 2017
11. Belmonte C, Nichols JJ, Cox SM, Brock JA, Begley CG, Bereiter DA, et al.
TFOS DEWS II pain and sensation report. Ocul Surf 2017.
12. Gomes JAP, Azar DT, Baudouin C, Efron N, Hirayama M, Horwath-Winter J,
et al. TFOS DEWS II iatrogenic dry eye report. Ocul Surf 2017.
13. Wolffsohn JS, Arita R, Chalmers R, Djalilian A, Dogru M, Dumbleton K, et
al. TFOS DEWS II diagnostic methodology report. Ocul Surf 2017.
14. Jones L, Downie LE, Korb D, Benitez-del-Castillo JM, Dana R, Deng SX, et
al. TFOS DEWS II management and therapy report. Ocul Surf 2017.

25
15. Novack GD, Asbell P, Barabino B, Bergamini MVW, Ciolino JB, Foulks GN,
et al. TFOS DEWS II clinical trial design report. Ocul Surf 2017.
16. American Academy of Ophthalmology Cornea/External Disease Panel.
Preferred Practice Pattern Guidelines. Dry Eye Syndrome. San Francisco:
American Academy of Ophthalmology; 2013. Available at www.aao.org/ppp.
17. Bohm KJ, Djalilian AR, Pflugfelder SC, Starr CE. Dry eye. In: Mannis MJ,
Holland EJ, eds. Cornea. Vol 1. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2017:377–396.
18. Nichols KK, Foulks GN, Bron AJ, et al. The International Workshop on
Meibomian Gland Dysfunction:Executive Summary. Invest Ophthalmol Vis
Sci. 2011;52(4):1922–1929.
19. Stevenson W, Chauhan SK, Dana R. Dry eye disease: an immune-mediated
ocular surface disorder. Arch Ophthalmol. 2012;130(1):90–100
20. Foulks GN. Meibomian gland dysfunction. Focal Points: Clinical Modules for
Ophthalmologists. San Francisco: American Academy of Ophthalmology;
2014, module 12.
21. Foulks GN, Lemp MA. Meibomian gland dysfunction and seborrhea. In:
Mannis MJ, Holland EJ, eds. Cornea.Vol 1. 4th ed. Philadelphia: Elsevier;
2017:357–365.
22. Marcet MM, Shtein RM, Bradley EA. Safety and efficacy of lacrimal drainage
system plugs for dry eye syndrome: a report by the American Academy of
Ophthalmology. Ophthalmology. 2015;122(8):1681–1687.
23. American Academy of Ophthalmology. Ocular Surface Disease : Diagnostic
Approach.In External Disease and Cornea. Basic and Clinical Science Course, San
Fransisco; Section8: 2011-2012.p.48-55.
24. Wilson FM. Tear Film. In: Practical Ophthalmology A Manual for Beginning
Resident, Fifth Edition. American Academy of Ophthalmology , San Francisco;
2003.p.254-256.
25. Sidarta I. Uji Dry Eye. Dalam: Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit
Mata, Edi. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2013. h.65-75.
26. Asyari F. Dry Eye Syndrome. Jurnal Kedokteran dan Farmasi, Dexa Media no.4,
vol.20, Oktober-Desember 2017. h.162-166.

26

Anda mungkin juga menyukai