Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Kelenjar Meibom adalah kelenjar sebasea yang besar, dan tersusun secara vertikal di

bagian tarsal palpebra superior dan inferior dan memproduksi lipid dari bagian luar permukaan

mata. Glandula tarsal pertama kali ditemukan oleh Heinrich Meibom, seorang professor dari

universitas Helmsted, dan semenjak itu kelenjar ini disebut sebagai kelenjar Meibom.

Meibomian gland dysfunction adalah penyakit kronis serta multifactorial dari kelopak mata

yang dapat menyebabkan iritasi mata, inflamasi, evaporasi dan deficit aqueous sehingga

menyebabkan mata kering. Disfungsi kelenjar meibom merupakan gangguan pada kelopak

mata yang cukup sering ditemukan dengan prevalensi 39 – 50% pada populasi Amerika Serikat

dengan angka kejadian yang meningkat seiring berjalannya usia. MGD merupakan salah satu

penyebab utama terjadinya evaporative dry eye disease (EDED), dengan kelainan pada kelenjar

Meibom, menyebabkan berkurangnya lipid yang melapisi bola mata, meningkatnya evaporasi

cairan aqueous dan peningkatan osmolaritas lapisan air mata, yang akhirnya dapat

menyebabkan perubahan permukaan bola mata, ketidakstabilan lapisan air mata dan

blepharitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI DAN PREVALENSI MGD

Kelenjar Meibom merupakan kelenjar-kelenjar yang bekerja mensekresikan


meibum (lemak) ke permukaan daerah mata untuk membentuk lapisan terluar dari
air mata. Meibum ini dapat menyebar secara mudah dan dapat mencegah penguapan
air mata sehingga mencegah mata menjadi kering. Meibomian Gland Dysfunction
merupakan abnormalitas yang bersifat kronik pada kelenjar meibum, sering
ditandai dengan obstruksi pada muara duktus dan/atau perubahan kualitas/kuantitas
sekresi dari kelenjar meibum. Hal ini dapat mneyebabkan perubahan dari lapisan
air mata dan memberikan gejala dari iritasi mata, yaitu gambaran inflasi pada mata.

Prevalensi Meibomian Gland Disfunction saat ini masih sulit dipahami karena
tergantung pada beberapa hal yaitu geografis dan kurangnya pengertian mengenai
meiobomian gland dysfunction. Di Asia sendiri sekita 60% populasinya dilaporkan
memiliki Meibomian gland dysfuction. Berdeda dengan penduduk Asia, penduduk
Kaukasia yang dilaporkan kurang dari 20% populasinya yang memiliki meibomian
gland dysfunction. Selain geografis, usia juga mempengaruhi terjadinya
Meibomian gland dysfunction. Dilaporkan di Asia sendiri, 33% pasien yang
menderita meibomian gland dysfunction berumur kurang dari 30 tahun dan pasien
yang mengalami Meibomian gland dysfunction yang berumur ≥ 60 tahun adalah
sebanyak 72%. Selain itu, sekitar 90% pasien dengan ocular rosacea menunjukan
perubahan pada kelopak mata, misalnya peradangan pada margo palpebra, yang
mirip dengan keadaan penderita Meibomian gland dysfunction. Hal ini berkaitan
dengan hasil diagnosis pasien dimana pasien dengan rosacea ocular masih kurang
didiagnosis dan meibomian gland dysfunction dengan rosacea ocular harus
dibedakan karena berkaitan dengan prognosis masing-masing keadaan.

II. KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI MGD


Disfungsi kelenjar meibom dapat diklasifikasikan berdasarkan perubahan-
perubahan anatomis, patofisiologis, atau derajat keparahan penyakit agar dapat
terbentuk suatu sistem klasifikasi yang memenuhi kebutuhan tersebut, klasifikasi
berdasarkan patofisiologi dianggap yang paling baik.
The International Workshop On Meibomian Gland Dysfunction (IWMGD)
pada tahun 2011.
Dalam kategori luas, disfungsi kelenjar meibom (DKM) lebih jauh dibagi menjadi
dua kategori utama berdasarkan pada sekresi kelenjar meibom; DKM beralin kecil
(low delivery MGD) dan DKM beralin besar (high delivery MGD).
a. DKM Beralin Kecil
Disfungsi kelenjar meibom beralin kecil terbagi menjadi DKM hiposekresi dan
DKM obstruksi. DKM obstruksi terdiri atas dua subkategori yaitu DKM sikatrik
dan nonsikatrik. Penyebab utama tercantum pada masing-masing kategori.
Hiposekrrsi kelenjar meibom ditandai dengan penurunan skresi lipid meibom
tanpa ada obstruksi. Penurunan jumlah kelenjar meibom fungsional terkait
dengan pemakaian lensa kontak yang sebanding dengan durasi pemakainnya.
Obstruksi kelenjar meibom merupakan kondisi DKM aliran kecil yang
boleh jadi merupakan bentuk yang paling umum. Dilihat dari sudut
histopatologis, terdapat hipertrofi epitelium ductus dan keratinasi epitelium
orifisium. Aliran kecil demikian disebabkan obstruksi kelenjar pada ductus
terminal atau perubahan sekresi. Gangguan tersebut nampak pada subjek-
subjek dewasa atau sesudah pengguna retinoid untuk untuk terapi akne.
Insufisiensi androgen atau tidak adanya reseptor-reseptor androgen juga terkait
dengan keratinisasi, obstruksi, dan perubahan-perubahan sekresi kelenjar
meibom. Pada DKM obstruktif nonsikatrik, ductus dan orifisiumnya tetap
dalam posisi anatomis normal. Sedangkan DKM obstruktif sikatrik, duktus dan
orifiumnya terdorong ke arah posterior ke dalam mukosa. Penyebab-penyebab
DKM obstruktif sikatrik antara lain trachoma, pemfigoid, sikatrik ocular,
eritema multiforme, dan penyakit mata atopik. Sementara itu, DKM obstrutif
nonsikatrik dapat terlihat pada sindrom Sjogren, dermatitis seboroik, akne
rosea, atopi, dan psoriasis.
b. DKM Beraliran Besar
Disfungsi kelenjar meibom hipersekresi ditandai oleh pelepasan sejumlah besar
lipid meibom pada tepi kelopak mata sebagai respon terhadap tekana pada tarsus.
Walaupun telah dilaporkan bahwa DKM hipersekresi terkait dengan dermatitis
seboroik pada 100% kasus, gangguan kelopak mata ini diyakini terjadi pada
penyakit-penyakit lainnya, seperti penyakit atopik dan akne rosasea (DKM
hipersekresi sekunder).
Penyebab meningkatnya lipid pada DKM belum diketahui secara pasti, apakah
merupakan akibat dari hipersekresi sebenarnya dari kelenjar meibom, atau
merupakan akibat obstruksi ringan. Gangguan tersebut tidak terkait dengan
inflamasi aktif dan tidak ada perubahan-perubahan nyata pada struktur kelenjar
dilihat dari meibograf. Telah ditemukan hubungan yang jelas antara DKM
hipersekresi dan akne. Terdapat bukti yang menunjukkan adanya potensi
peningkatan sekresi lipid oleh kelenjar meibom yang berasal dari peningkatan
ekskresi sebum yang merupakan faktor utama pada patofisiologis akne. Respon
berlebihan dari kelenjar-kelenjar end-organ terhadap androgen merupakan
penjelasan yang paling mungkin untuk seborea. Pada wanita penderita akne, tingkat
ekskresi sebum total lebih tinggi dibandingkan dengan normal. Meskipun produksi
sebum dipengaruhi oleh jumlah folikel-folikel aktif dan kapasitas individual dalam
mengekskresikan sebum, keparahan seborea paling mungkin disebabkan
peningkatan ekskresi sebum oleh beberapa kelenjar, bukan karena peningkatan
jumlah folikel-folikel sebasea aktif.
III. FAKTOR RISIKO
Terdapat kemungkinan kuat faktor-faktor yang sama yang berdampak pada
penyakit mata kering memegang peran pada gangguan kelenjar meibom. Beberapa
kondisi atau faktor yang meningkatkan frekuensi pada pasien-pasien adalah :
 Faktor-faktor risiko oftalmik (aniridia, blefaritis kronis, pemakaian lensa
kontak, tungau Demodex sp, tato kelopak mata, sindrom kelopak mata, giant
papillary conjungtivitis, ichthyosis, trachoma, degenerasi kornea noduler
Salzmann).1
 Faktor-faktor risiko penuaan yang dapat mempengaruhi struktur dan fungsi
kelenjar meibom.1
 Faktor-faktor resiko sistemik lain seperti hormon seks, sindrom Sjogren,
hipertensi, menopause, sindrom Stevens-Johnson, sindrom Turner, dan
diabetes.1 Pada diabetes, misalnya dikemukakan uji Schirmer, uji Rose Bengal,
dan uji FBUT pada 200 mata dari 100 pasien dengan 92 (46%) mata adalah dari
penderita diabetes tipe 2 dengan kontrol non-diabetes yang berusia 45-75 tahun
dengan kesimpulan bahwa mata kering merupakan manifestasi lain dari
diabetes mellitus.2 Diantara uji-uji tersebut uji Schirmer dan uji Rose Bengal
kebih bernilai diagnostic dibandingkan dengan uji fbut (Hasil uji Schirmer,
Rose Bengal dan FBUT pada penderita diabetes berturut-turut adalah sebagai
berikut 56 (60,86%), 80 (86,95%), dan 50 (54,34%), sedangkan untuk penderita
diabetes berturut-turut adalah sebagai berikut 30 (68,18%), 10 (22,72%), dan
24 (54,54%).2
 Faktor-faktor risiko medikasi, termasuk diantaranya isoretinoin, antiandrogen,
antidepresan, antihistamin, obat untuk hyperplasia jinak prostat, dan terapi
hormon pascamenopause.1
 Faktor-faktor risiko lingkungan, termasuk faktor geografi, temperatur,
kelembaban, kerja visual.1

Pemakaian lensa kontak sebagai faktor resiko MGD telah dikemukakan


oleh Korb dan Hendriquez yang menguraikan perubahan-perubahan jaringan
yang mengikuti MGD. Terdapat bukti bahwa pemakaian lensa kontak dapat
terkatit dengan aspek-aspek MGD, tapi hal ini juga masih memerlukan deskripsi
yang lebih baik, Sebagai contoh, diketahui bahwa lebih kurang 50% pemakai
lensa kontak sering mengalami mata kering, tapi tidak diketahui seberapa jauh
hal ini disebabkan oleh MGD. Efek pemakaian lensa kontak pada kesehatam
kelenjar meibom seperti atrofi, ekskresi kelenjar meibom, atau fungsi lapisan
lipid itu sendiri dalam hal menahan evaporasi masih memerlukan penelitian
lebih jauh.1

IV. MANIFESTASI KLINIS

Pada kasus MGD kadang sering kali simtomatik maupun asimptomatik. MGD
sering kali dihubungkan dengan gejala okular yang disebabkan karena dry eye dan
kerusakan permukaan mata. Gejala yang paling sering ditemukan adalah mata
terasa mengganjal, kering, rasa terbakar, rasa seperti disengat dan gatal di mata,
kemerahan dan memar pada kelopak mata dan terkadang bisa terjadi gangguan
visus.
Pada MGD juga dapat ditemukan penebalan sekresi pada kelenjar Meibom serta
dilatasi vascular dengan atau tanpa inflamasi, peningkatan vaskularitas pada bagian
posterior. Obstruksi pada saluran dan muara dari kelenjar Meibom merupakan salah
satu aspek utama terjadinya Disfungsi kelenjar Meibom. Pada permukaan mata,
tanda dan gejala dari dry eye dapat terlihat. Pada perabaan dengan menggunakan
jari di region Kelenjar Meibom di tengah kelopak mata bawah atau atas dapat
menunjukkan ada tidaknya ekskresi dari kelenjar meibom untuk memeriksa
pengosongan kelenjar meibom dan memeriksa kualitas ekskresi.

V. PATOFISIOLOGI

Disfungsi kelenjar meibum pada umumnya disebabkan oleh obstruksi ductus


terminal yang diakibatkan oleh penebalan dinding atau hiperkeratininasi system
ductus kelenjar meibum. Banyak hal yang mempengaruhi proses obstruktif ini
dalam pathogenesis MGM, yaitu faktor endogen berupa usia, jenis kelamin,
gangguan hormone dan faktor eksogen berupa faktor lingkungan seperti
penggunaan obat topical maupun sistemik ditambah dengan adanya perubahan
kualitas dan kuantitas meibum yang saling berinteraksi menyebabkan terjadinya
hiperkeratinisasi system ductus kelenjar meibum, peningkatan viskositas meibum,
dan atrofi asinar kelenjar.
Dalam terbentuknya obstruksi orifisiun kelenjar meibum yang menjadi
mekanisme inti adalah hiperkeratinisasi dan peningkatan viskositas meibum yang
kemudian akan menyebabkan pengeluaran meibum ke tepi palpebral sangat rendah.
Obstruksi orifisium ini juga menyebabkan stasisnya meibum di sistem duktus
menyebabkan peningkatan tekanan, dilatasi sistem duktus dilanjutkan terjadinya
atrofi acinar yang akhirnya menyebabkan sekresi meibum rendah. Perubahan pada
kualitas dan kuantitas meibum mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas dan
atau peningkatan volume sekresi meibum. Adanya perubahan viskositas, volume
sekresi dan stasisnya meibum oleh karena obstruksi menyebabkan bakteri-bakteri
permukaan mata semakin berkembang. Bakteri yang sering duhubungkan dengan
kejadian disfungsi kelenjar meibum ini adalah Staphylococcus aureus dan
Propionibacterium acnes selain itu juga bakteri ini sangat mempengaruhi terjadinya
disfungsi kelenjar meibum. Bakteri-bakteri tersebut memunyai enzim lipase, ketika
bakteri-bakteri tersebut hidup dan tumbuh di permukaan mata, bakteri-bakteri
tersebut akan melepaskan enzim lipase yang kemudian akan memicu pelepasan
mediator-mediator toksik seperti asam lemak dan mememulai terjadinya reaksi
peradangan dengan dilepaskannya sitokin. Mediator-mediator inilah yang akhirnya
akan memicu terjadinya penyakit mata kering dan evaporative.
VI. DIAGNOSIS

Diagnosis MGD didasarkan pada pemeriksaan perubahan anatomi seperti obstruksi


duktus terminal, hilangnya kelenjar, perubahan kualitatif dan kuantitatif dari kelenjar meibum
dan kejadian patologis yang mengarah ke MGD. Subkomite diagnostik pada International
Workshop on Meibomian Gland Disfunction merekomendasikan beberapa tes diagnostik untuk
MGD dan mengusulkan dua pendekatan untuk mendiagnosis penyakit yang berhubungan
dengan gejala MGD. Untuk orang dewasa tanpa gejala, melakukan digital pressure to the
central lower lid diikuti dengan menilai kerusakan permukaan okular dianjurkan. Adanya
kerusakan permukaan okular atau perubahan anatomi dari fungsi kelenjar Meibomian, hal itu
harus diperiksa.

Urutan tes diagnostik untuk penyakit yang berhubungan dengan gejala MGD di dalam Klinik
Umum
1. Berikan kuesioner gejala
2. Ukur tingkat kedipan dan interval kedipan
3. Ukur ketinggian air mata meniskus lebih rendah
4. Ukur osmolaritas air mata
5. Pewarnaan permukaan okuler: Kaji kerusakan sel epitel. Oxford Grading System, Dry
Eye WorkShop (DEWS) grading.
6. Break up time
 Tear break up time (TBUT): Normal 15-45 detik
 Fluorescein break up time (FBUT):Normal range >10 detik
 Noninvasive break up time (NIBUT): Normal range 40-60 detik
7. Schirmer test:<5 mm/5 min
8. Jika MGD (asimptomatik atau simptomatik tidak didiagnosis secepatnya)
 Quantify morphologic lid features
 Ekspresibilitas meibum dan kualitasnya
 Meibography: Dokumen morfologi infra-merah atau kamera video infra-merah
yang dekat, confocal microscopy, spectral-domain optical coherence
tomography (SD-OCT)
Urutan tes diagnostik untuk penyakit yang berhubungan dengan gejala MGD dalam unit khusus
1. Penilaian gejala (ocular surface disease index (OSDI) and dry eye questionnaire
(DEQ))
2. Ukur osmolaritas
3. Tes sekresi air mata
4. Pengukuran volume air mata
5. Tingkat penguapan air mata (Evaporimetry)
6. Pewarnaan kornea dan konjungtiva
7. Tes untuk menilai peradangan okular

VII. DIAGNOSIS BANDING


VIII. TATALAKSANA

Tatalaksana dari MGD dilakukan berdasarkan stage tergantung dari tingkat


keparahan dari penyakit dan penyakit penyerta. Tujuan utama dari tatalaksana
MGD adalah untuk mengurangi gejala serta memperbaiki kualitas hidup pasien.

Pada pasien dengan stage 1 harus diberikan informasi mengenai perjalanan


penyakit ini yang bersifat kronis dan perlu dilakukan perubahan gaya hidup, serta
diet yang potensial serta dampak atau efek dari lingkungan tempat tinggal atau
bekerja terhadap sekresi air mata, dan beberapa kemungkinan penyebab mata
kering yang disebabkan oleh pengobatan sistemik. Pada stage ini, kebersihan
kelopak mata harus diperhatikan dengan baik.

Pada pasien dengan stage 2 dapat disarankan untuk meningkatkan kelembapan


lingkungan, baik di rumah maupun di lingkungan pekerjaan serta meningkatkan
konsumsi omega-3 fatty acid. Pasien juga disarankan untuk tetap menjaga higenitas
kelopak mata dengan cara warming selama empat menit, sekali hingga dua kali
sehari diikuti dengan pijatan lembut pada kelopak mata. Selain itu juga dapat
ditambahkan lubricant artifisial, emolien lubrikan topical atau liposomal spray dan
penggunaan azithromycin topical harus di resepkan.

Pada pasien dengan stage 3, dapat ditambahkan rekomendasi untuk oral


tetracycline atau minocycline atau doxycyclin, atau lubrikan salep saat malam hari
dan terapi antiinflamasi untuk dry eye atas indikasi.

Pada pasien dengan stage 4, dapat diberikan antiinflamasi topikal. Antiinflamasi


topikal yang dapat diberikan termasuk cyclosporine atau kortikosteroid, merupakan
golongan yang sangat efektif dalam mengurangi inflamasi pada pasien dengan
MGD.

Plus disease adalah stage dimana bila ditemukan penyakit pada kelopak mata
dan permukaan mata berupa penyebab atau infeksi sekunder pada kelenjar meibom
seperti inflamasi OSD eksaserbasi, keratinisasi mukosa, keratitis, trikiasis,
konjungtivitis, pemfigoid sikatrikal okular, kalazion, blepharitis anterior. Pada
keadaan ini harus dilakukan terapi spesifik terhadap penyakit penyerta diatas,
seperti penggunaan steroid, larangan penggunaan contact lens, penggunaan topikal
n-acetyl-cysteine dan cyclosporine A, topikal antibiotik.5
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

1. Schaumberg DA, Nichols JJ, Papas EB, Tong L, Uchino M, Nichols KK. The
International Workshop on Meibomian Gland Dysfunction: Report of the Subcomittee
on the Epidemiology of, and Associated Risk Factors for MGD. Invest. Opthalmol. Vis.
Sci. 2011;52(4):1994-2005.
2. Rahman A, Yahya K, Ahmed T, Sharif-Ul-Hasan K. Diagnostic value of tear films tests
in type 2 diabetes. J Pak med Assoc (JPMA) 57:577;2007.
3. Wald ER. Periorbital and orbital infections. Infect Dis Clin North Am. 2007;21(2):393–
408.
4. Carlisle RT, John D. Differential Diagnosis of the Swollen Red Eyelid. Am Fam
Physician. 2015 Jul 15; 92(2): 106–112.
5. Turgut B, Çatak O, Demir T. Meibomian gland dysfunction: an overlooked eyelid
disease. Adv Ophthalmol Vis Syst. 2018;8(3):168‒172.
6. Geerling G, Baudouin C, Aragona P, et All. Emerging strategies for the diagnosis and
treatment of Meibomian gland dysfunction: Proceedings of the OCEAN group meeting.
The Ocular Surface 15. 2017: 179-192.
7. Baudouin C, Messmer EM, Aragona P, et al. Br J Ophthalmol 2016; 100: 300–306.

Anda mungkin juga menyukai