Anda di halaman 1dari 15

Laporan Kasus

Lupus Eritematosus Diskoid

dr. Cut Putri Hazlianda

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN USU
MEDAN
2014
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR ISI .......................................................................................... i

I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
II. LAPORAN KASUS ........................................................................ 3
III. DISKUSI ........................................................................................ ... 8

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 11


LUPUS ERITEMATOSUS DISKOID

dr. Cut Putri Hazlianda, M.Ked(DV), SpDV


Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Lupus eritematosus diskoid (LED) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronik yang muncul
dengan gejala klinis yang hanya terbatas pada kulit. Etiologi LED masih belum dimengerti,
kemungkinan dikarenakan gangguan autoimun, dimana sistem imun secara abnormal
menjadikan kulit sebagai target sehingga terjadi inflamasi dan kemerahan pada kulit. Lesi pada
LED muncul pertama berupa makula merah-ungu, papul atau plak kecil eritematosus dan pada
permukaannya berkembang lesi hiperkeratotik dengan cepat pada kepala atau leher, juga pada
wajah, telinga dan ekstensor lengan. Lesi klasik awal biasanya berkembang menjadi lesi
berbentuk koin dengan batas yang jelas (diskoid), plak eritema yang ditutupi oleh skuama.
Penatalaksanaan LED bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum penderita, mengontrol lesi
dan menghambat terjadinya skar atrofi, serta mencegah perkembangan lesi lebih lanjut.
Penatalaksanaan diawali dengan menggunakan pelindung terhadap paparan matahari. Pilihan
pengobatan secara sistemik yaitu menggunakan obat antimalaria dan obat-obat imunosupresif
lainnya seperti methotreksat, azathioprin. Pengobatan topikal dengan kortikosteroid, kalsineurin
inhibitor dan retinoid, kortikosteroid intralesi.



LUPUS ERITEMATOSUS DISKOID

I. PENDAHULUAN
Lupus eritematosus merupakan penyakit inflamasi autoimun kronik yang muncul dengan
(1)
berbagai gejala klinis . Spektrum penyakit lupus eritematosus sangat bervariasi, mulai dari
hanya terbatas pada kulit (lupus eritematosus diskoid atau LED) hingga melibatkan manifestasi
sistemik yang dapat mengancam kelangsungan hidup (lupus eritematosus sistemik atau LES) (2).
Lupus eritematosus diskoid dapat muncul pada semua usia, namun lebih sering pada usia
(3,4)
20-40 tahun . Dapat muncul pada semua etnis dan muncul lebih sering pada wanita dari pria
(3) (5)
. Etiologi LED masih belum dimengerti . Kemungkinan dikarenakan gangguan autoimun,
dimana sistem imun secara abnormal menjadikan kulit sebagai target sehingga terjadi inflamasi
(6,7)
dan kemerahan pada kulit . Faktor genetik diduga sebagai salah satu predisposisi timbulnya
penyakit ini, akan tetapi bagaimana hubungannya secara pasti belum diketahui. Hubungan yang
positif dengan HLA-B7,-B8, -Cw7, -DR2, -DR3 dan DQw1 dilaporkan, namun tidak selalu
dikonfirmasi. Beberapa faktor lingkungan yang berhubungan dengan eksaserbasi LED yaitu
trauma 11%, stress 12 %, paparan sinar matahari 5%, infeksi virus 3%, paparan dingin 2% dan
kehamilan 1 % (8,9). Faktor resiko lain untuk terjadinya lupus eritematosus diskoid yaitu merokok
(7)
.
Lesi pada lupus eritematosus diskoid muncul pertama berupa makula-makula merah-
ungu, papul-papul atau plak-plak kecil eritematosus dan pada permukaannya berkembang lesi
hiperkeratotik dengan cepat pada kepala atau leher, selain itu pada wajah, telinga dan ekstensor
(2,3)
lengan . Lesi klasik awal biasanya berkembang menjadi lesi berbentuk koin dengan batas
(2)
yang jelas (diskoid), plak eritema yang ditutupi oleh skuama . Lesi cenderung berkembang
secara sentrifugal dan seiring perkembangannya dapat terjadi follicular plugging dan perubahan
(3)
pigmen . Lesi meluas dengan eritema dan hiperpigmentasi di tepi, yang akan meninggalkan
bekas dengan jaringan parut atrofik sentral yang mencolok, telangiektasis dan hipopigmentasi (2).
Keterlibatan daerah kepala seringnya menyebabkan skar alopesia. Lupus diinduksi oleh paparan
sinar matahari maka dari itu salah satu penanganannya harus menghindari sinar matahari dan
penggunaan tabir surya (3).
Apabila ruam timbul di area malar wajah, lesi dapat menyerupai malar rash pada LES
sehingga dapat didiagnosis banding dengan LES. Selain itu diagnosis banding yang mungkin
1

adalah polymorphous light eruption, dermatitis kontak fotoalergi, karsinoma sel skuamous dan
dermatitis seboroik. Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium (Antinuclear Antibody {ANA} dan Anti double stranded
deoxytribonucleic acid {anti ds DNA}) dan histopatologi (2,10).
Diagnosis LED ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, laboratorium dan
histopatologis (2,8,9,11-13). Gambaran histologi yang tampak adalah ditemukan kelainan pada semua
lapisan epidermis berupa atrofi dan menunjukan hiperkeratosis folikuler yang difus
(hyperkeratosis flugging), pada stratum basalis ditemukan degenerasi hidrofik, sel basal
menunjukkan beberapa disorganisasi berupa kohesi yang lemah dengan rongga-rongga yang
berukuran tidak teratur sehingga membran basalis epidermis dan membran basalis adneksa
mengalami penebalan. Selain itu juga tampak edema dermis dan mengalami degenerasi terutama
pada papilla dermis, pembuluh darah kapiler di dalam dermis berdilatasi, adanya serbukan sel-sel
radang limfositik, terutama di sekeliling folikel rambut, kelenjar lemak dan pembuluh darah.
(2,9)
Sering ditemukan ekstravasasi eritrosit. Apendik mengalami atrofi dan menghilang .
Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk melihat adanya deposisi dari IgG, IgA, IgM serta
komplemen pada taut dermo-epidermal, bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas untuk diagnosis kasus-kasus dimana gejala klinis dan pemeriksaan histopatologinya
meragukan. Pemeriksaan titer ANA dan ds DNA penting pada pasien LED untuk
menggambarkan prognosis dan menyingkirkan kemungkinan LES. Titer ANA ditemukan rendah
pada 30-40 % kasus DLE dan titer ANA yang tinggi (>1:320) menunjukkan kemungkinan
perkembangan kearah LES. Antibodi ds DNA jarang memberikan hasil positif pada pasien LED
(2,10)
.
Penatalaksanaan LED bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum penderita,
mengontrol lesi dan menghambat terjadinya skar atrofi, serta mencegah perkembangan lesi lebih
lanjut. Penatalaksanaan diawali dengan menggunakan pelindung terhadap paparan matahari.
Pilihan pengobatan secara sistemik yaitu menggunakan obat antimalaria dan obat-obat
imunosupresif lainnya seperti methotreksat, azathioprin. Pengobatan topikal dengan
kortikosteroid, kalsineurin inhibitor dan retinoid, selain itu pilihan pengobatan lainnya yaitu
menggunakan kortikosteroid intralesi (2,8,9,11-13).
Obat antimalaria merupakan terapi sistemik lini pertama untuk lupus eritematosus diskoid
(3)
. Terdapat tiga obat antimalaria yaitu kloroquin, hidroklorokuin dan kuinakrin. Untuk lupus
2

eritematosus, dosis kloroquin adalah 250 mg sekali sehari, dosis hidroksiklorokuin 200 sampai
400 mg sekali sehari dan dosis kuinakrin 100 mg sekali sehari setelah makan. Beberapa efek
samping ringan yang dapat muncul seperti nausea, diare, pusing, sakit kepala atau beberapa
orang alergi. Efek samping berat biasanya jarang terjadi namun perlu diperhatikan yaitu masalah
mata (merusak retina), menurunnya sel darah putih, hepatitis, eksaserbasi psoriasis dan
kelemahan (14). Efek samping pada mata lebih sering muncul pada penggunaan klorokuin (3).
Pasien LED kurang dari 5% dapat berkembang menjadi lupus eritematosus sistemik.
Rasa nyeri pada pasien dapat menetap. Lesi atropi dan skar dapat menjadi permanen namun
dengan penanganan secara dini dapat mengurangi lesi atropi dan skar (4).
Berikut ini dilaporkan sebuah kasus LED pada seorang laki-laki usia 55 tahun.

II. LAPORAN KASUS


Seorang laki-laki berusia 55 tahun, suku jawa, tidak bekerja, datang ke poliklinik RSUP
H. Adam Malik Medan pada tanggal 23 September 2008 dengan keluhan utama bercak meninggi,
kemerahan disertai sisik yang halus dengan bagian tengah menghitam disertai rasa perih pada
daerah dahi, pipi, batang hidung, belakang telinga, leher, dada, perut, punggung, ekstremitas atas
dan ekstremitas bawah yang dialami penderita selama + 1 tahun terakhir. Sebelum lesi pertama
kali muncul pasien mengaku tidak ada mengkonsumsi obat atau jamu dan pasien belum pernah
berobat untuk keluhan kulitnya tersebut. Mula-mula lesi hanya berupa bercak kecil kemerahan
yang semakin lama semakin melebar. Bercak kemerahan lama-kelamaan menjadi menebal dan
bersisik, kulit menebal tersebut semakin memerah dan terasa perih jika penderita terpapar sinar
matahari. Dari anamnesis diperoleh bahwa keluarga penderita tidak ada yang menderita penyakit
yang sama. Pasien tidak merasakan adanya nyeri pada sendi, lemah, batuk dan nafsu makan
berkurang. Pasien memiliki hobi memancing. Pasien seorang perokok dan sudah merokok sekitar
20 tahun.
Pada pemeriksaan fisik diperoleh keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, tekanan
darah 110/70 mmHg, frekwensi nadi 86 x/menit, pernafasan 22 x/menit dan suhu tubuh afebris.
Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai plak eritem bagian tengah hiperpigmentasi,
multipel berbatas tegas dengan skuama yang halus pada regio frontalis, regio nasalis, regio
preaurikular, regio nuchae, regio torakalis, regio abdominalis dan regio vetebralis sebagian
berkonfluens. Plak eritema (butterfly rash) disertai skuama halus pada regio malar. Makula eritem
3

berbatas tegas, multipel dengan skuama halus pada regio ekstremitas superior. Makula eritem,
makula hiperpigmentasi berbatas tegas, multipel dengan skuama halus, krusta pada regio
ekstremitas inferior. Mukosa bukal, palatum, konjungtiva, nasal dan genital dalam batas normal.
Gambar 1. a-h Foto pasien pertama datang.

a b c

d e f

g h

Keterangan gambar 1. (a,b,c) Plak eritem bagian tengah hiperpigmentasi multipel berbatas
tegas dengan skuama yang halus pada regio frontalis, regio nasalis, regio preaurikular dan regio
nuchae. Plak eritema (butterfly rash) disertai skuama halus pada regio malar. (d,e) Plak eritem
bagian tengah hiperpigmentasi multipel berbatas tegas dengan skuama yang halus pada regio
torakalis, regio abdominalis dan regio vetebralis sebagian berkonfluens. (f) Makula eritem
4

berbatas tegas multipel dengan skuama halus pada regio ekstremitas superior. (g,h) Makula
eritem, makula hiperpigmentasi berbatas tegas multipel dengan skuama halus, krusta pada regio
ekstremitas inferior.
Pasien didiagnosis banding dengan lupus eritematosus diskoid, lupus eritematosus
sistemik dan drug eruption. Dengan diagnosis sementara yaitu lupus eritematosus diskoid.
Pasien dianjurkan pemeriksaan darah lengkap, urin rutin, fungsi hati, fungsi ginjal, ANA ,
anti ds-DNA dan histopatologi. Konsul ke bagian penyakit dalam dan mata.
Hasil konsul ke bagian penyakit dalam dan bagian mata tidak dijumpai kelainan.
Pada penderita diberi penjelasan mengenai penyakit yang diderita dan disarankan untuk
melindungi diri dari paparan sinar matahari dengan menggunakan pakaian yang tertutup, topi dan
tabir surya. Sebagai terapi topikal diberikan krim hidrokortison 1% yang dioleskan 2xsehari pada
daerah wajah, krim hidrokortison 2,5% dioleskan 2xsehari pada badan dan pemberian tabir surya
berupa lotion dengan SPF 33.
Satu minggu kemudian pasien datang dengan membawa hasil pemeriksaan laboratorium
tanggal 23 September 2008 menunjukkan darah rutin, urin rutin, fungsi hati, fungsi ginjal dalam
batas normal. Pada pemeriksaan ANA 4 (normal <20), anti ds DNA 20 IU/ml (negatif, 0-200
IU/ml).
Pada pemeriksaan histopatologis dari jaringan kulit dipunggung bahwa tampak sediaan
jaringan kulit yang mengalami atrofi dilapisi epitel skuamous berlapis dengan basal membran
mengalami reaksi likenoid sub-epidermal tampak sebukan sel-sel radang limfosit, yang prominen,
juga tampak kelompok kelenjar sebasea dalam batas normal. Stroma terdiri dari jaringan kolagen
yang proliferasi. Tanda-tanda keganasan tidak dijumpai. Kesimpulan: menyokong suatu lupus
eritematosus diskoid.
Diagnosis kerja pada pasien ini lupus eritematosus diskoid, ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan dermatologis, laboratorium dan histopatologis.
Diagnosis kerja lupus eritematosus diskoid. Terapi topikal diberikan krim hidrokortison
1% yang dioleskan 2xsehari pada daerah wajah, krim hidrokortison 2,5% dioleskan 2xsehari pada
badan dan pemberian tabir surya berupa lotion dengan SPF 33. Untuk terapi sistemik diberikan
kloroquin 1x250 mg/hari. Dan sebelum dilakukan pengobatan dengan kloroquin penderita terlebih
dahulu menjalani pemeriksaan mata dan dari pemeriksaan mata diperoleh hasil visus dan

5

funduskopi dalam batas normal, serta tidak dijumpai retinopati sehingga kioroquin dapat
diberikan.
Pada kontrol setelah 1 bulan pengobatan (28 Oktober 2008), plak eritem multipel berbatas
tegas dengan skuama yang halus semakin menipis pada regio frontalis, regio nasalis, regio
preaurikular dan regio nuchae. Plak eritema (butterfly rash) disertai skuama halus sudah mulai
menipis pada regio malar. Plak eritem bagian tengah hiperpigmentasi multipel berbatas tegas
dengan skuama yang halus semakin menipis pada regio torakalis, regio abdominalis dan regio
vetebralis. Makula eritem berbatas tegas dengan skuama halus mulai menipis pada regio
ekstremitas superior. Makula eritem dan hipopigmentasi pada regio ekstremitas inferior. Terapi
masih diteruskan.

Gambar 2. a-f Foto kontrol.

a b c

d e f

Keterangan gambar 2. (a,b,c) Plak eritem multipel berbatas tegas dengan skuama yang halus
semakin menipis pada regio frontalis, regio nasalis, regio preaurikular dan regio nuchae. Plak
eritema (butterfly rash) disertai skuama halus sudah mulai menipis pada regio malar. (d,e) Plak
eritem bagian tengah hiperpigmentasi multipel berbatas tegas dengan skuama yang halus semakin

6

menipis pada regio torakalis, regio abdominalis dan regio vetebralis. (f) Makula eritem berbatas
tegas dengan skuama halus mulai menipis pada regio ekstremitas superior.
Pada kontrol setelah 4 bulan pengobatan (9 Januari 2009) terdapat kamajuan dimana lesi-
lesi sudah mulai berkurang. Penderita dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ke bagian mata
dan penyakit dalam dan hasil pemeriksaan tidak dijumpai adanya kelainan. Terapi diteruskan.

Gambar 3. a-f Foto kontrol.

a b c

d e f
Keterangan gambar 3. (a,b,c) Makula eritem multipel berbatas tegas dengan skuama yang halus
pada regio frontalis, regio malar, regio nasalis, regio preaurikular dan regio nuchae. (d,e) Makula
eritem bagian tengah hiperpigmentasi multipel berbatas tegas dengan skuama yang halus, makula
hipopigmentasi pada regio torakalis, regio abdominalis dan regio vetebralis. (f) Makula
hipopigmentasi pada regio ekstremitas superior.
Pada kontrol setelah 7 bulan pengobatan (7 April 2009), lesi-lesi hampir tidak tampak lagi.
Terapi masih diteruskan kecuali hidrokortison 1% pada wajah tidak digunakan lagi.

7

Gambar 4. (a-c) Foto kontrol.

a b c

Keterangan gambar 4. (a) Makula eritem multipel berbatas tegas dengan skuama yang halus
sudah tidak ada lagi pada regio frontalis, regio malar, regio nasalis, regio preaurikular dan regio
nuchae. (b) Makula eritem dan makula hiperpigmentasi pada regio torakalis, regio abdominalis.
(c) Makula eritem dan makula hiperpigmentasi multipel pada regio vetebralis.
Prognosis quo ad vitam ad bonam, quo ad functionam ad bonam, dan quo ad sanationam
dubia.

III. DISKUSI
Diagnosis LED ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, laboratorium dan
histopatologis. Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan bercak meninggi, kemerahan disertai
sisik yang halus dengan bagian tengah menghitam disertai rasa perih pada daerah dahi, pipi,
batang hidung, belakang telinga, leher, dada, perut, punggung, ekstremitas atas dan ekstremitas
bawah yang dialami penderita selama + 1 tahun terakhir. Bercak kemerahan lama-kelamaan
menjadi menebal dan bersisik, kulit menebal tersebut semakin memerah dan terasa perih jika
penderita terpapar sinar matahari. Usia pasien 55 tahun, memiliki hobby memancing tanpa
menggunakan pakaian dan tabir surya. Pasien juga seorang perokok, dimana pasien sudah
merokok sekitar 20 tahun. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa LED lebih sering terjadi
pada usia dekade keempat, serta salah satu faktor lingkungan yang berhubungan dengan
(8,9)
eksaserbasi LED adalah paparan sinar matahari . Faktor resiko lain yaitu merokok dimana
merokok merupakan salah satu faktor resiko untuk terjadinya LED (7).
Pada pemeriksaan klinis dijumpai plak eritem bagian tengah hiperpigmentasi multipel
berbatas tegas dengan skuama yang halus pada regio frontalis, regio nasalis, regio preaurikular,

8

regio nuchae, regio torakalis, regio abdominalis dan regio vetebralis sebagian berkonfluens. Plak
eritema (butterfly rash) disertai skuama halus pada regio malar. Makula eritem berbatas tegas
dengan skuama halus pada regio ekstremitas superior. Makula eritem, makula hiperpigmentasi
berbatas tegas dengan skuama halus, krusta pada regio ekstremitas inferior. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan bahwa gambaran klinis LED pada awalnya berupa makula-makula merah-ungu,
papul-papul atau plak-plak kecil eritematosus dan pada permukaannya berkembang lesi
hiperkeratotik dengan cepat pada kepala atau leher, selain itu pada wajah, telinga dan ekstensor
lengan (2,3). Lesi klasik awal biasanya berkembang menjadi lesi berbentuk koin dengan batas yang
jelas (diskoid), plak eritema yang ditutupi oleh skuama (2).
Sekitar 95 % kasus LED terbatas hanya pada kelainan kulit saja. Pada kasus ini dari hasil
konsul ke bagian penyakit dalam maupun dari hasil pemeriksaan laboratorium tidak terbukti
adanya keterlibatan sistemik dan hasil laboratorium dalam batas normal. Sedangkan pada
pemeriksaan ANA dan anti ds DNA adalah negatif. Berdasarkan kepustakaan, pemeriksaan
laboratorium pada LED dapat dijumpai kelainan seperti peningkatan laju endap darah, leukopeni,
ANA dengan hasil positif lemah atau negatif, sedangkan anti ds DNA, sel LE adalah negatif (2,12).
Menurut klasifikasi Giliam, LED disebut juga lupus eritematosus diskoid klasik yang
termasuk dalam kelompok lupus eritematosus kutaneus kronik (LEKK). LED terdiri atas LED
terlokalisasi dan LED generalisata (2,9).
Pada pemeriksaan histopatologis dari jaringan kulit dipunggung bahwa tampak sediaan
jaringan kulit yang mengalami atrofi dilapisi epitel skuamous berlapis dengan basal membran
mengalami reaksi likenoid sub-epidermal tampak sebukan sel-sel radang limfosit, yang prominen,
juga tampak kelompok kelenjar sebasea dalam batas normal. Stroma terdiri dari jaringan kolagen
yang proliferasi. Tanda-tanda keganasan tidak dijumpai. Kesimpulan: menyokong suatu lupus
eritematosus diskoid. Berdasarkan kepustakaan gambaran histopatologis pada LED ditemukan
kelainan pada semua lapisan epidermis berupa atrofi dan menunjukan hiperkeratosis folikuler
yang difus (hyperkeratosis flugging), pada stratum basalis ditemukan degenerasi hidrofik, sel
basal menunjukkan beberapa disorganisasi berupa kohesi yang lemah dengan rongga-rongga yang
berukuran tidak teratur sehingga membran basalis epidermis dan membran basalis adneksa
mengalami penebalan. Selain itu juga tampak edema dermis dan mengalami degenerasi terutama
pada papilla dermis, pembuluh darah kapiler di dalam dermis berdilatasi, adanya serbukan sel-sel

9

radang limfositik, terutama di sekeliling folikel rambut, kelenjar lemak dan pembuluh darah.
Sering ditemukan ekstravasasi eritrosit. Apendik mengalami atrofi dan menghilang (2,9).
Pasien didiagnosis banding dengan lupus eritematosus diskoid, lupus eritematosus
sistemik dan drug eruption. Hal ini sesuai kepustakaan apabila ruam timbul di area malar wajah,
lesi dapat menyerupai malar rash pada LES sehingga dapat didiagnosis banding dengan LES.
Untuk mendiagnosis LES harus memuat sedikitnya 4 dari 11 kriteria ARA. Namun pada pasien
ini tidak memenuhi kriteria tersebut dan hasil ANA dan anti ds DNA pada LES positif sehingga
(13)
LES dapat disingkirkan . Drug eruption dapat disingkirkan dikarenakan pasien tidak ada
riwayat menggunakan obat-obatan sebelum ruam timbul (15).
Tujuan penatalaksaan pada kasus ini adalah untuk memperbaiki keadaan umum penderita,
mengontrol lesi dan menghambat terjadinya skar atrofi, serta mencegah perkembangan lesi lebih
lanjut. Pada kasus ini untuk kelainan kulit yang bersifat fotosintesis diberikan tabir surya dengan
SPF 33 serta disarankan pada penderita untuk menghindari paparan sinar matahari dan pada lesi
diberikan topikal kortikosteroid potensi lemah. Terapi sistemik diberikan antara lain antimalaria.
Antimalaria merupakan pilihan utama dalam pengobatan LED. Mekanisme kerja antimalaria pada
LED adalah efek anti inflamasi dan imunosupresif, juga mempunyai efek mengurangi
fotosensitiftas. Diberikan kloroquin dengan dosis 1x250 mg/hari. Terapi dengan tabir surya,
kortikosteroid topikal dan preparat antimalaria biasanya efektif digunakan untuk pengobatan LED
(2,8,9,11-13)
.
Prognosis pasien ini adalah baik namun dapat kambuh kembali. Pasien dianjurkan untuk
kontrol setiap 4 minggu sekali. Hal ini sesuai kepustakaan dimana dikatakan prognosis pasien
LED lebih baik dibandingkan LES. Namun dapat kembali kambuh apabila pasien tidak
menghindari faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan LED (2,3).

10

DAFTAR PUSTAKA

1. Fabbri P, dr, Cardinali C, dr, Giomi B, dr, Caproni M, dr. Cutaneous lupus
erythematosus. Diunduh pada tanggal 11 Juni 2012. Tersedia pada:
http://www.orphanet/data/patho/GB/uk-cutaneous-lupus
2. Costner MI, Sontheimer RD. Lupus eritematosus. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008. p.1515-35.
3. Panjwani S, MD, Msc, FRACGP. Early diagnosis and treatment of discoid lupus
erythematosus. J Am Broard Fam Med 2009;22:206-13.
4. Callen M.D. MD, James W.D. MD. Diskoid lupus erythematosus. Diunduh pada tanggal
15 Juni 2012. Tersedia pada:
http://misc.medscape.com/pi/android/medscapeapp/html/A1065529-business.html
5. Lupus - discoid lupus erythematosus (DLE). Diunduh pada tanggal 11 Juni 2012.
Tersedia pada: www.bettehealt.vic.gov.au
6. Lupus-systemic lupus erythematosus (SLE). Diunduh pada tanggal 15 Juni 2012.
Tersedia pada: http://www.lef.org/protocols/immune_connective_joint/lupus_01.htm
7. Discoid lupus erythematosus. Diunduh pada tanggal 15 Juni 2012. Tersedia pada:
http://www.localhealth.com/article/discoid-lupus-erythematosus
8. Goodfield MJD, Jones SK, Veale DJ. The Connective Tissue Diseases. Dalam : Burns
T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-8.
Wiley Blackwell.2010. p.51.1-51.64.
9. Adam AM, Monalisa, Zabudin AN, Rasid NHM, Palin NT. Lupus Eritematosus
Diskoid.Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Hasanuddin.2011. Dalam:
http://www.scribd.com/doc/47533365/Lupus-Erythematosus-Discoid
10. Gawkrodger DJ. Connective tissues diseases.Dalam Gawkrodger DJ,editor. Edisi ke-1.
London :Elsivier science;2002.p.76-77
11. Callen JP. Discoid Lupus Erythematosus. 2001. Di unduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1065529-overview

11

12. James WD, Berger TG, Elston DM. Connective Tissue Diseases. Andrews’s Diseases
of The Skin: Clinical Dermatology. Edisi ke-10. Philadelphia: WB Saunders;
2006.p.157-66.
13. Djuanda S. Penyakit Jaringan Konektif. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah
S.eds.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi ke-5. Balai Penerbit FK UI, Jakarta
2008.h.264-67.
14. Reeves W.H. MD. Use of antimalarials in lupus. University of Florida Center for
Autoimmune Disease. 2003.
15. Hamzah M. Erupsi obat alergik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.eds.Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2008.h.154-8.

12

Anda mungkin juga menyukai