PSORIASIS VULGARIS
Disusun oleh:
Anastasia Citra Purwani
112011101001
Dokter Pembimbing:
dr. Rosmarini E. S. H., M.sc., Sp.KK
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residif,
ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dan skuama kasar,
berlapis-lapis serta transparan; disertai fenomena tetesan lilin, Aupitz dan Kobner
(Djuanda, 2013)
Dewasa ini kasus psoriasis makin sering dijumpai. Meskipun penyakit ini tidak
menyebabkan kematian namun menyebabkan gangguan kosmetik bagi penderitanya.
Insidens pada orang kulit putih lebih tinggi daripada kulit berwarna. Di Kaukasia angka
kejadian psoriasis sekitar 2-5% populasi penduduknya sedangkan di Asia sekitar 0,1-0,3
% dari populasi penduduknya. Dengan didominasi oleh usia dewasa antara usia 35
tahun (Marks and Miller, 2013).
Penyebab psoriasis masih belum diketahui, namun terdapat beberapa faktor resiko
timbulnya psoriasis seperti faktor genetik dan faktor imunologi. Berbagai faktor
pencetus pada psoriasis diantaranya stres psikis, infeksi fokal, trauma (fenomena
Kobner), endoktrin, gangguan metabolik, obat, alkohol dan merokok. Stress psikis
merupakan faktor pencetus yang utama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif,
ditandai dengan bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar,
berlapis-lapis dan transparan; disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner
(Djuanda, 2013).
2.2 Epidemiologi
Kasus psoriasis makin sering dijumpai. Meskipun penyakit ini tidak menyebabkan
kematian, tetapi menyebabkan gangguan kosmetik, terlebih lebih mengingat perjalanan
penyakitnya yang menahun dan residif. Insiden pada orang kulit putih lebih tinggi
daripada kulit berwarna. Di Eropa dilaporkan sebanyak 3-7%, di Amerika Serikan 1-
2%, sedangkan di Jepang 0,6%. Pada bangsa berkulit hitam misalnya Afrika jarang
dilaporkan demikian pula bangsa Indian di Amerika (Burns et al., 2010).
Insiden pada pria agak lebih banyak daripada wanita, psoriasis terdapat pada
semua usia namun umumnya angka kejadian meningkat pada usia dewasa berkisar
antara 55 dan 60 tahun (Burns et al., 2010).
2.3 Etiopatogenesis
Faktor genetik berperan. Bila orang tuanya tidak menderita psoriasis risiko
mendapat psoriasis 12%, sedangkan jika salah seorang orang tuanya mendapat psoriasis
risikonya mencapai 34-39%. Berdasarkan awitan penyakit dikenal dua tipe: psoriasis
tipe 1 dengan awitan dini bersifat familial, psoriasis tipe II dengan awitan lambat
bersifat nonfamilial. Hal lain yang menyokong adanya faktor genetik ialah bahwa
psoriasis berkaitan dengan HLA. Psoriasis tipe I berhubungan dengan HLA-B13, B17,
Bw57 dan Cw6. Psoriasis tipe II berkaitan dengan HLA-B27 dan CW2, sedangkan
psoriasis pustulosa berkorelasi dengan HLA-B27 (Djuanda, 2013).
Faktor imunologik jug berperan. Defek genetik pada psoriasis dapat diekspresikan
pada salah satu dari tiga jenis sel, yakni limfosit T, sel penyaji antigen (dermal) atau
keratinosit. Keratinosit psoriasis membuthkan stimuli untuk aktivasinya. Lesi psoriasis
matang umumnya penuh dengan sebukan limfosit T CD4 dengan sedikit sebukan
limfositik dalam epidermis. Sedangkan pada lesi baru umumnya lebih didominasi oleh
limfosit T CD8. Pada lesi psoriasis terdapat sekitar 17 sitokin yang produksinya
bertambah. Sel langerhans juga berperan pada imunopatogenesis psoriasis. Terjadinya
proliferasi epidermis diawali dengan adanya pergerakan antigen, baik eksogen maupun
endogen oleh sel langerhans. Pada psoriasis pembentukan epidermis (turn over time)
lebih cepat, hanya 3 4 hari, sedangkan pada kulit normal lamanya 27 hari. Lebih dari
90% kasus psoriasis dapat mengalami remisi setelah diobati oleh imunosupresif.
Berbagai faktor pencetus pada psoriasis yang disebut dalam kepustakaan,
diantaranya stres psikis, infeksi fokal, trauma (fenomena Kobner), endokrin, gangguan
metabolik, obat, alkohol dan merokok. Stres psikis merupakan faktor pencetus utama.
Infeksi fokal mempunyai hubungan erat dengan salah satu bentuk psoriasis ialah
psoriasis gutata, sedangkan hubungnnya dengan psoriasis vulgaris tidak jelas. Pernah
dilaporkan kasus-kasus psoriasis gutata yang sembuh setelah diadakan tonsilektomi.
Umumnya infeksi disebabkan oleh Streptococcus. Faktor endokrin rupanya
mempengaruhi perjalanan penyakit. Puncak insiden psoriasis pada wkatu pubertas dan
menopause. Pada waktu kehamilan umunya membaik, sedangkan pada masa
paskapartus memburuk. Gangguan metabolisme, contohnya hipokalsemia dan dialisis
telah dilaporkan sebagai faktor pencetus. Obat yang umumnya dapat menyebabkan
residif ialah beta adrenergik blocking agents, litium, antimalaria dan penghentian
mendadak kortikosteroid sistemik (Djuanda, 2013).
c. Psoriasis Inversa
Lesi psoriasis mempunyai predileksi pada daerah mayor lipatan kulit seperti
axilla, genito-crural dan leher (Goldsmiths et al., 2008).
d. Psoriasis Eksudativa
Bentuk ini sangat jarang biasanya kelainan pada psoriasis itu dalam bentuk kering,
tetapi pada jenis ini kelainannya bersifat eksudatif seperti pada dermatitis akut
(Djuanda, 2013).
e. Psoriasis Seboroik
Gambaran klinis psoriasis seboroik merupakan gabungan antara psoriasis dan
dermatitis seboroik, skuama yang biasanya kering menjadi berminyak dan agak lunak.
Selian berlokasi pada tempat yang lazim (scalp, glabella, lipatan nasolabial, perioral dan
presternal), juga terdapat pada tempat seboroik (Djuanda, 2013).
f. Psoriasis Pustulosa
Ada 2 pendapat mengenai psoriasis pustulosa, pertama dianggap sebagai penyakit
tersendiri, kedua dianggap sebagai varian psoriasis. Terdapat 2 bentuk psoriasis
pustulosa yaitu:
Psoriasis pustulosa Palmoplantar (Barber)
Psoriasis pustulosa palmoplantar bersifat kronik dan residif, mengenai telapak
tangan atau telapak kaki atau keduanya. Kelainan kulit berupa kelompok-
kelompok pustul kecil steril dan dalam, di atas kulit yang eritematosa, disertai
rasa gatal (Djuanda, 2013).
Psoriasis Pustulosa Generalisata Akut (Von Zumbusch)
Psoriasis pustulata generalisata akut (von Zumbusch) dapat ditimbulkan oleh
berbagai faktor provokatif, misalnya obat yang tersering karena penghentian
kortikosteroid sistemik. Obat lain contohnya, penisilin dan derivatnya serta
antibiotik betalaktam yang lain, hidrklorokuin, kalium iodide, morfin,
sulfapiridin, sulfonamide, kodein, fenilbutason, dan salisilat. Faktor lain selain
obat ialah hipokalsemia, sinar matahari, akohol, stres emosional, serta infeksi
bakteri dan virus. Penyakit ini dapat timbul pada penderita yang sedang atau
telah mendapat psoriasis. Dapat pula muncul pada penderita yang belum pernah
menderita psoriasis. Gejala awalnya kulit nyeri, hiperalgesia disertai gejala
umum berupa demam, malaese, nausea, anoreksia. Plak psoriasis yang telah ada
makin eritematosa. Setelah beberapa jam timbul banyak plak edematosa dan
eritematosa pada kulit normal. Dalam beberapa jam timbul banyak pustu miliar
pada plak-plak tersebut. Dalam sehari pustul-pustul berkonfluensi membentuk
lake of pus berukuran beberapa cm. Pustul besar spongioform terjadi akibat
migrasi neutrofil ini beragregasi diantara keratinosit yang menipis dan
berdegenerasi. Kelainan- kelainan semacam itu akan terus menerus dan dapat
menjadi eritroderma. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis,
kultus pus dari pustul steril (Djuanda, 2013).
g. Eritroderma Psoriatik
Psoriasis eritroderma dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang terlalu kuat
atau karena penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang khas untuk psoriasis
tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan skuama tebal universal. Adakalanya lesi
psoriasis masih tampak samar-samar yakni lebih eritematosa dan kulitnya lebih
meninggi (Djuanda, 2013).
2.6 Histopatologi
Psoriasis memberi gambaran histopatologi yang khas parakeratosis dan akantosis.
Pada stratum spinosum terdapat kelompok leukosit yang disebut abses munro. Selain itu
terdapat pula papilomatosis dan vasodilatasi di subepidermis (Djuanda, 2013).
2.7 Pemeriksaan Laboratorium
Pada penyakit ini, pemeriksaan tidak bermanfaat dalam menunjang diagnosis.
Namun terdapat beberapa kemungkinan kondisi yang terjadi pada psoriasis.
Serum asam urat meningkat pada lebih dari 50% orang dengan lesi yang luas.
Sehingga terjadi peningkatan resiko gout artritis dan biasanya serum asam urat dapat
normal kembali setelah terapi. Marker dari inflamasi sistemik adalah peningkatan dari
C-reaktif protein, alfa 2 makroglobulin dan erytrocit sedimen rate (Goldsmiths et al.,
2008).
2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik lengkap dan kadang diperlukan
pemeriksaan penunjang secara mikroskopis. Anamnesis yang lengkap terhadap riwayat
perjalanan penyakit sangat membantu penegakkan diagnosis psoriasis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
histopatologi. Apabila ditemukan fenomena tetesan lilin, fenomena Aupitz dan
fenomena Kobner dapat memberikan diagnosis yang tepat.
Pengobatan Sistemik
Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat mengontrol psoriasis dengan dosis ekuivalen prednisone
30mg per hari. Setelah membaik dosis diturunkan perlahan-lahan lalu diberikan dosis
pemeliharaan. Penghentian obat secara mendadak akan menyebabkan kekambuhan dan
dapat terjadi psoriasis pustulosa generalisata (Djuanda, 2013).
Obat Sitostatik
Obat sitostatik yang biasa digunakan adalah metotrexate. Obat ini bekerja dengan
cara menghambat enzim dihidrofolat reduktase, sehingga menghambat sintesis timidilat
dan purin. Obat ini menunjukkan hambatan replikasi dan fungsi sel T dan mungkin juga
sel B karena adanya efek hambatan sintesis.
Indikasinya ialah untuk psoriasis, psoriasis pustulosa, psoriasis arthritis dengan
lesi kulit dan eritroderma karena psoriasis yang sukar terkontrol dengan obat standar.
Kontraindikasinya ialah bila terdapat kelainan hepar, ginjal, system hematopoetik,
kehamilan, penyakit infeksi aktif (misalnya TBC, Ulkus peptikum, colitis ulserosa dan
psikosis). Pada awalnya metotrexate diberikan dengan dosis inisial 5 mg per orang
dengan psoriasis untuk melihat apakah ada gejala sensitivitas atau gejala toksik. Jika
tidak terjadi efek yang tidak diinginkan maka MTX diberikan dengan dosis 3 x 2.5mg
dengan interval 12 jam selama 1 minggu dengan dosis total 7.5mg. Jika tidak ada
perbaikan maka dosis dinaikkan 2,5 - 5 mg per minggu dan biasanya dengan dosis 3 x 5
mg akan tampak ada perbaikan. Cara lain adalah dengan pemberian MTX i.m dosis
tunggal sebesr 7,5 25 mg. Tetapi dengan cara ini lebih banyak menimbulkan reaksi
sensitivitas dan reaksi toksik. Jika penyakit telah terkontrol maka dosis perlahan
diturunkan dan diganti ke pengobatan secara topical.
Setiap 2 minggu dilakukan pemeriksaan hematologic, urin lengkap, fungsi ginjal
dan fungsi hati. Bila jumlah leukosit < 3500/uL maka pemberian MTX dihentikan. Bila
fungsi hepar baik maka dilakukan biopsy hepar setiap kali dosis mencapai dosis total
1,5 gram, tetapi bila fungsi hepar abnormal maka dilakukan biopsy hepar bila dosis total
mencapai 1 gram.
Efek samping dari penggunaan MTX adalah nyeri kepala, alopecia, saluran cerna,
sumsul tulang, hepar dan lien. Pada saluran cerna berupa nausea, nyeri lambung,
stomatitis ulcerosa dan diare. Pada reaksi yang hebat dapat terjadi enteritis hemoragik
dan perforasi intestinal. Depresi sumsum tulang menyebabkan timbulnya leucopenia,
trombositopenia dan kadang-kadang anemia. Pada hepar dapat terjadi fibrosis dan
sirosis (Djuanda, 2013).
Levodopa
Levodopa sebenarnya dipakai untuk penyakit Parkinson. Pada beberapa pasien
Parkinson yang juga menderita psoriasis dan diterapi dengan levodopa menunjukkan
perbaikan. Berdasarkan penelitian, Levodopa menyembuhkan sekitar 40% pasien
dengan psoriasis. Dosisnya adalah 2 x 250 mg 3 x 250 mg. Efek samping levodopa
adalah mual, muntah, anoreksia, hipotensi, gangguan psikis dan gangguan pada jantung
(Djuanda, 2013).
Diaminodifenilsulfon
Diaminodifenilsulfon (DDS) digunakan pada pengobatan psoriasis pustulosa tipe
Barber dengan dosis 2 x 100 mg sehari. Efek sampingnya adalah anemia hemolitik,
methemoglobinuria dan agranulositosis (Djuanda, 2013).
Siklosporin
Siklosporin berikatan dengan siklofilin selanjutnya menghambat kalsineurin.
Kalsineurin adalah enzim fosfatase dependent kalsium dan memgang peranan kunci
dalam defosforilasi protein regulator di sitosol, yaitu NFATc (Nuclear Factor of
Activated T Cell). Setelah mengalami defosforilasi, NFATc ini mengalami translokasi
ke dalam nukleus untuk mengaktifkan gen yang bertanggung jawab dalam sintesis
sitokin, terutama IL-2. Siklosporin juga mengurangi produksi IL-2 dengan cara
meningkatkan ekspresi TGF- yang merupakan penghambat kuat aktivasi limfosit T
oleh IL-2. Meningkatnya ekspresi TGF- diduga memegang peranan penting pada efek
imunosupresan siklosporin (Djuanda, 2013).
Efeknya ialah imunosupresif. Dosisnya 1-4 mg/kgbb/hari. Bersifat nefrotoksik
dan hepatotoksik. Hasil pengobatan untuk psoriasis baik, hanya setelah obat dihentikan
dapat terjadi kekambuhan (Djuanda, 2013).
Terapi biologic
Obat biologic merupakan obat yang baru dengan efeknya memblok langkah
molecular spesifik yang penting paa pathogenesis psoriasis. Contoh obatnya adalah
alefaseb, efalizumab dan TNF--antagonist (Djuanda, 2013).
Pengobatan Topikal
Preparat Ter
Obat topikal yang biasa digunakan adalah preparat ter, yang efeknya adalah anti
radang. Menurut asalnya preparat ter dibagi menjadi 3, yakni yang berasal dari:
Fosil, misalnya iktiol.
Kayu, misalnya oleum kadini dan oleum ruski.
Batubara, misalnya liantral dan likuor karbonis detergens
Preparat ter yang berasal dari fosil biasanya kurang efektif untuk psoriasis, yang
cukup efektif ialah yang berasal dari batubara dan kayu. Ter dari batubara lebih efektif
daripada ter berasal dari kayu, sebaliknya kemungkinan memberikan iritasi juga besar.
Pada psoriasis yang telah menahun lebih baik digunakan ter yang berasal dari batubara,
karena ter tesbut lebih efektif daripada ter yang berasal dari kayu dan pada psoriasis
yang menahun kemungkinan timbulnya iritasi kecil. Sebaliknya pada psoriasis akut
dipilih ter dari kayu, karena jika dipakai ter dari batu bara dikuatirkan akan terjadi iritasi
dan menjadi eritroderma.
Ter yang berasal dari kayu kurang nyaman bagi penderita karena berbau kurang
sedap dan berwarna coklat kehitaman. Sedangkan likuor karbonis detergens tidak
demikian. Konsentrasi yang biasa digunakan 2 5%, dimulai dengan konsentrasi
rendah, jika tidak ada perbaikan konsentrasi dinaikkan. Supaya lebih efektif, maka daya
penetrasi harus dipertinggi dengan cara menambahkan asam salisilat dengan
konsentrasi 3 5 %. Sebagai vehikulum harus digunakan salap karena salap mempunyai
daya penetrasi terbaik (Djuanda, 2013).
Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal memberi hasil yag baik. Potensi dan vehikulum bergantung
pada lokasinya. Pada skalp, muka dan daerah lipatan digunakan krim, di tempat lain
digunakan salap. Pada daerah muka, lipatan dan genitalia eksterna dipilih potensi
sedang, bila digunakan potensi kuat pada muka dapat memberik efek samping di
antaranya teleangiektasis, sedangkan di lipatan berupa strie atrofikans. Pada batang
tubuh dan ekstremitas digunakan salap dengan potensi kuat atau sangat kuat bergantung
pada lama penyakit. Jika telah terjadi perbaikan potensinya dan frekuensinya dikurangi
(Djuanda, 2013).
Ditranol (Atralin)
Obat ini dikatakan efektif. Kekurangannya adalah mewarnai kulit dan pakaian.
Konsentrasi yang digunakan biasanya 0,2-0,8 persen dalam pasta, salep, atau krim.
Lama pemakaian hanya jam sehari sekali untuk mencegah iritasi. Penyembuhan
dalam 3 minggu (Djuanda, 2013).
Calcipotriol
Calcipotriol ialah sintetik vitamin D. Preparatnya berupa salep atau krim 50 mg/g.
Perbaikan setelah satu minggu. Efektivitas salep ini sedikit lebih baik daripada salap
betametason 17-valerat. Efek sampingnya pada 4 20% berupa iritasi, yakni rasa
terbakar dan tersengat, dapat pula telihat eritema dan skuamasi. Rasa tersebut akan
hilang setelah beberapa hari obat dihentikan (Djuanda, 2013).
Tazaroten
Merupakan molekul retinoid asetilinik topikal, efeknya menghambat proliferasi
dan normalisasi petanda differensiasi keratinosit dan menghambat petanda proinflamasi
pada sel radang yang menginfiltrasi kulit. Tersedia dalam bentuk gel, dan krim dengan
konsentrasi 0,05 % dan 0,1 %. Bila dikombinasikan dengan steroid topikal potensi
sedang dan kuat akan mempercepat penyembuhan dan mengurangi iritasi. Efek
sampingnya ialah iritasi berupa gatal, rasa terbakar dan eritema pada 30 % kasus, juga
bersifat fotosensitif (Djuanda, 2013).
Emolien
Efek emolien ialah melembutkan permukaan kulit. Pada batang tubuh (selain
lipatan), ekstremitas atas dan bawah biasanya digunakan salep dengan bahan dasar
vaselin 1-2 kali/hari, fungsinya juga sebagai emolien dengan akibat meninggikan daya
penetrasi bahan aktif. Jadi emolien sendiri tidak mempunyai efek antipsoriasis
(Djuanda, 2013).
PUVA
Karena psoralen bersifat fotoaktif, maka dengan UVA akan terjadi efek yang
sinergik. Mula-mula 10 20 mg psoralen diberikan per os, 2 jam kemudian dilakukan
penyinaran. Terdapat bermacam-macam bagan, di antaranya 4 x seminggu.
Penyembuhan mencapai 93% setelah pengobatan 3 4 minggu, setelah itu dilakukan
terapi pemeliharaan seminggu sekali atau dijarangkan untuk mencegah rekuren. PUVA
juga dapat digunakan untuk eritroderma psoriatik dan psoriasis pustulosa. Beberapa
penyelidik mengatakan pada pemakaan yang lama kemungkinan akan terjadi kanker
kulit (Djuanda, 2013).
2.11 Prognosis
Psoriasis tidak menyebabkan kematian tetapi menggangu kosmetik karena
perjalanan penyakitnya bersifat kronis dan residif. Psoriasis gutata akut timbul cepat.
Terkadang tipe ini menghilang secara spontan dalam beberapa minggu tanpa terapi.
Seringkali, psoriasis tipe ini berkembang menjadi psoriasis plak kronis. Penyakit ini
bersifat stabil, dan dapat remisi setelah beberapa bulan atau tahun, dan dapat saja
rekurens sewaktu-waktu seumur hidup. Pada psoriasis tipe pustular, dapat bertahan
beberapa tahun dan ditandai dengan remisi dan eksaserbasi yang tidak dapat dijelaskan.
Psoriasis vulgaris juga dapat berkembang menjadi psoriasis tipe ini. Pasien denan
psoriasis pustulosa generalisata sering dibawa ke dalam ruang gawat darurat dan harus
dianggap sebagai bakteremia sebelum terbukti kultur darah menunjukkan negatif.
Relaps dan remisi dapat terjadi dalam periode bertahun-tahun.
BAB III
REFLEKSI KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan utama
Bercak kemerahan yang gatal
Riwayat Pengobatan
Disangkal
Riwayat Alergi
Disangkal
3.6 Tatalaksana
Topikal : Salep Betametasone dipropionate 0,05% dioles 2x sehari
Oral : Metotrexate 3 x 2,5 mg interval 12 jam dalam seminggu
Edukasi :
o Memberi penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit,
penyebab serta prognosis penyakit yang diderita pasien.
o Mengedukasi pasien agar tidak melakukan manipulasi pada lesi.
o Cara penggunaan obat, kontrol kembali jika obat habis untuk
mengevaluasi pengobatan.
3.7 Prognosis
Dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA
Burns, Breathnach, Cox, Griffiths. 2010. Rocks Textbook of Dermatology 8th ed.
Wiley Blackwell: UK.
Djuanda, Adi. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Badan Penerbit FK UI: Jakarta.
Marks, James and Miller Jeffrey. 2013. Lookingbill and Marks Principles of
Dermatology 5th ed. Elsevier: China