Anda di halaman 1dari 28

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Psoriasis merupakan suatu penyakit autoimun bersifat kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, serta disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner (Djuanda, 2007).

3.2 Epidemiologi Kasus psoriasis makin sering ditemukan saat ini. Penyakit ini tidak menyebabkan kematian, tetapi menyebabkan gangguan kosmetik karena perjalanan penyakit ini bersifat menahun dan residif. Di Eropa dilaporkan kasus sebanyak 3-7%, di Amerika Serikat 1-2%, sedangkan di Jepang 0,6%. Pada bangsa berkulit hitam, misalnya di Afrika, jarang dilaporkan, demikian pula bangsa Indian di Amerika. Insiden pada pria agak lebih banyak daripada wanita. Psoriasis terdapat pada semua usia tetapi umumnya pada orang dewasa (Djuanda, 2007). Data nasional prevalensi psoriasis di Indonesia belum diketahui. Namun Cholis, dkk. melaporkan rata-rata prevalensi psoriasis pada 10 rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi antara 0,59-0,92%. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, selama tahun 2000 sampai 2001, insiden psoriasis mencapai 2,3% (Cholis, 1999). Di RS Dr. Hasan Sadikin, selama tahun 2005 terdapat 72

16

17

kasus baru psoriasis yang berobat, yakni 0,01% dari seluruh penderita baru (Marlia, dkk., 2008). Di RS Dr. M. Djamil Padang tahun 2000-2003 berkisar 1,6% 2,6% (Deny, dkk., 2004). Susilowati, dkk., melaporkan di RSUP Dr. Kariadi terdapat 138 kasus psoriasis (0,73%) selama tahun 1998-2000 (Susilowati, 2001). Winta RD dkk. melaporkan di RSUP Dr. Kariadi terdapat 198 kasus (0,97%) psoriasis selama rentang waktu 5 tahun (2003-2007) (Winta, 2008). Onset usia pada psoriasis tipe dini dengan puncak usia 22,5 tahun (pada anak, usia onset rata-rata 8 tahun). Untuk tipe lambat, muncul pada usia 55 tahun. Onset dini memprediksikan derajat penyakit dan penyakit yang menahun serta biasanya disertai riwayat psoriasis pada keluarga. Psoriasis mempengaruhi 1,5-2% populasi dari negara barat. Di Amerika Serikat, terdapat 3 sampai 5 juta orang menderita psoriasis. Kebanyakan dari mereka menderita psoriasis lokal, tetapi sekitar 300.000 orang menderita psoriasis generalisata (Wolff and Johnson, 2009).

3.3 Etiologi Penyebab psoriasis belum diketahui secara pasti, akan tetapi terdapat dua abnormalitas dari terjadinya psoriasis, yaitu hiperproliferasi atau proliferasi yang berlebihan dari sel keratinosit dan adanya infiltrasi mediator inflamasi seperti neutrofil dan limfosit T tipe TH-1 (Hunter, et al., 2002). Faktor genetik diduga ikut berperan dalam proses terjadinya penyakit psoriasis. Secara epidemiologi bila orang tua tidak menderita psoriasis, resiko psoriasis sebesar 12%, sedangkan jika salah seorang orangtuanya menderita psoriasis resikonya dapat mencapai 34-39% (Djuanda, 2007).

18

Faktor imunologi juga ikut berperan, di mana defek genetik pada psoriasis dapat diekspresikan pada salah satu dari ketiga jenis sel, yakni limfosit T, sel penyaji antigen APC (Antigen Presenting Cell), atau keratinosit. Sel langerhans juga berperan pada imunopatogenesis psoriasis. Terjadinya proliferasi epidermis diawali dengan adanya pergerakan antigen, baik eksogen maupun endogen oleh sel langerhans. Pada psoriasis pembentukan epidermis lebih cepat hanya sekitar 34 hari, sedangkan pada kulit normal lamanya 27 hari (Djuanda, 2007). Berbagai faktor pencetus pada psoriasis adalah stres psikis, infeksi fokal, trauma, faktor endokrin, gangguan metabolik, obat, alkohol, dan rokok (Djuanda, 2007).

Gambar 3.1 Faktor pencetus (hormon dan imunologi) yang berperan dalam perkembangan psoriasis (Djuanda, 2007)

Berbagai faktor pencetus psoriasis yaitu (Hunter, et al., 2002): a) Trauma. Pada psoriasis aktif, lesi dapat menyebabkan kerusakan kulit akibat garukan ataupun luka akibat tindakan (Kobner phenomenon).

19

b) Infeksi fokal. Infeksi menahun di daerah hidung, tenggorokan, telinga, ataupun gigi. Tonsilitis yang diakibatkan Streptococcus -hemoliticus sering memicu terjadinya psoriasis guttata. c) Faktor psikis. Stres, emosi, dan kegelisahan dapat menyebabkan penyakit psoriasis bertambah berat. d) Hormonal. Frekuensi psoriasis umumnya membaik saat kehamilan dan akan kembali setelah melahirkan. Hipokalsemia sekunder akibat hipoparatiroid juga dianggap sebagai faktor pencetus. e) Udara. Sinar matahari dapat memperbaiki keadaan psoriasis walaupun ada literatur yang menyatakan 10% menjadi buruk. f) Penyakit metabolik. Contohnya adalah penyakit diabetes melitus yang laten. g) Obat. Antimalaria, litium, -bloker, dan IFN- dapat memperburuk kondisi psoriasis. Psoriasis dapat terjadi rebound setelah diberikan pengobatan dengan sistemik steroid.

3.4 Patogenesis Penderita psoriasis memiliki autoantibodi psoriasis yang diproduksi di tubuh dan spesifik dilawan oleh sel-sel T memori yang berada di sekitar kulit. Ketika terdapat autoantibodi psoriasis, sel-sel T akan menyerang dan menghasilkan mediator seperti TNF- dan LFA-1, juga sel T juga akan memproduksi TNF- yang akhirnya memperburuk keadaan. Keadaan ini ditandai

20

dengan respon hiperproliferasi epidermis serta gejala umum psoriasis (Hunter, et al., 2002). Epidermis pada plak psoriasis menebal dan hiperplastik, serta terdapat maturasi tidak sempurna sel epidermal di atas area sel germinatif. Pada kulit dengan psoriasis, siklus sel epidermal terjadi lebih cepat. Perubahan morfologik dan kerusakan sel epidermis akan menimbulkan akumulasi sel monosit dan limfosit pada puncak papil dermis dan di dalam stratum basalis sehingga menyebabkan pembesaran dan pemanjangan papil dermis. Sel epidermodermal bertambah luas, lipatan di lapisan bawah stratum spinosum bertambah banyak (Siregar, 1996). Proses ini menyebabkan pertumbuhan kulit lebih cepat dan masa pertukaran kulit menjadi lebih pendek dari normal, dari 28 hari menjadi 3-4 hari. Stratum granulosum tidak terbentuk dan didalam stratum korneum terjadi parakeratosis (Siregar, 1996).

Gambar 3.2 Perbedaan kulit normal dengan kulit psoriasis (http://missinglink.ucsf.edu/lm/DermatologyGlossary/psoriasis.html)

21

Pembelahan sel pada stratum basale terjadi setiap 1.5 hari, dan migrasi keratinosit ke stratum corneum terjadi kira-kira dalam 4 hari. Karena sel-sel mencapai permukaan dengan sangat cepat, sel-sel tersebut tidak berdiferensiasi dan berkembang dengan sempurna. Stratum corneum tidak terkeratinisasi secara sempurna dan sel-sel epidermal berkembang dan menumpuk dengan abnormal dan menjadi berskuama. Epidermis pada lesi psoriasis tiga hingga lima kali lebih tebal dari normal. Pembuluh darah dalam stratum papilare dermis terdilatasi dan sel-sel inflamasi, seperti neutrofil, menginfiltrasi epidermis (Peters, 2000). Pada psoriasis terjadi peningkatan mitosis sel epidermis sehingga terjadi hiperplasia, juga terjadi penebalan dan pelebaran kapiler sehingga tampak lesi eritematous. Pendarahan terjadi akibat dari ruptur kapiler ketika skuama dikerok (Siregar, 1996). Kemungkinan faktor genetik berperan dalam proses hiperproliferasi keratinosit serta peningkatan kecepatan pergantian kulit pada penderita psoriasis (Hunter, et al., 2002). Abnormalitas pada vaskularisasi kutaneus ditandai dengan peningkatan jumlah mediator inflamasi, yaitu limfosit, polimorfonuklear, leukosit, dan makrofag yang terakumulasi pada dermis baik stadium inisial ataupun stadium lanjut penyakit (Djuanda, 2007). Mekanisme yang mendasari terjadinya peningkatan proliferasi sel keratinosit belum dipahami secara keseluruhan. Cyclic guanosin monophosphate (cGMP), metabolisme asam arakidonat, polyamines, calmodulin, dan aktivasi plasminogen dapat meningkatkan plak psoriasis. Selain itu, faktor genetik yang mengontrol pertumbuhan keratinosit (Hunter, et al., 2002).

22

3.5 Gambaran Klinis Tempat predileksi pada scalp, perbatasan scalp dengan wajah, ekstremitas terutama bagian ekstensor di bagian siku dan lutut serta daerah lumbosakral (Djuanda, 2007).

Gambar 3.3 Predileksi lokasi terjadinya psoriasis (Djuanda, 2007)

Kelainan kulit terdiri dari plak dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskripta dan merata, tetapi pada masa penyembuhan seringkali eritema di tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih seperti mika transparan. Jenis kelainan bervariasi, dapat berbentuk lentikular, nummular, plakat, dan dapat berkonfluensi. Jika seluruhnya atau sebagian besar berbentuk lentikular disebut psoriasis guttata, biasanya pada anak-anak, dewasa muda, dan terjadi setelah infeksi Streptococcus aureus (Djuanda, 2007). Lesi primer pada pasien psoriasis dengan kulit yang cerah adalah merah, papula, dan berkembang menjadi kemerahan, plak yang berbatas tegas. Lokasi

23

plak pada umumnya terdapat pada siku, lutut, scalp, umbilikus, dan intergluteal. (Djuanda, 2007).

Gambar 3.4 Pasien psoriasis dengan kulit cerah, lesi primer berwarna merah dengan sisik putih perak (Djuanda, 2007)

Pada pasien psoriasis dengan kulit gelap, distribusi hampir sama, namun papula dan plak berwarna keunguan dengan skuama abu-abu. Pada telapak tangan dan telapak kaki, berbatas tegas, mengandung pustula, dan menebal pada waktu bersamaan. Trauma eksternal, meliputi goresan dan garukan pada kulit menyebabkan plak psoriatik yang lama atau Fenomena Kobner (Djuanda, 2007). Fenomena lain seperti tetesan lilin adalah skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada goresan seperti lilin yang digores, disebabkan oleh perubahan indeks bias. Pada fenomena Auspitz tampak serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan papilomatosis (Hunter, et al., 2002).

24

Gambar 3.5 Gejala Psoriasis (1) Tetesan lilin (2) Kobner (3) Auspitz (http://missinglink.ucsf.edu/lm/DermatologyGlossary/psoriasis.html)

Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku yakni sebanyak 50% yang agak khas yaitu yang disebut dengan pitting nail atau nail pit yang berupa lekukan-lekukan miliar. Kelainan lain yaitu kuku bagian distal terangkat karena terdapat lapisan tanduk di bawahnya (hiperkeratosis subungual), onikolisis (terlepasnya seluruh atau sebagian kuku dari matriksnya), oil spots subungual, dan koilonikia (spooning of nail plate). Di samping menimbulkan kelainan pada kulit dan kuku, penyakit ini juga dapat menimbulkan kelainan sendi. Umumnya bersifat poliartikular, tempat predileksinya pada sendi interfalangs distal pada usia 30-50 tahun (Hunter, et al., 2002).

Gambar 3.6 (1) Pitting (2) Oil spot sign (3) Onikolisis (4) Subungual hiperkeratosis (5) Plate abnormalities (6) Splinter hemorrhage (Hunter, et al., 2002)

25

Berbagai bentuk klinis dari psoriasis adalah (Hunter, et al., 2002): 1. Psoriasis Vulgaris Bentuk ini adalah yang lazim terdapat dengan lesi yang umumnya berbentuk plak. Tempat predileksinya yaitu pada scalp, perbatasan scalp dengaan wajah, ekstremitas terutama bagian ekstensor yaitu lutut, siku, dan daerah lumbosakral.

Gambar 3.7 Psoriasis vulgaris, lesi primer berbatas tegas (plak) (Hunter, et al., 2002) 2. Psoriasis Gutata Diameter biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbulnya mendadak dan diseminata, umumnya setelah infeksi Streptococcus di saluran napas bagian atas setelah influenza atau morbili terutama pada anak dan dewasa muda. Selain itu juga dapat timbul setelah infeksi yang lain baik bakterial maupun viral.

Gambar 3.8 Psoriasis Gutata (Hunter, et al., 2002)

26

3. Psoriasis Inversa Psoriasis ini mempunyai tempat predileksi di daerah fleksor sesuai dengan namanya.

Gambar 3.9 Psoriasis inversa pada daerah siku (Gawkrodger, 2003)

4. Psoriasis Eksudativa Bentuk ini sangat jarang. Biasanya kelainan pada psoriasis itu dalam bentuk kering, tetapi pada jenis ini kelainannya bersifat eksudatif seperti pada dermatitis akut.

5. Psoriasis Seboroik Gambaran klinis psoriasis seboroik merupakan gabungan antara psoriasis dan dermatitis seboroik, skuama yang biasanya kering menjadi agak berminyak dan agak lunak. Selain berlokasi pada tempat yang lazim, juga terdapat pada tempat seboroik.

27

6. Psoriasis Pustulosa Terdapat dua bentuk psoriasis pustulosa yaitu: a. Psoriasis Pustulosa Palmoplantar Psoriasis pustulosa palmoplantar bersifat kronik dan residif, mengenai telapak tangan atau telapak kaki atau keduanya. Kelainan kulit berupa kelompokkelompok pustula kecil dan dalam, di atas kulit yang eritematosa, disertai rasa gatal. b. Psoriasis Pustulosa Generalisata Akut (Von Zumbusch) Psoriasis pustulosa generalisata akut dapat ditimbulkan oleh berbagai faktor provokatif, misalnya yang tersering karena penghentian kortikosteroid sistemik. Contoh obat lainnya yaitu penisilin dan derivatnya, serta antibiotik betalaktam yang lain, hidroklorokuin, kalium iodide, morfin, sulfapiridin, sulfonamide, kodein, fenilbutason, dan salisilat. Faktor lain selain obat ialah hipokalsemia, sinar matahari, alkohol, stres emosional, serta infeksi bakterial dan virus. Penyakit ini dapat timbul pada penderita yang belum pernah menderita psoriasis. Gejala awalnya ialah kulit nyeri, hiperalgesia disertai gejala umum berupa demam, malaise, nausea, dan anoreksia. Dalam beberapa jam timbul banyak plak edematosa dan eritematosa pada kulit yang normal Selanjutnya timbul banyak pustula miliar pada plak tersebut. Dalam sehari, pustula berkonfluensi membentuk lake of pus berukuran beberapa sentimeter. Kelainan semacam ini akan berlangsung terus menerus dan menjadi eritroderma. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis dan kultur pus dari pustula (Djuanda, 2007).

28

7. Psoriatis Eritroderma Psoriasis eritroderma dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang terlalu kuat atau karena penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang khas untuk psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan skuama tebal universal.

3.6 Manifestasi Oral Terdapat beberapa laporan kasus mengenai psoriasis yang memiliki manifestasi klinis pada rongga mulut. Berdasarkan Dreyer dan Brown (2012), manifestasi klinis ini ditemukan pada bibir, palatum, mukosa bukal, lidah, dan gusi. Pada bagian tersebut ditemukan papula kecil berwarna putih dan mudah berdarah apabila dikerok, serta plak kemerahan dan bercak berwarna merah terang yang mengikuti lesi kulit. Penelitian oleh tenaga medis dokter gigi memperlihatkan bahwa adanya peningkatan frekuensi kasus geographic tongue dan fissured tongue pada pasien dengan diagnosis psoriasis.

3.5.1 Geographic Tongue Geographic tongue atau disebut juga benign migratory glossitis merupakan suatu kelainan pada lidah, dimana terdapat area eritema dengan atrofi papila filiformis pada lidah dan dikelilingi atau dibatasi oleh jaringan hiperkeratotik berwarna putih. Etiologi dari geographic tongue masih belum

29

diketahui. Secara klinis, terlihat gambaran bercak-bercak merah tidak teratur dikelilingi daerah memutih yang sedikit meninggi menggambarkan deskuamasi papila filiformis (Usri, dkk., 2006). Manifestasi ini biasanya ditemukan pada bagian dorsal lidah dan biasanya menyebar sampai ke lateral lidah. Pasien dengan geographic tongue biasanya mengeluhkan rasa terbakar atau rasa teriritasi pada saat makan makanan pedas atau panas. Menurut Greenberg dan Glick (2003), Geographic tongue yang menjadi manifestasi oral pada penderita psoriasis biasanya diasosiasikan dengan psoriasis tipe pustular.

Gambar 3.10 Geographic tongue (www.dermaamin.com)

Menurut Kelsch (2012), geographic tongue dilaporkan mengalami peningkatan kasus bersamaan dengan meningkatnya kasus psoriasis. Geographic tongue tidak menular dan apabila terdapat kelainan subjektif berupa rasa terbakar, dapat diatasi dengan menggunakan anestesi topikal pada permukaan lidah. Abe, et al., melaporkan terapi yang sukses dengan menggunakan siklosporin, sedangkan

30

Sigal dan Mock melaporkan terapi yang sukses dengan menggunakan antihistamin topikal dan sistemik (Kelsch, 2012).

3.5.2 Cheilitis Angularis Manifestasi klinis rongga mulut dari psoriasis lainnya adalah cheilitis angularis. Cheilitis angularis merupakan kondisi eritema, perdarahan, ulserasi, pengelupasan, dan rasa sakit pada sudut bibir. Pada beberapa pasien mengeluhkan bibir pecah-pecah dan rasa tidak nyaman. Pasien juga merasakan rasa terbakar apabila dilakukan penekanan pada lesi (Warnakulasuriya, et. al., 1991) Etiologi dari chelitis angularis ini bermacam-macam, namun yang paling umum adalah infeksi bakteri Staphilococcus aureus, Streptococcus -hemolitic, dan Candida albicans. Etiologi non-infeksi dari cheilitis angularis adalah defisiensi nutrisi, anemia, kulit kering, hipersalivasi, kontak alergi, dan kelainan kulit seperti dermatitis atopik, psoriasis, dan lichen planus (Warnakulasuriya, et al., 1991; Ohman, et al., 1986). Menurut Usri, dkk., (2006) cheilitis angularis ini dapat disebabkan oleh defisiensi nutrisi seperti Fe, vitamin B, atau asam folat. Chelitis angularis dapat diatasi dengan mengoleskan gel petroleum pada area lesi untuk kasus-kasus yang idiopatik. Apabila etiologi diketahui, maka terapi diberikan dapat diberikan sesuai etiologi, misalnya apabila cheilitis angularis disebabkan oleh Candida albicans, maka dapat diberikan terapi antifungal (Usri, dkk., 2006).

31

Gambar 3.11 Chelitis angularis (www.menscosmo.com)

3.5.3 Fissured tongue Fissured tongue merupakan manifestasi klinis lesi oral pada penderita psoriasis. Fissured tongue merupakan suatu keadaan dimana lidah memiliki groove pada bagian dorsal lidah sampai ke lateral lidah (Kelsch, 2012). Dorsal lidah tampak retak-retak dengan kedalaman lebih dari 2 mm, tampak bergaris, berfisur, atau berparit secara transversal, horizontal, atau oblique (Usri, dkk., 2006). Kedalamannya bervariasi, ada yang mencapai 6 mm. Fisur atau groove yang terbentuk dapat tersambung dan memberikan gambaran lobus-lobus pada lidah. Biasanya, fisur-fisur ini ditemukan pada 1/3 tengah lidah. Fisur-fisur ini dapat single ataupun multiple (Kelsch, 2012). Fissured tongue ini etiologinya tidak diketahui dan biasanya tidak memberikan gejala. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat menimbulkan halitosis karena retensi debris, oleh karena itu, kebersihan mulut harus ditingkatkan (Usri, dkk., 2006). Pada penderita psoriasis, fissured tongue ditemukan pada 9,5% kasus (Hietanen, et.al., 1984).

32

Gambar 3.12 Fissured tongue (www.dermaamin.com)

3.7 Pemeriksaan Penunjang Sebenarnya tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium untuk mendiagnosis psoriasis. Akan tetapi, pemeriksaan digunakan untuk mengetahui faktor pencetus seperti adanya infeksi dan pemeriksaan gula darah serta kolesterol pada penderita diabetes mellitus (Djuanda, 2007). Dari histopatologis pemeriksaan yang khas histologis, yakni psoriasis memberikan dan akantosis. gambaran Terdapat

parakeratosis

perpanjangan (akantosis) reteridges dengan bentuk clubike, perpanjangan papila dermis, parakeratosis, mikro abses Munro (kumpulan netrofil leukosit polimorfonuklear yang menyerupai pustul spongiform kecil) dalam stratum spinosum, penebalan suprapapiler epidermis (menyebabkan tanda Auspitz), dilatasi kapiler papila dermis, infiltrat inflamasi limfohistiositik ringan sampai sedang di dalam papila dermis atas (Djuanda, 2007). Aktivitas mitosis sel epidermis sangat tinggi, sehingga maturasi keratinisasi sel-sel epidermis terlalu cepat dan tampak penebalan pada stratum korneum. Di dalam stratum korneum

33

dapat

ditemukan

kantong-kantong

kecil

yang

berisikan

sel

radang

polimorfonuklear yang dikenal sebagai mikro abses Munro. Pada puncak papil dermis didapati pelebaran pembuluh darah kecil yang disertai sel radang limfosit dan monosit (Hunter, et al., 2002).

Gambar 3.13 Histopatologi Psoriasis (http://missinglink.ucsf.edu/lm/DermatologyGlossary/psoriasis.html)

3.8 Diagnosis dan Diagnosis Banding Jika gambaran klinisnya khas, tidak sulit menentukan diagnosis psoriasis. Psoriasis memiliki tanda yang khas seperti skuama yang kasar, transparan dan berlapis-lapis, serta terdapat fenomena tetesan lilin dan Auzpit (Djuanda, 2007). Pada stadium penyembuhan telah dijelaskan bahwa eritema dapat terjadi hanya di pinggir hingga menyerupai dermatofitosis. Perbedaannya adalah keluhan pada dermatofitosis sangat gatal sekali dan pada sediaan langsung ditemukan jamur. Dermatitis seboroik berbeda dengan psoriasis karena skuama yang

34

berminyak dan kekuningan serta predileksi pada tempat yang seboroik. Pitiriasis Rosea kadangkala dibingungkan dengan psoriasis guttata, akan tetapi lesi pada penyakit ini berbentuk oval sedikit bulat dan berjalan sejajar dengan tulang rusuk sehingga tampak gambaran pohon cemara terbalik. Terdapat mother plaque dan predileksi lokasinya biasanya terdapat di punggung (Hunter, et al., 2002).

3.9 Penatalaksanaan Secara garis besar pengobatan psoriasis dibagi menjadi pengobatan secara sistemik, lokal, radiasi ultraviolet, dan kombinasi. Terapi pada pasien dengan psoriasis akan didasarkan pada keahlian dokter dan kondisi yang menguntungkan bagi pasien (Hunter, et al., 2002).

3.9.1 Terapi Sistemik Pengobatan sistemik diberikan pada psoriasis yang mengenai lebih dari 20% permukaan tubuh. a. Sitostatika Bekerja dengan menghambat sintesis asam folat pada proses mitosis fase S dan menyebabkan berkurangnya pergantian epidermis. Obat ini menunjukkan hambatan replikasi dan fungsi sel T dan mungkin juga sel B karena adanya efek hambatan sintesis. Indikasinya ialah untuk psoriasis vulgaris, psoriasis pustulosa, psoriasis arthritis dengan lesi kulit dan eritroderma karena psoriasis yang sukar terkontrol dengan obat standar. Kontraindikasinya ialah bila terdapat kelainan

35

hepar, ginjal, sistem hematopoetik, kehamilan, penyakit infeksi aktif misalnya TBC, ulkus peptikum, colitis ulserosa, dan psikosis (Djuanda, 2007). Efek samping dari penggunaan metotreksat adalah nyeri kepala, alopesia, gangguan saluran cerna, sumsum tulang, hepar, dan lien. Pada saluran cerna berupa nausea, nyeri lambung, stomatitis ulserosa, dan diare. Pada reaksi yang hebat dapat terjadi enteritis hemoragik dan perforasi intestinal. Depresi sumsum tulang menyebabkan timbulnya leukopenia, trombositopenia, dan kadang-kadang anemia. Pada hepar dapat terjadi fibrosis dan sirosis (Djuanda, 2007).

b. Kortikosteroid Kortikosteroid dapat mengontrol psoriasis dengan dosis ekuivalen prednison 30-60 mg perhari. Setelah membaik dosis diturunkan perlahan-lahan lalu diberikan dosis pemeliharaan. penghentian obat secara mendadak akan menyebabkan kekambuhan dan dapat terjadi psoriasis pustulosa generalisata (Djuanda, 2007).

c. Asitretin Asitretin merupakan retinoid aromatik, derivat vitamin A digunakan bagi psoriasis yang sukar disembuhkan seperti psoriasis pustular dan psoriasis eritroderma. Pada psoriasis, obat tersebut mengurangi proliferasi sel epidermal pada lesi psoriasis dan kulit normal. Efek sampingnya berupa kulit menipis dan kering, selaput lendir pada mulut, mata, dan hidung kering, kerontokan rambut, cheilitis, pruritus, serta nyeri tulang dan persendian (Buxton, 2003).

36

d. Siklosporin Siklosporin merupakan imunosupresan yang sering digunakan dalam transplantasi organ. Efek samping pada pemakaian jangka lama adalah hipertensi, kerusakan fungsi ginjal, dan beresiko mendapatkan kanker kulit (Djuanda, 2007).

e. Levodopa Levodopa menyembuhkan sekitar 40% pasien dengan psoriasis dengan dosis 2 x 250 mg. Efek samping levodopa adalah mual, muntah, anoreksia, hipotensi, gangguan psikis, dan gangguan pada jantung (Djuanda, 2007).

f. Diaminodifenilsulfon (DDS) Diaminodifenilsulfon (DDS) digunakan pada pengobatan psoriasis pustulosa dengan dosis 2 x 100 mg sehari. Efek sampingnya adalah anemia hemolitik, methemoglobinuria, dan agranulositosis (Djuanda, 2007).

g. Terapi Sistemik Lain Antimetabolit seperti mycophenolate mofetil, 6-tioguanine, dan

hydroxyurea dapat membantu gejala psoriasis tetapi tidak melebihi metotreksat (Hunter, et al., 2002). Obat biologi merupakan obat yang baru dengan efeknya memblok langkah molekular spesifik yang penting pada patogenesis psoriasis. Contoh obatnya adalah alefaseb, efalizumab, etanerseb, adalimumab, dan TBF- antagonis (Hunter, et al., 2002).

37

3.9.2 Terapi Topikal Terapi topical untuk psoriasis di antaranya (Hunter, et al., 2002; Djuanda, 2007): a. Preparat tar Preparat tar ini berfungsi sebagai antiradang serta dapat menghambat proliferasi keratinosit. Menurut asalnya, preparat terbagi menjadi 3 yang berasal dari fosil, kayu, dan batubara.

b. Penyinaran Sinar ultraviolet mempunyai efek menghambat mitosis sel epidermis sehingga dapat digunakan untuk pengobatan psoriasis.

c. Calsipotriol Calsipotriol merupakan sintetik vitamin D. Preparat berupa salep atau krim 50 mg yang memiliki waktu perbaikan setelah satu minggu. Efek samping 4-20% berupa iritasi, eritema, dan skuamasi.

d. Kortikosteroid Topikal Pada scalp, muka, dan daerah lipatan digunakan krim, sedangkan di tempat lainnya digunakan salep. Pada daerah muka, dipilih kortikosteroid potensi sedang, bila digunakan potensi kuat pada muka dapat memberik efek samping di antaranya teleangiektasis. Pada batang tubuh dan ekstremitas digunakan salep dengan potensi kuat atau sangat kuat bergantung pada lama penyakit. Jika telah terjadi perbaikan, potensi dan frekuensinya dapat dikurangi.

38

e. Emolien Efek emolien ialah melembutkan permukaan kulit. Pada batang tubuh (selain lipatan), ekstremitas atas dan bawah biasanya digunakan salep dengan bahan dasar vaselin 1-2 kali/hari, fungsinya juga sebagai emolien dengan akibat meninggikan daya penetrasi bahan aktif. Jadi emolien sendiri tidak mempunyai efek antipsoriasis.

f. Tazaroten Tazaroten merupakan molekul retinoid asetilinik topikal. Bila

dikombinasikan dengan steroid topikal potensi sedang dan kuat akan mempercepat penyembuhan dan mengurangi iritasi. Efek sampingnya adalah iritasi berupa gatal, rasa terbakar, dan eritema.

g. Dithranol (Antralin) Dithranol bekerja sebagai antimitosis dan menyebabkan iritasi pada kulit normal.

3.9.3 PUVA (Photochemotherapy) Efek samping yang paling banyak dikeluhkan adalah nyeri pada daerah eritema yang dapat diminimalisasi dengan pemberian dosis penyinaran secara hati-hati. Beberapa pasien juga merasakan gatal dan mual setelah pemberian terapi radiasi. Efek samping penggunaan jangka panjang menyebabkan prematuritas

39

pada kulit (bintik-bintik pigmentasi, berkerut, dan atrofi) atau kanker kulit pada penggunaan lebih dari 1000 J (Hunter, et al., 2002).

3.10 Tinjauan Umum Kelainan Jiwa pada Pasien Psoriasis Pada kasus yang dibahas dalam makalah ini, pasien didiagnosis psoriasis dengan faktor pencetusnya adalah kelainan psikotik dengan diagnosis jiwa Axis I. Menurut klasifikasi gangguan jiwa PPDGJ III / 1994-2004, pada Axis I, gangguan klinis dan kondisi lain yang merupakan fokus perhatian klinis. Gangguan jiwa adalah kelompok gejala atau perilaku yang ditemukan secara klinis, disertai dengan penderitaan (distres), pada kebanyakan kasus, dan berkaitan dengan terganggunya fungsi seseorang. Beberapa jenis Axis I: F 00-09 : Gangguan mental organik. Gangguan jiwa yang disebabkan oleh penyakit cedera, rudapaksa otak, sehingga mengakibatkan disfungsi otak. F 10-19 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif F 2029: skizofrenia, gangguan waham F 30-39 : Gangguan suasana perasaan (depresi/elasi) F 40-48 : Gangguan neurotik, somatoform dan yang berkaitan dengan stres F 50-59 : Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik F 99 : Gangguan jiwa yang tidak ditentukan

40

Pada pasien ini, diagnosis jiwa merupakan Axis I dimana terjadi faktor psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan gangguan atau penyakit yang diderita, serta suspek gangguan mental dan perilaku akibat kerusakan otak ( ec. trauma kapitis). Oleh karena itu, dokter meresepkan obat antipsikotik yaitu haloperidol. Haloperidol adalah obat yang dikategorikan ke dalam agen antipsikotik jenis butyrophenone. Obat ini diindikasikan untuk kelainan psikotik akut dan kronik, seperti skizofrenia, gangguan manik, dan gangguan perilaku. Haloperidol juga berguna pada penanganan pasien agresif dan teragitasi, penderita Tourettes syndrome. Selain itu, obat ini dapat digunakan pada pasien retardasi mental (Sweetman, 2009 ; Almazini, 2008).

3.10.1 Mekanisme Kerja Obat Haloperidol Reseptor dopamin memiliki peran penting dalam menentukan etiologi psikosis serta mekanisme kerja dan efek samping dari antipsikotik. Pada penderita psikosis dengan simtom positif (halusinasi, delusi, paranoid, terlalu mudah curiga), dopamin terlalu banyak diproduksi dalam otak sehingga terlalu banyak reseptor dopamin (D2), sedangkan kekurangan dopamin dapat menyebabkan simtom negatif (penarikan diri secara sosial dan emosional, tak bergairah) (Weinberg, et al., 2010 ). Secara umum haloperidol menghasilkan efek selektif pada sistem saraf pusat melalui penghambatan kompetitif reseptor dopamin (D2) postsinaptik pada sistem dopaminergik mesolimbik. Selain itu, haloperidol bekerja sebagai anti

41

psikotik dengan meningkatkan siklus pertukaran dopamin otak. Pada terapi subkronik, efek antipsikotik dihasilkan melalui penghambatan depolarisasi saraf dopaminergik (Almazini, 2008).

Gambar 3.13 Mekanisme kerja obat antipsikotik. (a) kelebihan produksi dopamin. (b) antipsikotik menghambat reseptor dopamin (D2) postsinaptik (Weinberg, et al., 2010).

3.10.2 Dosis, Cara Pemberian, dan Lama Pemberian Haloperidol Pada remaja dan dewasa, haloperidol sebagai antipsikotik dan

antidiskinetik digunakan secara oral dengan dosis awal sebesar 500 mcg (0.5 mg) sampai 5 mg sebanyak 2 -3 kali per hari. Peningkatan dosis dapat dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan dan daya toleransi. Batas dosis pada orang dewasa adalah 100 mg per hari (Almazini, 2008). Pada anak-anak yang berusia 3-12 tahun dengan berat badan dalam kisaran 15-40 Kg, haloperidol dikonsumsi secara oral dengan dosis awal 50 mcg (0.05 mg) per Kg/BB/hari (dibagi ke dalam 2-3 dosis). Sementara itu, pada pasien usia

42

lanjut dosis yang digunakan adalah 500 mcg 2 mg sebanyak 2-3 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap sesuai kebutuhan dan toleransi yang diperbolehkan (Almazini, 2008).

3.10.3 Efek Samping Haloperidol Selain menghambat pengikatan reseptor dopamin, haloperidol juga terikat pada reseptor muskarinik (antikolinergik) yang dapat menghasilkan berbagai efek samping, seperti xerostomia, konstipasi, penglihatan kabur, takikardia, disfungsi seksual, dan retensi urin. Mulut pasien yang mengkonsumsi haloperidol dapat terasa sangat kering, yang ditandai dengan menempelnya kaca mulut pada mukosa oral pasien. Menurunnya aliran saliva dapat mengakibatkan karies, penyakit periodontal, dan candidiasis oral (Weinberg, et al., 2010 ). Untuk menjaga kebersihan mulut pasien yang mengkonsumsi haloperidol, dapat diinstruksikan kepada pasien untuk meningkatkan konsumsi air minum, menghisap permen tanpa gula atau mengunyah permen karet tanpa gula (Weinberg, et al., 2010 ). Sebagian besar obat antipsikotik menyebabkan xerostomia yang akan memperburuk kondisi mulut seperti munculnya karies dan penyakit periodontal. Penting bagi dokter gigi untuk mengetahui obat-obat antipsikotik dan efek sampingnya, sehingga dokter gigi dapat mengintruksikan kepada pasien bagaimana cara menjaga kebersihan mulutnya (Weinberg, et al., 2010 ).

43

3.11 Prognosis Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, penyakit ini bersifat kronis dan residif. Belum ada cara yang efektif dan memberi penyembuhan yang sempurna hingga saat ini (Djuanda, 2007; Hunter, et al., 2002).

Anda mungkin juga menyukai