Anda di halaman 1dari 10

Tugas Tambahan Jurnal Reading Divisi Dermatologi &Venerologi

Nama/NPM : Gufta Safira Aliya Alif/1102015087


Judul : Systemic Corticosteroids Are Frequently Prescribed for
Psoriasis
Tempat/Waktu : RSUD Kabupaten Bekasi
Pembimbing : dr. Evy Aryanti, Sp.KK

1. Apa saja jenis-jenis psoriasis ?


1. Psoriasis Vulgaris

Psoriasis vulgaris yang paling sering ditemukan pada kurang lebih


90% pasien. Plakat eritematosa, berbatas tegas, berskuama dan tersebar
simetris merupakan gambaran khas, terdapat di daerah ekstensor
ekstermitas (terutama siku dan lutut), skalp, lumbosakral bawah, bokong
dan genital. Daerah lain yang dapat terkena adalah periumbilikus dan
lipatan intergluteal. Luas lesi sangat bervariasi, sedangkan bentuk dan
distribusi setiap plakat hanya sedikit berubah. Skuama dibentuk terus-
menerus. Lesi dapat diawali terbatas di skalp selama bertahun-tahun. Lesi
kecil maupun besar dapat meluas dan berkonfluens membentuk plakat
atauplakat lebih besar sehinga membentuk gambaran khas (psoriasis
geografika/girata). Kadang terdapat penyembuhan sentral parsial sehingga
membentuk psoriasis anular, keadaan ini sering dihubungkan dengan
penyembuhan atau prognosis yang baik. Kelainan klinis lain telah
dijelaskan tergantung dari morfologi lesi, sebagian besar terdapat
hiperkeratosis.
Patogenesisnya tidak begitu diketahui tetapi mungkin muncul dari
inhibisi sintesis prostaglandin. Pada anak terdapat bentuk papul folikular
berkelompok dan bentuk linear mengikuti garis Blaschko.

2. Psoriasis Gutata

Bentuk ini sering timbul pada anak dan dewasa muda, biasanya
timbul mendadak, seringkali setelah infeksi streptokokus. Lesi papular,
bulat, atau oval, berdiameter 0.5-1cm, di atasnya terdapat skuama putih,
tersebar simetris di badan dan ekstremitas proksimal,kadang di muka,
telinga, dan skalp, jarang di telapak tangan dan kaki. Lesi biasanya bertahan
selama 3-4 bulan dan dapat hilang spontan, tetapi kadang dapat sampai lebih
dari setahun. Sebagian besar dapat kambuh dalam 3-5 tahun. Bentuk ini
berhubungan erat dengan HLA-Cw6. Pasien dengan riwayat psoriasis
plakat dapat timbul lesi gutata dengan atau tanpa memburuknya lesi plakat.
Lesi plakat kecil dapat menyerupai psoriasis gutata, tetapi biasanya
awitannya pada usia lanjut, kronik dan lebih tebal dengan skuama lebih
banyak daripada psoriasis gutata.
3. Psoriasis Inversa
Prosiasis tersebut mempunyai tempat predileksi pada daerah fleksor
sesuai dengan namanya (pada kulit kepala, axilla, region genitocruralis, dan
leher). Lesi eritema berbentuk tajam, dan sering terletak daerah kontak.

4. Psoriasis Eksudativa
Bentuk tersebut sangat jarang. Biasanya kelainan psoriasis kering,
tetapi pada bentuk ini kelainannya eksudatif seperti dermatits akut.

5. Psoriasis Seboroik

Gambaran klinis psoriasis seboroik merupakan gabungan antara


psoriasis dan dermatitis seboroik, skuama yang biasanya kering menjadi
agak berminyak dan agak lunak. Selain berlokasi pada tempat yang lazim,
juga terdapat pada tempat seboroik. Lesi seboroik biasanya di wajah, di
bawah payudara, kulit kepala, dan axilla.
6. Psoriasis Pustulosa

Ada 2 pendapat mengenai psoriasis pustulosa, pertama di anggap


sebagai penyakit sendiri, kedua dianggap sebagai varian psoriasis. Terdapat
2 bentuk 1psoriasis pustulosa, bentuk lokalisata dan generalisata. Bentuk
lokalisata contohhnya psoriasis pustulosa palo-plantar (barber). Sedangkan
bentuk generalisata contohnya psoriasis pustulosa generalisata akut (von
Zumbusch).

Ada 3 jenis psoriasis pustulosa:

a. Psoriasis pustulosa lokalisata


Berupa psoriasis anuler yang bersifat subakut dan dapat dipicu oleh
insfeksi atau pengobatan ultraviolet dan mungkin bisa berkembang
menjadi generalisata.
b. Psoriasi pustulosa generalisata/ Von Zumbusch
Merupakan bentuk akut yang berat dan spesifik setelah penghentian
mendadak kortikosteroid oral atau topikal, tetapi mungkin juga akibat
infeksi, terbakar matahari, variasi perubahan iklim, menstruasi, obat –
obatan topikal iritan. Biasanya diawali dengan demam tinggi dan letih
yang berlebihan, kemudian timbul pustule yang mengitari atau didaerah
lesi plak lama yang meradang. Pustul tersebar di daerah lipatan, tapi
kemudian bergabung membentuk kelompok pustule yang menyerang
daerah yang luas dibadan bila mongering krusta lepas meninggalkan
lapisan merang terang.
c. Psoriasis pustulosa palmiplantar ( Barbe)
Bersifat kronik dan residif serta biasanya menyerang wanita berusia
pertengahan dengan riwayat perokok atau disfungsi tiroid. Penyakit in
ditandai dengan adanya pustule dalam diatas kulit bilateral dan simetris
telapak kiri dan kanan disertai rasa gatal.

7. Psoriasis Eritroderma

Eritroderma psoriatik dapat disebabkan oleh pengobatan topikal


yang terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi
yang khas untuk psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan
skuama tebal universal. Ada kalanya lesi psoriasis masih tampak samar-
samar, yakni lebih eritematosa dan kulitnya lebih meninggi.
8. Psoriasis artropati
Komplikasi dari psoriasis yang terjadi pada 5- 10% pasien dan dapat
juga terjadi pada pasien tanpa manifestasi kulit psoriasis. Manifestasi yang
paling sering adalah artritis dengan gejala yang sama dengan rheumatoid
arthritis. Gejala yang patognomonik adalah artritis pada sendi interfalangeal
dari tangan. Kadang monoartritis dan poliartritis dari sendi besar dapat
terjadi. Pasien dengan psoriasis artropati, peningkatan frekuensi dari
HLAB27 dan HLA-Bw38 telah ditemukan

Berdasarkan bentuk lesi, dikenal bermacam-macam psoriasis antara lain

1. Psoriasis punctata: lesi sebesar jarum pentul atau milier.


2. Psoriasis folikularis: lesi dengan skuama tipis terletak pada muara folikel
rambut.
3. Psoriasis guttata: lesi sebesar tetesan air.
4. Psoriasis numularis: lesi sebesar uang logam.
5. Psoriasis girata: lesi sebesar daun.
6. Psoriasis anularis: lesi melingka berbentuk seperti cincin karena adanya
involusi dibagian tengahnya.
7. Psoriasis diskoidea: lesi merupakan bercak solid yang menetap.
8. Psoriasis ostracea: lesi berupa penebalan kulit yang kasar dan tertutup
lembaran-lembaran skuama mirip kulit tiram.
9. Psoriasis rupioides: lesi berkrusta mirip rupia sifilitika.

2. Bagaimana patofisiologi psoriasis ?


Imunopatogenesis psoriasis sangatlah kompleks dan melibatkan berbagai
perubahan pada sistem imun innate (keratinosit, sel dendritik, histiosit, neutrosit,
mastosit, sel endotel) dan sistem imun didapat (limfosit T). Aktivasi sel sistem imun
innate menghasilkan growth factor, sitokin dan kemokin yang berpengaruh pada
sistem imun didapat dan sebaliknya (Sanchez, 2010). Pada fase awal, terjadi
aktivasi sel-sel sistem imun innate (sel dendritik dan keratinosit) oleh berbagai
faktor lingkungan seperti trauma mekanis, infeksi, obat-obatan maupun stres
emosional. Keratinosit kemudian melepaskan sitokin (IL-1 dan TNF-α) serta
protein syok termis. Senyawa ini mengaktivasi sel dendritik (sel langerhans dan sel
dendritik residen) pada epidermis dan dermis. Antigen agen infeksius yang
berikatan dengan toll-like receptor pada DC (dendritic cell) dan keratinosit juga
dapat mengaktivasi sel-sel tersebut, yang kemudian melepaskan berbagai mediator
inflamasi.
Setelah inisiasi kaskade inflamasi, disregulasi jalur sinyal IL-23 dapat
memicu ekspansi dan aktivasi sel T tipe Th17 dan Th22 (Gambar 2.2). Efek produk
sitokin mereka, seperti halnya TNF dan IFN-γ pada keratinosit, dapat menginduksi

sirkuit inflamatori kompleks yang menstimulasi proliferasi keratinosit, proliferasi


vaskuler, dan akumulasi serta aktivasi leukosit lanjutan pada lesi psoriasis. Variasi
genetik pada lokus IL-4/IL-13 dapat menyebabkan berkurangnya respons Th2 dan
meningkatkan aktivitas Th17/Th1. Berkurangnya efisiensi regulator negatif NF-κB,
TNFAIP3 dan TNIP1 dapat mempertahankan inflamasi yang diinisiasi oleh TNF,
IL-1, ligasi TLR, dan IL-17 pada individu yang rentan.
Adanya faktor pencetus dari lingkungan seperti mikroorganisme, obat, sinar
ultraviolet, stress, trauma pada individu yang memiliki kerentanan terhadap
psoriasis [PSORS1, late cornified envelope-3C1 (LCE3C1) dan, late cornified
envelope-3B (LCE3B), interleukin (IL)-23R, IL-23A, IL4/IL13] akan memicu
pembentukan komplek self-RNA/DNA-LL37. Komplek ini akan memicu sintesa
interferon-α (IFN-α) oleh sel dendritik plasmasitoid dan maturasi sel dendritik
myeloid menjadi sel dendritik matur. Sel dendritik matur akan migrasi ke limfonodi
dan memproduksi berbagai sitokin yang akan memicu diferensiasi dan ekspansi sel
T naif menjadi sel T helper 1 atau Th1 (seperti IL-12), sel Th17 (seperti IL-6, tumor
growth faktor- β1 atau TGF-β1 dan IL-23), sel Th22 (seperti TNF-α, IL-6). Baik
sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1(tumor necrosis faktor- α atau TNF-α, IFN-γ,
IL-21) dan Th17 ( IL-17A, IL-17F, IL-22, IL-21) akan menstimulasi proliferasi
keratinosit untuk memproduksi CCL20, suatu kemokin atraktan yang
mengekspresikan reseptor CCR6 dari sel dendritik dan sel T, yang akan memicu
proliferasi keratinosit. Keratinosit memproduksi sitokin inflamasi seperti IL-1β, IL-
6 dan TNF-α yang berperan pada meningkatnya aktivasi sel dendritik dan ekspansi
inflamasi lokal. Tumor necrosis faktor-α akan menginduksi ekspresi molekul
adhesi seperti intracelluler adhesion molecules-1 (ICAM-1) dan vascular
endothelial growth faktor (VEGF) pada kulit, yang akan mengatur lalu lintas sel.
Selain itu TNF-α dapat meningkatkan ekspresi IL-8 yang merupakan salah satu
anggota dari kemokin, dimana pada keratinosit berperan meningkatkan infiltrasi sel
T ke dalam epidermis. Secara singkat pembentukan lesi psoriasis tipe plak melalui
3 langkah berbeda yaitu aktivasi sel T, migrasi sel T ke dalam lesi kulit, pelepasan
sitokin yang diaktivasi oleh sel T pada kulit.
Dalam studi imunohistokimia, ditemukan bahwa keratinosit pada psoriasis
lesional dan nonlesional mengekspresikan kadar NGF (nerve growth factor) yang
tinggi dibandingkan kontrol. Fantini dkk mengamati tingginya kadar NGF pada lesi
psoriasis. Nerve growth factor sering dihubungkan dengan peningkatan nNOS
(neuronal nitic oxide synthase) yang diisolasi dari sel neuron namun bekerja tidak
spesifik pada sel-sel neuron saja. Beberapa fungsi NGF sesuai dengan proses
inflamasi dan proliferasi pada psoriasis. Nerve growth factor memicu proliferasi
keratinosit dan mencegah apoptosis keratinosit. Nerve growth factor juga
mendegranulasi sel-sel mast dan memicu migrasi sel-sel ini, dimana kedua proses
ini terjadi pada awal perkembangan lesi psoriasis. Selanjutnya NGF mengaktivasi
limfosit T dan menarik infiltrat sel-sel inflamasi. Nerve growth factor diketahui
menginduksi ekspresi sitokin potensial berupa RANTES pada keratinosit.
RANTES merupakan kemotaksis bagi sel T memori CD4+ dan mengaktivasi selsel
T memori. Peningkatan kadar RANTES, suatu keratinosit psoriatik dan βkemokin.
Penigkatan kadar RANTES dipicu oleh NGF juga berkontribusi untuk aktivasi sel-
sel T.
Peningkatan ekspresi NGF pada kulit non lesi kemungkinan berperan dalam
terjadinya fenomena reaksi Köbner. Peningkatan NGF pada kulit yang luka telah
terbukti. Proliferasi keratinosit yang dipicu adanya perlukaan menghasilkan kadar
NGF yang lebih tinggi pada kulit non lesi dibandingkan kulit kontrol. Peningkatan
NGF memicu respon inflamasi berupa proliferasi saraf dan peningkatan
neuropeptida seperti substansi P (SP) dan calcitonin gene-related peptide (CGRP).
Neuropeptida dan NGF memicu proliferasi keratinosit.

Peristiwa stres dapat mengubah kadar SP dalam sistem saraf pusat dan tepi.
Pada model hewan, telah dilaporkan bahwa stres dapat meningkatkan kadar SP
pada kelenjar adrenal dengan mangaktivasi saraf autonom desending dan
merangsang pelepasan neuropeptida. Oleh karena itu inflamasi neurogenik
berperan penting dalam berkembangnya lesi psoriatik serta bertanggungjawab pada
eksaserbasi psoriasis selama kejadian stres selama hidup

Anda mungkin juga menyukai