Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

Penatalaksanaan Psoriasis Vulgaris


dengan Immunosupresan/Sitostatistika
(Metotrexat dan Siklosporin A)

Disusun oleh:
Putu Dewinta Darmada
406152075

Pembimbing:
dr. Emil Rafian Fadly, Sp.KK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA


RSUD CIBINONG
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
PERIODE 17 JULI – 19 AGUSTUS 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatnya,
penulis akhirnya dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Penatalaksanaan
Psoriasis Vulgaris dengan Immunosupresan/ Sitostatistika (Metotrexat dan
Siklosporin)” dengan baik. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas wajib
dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Universitas
Tarumanagara di RSUD Cibinong pada Periode 17 Juli – 19 Agustus 2017.

Selama proses penyusunan referat ini penulis masih mengalami


keterbatasan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa
pihak yang telah mendukung keberhasilan penyusunan referat ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

- dr. Emil Rafian Fadly, Sp.KK


- dr. Euis Nana Resna, Sp.KK
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.

Cibinong, Agustus 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Psoriasis merupakan penyakit kulit kronik dengan prevalensi berkisar 0,1-


11,8% di seluruh dunia, menyerang laki-laki maupun perempuan segala usia.
Prevalensi psoriasis di negara maju berkisar 1,5-5%. Psoriasis paling banyak
ditemukan dari negara Eropa bagian utara dan paling sedikit pada populasi Asia
Timur. Penelitian yang dilakukan di Amerika tahun 2009-2010 menemukan
prevalensi psoriasis pada ras kaukasia, negro, hispanik, dan ras lain secara
berturut-turut sebesar 3,6%, 1,9%, 1,6% dan 1,4%. Namun, penelitian ini
terbatas pada 20 negara, sehingga memberikan “kekosongan” data pada negara-
negara lainnya.1 Data dari rumah sakit di India Timur untuk psoriasis sebesar
0,44-2,8%.2 Pada tahun 2007 di Jerman, dari 1,3 milyar anak-anak, ditemukan
prevalensi psoriasis pada anak usia dibawah 18 tahun adalah 0,40%. Sedangkan
penelitian tahun 2008-2009 di mesir mendapatkan angka prevalensi psoriasis
pada anak dibawah 18 tahun sebanyak 0,05%. Sebanyak 90% dari psoriasis
yang di diagnosis adalah psoriasis vulgaris (plakat).1,3
Mayoritas pasien psoriasis memiliki gejala yang ringan dan dapat diatasi
dengan terapi topical, namun sekitar 30% pasien psoriasis memerlukan terapi
sistemik selama perjalanan penyakitnya. Metotrexat (MTX) dan Siklosporin A
(CsA) adalah obat sistemik konvensional yang paling umum digunakan. Studi
baru memberikan pencerahan mengenai efektivitas, keamanan penggunaan,
serta sebagai kombinasi dengan agen biologic.3 Referat ini bertujuan untuk
menganalisa penatalaksaan psoriasis vulgaris dengan metotrexat dan
siklosporin yang diberikan sebagai terapi sistemik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Psoriasis

Definisi Psoriasis

Psoriasis merupakan penyakit peradangan kronik kulit yang memiliki dasar genetik
yang kuat, dengan karakteristik berupa perubahan pertumbuhan dan diferensiasi sel
epidermis disertai manifestasi vaskuler, juga diduga adanya pengaruh sistem
saraf.4,5 Prevalensi psoriasis mencakup 0,1-11,8% populasi dunia, prevalensi di
Asia 0,4%.5 Menurut Hanseler dan Christopher terdapat 2 tipe psoriasis, tipe 1 bila
onset < 40 tahun dan kaitannya erat dengan faktor genetik serta fenotip yang lebih
parah dari tipe 2. Tipe 2 bila onset > 40 tahun dan kaitan familialnya rendah.4

Etiopatogenesis

Psoriasis merupakan penyakit yang patogenesisnya berdasarkan autoimunologik


dan genetik. Mekanisme peradangan pada psoriasis melibatkan berbagai faktor-
faktor inflamasi (sitokin, kemokin, faktor petumbuhan) yang menyebabkan
gangguan regulasi keratinosit, sel radang, dan pembuluh darah, sehingga lesi
tampak menebal dan berskuama tebal berlapis. Aktivasi sel T dalam pembuluh
limfe terjadi oleh presentasi antigen oleh sel makrofag penangkap antigen (Antigen
Presenting cell/ APC) terhadap sel T naif. Selain melalui reseptor sel T, pengikatan
sel T terhadap antigen harus dilakukan pula oleh ligan dan reseptor tambahan yang
dikenal dengan ko-stimulasi. Sel T yang teraktivasi kemudian berubah mnjadi sel
T efektor dan Set T memori, kemudian masuk sirkulasi sistemik dan bermigrasi ke
kulit. Interleukin-17/ IL-17 yang dihasilkan oleh Th-17 dibuktikan mampu
meningkatkan ekspresi keratin 17 yang merupakan karakteristik psoriasis.
Penelitian melalui injeksi IL-21 dan IL-23 pada mencit juga memicu proliferasi
keratinosit dan menghasilkan gambaran hyperplasia epidermis khas psoriasis.4,5
Gambar 1 (a) kulit normal pada orang
tanpa psoriasis. (b) kulit yang “tampak”
normal pada orang dengan psoriasis. (c)
terjadi dilatasi pembuluh darah dan
respon inflamasi ringan. (d) dilatasi
pembuluh darah dan respon inflamasi
hingga hyperplasia yang jelas pada
kulit.5
Gambar 2. Patofisiologi psoriasis6

Faktor pencetus4,5

Pencetus psoriasis terdiri dari berbagai faktor, yang paling jelas berpengaruh adalah
lingkungan pada pasien dengan predisposisi genetic. Trauma kimiawi, termal,
mekanik (garukan) akan memicu psoriasis melalui mekanisme Koebner. Stress atau
ketegangan emosional juga mempengaruhi psoriasis melalui mekanisme
neuroimunologik. Obat-obatan seperti lithium, beta-bloker, angiotensin-converting
enzyme inhibitor, antimalarial, NSAID, gemfibrozil, beberapa jenis antibiotik juma
dapat membangkitkan psoriasis. Infeksi bakteri (endotoksin) dapat menyebabkan
efek patologik dengan aktivasi sel limfosit T, makrofag, sel Langerhans dan
keratinosit. Obesitas, sindroma metabolic, diabetes mellitus dapat memperparah
kondisi psoriasis.4
Gambaran Klinis

Plak eritematosa diliputi skuama putih disertai titik-titik perdarahan bila skuama
dilepas, berukuran dari seujung jarum sampai dengan plakat menutupi sebagian
besar area tubuh, umumnya simetris. Kulit, kuku, mukosa, dan sendi adalah bagian
tubuh yang terserang. Dapat terjadi Fenomena Koebner, yaitu peristiwa munculya
lesi psoriasis setelah terjadi trauma maupun mikrotrauma pada kulit pasien dengan
psoriasis (garukan, gesekan). Fenomena tetesan lilin, dimana skuama berubah
warna menjadi putih pada goresan seperti tetesan lilin yg digores, disebabkan oleh
berubahnya indeks bias. Geographic tongue, yaitu plak putih yang berkonfigurasi
seperti peta juga dapat ditemukan pada pasien psoriasis. Berdasarkan gambaran
klinisnya, psoriasis dapat dibedakan menjadi; psoriasis vulgaris, psoriasis inversa,
psoriasis gutata, psoriasis pustulosa, eritroderma, psoriasis kuku, psoriasis
arthritis.4

Psoriasis vulgaris/ plakat

Lesi dimulai berupa makula eritematosa ukuran < 1 cm atau papul yang melebar ke
pinggir dan bergabung menjadi satu, lama kelamaan akan menjadi plak eritematosa
berbatas tegas dgn skuama keperakan. Lingkaran putih pucat yg mengelilingi
psoriasis plakat disebut Woronoff’s ring. Pasien umumnya memiliki keluhan berupa
gatal, rasa terbakar, nyeri. Uji Autspitz tidak spesifik untuk psoriasis, karena dapat
ditemukan pada dermatitis seboroik atau dermatitis kronis lainnya. 4,5

Gambar 3 Psoriasis Vulgaris5


Gambar 4 Psoriasis Vulgaris5

Psoriasis inversa

Letak lesi didaerah lipatan atau intertriginosa (ketiak, lipat siku, lipat lutut, lipat
inguinal, inframammae, perineum) serta tampak lembab dan eritematosa. Psoriasis
di daerah intertriginosa nyaris tidak berskuama, warna merah merona, mengkilap,
batas tegas, mirip infeksi jamur. 4,5

Gambar 5 Psoriasis inversa5

Psoriasis gutata

Khas pada dewasa muda, dimana bentuk yang sering dijumpai berupa lesi papul
eruptif berukuran 1-10 mm tersebar diskret secara sentripetal terutama di badan,
dapat mengenai ekstremitas dan kepala. Pada pasien dengan predisposisi genetik,
infeksi streptokokus beta hemolitikus berupa faringitis, tonsillitis, laryngitis sering
mengawali munculnya psoriasis gutata. 4,5
Gambar 6 Psoriasis gutata5

Psoriasis pustulosa

Merupakan manifestasi psoriasis maupun dapat merupakan komplikasi lesi klasik


dengan pencetus putus obat kortikosteroid sistemik, infeksi, ataupun pengobatan
topical bersifat iritasi. Psoriasis pustulosa von Zumbuch terjadi bila didapatkan lesi
pustul yang sangat parah dan generalisata, sering diikuti gejala konstitusi,
merupakan keadaan sistemik dan bersifat mengancam nyawa. Pustul nonfolikuler,
putih kekuningan, terasa nyeri dengan dasar eritematosa. Psoriasis pustulosa
lokalisata menyerang daerah hipotenar dan tenar, sisi dalam telapak kaki, sisi tumit.
4,5
Gambar 7 Psoriasis pustulosa5

Eritroderma

Muncul secara bertahap, atau akut dalam perjalanan psoriasis vulgaris, dapat pula
merupakan serangan pertama. Dibedakan menjadi 2 bentuk; 4,5

1.Psoriasis universalis yaitu lesi psoriasis plakat seluruh tubuh tidak diikuti
demam/menggigil,

2.Psoriasis dengan bentuk akut sebagai peristiwa mendadak vasodilatasi


generalisata

Kegawatdaruratan disebabkan terganggunya sistem panas tubuh, payah jantung,


gangguan fungsi hati dan ginjal. Kulit pasien tampak eritema difus, biasanya
disertai demam, menggigil, malaise. 4,5
Gambar 8 Eritroderma5

Psoriasis kuku

Dijumpai pada semua jenis psoriasis, 40-50% kasus, paling sering pada kuku jari
tangan. Dapat berupa pits (sumur2)/ kekuningan/terlepas dari dasarnya, penebalan
kuku hiperkeratotik, abnormalitas kuku berupa sumur2 kuku yang dalam dan dapat
membentuk jembatan-jembatan mengakibatkan kuku hancur/ crumbling dan
splinter hemorrhage. 4,5

Psoriasis artritis

Bermanifestasi di sendi pada 30% kasus. Pasien seringkali datang karena keluhan
sendi, tidak selalu ditemukan kelainan pada kulit. 4,5
Gambar 9 Psoriasis kuku dan artritis5

Diagnosis5,7

Anamnesis

◦ Usia,

◦ Riwayat penyakit infeksi,

◦ Obat (litium, antimalarial, alcohol, beta bloker)

◦ Riwayat pengobatan dan pembedahan

◦ Riwayat sosial, keluarga, gejala

Pemeriksaan Fisik

◦ Diagnosis  penampilan klinis plak

◦ Inspeksi seluruh permukaan kulit

◦ Ekstensor, badan, perineum, kepala, kuku, sendi, dll


Pemeriksaan penunjang

◦ Pemeriksaan laboratorium tidak spesifik untuk psoriasis

◦ Biopsi kulit, serologis, kultur bakteri, pemeriksaan mikroskopis dapat


dilakukan untuk membedakan dari penyakit lain

◦ ASTO

◦ Faktor rheumatoid

◦ Ro tulang sendi

Diagnosis banding4,5

Diagnosis Psoriasis Diagnosis Banding


(Jenis)

Plakat Dermatitis numularis/ neurodermatitis, tinea korporis, liken


planus, parapsoriasis,

Fleksural Dermatitis seboroik, dermatitis popok, tinea kruris,


kandidosis

Gutata Pitiriasis rosea, dermatitis numularis, erupsi obat,


parapsoriasis, CTCL

Eritroderma Dermatitis atopic, dermatitis seboroik, DKA, erupsi obat,


PRP, pitiriasis rosea, fotosensitivitas, CTCL, limfoma kutis

Kuku Tinea unguium, kandidosis, traumatic onikosis, liken planus,


20 nail dystrophy, penyakit Darier

Scalp Dermatitis seboroik, tinea kapitis, PRP, eritroderma,


karsinoma Bowen

Palmoplantar Dermatitis tangan, DKA, tinea, scabies, limfoma kutis

PPG Impetigo herpetiformis, pustular dermatosis subkorneal,


erupsi obat pustulosa, akrodermatitis enteropatika (anak)
Histopatologik4,5

• Penebalan (akantosis) dengan elongasi seragam dan penipisan epidermis


diatas papilla dermis, masa sel meningkat 3-5x dan masih banyak dijumpai
mitosis diatas lapisan basal.

• Ujung rete ridge berbentuk gada dan bertaut dengan rete ridge sekelilingnya.

• Hiperkeratosis dan parakeratosis dengan menghilangnya stratum


Granulosum.

• Pembuluh darah di papilla dermis  memanjang, melebar, berkelok.


Infiltrasi sel radang disekitar pembuluh darah.

• Gambaran spesifik psoriasis  bermigrasinya sel radang granulosit-


neutrofilik dari ujung subset kapiler dermal ke bagian lapisan parakeratosis
stratum Korneum (mikroabses munro) / pada stratum Spongiosum
(spongioform pustules of kojog)

Gambar 10 Histopatologi jaringan kulit pasien dengan psoriasis5


Komplikasi dan Prognosis

Morbiditas dan mortalitas meningkat terhadap gangguan kardiovaskuler, terutama


pada pasien psoriasis berat dan lama. Risiko Infark miokard pada pasien psoriasis
muda yg menderita psoriasis dalam jangka waktu lama. Peningkatan risiko limfoma
malignum, gangguan emosional (depresi) diperberat keluhan gatal dan nyeri
mengakibatkan penurunan kualitas hidup pasien. Pasien eritroderma mengalami
hipotermia dan hipoalbuminemia sekunder karena pengelupasan kulit yang
berlebihan juga dapat terjadi gangguan jantung dan pneumonia. Pasien PPG (10-
17%) menderita atralgia, myalgia dan lesi mukosa. Kekambuhan hampir selalu ada,
dan pengobatan dapat berlangsung seumur hidup. 4,5

Psoriasis area & severity index (PASI)

Psoriasis Area and Severity Index merupakan pengukuran keparahan psoriasis.


Umumnya digunakan pada percobaan klinis untuk terapi psoriasis, dihitung
sebelum, saat, dan setelah periode terapi untuk menentukan respon psoriasis
terhadap terapi. Terdiri dari 2 hal yaitu pengukuran luas permukaan tubuh yang
terdapat lesi dan penilaian keparahan lesi (eritema, indurasi dan skuama).
Perhitungan akan menghasilkan skor PASI antara 0-72 (kasus psoriasis terberat).5
Terapi4,5

• Topikal

• Kortikosteroid topikal (tunggal/kombinasi) digunakan sampai 4-6


minggu. Bila tidak membaik, pengobatan dihentikan/diganti (KS
superpoten 2 minggu).

• Kalsipotriol/kalsipotrien dapat memperlihatkan penyembuhan


setelah pemakaian lama (berkisar 14-78 hari)

• Retinoid topical  Tazarotene 0,1% selama 12 minggu

• Ter dan Antralin  Coal tar 5%, Antralin (ditranol) 0,05% sekali
sehari, ditingkatkan sampai 1% dengan kontak singkat 15-30
menit/hari

• Sistemik

• Metotrexat 7,5-15 mg/minggu,

• Asitretin 0,5-1 mg/kgBB/hari,

• Siklosporin 2,5mg/kgBB/hari untuk awal terapi, dengan dosis


maksimum 4mg/kgBB/hari

• Agen biologik  recombinant human cytokine, fusi protein, monoclonal


Antibodi (alefacept, efalizumab, infliximab, ustekinumab.)

• Fototerapi dengan UVB spectrum sempit (NB-UVB) dosis


suberitemogenik, kombinasi dgn ter, menunjukkan perbaikan (3-5x
seminggu).
Gambar 9 Alogaritma terapi5

2.2 Metotrexat

Metotrexat (MTX) merupakan standar emas pengobatan psoriasis hingga kini,


dapat digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi bersama dengan obat lain.
Metotreksat (MTX) (C20H22N805) merupakan derivative dari aminopterin, analog
dan antimetabolik asam folat. Zat ini menginhibisi dihidrofolat reduktase, yang
merupakan suatu enzim yang bertanggungjawab untuk reduksi asam dihidrofolat
menjadi asam tetrahidrofolat. Aminopterin pertama kali digunakan dalam terapi
psoriasis dan rematoid artritis pada tahun 1951. Pada tahun 1972, MTX diterima
sebagai salah satu regimen pengobatan psoriasis oleh FDA.3,8

Mekaninesme kerja

Metotreksat memiliki sifat antiinflamasi, antiproliferatif dan imunosupresif.


Kemampuannya mencegah enzim dihidrofolat reduktase (DHFR) dan aktifasi asam
folat menyebabkan inhibisi aktivitas thymidylate synthase yang merupakan
komponen penting untuk sintesis purin dan pirimidin yang berfungsi untuk sintesis
DNA. Gangguan jalur sintesis tersebut terjadi pada fase S siklus sel, yang
menyebabkan inhibisi pertumbuhan dan apoptosis. Dengan mencegah sintesis
DNA, MTX membatasi hyperplasia epitel, meningkatkan apoptosis sel T yang
teraktivasi, dan mencegah kemotaksis neutrophil. Selain itu, MTX juga
berpengaruh dalam menurunkan sintesis sitokin proinflamasi seperti tumour
necrosis factor α (TNF-α) dan interleukin 1 (IL-1). Mekanisme kerja spesifik MTX
pada psoriasis vulgaris masih belum jelas.8

Aktivitas antiproliferatif dari obat ini dianggap berguna pada psoriasis.


Beberapa penelitian in vitro menyatakan bahwa MTX menyebabkan inhibisi
transformilase 5-aminoimidazole-4-carboxamide ribonucleotide (AICAR), yang
menyebabkan akumulasi AICAR, yang pada akhirnya menyebabkan konsentrasi
adenosine jaringan meningkat. Peningkatan konentrasi adenosine berhubungan
dengan sifat anti-inflamasinya dan menyebabkan perbaikan gejala psoriasis.3

Indikasi terapi metotreksat antara lain; psoriasis vulgaris, eritroderma


psoriatic, palmoplantar pustulosis, psoriasis pustulosa generalisata, psoriasis kuku,
psoriasis artritis. Obat ini terutama diberikan pada pasien yang tidak menunjukkan
perbaikan setelah terapi topical, fototerapi, atau terapi asitrein, atau bila terdapat
kontraindikasi terhadap terapi diatas. Metotreksat juga diindikasikan sebagai terapi
kombinasi dengan obat imunosupresif lainnya terutama dengan agen biologic. Pada
kasus seperti ini, MTX berperan dalam menginhibisi pembentukan antibodi
terhadap obat biologic, yang akan meningkatkan efektivitasnya. Kombinasi MTX
dan etarnecept telah digunakan unuk tatalaksana psoriasis pada anak.8
Tidak ada batasan yang pasti mengenai dosis minimum maupun maksimum
metotrexat, dimana dosis mingguan berkisar antara 5-25 mg oral atau parenteral,
umumnya 7,5-15 mg/minggu. Sebagian besar studi yang dilaporkan dalam
literature menggunakan MTX dimulai dari dosis kecil 7,5mg/minggu dan dinaikkan
perlahan sesuai respon terapi. Namun penelitian yang dilakukan oleh Menting, dkk
menyarankan pemberian dosis awal sebesar 15 mg/minggu untuk pasien yang
bukan lansia dan tidak memiliki gangguan ginjal. Pemberian dosis awal 5-7,5
mg/minggu untuk lansia dan pasien gangguan ginjal. Dosis maksimum yang
direkomendasikan adalah 25 mg/minggu.9 Pemberian secara intramuscular
membantu jika pada pasien tersebut mengalami intoleransi dengan dosis oral.
Injeksi subkutan sama efektifnya dan dapat diberikan sendiri di rumah. 3

Penggunaan Asam folat bersamaan dengan MTX masih diperdebatkan,


karena asam folat diberikan untuk tujuan mengurangi toksisitas hepar karena MTX,
namun pada beberapa studi ditemukan bahwa asam folat mengurangi efektivitas
MTX secara signifikan.3 Dosis dan frekuensi pemberian bervariasi dan masih
diperdebatkan, antara lain pemberian 1-5 mg/hari sampai 5-10mg/minggu,
diberikan 24-48 jam setelah pemberian metotrexat.9

Penggunaan jangka panjang MTX menyebabkan hiperhomosisteinemia dan


berpotensi memperburuk penyakit kardiovaskular. Namun studi terbaru
menyatakan bahwa MTX memiliki efek kardioprotektor dengan menghambat
inflamasi yang merupakan peran penting dalam aterogenesis, instabilitas plak, dan
thrombosis. Steatohepatitis non-alkoholik (NASH) dilaporkan terjadi lebih sering
pada pasien dengan psoriasis, serta memiliki risiko lebih tinggi terjadinya sirosis
bila di terapi dengan MTX. Menurut guideline, biopsy hati diperlukan untuk
menilai toksisitas yang diinduksi oleh MTX dan pasien psoriasis dapat dibagi
menjadi pasien risiko rendah dan risiko tinggi. PAsien risiko rendah tidak
memerlukan biopsy awal dan pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan secara
regular. Biopsi hati dilakukan pada dosis kumulatif 3,5-4 gram atau lebih awal bila
ditemukan 5 peningkatan persisten level enzim aspartat aminotransferase dalam 12
bulan atau bila nilai albumin serum menurun dibawah normal pada pasien dengan
keadaan psoriasis yang terkontrol. Pada pasien dengan risiko tinggi, dilakukan
biopsy awal setelah pemberian MTX selama 2-6 bulan dan ulang biopsy dilakukan
setelah tiap dosis kumulatif 1-1,5 gram. 3

Telah dilakukan berbagai studi untuk menggantikan biopsy hati untuk mendeteksi
fibrosis liver. Dua studi terbaru menemukan pro-collagen 3 N-terminal peptide
(PIIINP) sebagai penanda yang berguna dalam kerusakan hepar dan biopsy hepar
dapat dihindari sama sekali apabila didapatkan nilai PIIINP stabil. Penanda lainnya
digunakan untuk mendeteksi fibrosis hepar dengan derajat kesuksesan yang
beragam. Penanda tak langsung (indirek) terhadap fibrosis liver termasuk a2-
makroglobulin, g-globulin, apolipoprotein A1, g-glutamiltransferase dan bilirubin
total. Penanda langsung selain PIIINP yaitu prokolagen I, kolagen tipe IV, laminin,
asam hyaluronat, metalloproteinase jaringan dan inhibitornya. Penanda-penanda ini
masih perlu di uji ci=oba pada pasien dengan psoriasis untuk menemukan
kegunaannya dalam deteksi fibrosis hepar terinduksi MTX. 3

Rekomendasi American Academy of Dermatologist tahun 2009 memodifikasi


daftar kontraindikasi absolut dan relative dalam pemberian MTX. Termasuk dalam
kontraindikasi absolut antara lain; hamil dan menyusui, penyakit liver alkoholik,
penyakit liver kronik, sindrom imunodefisiensim hypoplasia sumsum tulang
(leukopenia, trombositiopenia, anemia yang signifikan) dan hipersensitivitas
terhadap MTX. Kontraindikasi relative antara lain; gangguan fungsi ginjal dan
liver, infeksi aktif, obeesitas, diabetes mellitus, penggunaan bersamaan dengan obat
hepatotoksik lainnya, paska vaksinasi dengan vaksin hidup. 3

2.3 Siklosporin A (CsA)

Siklosporin A (CsA) merupakan undekapeptida siklik natural yang merupakan


turunan dari jamur Tolypocladium inflatum Gams yang memiliki efektivitas
tertinggi diantara agen non-biologik sistemik. Hal ini disebabkan karena CsA
merupakan imunosupresan spesifik sel T.5,10

Mekanisme kerja

Cyclosporin A merupakan inhibitor kalsineurin yang mneginhibisi stimulasi sel T


melalui beberapa jalur, dimana reseptor sel T CD3 adalah yang paling dimengerti.
Reseptor afinitas tinggi untuk CsA adalah imunofilin 17 kD yang disebut siklofilin
A (CyPA). Data eksperimen menunjukkan CsA menginhibisi translokasi nukleus
dari faktor nuclear molekul sel T teraktivasi dengan memblokir defosforilasinya.
Sebagai kesimpulan, CsA mencegah aktivasi sel T yang dimediasi oleh antigen,
tetapi tidak mencegah pada fase awal sinyal transduksi limfosit yang terjadi setelah
aktivasi yang di mediasi antigen. Efek imunomodulator obat ini masih memerlukan
penemuan yang lebuh lanjut.5,10
Siklosporin disebut crisis drug karena efektif pada kasus yang resisten terhadap
pengobatan lain dan memberikan control yang cepat bahkan untuk kasus yang
sangat parah. Dosis CsA diberikan dalam dosis 2,5-5 mg/kg/hari. Penggunaan
siklosporin A selama 12-16 minggu dapat menunjukkan perbaikan yang signifikan
pada 80-90% pasien. Obat ini juga berguna untuk tatalaksana pasien anak dengan
psoriasis dengan efek samping yang sama terhadap pada dewasa. Masalah utama
dengan CsA adalah hipertensi terinduksi obat, efek samping ginjal, peningkatan
insidens keganasan, dan rebound flare setelah menghentikan pengobatan.
Pengobatan jangka panjang menyebabkan permanent scarring dan gangguan fungsi
ginjal. Penggunaan berulang yang kontinu terhadap CsA selama lebih dari 2 tahun
memiliki risiko sangat tinggi terjadinya gagal ginjal. Untuk mencegah komplikasi
ini, CsA harus diberikan secara intermiten dan durasi maksimum 12 minggu. 3,10

Peningkatan insiden karsinoma sel skuamosa pada kulit (SCC) terutama pada
pasien yang sebelumnya pernah menerima fototerapi PUVA (psoralen + UV A).
Pada studi kohort besar yang mengevaluasi lebih dari 1200 subjek dengan
penggunaan CsA jangka panjang, terdapat peningkatan risiko kanker kulit
nonmelanoma, terutama SCC, pada pasien yang menerima terapi PUVA
tambahan.3

2.4 Kombinasi Metotreksat (MTX) dan Siklosporin A (CsA)

Metotreksat (MTX) dan Siklosporin A (CsA) merupakan obat yang sangat efektif
dalam tatalaksana psoriasis sebagai monoterapi pada pasien dengan psoriasis
sedang-berat. Namun, guidelines psoriasis tidak menyarankan kombinasi kedua
obat ini, disebabkan peningkatan toksisitas MTX, kedua obat dapat meningkatkan
waktu paruh satu sama lain dan menurunkan kecepatan ekskresi dari tubuh.
Laporan mengenai keamanan obat tersebut bila digunakan sebagai kombinasi untuk
artritis rematik dan psoriasis saat ini mulai bertambah. Menurut penelitian
retrospektif Mohanan S, dkk, kombinasi MTX-CsA aman dan efektif untuk
psoriasis vulgaris stabil dan tidak terdapat adverse event yang serius. Dosis MTX
yang diberikan sebesar 7,5-15mg/minggu disertai pemberian asam folat 5mg
selama 6x/minggu. Dosis siklosporin yang diberikan 3mg/kg/hari. Pemberian MTX
dan CsA pada pasien tidak diberikan bersamaan. Pada 10 pasien, MTX diberikan
lebih awal, kemudian diikuti pemberian CsA setelah pengamatan mendapatkan
respon kurang adekuat dari monoterapi MTX. Sedangkan pada 8 pasien lain dengan
psoriasis yang tak stabil, ketergantungan alcohol, dan tidak menjalani fototerapi
diberikan siklosporin terlebih dahulu, MTX ditambahkan belakangan. Penelitian ini
menganjurkan penggunaan kombinasi MTX-CsA sebagai pilihan terapi psoriasis
vulgaris pada kasus-kasus refrakter. Namun masih dibutuhkan penelitian lebih
lanjut mengingat banyaknya keterbatasan penelitian sebelumnya.11
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Psoriasis merupakan penyakit peradangan kronik kulit yang memiliki dasar genetik
yang kuat, dengan karakteristik berupa perubahan pertumbuhan dan diferensiasi sel
epidermis disertai manifestasi vaskuler. Prevalensi psoriasis di Asia 0,4%.
Patogenesisnya berdasarkan autoimunologik dan genetik. Mekanisme peradangan
pada psoriasis melibatkan berbagai faktor-faktor inflamasi (sitokin, kemokin, faktor
petumbuhan) yang menyebabkan gangguan regulasi keratinosit, sel radang, dan
pembuluh darah, sehingga lesi tampak menebal dan berskuama tebal berlapis.

Sebanyak 90% dari total kasus psoriasis berupa psoriasis vulgaris/plakat.


Terapi psoriasis dapat berupa topical, sistemik, dan fototerapi. Regimen pengobatan
psoriasis secara sistemik dapat menggunakan imunosupresan Metotreksat (MTX)
dan Siklosporin A (CsA). Metotreksat (MTX) masih merupakan obat pilihan utama
pada pasien psoriasis, dikombinasikan dengan terapi lainnya, salah satunya dengan
agen biologic. Metotreksat memiliki sifat antiinflamasi, antiproliveratif dan
imunosupresif. Dosis mingguan psoriasis berkisar antara 5-25 mg oral atau
parenteral, umumnya 7,5-15 mg/minggu. Untuk pencegahan hepatotoksisitas
MTX, pemberian asam folat 24-48 jam setelah pemberian MTX masih
diperdebatkan karena Asam folat menurunkan efektivitas MTX. Dosis dan
frekuensi pemberian bervariasi dan masih diperdebatkan, antara lain pemberian 1-
5 mg/hari sampai 5-10mg/minggu.

Siklosporin A (CsA) merupakan turunan dari jamur Tolypocladium inflatum


Gams yang memiliki efektivitas tertinggi diantara agen non-biologik sistemik. Hal
ini disebabkan karena CsA merupakan imunosupresan spesifik sel T. Siklosporin
disebut crisis drug karena efektif pada kasus yang resisten terhadap pengobatan lain
dan memberikan control yang cepat bahkan untuk kasus yang sangat parah. Dosis
CsA diberikan dalam dosis 2,5-5 mg/kg/hari. Penggunaan siklosporin A selama 12-
16 minggu dapat menunjukkan perbaikan yang signifikan pada 80-90% pasien.
Efektivitas kombinasi MTX dan CsA belum memiliki bukti yang cukup.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global report on psoriasis. 2016. WHO; Geneva,


Switzerland.
2. Dogra S, Mahajan R. Psoriasis: Epidemiology, clinical features, co-
morbidities, and clinical scoring. Indian Dermatol Online J. 2016 Nov-Dec;
7(6): 471–480.
3. Kanwar AJ, Yadav S, Dogra S. Psoriasis: What is new in nonbiologic systemic
therapy in the era of biologics?. Indian J Dermatol Venereol Leprol
2010;76:622-33
4. Jacoeb TNA. Psoriasis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed 7. Badan Penerbit
FKUI; 2015: p213-21
5. Gudjonsson JE, Elder JT. Dalam: Goldsmith,dkk. Psoriasis. Fitzpatrick 8th ed.
2012.
6. Buxton PK, Morris-Jones R. Psoriasis. ABC dermatology 5th ed. BMJ
publishing group limited; 2009. p.11-23
7. Perdoski. Psoriasis. Panduan Pelayanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi
dan Venereologi. 2014
8. Operacz MC, Przytocka AS. The possibilities and principles of methotrexate
treatment of psoriasis – the updated knowledge. Postep Derm Alergol 2014;
XXXI, 6: 392–400 DOI: 10.5114/pdia.2014.47121
9. Menting SP, Dekker PM, Limpens J, Hooft L, Spuls PI. Methotrexate Dosing
Regimen for Plaque-type Psoriasis: A Systematic Review of the Use of Test-
dose, Start-dose, Dosing Scheme, Dose Adjustments, Maximum Dose and Folic
Acid Supplementation. Acta Derm Venereol. 2016; 96: 23-28
10. Colombo MD, Cassano N, Bellia G, Vena GA. Cyclosporine Regimens in
Plaque Psoriasis: An Overview with Special Emphasis on Dose, Duration, and
Old and New Treatment Approaches. The Scientific World Journal vol. 2013
http://dx.doi.org/10.1155/2013/805705
11. Mohanan S, Ramassamy S, Chandrashekar L, Thappa DM. A retrospective
analysis of combination methotrexate-cyclosporine therapy in moderate-severe
psoriasis. Journal of dermatological treatment; 2013: 1-4 USA.
Doi:10.3109/09546634.2013.782094

Anda mungkin juga menyukai