(L.E.D)
1.1 Definisi
Lupus Eritematosus Diskoid adalah suatu penyakit kulit menahun
(kronik) yang ditandai dengan peradangan dan pembentukan jaringan parut yang
terjadi pada wajah, telinga, kulit kepala dan kadang pada bagian tubuh lainnya.
Bentuk kupu-kupu (butterfly erythema) jika lesi di atas hidung dan pipi
berkonfluensi
1.4 Diagnosis
Diagnosisnya harus dibedakan dengan dermatitis seboroik, psoriasis
dan tinea fasialis. Lesi di kepala yang berbentuk alopesia sikatriksial harus
dibedakan denga liken planopapilaris dan tinea kapitis.
1.5 Pengobatan
Non medikamentosa
Hindari trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang sangat dingin dan stress
emosional
Medikamentosa
Varian verukous/hipertrofik
Varian telangiektoid
ETIOLOGI
Penyebab pasti dari LED tidak diketahui tetapi kebanyakan ahli
menganggpnya sebagai suatu bentuk autoimunitas. Asumsi ini pertamakali ditemukan
dikemukakan dengan adanya gen major histocompatibility complex (MHC),
khususnya alel human lymphocyte antigen (HLA). Dilaporkan bahwa penderita LED
mengalami peningkatan bermakna dari HLA-B7,-B8,DR2, dan -DQA0102 serta
penurunan HLA-A2 dengan kombinasi dari HLA-DR3,HLA DQA 0102 dan HLA-B7
menyebabkan resiko relatif LED yang paling maksimal. Frekuensi LED juga
meningkat pada karier penyakit granulomatosa kronik terpaut kromosom X yang
berjenis kelamin wanita. Defisiensi genetik komplemen seperti C2,C3,C4 dan C5
serta inhibitor esterase C1 juga dihubungkan dengan LED dan LECS [1,5]
Pada suatu percobaan ditemukan bahwa pada kultur keratinosit yang dipajani
sinar ultraviolet, antigen yang seharusnya ada dalam inti dan sitoplasma sel akan
keluar ke membran keratinosit sehingga dapat diikat oleh antibody seperti anti-SSA,
anti-SSB atau anti-RNP. Hal ini dapat mengawali keseluruhan proses imunologis yang
mendasari terbentuknya lesi pada LED.[5] Suatu penelitian berbasis case-control
melaporkan bahwa perokok jauh lebih beresiko menderita LE daripada orang yang
tidak merokok dan bahwa kemungkinan hal ini disebabkan oleh suatu zat yang
disebut amina aromatik lupogenik yang ada dalam asap tembakau.[1]
Sejenis struktur tubuler berukuran diameter ± 20 nm dan sangat mirip dengan
paramiksovirus ditemukan pada sel endotel pembuluh darah, histiosit perivaskuler,
atau fibroblast dari lesi LED. Struktur tersebut akan berkurang jumlah dan ukurannya
setelah penggunaan klorokuin. Jika struktur tersebut terbukti adalah virus,
kemungkinan struktur tersebut dapat berperan sebagai presipitator LED. Penemuan
antibodi RNA reovirus pada 42% pasien juga menguatkan dugaan adanya peranan
virus dalam perjalanan penyakit LED [6]
PATOGENESIS
Pewarisan gen /
HLA dan
lainnya mutasi somatik
Induksi autoimunitas
Perluasan proses
Ekspansi sel T
autoimun
Jejas
Pembentukan kompleks imun
imunologis
Tahap pertama adalah pewarisan gen yang dianggap sebagai predisposisi LE.
Setidaknya ada empat gen dalam hal ini. Hubungan penyakit kulit spesifik LE dengan
MHC kelas II DR sudah banyak diketahui. Selain itu, gen lain juga dianggap berperan
dalam pathogenesis LES, seperti gen yang mengkodekan komplemen dan tumor
necroting factor (TNF), gen yang memediasi apoptosis serta gen yang melibatkan
proses komunikasi antar-sel serta gen yang berperan dalam pembersihan kompleks
imun. [1]
Tahap kedua dari pathogenesis LES adalah fase induksi yaitu permulaan
proses autoimunitas yang ditandai dengan kemunculan sel T autoreaktif yang telah
kehilangan toleransi terhadap komponen tubuh. Mekanisme yang melandasi
autoreaktifitas tersebut antatara lain: [1,3]
1. Regenerasi klonal. karena sel limfosit terus menerus diproduksi dari sel
stem, jika dosis tolerogenik antigen tidak dipertahankan, sistem imun akan
menggantikan sel-sel tua yang toleran tetapi mulai menua dengan sel-sel
muda yang tidak toleran
2. Imunisasi-silang. Pajanan antigen yang bereaksi silang dengan tolerogen
dapat memicu aktivasi sel limfosit T helper (Th) spesifik untuk antigen
yang bereaki silang dan juga menyediakan sinyal yang dibutuhkan limfosit
autoreaktif untuk menimbulkan efek pada tolerogen.
3. Stimulasi klon anergi Anergi adalah suatu proses yang menghilangkan
kemampuan imunologis klon autoreaktif yang berhasil lolos dari delesi
klonal sehingga klon-klon tersebut tidak dapat merespon rangsangan oleh
antigen. Diperkirakan bahwa suatu stimulasi sel limfosit T tertentu dapat
menghilangkan anergi dan mengawali proses autoreaktifas
Selain pembentukan klon autoimun, pada tahap kedua dari patomekanisme LE
juga dijelaskan antigen yang berperan dalam autoimunitas. Seperti dibahas
sebelumnya, antigen LE kebanyakan adalah antigen yang terdapat di dalam inti dan
sitoplasma dari sel keratinosit yang terbebaskan ke membran sel akibat mekanisme
tertentu. Uji laboratorium telah membuktikan bahwa antigen tersebut dapat keluar
akibat pajanan sinar ultraviolet. Selain itu, faktor lain yang dapat memicu lesi LED
dan kemungkinan berhubungan dengan pembebasan antigen dari inti dan sitoplasma
keratinosit adalah trauma, infeksi, pajanan dingin, sinar-X hingga bahan kimia.[5,6]
Setelah klon autoimun terbentuk, terjadi suatu mekanisme yang
memperbanyak dan memperluas klon yang bermasalah ini. Tahap ketiga atau tahap
ekspansi nampaknya melibatkan peningkatan respon autoimun yang dipicu antigen
secara progresif. Pada tahap ini, autoantibody dihasilkan oleh sel-sel B yang berlipat
ganda. Walaupun sangat banyak, autoantibody LE hanya ditujukan pada beberapa
antigen inti dan sitoplasma. Ada tiga target utama: nukleosom (anti-DNA dan antibodi
antihiston), spliceosome (anti-Sm dan anti-RNP) molekul Ro dan La (anti-Ro dan
anti-La).[1]
Tahapan terakhir yang adalah tahapan yang mungkin paling penting secara
klinis dan menandai awal dari penyakit klinis adalah jejas imunologis. tahapan ini
sebagian besar diakibatkan oleh kerja dari autoantibodi dan kompleks imun yang
terbentuk yang menyebabkan jejas jaringan baik itu dengan kematian sel secara
langsung, aktivasi seluler, opsonisasi maupun karena terhambatnya fungsi molekul
target. [1]
GEJALA KLINIS
Lesi bentuk koin (diskoid) adalah manifestasi lupus kutaneus yang paling
umum ditemui. Lesi diskoid paling sering ditemukan di wajah, kulit kepala dan
telinga, tetapi persebarannya juga bisa lebih luas. Walaupun begitu, lesi di bawah
leher sangat jarang ditemukan jika tidak ada lesi di atas leher. Lesi juga kadang-
kadang ditemukan di permukaan mukosa, termasuk bibir, lapisan mukosa oral lain,
mukosa hidung, konjungtiva dan mukosa genital. [7]
Lesi primer LED adalah makula atau papul eritem asimetris tanpa gejala
subjektif dengan sisik ringan hingga sedang. biasanya berukuran 1-2 cm. Seiring
dengan perjalanan penyakit, sisik dapat menebal dan melengket, disertai
hipopigmentasi di daerah inaktif (tengah) dan hiperpigmentasi di batas aktif. Jika
mengenai daerah berambut seperti kulit kepala dan janggut, eskar dengan alopesia
permanen dapat terjadi. Lesi LED seringkali tersebar mengikuti pajanan sinar
matahari tetapi daerah yang tidak terpajan tetap dapat terkena lesi.[2,4,8]
Setelah beberapa lama, lesi LED akan berubah menjadi pakat eritem berbatas
tegas yang titutupi oleh sisik yang meluas hingga ke bukaan folikel rambut. Jika sisik
yang melekat dilepaskan, jarum-jarum keratotik yang mirip dengan paku karpet dapat
terlihat di bagian bawah sisik (tanda paku karpet). Lesi meluas dengan eritem dan
hiperpigmentasi di pinggir dengan eskar atrofi, telangiektasia dan hipopigmentasi di
tengah. [9]
LED dapat dibedakan menjadi LED lokalisata yang mengenai wajah dan leher
serta LED generalisata yang mengenasi bagian atas dan bawah dari leher. Lesi LED di
bawah leher. [8,9]
Gambar 2 : LED di wajah pasien[8]
2. Tes lainnya
Berikut adalah tabel yang menampilkan ringkasan hasil laboratorium untuk
LED dengan perbandingan dengan LEKA dan LEKS :
ANA + +++ ++
Antibodi RO/SSA
- dg ELISA + ++ +++
Hipokomplementemia +++ + +
LEKA, lupus eritematosus kutaneus akut; LEKS, lupus eritematosus kutaneus subakut; ANA,antibodi
antinuclear; ELISA, enzyme linked immunosorbent assay
+++,sangat berhubungan; ++, agak berhubungan; +,berhubungan lemah; 0,negatif, tidak berhubungan
Tabel 2: Ringkasan hasil laboratorium LED dengan perbandingan LEKA dan LEKS.
(dari Cutaneus Lupus Erythematosus). [3]
DIAGNOSIS
Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gabungan antara anamnesis,
pemeriksaan fisis serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis:
Pasien mungkin mengeluh gatal ringan atau nyeri sesekali dalam lesi, tetapi
kebanyakan pasien tanpa gejala. Sekitar 5% atau kurang pasien LED telah terlibat
dalam kelainan sistemik. Arthralgia atau arthritis mungkin terjadi. Jadi, anamnesis
harus difokus pada riwayat penyakit dan gejala LE yang berkaitan seperti
fotosensitivitas, arthralgia atau arthritis, alopesia areata serta fenomena Raynaud,
aborsi spontan pneumonia, karditis serta gangguan neurologis. Untuk mendukung
diagnosis klinis, pemeriksaan histologis serta imunohistokimia lesi kulit akan
dilakukan.[8,11]
Pemeriksaan fisis (gejala klinis):
Lesi primer LED adalah papul eritematosa atau plak dengan gambaran sisik
(lihat gambar di bawah). Semakin lama lesi semakin aktif, sisik semakin menebal dan
terjadi perubahan pigmentasi dengan hipopigmentasi di daerah pusat lesi dan pada
daerah perbatasan tidak aktif dan hiperpigmentasi. [8,12]
Gambar 6: Bekas luka kronis lesi LED[8]
Gambar 8: Lesi LED dalam konka menunjukkan folikel dengan sumbatan [8]
Lesi awal mungkin sulit untuk dibedakan dengan lesi LEKS. Lesi LED
seringkali tersebar menurut pajanan sinar matahari tetapi daerah yang tidak terkena
sinar matahari dapat pula terkena. Kulit kepala seringkali terkena sehingga
menghasilkan alopesia .[8]
Pasien dengan LED sering dibagi menjadi 2 kelompok: lokal dan generalisata.
LED lokal terjadi ketika hanya pada kepala dan leher, sedangkan LED generalisata
terjadi ketika daerah lain [8]
Gambar 10: lesi LE kronik pada tubuh pasien [8]
DIAGNOSIS BANDING
Keratosis Aktinik
Gambaran klinis berupa bercak-bercak merah dan berskuama, yang secara
khas bertambah besar dan menyusut bersama dengan waktu, dapat timbul ratusan lesi
pada orang-orang yang sering terpapar sinar matahari. [14]
Gambar 12: Psoriasis vulgaris yang meluas dari kulit kepala ke leher[1]
Liken Planus
Liken planus merupakan kelainan yang agak bervariasi bentuknya. Bentuk
yang paling sering adalah adanya erupsi akut pada papula yang gatal. Gambaran
klinis: lesi-lesi kulitnya berpermukaan rata, mengkilat, dan poliglonal. Gambaran
permukaannya tampak seperti anyaman halus dari bintik-bintik dan garis-garis,
disebut sebagai “Wickham’s striae” [14]
Gambar 13: plakat berpuncak rata dengan
Wickham’s striae pada ekstremitas penderita[1]
Lupus Ertitematosus Kutaneus Subakut
Terdapat lesi- lesi papuloskuamosa
atau anular tanpa pembentukan jaringan
parut, terutama pada tempat-tempat yang terpapar sinar matahari. Mugkin juga
didapatkan gejala sistemik, walaupun biasanya ringan. [14]
Gambar 14: LEKS dengan lesi anular dengan pusat hipopigmentasi tanpa atrofi kulit pada punggung
dan lengan
PENATALAKSANAAN
A. PENCEGAHAN
Adapun tujuan dari terapi LED adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien, mengontrol lesi yang telah ada, mengurangi bekas lesi, dan untuk mencegah
perkembangan lesi lebih lanjut. [1]
Karena lesi kulit lupus diketahui disebabkan atau diperburuk oleh paparan
sinar ultraviolet cahaya, pendekatan logis dalam pengelolaan diskoid lupus harus
mencakup menghindari matahari dan liberal aplikasi tabir surya. Pengobatan dimulai
dengan menghindari faktor pencetus misalnya panas, obat-obatan dan tentunya sinar
matahari dan semua sumber yang menyebabkan paparan radiasi sinar UV. Adapun
cara yang digunakan untuk melindungi kulit adalah memakai pakaian yang tertutup,
topi yang lebar. Selain itu pasien disarankan untuk menghindari penggunaan obat
obatan fotosensitif seperti Hidroclorothiazid, tetrasklin, griseofulvin, dan piroxicam.[1]
B. PENGOBATAN TOPIKAL
1. Proteksi sinar matahari dengan menggunakan tabir surya spektrum luas-
kedap air [SPF ≥ 15 dengan agen penghambat UVA seperti parsol dan
mikronized titanium dioksida. [1]
2. Glukokortikoid lokal. Walaupun penggunaan potensi medium dari preparat
ini seperti triamsinolon asetonid 0,1% pada area sensitif wajah, obat topikal
superpoten kelas satu seperti klobetasol propinoat atau betametason
diproprionat memberikan hasil yang memuaskan pada kulit. Penggunan 2 kali
sehari selama 2 minggu diikuti dengan 2 minggu periode istirahat dapat
meminimalkan komplikasi seperti atropi dan telengiektasis. Salep lebih
efektif daripada krim pada lesi hiperkeratosis. [1]
3. Glukokortikoid intralesi. Penggunaan glukokortikoid intralesi seperti
suspensi triamsinolon asetonid 2,5 sampai 5 mg/ml pada wajah dengan
konsentrasi tinggi dibolehkan pada kulit yang kurang sensitif. Hal ini
diindikasikan pada lesi hiperkeratosis atau pada lesi yang tidak merespon
pada penggunaan kortikosteroid lokal, namun perlu berhati-hati
menggunakan pengobatan ini pada pasien dengan jumlah lesi cukup banyak.
[1]
C. PENGOBATAN SISTEMIK
Terapi dengan antimalaria adalah terapi yang baik digunakan secara tunggal
atau dalam kombinasi. Tiga preparat umum Yang biasa digunakan termasuk
klorokuin, hidroklorokuin, dan mepacrine. Sebaiknya hidroklorokuin dimulai dengan
dosis 200 mg per hari untuk dewasa dan, jika tidak ada efek samping gastrointestinal
atau lainnya, dosis ditingkatkan dua kali sehari tetapi tidak diberikan lebih dari 6,5
mg/ kg/ hari. Penting ditekankan kepada pasien bahwa dibutuhkan waktu 4-8 minggu
untuk memperoleh perbaikan klinis. Pada beberapa pasien yang tidak mempan dengan
hidroklorokuin, klorokuin mungkin lebih efektif. Beberapa pasien tidak merespon
baik monoterapi hydroxychloroquine atau klorokuin sehingga dianjurkan penampahan
mepacrine ke dalam regimen pengobatan. [15]
Thalomide [50 – 300mg/hari] sangat efektif pada LED yang refrakter terhadap
pengobatan lainnya. Beberapa studi melaporkan keberhasilan antara 85-100%, dengan
banyak laporan pasien yang dinyatakan sembuh sempurna. Adapun efek sampingnya
ialah efek teratogenik, sehingga sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil. Selain
itu neuropati sensorik dapat terjadi pada sekitar 25% dari padien yang mengkonsumsi
obat ini.[1]
Obat lain yang dapat digunakan yaitu preparat emas [auranofin,
mycochrysine] dan clofazimin (lampren) walaupun hasilnya bervariasi pada tiap
kasus. [1]
Glukokortikoid sistemik sebaiknya tidak digunakan pada kasus dengan lesi
yang sedikit, namun pada beberapa kasus khususnya pada kasus berat dan simtomatik
metilprednisolon intravena dapat digunakan. Imunosupresif lain seperti azatioprin
[imuran] 1,5 -2 mg/kg/hari oral dapat bertindak sebagai glukokortikoid-sparing pada
kasus lupus eritematosus kutaneus berat. Mikofenolat mofetil [25-45 mg/kg/hari oral]
maerupakan analog purin yang serupa dengan azatioprin. Metotreksat [7,5-25mg/kg
oral sekali seminggu] efektif untuk kasus berat yang refrakter. [1]
KOMPLIKASI
Resiko perkembangan penyakit menjadi LES meningkat jika lesi menyebar
dan terdapat abnormalitas hasil pemeriksaan darah dan parameter serologis.
Pengobatan dini dapat mencegah terjadinya jaringan parut atau atrofi. Degenerasi
malignan jarang terjadi. Pencegahan tumbuhnya lesi baru dianjurkan pada daerah
yang sering terekspos.[12]
PROGNOSIS
.
Prognosis LED umumnya baik.Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang akan
berkembang menjadi LES. Kemungkinan eksaserbasi dapat muncul terutama pada
musim semi dan musim panas. Kasus kambuh jarang, sekitar <10%. Tingkat
mortalitas pada penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat berkelanjutan.
Jaringan parut dan atrofi kulit yang terbentuk biasanya permanen [6,8,12]
DAFTAR PUSTAKA
1. Cotsner, M.I., Sontheimer R.D. Lupus erythematosus. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff
K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 6th
ed. New York: Mc Graw-Hill. p.1678-93
2. Habif, T.P. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy, 3 rd edition.
Chapter 17. St. Louis: Mosby-Year Book,Inc. 1996. p.587-625.
3. Kuhn A, Ruzicka T. Classification of Cutaneus Lupus Erythematosus. In: Kuhn A,
Lehmann P, Ruzicka T. Cutaneous Lupus Erythematosus. Heidelberg: Springer-Verlag
Berlin. 1995. p. 53-7
4. AOCD. Discoid Lupus Erythematosus. www.aocd.org. 2007.
5. Werth V. Current Treatment of Cutaneous Lupus Erythematosus. Dermatol online jour.
2001:7(1):2
6. Goodfield,M.J.D,Jones S.K.,D.J. Veale. The Connective Tissue Disease. In: Burns T.,
Breathnach S., Cox N., Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology, 7th ed.
Massachusetts: Blackwell Publishing Company. 2004. p. 1646-793
7. Bolognia J.L.,L.J. Joseph, Rapini R.P. Bolognia: Dermatology,2nd ed. New York: Mosby
Elsevier.2008. p.105-13
8. Callen J.P. Lupus Erythematosus Discoid.www.emedicine.com.2007
9. Rai, V.M., Balachandran, C. Disseminated Discoid Lupus. Dermatol online jour.
2006:12 (4):23
10. The British Association of Dermatologist. www.bad.org.uk. 2008
11. Michael Hertl (ed.) Autoimmune Diseases of the Skin Pathogenesis, Diagnosis,
Management, 2nd ed. New York: Springer Wien. 2008
12. Draper R. Discoid Lupus Erithematous www.patient.co.uk. 2009
13. Wolff K., Johnson, R.A. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology.
6th ed. New York: Mc Graw-Hill. 2007. p.376-87
14. Graham-Brown,R. Burns T. Lecture Notes of Dermatology 8th ed. Jakarta:EMS. 2005.
p.172-3
15. Panjwani, Suresh. Diagnosis and Treatment of Discoid Lupus Erythematosus. JABFM.
2009;22:206-13
16. Skinsite. Discoid Lupus Erythematosus. www.skinsite.com. 2008
17. Casetty, C.T. Chronic Cutaneus Lupus Erythematosus. Dermatol online jour. 11(4):26
18. Ben Osman,A.Badri T. Discoid Lupus Erythematosus ini an infant.Dermatol online
jour.2005:11(3):38
Pendahuluan
Etiologi
Gambaran Histopatologik
Gejala Klinis
Klasifikasi LE Diskoid
• ·
LED tipe lokalisata
Selain itu, terdapat pula LED tipe Childhood, yang memiliki gejala
dan tanda klinis yang mirip dengan LED lainnya, namun tipe ini
jarang terjadi pada anak perempuan, frekuensi gejala
fotosensitivitas yang rendah dan 50% berkembang menjadi LE
Sistemik.
Diagnosis Banding
• Dermatitis Seboroik
• Acne Rosacea
• Lupus Vulgaris
• Erupsi Obat
• Bowen’s Disease
• Lichen Planus
• Actinic Keratosis
• Sifilis Tersier
Pemeriksaan Penunjang
Kecendrungan untuk keganasan dapat terjadi. Degenerasi ke
arah keganasan cenderung menjadi karsinoma sel basal atau
karsinoma sel skuamosa.
Porfiria kutanea tarda sering timbul pada pasien dengan LED.
Namun, hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan
antimalaria pada pengobatan LED.
Lichen Planus dapat terjadi sebagai penyakit yang baru
muncul atau dapat terjadi karena penggunaan terapi
antimalaria.
Psoriasis sering terjadi pada pasien LED.6
Penatalaksanaan
Terapi non-medikamentosa
•
Pajanan sinar matahari harus diminimalisasi dengan sedapat
mungkin mengurangi aktivitas di luar ruangan, terutama
antara jam 10 pagi sampai jam 4 sore. Pasien disarankan
untuk menggunakan pakaian pelindung dan tabir surya.
•
Lesi biasanya terdapat pada tempat yang mudah terlihat,
sehingga diperlukan kamuflase kosmetik.
•
Tidak ada diet khusus.
•
Menghentikan kebiasaan merokok, karena hal ini akan
memperburuk penyakit dan membuat terapi dengan obat
antimalaria kurang efektif.5
Terapi Medikamentosa
• Lokal
•
Sistemik
Terapi alternatif berupa auranofin, talidomid, retinoid oral atau
topikal dan agen imunosupresif.1,5
• Terapi Pembedahan
Komplikasi
•
Pengobatan dini dapat mencegah terjadinya jaringan parut
atau atrofi.
•
Degenerasi malignan jarang terjadi. Pencegahan tumbuhnya
lesi baru dianjurkan pada daerah yang sering terekspos. 5
Prognosis
Tingkat mortalitas pada penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi
dapat berkelanjutan. Jaringan parut dan atrofi kulit yang terbentuk
biasanya permanen. 1
DAFTAR PUSTAKA
Wallace, Daniel.et al. Dubois’ Lupus Erythematosus, 7 th
edition. Chapter 30. California: Lippincott William &
Wilkins.2007.
Burns, Tony.,et al. Rook’s Textbook of Dermatology, 7 th edition.
Chapter 56. London: Blackwell Publishing. 2008.
Fitzpatrick TB, Johnson RA, Klaus W, Suurmond D. In colour
atlas and synopsis of clinical dermatology, 4th ed. New York
(NY): McGraw-Hill Companies; 2001: 368–9.
Andrew’s Diseases of Skin, 4th edition. California : Lippincott
William & Wilkins. 2007.
Discoid Lupus Erithematous [editorial]. Patient UK
newspaper.2009. Available from http://www.patient.co.uk
accesed on March 7th , 2010.
Panjwani, Suresh. Early Diagnosis and Treatment of Discoid
Lupus Erythematosus. Am J. London. 2004: 90-2.