Anda di halaman 1dari 29

LUPUS ERITEMATOSUS DISKOID

(L.E.D)

1.1 Definisi
Lupus Eritematosus Diskoid adalah suatu penyakit kulit menahun
(kronik) yang ditandai dengan peradangan dan pembentukan jaringan parut yang
terjadi pada wajah, telinga, kulit kepala dan kadang pada bagian tubuh lainnya.

1.2 Gejala Klinis


Pasien terkadang mengeluhkan gatal dan terasa perih ada lesi yang ada.
Kelainan biasanya berlokalisasi simetrik di muka (terutama hidung dan pipi),
telinga, atau leher. Lesi terdiri atas :
 Bercak- bercak (makula merah atau bercak meninggi)
 Batas tegas dengan sumbatan keratin pada folikel-folikel rambut (follicular
plugs)

 Bentuk kupu-kupu (butterfly erythema) jika lesi di atas hidung dan pipi
berkonfluensi

Penyakit dapat meninggalkan sikatriks atrofik, kadang-kadang


hipertrofik bahkan distorsi telinga atau hidung. Hidung dapat berbentuk seperti
paruh kakaktua. Bagian badan yang tidak tertutup pakaian (yang terkena sinar
matahari) lebih cepat residif daripada bagian-bagian lain. Lesi-lesi dapat terjadi
di mukosa,yakni mukosa oral dan vulva, atau konjungtiva. Klinis tampak
deskuamasi, kadang-kadang ulserasi dan sikatriksasi.
Varian klinis L.E.D adalah :

 Lupus Eritematosus Tumidus


Bercak-bercak eritematosa coklat yang meninggi terlihat di muka, lutut, dan
tumit. Gambaran klinis dapat menyerupai erysipelas atau selulitis

 Lupus Eritematosus profunda


Nodus-nodus terletak dalam, tampak pada dahi, leher, bokong, dan lengan
atas. Kulit di atas nodus eritematosa, atrofik atau berulserasi
 Lupus Hipotrofikus
Penyakit sering terlihat pada bibir bawah dari mulut, terdiri atas plak yang
berindurasi dengan sentrum yang atrofik
 Lupus Pernio (chilblain lupus, Hutchinson)
Penyakit ini terdiri atas bercak-bercak eritematosa yang berinfiltrasi di
daerah-daerah yang tidak tertutup pakaian, memburuk pada hawa dingin.

1.3 Penunjang Diagnosis


Jarang terdapat kelainan laboratorik dan imunologik. Kelainan
laboratorik yang dapat terjadi antara lain lekopenia, peningkatan Laju endap
darah, peningatan serum globulin, reaksi Wassermann atau percobaan Coombs
positif. Pada kurang lebih sepertiga pendrita terdapat ANA (antibody anti
nuclear).yakni yang mempunyai pola homogen dan berbintik-bintik.

1.4 Diagnosis
Diagnosisnya harus dibedakan dengan dermatitis seboroik, psoriasis
dan tinea fasialis. Lesi di kepala yang berbentuk alopesia sikatriksial harus
dibedakan denga liken planopapilaris dan tinea kapitis.

1.5 Pengobatan
Non medikamentosa

Hindari trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang sangat dingin dan stress
emosional

Medikamentosa

1. Obat anti malaria (misalnya Klorokuin)


Dosis inisial adalah 1-2 tablet(@ 100mg) sehari selama 3-6 minggu,
kemudian 0,5 – 1 tablet selama waktu yang sama. Obat hanya diberikan
maksimal selama 3 bulan agar tidak timbul kerusakan mata.
Kerusakan kornea berupa halo di sekitar sinar atau visus kabur yang masih
reversible. Kerusakan retina yang ireversibel adalah perubahan penglihatan
warna, visus serta ada gangguan pada pigmentasi retina.
Efek samping lain adalah nausea, nyeri kepala, pigmentasi pada palatum,
kuku, dan kulit tungkai bawah serta rambut kepala menjadi putih. Selain itu
terdapat neuropati dan atrofi neuro-muskular.
2. Kortikosteroid sistemik
Hanya diberikan pada L.E.D dengan lesi-lesi yang diseminata. Dosis kcil
diberikan secara intermiten, yakni tiap dua hari sekali, misalnya prednison 30
mg.

LUPUS ERITEMATOSUS DISKOID


PENDAHULUAN
Lupus Eritematosus Diskoid (LED) adalah bentuk lupus eritematosus non-
sistemik yang paling sering ditemui. Lesi awal dapat nampak sebagai makula atau
papul berukuran 1-2 cm dengan warna merah keunguan atau plakat kecil yang
permukaannya menjadi hiperkeratotik dalam waktu singkat. Lesi umumnya berubah
menjadi plakat eritem berbentuk koin (diskoid) berbatas tegas yang ditutupi sisik yang
meluas hingga ke bukaan dari folikel rambut yang telah melebar. Jika sisik tersebut
dikupas, lapisan bawah akan tampak seperti karpet yang ditusuk dengan beberapa
paku sehingga disebut sebagai penampakan paku karpet.[1,2]
LED bersama-sama dengan varian Lupus Eritematosus Kutaneus lainnya serta
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) yang manifestasinya lebih berat hingga dapat
mengancam jiwa adalah bagian dari lupus eritematosus (LE) yang disatukan dan
dihubungkan oleh temuan klinis dan pola autoimunitas sel B poliklonal yang khas. [1]
Hubungan LED dengan varian lupus eritematosus kutaneus lainnya
diterangkan oleh tabel klasifikasi Dusseldorf 2003 yang merupakan modifikasi dari
klasifikasi Gilliam yang pertama kali dibuat pada tahun 1977: [3]

Lupus eritematosus kutaneus akut (LEKA)

Lupus eritematosus kutaneus subakut (LEKS)

Lupus eritematosus kutaneus kronik (LEKK)

Lupus eritematosus diskoid (LED)

Varian verukous/hipertrofik

Varian telangiektoid

Lupus eritematosus profundus

Lupus eritematosus Chilblain

Lupus eritematosus kutaneus intermitten

Lupus eritematosus tumidus

Lupus eritmatosus bullosa

Lesi kulit bullosa spesifik LE

Lesi kulit bullosa nonspesifik LE

Kelainan kulit bullosa primer yang dihubungkan dengan LE

Tabel 1. Klasifikasi LE Kutaneus Dusseldorf[1]


EPIDEMIOLOGI
Kasus LED adalah 50-85% dari keseluruhan kasus lupus eritematosus
kutaneus. LED lebih sering menyerang ras afrika amerika dan lebih jarang pada ras
kaukasia dan asia. LED dapat timbul di berbagai umur tetapi terutama pada umur 20-
45 tahun, dengan rata-rata umur 38 tahun. LED juga berkisar antara 15-30% dari
populasi kasus LES. 5 % dari kasus LED dapat mengarah ke LES. [2,4]

ETIOLOGI
Penyebab pasti dari LED tidak diketahui tetapi kebanyakan ahli
menganggpnya sebagai suatu bentuk autoimunitas. Asumsi ini pertamakali ditemukan
dikemukakan dengan adanya gen major histocompatibility complex (MHC),
khususnya alel human lymphocyte antigen (HLA). Dilaporkan bahwa penderita LED
mengalami peningkatan bermakna dari HLA-B7,-B8,DR2, dan -DQA0102 serta
penurunan HLA-A2 dengan kombinasi dari HLA-DR3,HLA DQA 0102 dan HLA-B7
menyebabkan resiko relatif LED yang paling maksimal. Frekuensi LED juga
meningkat pada karier penyakit granulomatosa kronik terpaut kromosom X yang
berjenis kelamin wanita. Defisiensi genetik komplemen seperti C2,C3,C4 dan C5
serta inhibitor esterase C1 juga dihubungkan dengan LED dan LECS [1,5]
Pada suatu percobaan ditemukan bahwa pada kultur keratinosit yang dipajani
sinar ultraviolet, antigen yang seharusnya ada dalam inti dan sitoplasma sel akan
keluar ke membran keratinosit sehingga dapat diikat oleh antibody seperti anti-SSA,
anti-SSB atau anti-RNP. Hal ini dapat mengawali keseluruhan proses imunologis yang
mendasari terbentuknya lesi pada LED.[5] Suatu penelitian berbasis case-control
melaporkan bahwa perokok jauh lebih beresiko menderita LE daripada orang yang
tidak merokok dan bahwa kemungkinan hal ini disebabkan oleh suatu zat yang
disebut amina aromatik lupogenik yang ada dalam asap tembakau.[1]
Sejenis struktur tubuler berukuran diameter ± 20 nm dan sangat mirip dengan
paramiksovirus ditemukan pada sel endotel pembuluh darah, histiosit perivaskuler,
atau fibroblast dari lesi LED. Struktur tersebut akan berkurang jumlah dan ukurannya
setelah penggunaan klorokuin. Jika struktur tersebut terbukti adalah virus,
kemungkinan struktur tersebut dapat berperan sebagai presipitator LED. Penemuan
antibodi RNA reovirus pada 42% pasien juga menguatkan dugaan adanya peranan
virus dalam perjalanan penyakit LED [6]
PATOGENESIS

Penyebab dan mekanisme pathogenesis yang mengakibatkan LE masih belum


diketahui sepenuhnya. Patogenesis LED tidak dapat dipisahkan dari pathogenesis
LES. Patogenesis tersebut dapat dijelaskan dengan sebuah bagan yang menjelaskan
empat tahapan teoritis yang berurutan yang terjadi sebelum adanya penampakan klinis
dari penyakit ini. Tahapan-tahapan tersebut adalah pewarisan gen yang menyebabkan
penderita lebih mudah terkena penyakit, induksi autoimunitas, perluasan proses
autoimun dan jejas imunologis:[1]

Pewarisan gen /
HLA dan
lainnya mutasi somatik

Induksi autoimunitas

Sinar UV dan lainnya Hilangnya toleransi Pembentukan autoantibodi


terhadap komponen tubuh

Perluasan proses
Ekspansi sel T
autoimun

Jejas
Pembentukan kompleks imun
imunologis

Gambar 1: Patomekanisme Lupus Eritematosus [1]

Tahap pertama adalah pewarisan gen yang dianggap sebagai predisposisi LE.
Setidaknya ada empat gen dalam hal ini. Hubungan penyakit kulit spesifik LE dengan
MHC kelas II DR sudah banyak diketahui. Selain itu, gen lain juga dianggap berperan
dalam pathogenesis LES, seperti gen yang mengkodekan komplemen dan tumor
necroting factor (TNF), gen yang memediasi apoptosis serta gen yang melibatkan
proses komunikasi antar-sel serta gen yang berperan dalam pembersihan kompleks
imun. [1]
Tahap kedua dari pathogenesis LES adalah fase induksi yaitu permulaan
proses autoimunitas yang ditandai dengan kemunculan sel T autoreaktif yang telah
kehilangan toleransi terhadap komponen tubuh. Mekanisme yang melandasi
autoreaktifitas tersebut antatara lain: [1,3]
1. Regenerasi klonal. karena sel limfosit terus menerus diproduksi dari sel
stem, jika dosis tolerogenik antigen tidak dipertahankan, sistem imun akan
menggantikan sel-sel tua yang toleran tetapi mulai menua dengan sel-sel
muda yang tidak toleran
2. Imunisasi-silang. Pajanan antigen yang bereaksi silang dengan tolerogen
dapat memicu aktivasi sel limfosit T helper (Th) spesifik untuk antigen
yang bereaki silang dan juga menyediakan sinyal yang dibutuhkan limfosit
autoreaktif untuk menimbulkan efek pada tolerogen.
3. Stimulasi klon anergi Anergi adalah suatu proses yang menghilangkan
kemampuan imunologis klon autoreaktif yang berhasil lolos dari delesi
klonal sehingga klon-klon tersebut tidak dapat merespon rangsangan oleh
antigen. Diperkirakan bahwa suatu stimulasi sel limfosit T tertentu dapat
menghilangkan anergi dan mengawali proses autoreaktifas
Selain pembentukan klon autoimun, pada tahap kedua dari patomekanisme LE
juga dijelaskan antigen yang berperan dalam autoimunitas. Seperti dibahas
sebelumnya, antigen LE kebanyakan adalah antigen yang terdapat di dalam inti dan
sitoplasma dari sel keratinosit yang terbebaskan ke membran sel akibat mekanisme
tertentu. Uji laboratorium telah membuktikan bahwa antigen tersebut dapat keluar
akibat pajanan sinar ultraviolet. Selain itu, faktor lain yang dapat memicu lesi LED
dan kemungkinan berhubungan dengan pembebasan antigen dari inti dan sitoplasma
keratinosit adalah trauma, infeksi, pajanan dingin, sinar-X hingga bahan kimia.[5,6]
Setelah klon autoimun terbentuk, terjadi suatu mekanisme yang
memperbanyak dan memperluas klon yang bermasalah ini. Tahap ketiga atau tahap
ekspansi nampaknya melibatkan peningkatan respon autoimun yang dipicu antigen
secara progresif. Pada tahap ini, autoantibody dihasilkan oleh sel-sel B yang berlipat
ganda. Walaupun sangat banyak, autoantibody LE hanya ditujukan pada beberapa
antigen inti dan sitoplasma. Ada tiga target utama: nukleosom (anti-DNA dan antibodi
antihiston), spliceosome (anti-Sm dan anti-RNP) molekul Ro dan La (anti-Ro dan
anti-La).[1]
Tahapan terakhir yang adalah tahapan yang mungkin paling penting secara
klinis dan menandai awal dari penyakit klinis adalah jejas imunologis. tahapan ini
sebagian besar diakibatkan oleh kerja dari autoantibodi dan kompleks imun yang
terbentuk yang menyebabkan jejas jaringan baik itu dengan kematian sel secara
langsung, aktivasi seluler, opsonisasi maupun karena terhambatnya fungsi molekul
target. [1]
GEJALA KLINIS
Lesi bentuk koin (diskoid) adalah manifestasi lupus kutaneus yang paling
umum ditemui. Lesi diskoid paling sering ditemukan di wajah, kulit kepala dan
telinga, tetapi persebarannya juga bisa lebih luas. Walaupun begitu, lesi di bawah
leher sangat jarang ditemukan jika tidak ada lesi di atas leher. Lesi juga kadang-
kadang ditemukan di permukaan mukosa, termasuk bibir, lapisan mukosa oral lain,
mukosa hidung, konjungtiva dan mukosa genital. [7]
Lesi primer LED adalah makula atau papul eritem asimetris tanpa gejala
subjektif dengan sisik ringan hingga sedang. biasanya berukuran 1-2 cm. Seiring
dengan perjalanan penyakit, sisik dapat menebal dan melengket, disertai
hipopigmentasi di daerah inaktif (tengah) dan hiperpigmentasi di batas aktif. Jika
mengenai daerah berambut seperti kulit kepala dan janggut, eskar dengan alopesia
permanen dapat terjadi. Lesi LED seringkali tersebar mengikuti pajanan sinar
matahari tetapi daerah yang tidak terpajan tetap dapat terkena lesi.[2,4,8]
Setelah beberapa lama, lesi LED akan berubah menjadi pakat eritem berbatas
tegas yang titutupi oleh sisik yang meluas hingga ke bukaan folikel rambut. Jika sisik
yang melekat dilepaskan, jarum-jarum keratotik yang mirip dengan paku karpet dapat
terlihat di bagian bawah sisik (tanda paku karpet). Lesi meluas dengan eritem dan
hiperpigmentasi di pinggir dengan eskar atrofi, telangiektasia dan hipopigmentasi di
tengah. [9]
LED dapat dibedakan menjadi LED lokalisata yang mengenai wajah dan leher
serta LED generalisata yang mengenasi bagian atas dan bawah dari leher. Lesi LED di
bawah leher. [8,9]
Gambar 2 : LED di wajah pasien[8]

Gambar 3 : Eskar dengan alopesia akibatLED[8]

Biasanya LED tidak menimbulkan gejala objektif pada pasien selain


ketidaknyamanan kosmetik akibat lesi dan eskar. Kadang-kadang daerah yang
terpengaruh terasa gatal dan jika mengenai jari, terasa lembut dan nyeri tekan. LED
juga tidak mempengaruhi status kesehatan pasien secara umum. [10]
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. PEMERIKSAN HISTOPATOLOGIS [3]

Secara histologis, epidermis dan dermis penderita LEDlah yang mengalami


perubahan sedangkan jaringan subkutannya tidak. Penampakan mikroskopis yang
khas untuk LED adalah hiperkeratosis dengan sumbatan folikel, penipisan dan
pendataran epitel serta degenerasi hidrofik lamina basalis.Selain itu, terdapat
keratinosit apoptotik yang tersebar (badan Civatte) pada lamina basalis. Pada lesi
yang sudah lama, penebalan membrana basalis terlihat jelas pada pewarnaan acid-
Schiff. Pada jaringan dermis terdapat infiltrat limfositik berbentuk perca atau likenoid
disertai pengangkatan folikel pilosebaseus. Juga terdapat penimbunan musin pada
ruang interstisial dan udem, dan biasanya tidak dijumpai eosinofil maupun neutrofil.
Gambar 4. Degenerasi hidrofik lamina basalis pada LED[3]

2. LUPUS BAND TEST (LBT) [1]


Imunoglobulin (IgA,IgG, IgM) dan komponen komplemen
(C3,C4,Clz,properdin, faktor B dan membrane attack complex C5b-C9) akan
tertimbun menjadi susunan menyerupai pita linear atau granuler pada taut dermo-
epidermal dari kulit pasien LE sehingga dapat diamati dengan uji direct
immunofluorescence yang disebut Lupus Band Test (LBT).
Penelitian awal menyebutkan bahwa 90% lesi LED imunoreaktan sehingga
positif LBT tetapi penelitian terbaru menunjukkan angka yang lebih rendah. Lesi di
kepala, leher dan lengan lebih sering positif (80%) dari lesi di badan (20%). LBT
nampaknya lebih sering positif pada lesi yang lebih tua (>3 bulan)

Gambar 5. Pemeriksaan direct immunofluorescence

pada biopsy kulit lesi LED.[1]

2. Tes lainnya
Berikut adalah tabel yang menampilkan ringkasan hasil laboratorium untuk
LED dengan perbandingan dengan LEKA dan LEKS :

Ciri penyakit LED LEKA LEKS

ANA + +++ ++
Antibodi RO/SSA

-dg imunodifusi 0 + +++

- dg ELISA + ++ +++

Antibodi DNA antinatif +++ + 0

Hipokomplementemia +++ + +

LEKA, lupus eritematosus kutaneus akut; LEKS, lupus eritematosus kutaneus subakut; ANA,antibodi
antinuclear; ELISA, enzyme linked immunosorbent assay
+++,sangat berhubungan; ++, agak berhubungan; +,berhubungan lemah; 0,negatif, tidak berhubungan

Tabel 2: Ringkasan hasil laboratorium LED dengan perbandingan LEKA dan LEKS.
(dari Cutaneus Lupus Erythematosus). [3]

DIAGNOSIS
Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gabungan antara anamnesis,
pemeriksaan fisis serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis:
Pasien mungkin mengeluh gatal ringan atau nyeri sesekali dalam lesi, tetapi
kebanyakan pasien tanpa gejala. Sekitar 5% atau kurang pasien LED telah terlibat
dalam kelainan sistemik. Arthralgia atau arthritis mungkin terjadi. Jadi, anamnesis
harus difokus pada riwayat penyakit dan gejala LE yang berkaitan seperti
fotosensitivitas, arthralgia atau arthritis, alopesia areata serta fenomena Raynaud,
aborsi spontan pneumonia, karditis serta gangguan neurologis. Untuk mendukung
diagnosis klinis, pemeriksaan histologis serta imunohistokimia lesi kulit akan
dilakukan.[8,11]
Pemeriksaan fisis (gejala klinis):
Lesi primer LED adalah papul eritematosa atau plak dengan gambaran sisik
(lihat gambar di bawah). Semakin lama lesi semakin aktif, sisik semakin menebal dan
terjadi perubahan pigmentasi dengan hipopigmentasi di daerah pusat lesi dan pada
daerah perbatasan tidak aktif dan hiperpigmentasi. [8,12]
Gambar 6: Bekas luka kronis lesi LED[8]

Lesi menyebar sentrifugal dan dapat bergabung. Dengan bertambahnya usia


lesi, pelebaran bukaan folikular terjadi dengan plug keratinous, disebut folikel
patulous (lihat gambar di bawah). Resolusi lesi aktif mengakibatkan atrofi dan
terjadinya jaringan parut.[8]

Gambar 8: Lesi LED dalam konka menunjukkan folikel dengan sumbatan [8]

Lesi awal mungkin sulit untuk dibedakan dengan lesi LEKS. Lesi LED
seringkali tersebar menurut pajanan sinar matahari tetapi daerah yang tidak terkena
sinar matahari dapat pula terkena. Kulit kepala seringkali terkena sehingga
menghasilkan alopesia .[8]

Gambar 9: Jaringan parut meluas dengan alopesia[8]

Pasien dengan LED sering dibagi menjadi 2 kelompok: lokal dan generalisata.
LED lokal terjadi ketika hanya pada kepala dan leher, sedangkan LED generalisata
terjadi ketika daerah lain [8]
Gambar 10: lesi LE kronik pada tubuh pasien [8]

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis Banding dari LED antara lain: [13]

 Keratosis Aktinik
Gambaran klinis berupa bercak-bercak merah dan berskuama, yang secara
khas bertambah besar dan menyusut bersama dengan waktu, dapat timbul ratusan lesi
pada orang-orang yang sering terpapar sinar matahari. [14]

Gambar 11: Aktinik keratosis hipertrofik pada dorsum manus pasien[1]


 Psoriasis
Gambaran utama psoriasis adalah, epidermis menajdi sangat menebal
(akantosis). Tidak terdapat stratum granulosum. Retensi nukleus pada stratum
korneum (parakeratosis). Akumulasi polimorf pada stratum korneum (mikroabses).
Pelebaran pembuluh darah kapiler pada dermis bahagian atas.[14]

Gambar 12: Psoriasis vulgaris yang meluas dari kulit kepala ke leher[1]
 Liken Planus
Liken planus merupakan kelainan yang agak bervariasi bentuknya. Bentuk
yang paling sering adalah adanya erupsi akut pada papula yang gatal. Gambaran
klinis: lesi-lesi kulitnya berpermukaan rata, mengkilat, dan poliglonal. Gambaran
permukaannya tampak seperti anyaman halus dari bintik-bintik dan garis-garis,
disebut sebagai “Wickham’s striae” [14]
Gambar 13: plakat berpuncak rata dengan
Wickham’s striae pada ekstremitas penderita[1]
 Lupus Ertitematosus Kutaneus Subakut
Terdapat lesi- lesi papuloskuamosa
atau anular tanpa pembentukan jaringan
parut, terutama pada tempat-tempat yang terpapar sinar matahari. Mugkin juga
didapatkan gejala sistemik, walaupun biasanya ringan. [14]

Gambar 14: LEKS dengan lesi anular dengan pusat hipopigmentasi tanpa atrofi kulit pada punggung
dan lengan

PENATALAKSANAAN

A. PENCEGAHAN

Adapun tujuan dari terapi LED adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien, mengontrol lesi yang telah ada, mengurangi bekas lesi, dan untuk mencegah
perkembangan lesi lebih lanjut. [1]
Karena lesi kulit lupus diketahui disebabkan atau diperburuk oleh paparan
sinar ultraviolet cahaya, pendekatan logis dalam pengelolaan diskoid lupus harus
mencakup menghindari matahari dan liberal aplikasi tabir surya. Pengobatan dimulai
dengan menghindari faktor pencetus misalnya panas, obat-obatan dan tentunya sinar
matahari dan semua sumber yang menyebabkan paparan radiasi sinar UV. Adapun
cara yang digunakan untuk melindungi kulit adalah memakai pakaian yang tertutup,
topi yang lebar. Selain itu pasien disarankan untuk menghindari penggunaan obat
obatan fotosensitif seperti Hidroclorothiazid, tetrasklin, griseofulvin, dan piroxicam.[1]
B. PENGOBATAN TOPIKAL
1. Proteksi sinar matahari dengan menggunakan tabir surya spektrum luas-
kedap air [SPF ≥ 15 dengan agen penghambat UVA seperti parsol dan
mikronized titanium dioksida. [1]
2. Glukokortikoid lokal. Walaupun penggunaan potensi medium dari preparat
ini seperti triamsinolon asetonid 0,1% pada area sensitif wajah, obat topikal
superpoten kelas satu seperti klobetasol propinoat atau betametason
diproprionat memberikan hasil yang memuaskan pada kulit. Penggunan 2 kali
sehari selama 2 minggu diikuti dengan 2 minggu periode istirahat dapat
meminimalkan komplikasi seperti atropi dan telengiektasis. Salep lebih
efektif daripada krim pada lesi hiperkeratosis. [1]
3. Glukokortikoid intralesi. Penggunaan glukokortikoid intralesi seperti
suspensi triamsinolon asetonid 2,5 sampai 5 mg/ml pada wajah dengan
konsentrasi tinggi dibolehkan pada kulit yang kurang sensitif. Hal ini
diindikasikan pada lesi hiperkeratosis atau pada lesi yang tidak merespon
pada penggunaan kortikosteroid lokal, namun perlu berhati-hati
menggunakan pengobatan ini pada pasien dengan jumlah lesi cukup banyak.
[1]

C. PENGOBATAN SISTEMIK
Terapi dengan antimalaria adalah terapi yang baik digunakan secara tunggal
atau dalam kombinasi. Tiga preparat umum Yang biasa digunakan termasuk
klorokuin, hidroklorokuin, dan mepacrine. Sebaiknya hidroklorokuin dimulai dengan
dosis 200 mg per hari untuk dewasa dan, jika tidak ada efek samping gastrointestinal
atau lainnya, dosis ditingkatkan dua kali sehari tetapi tidak diberikan lebih dari 6,5
mg/ kg/ hari. Penting ditekankan kepada pasien bahwa dibutuhkan waktu 4-8 minggu
untuk memperoleh perbaikan klinis. Pada beberapa pasien yang tidak mempan dengan
hidroklorokuin, klorokuin mungkin lebih efektif. Beberapa pasien tidak merespon
baik monoterapi hydroxychloroquine atau klorokuin sehingga dianjurkan penampahan
mepacrine ke dalam regimen pengobatan. [15]
Thalomide [50 – 300mg/hari] sangat efektif pada LED yang refrakter terhadap
pengobatan lainnya. Beberapa studi melaporkan keberhasilan antara 85-100%, dengan
banyak laporan pasien yang dinyatakan sembuh sempurna. Adapun efek sampingnya
ialah efek teratogenik, sehingga sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil. Selain
itu neuropati sensorik dapat terjadi pada sekitar 25% dari padien yang mengkonsumsi
obat ini.[1]
Obat lain yang dapat digunakan yaitu preparat emas [auranofin,
mycochrysine] dan clofazimin (lampren) walaupun hasilnya bervariasi pada tiap
kasus. [1]
Glukokortikoid sistemik sebaiknya tidak digunakan pada kasus dengan lesi
yang sedikit, namun pada beberapa kasus khususnya pada kasus berat dan simtomatik
metilprednisolon intravena dapat digunakan. Imunosupresif lain seperti azatioprin
[imuran] 1,5 -2 mg/kg/hari oral dapat bertindak sebagai glukokortikoid-sparing pada
kasus lupus eritematosus kutaneus berat. Mikofenolat mofetil [25-45 mg/kg/hari oral]
maerupakan analog purin yang serupa dengan azatioprin. Metotreksat [7,5-25mg/kg
oral sekali seminggu] efektif untuk kasus berat yang refrakter. [1]

D. TERAPI BEDAH DAN KOSMETIK


LED dapat menimbulkan alopesia permanen, atropi kulit, dan perubahan
pigmen. Intervensi bedah seperti transplantasi rambut dan dermabrasi beresiko karena
LED dapat dipicu oleh trauma. Pemulihan dari eskar atropi dengan Erbium : YAG
atau laser karbon dioksida dilaporkan bermanfaat. Injeksi lesi atropi menggunakan
kolagen atau sejenisnya sebaiknya dihindari. [1]

KOMPLIKASI
Resiko perkembangan penyakit menjadi LES meningkat jika lesi menyebar
dan terdapat abnormalitas hasil pemeriksaan darah dan parameter serologis.
Pengobatan dini dapat mencegah terjadinya jaringan parut atau atrofi. Degenerasi
malignan jarang terjadi. Pencegahan tumbuhnya lesi baru dianjurkan pada daerah
yang sering terekspos.[12]

PROGNOSIS
.
Prognosis LED umumnya baik.Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang akan
berkembang menjadi LES. Kemungkinan eksaserbasi dapat muncul terutama pada
musim semi dan musim panas. Kasus kambuh jarang, sekitar <10%. Tingkat
mortalitas pada penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat berkelanjutan.
Jaringan parut dan atrofi kulit yang terbentuk biasanya permanen [6,8,12]

DAFTAR PUSTAKA

1. Cotsner, M.I., Sontheimer R.D. Lupus erythematosus. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff
K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 6th
ed. New York: Mc Graw-Hill. p.1678-93
2. Habif, T.P. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy, 3 rd edition.
Chapter 17. St. Louis: Mosby-Year Book,Inc. 1996. p.587-625.
3. Kuhn A, Ruzicka T. Classification of Cutaneus Lupus Erythematosus. In: Kuhn A,
Lehmann P, Ruzicka T. Cutaneous Lupus Erythematosus. Heidelberg: Springer-Verlag
Berlin. 1995. p. 53-7
4. AOCD. Discoid Lupus Erythematosus. www.aocd.org. 2007.
5. Werth V. Current Treatment of Cutaneous Lupus Erythematosus. Dermatol online jour.
2001:7(1):2
6. Goodfield,M.J.D,Jones S.K.,D.J. Veale. The Connective Tissue Disease. In: Burns T.,
Breathnach S., Cox N., Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology, 7th ed.
Massachusetts: Blackwell Publishing Company. 2004. p. 1646-793
7. Bolognia J.L.,L.J. Joseph, Rapini R.P. Bolognia: Dermatology,2nd ed. New York: Mosby
Elsevier.2008. p.105-13
8. Callen J.P. Lupus Erythematosus Discoid.www.emedicine.com.2007
9. Rai, V.M., Balachandran, C. Disseminated Discoid Lupus. Dermatol online jour.
2006:12 (4):23
10. The British Association of Dermatologist. www.bad.org.uk. 2008
11. Michael Hertl (ed.) Autoimmune Diseases of the Skin Pathogenesis, Diagnosis,
Management, 2nd ed. New York: Springer Wien. 2008
12. Draper R. Discoid Lupus Erithematous www.patient.co.uk. 2009
13. Wolff K., Johnson, R.A. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology.
6th ed. New York: Mc Graw-Hill. 2007. p.376-87
14. Graham-Brown,R. Burns T. Lecture Notes of Dermatology 8th ed. Jakarta:EMS. 2005.
p.172-3
15. Panjwani, Suresh. Diagnosis and Treatment of Discoid Lupus Erythematosus. JABFM.
2009;22:206-13
16. Skinsite. Discoid Lupus Erythematosus. www.skinsite.com. 2008
17. Casetty, C.T. Chronic Cutaneus Lupus Erythematosus. Dermatol online jour. 11(4):26
18. Ben Osman,A.Badri T. Discoid Lupus Erythematosus ini an infant.Dermatol online
jour.2005:11(3):38

Lupus Eritematosus Diskoid

Pendahuluan

Lupus eritematosus diskoid adalah kelainan jinak pada kulit,


paling sering mengenai daerah muka, dan dicirikan dengan makula
berskuama kemerahan dengan ukuran yang bervariasi. Kelainan ini
menyebabkan atrofi, jaringan parut dan fotosensitivitas. Kelainan ini
disebut juga lupus eritematosus kronik. Gejala klinis hampir mirip
dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES), tapi LES bermanifestasi
pada hampir semua organ internal. Terdapat juga perubahan
hematologi dan serologis pada hampir sebagian penderita, dan hal
ini menyiratkan adanya etiologi autoimun. LES terkadang disebut
sebagai Lupus eritematosus disseminata, tetapi terminologi ini
jarang dipakai oleh para klinisi..1

LE diskoid adalah penyakit kulit kronik yang dapat


menyebabkan jaringan parut, kerontokan rambut dan
hiperpigmentasi kulit jika tidak ditatalaksana dengan segera.
Diagnosis biasanya ditegakkan melalui gejala klinis dan
dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.2

Lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti serigala, karena


lesinya berbentuk seperti gigitan serigala. Terminologi ini seringkali
digunakan untuk lupus vulgaris pada tuberkulosis kutaneus. 1 Pada
tahun 1851, Cazenave pertama kali menggunakan terminologi
Lupus eritemateus yang mengacu pada deskripsi lesi kulit Lupus
eritematosus (LE) diskoid. Cazenave menyatakan bahwa LE lebih
banyak dialami oleh pekerja lapangan dan eksaserbasinya berkaitan
dengan cuaca dingin, panas, api dan udara.2
LED cenderung memiliki prognosis yang lebih baik daripada
SLE, karena itu penting bagi para klinikus untuk mengenali LED,
sebab penyakit ini menyebabkan parut terutama pada wajah. 4
Dalam sari pustaka ini akan dibahas tentang etiologi, gambaran
histopatologi, gejala klinis, klasifikasi, diagnosis banding,
pemeriksaan penunjang, kelainan kulit terkait LED, komplikasi dan
prognosis LED.

Etiologi

LED menyerang umur dan jenis kelamin tertentu. Prevalensi


LE diskoid pada populasi berkisar antara 17-48 per 100.000 orang.
Wanita terkena dua kali lebih sering daripada laki-laki, dengan onset
puncak pada dekade keempat, walaupun kelainan ini dapat terjadi
pada semua umur. Sebuah penelitian menunjukkan, dari 1045
kasus, 3% dimulai sejak umur 15 tahun dan 2.5% pada umur 70
tahun.2

Faktor genetik diperkirakan memiliki pengaruh terhadap


patogenesis LED. Pada model matematika berdasarkan umur onset
terjadinya penyakit, didapatkan sedikitnya tiga genotip yang
berhubungan dengan hadirnya imunoglobulin pada dermal-
epidermal junction.

Faktor Lingkungan. Terjadinya exacerbasi pada LED dipercepat


oleh berbagai faktor. Lesi dipresipitasi dengan adanya trauma
(11%), stres mental (12%), sinar matahari (5%), paparan terhadap
cuaca dingin (2%), dan kehamilan (1%). Selain itu, adanya antibodi
reovirus pada 42% penderita LED menyiratkan adanya peran virus
RNA terhadap terjadinya LED2

Gambaran Histopatologik

Variasi gejala klinis dari LE sesuai dengan gambaran


histopatologiknya (Gambar 1 & Gambar 2), dan subset daripada LE
tidak dapat dibedakan secara histologi.

Gambaran histopatologiknya adalah sebagai berikut;


liquefaction degenerative lapisan sel basal epidermis, perubahan
degeneratif pada jaringan pengikat terdiri atas hialinisasi, edema
dan perubahan fibrinoid, sebagian besar terdapat dibawah
epidermis, serta terdapat sebukan infitrat limfositik, disertai sedikit
sel plasma dan histiosit, sebagian besar menyelubungi appendiks
kulit. Sedikitnya dibutuhkan paling tidak dua dari tiga gambaran
histopatologki diatas untuk menegakkan diagnosis LE secara
histologis.

Lapisan epidermis biasanya tipis disertai hilangnya corak


normal rete ridge. Terdapat infiltrat radang dan limfositik
perivaskuler pada lapisan dermis superfisial dan dermis dalam.
Dermis superfisial dapat menjadi edema dan peningkatan mucin
biasanya terjadi.5

Tes immunoflouresensi langsung pada lesi kulit umumnya


positif pada 75% kasus, karena immunoglobulin dan komplemen
terletak pada dermoepidermal junction, dalam pola granuler atau
partikuler. Lesi baru biasanya menunjukkan imunofluoresensi negatif
, terutama pada area kulit yang selalu tertutup.4

Gejala Klinis

Gejala klinis yang umum pada LE diskoid berupa plak merah


mudah terkelupas yang kemudian menjadi pigmentasi
pascainflamasi dan jaringan parut berwarna putih. Lesi ini dapat
terlokalisasi maupun generalisata. Predileksi LE diskoid umumnya
pada daerah pipi, telinga dan hidung, tetapi kadang-kadang
mencapai daerah punggung, leher dan bagian dorsal dari tangan. LE
diskoid jarang terjadi pada telapak tangan atau telapak kaki. Jika
folikel rambut ikut terkena, maka akan timbul daerah kebotakan
yang terlokalisasi pada kepala (scarring alopecia). LE diskoid yang
bermanifestasi pada bibir dan mukosa mulut menyebabkan ulkus
dan pengelupasan mukosa, yang merupakan predisposisi dari
karsinoma sel squamous.3

Diagnosis LED ditegakkan berdasarkan gambaran klinis.


Pemeriksaan histopatologi digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis; yaitu berupa reaksi jaringan lichenoid dengan perubahan
pada dermo-epidermal junction disertai penebalan dasar membran
dan degenerasi vakuola sel basal.

LED merupakan manifestasi paling sering pada LE. Kelainan


ini umumnya ditandai dengan kemerahan, papul berskuama dan
plak (gambar 3) pada area yang terpapar sinar matahari, walaupun
50% lesi lupus diskoid terjadi pada daerah kulit kepala yang jarang
terekspos sinar matahari (gambar 4). Pasien dengan LED
generalisata lebih cenderung menunjukkan kelainan hasil
pemeriksaan lab dan lebih besar kemungkinan berkembang menjadi
LE sistemik.

Lesi LE diskoid biasanya asimptomatik tetapi terlihat sebagai


pruritus ringan atau nyeri tanpa terlihat adanya lesi. Biasanya
terjadi pada 5% LE sistemik, kadang-kadang disertai dengan
arthralgia dan arthritis.

Lesi pada LE diskoid memiliki beberapa karakteristik:4

 Lesi cenderung terjadi pada kulit yang paling sering terekspos


cahaya matahari. Kulit kepala sering terkena dan
menyebabkan alopecia permanen.
 Lesi primer berupa papul eritem atau plak dengan
pengelupasan ringan.
 Perubahan pigmentasi berupa hiperpigmentasi di tepi aktif
lesi, sedangkan bagian tengah yang inaktif menunjukkan
hipopigmentasi.
 Lesi menyebar secara sentrifugal dan dapat menyatu.
 Ketika lesi yang aktif sembuh, kulit terlihat atrofi dan
terbentuk jaringan parut.

Klasifikasi LE Diskoid

Pasien dengan LED diklasifikaskan atas dua tipe yaitu:5

• ·
LED tipe lokalisata

Lesi diskoid biasanya terlokalisasi pada area diatas leher.


Predileksi LED terutama pada kulit kepala, puncak hidung,
daerah malar, bibir bawah dan telinga. Jika lesi terdapat
pada daerah kulit kepala, maka jaringan parut yang
terbentuk lebih sklerotik daripada area lainnya, dan
akhirnya menjadi scarring alopecia. Pada bibir atau rongga
mulut, lesi yang terbentuk berupa makula keabuan dan
hiperkeratotik, dikelilingi oleh daerah yang meradang.

• LED tipe general

LED tipe general jarang terjadi dibanding LED terlokalisata.


Tipe ini paling sering mengenai area thoraks dan
ekstremitas atas, selain daripada daerah predileksi LED
terlokalisir. sering disertai dengan abnormalitas darah atau
serologi dan cenderung berkembang menjadi LE Sistemik.

Selain itu, terdapat pula LED tipe Childhood, yang memiliki gejala
dan tanda klinis yang mirip dengan LED lainnya, namun tipe ini
jarang terjadi pada anak perempuan, frekuensi gejala
fotosensitivitas yang rendah dan 50% berkembang menjadi LE
Sistemik.

Beberapa tipe yang jarang ditemui yaitu:

• Permukaan mukosa dapat terkena lesi yang dapat


menstimulasi lichen planus.
• Telapak tangan dan telapak kaki terkena pada sedikitnya
2% kasus.
• Lesi pada LED dapat menjadi hipertrofi atau verukosa. Lesi
mirip kutil sebagian besar terjadi pada bagian ekstensor
lengan. Lesi yang hipertrofi cenderung berkembang
menjadi keratoacanthoma atau karsinoma sel skuamosa.
Kelainan ini sulit untuk diobati.
• Lupus panniculitis adalah bentuk kronik yang sering
menyertai LED tipikal atau terjadi pada pasien dengan LES.

Diagnosis Banding

• Dermatitis Seboroik

• Acne Rosacea

• Lupus Vulgaris

• Erupsi Obat

• Bowen’s Disease

• Lichen Planus

• Actinic Keratosis

• Sifilis Tersier

LED harus dapat dibedakan dari lesi kulit lainnya diatas.


Deposit immunoglobulin membedakan LED dari kondisi lainnya.
Dermatitis seboroik umumnya tidak menunjukkan alopesia, atrofi
atau folikel yang berdilatasi, terdapat skuama kekuningan tanpa
sumbatan folikel. Acne rosacea tidak menunjukkan atrofi dan lesi
berupa pustul banyak ditemukan. Nodul apple-jelly banyak
ditemukan pada lupus vulgaris. 4

Pemeriksaan Penunjang

Jarang terdapat hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal.


Perubahan karakteristik histopatologi terjadi pada LED yang
diobservasi, tapi perbedaannya tergantung jenis dan lamanya lesi.
Sekitar 90% kasus menunjukkan imunonofluoresensi direk positif,
tetapi hal ini tidak spesifik.

 Tes serologi sebaiknya dilakukan. Sekitar 20% pasien dengan


LED mempunyai antibodi antinuklear positif.
 Terdapat penurunan jumlah sel darah putih.
 Faktor reumatoid mungkin positif.
 Level komplemen cenderung rendah
 Urinalisis menunjukkan penurunan fungsi ginjal disertai
albuminuria.

Pemeriksaan darah sebaiknya diulang secara periodik, minimal


dilakukan pertahun ketika kondisi pasien stabil untuk mencegah
terjadinya penyakit sistemik (LES).4

Kelainan Kulit Terkait LED

Terdapat beberapa kelainan kulit yang sering terjadi pada pasien


dengan LED.


Kecendrungan untuk keganasan dapat terjadi. Degenerasi ke
arah keganasan cenderung menjadi karsinoma sel basal atau
karsinoma sel skuamosa.

Porfiria kutanea tarda sering timbul pada pasien dengan LED.
Namun, hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan
antimalaria pada pengobatan LED.

Lichen Planus dapat terjadi sebagai penyakit yang baru
muncul atau dapat terjadi karena penggunaan terapi
antimalaria.

Psoriasis sering terjadi pada pasien LED.6

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan LED adalah untuk memperbaiki keadaan


pasien, mengontrol lesi yang ada dan mengurangi terbentuknya
jaringan parut, serta mencegah terbentuknya lesi baru.

Terapi non-medikamentosa


Pajanan sinar matahari harus diminimalisasi dengan sedapat
mungkin mengurangi aktivitas di luar ruangan, terutama
antara jam 10 pagi sampai jam 4 sore. Pasien disarankan
untuk menggunakan pakaian pelindung dan tabir surya.

Lesi biasanya terdapat pada tempat yang mudah terlihat,
sehingga diperlukan kamuflase kosmetik.

Tidak ada diet khusus.

Menghentikan kebiasaan merokok, karena hal ini akan
memperburuk penyakit dan membuat terapi dengan obat
antimalaria kurang efektif.5

Terapi Medikamentosa

• Lokal

Kortikosteroid poten atau superpoten penting untuk diaplikasikan


secara topikal. Steroid yang berpotensi lemah digunakan pada
muka. Losion diberikan untuk penggunaan pada kulit kepala.
Kortikosteroid potensi tinggi diperlukan untuk lesi yang
hipertrofik. Plaster yang mengandung kortikosteroid dapat
membantu mengaplikasikan obat ini. Steroid sistemik jarang
digunakan karena terbukti kurang efektif.

Pengobatan lokal yang paling efektif berupa injeksi intralesi


triamcinolon acetonid 2.5-10 mg/ml, diinfiltrasikan ke dalam lesi
dengan menggunakan jarum no.30 dengan interval 4-6 minggu.
Dosis triamcinolon yang digunakan tidak lebih dari 40 mg pada
satu waktu.


Sistemik

Antimalaria efektif dan aman sebagai terapi sistemik, tetapi


keefektifannya berkurang pada perokok. Hidroksikloroquinon pada
dosis tidak lebih dari 6.5 mg/KgBB/hari, digunakan sebagai lini-
pertama karena keamanannya. Jika tidak ada respons setelah tiga
bulan penggunaan, maka obat yang digunakan dialihkan menjadi
klorokuin dengan dosis 250 mg perhari. Jika respons masih kurang
adekuat, maka quinacrine dapat digunakan sebagai obat
tambahan dengan dosis 100 mg per hari.4


Terapi alternatif berupa auranofin, talidomid, retinoid oral atau
topikal dan agen imunosupresif.1,5

Tabel 1. Daftar Obat-obatan yang digunakan pada LE Diskoid


6

Jenis Obat Dosis Efek Samping Perhatian

Steroid Dimulai dengan Atrofi Kutaneus, Efek samping


topikal dan persiapan telengiectasia, dari absorbsi
intralesi topikal poten, striae, dan sistemik tidak
intradermal purpura pada signifikan pada
triamcinolone 3- steroid topical; steroid topikal,
5 mg/mL atrofi dan tapi terjadi
dispigmentasi pada
pada steroid penggunaan
intralesi steroid
intralesi

Antimalaria Dimulai dengan Kelainan Toksisitas


200 mg per Gastrointestinal, ocular lebih
hari, tidak lebih toxisitas okular, sering terjadi
dari 6.5 pruritus, erupsi pada
mg/kg/hari obat, penggunaan
leukopenia, kloroquin
thrombositopeni
a, haemolisis

Tacrolimus 0.1% salep Rasa terbakar, Kontraindikasi


topikal topikal iritasi kulit, – infeksi
pruritus

Thalidomid Dosis inisial of Teratogenisitas, Polineuropati


100-200 polineuropati,m jarang terjadi
mg/hari, dosis ual, erupsi dengan
maintenans 50- kulit,mulut dan penggunaan
100 mg/hari kulit dosis rendah
kering,edema

Azatioprin Dosis inisial 50- Myelosuppressio Serum


100 mg/hari, n, mual, thiopurine
dosis pancreatitis, methyltransfer
maintenance kadang-kadang ase harus
25-50 mg/hari hepatotoxisitas diperiksa

Cyclosporin Dosis inisial 4-5 Hipertensi, Kontraindikasi


mg/kg/hari nephrotoxisitas, termasuk
hiperlipidemia, hipertensi
hipomagnesemi tidak
a, gingival terkontrol,
hyperplasia, infeksi tidak
sakit kepala, terkontrol, dan
tremor, keganasan
paresthesia,
hipertrikosis,
keganasan

Mycophenol Dosis harian 1 g Gastric upset, Cek darah


ate mofetil 2 kali/hari sakit kepala, lengkap harus
tremor, diperiksa
hipersensitif, secara teratur
anemia,
leucopenia and
thrombositopeni
a, infeksi,
neoplasia

Methotrexat 5-15 Gastrointestinal Monitor cek


e mg/minggu upset, darah
diikuti dengan myelosupresi, lengkap,tes
tes dosis inisial toxisitas liver, fungsi hati dan
2.5 mg pulmonary ginjal
fibrosis

Acitretin 0.5-1 Teratogenik, Monitor cek


mg/kg/hari hyperlipidemia,k darah
ulit kering, lengkap,tes
rambut rontok fungsi hati

• Terapi Pembedahan

Terapi laser berguna pada telangiektasis prominen, tetapi


kekambuhan sering terjadi dengan pengobatan ini.1

Komplikasi

Resiko perubahan penyakit menjadi LE sistemik meningkat jika lesi


menyebar dan terdapat abnormalitas hasil pemeriksaan darah dan
parameter serologikus.


Pengobatan dini dapat mencegah terjadinya jaringan parut
atau atrofi.

Degenerasi malignan jarang terjadi. Pencegahan tumbuhnya
lesi baru dianjurkan pada daerah yang sering terekspos. 5

Prognosis

Tingkat mortalitas pada penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi
dapat berkelanjutan. Jaringan parut dan atrofi kulit yang terbentuk
biasanya permanen. 1

DAFTAR PUSTAKA


Wallace, Daniel.et al. Dubois’ Lupus Erythematosus, 7 th
edition. Chapter 30. California: Lippincott William &
Wilkins.2007.

Burns, Tony.,et al. Rook’s Textbook of Dermatology, 7 th edition.
Chapter 56. London: Blackwell Publishing. 2008.

Fitzpatrick TB, Johnson RA, Klaus W, Suurmond D. In colour
atlas and synopsis of clinical dermatology, 4th ed. New York
(NY): McGraw-Hill Companies; 2001: 368–9.

Andrew’s Diseases of Skin, 4th edition. California : Lippincott
William & Wilkins. 2007.

Discoid Lupus Erithematous [editorial]. Patient UK
newspaper.2009. Available from http://www.patient.co.uk
accesed on March 7th , 2010.

Panjwani, Suresh. Early Diagnosis and Treatment of Discoid
Lupus Erythematosus. Am J. London. 2004: 90-2.

Anda mungkin juga menyukai