Anda di halaman 1dari 26

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan sebutan
SLE atau LES berbagai istilah lainnya seperti penyakit dengan seribu wajah,
merupakan salah satu penyakit reumatik autoimun yang memerlukan perhatian
khusus baik dalam mengenali tampilan klinis penyakitnya hingga pengelolaannya.
SLE lebih banyak dijumpai pada wanita usia reproduktif antara 13-40 tahun
dengan perbandingan perempuan : laki-laki yaitu 9:1 diduga ada kaitannya antara
faktor hormonal dengan patogenesis. Dari berbagai laporan penelitian prevalensi
dari berbagai suku berbeda-beda diperkirakan 15-50 kasus per 100.000 penduduk.
Suku Indian Amerika, Afrika, dan Hispanik dilaporkan prevalensi SLE paling
tinggi bila dibandingkan dengan suku Caucasian. Diperkirakan di Inggris
12,5/100.000, Asia 17/100.000 penduduk. Aborigin 11/100.000. Dilaporkan SLE
mengenai semua ras walau lebih banyak terlihat pada perempuan di Asia, atau
mereka yang berkulit hitam di Amerika.
Jika penyakit ini tidak dilakukan penatalaksanaan yang tepat maka akan
mengarah pada kematian. Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan serta
asuhan keperawatan yang tepat pada pasien dengan SLE sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan SLE.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
2. Apakah etiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
3. Apakah manifestasi klinis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
4. Bagaimana patofisiologi dan WOC dari Systemic Lupus Eritematosus (SLE)?
5. Apakah pemeriksaan penunjang Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
6. Bagaimana klasifikasi derajat berat ringannya Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
7. Bagaimana penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
8. Apakah komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?


2

9. Bagaimana prognosis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
10. Bagaimana aplikasi asuhan keperawatan pada pasien dengan Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)?

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah supaya mahasiswa memahami :
1. Definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
2. Etiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
3. Manifestasi klinis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
4. Patofisiologi dan WOC dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
5. Pemeriksaan penunjang Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
6. Derajat berat ringannya Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
7. Penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
8. Komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
9. Aplikasi asuhan keperawatan pada pasien dengan Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)

1.4 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah :
1. Bagi mahasiswa mampu memahami serta menerapkan asuhan keperawatan
pada pasien dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
2. Bagi institusi sebagai sumber pustaka dan literatur dalam pengembangan ilmu
pengetahuan terutama tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan meningkatkan progam pendidikan
serta pengembangan di bidang keperawatan.
3. Bagi masyarakat sebagai sumber informasi tentang asuhan keperawatan pada
pasein dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) sehingga peningkatan
upaya hidup sehat dapat terlaksana dengan optimal.


3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit radang multi sistem
yang penyebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin
akut atau kronik. SLE merupakan penyakit autoimun dimana tubuh penderita
membentuk antibodi yang melawan diri sendiri yang seharusnya bertujuan
melawan bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh (Smelzer, 2007).
SLE adalah penyakit autoimun sistemik kronis ditandai dengan
pembentukan berbagai antibodi yang membentuk kompleks imun dan
menimbulkan inflamasi pada berbagai organ (Yuliasih & Soeroso, 2007). Corwin
(2009) menyebutkan bahwa SLE adalah suatu penyakit autoimun kronik yang
ditandai oleh terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang
berlainan. SLE adalah penyakit inflamasi autoimun dengan etiologi yang belum
diketahui serta memiliki manifestasi klinis yang beragam (Perhimpunan
reumatologi Indonesia, 2011).
Jadi dapat disimpulkan bahwa SLE adalah suatu penyakit autoimun sistemik
kronis yang ditandai dengan pembentukan berbagai antibodi yang membentuk
kompleks imun dan menimbulkan infamasi berbagai organ dengan manifestasi
yang beragam.

2.2 Etiologi
Penyebab SLE belum diketahui secara pasti walaupun penyakit ini sering
terjadi pada orang-orang dengan kecenderungan mengidap penyakit autoimun.
Kecenderungan terjadinya SLE dapat berhubungan dengan perubahan gen MHC
spesifik dan bagaimana antigen sendiri ditunjukkan dan dikenali. Pada wanita
sering terjadi SLE karena ada peran hormon seks yang dimiliki. Selain itu SLE
dapat dicetuskan oleh stress, kehamilan dan menyusui. Pada beberapa orang
disebabkan oleh pajanan radiasi ultraviolet yang berlebihan (Corwin, 2009).
Selain itu SLE dapat disebabkan obat-obatan dan bahan kimia seperti hidrasin
4



yang ada dalam tembakau dan warna aromatik yang ada dalam pewarna rambut.
(Mok & Lawu, 2003)

2.3 Manifestasi Klinik
Menurut Askandar et all (2007), manifestasi klinis SLE sangat luas. Pada
awalnya ditandai dengan gejala klinis yang tidak spesifik antara lain: lemah, lesu,
panas, mual, nafsu makan menurun, dan berat badan menurun. Berikut
manifestasi klinik yang dapat dijumpai di berbagai sistem tubuh antara lain :
1. Sistem muskuloskeletal
Dapat berupa artralgia yang hampir dijumpai sekitar 70% pasien, atau
artritis yang ditandai dengan sendi yang bengkak, kemerahan yang kadang
disertai efusi. Sendi-sendi yang sering terkena antara lain: sendi jari-jari
tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, dan lutut. Artritis pada SLE kadang
menyerupai artritis reumatoid, bedanya adalah artritis pada SLE bersifat
nonerosif.
2. Sistem mukokutaneus
1) Kutaneus lupus akut: malar rush (butterfly rash) merupakan tanda spesifik
pada SLE, yaitu bentukan ruam pada kedua pipi yang tidak melebihi
lipatan nasolabial dan ditandai dengan adanya ruam pada hidung yang
menyambung dengan ruam yang ada di pipi. Bentuk akut kutaneus lain
yaitu bentuk morbili, ruam makular fotosensitif, papulo dermatitis, bulosa,
toksik epidermal nekrolitik. Pada umumnya ruam akut kutaneus ini
bersifat fotosensitif.
2) Kutaneus lupus subakut: simetrikal eritema sentrifugum, anular eritema,
psoriatik SLE, pitiariasis, dan mukulo papulo fotosinsetif. Manifestasi
subakut lupus ini sangat erat hubungannya denga antibodi R O. lesi
subakut pada umumnya sembuh tanpa meninggalkan skar.
3) Kutaneus lupus kronik. Bentuk yang klasik adalah lupus diskoid yang
berupa bercak kemerahan dengan kerak keratotik pada permukaannya.
Bersifat kronik dan rekurenpada lesi yang kronik ditandai dengan parut
dan atropi pada daerah sentral dan hiperpigmentasi pada tepinya. Lesi ini
sering dijumpai pada kulit kepala yang sering menimbulkan kebotakan
5



irreversibel. Daun telinga, leher, lengan, dan wajah juga sering terkena
panikulitis lupus atau lupus profundus ditandai dengan inflamasi pada
lapisan bawah dari dermis dan jaringan sub kutan. Gambaran klinisnya
berupa nodul yang sangat dalam dan sangat keras, dengan ukuran 1-3 cm.
hanya ditemukan sekitar 2% pada penderita SLE.
4) Nonspesifik kutaneus lupus: vaskulitis kutaneus ditemukan hampir 70%
pasien. Manifestasi kutaneus nonspesifik lupus tergantung pada pembuluh
darah yang terkena. Bentuknya bermacam-macam, antara lain:
(1) Urtikaria
(2) Ulkus
(3) Purpura
(4) Bulosa, bentuk akibat dari hilangnya integritas dari dermal dan
epidermal junction
(5) Splinter hemorrhage
(6) Eritema periungual
(7) Nailfold infar bentuk vaskulitis dari interiol atau venul pada lengan
(8) Eritema pada tenar dan hipotenar mungkin bisa dijumpai. Pada
umumnya biopsi pada tempat ini menunjukkan leukositoklasik
vaskulitis
5) Raynauds Phenomenon. Gambaran khas dari Raynauds Phenomenonini
adalah adanya vasospasme yang ditandai dengan sianosis yang berubah
menjadi kemerahan bila terkena panas. Kadang disertai dengan nyeri.
Raynauds Phenomenon ini sangat terkait dengan keberadaan antibodi anti
U1 RNP.
6) Alopesia. Akibat kerontokan rambut yang bersifat sementara terkait
dengan aktivitas penyakit biasanya bersifat difus tanpa adanya jaringan
parut. Kerontokan rambut biasanya dimulai pada garis rambut depan. Pada
keadaan tertentu bisa menimbulkan alopesia yang menetap disebabkan
oleh diskoid lupus yang mneinggalkan jaringan parut.
7) Sklerodaktili. Ditandai adanya sklerotik dan bengkak berwarna kepucatan
pada tangan akibat dari perubahan tipe skleroderma. Hanya terjadi pada
7% pasien.
6



8) Nodul reumatoid. Ini dikaitkan dengan antibodi R O yang positif dan
adanya reumatoid like artritis.
9) Perubahan pigmentasi. Bisa berupa hipo atau hiperpigmentasi pada daerah
yang terpapar sinar matahari.
10) Kuku. Manifestasinya dapat berupa nail bed atrophy atau telengektasi
pada kutikula kuku.
11) Luka mulut (oral ulcer). Luka pada mulut yang terdapat pada palatum
molle atau durum, mukosa pipi, gusi, dan biasanya tidak nyeri. Gambaran
hispatologi kutaneus lupus: yaitu didapatkannya kompleks imun yang
berbentuk seperti pita pada daerah epidermal junction (lupus band).
3. Manifestasi pada paru
Dapat berupa pneumonitis, pleuritis ataupun pulmonary haemorrhage,
emboli paru, hipertensi pulmonal. Pleuritis ditandai dengan nyeri dada atau
efusi pleura atau fiction rub pada pemeriksaan fisik. Efusi pleura yang
biasanya ditemukan jernih dengan kadar protein yang meningkat, leukosit <
10.000 dan kadar glukosa normal.
4. Manifestasi pada jantung
Dapat berupa perikarditis, efusi perikardium, miokarditis, endokarditis,
kelainan katup, penyakit koroner, hipertensi, gagal jantung, dan kelainan
konduksi. Manifestasi jantung tersering adalah kelainan perikardium berupa
perikarditis dan efusi perikardium 66%, yang jarang menimbulkan komplikasi
tamponade jantung, menyusul kelainan miokardium berupa miokarditis yang
ditandai dengan perbesaran jantung dan endokardium berupa endokarditis
yang dikenal dengan nama Libman Sachs endokarditis, sering kali
asimptomatis tanpa disertai bising katup, yang sering terkena yaitu katup
mitral dan aorta.
5. Manifestasi hematologi
Manifestasi kelainan hematologi terbanyak adalah bentuk anemia karena
penyakit kronis. Anemia hemolitik autoimun hanya didapatkan pada 10%
penderita. Selain anemia dapat dijumpai leukopenia, limphopenia, nitropenia,
dan trombopenia.

7



6. Manifestasi pada ginjal
Dikenal dengan lupus nefritis. Angka kejadiannya mencapai 50% dan
melibatkan kelainan glumerulus. Gambaran klinisnya bervariasi tergantung
derajat kerusakan pada glumerulus dapat berupa hematuri, protein uria, seluler
cast. Berdasarkan kriteria WHO, secara hispatologis dibedakan menjadi 5
kelas. Sebanyak 0,5% akan berkembang menjadi gagal ginjal kronis. Lupus
nefritis ini merupakan pertanda prognosis jelek.
Tabel 2.1 Klasifikasi hispatologi lupus nefritis menurut WHO
I.
IIA.
IIB.
III.
IV.
V
Normal
mesangeal deposit
mesangeal hiperselulaliti
fokal segmental glumerulonefritis
difus glumerulonefritis
membranus glumerulonefritis
Sumber : Askandar et all (2007)
7. Manifestasi pada sistem gastrointestinal
Dapat berupa hepatosplenomegali nonspesifik, hepatitis lupoid,
keradangan sistem saluran makan (lupus gut), kolitis.
8. Manifestasi pada sistem saraf pusat
Sangat bervariasi mulai dari depresi hingga psikosis, kejang, stroke, dalan
lainnya. Untuk memudahkan diagnosis American College Rheumatology
mengelompokkan menjadi 19 sindrom. Gambaran klinis lupus cerebral
dikelompokkan dalam 3 bagian yaitu fokal, difus, dan neuropsikiatrik.
Tabel 2.2 Nomenklatur NP SLE menurut ACR (1999)
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (Guillain-
Barre Syndrome)
2. Aseptik meningitis
3. Kelainan saraf otonom berupa bentuk hipotensi ortostatik, gangguan
ejakulasi, anhidrosis, intoleransi panas, konstipasi
4. Penyakit cerebro vaskular
a. Sindrom stroke
b. TIA
8



c. Kronis multi fokal
d. Perdarahan subintrakranial
e. Trombosis sinus
5. Sindrom demyelinating
6. Pusing
a. Migrain
b. Tension headache
c. Cluster headache
d. Pusing karena hipertensi intrakranial (pseudotumor atau intrakranial
hipertensi)
7. Mononeuropati single atau multiple
8. Chorea
9. Myasthenia gravis
10. Myelopathy (transverse myelitis)
11. Neuropathy cranial
12. Plexopathy
13. Polineurophaty
14. Kejang
a. Kejang umum: tonic klonik, atonik, petitmal, myoklonik
b. Kejang fokal
15. Acute delirium
16. Kecemasan
17. Disfungsi kognitif
18. Gangguan emosi
19. Psikosis
Sumber : Askandar et all (2007)

2.4 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal dan lingkungan. Peningkatan sel imun terjadi pada sel B dan T. Aktifasi
9



sel B dan T karena adanya stimulus dari antigen yang spesifik yang berasal dari
bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dindnig sel atau berasal
dari dalam yaitu protein, DNA dan RNA. Antigen ini dibawah oleh antigen
presenting cells (APCs) yang berikatan pada permukaan sel B kemudian antigen
ini diproses oleh antigen presenting celss dan sel B menjadi peptida untuk di
bawah ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Ketika sel T
teraktivasi, sel T akan merangsang sel B untuk membentuk auto antibody yang
patogen. Interaksi antara sel Bdan sel T dibantu oleh sitokin (molekul CD40,
CTLA-4).
Antibodi yang patogen dan muncul yang secara berlebihan akhirnya justru
menyerang tubuh yang sehat (autoimunitas.) antibodi yang patogen ini akhirnya
masuk ke dalam jaringan tubuh dalam dua cara :
1. Antibody aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh seperti pada sel-
sel darah merah yang menyebabkan selnya hancur sehingga penderita
mengalami anemia.
2. Antibodi akan bergabung dengan antigen (sel perangsang pembentukan
antibodi) membentuk ikatan yang disebut kompleks imun. Gabungan antara
antigen antibodi ini mengalir bersama darah sampai tersangkut di pembuluh
darah kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal
kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) tetapi itu tidak terjadi
dalam keadaan abnormal. Malah sel-sel radang tadi bertambah banyak sambil
mengeluarkan enzim yang menimbulkan peradangan.

2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring
pada penyakit SLE menurut Perhimpunan Reumatologi (2011) antara lain :
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)*
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti-dsDNA
+
, komplemen
+
(C3,C4))
10



6. Foto polos thorax
1) Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring.
2) Setiap 3-6 bulan bila stabil
3) Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
7. ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin
time
8. Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu
pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.
Diagnosis SLE dapat ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria
ACR untuk SLE.
9. Pemeriksaan Serologi pada SLE
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA generik. (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada
SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan
tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai
gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit
autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid,
tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal. Jika hasil tes ANA
negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit
reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah, mungkin
diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan
menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak
sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesi ik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer
11



yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang
bukan SLE.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya
SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30% pasien SLE, tes ini jarang
dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk
SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih
spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak
menyingkirkan diagnosis. Berikut rekomendasi pengunaan tes ANA dan dsDNA
yaitu :
1) Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk
SLE.
2) Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE.
3) Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif
tidak menyingkirkan diagnosis SLE.

2.6 Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE
Perhimpunan Reumatologi (2011) menjelaskan bahwa seringkali terjadi
kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat yang
akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat
yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil
berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat
keparahan SLE. Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai
mengancam nyawa.
1. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1) Secara klinis tenang
2) Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3) Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit
2. Kriteria Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1) Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
12



2) Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3) Serositis mayor
3. Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
1) Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,
tamponade jantung, hipertensi maligna
2) Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,
infark paru, fibrosis interstisial, shrinking lung.
3) Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4) Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5) Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
6) Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi
7) Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.

2.7 Penatalaksanaan
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011) pilar pengobatan bagi
pasien dengan SLE terdiri dari tiga pilar yaitu :
1. Edukasi/konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan
dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan
perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan
masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain
melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir
surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus
memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan
berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan
pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit
ataupun akibat pemakaian obat-obatan.
13



Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE,
maka setiap pasien SLE perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik maupun
sosial. Berdasarkan data penelitian di RSCM (2010) ditemukan adanya gangguan
fungsi kognitif sebesar 86,49%.21 Pembuktian dilakukan menggunakan alat
pemeriksaan yang lebih teliti seperti TRAIL A, TRAIL B maupun Pegboard. Hal
ini memperlihatkan besarnya gangguan neuropsikiatrik yang tersembunyi pada
SLE, karena secara nyata gangguan tersebut tidak melebihi 20%. Adanya stigmata
psikologik pada keluarga pasien masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Namun adanya gangguan isik dan kognitif pada pasien SLE dapat
memberikan dampak buruk bagai pasien didalam lingkungan sosialnya baik
tempat kerja atau rumah. Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak
stigmata psikologik akibat adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi
perlunya dukungan keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar
pasien dengan SLE dapat dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri
dalam kehidupan kesehariannya.
2. Program rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE
dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu
penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi
imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi.
Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk
mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula
modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan
otot. Berbagai latihan diperlukan untuk mencegah terjadinya kehilangan fungsi
sendi dan penurunan fungsi otot. Secara garis besar tujuan, indikasi dan teknis dan
pelaksanaan rehabilitasi melibatkan beberapa maksud seperti, istirahat, terapi
fisik, terapi dengan modalitas, ortotik,dll.


14



3. Terapi medikamentosa
1) Obat antiinflamasi termasuk aspirin atau obat antiinflamasi non steroid
lainya digunakan untuk mengobati dan mencegah demam dan artritis.
2) Kortikosteroid sistemik digunakan untuk mengobati atau mencegah patologi
ginjal dan susunan saraf pusat.
3) Obat antiinflamsi seperti metode metotreksad dan obat sitotoksik
(azatioprin) digunakan jika steroid tidak efektif atau gejala berat.
4) Obat antimalaria seperti cloroquin untuk mengobati ruam kulit artritis dan
gejala lain.

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit SLE yaitu :
1. Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian terhadap penderita SLE.
Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks antibody antigen pada
glomerulus disertai pengaktivan komplemen resultan yang menyebabkan
cedera sel.
2. Dapat terjadi perikarditis
3. Peradangan pleura
4. Peradangan pembuluh darah
5. Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang, perubahan
kepribadian.

2.9 Prognosis
Prognosis lupus sangat tergantung pada organ yang terlibat, bila organ vital
yang terlibat maka mortalitasnya sangat tinggi. Tetapi dengan kemajuan
pengobatan, lupus mortalits ini jauh lebih baik dibandingkan 2-3 dekade yang lalu
(Askandar et all, 2007).

15



BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
SYSTEMI C LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

3.1 Pengkajian
1. Fokus pengkajian
Pengkajian riwayat kesehatan yang meliputi:
1) Data biografi (nama, usia, jenis kelamin, agama, alamat, tanggal masuk
RS). Wanita lebih cenderung terserang sembilan kali lebih sering daripada
pria, usia awitan rata-rata 30 tahun.
2) Riwayat penyakit sekarang
(1) Keluhan utama: nyeri, kelelahan, sesak nafas
(2) Keluhan sekarang: nyeri, susah tidur, penurunan nafsu makan
3) Riwayat penyakit dahulu
Apakah pernah menderita penyakit yang sama atau berhubungan.
4) Riwayat penyakit keluarga
Apakah dalam keluarga ada yang mengalami penyakit yang sama atau
yang berhubungan
5) Gaya hidup (minum alkohol, merokok, obat-obatan, aktifitas, stress,
makanan). Obat-obatan tertentu dan makanan tampak sebagai pencetus
awitan gejala atau memperburuk yang sudah ada. Paparan radiasi UV
merupakan faktor resiko yang ikut mempengaruhi.
2. Pemeriksaan fisik
1) Sistem integumen (pucat, sianosis, jaundice, banyak keringat, suhu tubuh
meningkat, turgor buruk, ikterik, butterfly rush).Tanyakan kepada pasien
tentang perubahan kulit terutama sensitivitas terhadap sinar matahari atau
cahaya ultraviolet buatan.
2) Sistem pulmonal (dispnea, takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas
tambahan, ekspansi paru terbatas, asites, hipoksia, pleuritis atau efusi
pleura).
3) Sistem kardiovaskuler (adanya gagal jantung kronis, disritmia, kanker,
bunyi jantung ekstra, perikarditis).
16



4) Sistem neurosensori (adanya perubahan mental, halusinasi, koma, bicara
tidak jelas).
5) Sistem muskuloskeletal (kelemahan, kelelahan, penurunan tonus otot,
letargi, nyeri sendi)
6) Sistem genitourinaria (Produksi urin menurun, adanya nyeri, edema).
7) Sistem digesti (diare, adnya flatus, distensi abdomen, peningkatan dan
penurunan bising usus, warna feces dan urin, jumlah feces dan urin
3. Pemeriksaan penunjang
1) Lanjut Endap Darah (LED) atau ESR : indikator inflamasi, semakin tinggi
LED semakin tinggi aktivitas inflamasinya.
2) Hitung darah lengkap : anemia sering berkaitan dengan penyakit sistemik.
3) Hitung trombosit : komplikasi obat.
4) Kadar salisilat : ukuran tingkat terapeutik untuk menurunkan inflamasi.
5) Kreatinin : peningkatan jumlah kreatinin menunjukkan kerusakan ginjal.
6) Hitung RBC dan WBC : dapat mengalami penurunan.
7) Antibodi Antinukleus (ANA) : menunjukkan hasil yang positif.
8) Anti DNA, pengikatan : peningkatan titer menunjukkan peningkatan
aktivitas penyakit.
9) Tes C-Reactive Protein (CRP): hasil yang positif menunjukkan inflamasi
yang aktif.
10) Mengukur nilai imunoglobulin (Ig A, Ig G, dan IgM) : kadar yang
meningkat ditemukan pada orang yang menderita kelainan autoimun.
11) Faktor Rheumatoid (RF) : kadang ditemukan juga pada orang dengan SLE.
Semakin tinggi titer semakin besar inflamasi

3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada kasus SLE menurut Gulanick
& Meyers (2011) antara lain:
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan ninflamasi, eksaserbasi proses
penyakit, penggunaan kortikosteroid yang tinggi.
2. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi akut akibat aktivitas penyakit.
3. Kelelahan berhuungaun dengan keadaan penyakit, anemik,
17



4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kondisi baru , pengobatan yang
kompleks, kesalahan interpretaasi waktu.
5. Sindrom perawatan diri berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal, nyeri
, ansietas hebat , kelemahan dan kelelahan.
6. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak,
kelemahan, keterbatasan daya tahan tubuh.

3.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang dapat diberikan kepada pasien pada kasus SLE
menurut Gulanick & Meyers (2011, p.818-828) antara lain:
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi, vasokontriksi,
eksaserbasi proses penyakit, penggunaan kortikosteroid yang tinggi,
penggunaan imunodepresan.
Ditandai dengan : kemerahan, nyeri, gatal, kerusakan kulit, ulserasi pada
mukosa mulut atau hidung
1) - NOC : integritas jaringan: kulit dan membran mukosa,
pengetahuan:bodi image, regimen pengobatan
2) Tujuan : pasien mampu mencapai integritas kulit dan mukosa
membran secara adekuat
3) Outcomes
(1) Tidak ada lesi pada kulit
(2) Kulit lembab
4) NIC : pembelajaran : proses penyakit, perawatan kulit, peningkatan citra
tubuh
5) Intervensi :
Intervensi Rasional
Kaji eritema, mungkin terdapat
disekitar wajah, leher, atau
ekstrimitas
Butterfly rash mungkin muncul diantara
hidung dan pipi, kejadian ini dapat terjadi
pada 50% pasien dengan SLE
Kaji integritas kulit Lesi kecil pada mulut dan hidung pasien
mungkin muncul,
Kaji fotosensitivitas Pasien mungkin memiliki respon yang buruk
mengenai sinar ultraviolet dan tidak dapat
18



terpapar secara langsung
Kaji sejauh mana gejala telah
mengganggu dengan bodi image
dan gaya hidup pasien
Adanya perubahan pada kulit pasien dapat
berdampak pada bodi image pasien
Instruksikan kepada pasien untuk
menjaga kulit tetap lembab, dan
bersih
Kulit yang basah akan menyebabkan
perlukaan pada kulit
Anjurkan untuk nutrisi dan
hidrasi adekuat
Untuk meningkatkan kesehatan kulit dan
meningkatkan penyembuhan luka
Anjurkan pasien untuk :
- Menghindari sinar ultra
violet
- Gunakan sunscreen (SPF
15 atau lebih)
- Gunakan payung atau
penutup kepala
- Gunakan kacamata
pelindung
Sinar matahari dapat meningkatkan
kerusakan kulit. Spesial lotion, kacamata,
atau item yang lainnya dapat digunkan untuk
melindungi kulit dari paparan sinar matahari
Untuk oral ulser:
- Instruksikan pasien untuk
membersihkan mulut 3
kali sehari
- Instruksikan pasien untuk
menggunakan obat topikal
yang telah di
kolaborasikan
Mencegah infeksi dan meningkatkan
penyembuhan

2. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi akut akibat peningkatan aktivitas
penyakit.
Ditandai dengan : kemerahan, nyeri, gatal, kerusakan kulit, ulserasi pada
mukosa mulut atau hidung
1) - NOC : Kontrol nyeri, respon pengobatan
19



2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri hilang
atau berkurang
3) Outcomes
(1) Pasien melaporkan nyeri berkurang pada skala kurang dari 3(0-10)
(2) Pasien dapat menggunakan managemen nyeri nonfarmakaologi atau
farmakologi
(3) Pasien dapat berpartisipasi dalam aktivitas
4) NIC : analgetik, manajemen nyeri
5) Intervensi :
Intervensi Rasional
Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian analgetik
analgetik memblok lintasan nyeri
sehingga nyeri akan berkurang
Kelola analgesik yang diresepkan,
evaluasi keefektifannya

Untuk meningkatkan kenyamanan
pasien dan mencegah periode puncak
nyeri, pasien mungkin memerlukan
analgesik opoid untuk beberapa saat
Anjurkan dan gunakan teknik
nonfarmakologis untuk mengontrol
nyeri
Posisi, distraksi, dan relaksasi mungkin
dapat mengurangi rasa nyeri serta
mengurangi penggunaan analgesic
Monitoring lokasi dan durasi nyeri.
Gunakan kuantitatif skala (0-10) untuk
mengkaji intensitas nyeri.
pasien mungkin melaporkan nyeri yang
hebat dan dapat menentukan intervensi
selanjutnya yang akan dilakukan
Ajarkan teknik relaksasi pernapasan
dalam

Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri

meningkatkan asupan O2 sehingga
akan menurunkan nyeri sekunder
distraksi (pengalihan perhatian) dapat
menurunkan stimulus internal dengan
mekanisme peningkatan produksi
endorphin dan enkefalin yang dapat
memblok reseptor nyeri untuk tidak
dikirim ke korteks serebri sehingga
menurunkan persepsi nyeri

20



Manajemen lingkungan tenang dan
batasi pengunjung
Lingkungan tenang akan menurunkan
stimulus nyeri eksternal dan
menganjurkan pasien untuk beristirahat
dan pembatasan pengunjung akan
membantu meningkatkan kondisi O2
ruangan yang akan berkurang apabila
banyak pengunjung yang berada di
ruangan dan menjaga privasi pasien.
Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian analgetik
analgetik memblok lintasan nyeri
sehingga nyeri akan berkurang
Kelola analgesik yang diresepkan,
evaluasi keefektifannya

Untuk meningkatkan kenyamanan
pasien dan mencegah periode puncak
nyeri, pasien mungkin memerlukan
analgesik opoid untuk beberapa saat
Anjurkan dan gunakan teknik
nonfarmakologis untuk mengontrol
nyeri
Posisi, distraksi, dan relaksasi mungkin
dapat mengurangi rasa nyeri serta
mengurangi penggunaan analgesic

3. Kelelahan berhubungan dengan keadaan penyakit, anemia, depresi
Ditandai dengan : penurunan konsentrasi
1) - NOC : Toleransi aktivitas, daya tahan : tidur, konservasi
energi
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelelahan
hilang atau berkurang
3) Outcomes
(1) Pasien melaporkan tidak mengalami kelelahan, peningkatan energi dan
peningkatan aktivitas
(2) Pasien mendemonstrasikan prinsip penggunaan energi konservasi
4) NIC : managemen energi, terap relaksasi sederhana
5) Intervensi :


21



Intervensi Rasional
Kaji kelelahan pasien, waktu (setelah
aktivitas atau sepanjang hari),

Informasi ini dapat membantu untuk
mengembangkan pola dari aktivitas
bahwa dapat mengoptimalisasikan
ketika pasien memiliki periode yang
tepat untuk istirahat
Perkuat prinsip konservasi energi
- Organisasikan aktivitas dan
lingkungan
- Berikan periode istirahat yang adekuat
Meningkatkan istirahat dan tidur
pasien
Jika kelelahan karena tidur yang
terganggu:
- Anjurkan untuk mandi air hangat
sebelum tidur
- Instruksikan kepada pasien untuk
menghindari kafein atau beraktivitas
sebelum tidur
- Anjurkan untuk menggunakan teknik
relaksasi otot
Air hangat dapat merelaksasikan otot,
tubuh relaks, stimulasi lingkungan
yang baik meningkatkan istirahat dan
tidur.
Anjurkan menggunakan analgesik atau
long-acting anti inflamasi
Menghilangkan nyeri dapat
meningkatkan istirahat dan tidur

4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kondisi baru pengobatan, pengobatan
yang kompleks, kesalahan interpretasi informasi, tidak familiar mengenai
sumber informasi
Ditandai dengan : banyak bertanya, tidak akurat informasi yang telah
didapatkan, permintaan mengenai informasi, tidak akurat mengenai instruksi
yang dianjurkan
1) - NOC : Pengetahuan : proses penyakit, medikasi, regimen
pengobatan
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan secara verbal
pasien mengerti mengenai proses penyakit dan
22



informasi mengenai pengobatan terpenuhi
3) Outcomes: Pasien mememahami tentang proses penyakit, pengobatan dan
rencana perawatan selanjutnya
4) NIC : Pembelajaran : proses penyakit, prosedur pengobatan
5) Intervensi :
Intervensi Rasional
Kaji tingkat pengetahuan pasien
tentang mengenai SLE
Kurangnya pengetahuan mengenai SLE
yang merupakan penyakit kronis serta
progresive dapat membuat kemampuan
pasien sulit untuk berkompromi
mengenai perawatannya
Perkenalkan dan jelaskan informasi
mengenai proses penyakit SLE,
penyebab yang tidak diketahui, proses
inflamasi dan fibrosis, remisi dan
eksaserbasi
Tujuan dari pengobatan adalah
mengurangi inflamasi, meminimalkan
gejala, dan mengembalikan fungsi
tubuh. Kejadian dapat cegah dengan
nutrisi yang baik dan latihan yang
teratur
Diskusikan mengenai tes diagnostik Test diagnostik dapat mengindikasikan
sebagai pengkajian dari organ utama
atau sistemik seperti ginjal atau liver
Jelaskan mengenai terapi obat, indikasi
pemberian steroid, obat-obatan
imunodepresan, dan obat lainnya dalam
pengobatan SLE
- Obat non steriod inflamasi dan
COX-2 inhibitor
- Antimalaria (hidroxychloroquine,
chloroquine)
- Kortikosteroid
- Imunosupresan
Sebagai informasi dasar untuk
pengobatan penyakit.
Berikan informasi dengan tepat
mengenai uji klinis
Terapi baru mengenai lupus sedang di
uji, sehingga pasien sering berharap
23



mengenai keadaannya
Instruksikan kepada pasien untutk
memonitor tanda vital atau demam
Demam merupakan manifestasi yang
biasa terjadi pada SLE dalam fase aktif.
Instruksikan kepada pasien mengenai
kemungkinan keterlibatan berbagai
sistem
- Renal
Instruksikan kepada pasien untuk
melaporkan perubahan urine output,
edema, tekanan darah, dan
perubahan berat badan tiba-tiba
- Cardio
Instruksikan kepada pasien untuk
melaporkan takikardi, sesak, dan
nyeri dada
- Raynauds phenomenon
Anjurkan kepada pasien untuk
mengenakan pakaian dan
menghindari dingin
- Pulmonary
Instruksikan kepada pasien bahwa
istirahat, menghindari cahaya
matahari langsung, olahraga teratur,
diet yang seimbang, buah dan sayur




Hampir 50% pasien menderita
glomerulosnefritis. Hal yang dapat
menyebabkan kematian


Perikarditis, endokarditis, dan
miokaarditis mungkin terjadi, meskipun
terkadang tanpa manifestasi yang jelas

Penurunan darah ke perfusi, sianosis,
eritema, dapat menjadi manifestasi yang
biasa terjadi pada SLE

Sebagai penataksanaan yang aktif pada
masa kondisi yang kronik untuk
menjaga kondisi tubuh

5. Sindrom defisit perawatan diri berhubungan gangguan muskuloskeletal, nyeri,
ansietas hebat, kelamahan dan kelelahan.
1) - NOC : Perawatan diri
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu
melaksanakan perawatan diri mandir tanpa tergantung
orang lain atau dengan memanfaatkan berbagai
24



sumber daya.
3) Outcomes: Kebutuhan perawatan diri pasien terpenuhi, komplikasi dapat
dihindarkan, pasien menyampaikam perasaan keterbatasan, pasien dan
keluarga melakukan perawatan diri setiap hari.
6) NIC : Bantu perawatan diri
7) Intervensi :
Intervensi Rasional
Bantu sebagian atau sepebuhnya saat
perawatan diri.
Mmeudahkan pasien mencapai
kemandirian.
Sediakan alat bantu yang diperlukan
dan ajarkan cara penggunaannya.
Alat bantu yang tepat dapat
meningkatkan kemandirian.
Pantau kemampuan pasien dalam
merawat diri.
Melalui kegiatan ini, area masalah
dapat didindentifikasi sebelum menjadi
sumber frustasi.
Anjurkan anggota keluarga untuk
menyediakan semua perlengkapan
perawatan diri pasien.
Memudahkan pasien mencapai
kemandirian.
Observasi tingkat fungsional pasien
setiap pergantian jaga, dokumentasikan
dan laporkan setiap perubahan.
Melalui tindakan ini perawat dapat
menentukan tindakan yang sesuai untuk
memenuhi kebutuhan pasien.

6. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak,
kelemahan, rasa nyeri saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
1) - NOC : Ambulasi
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu
mendapatkan dan mempertahankan mobilitas
fungsional yang optimal.
3) Outcomes:
(1) Pasien mempertahankan kekuatan otot dan ROM sendi.
(2) Pasien tidak memperlihatkan adanya komplikasi seperti kontraktur,
stasis vena, pembentukan trombus atau kerusakan kulit.
(3) Pasien mencapai mobilitas tertinggi.
25



4) NIC : Bantu ambulasi
5) Intervensi :
Intervensi Rasional
Lakukan ROM untuk sendi jika tidak
merupakan kontraindikasi, minimal
satu kali setiap pergantian jaga.
Tingkatkan dari pasif ke aktif sesuai
toleransi.
Mencegah kontraktur sendi dan atrofi
otot.
Identifikasi tingkat fuungsional dengan
menggunakan skala mobilitas
fungsional.
Untuk menunjang kontinuitas dan
menjaga tingkat kemandirian yang
teridentifikasi.
Ajarkan pasien dan keluarga tentang
latihan ROM, pemindahan dan program
mobilitas.
Untuk membantu mempersiapkan
pemulangan pasien.

















26

Anda mungkin juga menyukai