Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

SISTEMISC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Disusun oleh :

NURUL ANISA

SN191118

PRODI PROFESI NERS

STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA

2019/2020
A. KONSEP PENYAKIT
1. DEFINISI
SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakit radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan
fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam
autoantibodi dalam tubuh. Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau
penyakit auto imun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah,
merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau
trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang
masuk ke dalam tubuh( Isbagio dkk, 2009).
SLE (Sistemisc lupus erythematosus)adalah suatu penyakit komplek yang
bersifat genetis dan di duga lebih dari satu gen menentukan seseorang akan terkena atau
tidak (Sharon moore, 2009).
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak jelas
etiologinya, yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan
kompleks imun yang ditunjukkan kepada salah satu atau lebih komponen inti sel.
Prevalensi penyakit ini pada wanita usia subur adalah sekitar 1 dari 500. Angka
kelangsungan hidup 10 dan 20 tahun masing-masing adalah 75 dan 50 persen, dengan
infeksi, kekambuhan lupus, kegagalan organ ujung (end-organ), dan penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian. (Pamela dkk., 2011)

2. ETIOLOGI
Menurut InfoDatin (2017) penyebab dari SLE adalah sebagai berikut :
1. Faktor genetik
Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first
degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar
identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%).
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain
haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang
berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3,
C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan
sitokin. Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan
dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat
dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara
kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembarn non-identik (2-
9%).
2. Faktor lingkungan
a. Infeksi
Risiko timbulnya SLE meningkat pada mereka yang lain pernah sakit herpes
zoster (shingles). Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
varisela, virus yang juga menjadi penyebab dari penyakit cacar air (variscela
atau chiken pox).
b. Antibiotik
Hormon Kurang lebih dari 90% dari penderita SLE adalah wanita. Perbedaan
hormonal antara pria dan wanita mungkin menjadi latar belakang timbulnya
lupus.
c. Faktor sinar matahari
Salah satu kondisi yang dapat memperburuk gejala Lupus. Diduga oleh para
dokter bahwa sinar matahari memiliki banyak ekstrogen sehingga
mempermudah terjadinya reaksi autoimmun. Tetapi bukan berarti bahwa
penderita hanya bisa keluar pada malam hari. Pasien Lupus bisa saja keluar
rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00 WIB dan disarankan agar
memakai krim pelindung dari sengatan matahari. Teriknya sinar matahari di
negara tropis seperti Indonesia, merupakan faktor pencetus kekambuhan bagi
para pasien yang peka terhadap sinar matahari dapat menimbulkan bercak-
bercak kemerahan di bagian muka.kepekaan terhadap sinar matahari
(photosensitivity) sebagai reaksi kulit yang tidak normal terhadap sinar
matahari.
d. Stres yang berlebihan
e. Obat-obatan yang tertentu.
Gangguan ini biasanya hanya dialami dalam waktu yang singkat saja. Jadi
beberapa obat-obatan mungkin saja menimbulkan efek samping yang gejalanya
mirip lupus. Kondisi pasien akan membaik kalau penggunaan obat dihentikan.
3. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis SLE menurut infodatin (2017) sangat luas.awalnya di tandai
dengan gejala klinis yang tidak spesifik antara lain: lemah, lesu, panas mual nafsu
makan turun dan berat badan menurun.
a. Manifestasi sistem muskulo skeletal
Dapat berupa artalgia yang hampir di jumpai sekitar 70% atau atritis yang di
tandai dengan sendi yang bengkok, kemerahan yang kadang - kadang disertai
efusi, sendi yang sering tekena antara lain sendi jari – jari tangan, siku, bahu,
dan lutut. Artritis pada SLE kadang menyerupai artritis reumatoid, bedanya
adalah artritis pada SLE sifatnya nonerosif
b. Sistem mukokutaneus
1) Kutaneus lupus akut: malar rash (butterfly rash) merupakan tanda spesifik
pada SLE, yaitu bentukan ruam pada kedua pipi yang tidak melebihi lipatan
nasolabial dan di tandai dengan adanya ruam pada hidung yang
menyambung dengan ruam yang ada di pipi. Bentuk akut kutaneus lain
yaitu bentuk morbili, ruam makular, fotosensitif, papulodermatitis, bulosa,
toksik epidermal nekrolitik. Pada umumnya ruam akut kutaneus ini bersifat
fotosensitif
2) Kutaneus lupus subakut simetrikal eritema sentrifugum, anular eritema ,
psoriatik LE, pitiriasis dan makulo papulo fotosensitif. Manifestasi subakut
lupus ini sangat erat hubungannya dengan antibody Ro lesi subakut
umumnya sembuh tanpa meninggalkan scar.
3) Kutaneus lupus kronis. Bentuk yang klasik adalah lupus dikoid yang berupa
bercak kemerahan denga kerak keratotik pada permukaannya. Bersifat
kronik dan rekuren pada lesi yang kronik ditan dai dengan parut dan atropi
pada daerah sentral dan hiperpigmentasi pada daerah tepinya. Lesi ini
sering dijumpai pada kulit kepala yang sering menimbulkan kebotakan
yang irreversible. Daun telinga leher , lengan dan wajah juga sering terkena
panikulitis lupus atau lupus profundus di tandai dengan inflamasi pada
lapisan bawah dari dermis dan jaringan subkutan. Gambaran
klinisnyaberupa nodul yang sangat dalam dan sangat keras, dengan ukuran
1-3cm. Hanya di temukan sekitar 2 % pada penderita SLE
4) Nonspesifik kutaneus lupus ; vaskulitis cutaneus. Ditemukan hampir pada
70% pasien . manifestasi kutaneus nonspesifik lupus tergantung pada
pembuluh darah yang terkena . bentuknya bermacam macam antara lain :
 Urtikaria
 Ulkus
 Purpura
 Bulosa, bentuk ini akibat dari hilangnya integritas dari dermal dan
epidermal junction
 Splinter hemorrhage
 Eritema periungual
 Nailfold infar bentuk vaskulitis dari arteriol atau venul pada tangan
 Eritema pada tenar dan hipotenar mungkin bisa dijumpai pada
umumnya biopsi pada tempat ini menunjukkan leukosistoklasik
vaskulitis
 Raynould phenomenon
 Gambaran khas dari raynouls phenomenon ini adanya vasospasme,
yang di tandai dengan sianosis yang berubah menjadi bentuk
kemerahan bila terkena panas. Kadanga disertai dengan nyeri.
Raynould phenomenon ini sangat terkait dengan antibodi U1 RNP
 Alopesia
Akibat kerontokan rambut yang bersifat sementara terkai dengan
aktifitas penyakitbiasnya bersifat difus tanpa adanya jaringan parut.
Kerontokan rambut biasanya di mulai pada garis rambut depan. Pada
keadaan tertentu bisa menimbulkan alopecia yang menetap di sebabkan
oleh diskoid lupus yang meninggalkan jaringan parut
 Sklerodaktili
Di tandai dengan adanya sklerotik dan bengkak berwarna kepucatan
pada tangan akibat dari perubahan tipe skleroderma. Hanya terjadi pada
7% pasien
 Nodul rheumatoid
Ini dikaitkan dengan antibodi Ro yang positif dan adanya reumatoid
like artritis
 Perubahan pigmentasi
Bisa berupa hipo atau hiperpigmentasi pada daerah yang terpapar sinar
matahari
 Kuku. Manifestasinya bisa berupa nail bed atrofy atau telangektasi
pada kutikula kuku
 Luka mulut (oral ulcer) luka pada mulut yang terdapat pada palatum
molle atau durum mukosa pipi, gusi dan biasanya tidak nyeri
c. Manifestasi pada paru dapat berupa pnemonitis, pleuritis, atau pun pulmonary
haemorrhage, emboli paru, hipertensi pulmonal, pleuritis ditandai dengan nyeri
dada atau efusi pleura, atau friction rub pada pemeriksaan fisik. Efusi pleura
yang di jumpai biasanya jernih dengan kadar protein <10.000 kadar glukosa
normal
d. Manifestasi pada jantung dapat berupa perikarditis, efusi perkardium,
miokarditis, endokarditis, kelainan katup penyakit koroner, hipertensi , gagal
jantung , dan kelainan konduksi. Manifestasi jantung tersering adalah kelainan
perikardium berupa perikarditis dan efusi perikardium 66%, yang jarang
menimbulkan komplikasi tamponade jantung, menyusul kelainan miokardium
berupa miokarditis yang di tandai dengan pembesaran jantung dan
endokardium berupa endokarditis yang di kenal dengan nama Libmn Sachs
endokarditis, sering sekali asimptomatis tanpa di sertai dengan bising katup.
Yang sering terkena adalah katup mitral dan aorta
e. Manifestasi hematologi
Manifestasi kelainan hematologi yang terbanyak adalah bentuk anemia karena
penyakit kronis, anemia hemolitik autoimun hanya di dapatkan pada 10 %
penderita. Selain anemia juga dapat di jumpai leukopenia, limphopenia,
nitropenia, trombopenia
f. Manifestasi pada ginjal
Dikenal dengan lupus nefritis. Angka kejadiannya mencapai hampir 50 % dan
melibatkan kelainan glomerulus. Gambaran klinisnya bervariasi dengan
tergantung derajat kerusakan pada glomerulus dapat berupa hematuri, protein
uria, seluler cast,. Berdasarkan kriteria WHO secara histopatologi di bedakan
menjadi 5 klas. Sebanyak 0,5% akan berkembang menjadi gagal ginjal kronis.
Lupus nefritis ini merupakan petanda prognosis jelek
g. Manifestasi sistem gastrointestinal dapat berupa hepatosplenomegali non
spesifik, hepatitis lupoid, keradangan sistem saluran makanan (lupus gut),
kolitis
h. Manifestasi klinis pada sistem saraf pusat Juga sangat bervariasi, mulai dari
depresi sampai psikosis, kejang, stroke, dan lain2. Untuk memudahkan
diagnosis American College Rheumatology mengelompokkan menjadi 19
sindrom. Gambaran klinis lupus serebral di kelompokkan dalam 3 bagian yaitu
fokla, difus, dan neuropsikiatrik.

4. KOMPLIKASI
Menurut Martianti (2017) SLE dapat menyebabkan inflamasi pada jantung,
pembuluh darah (vaskulitis) dan selaput jantung (perikarditis). Komplikasi sering
berhubungan dengan pembekuan darah dan aterosklerosis yang
mengakibatkan stroke dan serangan jantung. Berikut komplikasi SLE sesuai dengan
situasi dan organ yang diserang :
a. SLE dan Komplikasi Lupus Nefritis
Peradangan yang terjadi pada ginjal untuk waktu yang lama akibat SLE
memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit ginjal yang lebih serius sampai
gagal ginjal dan memerlukan cuci darah. Komplikasi ini disebut sebagai lupus
nefritis.
Penyakit ini juga cenderung berkembang pada tahap awal SLE (biasanya dalam
lima tahun pertama). Beberapa gejala lupus nefritis meliputi:
1) Rasa gatal.
2) Nyeri dada.
3) Mual.
4) muntah.
5) Sakit kepala.
6) Pusing.
7) Sering buang air kecil.
8) Hematuria.
9) Pembengkakan pada kaki.
b. SLE dan Komplikasi pada Sel Darah
Anemia, peningkatan risiko perdarahan atau sebaliknya pembekuan darah, dapat
diakibatkan oleh lupus.
c. SLE dan Kehamilan
Penderita SLE wanita harus waspada terhadap komplikasi yang dapat terjadi pada
masa kehamilan. Komplikasi tersebut meliputi preeklamsia, kelahiran prematur, dan
keguguran. Untuk mengurangi komplikasi, dokter akan menganjurkan untuk
menunda kehamilan sampai peyakit terkontrol atau tenang.
d. SLE dan Komplikasi pada Otak
Jika lupus menyerang otak, gejala yang dirasakan adalah sakit kepala, pusing,
perubahan perilaku, halusinasi, bahkan kejang dan stroke. Pada beberapa orang juga
dapat mengalami gangguan memori.
e. Komplikasi Lainnya
Beberapa komplikasi lainnya yang mungkin dapat terjadi akibat lupus adalah:

1) Infeksi. Dikarenakan penderita lupus memiliki sistem imun yang lebih lemah
akibat obat dan penyakit lupus itu sendiri, maka mereka rentan terkena infeksi.
Infeksi yang sering terjadi pada penderita lupus biasanya meliputi infeksi saluran
kemih, infeksi saluran pernapasan yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus atau
jamur
2) Kematian jaringan tulang (nekrosis avaskular). Komplikasi ini terjadi pada saat
aliran darah ke jaringan tulang berkurang, sehingga menyebabkan kerusakan
tulang.

5. PATOFISIOLOGI DAN PATHWAY


Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel
secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen
yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia,
namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE.
Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera
jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan dengan cara
pembentukan dan generasi kompleks imun, berikatan dengan molekul ekstrasel pada
organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan secara
langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi
ke sel hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon
untuk melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak
hanya terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai
penyakit, termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit
(Harisson, 2009).

PATHWAY

Stimulasi antigen spesifik

Sistem regulasi kekebalan terganggu


Aktivasi sel T dan B
Fungsi Selt T supresor abnormal

Produksi antibodi meningkat

Penumpukan kompleks Imun

kulit Sendi Darah Paru-pura Jantung

Lesi pada Degradasi HB Efusi Mengendap pada arteri


kulit jaringan pleura

O2 Inflamasi arteriol terminalis


Kerusakan Terbentuk Pola nafas
integritas endapan tak efektif
perikarditis
kulit pada sendi ATP

O2
Atralgia Keletihan
artritis
Intoleransi aktivitas
Nyeri
6. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan medis
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit,
mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas
hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit,
menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien
tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena
banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang
dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi
1) Terapi Nonfarmakologi
2) Pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah.
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga
diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang
terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena
hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang
dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita
SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE
yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan
produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan
menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999).
Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk
penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV.
3) Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien
memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang
mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien
disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
4) Aktivitas
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olahraga diperlukan untuk
mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh
berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan.
Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus
terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof
sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan
timbulnya lesi kulit pada pasien SLE.
2) Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan
mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat
keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul
pada setiap pasien.
5) NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk
salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek
antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat
dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor.
Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta
memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari
mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing
factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi
homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi
lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat
pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus
collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah
perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi.
6) Obat lain
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah
azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon,
mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi.
b. Penatalaksanaan keperawatan
1) Pendidikan terhadap pasien
Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya
(perjalanan penyakit, komplikasi, prognosis), sehingga dapat bersikap
positif terhadap penanggulangan penyakit
2) Monitoring yang teratur
3) Penghematan enersi
Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol.
Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan
pentingnya tidur yang cukup.
4) Fotoproteksi
Kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau dihindarkan. Dapat juga
digunakan lotion tertentu untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari
langsung.
5) Mengatasi infeksi
Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas
sebabnya, pasien harus memeriksanya.
6) Menyarankan untuk rencana kehamilan
Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang
mendapatkan pengobatan dengan obat imunosupresif.

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Riwayat
1) Identitas
2) Penyakit SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kebanyakan menyerang
wanita, bila dibandingkan dengan pria perbandingannya adalah 8 :
1. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang berkulit hitam dari pada
orang yang berkulit putih.
3) Keluhan utama
4) Pada SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kelainan kulit meliputi eritema
malar ( pipi ) ras seperti kupu-kupu, yang dapat mengenai seluruh tubuh,
sebelumnya pasien mengeluh demam dan kelelahan.
5) Riwayat penyakit sekarang
6) Pada penderita SLE, di duga adanya riwayat penyakit anemia hemolitik,
trombositopeni, abortus spontan yang unik. Kelainan pada proses
pembekuan darah ( kemungkinan sindroma, antibody, antikardiolipin ).
7) Riwayat penyakit keluarga
8) Faktor genetik keluarga yang mempunyai kepekaan genetik sehingga
cenderung memproduksi auto antibody tertentu sehingga keluarga
mempunyai resiko tinggi terjadinya lupus eritematosus.

b. Pola gordon
1) Pola nutrisi
2) Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya sampai beberapa
kg, penyakit ini disertai adanya rasa mual dan muntah sehingga
mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun.
3) Pola aktivitas
4) Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa.
5) Pola eliminasi
6) Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif
mesangial, namun, secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
7) Pola sensori dan kognitif
8) Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada
jari – jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik.
9) Pola persepsi dan konsep diri
10) Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang
menimbulkan bekas seperti luka dan warna yang buruk pada
kulit penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan adanya
lesi kulit yang ada.

c. Pemeriksaan fisik
1) Sistem integument
Pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema molar
yang bersifat irreversibel.
2) Kepala
Pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan
yang sifatnya reversibel dan rambut yang hilang akan tumbuh kembali.
3) Muka
Pada penderita SLE lesi tidak selalu terdapat pada muka/wajah
4) Telinga
Pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga.
5) Mulut
Pada penderita SLE sekitar 20% terdapat lesi mukosa mulut.
6) Ekstremitas
Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan
dan jari jari-jari kaki, juga sering merasakan nyeri sendi.
7) Paru – paru
Penderita SLE dapat mengalami pleurisy, pleural effusion, pneumonitis,
interstilsiel fibrosis.
8) Leher
Penderita SLE tiroidnya mengalami abnormal, hyper-
parathyroidisme, intolerance glukosa.
9) Jantung
Penderita SLE dapat mengalami perikarditis, myokarditis, endokarditis,
vaskulitis.
10) Gastro intestinal
Penderita SLE dapat mengalami hepatomegaly / pembesaran hepar, nyeri
pada perut.
11) Muskuluskletal
Penderita dapat mengalami arthralgias, symmetric polyarthritis, efusi dan
joint swelling.
12) Sensori
Penderita dapat mengalami konjungtivitis, photophobia.
13) Neurologis
Penderita dapat mengalami depresi, psychosis, neuropathies.

d. Pemeriksaan penunjang
1) Patologi Anatomi
Hasil yang didapat pada penderita lupus berupa:
 Epidermis atrofi
 Degenerasi pada junction dermal-epidermal
 Dermis edema
 Infiltrat limfositosis dermal
 Degeneratif fibrinoid dari jaringan konektif dan dinding
pembuluh darah.
2) Imunofluoresensi Kulit
Pada tes imunofluoresensi langsung didapatkan antibodi intraseluler
tipe IgG dan C3. Pada tes imunofluoresensi secara langsung
didapatkan antibodi pemphigus tipe IgG. Tes pertama lebih
terpercaya daripada tes kedua, karena telah positif pada penuaan
penyakit. Kadar titernya pada umumnya sejajar dengan beratnya
penyakit dan akan menurun dan menghilang dengan pengobatan
kortikosteroid.
3) Serologi
Pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan yang menggunakan serum.
Pemeriksaan serologi mempunyai hasil yang sangat bervariasi
tergantung pada respon imun saat pemeriksaan laboratorium
dilakukan dan lamanya kelainan yang dialami penderita. Pada
pemeriksaan ini, penderita SLE sering menunjukkan hasil berupa:
 ANA positif
 Anti double strand DNA antibodies
 Anti-Sm antibodies dan rRNP antibodies specific
 Anti-kardiolipin auto anti-bodi.
4) Hematologi
Penderita SLE akan menunjukkan hasil pemeriksaan hematologi
sebagai berikut:
 Anemia
 Limpopenia
 Trombositopenia
 Elevasi ESR
5) Urinalisa
Akan menunjukkan hasil berupa Proteinuria.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut
b. Keletihan
c. Intoleransi aktivitas
d. Pola nafas tak efektif
e. Kerusakan integritas kulit
3. PERENCANAAN KEPERAWATAN
a. Nyeri akut

NOC
 Pain Level,
 Pain control
 Comfort level
Kriteria Hasil :
 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

NIC
Pain Management
 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
 Observasi reaksi nonverbal dan ketidaknyamanan
 Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien
 Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
 Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
 Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa Iampau
 Bantu pasierl dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
 Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
 Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter
personal)
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
 Ajarkan tentang teknik non farmakologi
 Berikan anaIgetik untuk mengurangi nyeri
 Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
 Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration
 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian
obat
 Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
 Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
 Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
 Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala
b. Keletihan

NOC:
 Activity Tollerance
 Energy Conservation
 Nutritional Status: Energy
Kriteria hasil:
 Kemampuan aktivitas adekuat
 Mempertahankan nutrisi adekuat
 Keseimbangan aktivitas dan istirahat
 Menggunakan tehnik energi konservasi
 Mempertahankan interaksi sosial
 Mengidentifikasi faktor-faktor fisik dan psikologis yang menyebabkan
kelelahan
 Mempertahankan kemampuan untuk konsentrasi

NIC :
Energy Management
 Monitor respon kardiorespirasi terhadap aktivitas (takikardi, disritmia,
dispneu, diaphoresis, pucat, tekanan hemodinamik dan jumlah respirasi)
 Monitor dan catat pola dan jumlah tidur pasien
 Monitor lokasi ketidaknyamanan atau nyeri selama bergerak dan aktivitas
 Monitor intake nutrisi
 Monitor pemberian dan efek samping obat depresi
 Instruksikan pada pasien untuk mencatat tanda-tanda dan gejala kelelahan
 Ajarkan tehnik dan manajemen aktivitas untuk mencegah kelelahan
 Jelaskan pada pasien hubungan kelelahan dengan proses penyakit
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan intake makanan tinggi
energi
 Dorong pasien dan keluarga mengekspresikan perasaannya
 Catat aktivitas yang dapat meningkatkan kelelahan
 Anjurkan pasien melakukan yang meningkatkan relaksasi (membaca,
mendengarkan musik)
 Tingkatkan pembatasan bedrest dan aktivitas
 Batasi stimulasi lingkungan untuk memfasilitasi relaksasi

c. Intoleransi aktivitas

NOC

 Energy conservation
 Activity tolerance
 Self Care : ADLs

Kriteria Hasil :

 Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah,


nadi dan RR
 Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri
 Tanda-tanda vital normal
 Energy psikomotor
 Level kelemahan
 Mampu berpindah: dengan atau tanpa bantuan alat
 Status kardiopulmunari adekuat
 Sirkulasi status baik
 Status respirasi : pertukaran gas dan ventilasi adekuat

NIC

Activity Therapy

 Kolaborasikan dengan tenaga rehabilitasi medik dalam merencanakan


program terapi yang tepat
 Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
 Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik,
psikologi dan social
 Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk
aktivitas yang diinginkan
 Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek
 Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
 Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
 Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas
 Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
 Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
 Monitor respon fisik, emosi, social dan spiritual

d. Pola nafas tidak efektif

NOC :
 Respiratory status : Ventilation
 Respiratory status : Airway patency
Kriteria Hasil :
 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan
mudah, tidak ada pursed lips)
 Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
 Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)
NIC :
Airway Management
 Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
 Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
 Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
 Pasang mayo bila perlu
 Lakukan fisioterapi dada jika perlu
 Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
 Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
 Lakukan suction pada mayo
 Berikan bronkodilator bila perlu
 Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
 Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
 Monitor respirasi dan status O2
Oxygen Therapy
 Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
 Pertahankan jalan nafas yang paten
 Atur peralatan oksigenasi
 Monitor aliran oksigen
 Pertahankan posisi pasien
 Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi
 Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi

e. Kerusakan integritas kulit

NOC

 Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes


 Hemodyalis akses

Kriteria Hasil :

 Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur,


hidrasi, pigmentasi)
 Tidak ada luka/lesi pada kulit
 Perfusi jaringan baik
 Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah
terjadinya cedera berulang
 Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan
perawatan alami

NIC

Pressure Management

 Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar


 Hindari kerutan pada tempat tidur
 Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
 Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
 Monitor kulit akan adanya kemerahan
 Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada daerah yang tertekan
 Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
 Monitor status nutrisi pasien
 Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
 Insision site care
 Membersihkan, memantau dan meningkatkan proses penyembuhan pada luka
yang ditutup dengan jahitan, klip atau straples
 Monitor proses kesembuhan area insisi
 Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi
 Bersihkan area sekitar jahitan atau staples, menggunakan lidi kapas steril
 Gunakan preparat antiseptic, sesuai program
 Ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka tetap terbuka
(tidak dibalut) sesuai program
4. EVALUASI KEPERAWATAN
Adapun evaluasi keperawatan berisi mengenai S (Subjektif), O (Objektif), A
(Analisis), P ( Planning) dengan penjelasan sebagai berikut :
1) S : berisi tentang keluhan klien secara verbal dan bersifat subjektif
2) O: berisi tentang bukti-bukti secara nyata mengenai keluhan dari klien
3) A : berisi tentang evaluasi apakah masalah keperawatan sudah teratasi atau belum,
mengacu pada perbandingan pada kriteria hasil dan respon klien setelah diberikan
terapi.
4) P : berisi tentang rencana lanjutan yang akan dilakukan jika masalah keperawatan
belum teratasi
DAFTAR PUSTAKA

Infodatin. (2017). Infodatin Lupus 2017. Diakses pada 12 Februsti 2020


file:///C:/Users/WIN10/Downloads/Infodatin-Lupus-2017-unlocked.pdf

Muthusamy. (2017) . Systemic Lupus Erythematous ( SLE). Diakses pada 12 Februari 202
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/4b5af7f9d2503f55a347e689e5
d7f2ab.pdf

Moore, Sharon. (2009). Lupus: Terapi – terapi Alternatif yang Berhasil. Yogyakarta: B-first.

Pamela dkk. (2011). Nursing Memahami Berbagai Macam Penyakit, Jakarta: Indeks

Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. (2009). Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima.
Jakarta: Interna Publishing, ; 2565-2579.

Anda mungkin juga menyukai