Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

DIBUAT OLEH:

Anna Dewi Hastuti

201810461011009

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


A. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kronik yang
ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas di seluruh tubuh yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan
dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan
kerusakan jaringan.
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah
lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan
suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing
hutan.
Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan
menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat
menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli
reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai
dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun,
dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh.
B. Etiologi
1. Faktor Genetik
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex)
kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan
dengan timbulnya SLE. HLA –DR2 lebih menunjukkan gejala lupus nefritis yang
menonjol, sedangkan pada HLA-DR3 lebih menunjukkan gejala muskuloskeletal.
Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu
faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan
defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan
berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur
maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal
ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah
mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu
limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di
jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa
studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen
yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang
abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE. Hormon
estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
4. Faktor Lingkungan
a. Infeksi virus dan bakteri
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang
penyakit ini kambuh setelah infeksi. Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat
berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr
Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal
ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga
terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh
darah. Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang
efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat
tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah.
c. Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal. Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.
C. Manifestasi Klinis
a. Konstitusional
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita LES
dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan ini agak
sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti
anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES, diperlukan
pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini
dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala
gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari
sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40°C tanpa adanya bukti
infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai
menggigil.
b. Integumen
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), Subacute
Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), lupus profundus / paniculitis, alopecia.
Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo
reticularis, telangiektasia, fenomena Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang
menonjol bewarna putih perak dan dapat pula ditemukan bercak eritema pada
palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.
c. Muskuloskeletal
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal.
Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan
suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering
dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang
banyak dan simetris. Namun pada umumnya pada LES tidak meyebabkan kelainan
deformitas.1 Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendinitis juga sering
terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat
ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya
berhubungan dengan terapi steroid. Miositis timbul pada penderita LES< 5% kasus.
Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan
kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas
penyakit dan penggunaan steroid
d. Paru-paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis,
emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lung syndrome.
Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya
penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan
ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh
darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan
respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering
apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan
penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau
pemberian sitostatika.
e. Kardiovaskuler
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat
berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.
Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,
interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.17
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal,
friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun EKG,
Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam
klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-
Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan
endokarditis bakterialis.
Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih
tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko
ini meningkat sampai 50%.
f. Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar
terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini
adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda
keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal
atau sindroma nefrotik.
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan
menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan
silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin.
Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan
hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus
dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
g. Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat
merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES atau sebagai
akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol
walaupun tidak didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali
gangguan motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih
banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan
adanya ulkus. Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada
peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan
hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai
pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali
dan LDH.
h. Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia
normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit
ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
i. Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran
klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik
dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan
menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan
antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan
serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan
pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi
sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis
cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali
untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak
memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan
untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.
D. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Tes Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik
untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita
dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan
dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis.
Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA).
Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA
(anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-
DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun
yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk
diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit
tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana,
2002).
b) Tes Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain.
ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu
sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi
pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA
juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi
berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah
pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan
menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE
karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi
jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk
menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi
anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau
anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
2. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta
untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi
inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP),
kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum
kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Ruam kulit atau lesi yang khas.
b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan
pleura atau jantung.
d) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5
mg/hari atau +++.
e) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
f) Biopsi ginjal.
g) Pemeriksaan saraf.
E. Patofisiologi
Bagan Perjalanan Penyakit

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali dengan
faktor pencetus yang ada di lingkunagan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau
bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respons imun di dalam tubuh
yaitu:
1. Sel T dan B menjadi autoreaktif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator kontrol pada sisitem imun, antara lain
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun
maupun sitokin di dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen
karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut , maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh
yang di sebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi2 yang membentuk
kompleks imun . kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan /organ yang
akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan
(cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di
samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .
F. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis pasti dapat ditegakan bila 4 atau lebih dari 11 kriteria ARA
terpenuhi. Penderita dikatakan mempunyai SLE jika terdapat minimal 4 kriteria
terpenuhi, baik secara bersamaan ataupun simultan, selama observasi.
Kriteria SLE dari ARA, tahun 1997:
1.Malar rash
erythema yang fixed, datar/meninggi. Letaknya pada malar, biasanya tidak
mengenai lipatan nasolabial.
2.Discoid rash
Lesi erythemetous yang meninggi dengan squama keratotic. Kadang tampak scar
yang atofi.
3.Fotosensitivitas.
Diketahui melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik.
4.Ulkus oral
Ulserasi dimulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri.
5.Arthritis
nonerosive arthritis melibatkan 2 atau lebih dari sendi perifer. Ditandai dengan
nyeri, bengkak, atau efusi.
6.Serositis
Pada pleuritis didapatkan riwayat nyeri pleural, pleural friction rub, efusipleura.
Pada pericarditis tampak pada ECG, gesekan pericard, efusi pericard.
7.Gangguan Renal
proteinuria >0,5 g/hari atau >3+, atau cellular cast berupa eritrosit, hemoglobin
granular, tubular, atau campuran.
8.Kelainan neorologis
psikosis, kejang-kejang (tanpa sebab yang jelas).
9.Kelainan hematologis
anemia hemolitic
leukopenia(<4000/μL)
limfopenia (<1500/μL)
trombositopenia (<100.000/μL).
10.Kelainan imunologis
Anti ds-DNA , Anti-Sm (antibody terhadap antigen otot polos), Antifosfolipid
antibody, STS false positve.
11.Antibodi antinuclear
ANA test +.
DIAGNOSIS BANDING
-Rheumatoid arthritis dan penyakit jaringan konektif lainnya.
-Endokarditis bacterial subacute.
-Septikemia oleh Gonococcus/Meningococcus disertai dengan arthritis ,lesi kulit.
-Drug eruption.
-Limfoma.
-Leukemia.
-Trombotik trombositopeni purpura.
-Sarcoidosis.
-Lues II
-Bacterial sepsis.
Diagnosa Keperawatan pada klien SLE adalah:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis.
2. Perfusi jaringan serebral/perifer tidak efektik berhubungan dengan aliran arteri
terhambat.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan, tidak familiar
dengan sumber informasi.
4. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi, nyeri, cemas,
kelelahan otot pernapasan, defornitas dinding dada.
5. Hipertermia berhubungan dengan penyakit.
6. Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,
penumpukan kompleks imun.
DAFTAR PUSTAKA

Astarida, R. 2010. Systemis Lupus Arythematosus,


(https://ratihastarida.wordpress.com/2010/03/30/systemic-lupus-
erythematosus-sle/), diakses pada 06 April 2016.
Wahono, S. 2012. Manifestasi klinis lupus eritematosus sistemik les dan
diagnosisnya, (http://singgihwahono.lecture.ub.ac.id/2012/04/manifestasi-
klinis-lupus-eritematosus-sistemik-les-dan-diagnosisnya/), diakses pada 06
April 2016
Ariotejo, B. 2009. Systemic Lupus Serythematosus (SLE) ,
(https://bimaariotejo.wordpress.com/2009/06/07/systemic-lupus-
erythematosus-sle/), dikases pada 06 April 2016.

Anda mungkin juga menyukai