Anda di halaman 1dari 22

REFARAT

SISTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan


mengikuti kepaniteraan klinik senior (KKS) di bagian
ilmu kedokteran kulit dan kelamin di RSUD Dr.RM.
Djoelham Binjai

Disusun oleh :
William Bordus Dickison Victor Prayogi
102119005

Pembimbing :
dr. Hj. Hervina, Sp.KK, FINSDV, MKM

DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RSUD DR R.M DJOELHAM BINJAI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Systemic Lupus
Erythematous (SLE)” tepat pada waktunya. Penulisan tugas ini merupakan
salah satu prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Batam.
Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal
hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan
ini, saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Hervina, Sp.KK, FINSDV,
MKM berupa bimbingan yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan
referat.

Saya m enyadari referat ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan
kritik yang membangun, sangat kami harapkan demi perbaikan tugas serupa di
waktu berikutnya. Semoga referat ini juga dapat memberi manfaat bagi pihak
yang berkepentingan.

Binjai, Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ................................................................................................... 2

2.2 Etiologi .................................................................................................... 4

2.3 Epidemiologi ........................................................................................... 5

2.4 Faktor resiko ........................................................................................... 6

2.5.Diagnosa.................................................................................................. 7

2.6 Patogenesis ............................................................................................ 10

2.7 Patofisiologi .......................................................................................... 13

2.8 Diagnosa Banding ................................................................................15

2.9 Penatalaksanaan ..................................................................................... 15

2.10. Komplikasi ...................................................................................... 16

2.11 Prognosis ............................................................................................. 16

2.22 Profesionalisme......................................................................................17

BAB III KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan............................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

Sistemik Lupus Eritematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun yang


menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat sistem
kekebalan tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga merupakan
penyakit multi-sistem dimana banyak manifestasi klinis yang didapat penderita,
sehingga setiap penderita akan mengalami gejala yang berbeda dengan penderita
lainnya tergantung dari organ apa yang diserang oleh antibody tubuhnya sendiri.
Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah skin rash, arthritis, dan
lemah. Pada kasus yang lebih berat, SLE bisa menyebabkan nefritis, masalah
neurologi, anemia, dan trombositopenia.
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja
penyakit ini angka kejadiannya didominasi oleh perempuan dimana perbandingan
antara perempuan dan laki-laki adalah 10 : 1. SLE menyerang perempuan pada
usia produktif, puncak insidennya usia antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah
penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan
jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus
Indonesia).
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi
remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan
penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan
didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-
obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID
(Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria, kortikosteroid,
dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat obat- obat yang lain
seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal
antibodi, dan transplantasi sumsum tulang.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus Sistemik adalah
gangguan jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat ringan
hingga fulminans dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang
komponen sitoplasma dan inti sel, ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia,
arthritis, nefritis, pleuritis, pericarditis, leucopenia atau trombositopenia, anemia
hemolitik, lesi organ, manifestasi neurologik, limfadenopati, demam dan berbagai
gejala konstitusional lainnya.
Lupus eritematosus sistemik(LES) merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan
penyakit dan prognosis yang sangat beragam (Fajriansyah,2019).
Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari bahasa
yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah
sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malarash.
Empat tipe utama lupus adalah lupus eritematosus neonatal dan pediatrik (NLE);
lupus eritematosus diskoid (DLE); lupus yang diinduksi obat (DIL); dan lupus
eritematosus sistemik (SLE).
1. Lupus Eritematosus neonatal dan pediatrik (NLE)
Sebagai bentuk lupus yang jarang ditemukan pada bayi baru lahir, NLE
diduga disebabkan oleh autoantibodi ibu yang melewati plasenta. Namun, dari
pasien anak yang memiliki autoantibodi ibu positif, hanya sekitar 1% yang
berkembang menjadi NLE. Presentasi klinis yang umum melibatkan jantung,
hati, dan kulit. Morbiditas dan mortalitas yang signifikan, bersama dengan
manifestasi jantung, telah dicatat; namun, pada sebagian besar pasien NLE

2
dengan keterlibatan organ lain (misalnya kulit, hati, dan darah), tanda dan
gejala kadang-kadang hilang secara spontan dalam 4 sampai 6 bulan.
2. Lupus Eritematosus Diskoid
DLE dimanifestasikan sebagai jaringan parut kronis dan dermatosis
fotosensitif atrofi, yang dapat berkembang menjadi SLE atau dapat terjadi
pada pasien dengan SLE. Penyebabnya dianggap genetik, dengan prevalensi
tertinggi pada wanita, Afrika-Amerika, dan orang yang berusia antara 20 dan
40 tahun. Diagnosis sering ditegakkan dengan biopsi ruam pada kulit kepala,
wajah, leher, atau lengan. Tabir surya kimia dan fisik, kortikosteroid topikal,
atau agen antimalaria biasanya digunakan untuk mencegah flare penyakit dan
untuk mengelola manifestasi klinis yang terkait dengan DLE.
3. Lupus Diinduksi Oleh obat (DIL)
DIL terjadi setelah terpapar obat, menyebabkan respons imunitas. Berbagai
sistem organ mungkin terpengaruh, tetapi manifestasi klinis biasanya mereda
setelah penghentian agen yang bertanggung jawab. Setiap tahun, sekitar
15.000 hingga 30.000 kasus lupus disebabkan oleh produk farmasi. 3,65,66
Pengobatan tertentu, bila diberikan kepada pasien yang rentan, dapat memicu
atau memperburuk SLE atau dapat menyebabkan lupus yang diinduksi obat
(DIL). Procainamide (misalnya, Pronestyl, Bristol-Myers Squibb) dan
hydralazine (misalnya, Apresoline, Novartis), meskipun tidak sering
digunakan saat ini, telah sering dikaitkan dengan DIL. 67,68 Penicillamine
(misalnya, Cuprimine, Merck), minocycline (MinocinWyeth / Pfizer),
isoniazid (sebelumnyaNydrazid, tidak lagi tersedia di AS), methyldopa
(misalnya, Aldomet, Merck), dan faktor nekrosis antitumor (anti-TNF) agen
juga telah ditautkan keDIL. Berbeda dengan SLE idiopatik, kejadian DIL
serupa antara pria dan wanita; penyakit ini terutama menyerang pasien usia
lanjut Pasien dengan DIL biasanya datang dengan demam, kelelahan, mialgia,
artralgia, perikarditis, dan pleuritis. Diagnosis DIL dibuat jika pasien telah
mengonsumsi obat yang diduga menyebabkan DIL, tidak memiliki riwayat
SLE idiopatik sebelumnya, memiliki kombinasi gejala yang tercantum, dan
memiliki tes ANA positif Obat untuk DIL adalah menghentikan penggunaan

3
agen yang melanggar. Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) membantu
meredakan gejala muskuloskeletal. Antimalaria dan kortikosteroid dapat
diberikan jika gejala DIL dianggap sangat serius. Setelah penghentian obat
yang dicurigai, pasien akan mengalami perbaikan dalam beberapa hari sampai
beberapa minggu, meskipun beberapa kasus DIL mungkin membutuhkan
waktu satu tahun atau lebih untuk manifestasi penyakit sembuh sepenuhnya
4. Sistemic Lupus Eritematous
SLE adalah jenis lupus yang paling umum. SLE biasanya hanya disebut
sebagai "lupus", tetapi SLE dibedakan dari jenis lain berdasarkan efek sistem
multi-organnya. SLE didiagnosis pada sekitar 20 sampai 150 orang per
100.000 dan biasanya terlihat pada wanita usia subur; namun, hal itu dapat
mempengaruhi pasien pria atau wanita pada usia berapa pun. 4–6 SLE lebih
sering ditemukan pada orang Afrika-Amerika, Asia, Hispanik, dan Pribumi
Amerika
B. ETIOLOGI
Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas.Menurut anggapan sekarang
penyakit LESdapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel
T, atau pada interaksi antara kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan
aktivasi sel-sel B poliklonal, akibatnya terjadi pembentukan autoantibodi secara
berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi patologik yang terbentuk akibat sistem
imun tubuh tidak dapat membedakan antara “self” dan “nonself
”(Fajriansyah,2019). Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon
dianggap sebagai etiologi LES, yang mana keempat faktor ini saling terkait.
Faktor lingkungan dan hormon sangat berperan sebagai pencetus penyakit pada
individu peka genetik. Faktor lingkungan yang dianggap sebagau pencetus antara
lain yaitu infeksi, sinar ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stress mental maupun
fisik (Fajriansyah, 2019).

4
C. EPIDEMIOLOGI
Di AS,angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari populasi, namun
didapatkan angka yang berbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras, seperti
kaum kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan Hispanik, berisiko
lebihtinggi terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang lebih parah.
Prevalensi SLE di seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS; penyakit ini
kelihatannya lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan di antara
keturunan kulit hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada keturunan kulit
hitam di Afrika. SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun sering dimulai
pada usia dekade kedua hingga keempat; beberapa studi menunjukkan puncak
kedua kasus baru pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis kelamin cukup jelas;
SLE berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat daripada
pria dengan usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai empat kali
lebih sering daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria
adalah 8:1.
Di Indonesia berdasarkan 858 rumah sakit yang melaporkankan datanya tahun
2016 diketahui bahwa terdapat 2.166 pasien rawat inap yang didiagnosa penyakit
SLE, dengan 550 pasien diantaranya meninggal dunia. Tren penyakit lupus pada
pasien rawat inap rumah sakit meningkat sejak tahun 2014-2016. Jumlah kasus
lupus pada tahun 2016 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan pada tahun
2014.

Gambar 2.1 Diagram batang jumlah penderita SLE

5
D. FAKTOR RESIKO
a) Faktor Genetik
Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita
LES dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis tidak
terkena dapat menunjukkan adanya autoantibodi. Ikatan saudara kandung
memiliki risiko 30 kali lebih besar untuk menderita penyakit LES. Beberapa
pasien LES sekitar 6% mengalami defisiensi komponen komplemen yang
diturunkan. Kekurangan komplemen mengganggu pembersihan kompleks
imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi jaringan, yang menimbulkan
jejas jaringan
b) Faktor Lingkunan
Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat
memperburuk penyakit tersebut. Sinar ultraviolet dapat meningkatkan
apoptosis keratinosit, merusak DNA dan meningkatkan jejas jaringan yang
akan melepaskan pembentukan kompleks imun DNA / anti-DNA yang dapat
menstimulus respon autoimun pada LES.
c) Faktor Imunologis
Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T maupun sel B
pada pasien LES sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai
penyebab. Analisi molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda member
petunjuk bahwa antibodi tersebut tidak dihasilkan oleh susunan acak sel B
aktif poliklonal, tetapi lebih banyak berasal dari respon sel-B oligoklonal yang
lebih selektif terhadap antigennya sendiri. Sebagai contoh, antibodi anti-DNA
pathogen pada pasien LES adalah kationik, sedangkan antibodi yang
dihasilkan oleh sel B yang teraktivasi secara poliklonal adalah anionik dan
nonpatogen. Oleh sebab itu, tanggung jawab autoimunitas pada LES telah
beralih ke sel T helper CD4+.
d) Faktor Hormonal
Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini
disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis antibodi.

6
E. DIAGNOSA
a) Anamnesa
Dari anamnesa didapatkan keluhan gatal, nyeri dan panas yang
memberat apabila cuaca panas
Lupus eritematosus sistemik ditegakan biladijumpai 4 atau lebih dari
11 kriteria ACR,maka diagnosis LES memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Adapun yang termasuk dalam kriteria ACR tersebut
yaitu : ruam malar, ruam diskoid,fotosensitifitas, ulkus mulut, artritis,
serositis, gangguan renal, gangguan neurologi, gangguan hematologik,
gangguan imunologik, antibody antinuclear (ANA) positif (Fajriansyah,
2019).
b) Pemeriksaan Dermatologi
1) Eritema pada kedua pipi (butterfly rush), lengan, dada, punggung, yang
besarnya miliar sampai numular, berbatas tegas pada bagian tepi
hiperpigmentasi dan telangiektasi.
2) Skuama halus di daerah eritem.
3) Makulopapular dapat mengenai kepala menyebabkan alopesia yang
permanen.
4) Krusta yang menutupi lesi yang eritem disertai atrofi kulit.
5) Bula sering ditemukan apabila terkena paparan sinar matahari
6) Ulkus pada mukosa palatum dan faring yang asimtomatis.
7) Ptekie dan ekimosis dapat timbul pada lengan, dada dan badan.
c) Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan ANA
Peningkatan titers ANA sering terjadi pada anak-anak dengan lupus aktif.
Ini adalah alat penyaringan yang sangat baik, meskipun ANA dapat
ditemukan tanpa penyakit atau dapat dikaitkan dengan kondisi rematik
dan lainnya.2 Tingkat anti-DNA rantai ganda, yang lebih spesifik untuk
lupus, mencerminkan tingkat aktivitas penyakit.

7
2) Komplemen C3 dan C4
Tingkat serum dari total hemolitik komplemen (CH50), C3, dan C4 akan
menurun pada penyakit aktif dan memberikan ukuran kedua aktivitas
penyakit.

3) Darah Lengkap
Ditemukan adanya anemia, trombositopenia dan laju endap darah yang
meningkat
4) Pemeriksaan Histopatologi
d) Derajat Berat Ringannya LES

1) Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:

 Secara klinis tenang

 Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa

 Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,

gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.

Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.

2) Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang ditemukan:

 Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)


 Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
 Serositis mayor
3) Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
 Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,

miokarditis,tamponade jantung, hipertensi maligna.

 Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis,

emboli paru,infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.

 Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.

8
 Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.

 Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh

(blister)

 Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati

transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis,

sindroma demielinasi. mononeuritis, polineuritis, neuritis optik,

psikosis, sindroma demielinasi.

 Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),

trombositopenia < 20.000/mm3, purpura trombotik trombositopenia,

thrombosis vena atau arteri.

 Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,

gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.

Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit

9
F. PATOGENESIS
Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan toleransi-
diri. Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak
jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Antibodi
tersebut melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host yang tidak spesifik
terhadap organ. Proses ini diawali dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan,
dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia. Hal ini menimbulkan
abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu :

a) Sel T dan sel B menjadi autorektif


b) Pembentukan sitokin yang berlebihan
c) Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun8

Gambar 2.2 Model pathogenesis LE

10
Akibat proses tersebut, maka terbentuk
berbagai macam antibodi di dalam tubuh
yang disebut autoantibodi. Selanjutnya
antibodi tersebut akan membentuk
kompleks imun. Kompleks imun tersebut
akan terdeposisi pada jaringan atau organ
yang akhirnya

Karakteristik patogenesis dari LES yaitu


sistem imun yang menyerang nuklear
endogen yang dianggap sebagai auto
antigen. Autoantigen dikeluarkan oleh sel
yang mengalami apoptosis kemudian akan
dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel T.
Sel T mensekresikan sitokin yaitu
interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang
mengaktivasi sel B untuk memproduksi
antibodi. Nukleosome endogen dapat
berikatan dengan molekuler patogen
reseptor dan dapat menstimulus
pengeluaran interferon α (IFN α) sehingga
memicu terjadinya inflamasi. Selain itu
juga nucleosome dapat berikatan dengan
reseptor permukaan sel seperti BCR (B
cell antigen reseptor) dan TLR (Toll Like
Reseptor). Pada Pasien dengan SLE yang
aktif terdapat peningkatan ekspresi TLR9.

11
Pada LES sebagian besar autoantibodi yang dihasilkan akan langsung
menyerang kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosome,
nukleolar RNA, spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis, antigen tersebut
bermigrasi ke permukaan sel dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi
autoantibodi. Hiperreaktivitas dari sel T dan sel limfosit B pada LES ditandai
dengan meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan CD40L. Hasil akhir dari ini
yaitu produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun yang terdeposisi di
jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel yang diselubungi
Ig yang beredar di sirkulasi, (2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3) pengeluaran
kemotoksin, peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi jaringan.

Gambar 2.4 Patogenesis Pada LES


Sumber : George Bersitas, 2012

12
G. PATOFISIOLOGI

Gambar 2.5 Mekanisme sistemik pada LES


Sumber : Simanta Pathak, 2011
Abnormalitas imun pada LES terbagi menjadi 2 fase yaitu (a) meningkatnya
serum antinuklear dan autoantibodi anti-glomerular, (b) terbentuknya kompleks
imun pada organ target yang menyebabkan kerusakan organ. Defek mekanisme
regulasi imun seperti klirens apoptosis dan kompleks imun merupakan kontributor
pada LES. LES ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya
kompleks imun, dan aktivasi komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan
oleh interaksi antara gen dan faktor lingkungan sehingga menghasilkan respon
imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper
sehingga terjadi hiperaktivitas sel B. Terjadi gangguan mekanisme
downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal.

13
Gambar 2.6 Patofisiologi LES

Sumber : Harrison, 2011

Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat berupa gangguan
klirens kompleks imunt, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati dan
penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini
memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ
dan terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan
aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi
inflamasi. Reaksi inflamasi inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau
gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura,
kulit dan sebagainya.

14
H. DIAGNOSA BANDING
a) Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik sering terjadi bersama-sama dengan rosasea, tetapi
yang membedakannya yaitu pada dermatitis seboroik terdapat skuama
berminyak dan agak gatal dengan tempat predileksi retroaurikular, alis mata,
dan sulkus nasolabialis.
b) Acne Rosasea
Rosasea mengenai disentral wajah, yaitu: hidung, pipi, dagu, kening dan
alis. Kadang-kadang meluas ke leher, pergelangan tangan dan kaki. lesi
simetris. Gejala utama adalah eritema, papula, Pustula serta telangiektasis
(gejala khas rosasea) numular sampai plakat.

I. PENATALAKSANAAN
a) NON FARMAKOLOGI
1) Istirahat
2) Hindari paparan sinar matahari secara langsung
3) Hindari stres dan trauma fisik
4) Kompres dengan asam borat 3% jika kelainan kulit membasah
b) FARMAKOLOGI
1) Topikal
Kortikosteroid Topikal : Bethametason 0,05- 0,1 %

Fluosinolon 0,05%

Triamsinolon 0,1 %

2) Sistemik
 Kortikosteroid : prednison, metyl prednisolon, betametason dengan dosis
60-80 mg/hari (tappering off)
 Sitostatik : azatioprin dengan dosis 50-150 mg/hari dengan dosis
maksimal 200 mg/hari.

15
 Obat antimalaria
kloroquin 250mg tab No XIV
 Antihistamin : Cetirizine 10mg 1x1

J. EDUKASI DAN KOMUNIKASI


1) Memakai pakaian yang menutup ekstremitas
2) Istirahat
3) Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek daripada
stress oksidatif.
4) Perubahan gaya hidup untuk meningkatnya daya imun.
5) Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam
infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional.
Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat,
pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup.
6) Hindari Merokok

K. KOMPLIKASI
1) Gangguan kardiovaskular
2) Gangguan pertumbuhan
3) Gangguan paru-paru kronik
4) Kerusakan ginjal permanen
5) Gejala neuropsikiatri
6) Kerusakan musculoskeletal.

L. PROGNOSIS
Bervariasi tergantung berat atau tidaknya penyakit SLE pada awalnya
dipandang sebagai penyakit fatal seragam. Dengan kemajuan dalam diagnosis dan
perawatan, 5-yr survival rate lebih besar dari 90%. Penyebab utama kematian
pada pasien dengan lupus saat ini termasuk infeksi, nefritis, penyakit SSP,
perdarahan paru-paru, dan infark miokard; yang terakhir mungkin komplikasi

16
akibat administrasi kortikosteroid kronis dalam pengaturan kekebalan penyakit
kompleks.

M. PROFESIONALISME
Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan pemberian obat dan dosis
yang tepat dan bila tidak membaik selama perawatan dimungkinkan untuk rujuk.

17
BAB III
KESIMPULAN

Lupus Eritematosus Sistemik didefinisikan sebagai penyakit inflamasi


autoimun sistemik, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi
penyakit LES merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor imunologis, faktor
lingkungan, dan faktor hormonal. Pada LES interaksi antar keempat faktor
tersebut merespon tubuh untuk membentuk autoantibodi, selanjutnya membentuk
kompleks imun yang terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.

Gejala klinis dan perjalanan penyakit LES sangat bervariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.
Diagnosis LES menurut American College of Rheumatology (ACR) ditegakkan
bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut, meliputi : butterfly
rash, bercak diskoid, fotosensitf, ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal,
gangguan saraf, gangguan darah, gangguan imunologi dan gangguan antinuklear.

Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif meliputi non medika


mentosa dan medika mentosa. Tujuan dari terapi LES yaitu untuk meningkatkan
kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan dini dan pengobatan
yang paripurna
DAFTAR PUSTAKA

1. Fajriansyah, Najirman. (2019). Lupus Eritematosus Pada Pria. Padang :


Universitas Andalas.
2. Infodatin. (2017). Situasi Lupus di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
3. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011.
4. Dorland WAN (2012). Kamus saku kedokteran dorland. 28th ed. Hartanto
YB, editor. Jakarta: EGC.
5. Rosani S.(2014). Lupus eritematosus sistemik dalam kapita selekta
kedokteran ed IV. Jakarta : Media Aesculapius.
6. Bertsias G, et al. (2014). Systemic lupus erythematosus : pathogenesis
and clinical features. Eular textbook of rheumatic disease.
7. Tjokoprawiro A. (2007). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya :
Universitas Airlangga; 2007.
8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL.(2009). Buku ajar patologi robbins. 7th ed.
Jakarta: EGC;.

Anda mungkin juga menyukai