Anda di halaman 1dari 16

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2017


UNIVERSITAS PATTIMURA

SINDROM MATA KERING

Fauzi Mahmud
2016-84-060

Pembimbing:
dr.Carmila Tamtelahitu, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA RSUD Dr. M. HAULUSSY
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Mata kering atau yang disebut dengan dry eye syndrome merupakan kondisi ketika
permukaan kornea dan konjungtiva mengalami kekeringan. Kondisi ini ditandai dengan
ketidakstabilan produksi dari lapisan air mata. Pengidap mata kering umumnya sering
merasakan keluhan berupa sensasi gatal, atau mata terasa seperti berpasir. Terdapat beberapa
faktor yang bisa meningkatkan risiko terjadinya mata kering. Contohnya: Pola makan yang
keliru sehingga tubuh kekurangan vitamin A, Memakai lensa kontak, Berusia di atas 50
tahun, produksi air mata akan semakin berkurang seiring bertambahnya usia., Perubahan pada
hormonan, umumnya terjadi pada wanita karena pengunaan pil KB, hamil, atau
menopause,Penyakit sistemik, Konsumsi obat-obatan tertentu., Efek samping operasi refraktif
mata,Kondisi lingkungan (AC, polusi, atau udara panas)
Mata kering bisa disebabkan oleh beberapa penyebab. Contohnya penyakit yang
mengganggu komponen lemak air mata seperti blefaritis menahun, distikiasis. Kemudian
gangguan kelenjar air mata, seperti sindrom Sjogren, alacrimia kongenital, obat-obat diuretik,
atropin, dan faktor usia yang tua juga bisa menyebabkan sindrom mata kering. Pengidap mata
kering umumnya mengeluhkan mata gatal, berpasir, nyeri, silau, dengan atau tanpa
penglihatan yang kabur.  Di samping itu, mata umumnya mudah merah dan sering
mengeluarkan kotoran. Gejala lainnya pada mata juga didapatkan sekresi mukus yang
berlebihan, kesulitan menggerakkan kelopak mata, dan adanya erosi kornea. Mata kering juga
bisa menimbulkan gejala lain. Misalnya mata merah dan terasa panas, mata terasa cepat lelah,
adanya lendir di dalam atau sekitar mata, hingga memburamnya penglihatan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sindrom Mata Kering


2.1.1. Definisi Sindrom Mata Kering
Sindrom mata kering merupakan penyakit multifaktorial air mata dan permukaan
okular yang ditandai dengan penglihatan tidak nyaman, penglihatan kabur dan instabilitas
lapisan air mata yang berotensi menimbulkan kerusakan permukaan okular (American
Academy of Opthalmology, Ocular Surface, 2014- 2015a). Menurut The definition and
classification of dry eye disease: report of the definition and Clasification subcommittrr of the
international dry eye workshop (DEWS) 2007, SMK dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu
aqueous deficient dan evaporative dry eye. SMK tipe aqueous tear deficient adalah kelompok
mata kering yang disebabkan oleh karena kurangnya produksi air mata walaupun proses
evaporasi tetap berjalan normal, sedangkan tipe evaporatif adalah kelompok mata kering
yang disebabkan karena penguapan berlebihan air mata walaupun tidak terjadi gangguan
pada proses produksinya. Sindrom mata kering diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya
penyakit menjadi derajat 0,1,2,3, dan 4. Hal-hal yang dinilai antara lain tingkat kenyamanan,
berat dan frekuensi, gejala yang mempengaruhi penglihatan, injeksi konjungtiva, pewarnaan
pada konjungtiva dan kornea, tanda pada kornea, kondisi kelenjar meibom, TBUT, dan nilai
tes Schirmer (DEWS., 2007).
Tabel 2.1 Skema derajat beratnya Mata Kering (MK)
Derajat Kriteria 1 2 3 4 Ketidaknyamanan, berat, dan frekuensi Ringan dan/atau episodik;
terjadi dalam stress lingkungan Episodik sedang atau kronis, stress atau tanpa stress
Frekuensi berat atau tetap tanpa stress berat dan/atau tidak aktif dan tetap Gejala penglihatan
tidak ada atau episodik ringan episodik mengganggu dan/atau membatasi aktifitas
Mengganggu, kronik dan/atau konstan, membatasi aktifitas Konstan dan/atau tidak aktif
Injeksi konjungtiva tidak ada atau ringan tidak ada atau ringan +/- +/++ pewarnaan
konjungtiva tidak ada atau ringan Bervariasi sedang hingga jelas Jelas Pewarnaan kornea
tidak ada atau ringan Bervariasi jelas di sentral erosi pungtata berat Tanda pada kornea/ air
mata tidak ada atau ringan debris ringan, meniscus menurun Keratitis filamentosa,
penggumpalan mucus, peningkatan debris air mata Keratitis filamentosa, penggumpalan
mucus, peningkatan debris air mata, ulkus Kelenjar meibom MGD bervariasi MGD

3
bervariasi Sering Trikiasis, keratinisasi, simblefaron TBUT (detik) Bervariasi ≤ 10 ≤ 5 Segera
Nilai tes schirmer (mm/5 menit) Bervariasi ≤ 10 ≤ 5 ≤ 2 (American Academy of
Ophthalmology, 2014-2015b)
2.1.2. Epidemiologi Sindrom Mata Kering
Epidemiologi SMK meningkat dari tahun ke tahun. SMK merupakan masalah hampir
35% dari populasi dan dua pertiga penderita adalah wanita dengan risiko tertinggi pada
wanita pasca menopause (Stapleton et al., 2015). Women’s Health Study dan Physician
Health Study memperkirakan sebesar 3,23 juta wanita dan 1,68 juta pria dari total 4.91 juta
masyarakat Amerika berusia 50 tahun ke atas mengeluh SMK (DEWS, 2007). Penelitian di
Iran pada tahun 2014 melaporkan prevalensi SMK sebesar 8.7% dan prevalensi perempuan
mengalami SMK ditemukan lebih tinggi dibandingkan kejadian SMK pada pria (Hashemi et
al., 2014). The Beaver Dam population based study menemukan prevalensi SMK sebesar
14.4% pada populasi berusia di atas 65 tahun (Moss et al., 2004). Insiden SMK pada pekerja
kantor di Jepang mencapai 10.1-21.5%. Suatu studi yang dilakukan pada 112 pengguna
komputer mendapatkan hasil kejadian SMK sebesar 68% pada pria dan 73% pada wanita
(Bali et al., 2014).
2.1.3. Faktor risiko Sindrom Mata Kering
Berbagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya SMK telah teridentifikasi dari
berbagai studi, diantaranya usia, jenis kelamin wanita, penggunaan antihistamin sistemik,
pembedahan refraktif, radioterapi, defisiensi vitamin A, infeksi hepatitis C dan trasplantasi
stem cell (Stapleton et al., 2015). Secara umum terdapat dua penyebab SMK yaitu penurunan
cairan aqueous dan peningkatan evaporasi air mata (American Academy of Ophthalmology,
2014 2015b; Gayton, 2009). Penurunan produksi cairan aqueous dapat disebabkan oleh
Sindroma Sjogren dan bukan Sindroma Sjogren. Pada penyebab bukan Sindroma Sjogren,
terjadinya penurunan cairan aqueous disebabkan oleh karena gangguan produksi lakrimalis,
obstruksi saluran lakrimalis, hambatan reflek kelenjar, dan penggunaan obat-obatan sistemik.
Peningkatan evaporasi disebabkan oleh dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor
intrinsik meliputi penurunan produksi kelenjar minyak meibom, kelainan bentuk kelopak
mata, penurunan reflek berkedip, dan obat-obatan. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi
penurunan vitamin A, pemakaian lensak kontak, penyakit permukaan mata .
2.2. Lapisan Air Mata
Permukaan bola mata dilindungi oleh lapisan air mata yang berfungsi
mempertahankan kelembaban permukaan mata, sebagai media pembersih dari debris,
melindungi permukaan mata, dan menyediakan oksigen dan nutrisi kepada epitel kornea.

4
Lapisan air mata mengangkut zat-zat dan debris kemudian dikeluarkan melalui pungtum
lakrimal, selain itu lapisan air mata juga mengandung bahan-bahan antimikroba, sebagai
lubrikasi antara kornea dan kelopak mata serta mencegah pengeringan permukaan mata
(American Academy of Ophthalmology Staff, Tear Film, 2014-2015b) Air mata terdiri dari
98.2% air dan 1.8% zat lainya, dimana dalam keadaan normal cairan air mata bersifat
isotonik dengan osmolalitas 302 mOsm/L (Stahl U et al., 2012). Air mata terdiri dari tiga
lapisan, yaitu lipid, aqueous, dan musin. Lapisan air mata memiliki ketebalan sekitar 4-8 µm
dan lapisan aqueous merupakan lapisan paling tebal. Lapisan lipid memiliki ketebalan 0,1-0,2
µm dan merupakan lapisan yang terletak paling luar yang berfungsi mencegah penguapan air
mata dan mempertahankan stabilitas air mata. Lapisan aqueous di bagian tengah memiliki
ketebalan 7-8 µm merupakan komponen utama lapisan air mata (Holly & Lemp, 1977).
Lapisan aqueous mengandung elektrolit, air, dan protein yang dihasilkan oleh kelenjar
lakrimal utama yang terletak dalam orbita maupun oleh kelenjar lakrimal tambahan seperti
kelenjar Krause dan Wolfring pada konjungtiva. Protein pada lapisan aqueous meliputi
immunoglobulin A (IgA), IgG, IgD dan IgE yang berperan sebagai mekanisme pertahanan
lokal di bagian permukaan mata. Lapisan aqueous juga berfungsi sebagai pelarut nutrisi,
penyedia oksigen, dan menjaga regularitas kornea. Bagian posterior lapisan air mata adalah
lapisan musin dengan ketebalan 1µm mengandung glikoprotein. Lapisan musin berperan
sebagai barrier dari perlengketan maupun penetrasi partikel asing atau bakteri ke permukaan
bola mata. Lapisan musin ini diproduksi oleh kelenjar goblet konjungtiva (American
Academy of Ophthalmology Staff, Tear Film, 2014-2015a; American Academy of
Ophthalmology Staff, Ocular Surface Disease : Diagnostic Approach, 2014-2015a). Lapisan
air mata berhubungan langsung dengan lingkungan luar yang dapat menyebabkan penguapan.
Tingkat kelembaban, temperatur dan pergerakan angin mempengaruhi tingkat penguapan
(Borchman et al., 2009; McCulley, 2006). Penguapan lapisan air mata secara signifikan
diperlambat oleh lapisan lipid. Proses penguapan akan meningkat hingga empat kali jika
terdapat gangguan pada lapisan lipid (Craig & Tomlinson, 1997).
2.3. Anatomi dan Fisiologi Epitel Kornea
Diameter horizontal kornea pada dewasa rata-rata 11.5-12.0 mm (DelMonte et al.,
2011). Bentuk dan kurvatura kornea dipertahankan oleh struktur biomekanik intrinsik dan
lingkungan ekstrinsik. Rigiditas stroma kornea dibagian anterior mempertahankan bentuk
kornea. Kornea manusia terdiri dari 5 lapisan yaitu 3 lapisan selular (epitelium, stroma dan
endotelium) dan 2 lapisan antara (lapisan Bowman dan membran Descemet). Gambar 2.3
Potongan melintang lapisan sel epitel kornea (DelMonte et al., 2011) Permukaan epitel

5
kornea merupakan barrier pertama terhadap paparan lingkungan luar. Lapisan ini tersusun
atas 4-6 lapis sel epitel skuamosa non keratinisasi (40 µm sampai 50 µm) (Farjo et al., 2008).
Epitel kornea dan lapisan air mata diatasnya memiliki hubungan simbiosis baik secara
anatomi dan fisiologi. Lapisan musin yang berhubungan langsung dengan epitel kornea
diproduksi oleh sel goblet konjungtiva dan berinteraksi dengan glikokaliks sel epitel kornea
untuk menciptakan daerah hidrofilik sehingga air mata dapat tersebar secara merata. Lapisan
air mata merupakan pelindung utama kornea dari invasi mikroba dan mensuplai faktor-faktor
imunologi dan pertumbuhan yang penting dalam kesehatan epitel, proliferasi epitel dan
perbaikan epitel (Cameron, 2005). Sel epitel kornea memiliki masa hidup rata-rata 7-10 hari
dan rutin mengalami involusi, apoptosis dan deskuamasi. Turnover lapisan epitel kornea
lengkap terjadi hampir setiap minggu (Farjo et al., 2008).
2.4. Hubungan Pemakaian Komputer dengan Sindrom Mata Kering
Banyak penelitian yang menunjukkan adanya hubungan erat antara lama pemakaian
komputer terhadap perburukan gejala mata kering. Penelitian University of South Carolina
mengelompokkan penggunaan komputer menjadi ringan ( 4 jam per hari). Penelitian Hoesin
pada tahun 2007 menunjukkan rata-rata pemakaian komputer di Indonesia kurang dari 5 jam
per hari pada 16 kota di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Dewi (2009) di Palembang
menunjukan 75% pekerja memakai komputer lebih dari 4 jam. Penelitian Nakazawa (2002)
dan Honda (2007) menunjukkan peningkatan bermakna keluhan mata kering pada pemakai
komputer lebih dari 5 jam per hari. Penelitian Sen (2007) menunjukkan gejala mata kering
biasanya dikeluhkan pemakai komputer setelah pemakain komputer 3 jam terus menerus atau
setelah 6 jam pemakaian komputer secara tidak terus menerus (Zubaidah., 2012). Penelitian
oleh Kanitkar (2005) dan Amalia (2010) melaporkan bahwa SMK dialami oleh pemakai
komputer lebih dari 3 jam per hari, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Fenga (2008)
mayoritas SMK dialami oleh pemakai komputer yang bekerja lebih dari 4 jam per hari.
Review oleh Blehm (2005) mengemukakan bahwa SMK selama pemakaian komputer
disebabkan oleh karena penurunan blink rate atau luasnya paparan kornea akibat dari posisi
mata ke monitor. Proses mengedip merupakan hal yang penting dalam mempertahankan
kondisi fisiologis air mata. Gambar 2.4 Patofisiologi Sindroma Mata Kering pada Pengguna
Komputer (Zubaidah, 2012) Frekuensi berkedip normal adalah 16-20 kali per menit. Suatu
studi menunjukkan frekuensi berkedip menurun hingga 6-8 kali per menit pada pemakai
komputer. Studi lainnya melaporkan refleks mengedip saat bekerja di depan komputer
menurun sebesar 66% dibandingkan saat tidak memakai komputer (Talwar, 2009). Penelitian
Tsubota et al. (1993) melaporkan adanya penurunan refleks mengedip menjadi 7+7 kali per

6
menit. Schlote et al.(2004) juga melaporkan terjadinya penurunan refleks mengedip yang
signifikan pada pemakai komputer setelah 30 menit berada di depan komputer menjadi 5.9
kali per menit. Faktor pada komputer seperti pemakaian ukuran huruf yang lebih kecil dan
tingkat kontras yang lebih rendah ternyata juga berpengaruh terhadap penurunan frekuensi
berkedip. Penurunan blink rate ini menyebabkan kualitas dan stabilitas dari lapisan air mata
menjadi kurang baik. Secara kuantitatif, frekuensi berkedip, interval antara dua kedipan, luas
permukaan okular terpapar dan lebar palpebra terpapar sesuai kegiatan akan disajikan sebagai
berikut: Tabel 2.2 Frekuensi Berkedip, Interval Antara Dua Kedipan, Luas Permukaan Okular
dan Lebar Palpebra pada Saat Istirahat, Berbicara, Membaca, dan Menggunakan Komputer
(Zubaidah, 2012) Kegiatan Frekuensi berkedip (kali/menit) Interval antara 2 kedipan (detik)
Luas permukaan okular (cm2) Lebar palpebral (mm) Istirahat 22 ± 9 (Tsubota et al., 1993) 16
± 4 (AOA, 2007) 2,2 ± 0,4 (Tsubota et al., 1993) Berbicara 16,8 (Schlote et al., 2004) 21,5 ±
10 (Doughty, 2001) 11,62 (Schaefer et al., 2009) 4,9 ± 1.49 (Schaefer et al., 2009) Membaca
10 ± 6 (Tsubota et al., 1993) 1.2±0.4 (Tsubota et al., 1993) Menggunakan komputer Posisi
layar a. Bawah b. Sejajar c. Atas 7 ± 7 (Tsubota et al., 1993) 6,6 ± 4,8 (Schlote et al., 2004)
5,75 (Schaefer et al., 2009) 10.42 ± 7,78 (Schaefer et al., 2009) 2,3±0,5 (Tsubota et al., 1993)
1,2±0,27 (Tsubota et al., 1995) 2,2 ± 0,39 (Tsubota et al., 1995 3,0 ± 0,33 (Tsubota et al.,
1995) 5,7 ± 0,98 (Tsubota et al., 1995) 9,4 ± 0,14 (Tsubota et al., 1995) 12,1 ± 1,2 (Tsubota
et al., 1995) Faktor lainnya yang berkontribusi terhadap gejala mata kering pada pemakai
komputer adalah kondisi lingkungan yang buruk seperti panas berlebihan atau pemakaian air
conditioning dan kontaminasi oleh zat kimia ataupun biologis (Portello et al., 2013).
2.5. Diagnosis Sindrom Mata Kering
Nichols (2004) dan DEWS (2007) menyebutkan bahwa SMK dapat didiagnosis
berdasarkan kumpulan gejala yang biasanya dilakukan dengan menggunakan instrument
kuesioner. Tidak ada kesepakatan mengenai gold standard dan cut-off value tiap-tiap
pemeriksaan SMK (Foulks et al., 2003). SMK yang ringan tidak akan memberikan hasil yang
patologis pada tes Schirmer, tes BUT, mapun tes objektif lain sebab pasien masih dapat
mengompensasi dengan refleks berair sehingga SMK bersifat hilang timbul.
Pengelompokkan derajat keparahan SMK secara umum menurut DEWS (2007) harus
memenuhi kriteria tes subjektif dan tes objektif. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosa sindrom mata kering antara lain pemeriksaan schirmer, TBUT, rose
bengal staining, fluorescein staining (Lee et al., 2002). Fluorescein staining digunakan untuk
melihat kerusakan epitel kornea dimana fluorescein melekat jika terdapat kerusakan cell to
cell junction, namun erosi kornea juga dapat terjadi karena penggunaan lensa kontak, paparan

7
akibat tiroid orbitopathy, infeksi. Pemeriksaan ini tidak secara langsung menunjukkan adanya
sindrom mata kering sehingga bukan merupakan pemeriksaan yang sensitif dan spesifik
untuk sindrom mata kering (Zeev et al., 2014). Rose bengal staining dapat terlihat pada
kornea ataupun konjungtiva yang mengalami kekurangan musin namun pemeriksaan ini
memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Rose bengal bersifat toksik pada epitel
kornea dan menyebabkan rasa tidak nyaman saat diteteskan (Zeev et al., 2014). Pemeriksaan
tear break-up time (TBUT) dapat digunakan untuk melihat stabilitas air mata. TBUT
merupakan interval waktu yang diperlukan setelah mata berkedip untuk terlihatnya
kekeringan mata (black spot) yang pertama pada mata yang telah diteteskan fluorescein.
Pemeriksaan ini murah dan mudah dikerjakan namun memerlukan sinar cobalt blue
(Tomlinson et al., 2011; Zeev et al., 2014). Gejala sindrom mata kering dapat diketahui
melalui wawancara dengan pedoman kuisioner sindrom mata kering. Salah satu kuisioner
yang sering digunakan adalah kuisioner dengan enam pertanyaan yang berhubungan dengan
gejala sindrom mata kering. Kuisioner ini dibuat dan divalidasi pada penelitian berbasis
populasi di Salisbury, Maryland, Amerika Serikat. Pertanyaan dalam kuisioner ini mudah
dimengerti, mudah dikerjakan dan secara sosiokultural dapat diterima. Kuisioner ini pernah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan digunakan pada penelitian berbasis populasi di
Provinsi Riau pada tahun 2002 (Lee et al., 2002). Penderita dikatakan menderita gejala
sindrom mata kering jika terdapat > 1 gejala dengan jawaban sering atau selalu. Adanya
gejala mata kering berdasar kuisioner tersebut dijabarkan dalam 4 kelompok yaitu jarang
(setidaknya 1x dalam 3-4 bulan), kadang (setidaknya 1x dalam 2-4 minggu), sering
(setidaknya 1x dalam 1 minggu) dan selalu (Lee et al., 2002). Tabel 2.3. Contoh Kuesioner
Sindrom Mata Kering (Lee et al., 2000) 1. Do your eyes ever feel dry? 2. Do you ever feel a
gritty or sandy sensation in your eye? 3. Do your eyes have a burning sensation? 4. Are your
eyes ever red? 5. Do you notice much crusting onyour lashes? 6. Do your eyes ever get stuck
shut in the mornig Possible answer to the question were ‘none’, ‘rarely or sometimes’, and
‘often or all the time. Subjectively dry eye define as having one or more symptom ‘often or
all time’. Penelitian membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara gejala dan tanda
klinis sindrom mata kering sehingga beberapa penelitian sebelumnya menggunakan kuisioner
saja untuk menegakkan diagnosa sindrom mata kering. Metode subyektif untuk mendiagnosa
sindrom mata kering juga memiliki nilai klinis karena gejala sindrom mata kering secara
langsung mempengaruhi kualitas hidup seseorang (Um et al., 2014).
2.6. Central Corneal Thickness (CCT)

8
Central Corneal Thickness (CCT) merupakan parameter yang esensial dalam
pengukuran tekanan intraokular pada pasien glaukoma serta pasien yang akan menjalani
pembedahan refraktif (Valdez et al., 2016). Rata-rata ketebalan kornea bagian sentral yang
normal berkisar 540 µm. Bagian paling tipis di kornea terletak 1.5 mm temporal dari bagian
tengah dan menebal di bagian parasentral dan perifer. The Ocular Hypertension Treatment
Study (OHTS) melaporkan bahwa rerata ketebalan kornea sentral sebesar 573 ± 39 µm
(Brandt et al., 2001). Penelitian meta analisis dari 300 artikel oleh Doughty dan Zaman
melaporkan nilai rerata CCT mata normal adalah 534 µm (Doughty et al., 2000). Ketebalan
kornea sentral dipengaruhi oleh banyak hal. Penelitian oleh Garcia (2016) melaporkan rerata
CCT pada umur < 20 tahun berkisar 558.82 µm, diantara umur 20 tahun dan 40 tahun
berkisar 545.84 µm dan diatas 40 tahun berkisar 536.93 µm. Penelitian sebelumnya
meunjukkan bahwa nilai CCT menurun sejalan dengan peningkatan umur (Alsbirk, 1978;
Foster et al., 1998). OHTS mendapatkan hasil bahwa umur dan nilai CCT memiliki nilai
korelasi negatif yang signifikan dan penipisan yang terjadi adalah sebesar 6,3 µm per dekade
(Brandt et al., 2001). Penelitian oleh Foster juga mendapatkan nilai yang sama yaitu terjadi
penipisan sebesar 10 µm per dekade (Foster et al., 1998). OHTS mendapatkan nilai CCT
pada wanita lebih tebal sekitar 5 µm daripada CCT pria (Brandt et al., 2001). Penelitian
Leksul et al mendapatkan hasil terdapat korelasi yang signifikan antara nilai CCT dengan
jenis kelamin, sedangkan penelitian Mohamed menemukan sebaliknya yaitu tidak adanya
korelasi yang signifikan antara nilai CCT dengan jenis kelamin (Mohamed et al., 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Mohamed melaporkan nilai rerata CCT pada mata miopia
adalah 449 µm ± 39.26, emmetropia 542 µm ±46.35 dan pada hipermetropia 557 µm ± 41,83
(Mohamed et al., 2009). Hasil tersebut konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh
Nemesure et al yang menyimpulkan bahwa nilai CCT memiliki hubungan dengan kelainan
refraksi (Nemesure et al., 2003). Penelitian Price et al menemukan hal berbeda yaitu nilai
CCT tidak berkorelasi dengan kelainan refraksi (Price et al., 1999). Penyakit sistemik seperti
hiperglikemia maupun diabetes juga mempengaruhi nilai CCT. Penelitian Daniel yang
dilakukan untuk mengetahui hubungan antara diabetes dan hiperglikemia dengan CCT pada
penduduk Melayu di Singapura setelah melakukan kontrol terhadap umur dan jenis kelamin
mendapatkan nilai CCT pada penderita diabetes secara signifikan lebih tebal dibandingkan
yang tidak mengalami diabetes (Su et al., 2008). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil
OHTS yang mendapatkan perbedaan ketebalan kornea ±10 µm lebih tebal pada penderita
diabetes (Brandt et al., 2001)
2.7. Penurunan Frekuensi Berkedip

9
Pada Sindrom Mata Kering Penurunan frekuensi berkedip dan memanjangnya interval
antara dua kedipan saat menggunakan komputer menyebabkan luasnya permukaan okular
yang terpapar sehingga memperpanjang waktu paparan permukaan okular terhadap evaporasi
(Doughty, 2001; Schaefer et al., 2009). Peningkatan evaporasi dan waktu pembentukan tear
film (TF) yang tidak dapat mengimbangi cepatnya ruptur TF menyebabkan munculnya gejala
SMK (Wolkoff et al., 2005). Evaporasi yang berlebihan dapat berkontribusi terhadap
peningkatan osmolaritas mata kering (Craig et al., 2000). Peningkatan osmoralitas air mata
menyebabkan aktivasi jalur inflamasi MAP kinase dan NFkB (Li et al., 2004) dan
dilepaskannya sitokin inflamasi (IL-1α;IL-1ß) dan MMP-9 (De Paiva et al., 2006). Pelepasan
dari sitokin tersebut menstimulasi sel inflamatori pada permukaan okular (Baudouin, 2007).
Rangkaian pelepasan sitokin inflamasi ini menyebabkan kematian dari sel epitel pada
permukaan okular, termasuk sel goblet (Yeh et al., 2003). Penurunan jumlah sel goblet
menyebabkan berkurangnya produksi musin (Argueso et al., 2002). Kondisi ini menyebabkan
penurunan stabilitas dari air mata. (DEWS, 2007). Mediator inflamatori seperti tumor
necrosis factor A dan interleukin-1 akibat dari kondisi hiperosmolar menyebabkan gangguan
pada suplai saraf kornea (Acosta et al., 2007) sehingga terjadi penurunan aliran air mata.
Etiologi dari berkurangnya ketebalan kornea pada SMK masih belum sepenuhnya dimengerti.
Faktor yang terlibat dalam penipisan ketebalan kornea meliputi peningkatan evaporasi dari
lapisan air mata yang menyebabkan peningkatan osmolaritas dari air mata sehingga terjadi
penurunan ketebalan lapisan air mata. Proses apoptosis juga masih menjadi hipotesis yang
dapat mengakibatkan penurunan ketebalan kornea pada SMK. Suatu penelitian dengan
menggunakan tikus sebagai subyek percobaan menunjukkan bahwa suatu kondisi kering
menstimulasi sel untuk berproliferasi akibat kerusakan dari epitelium (Fabiani et al., 2009).
Penelitian Yeh et al menemukan proses apoptosis berperan dalam patogenesis epiteliopati
akibat SMK. Apoptosis yang berlebihan atau lepasnya jaringan epitel yang tidak dapat
dikompensasi dapat menyebabkan penipisan epitel pada SMK berat. Penurunan ketebalan
stroma kornea pada pasien SMK dengan Sjogren syndrome melalui pemeriksaan confocal
microscopy menyimpulkan bahwa aktivitas proteolitik juga berperan dalam penurunan
tersebut (Villani et al., 2007). Penurunan ketebalan kornea sentral juga dilaporkan pada
pasien SMK tipe aqueous tear deficiency yang diperiksa dengan menggunakan alat dengan
orbscan pachymetry (Liu et al., 1999). Ketebalan kornea pada penelitian terhadap wanita
postmenopause dengan SMK ditemukan lebih tipis dibandingkan wanita postmenopause
tanpa SMK (Sanchis et al., 2005). Penelitian lainnya menemukan bahwa hasil pemeriksaan
ketebalan kornea dengan menggunakan ultrasonic pachymetry didapatkan tidak berbeda

10
antara pasien dengan Disfungsi Kelenjar Meibom (DKM) dibandingkan dengan subjek sehat
(Salman et al., 2011). Dayanir (2004) melaporkan adanya penurunan ketebalan kornea yang
signifikan jika kornea mengalami kekeringan selama 1 menit. 2.8. Air Mata Buatan Tetes air
mata buatan (artificial tears) masih menjadi lini pertama dalam terapi pasien dengan SMK.
Tetes mata ini biasanya terbuat dari cairan yang bersifat hipotonik atau isotonik yang
mengandung elektrolit, surfaktan dan agen viskositas. Tetes mata ini idealnya tanpa
mengandung pengawet dan terdapat potassium, bikarbonat dan elektrolit lainnya yang dapat
meningkatkan waktu retensi. Kandungannya seharusnya memiliki pH yang netral atau sedikit
basa. Osmolaritas tetes air mata buatan sebaiknya berkisar 181 to 354 mOsm/L sehingga
integritas kornea dan conjunctival epithelial cell-to-cell junction terjaga (DEWS, 2007).
Polyvinylpyrolidone (PVP) memiliki sifat pelarut, dapat membentuk suatu film dan
mempertebal sehingga dapat meningkatkan ketersediaan bioavailabilitas pada permukaan
okular (Folttmann et al., 2008). PVP memiliki molekul bipolar dengan polaritas yang tinggi
sehingga dapat berikatan dengan lapisan musin melalui ikatan hidrogen atau elektrostatis
(Saraswati et al., 2013). Sifat bipolar dan polaritas yang tinggi juga memungkinkan PVP
berikatan dengan air. Ikatannya pada lapisan musin pada satu sisi dan ikatannya dengan air di
sisi lain dapat menjaga stabilitas dari lapisan air mata (Haaf et al., 1985). 2.9. Asam Lemak
Omega 3 Omega-3 dan omega-6 merupakan lemak esensial yang diperlukan pada proses
pertumbuhan dan perkembangan. Asam lemak omega-3 terdiri atas 2 subkelas pada dalam
diet manusia yang bersumber dari tumbuhan dan makanan laut. Subkelas pertama yang lebih
dahulu diketahui terdiri dari 1 asam lemak omega-3 yaitu αlinolenic acid (ALA) dan subkelas
kedua terdiri dari 3 asam lemak omega-3 yaitu eicosapentaenoic acid (EPA),
docosapentaenoic acid (DPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) (Macsai, 2008; Harris &
Jacobson, 2009). Omega-3 dan omega-6 bersaing untuk enzim yang sama untuk akhirnya
akan dikonversi menjadi prostaglandin anti inflamasi (PGE3) dan leukotrin inflamasi rendah
pada omega-3 dan omega-6 dikonversi mejadi prostaglandin pro inflamasi (PGE2) dan
leukotrin dengan inflamasi lebih banyak. Calder (2003) mendemontrasikan bahwa produksi
berlebihan dari PGE2 dan produksi yang rendah dari PGE1 dan PGE3 yang bersifat anti
infalmasi terjadi pada perbandingan omega-6 dan omega-3 yang tinggi (Macsai, 2008;
Calder, 2003). Omega-3 memodulasi metabolisme prostaglandin melalui sintesis PGE3
sebagai inhibitor kompetitif pada jalur asam arakidonat. Pada fase awal terjadinya inflamasi,
sejumlah besar interleukin dan mediator lipid dilepaskan. Eikosanoid proinflamasi dari
metabolism arakhidonat dilepaskan dari membran fosfolipid di tempat inflamasi diaktifkan.
Eicosapentaenoic acid berkompetisi dengan asam arachidonat untuk sintesis prostaglansin

11
dan leukotriene antiinflamasi oleh EPA dan proinflamasi oleh asam arakidonat pada tingkat
siklooksigenasi dan lipooksigenasi (Macsai, 2008). Peningkatan jumlah EPA dan DHA
sistemik menyebabkan: (1). penurunan produksi prostaglandin E2, (2). penurunan
thromboxane A2, platelet aggregator dan vasokonstriktor poten, (3). penurunan pembentukan
leukotriene B4, pemicu inflamasi, kemotaksis leukosit dan aderen, (4). Peningkatan
thromboxane A3, platelet aggregator dan vasokontriktor lemah, (5) peningkatan prostasiklin
PGI3, inhibitor agregasi platelet (6). Peningkatan leukotriene B5, pemicu inflamasi dan agen
kemotaksis yang lemah (Macsai, 2008). Gambar 2.5 Jalur metabolik omega-3 dan omega-6
(Macsai, 2008) Efek samping yang bisa terjadi bila mengkonsumsi omega-3 adalah alergi
terhadap omega-3, rasa tidak nyaman seperti mual, peningkatan terjadinya perdarahan dan
peningkatan risiko kanker prostat pada laki-laki. Perdarahan terjadi karena omega-3
menghambat fungsi platelet melalui mekanisme kompetisi dengan asam arachidonat yang
berperan pada pembentukan eikosanoid pada siklooksigenase (Harris & Jacobson, 2009).
Pasien yang mendapat dosis omega-3 dengan rentang 2-5 gram per hari tidak ditemukan
bukti adanya peningkatan tendensi terjadinya perdarahan (Macsai, 2008). Hubungan antara
konsumsi omega-3 dengan kejadian kanker prostat masih menjadi kontroversi. Peningkatan
risiko terjadinya kanker prostat diketahui berdasarkan peningkatan kadar serum prostat
spesifik antigen (PSA) pada subyek yang mendapatkan suplemen omega-3 (Brouwer et al.,
2013). Kadar PSA pada pasien yang mengkonsusi omega-3 didapatkan sebesar 0,52 ng/mL
dibandingkan dengan placebo sebesar 0,42 ng/mL namun secara statistik tidak bermakna
(Brouwer et al., 2013). Mekanisme kerja omega 3 pada penanganan disfungsi kelenjar
meibom diantaranya pemecahan dari omega-3 sebagai molekul anti inflamasi yang dapat
menekan jalur inflamasi dan mengubah komposisi dari asam lemak yang disekresi oleh
kelenjar meibom menjadi asam lemak tidak jenuh dimana berada dalam kondisi cair pada
temperatur tubuh yang dapat mencegah terjadinya sumbatan pada duktus kelenjar meibom
(Epitropoulos et al., 2016). Penelitian pemakaian omega3 pada SMK menunjukkan perbaikan
yang signifikan pada gejala SMK, penurunan dari tingkat evaporasi air mata, meningkatkan
densitas dari sel goblet dan perbaikan morfologi epitel selular (Bhargava et al., 2005).

12
BAB III
KESIMPULAN

 Diagnosis mata kering dapat ditegakkan melalui anamnesis gejala klinis yang
lengkap tentang keluhan pasien, usia, pekerjaan, penyakit serta pemakaian obat-obatan yang
mungkin dapat menjadi penyebab. Pemeriksaan klinis segmen anterior mata termasuk
kelopak, sistem lakrimal, konjungtiva, epitel kornea, serta tekanan intraokuler. Selain
pemeriksaan tersebut, ada pula pemeriksaan lainnya yang mungkin akan dilakukan dokter.
Misalnya pemeriksaan tes Schirmer. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai fungsi air mata,
baik secara kualitas maupun kuantitas. Ada juga pemeriksaan lainnya seperti tes zat warna
rose Bengal konjungtiva, dan tes film break up time yang mungkin akan dilakukan.
Kondisi mata kering yang dibiarkan tanpa penanganan, tentunya akan menimbulkan masalah
lainnya. Berikut komplikasi yang mungkin disebabkan oleh mata kering.
 Infeksi mata. Air mata memiliki fungsi untuk melindungi permukaan mata dari
infeksi. Tanpa air mata yang cukup, mata akan lebih mudah mengalami infeksi.
 Kerusakan pada permukaan mata. Kondisi mata kering yang terbilang parah bisa
menyebabkan peradangan pada mata, abrasi permukaan kornea, ulkus kornea, dan
masalah penglihatan.
 Kualitas hidup menurun. Mata kering pastinya akan menyulitkan pengidapnya untuk
berkaktivitas sehari-hari, seperti membaca contoh kecilnya.
 Penanganan untuk mata kering harus berdasarkan penyebabnya, berikut yang bisa dilakukan
yaitu:
 Pemberian air mata buatan bila penyebabnya adalah kurangnya komponen air.

13
 Pemberian lensa kontak apabila komponen mucus yang kurang.
 Penutupan punctum lakrimalis bila terjadi penguapan yang berlebihan.

 
Terdapat beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya mata kering, antara
lain:
 Menggunakan kaca mata pelindung disaat cuaca berangin.
 Hindari asap ataupun polusi udara.
 
DAFTAR PUSTAKA

1. Asyari, F. 2007. Dry Eye Syndrome (Sindrom Mata Kering). Dexa Medika, 20(4), 162–
164.
2. Begley, C.G., Caffery, B., Chalmers, R.L., Mitchell, G.L., 2002. Use of the Dry Eye
Questionnaire to Measure Symptoms of Ocular Irritation in Patients With Aqueous
Tear Deficient Dry Eye. Cornea, 21(7), 664-670
3. Blehm C, Vishnu S, Khattak A, Mitra S, Yee RW. 2005. Computer Vision Syndrome:
A Review. Surv Ophthalmol 2005; 50, 253-262
4. C. Stephen Foster. 2014. Dry Eye Syndrome. MedScape, 6(3), 1–9.
5. Catania Louis J., Scott Clifford A., Larkin Michael, Melton Ron, Semes Leo P.,
Shovlin Joseph P., Heath David A., Adamezyck Diane T., Amos John F., Mathie Brian
E., Miller Stephen C. 2011. Care of the Patient with Ocular Surface Disorders, the
AOA Board of Trustees, American Optometric Association 243 N. Lindbergh Blvd., St.
Louis, MO 63141-7881, 8-85.
6. Christina A. Chu and Mark Rosenfield. 2014. Blink Patterns : Reading from a
Computer Screen versus Hard Copy, 91(3), 297–302.
7. Courtin, R., Pereira, B., Naughton, G., Chamoux, A., Chiambaretta, F., Lanhers, C., &
Dutheil, F. 2016. Prevalence of Dry Eye Disease in Visual Display Terminal Workers:
A Systematic Review and Meta-Analysis. BMJ Open, 6(1), 6–13.
8. Craig, J. P., Nichols, K. K., Akpek, E. K., Caffery, B., Dua, H. S., Joo, C. K., Stapleton,
F. 2017. TFOS DEWS II Definition and Classification Report. Ocular Surface, 15(3),
276–283.

14
9. Debra, A., Uchino, M., Christen, W. G., Semba, D., Buring, J. E., Li, J. Z., & Reported,
P. 2013. Patient Reported Differences in Dry Eye Disease between Men and Women :
Impact , Management , and Patient Satisfaction The Harvard community has made this
Terms of Use Patient Reported Differences in Dry Eye Disease between Men and
Women : Impact , Management , and Patient. 44
10. Dunn, S. P., Jones, M. R., Mah, F. S., Olsakovsky, L. A., Talley-rostov, A. R.,
Velazquez, A. J., Feder, R. S. 2011. Dry Eye Syndrome Preferred Practice Pattern.
Ellis, Harold. 2013. Clinical Anatomy. Applied Anatomy for Students and Junior
Doctors. 13th edition.
11. Erickson, P.M., Stapleton, F., Giannakopoulos, E., Erickson, D.B., Sweeney, D. 2002.
Reliability of the McMonnies Dry Eye Questionnaire. Invest Ophthalmol Vis Sci, 43,
3068
12. Gomes, J. A. P., Azar, D. T., Baudouin, C., Efron, N., Hirayama, M., HorwathWinter,
J., Wolffsohn, J. S. 2017. TFOS DEWS II Iatrogenic Report. Ocular Surface, 15(3),
511–538.
13. Gulati, A., Sullivan, R., Buring, J.E., Sullivan, D.A., Dana, R., Schaumberg, D.A.
2006. Validation and Repeatability of a Short Questionnaire for Dry Eye Syndrome.
Am J of Ophthalmol, 142(1), 125-131.
14. Hansen, A., & Dörner, T. 2010. Sjögren syndrome. Der Internist, 51(10), 1267– 1279.
Hardinasari, R. 2015. Hubungan Pemakaian Air Conditioner (AC) di Ruang Kelas
Terhadap Kejadian Sindroma Mata Kering (Dry Eye Syndrome) pada Siswa SMA
Surakarta. Dalam: https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/5 0450/ Hubungan-
Pemakaian-Air-Conditioner-Ac-Di-Ruang-Kelas-Ter hadap-Kejadian-Sindroma-Mata-
Kering-Dry-Eye-Syndrome-Pada-Siswa -Sma-Surakarta. Dikutip Tanggal 9 Juli 2018
15. Hernandez-Quintela, E., Galor, A., Ramos-Betancourt, N., Lisker-Cervantes, A.,
Beltran, F., Ozorno-Zarate, J., Martinez, J. D. 2016. Frequency and Risk Factors
Associated with Dry Eye in Patients Attending A Tertiary Care Ophthalmology Center
in Mexico City. Clinical Ophthalmology, Volume 10, 1335–1342. Huang, H. M.,
Chang, D. S. T., & Wu, P. C. 2015. The association between near work activities and
myopia in children - A systematic review and metaanalysis. PLoS ONE, 10(10), 1–15.
16. Ilyas, S & Yulianti, SR. 2017. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. International Dry Eye WorkShop
(DEWS) 2007. 2007 Report of the International Dry Eye WorkShop (DEWS) - The

15
epidemiology of dry eye disease: report of the epidemiology subcommittee of the
International Dry Eye Workshop. The Ocular Surface.

16

Anda mungkin juga menyukai