Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keratoconjunctivitis sicca dikenal sebagai sindroma mata kering (Dry

Eye Syndrome) merupakan kelainan pada mata bagian anterior yang sering

terjadi akibat inflamasi. Sindroma mata kering adalah kondisi yang terjadi

pada pasien yang mencoba perawatan mata sebelumnya dan merupakan ciri-

ciri dari inflamasi pada permukaan mata dan kelenjar lakrimalis (Mohammad,

2011). Sindroma mata kering adalah suatu kumpulan gejala dengan kondisi

mata terasa perih, mudah lelah, gatal, merah dan mata terasa seperti berpasir

(Ohashi, 2003)

Prevalensi sindroma mata kering mengalami peningkatan dari tahun

ke tahun bekisar 7,4 – 57,89 %. Penelitian yang dilakukan oleh Moss dan

Klein (2000) melaporakan bahwa prevalensi mata kering menjadi 14,4 %

pada 3.722 subyek berumur 59 tahun. Menurut Schein et al (1997) tidak ada

hubungan antara mata kering dengan umur atau jenis kelamin. Sementara

penelitian lain, wanita dapat mengalami sindroma mata kering lebih cepat

daripada pria, sekitar usia 45 tahun atau pada usia onset menopause. Hal itu

telah didukung oleh penelitian yang dilakukan kepada 926 subjek wanita

berumur 40 dan lebih dari 40 memiliki diagnosis terkait mata kering (Mc

Carty, 1998).

1
2

Sindroma mata kering dapat terjadi karena penyakit-penyakit

inflamasi, kondisi lingkungan (alergi, debu, dan rokok), ketidak seimbangan

hormon (wanita menopause dan pasien yang sedang menjalani pergantian

hormon) dan kontak lensa. Penyakit sistemik seperti diabetes melitus,

penyakit tiroid, reumatoid artritis dan Systemic Lupus Erythematous/SLE

dapat memicu mata kering. Beberapa psikotropik sistemik seperti obat

diuretik, anti histamin, antidepresan, psikotropik, obat kolesterol, beta-bloker

dan kontrasepsi oral juga dikaitkan dengan mata kering (Ohashi, 2003).
Secara tidak langsung perokok juga dapat memberikan kontribusi

yang nyata terhadap polusi udara, terutama di ruangan tertutup, karena

banyaknya asap rokok yang dihembuskan ke udara. Seperti diketahui, lebih

dari 3800 senyawa kimia ditemukan dalam tembakau rokok, dan kelompok

terbesar adalah senyawa nitrogen, yaitu 24%, serta hidrokarbon 15% (June,

1996).
Seseorang dikategorikan sebagai perokok aktif apabila merokok setiap

hari dalam jangka waktu minimal enam bulan selama hidupnya dan masih

merokok pada saat dilakukan penelitian. Perokok menurut World Health

Organization (WHO) diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan

jumlah rokok yang dihisap per hari, yaitu seseorang yang mengonsumsi

rokok satu sampai sepuluh batang per hari disebut perokok ringan, 11 -20

batang per hari disebut perokok sedang, dan lebih dari 20 batang per hari

disebut perokok berat (Rini, Dinyar, dan Nugraha, 2015).

Mukosa pada konjungtiva mata sangat sensitif terhadap berbagai bahan

kimia dan gas iritatif yang terkandung dalam asap dan dapat menimbulkan
3

terjadinya kemerahan pada konjungtiva, hiperlakrimasi, dan sindroma mata

kering. Asap menimbulkan iritasi mata, kulit dan gangguan saluran

pernapasan yang lebih berat. Asap sendiri adalah kompleks campuran dengan

komponen yang bergantung pada jenis bahan bakar, kadar air. Asap

merupakan perpaduan atau campuran karbon dioksida, air, zat yang terdifusi

di udara, zat partikulat, hidrokarbon, zat kimia organik, nitrogen oksida, dan

mineral, ribuan komponen lainnya dapat ditemukan tersendiri dalam asap.

Komposisi asap tergantung dari banyak faktor, yaitu jenis bahan bakar,

kelembaban, temperatur api, kondisi angin, dan hal lain yang mempengaruhi

cuaca, baik asap tersebur batu atau lama (Faisal, 2012).

Asap pembakaran arang merupakan suatu polusi udara. Menurut WHO,

polusi udara merupakan suatu keadaan terkontaminasinya baik lingkungan

dalam maupun lingkungan luar karena bahan kimia, fisik, ataupun biologis

yang mengubah karakteristik natural dari atmosfer (Pande dan Putu, 2017).

Asap pembakaran sate yang berasal dari arang kayu mengandung berbagai

polutan berbahaya yang dapat menganggu fungsi dan komponen darah. Tiap

atom karbon dari arang atau kayu yang terbakar akan bereaksi dengan dua

atom oksigen membentuk gas karbondioksida (CO2), jika tiap atom karbon

tersebut bereaksi dengan satu atom oksigen, maka akan terbentuk gas

karbonmonoksida (CO) (Augustine, 2013).

Asap pembakaran dapat menimbulkan inflamasi pada permukaan mata.

Pada asap pembakaran terkandung bahan-bahan logam yang dapat mengiritasi

mata. Iritasi yang terjadi diikuti peradangan pada permukaan mata. Selain itu,
4

asap pembakaran menyebabkan osmolaritas air mata meningkat. Mata kering

merupakan penyakit multifaktorial air mata dan permukaan mata yang

menimbulkan gejala tidak nyaman, gangguan penglihatan, dan instabilitas

lapisan air mata yang berpotensial kerusakan pada permukaan mata. Lapisan

air mata pada pasien mata kering tidak stabil dan tidak mampu

mempertahankan kualitas pelindung yang diperlukan untuk struktur dan

fungsinya (Augustine, 2013).

Walaupun sindroma mata kering terlihat tidak membahayakan namun

sindroma ini dapat menyebabkan banyak penderitaan bagi penderitanya.

Penderita DES dapat terganggu ketajaman visual fungsional yang dapat

menurunkan mobilitas aktivitas sehari-hari. Selain itu, DES dapat

menyebabkan peningkatan risiko infeksi mata. Penderita DES dapat

mengalami kerusakan irreversible akibat kerusakan epitel kornea atau

perforasi kornea. Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin meneliti tentang

hubungan antara polusi asap pembakaran dengan dry eye syndrome di

Surabaya (Koh, 2008).

B. Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara polusi asap pada pembakar sate dengan dry

eye syndrome di Kecamatan Gubeng Surabaya?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara polusi asap pada pembakar sate dengan dry

eye syndrome di Kecamatan Gubeng Surabaya.


2. Tujuan Khusus
5

a. Menghitung jumlah waktu paparan asap pada pembakar sate di

Kecamatan Gubeng Surabaya.


b. Mengukur jumlah air mata pada pembakar sate di Kecamatan Gubeng

Surabaya
c. Menganalisis hubungan antara polusi asap pada pembakar sate dengan

dry eye syndrome di Kecamatan Gubeng Surabaya

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Penelitian
Kepada peneliti, diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan

menambah wawasan serta pengalaman berharga dan wadah latihan untuk

memperoleh pengetahuan dalam rangka penerapan ilmupengetahuan

yang telah diperoleh selama kuliah.

2. Manfaat Instansi

Manfaat bagi Fakultas Kedoktern Universitas Wijaya kusuma dapat

dijadikan informasi dan acuan tambahan bagi peneliti selanjutnya yang

berhubungan dengan polusi asap pembakaran dengan kejadian dry eye

syndrome.

3. Manfaat Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan kepada masyarakat

untuk selalu menjaga kesehatan mata.

4. Manfaat Penjual Sate

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada penjual

sate tentang dampak yang ditimbulkan akibat dari asap bakaran sate

tersebut terhadap kesehatan mata sehingga penjual sate dapat melakukan

berbagai antisipasi terhadap dampak asap bakaran sate.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tear Film atau Lapisan Air Mata


Struktur normal dan fungsi dari mata bergantung pada hemeostasis

tubuh sebagai perlindungan terhadap lingkungan luar. Alis mata dan bulu

mata dapat menangkap partikel-partikel kecil seperti debu dan silia juga

memliki fungsi sebagai sensor dalam menstimulasi penutupan kelopak mata.

Tear film memilki fungsi untuk membasahi toksin dan alergen dan berisi

protein yang dapat mengontrol lapisan mata. Mucin menstabilkan tear film

dan membatasi permukaan sel mata dari lingkungan sekitarnya (Tsubota,

2001).
Permukaan mata meliputi seluruh epitel permukaan dari kornea,

limbus, dan konjungtiva. Pada permukaan mata normal dilapisi oleh lapisan

tear film. Air mata memiliki fungsi untuk membasahi/melembabkan sel epitel

mata, melumasi permukaan mata dengan memberikan respon air mata untuk

mengeluarkan partikel asing yang masuk ke mata. Beberapa protein terdapat

dalam air mata termasuk lisozim, laktoferin, lipokalin, IgA, dan cistatin S.

Kekurangan pelumas tersebut dapat meningkatkan infeksi pada mata karena

dalam air mata terdapat faktor-faktor yang dapat menurunkan aktivitas

mikroba (AAO, 2003).


Struktur tear film dibagi menjadi 3 bagian, yaitu lapisan lipid/lemak,

lapisan aqueous, dan lapisan mucin. Lapisan superfisial dari tear film adalah

lapisan lipid yang diproduksi oleh kelenjar meibom. Disfungsi kelenjar

meibom dapat menyebabkan ketidakstabilan tear film sehingga dapat

6
7

menimbulkan kelainan pada permukaan mata. Sekresi kelenjar meibom pada

manusia dikontrol oleh persyarafan simpatis dan parasimpatis. Beberapa

hormon dapat mempengaruhi sekresi kelenjar meibom diantaranya adalah

hormon androgen dan esterogen. Berkedip juga memliki fungsi penting dalam

pelepasan kelenjar meibom (Dartt, 2006).


Lapisan kedua adalah lapisan aqueous yang diproduksi oleh kelenjar

utama air mata. Defisiensi kelenjar air mata ini menjadi penyebab utama dry

eyes syndrome atau Sindroma mata kering. Sekresi air mata distimulasi oleh

N.V (Nervus Trigeminus) kemudian air mata didistribusikan ke kornea,

konjungtiva, atau mukosa nasalis (AAO, 2003).


Lapisan ketiga adalah lapisan mucin yang diproduksi oleh sel goblet

konjungtiva dan epitel permukaan mata. Komponen mucin memiliki bagian

hidrofilik pada bagian atas dan hidrofobik pada bagian lain. Ketika terjadi

defisiensi mucin akibat terpapar bahan kimia atau kerusakan permukaan mata

akibat inflamasi, kekeringan pada kornea mata dapat memungkinkan

terjadinya kerusakan pada sel epitel (AAO, 2003).


8

Sumber: Foulks, 2004

Gambar II.1 Tear Film Normal beserta Komponennya

B. Sindroma Mata Kering


1. Definisi Sindroma Mata Kering (DES)
Sindroma mata kering (DES) adalah suatu kelainan multifaktorial.

Pada tahun 1995, lokakarya NEI/Industri mendefinisikan mata kering

sebagai kelainan dari tear film akibat defisiensi air mata atau evaporasi

berlebihan yang dapat menyebabkan kerusakan permukaan intrapalpebra.

Menurut Kubicka (2009), alergi konjungtivitis (AC) dan Sindroma mata

kering (DES) adalah 2 dari penyakit inflamasi yang sering terjadi pada

bagian anterior mata. Kedua kondisi tersebut memiliki efek yang besar

pada kehidupan sehari-hari serta menentukan kualitas hidup. Brewitt dan

Sistani (2001) berpendapat bahwa DES menggambarkan suatu kelainan


9

heterogen dan multifaktorial dari preokular tear film atau penyakit pada

permukaan mata (Asyari, 2007).


Menurut Lambert (1983) fungsi air mata yang terpenting adalah

melindungi serta mempertahankan integritas sel-sel permukaan mata

terutama kornea dan konjungtiva. Apabila DES terjadi maka permukaan

mata akan menjadi kering dan timbul ‘dry spot’ yang akan menyebabkan

mata menjadi iritasi, perih, diikuti reflek berkedip serta pengeluaran air

mata. Sehingga apabila DES dibiarkan terus menerus tidak menuntut

kemungkinan akan terjadi kerusakan sel epitel kornea dan konjungtiva,

yang akan menyebabkan ulkus, infeksi, bahkan tahap yang paling parah

adalah kebutaan akibat perforasi kornea (Asyari, 2007).


2. Klasifikasi Sindroma Mata Kering (DES)
Menurut report dari The Definition and Classification

Subcommitee of The International Dry Eye Workshop (2007) menyatakan

bahwa terdapat 2 kategori etiologi utama DES, yaitu defisiensi aqueous

dan evaporasi/penguapan.
a. Defisiensi Aqueous
Dry Eye Syndrome di klasifikasikan sebagai Sjögren dan Non

Sjögren. Sindroma Sjogren primer adalah suatu kelainan autoimun

dimana infiltrasi kelenjar ludah dan air mata diaktifkan oleh T-cell,

mengakibatkan Sindroma mata kering dan mulut kering. Sindroma

Sjögren sekunder adalah sindroma Sjögren yang berhubungan

dengan penyakit autoimun lainnya, yaitu Reumatoid Artritis atau

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) (DEWS, 2007).


Defisiensi aqueous Non Sjögren merupakan akibat dari

defisiensi primer kelenjar lakrimalis, defisiensi sekunder kelenjar


10

lakrimalis obstruksi duktus lakrimalis, atau reflek hiposekresi.

Defisiensi kelenjar lakrimalis primer berhubungan dengan umur,

kongenital lakrimalis (misalnya, Sindroma Riley-Hari), dan

keluarga disautonomia. Peningkatan usia pada populasi normal

akan terjadi peningkatan patologi pada duktus yang dapat memicu

disfungsi kelenjar lakrimal dengan efek obstruktif. Sedangkan

insufisiensi kelenjar lakrimalis sekunder dihubungan dengan

infiltrasi kelenjar lakrimal (misalnya sarcoidosis, lymphoma, AIDS,

hemochromatosis, kekurangan vitamin A) (DEWS, 2007).


Obstruksi duktus lakrimalis dapat disebabkan karena

trachoma, erythema multiforme. Sindroma Steven Johnson, ketidak

seimbangan endokrin. Defisiensi aqueous Non Sjögren akibat

reflek hiposekresi dibagi menjadi reflek blok sensoris dan reflek

blok motorik. Reflek blok sensorik terdiri dari penurunan reflek

kornea termasuk pada operasi LASIK, penggunaan kontak lensa,

diabetes, herpes zoster, herpes simplex keratitis. Reflek blok

motorik contohnya adalah kerusakan pada N.VII, multipel

neuromatosis, pengobatan menggunakan obat-obatan anti

kolinergik (Borchman, 2007).


b. Evaporasi.
Dry Eye Syndrome memiliki bermacam-macam penyebab,

termasuk kelainan pada kelenjar meibom, gangguan membuka

kelopak mata, gangguan berkedip, dan gangguan pada permukaan

mata. Penyebab terbanyak adalah disfungsi kelenjar meibom


11

(dikenal sebagai blepharitis posterior), adalah suatu kondisi dari

obstruksi kelenjar meibom (Borchman, 2007).


Meskipun kategori tersebut terlihat jelas, pada kenyataannya

terdapat tumpang tindih antara penyebab diatas. Pertama, DES

mungkin bisa berhubungan dengan penyakit bentuk lainnya (Lemp,

1995). Kedua, karena interaksi antara 2 mekanisme DES,

hyperosmolaritas air mata, dan ketidakstabilan tear film,

diferensiasi antara aqueous dan evaporasi sering tidak jelas. Ketiga,

etiologi DES tertentu melibatkan beberapa mekanisme. Contohnya

yaitu:
1) Penggunaan kontak lensa menyebabkan penurunan

sensitivitas kornea, dengan memblok reflek sensoris

menyebabkan defisiensi aqueous (DEWS, 2007). Pada saat

yang bersamaan, penggunaan kontak lensa dapat

mengakibatkan peningkatan evaporasi disebabkan oleh

penurunan berkedip atau menutupnya kelopak mata secara

tidak sempurna selama berkedip (McMonnies, 2007).


2) Dalam report The Definition and Classification Subcommitee

of The International Dry Eye Workshop (2007) menyebutkan

bahwa defisiensi vitamin A dapat menyebabkan xerofthalmia,

akibat gangguan perkembangan pada sel goblet dan

kerusakan kelanjar lakrimalis (McMonnies, 2007).


3) Sindroma Sjogren dianggap sebagai penyebab primer

defisiensi aqueous, namun peningkatan evaporasi akibat


12

kerusakan kelenjar meibom juga menjadi faktor pada

penyakit ini (Shimazaki, 1998).

3. Epidemiologi
SumberSindroma Mata Kering (DES)
: Foulks, 2007
Dari tahun ke tahun epidemiologi DES mengalami peningkatan.
Gambar II.2 Klasifikasi Dry Eye Syndrome
Berdasarkan suatu penelitian tentang DES , the Women’s Health Study dan

Physician’s Health Study dan penelitian lainnya, diperkirakan 3,23 juta

wanita dan 1,68 juta pria dengan total 4,91 juta masyarakat Amerika

Serikat usia 50- <50 tahun terkena DES. Hal ini menunjukkan bahwa

prevalensi wanita termasuk wanita yang berusia 50 tahun keatas memiliki

resiko yang lebih tinggi terhadap DES daripada pria. Data dari WHS juga

menyebutkan bahwa ras Asia dan Latin lebih tinggi beresiko DES

dibandingkan wanita ras Kaukasia (Miljanovic, 2007).


Badan sensus US memperkirakan periode 2000-2050 angka

penduduk di US yang berumur 65-84 tahun akan meningkat 100% dan

usia diatas 85 tahun meningkat sampai 333% (Roberto, 2004).


13

Peningkatan usia penduduk diatas 60 tahun diperkirakan akan meningkat

pula pada beberapa negara, seperti di Indonesia. Pada usia tersebut yang

telah mengalami DES pastinya akan mengakibatkan penurunan kualitas

hidup dan akan berakibat dengan terganggunya aktivitas sehari-hari

(McMonnies, 2007).
Menurut suatu penelitian yang dilakukan oleh Lee, et al (2002)

penduduk di Malaysia memiliki prevalensi DES sebesar 14,4% sedangkan

di Kepulauan Riau, Indonesia memiliki prevalensi yang cukup tinggi

yaitu 27,5% pada penduduk yang berusia diatas 21 tahun dengan faktor

resiko merokok dan pterigium. Penelitian lain juga menyebutkan 76,8%

wanita menopause di Indonsia memiliki resiko DES. Angka tersebut

termasuk tinggi dibandingkan dengan negara Asia lainnya, seperti

Shanghai 33,78 % pada wanita dan 24,11% pada pria. Di Beijing

prevalensi DES pada wanita tua mencapai 21%. Di Taiwan memiliki

prevalensi 33,7 % pada wanita dan memiliki faktor resiko usia (AJ, 2002)
4. Faktor Risiko Sindroma Mata Kering (DES)
Sindroma mata kering (DES) pada umumnya meningkat seiring

dengan bertambahnya usia, jenis kelamin, dan etnis Asia. Menurut

beberapa penelitian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya

wanita memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan pria. Menopause

dapat meningkatkan risiko sindroma mata kering. Anehnya, wanita

postmenopause dengan terapi penggantian hormon, terutama estrogen,

memiliki prevalensi DES lebih tinggi daripada wanita post menopause

dengan tidak menambahkan terapi hormon (AJ, 2002).


14

Pekerjaan dan lingkungan meningkatkan faktor risiko meliputi

kelembaban rendah, suhu kamar tinggi, paparan angin, polusi dan kualitas

udara yang buruk, merokok, dan penurunan berkedip karena penggunaan

komputer berkelanjutan atau membaca. Penyakit yang berhubungan

dengan mata kering termasuk kekurangan vitamin A, penyakit jaringan

autoimun/ikat, infeksi hepatitis C, infeksi HIV, Sindromaa Sjögren,

sarkoidosis, diabetes melitus, dan androgen atau defisiensi estrogen (AJ,

2002).
Memakai lensa kontak meningkatkan risiko Sindromaa mata

kering. Bedah refraktif, terutama LASIK, sering menyebabkan mata

kering. Diet rendah asam lemak omega-3 atau diet dengan jumlah yang

relatif tinggi omega-6 asam lemak relatif terhadap asam lemak omega-3

juga dapat meningkatkan risiko Sindroma mata kering. Berbagai obat

termasuk sistemik kemoterapi, diuretik, antidepresan, antihistamin dan

beta-adrenergik dapat menyebabkan mata kering sebagai efek samping

dari obat. Penyimpangan dari permukaan konjungtiva seperti yang terlihat

dengan pingueculae atau pterygia, dapat menyebabkan gejala mata kering

(AJ, 2002).
5. Patofisiologi Sindroma Mata Kering (DES)
Dry Eye Syndrome merupakan suatu kelainan multifaktorial

melibatkan banyak interaksi mekanisme. Pada kasus DES wanita

menopause memiliki resiko tertinggi dibandingkan pria. Pada menopause

terjadi penurunan hormon esterogen dan androgen yang mempengaruhi

terhadap sekresi dari kelenjar lakrimalis. Penurunan hormon seks tersebut


15

yang dapat menurunkan sekresi kelenjar lakrimalis sehingga pada wanita

menopause lebih rentan terkena DES (Mohammad, 2011).


Jika DES dikaitkan dengan masalah menopause, mata kering ini

akan lebih sering menyerang wanita daripada pria. Hal ini terjadi karena

pria memiliki hormon androgen seumur hidupnya walaupun dalam jumlah

yang kecil pada masa tua, sedangkan wanita memiliki masa menopause

dimana esterogen dan progesteron tidak dihasilkan (Mohammad, 2011).


Pada suatu penelitian yang menggunakan profil proteomik pada

mata kering dan mata normal menggunakan teknik ELISA (enzyme-linked

immunosorbent assay) menunjukkan penurunan laktoferin dan epidermal

growth faktor pada mata kering, selain itu lisozim, fosfolipase A2, dan

lipocalin juga mengalami penurunan (Mohammad, 2011).


Sindroma mata kering akibat defisiensi aqueous terjadi akibat

kegagalan kelenjar lakrimalis untuk mensekresi air mata sehingga terjadi

hiperosmolaritas air mata. Hiperosmolaritas air mata dapat menyebabkan

hiperosmolaritas dari sel epitel permukaan mata dan menstimulasi jalur

inflamasi yang melibatkan jalur MAP kinase dan sinyal NFkB. Selain itu

sitokin inflamasi IL-1α, IL-1β, TNF α dan MMP-9 (Metalloproteinase)

juga ikut berperan (Paiva, 2006). Ada bukti yang menjelaskan bahwa

aktifnya agen-agen inflamasi tersebut menyebabkan apoptosis sel epitel

permukaan mata, termasuk sel goblet. Dengan demikian, hilangnya sel

goblet berhubungan dengan reaksi peradangan (Kunert, 2002).


Sitokin IL-1 dan TNF-α menyebabkan pelepasan opioid yang

mengikat reseptor opioid pada saraf dan menghambat neurotransmitter

untuk memproduksi NK-F. IL-2 memiliki ikatan dengan reseptor opioid


16

delta sehingga menghambat produksi cAMP dan fungsi saraf. Hilangnya

fungsi saraf ini menyebabkan berkurangnya aktivitas pada saraf sensoris

kelenjar lakrimalis sehingga menyebabkan atrofi dan tidak dapat

memproduksi air mata (Solomon, 2001).


Peningkatan sitokin proinflamasi diatas didukung dengan penelitian

yang menyatakan bahwa terjadi peningkatan sitokin inflamasi IL-1 pada

Sjögren Syndrome yang ditunjukkan dengan peningkatan aktivitas

protease. Penelitian lain mengungkapkan bahwa asam sialik, sebuah

komponen dalam mucin air mata mengalami defisiensi pada DES. Pada

penderita mata kering terjadi defisiensi/defek pada gen MUC5AC yang

merupakan komponen penting mucin pada air mata (Solomon, 2001).


6. Gejala Klinis Sindroma Mata Kering (DES)
Gejala klinis dari DES adalah sebagai berikut : *
a. Mata terasa kering, gatal dan terasa berpasir
b. Terdapat sensasi seperti ada benda asing pada mata
c. Nyeri
d. Terasa panas dan gatal
e. Peningkatan berkedip
f. Kelelahan pada mata
g. Photopobia
h. Pandangan kabur (mungkin terkait dengan ketidakteraturan

pada tear film dan dapat diatasi dengan berkedip)


i. Kemerahan
j. Intoleransi pada kontak lensa (DEWS*, 2007)

Tabel II.1: Skema Derajat Mata Kering


17

Sumber : Foulks, 2007


7. Pemeriksaan Penunjang Sindroma Mata Kering (DES)
Saat ini tidak ada kriteria yang sama untuk diagnosis DES. Secara

tradisional, kombinasi tes diagnostik telah digunakan untuk menilai

gejala dan tanda-tanda klinis. Pemeriksaan klinis segmen anterior mata

termasuk kelopak, sistem lakrimal, konjungtiva, epitel kornea, serta

tekanan intraokuler. Pemeriksaan khusus penting dapat dilakukan untuk

menilai fungsi air mata secara kualitas maupun kuantitas seperti:


a. Tes Schirmer
Test Schrimer adalah suatu tes yang digunakan untuk

mengukur kuantitas air mata yang dihasilkan oleh kelenjar lakrimal.

Tes ini tidak bersifat invasif atau merusak bagian tubuh. Tes

Schirmer sering digunakan pada pemeriksaan mata kering atau

produksi air mata berlebih. Cara melakukannya adalah menggunakan

kertas filter Schirmer 30 x 5 mm diletakkan pada sakus inferior 1/3


18

temporal (agar tidak menyentuh kornea) tanpa anestesi topikal

selama 5 menit. Bagian kertas yang dibasahi menunjukkan kuantitas

airmata. Nilai di bawah 6-7 mm dianggap kurang. Tes ini dapat juga

dilakukan dengan anestesi topikal (pantokain 0.5%) untuk menilai

sekresi dasar (basic secretion) air mata. Nilai kurang dari 5 mm

dianggap dry eye. Tes ini akan negatif pada mata normal, yaitu

menghasilkan air mata ±10 mm (Mohammad, 2011).


b. Tear break-up time (BUT)
Untuk menilai stabilitas lapisan air mata. Lapisan air mata

diberi pewarnaan fluoresin dan dilakukan pemeriksaan kornea

dengan menggunakan lampu biru. Apabila interval waktu antara

mengedip dan terbentuknya ‘dry spot’ pada kornea kurang dari 3

detik dianggap abnormal (Mohammad, 2011).


c. Tes Ferning Mata
Sebuah tes sederhana dan murah untuk meneliti mukus

konjungtiva dilakukan dengan mengeringkan kerokan konjungtiva di

atas kaca objek bersih. Arborisasi (ferning) mikroskopik terlihat pada

mata normal. Pada pasien konjungtivitis yang meninggalkan parut

(pempigoid mata, Sindroma Stevens Johnson, parut konjungtiva

difus), arborisasi mucus berkurang atau hilang (Mohammad, 2011).


d. Pemulasan Flurescein
Menyentuh konjungtiva dengan secarik kertas kering

berflurescein adalah indikator baik untuk derajat basahnya mata, dan

meniscus airmata mudah terlihat. Flurescein akan memulas daerah-

daerah tererosi dan terluka selain defek mikroskopik pada epitel

kornea (Mohammad, 2011).


e. Pemulasan Rose Bengal
19

Pemulasan rose bengal dapat melemahkan sel epitel pada

konjungiva dan memiliki fungsi yang sama dengan tes lainnya.

Namun, Rose Bengal dapat menyebabkan iritasi sementara setelah

dipanaskan sehingga terkadang pasien merasa kurang nyaman

menggunakan tes ini. Pasien dengan DES menunjukkan adanya

bintik-bintik pada epitel dan bahkan menunjukkan abrasi kornea

(Mohammad, 2011).

8. Penatalaksanaan Sindroma Mata Kering (DES)


Penatalaksaan mata kering tergantung pada penyebab dan tingkat

keparahan. Pada kasus yang ringan hanya memerlukan air mata buatan

atau artificial tear. Merubah atau menghentikan pengobatan topikal atau

sistemik yang dapat mempengaruhi kondisi mata kering juga membantu

dalam penatalaksaan ini. Berbagai macam pengobatan dengan

antikolinergik yang memiliki efek samping terhadap penurunan produksi

air mata adalah obat antihipertensi (Clonidine, Prazosin, Propanolol,

Methyldopa), obat antidepresan (Amitriptylin, Amoxapine, Phenothiazin,

Diazepam), obat antihistamin, antiulcer agent (atropine-like,

metoclopramide). Sehingga obat-obatan tersebut harus dihindari sebaik

mungkin pada pasien dengan simptom aqueous tear deficiency (ATD)

(AAO, 2003).
Pada kasus yang ringan juga dapat dilakukan pelumasan topikal

saat tidur malam, pemijatan kelopak mata dan pengompresan air hangat

untuk menstimulasi lapisan lipid tearfilm. Selain itu, upaya untuk


20

mengurangi evaporasi/penguapan dari tearfilm dapat dilakukan dengan

cara menggunakan pelindung kelembaban pada kacamata (AAO, 2003).


Pada kasus mata kering yang sedang/moderat dapat dilakukan

dengan memberikan air mata tanpa bahan pengawet untuk menghindari

toksisitas pada pasien yang menggunakan pengganti air mata secara terus-

menerus. Penggunaan air mata pengganti ini dilakukan sebanyak 4 kali

perhari atau tiap jam perhari, memberikan obat topikal pada mata sebelum

tidur malam dan oklusi punctum (AAO, 2003).


Obat topikal cyclosporin A telah diusulkan sebagai pengobatan

terhadap komponen inflamasi pada mata kering. Modulasi dari respon

inflamasi kemungkinan dapat mengurangi destruksi dari lakrimal acini

dan meningkatkan responsif saraf dengan cara meningkatkan sekresi

lakrimal. Walaupun cyclosporin A telah dilaporkan berhasil pada anjing,

tetapi penggunaan terhadap manusia masih menunggu konfirmasi dari

FDA. Penggobatan lain yang dilaporkan telah berhasil dalam menangani

DES adalah asam hyaluronat dan autologous serum. Pilocarpin oral telah

menunjukkan efektivitas dalam mengatasi DES maupun xerostomia pada

pasien dengan sindroma Sjögren (AAO, 2003).


Agen mukolitik seperti acetylcysteine 10% dapat membantu

mengurangi gejala DES. Menggunakan goggles, pelindung mata atau

pelembab dapat mengurangi evaporasi. Penggunaan lensa soft contact

dapat digunakan pada pasien dengan risiko tinggi DES. Selain itu

penggunaan scleral contact lenses dapat membantu pasien dengan DES

berat (AAO, 2003).


9. Komplikasi Sindroma Mata Kering (DES)
21

Pada umumnya penderita dengan DES tidak perlu khawatir tentang

selain dari ketidaknyamanan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Meskipun gejala tersebut mungkin membuat aktivitas sehari-hari

(misalnya, membaca, menonton TV, mengemudi) terganggu namun

dalam jangka panjang tidak akan menyebabkan kehilangan fungsi

penglihatan bagi penderitanya. Bagi mereka dengan DES lebih parah,

pengeringan signifikan dari permukaan mata dapat menyebabkan

peningkatan risiko infeksi serius. Pada akhirnya, akan muncul jaringan

parut, penipisan, dan bahkan perforasi kornea dapat terjadi. Akibatnya,

akan terjadi kebutaan (Augustine, 2013).

C. Patofisiologi Paparan Asap Mengakibatkan Terjadinya Sindroma

Mata Kering (DES)

Paparan asap mengiritasi mata yang mengakibatkan terjadinya

inflamasi. Telah diakui bahwa inflamasi adalah sebab dan akibat penyakit

mata kering. Permukaan mata yang inflamasi mengakibatkan rusaknya sel

epitel kornea yang akan menyebabkan hilangnya lapisan musin air mata

sehingga terjadi ketidakstabilan lapisan air mata (Augustine, 2013).

Inflamasi merupakan hasil dari aktivasi jalur inflamasi bawaan pada

sel permukaan okuler, seperti sitokin yang dihasilkan sel T helper (Th).

Sitokin diproduksi dengan menginfiltrasi sel Th sehingga mengubah

keseimbangan normal sitokin pada permukaan mata dan menyebabkan

patologis epitel permukaan mata. Pada penelitian Pflugfelder, S.C., et al.,


22

(2013) perubahan kadar sitokin Th pada permukaan mata telah ditemukan

pada pasien mata kering (Augustine, 2013).

Patogenesis sindrom mata kering tidak sepenuhnya dimengerti dan

penyebabnya multifaktorial tetapi dapat diakui bahwa inflamasi memiliki

peran menonjol pada perkembangannya.Biomarker inflamasi seperti Human

Leukocyte Antigen (HLA-DR) juga telah terbukti diregulasi dalam Dry Eye

Disease (DED) (Augustine, 2013).

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

I. Defisiensi air Sjӧrgen


mata

Non Sjӧrgen
Penyebab Sindroma
Mata Kering (DES)

II. Evaporasi/Penguapan 1. Intrinsik

2. Ekstrinsik
23

a. Lensa b. Penggunaan c. Defisiensi d. Asap e. Asap


Kontak obat-obatan Vit, A pembakar sate rokok
topikal

Gambar III.1. Kerangka Konsep

: Variabel yang diteliti : Jalur yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti : Jalur yang tidak diteliti

Paparan asap sering kali menyebabkan efek negatif terhadap

kesehatan tubuh tanpa banyak yang mengetahuinya. Dalam penelitian ini,

peneliti mengenai hubungan antara polusi asap pada pembakar sate dengan

dry eye syndrome di Kecamatan Gubeng, Surabaya.

B. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah, “Adanya hubungan antara

polusi asap pada pembakar sate dengan dry eye syndrome di Kecamatan

Gubeng, Surabaya”.
24

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah desain

penelitian cross sectional analitik (penelitian potong lintang). Studi cross

sectional digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas (faktor

risiko) dengan variabel tergantung (efek). Fokus peneliti adalah untuk

mengetahui hubungan antara polusi asap pada pembakar sate dengan dry eye

syndrome di Kecamata Gubeng, Kota Surabaya.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kecamata Gubeng, Kota Surabaya,

Propinsi Jawa Timur tahun 2018. Kegiatan penelitian meliputi pengumpulan

data menggunakan kuisioner.

1. Lokasi Penelitian
Penelitian tentang “Dry Eye Syndrome” ini akan dilaksanakan di

beberapa pembakar sate di Surabaya.


2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2018.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi
25

Populasi penelitian ini adalah pembakar sate di Kecamatan Gubeng,

Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.

2. Sampel

Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah 62 pembakar sate

yang ada di Kecamatan Gubeng, Kota Surabaya.


a. Besar Sampel

Ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam menetapkan jumlah

sampel dari populasi yang tidak diketahui. (a) Representatif yaitu

sampel yang dapat mewakili populasi yang ada. (b) Sampel harus cukup

banyak karena mempengaruhi kesimpulan hasil penelitian (Nursalam,

2010). Untuk memenuhi jumlah sampel minimal, penentuan besar

sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Lemeshow sebagai

berikut:

n=

n=

n = 61,47 dibulatkan menjadi 62

Keterangan :

n = besar sampel

Z = Standar normal untuk CI adalah 95 % = 1,96


26

d = derajad ketepatan yang digunakan adalah 90% atau 0,1

p = Probabilitas suatu kejadian akan terjadi, nilainya = 20% atau

0,2

q = Probabilitas suatu kejadian tidak terjadi, 1-p = 0,8

Berdasarkan perhitungan tersebut maka ditentukan besar sampel

dalam penelitian ini adalah sebanyak 62 penjual sate di Kecamatan

Gubeng, Kota Surabaya.

b. Cara Pengambilan Sampel


Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling sebanyak

62 penjual sate yang ada di Kecamatan Gubeng, Kota Surabaya.


c. Kriteria Sampel
1) Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

a) Pembakar sate di Kecamatan Gubeng, Kota Surabaya.


b) Bersedia menjadi responden.
c) Pembakar sate yang perokok.
2) Kriteria Eksklusi
Kristeria eksklusi pada penelitian ini adalah:
a) Pembakar sate yang terpapar dengan penyakit mata lainnya.
b) Tidak bersedia menjadi responden.
c) Pembakar sate yang perokok berat.

D. Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian ini adalah:


1. Variabel Terikat (Dependent Variable)
Variabel terikat pada penelitian ini adalah sindrom mata kering/ dry eyes

syndrome pada pembakar sate.


2. Variabel Bebas (Independent Variable)
Variabel bebas pada penelitian ini adalah polusi asap pembakaran sate.

E. Definisi Operasional

Tabel 4.1. Definisi Operasional


Definisi Kategori dan
No Variabel Alat Ukur Skala
Operasional Kriteria
27

1. Sindroma Gangguan pada mata 1. Mata Kertas Filter Ordinal


Mata Kering yang disebabkan oleh Normal > 10 mm Schirmer 30 X 5
hilangnya dari kertas filter mm.
keseimbangan antra schirmer Pengukurannya
film air mata dan 2. Mata dilakukan
permukaan sehingga Abnormal Dry Eye dengan cara
berkurangnya Syndrome kertas filter
produksi air mata ≤ 10 mm dari Schirmer 30 x 5
yang digunakan kertas filter mm diletakkan
untuk melumasi mata schirmer pada sakus
akibatnya terjadi (DEWS, 2007) inferior 1/3
iritasi dan kerusakan temporal (agar
pada permukaan mata tidak menyentuh
penderitanya (Scuderi kornea) selama 5
, 2012). menit. Bagian
kertas yang
dibasahi
menunjukkan
kuantitas airmata
(Krachmer ,
2011).

2. Polusi asap Berapa lama waktu 1. Paparan asap >6 jam Kuisioner Nominal
pembakaran yang diperlukan PaPaparan asap ≤6 jam
untuk pembakaran

3. Responden Responden yang 1. Perokok ringan Kuisioner Nominal


perokok merokok dan terkena mengonsumsi 1-10
langsung dengan batang perhari
asap pembakar sate 2. Perokok sedang
mengonsumsi 11-
20 batang perhari
3. Perokok Berat
mengonsumsi >20
batang perhari
(Rini, Dinyar, dan
Nugraha 2015).

F. Prosedur Penelitian
1. Langkah dan Teknik Pengumpulan Data

PERSIAPAN PENELITIAN

Sampel
Kriteria Inklusi 28

Kriteria Sampel

Kriteria Ekslusi

Besar sampel yang digunakan dalam penelitian sebanyak 62 penjual


sate di Kecamata Gubeng, Kota Surabaya

Mengolah data dan melakukan analisis data sesuai dengan tujuan penelitian
dan rumusan masalah

Uji Statistik Hasil Penelitian Kesimpulan

Gambar IV.1 Alur Penelitian

2. Kualifikasi dan Jumlah Tenaga yang Terlibat Pengumpulan Data


1 peneliti : melakukan uji Schirmer dan analisis statistik
2 perawat : mengawas sampel dan membantu dalam uji Schirmer
3. Jadwal Waktu Pengumpulan Data
Tabel IV.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Waktu Pelaksanaan
Rencana Kegiatan
April Mei Juni
Penelitian
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pengumpulan Data
Pembuatan
Laporan

Pengumpulan data dilaksanakan satu hari pada bulan Mei tahun

2018. Dan setelah pengumpulan data dilanjutkan dengan pembuatan

laporan.
4. Bahan, Alat dan Instrument yang digunakan
a. Bahan
1) Buku/ kertas
2) Bolpoint
29

3) Correction pen /tipe-X


4) Penggaris
b. Alat
1) Kertas Filter Schirmer 30 X 5 mm

5. Teknik Pengolahan Data


a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan uji

kuantitas air mata menggunakan kertas filter Schirmer 30 x 5 mm dari

sampel yang diteliti tanpa melakukan anestesi, yaitu sebanyak 62 orang

penjual sate yang ada di Kecamata Gubeng, Kota Surabaya.


b. Penggolongan Data dan Pengolahan Data
Kertas filter Schirmer yang telah digunakan untuk mengukur

kuantitas air mata dari sampel akan dilihat oleh peneliti berdasarkan

teori yang sudah dijelaskan. Apabila bagian basah kertas filter ≤ 2 mm

maka individu tersebut menderita DES berat, bagian basah kertas filter

≤ 5 mm maka individu tersebut menderita DES sedang, bagian basah

kertas filter ≤ 10 mm maka individu tersebut menderita DES ringan dan

negatif bila hasilnya >10 mm. Selanjutnya hasil penelitian akan diolah

secara analitik dengan menggunakan uji statistik yang sesuai dengan

penelitian ini yaitu uji Pearson ( uji korelasi).

Proses pengolahan data meliputi editing, coding, cleaning, entry

dan analisis. Menggunakan hubungan korelasi Pearson dengan korelasi.

a. Editing (pengeditan data), kegiatan ini dilakukan dengan dasar

pertimbangan untuk mengoreksi suatu data yang telah terkumpul meliputi

kebenaran/kesesuaian dan kelengkapan data.


30

b. Coding (memberi kode), kegiatan ini untuk mengklasifikasikan data atau

jawaban yang masuk. Dalam pekerjaan ini yang perlu diperhatikan ialah

setiap jawaban yang masuk diberi kode tertentu sesuai dengan

katagorinya.

c. Entry (memasukan data), kegiatan memasukan data sesuai dengan

variable-variable yang telah ada yang di peroleh dari kuisioner.

d. Cleaning (pembersihan data), merupakan kegiatan pengecekan kembali

data yang akan di entry apakah ada kesalahan atau tidak.

G. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis yang dilakukan menganalisis tiap variabel dari hasil

penelitian. Analisis univariat berfungsi untuk meringkas kumpulan data

hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut berubah

menjadi informasi yang berguna. peringkasan tersebut dapat berupa ukuran

statistik, tabel, grafik. Analisis univariat dilakukan masing–masing variabel

yang diteliti.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara dua

variabel yaitu variabel independent dan variabel dependent. Untuk

kemaknaan hasil perhitungan statistik digunakan batas kemaknaan

(α)=5%. Apabila p-value≤0,05, artinya terdapat hubungan yang bermakna.

Sedangkan apabila p-value>0,05 berarti tidak terdapat hubungan.


Hipotesis Statistik
H0 : Tidak ada hubungan antara polusi asap pada pembakar sate dengan

dry eye syndrome di Kecamata Gubeng, Kota Surabaya.


31

H1 : Terdapat hubungan hubungan antara polusi asap pada pembakar

dengan dry eye syndrome di Kecamata Gubeng, Kota Surabaya.


3. Metode Analisis Data

Program komputer yang digunakan untuk pembuatan data base dan

pengolahan data adalah Microsft Excel 2010 sedangkan analisis data

dengan menggunakan program Statistical Package for Social Sciences

(SPSS) versi 16 for Windows. Uji statistik yang digunakan dalam proses

pengolahan data adalah uji Pearson dengan korelasi. Metode ini

digunakan untuk mengetahui hubungan polusi asap pembakaran dengan

dry eye syndrome di Kecamata Gubeng, Kota Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai