Anda di halaman 1dari 17

PENYAKIT AKIBAT KERJA

NEUROTOKSIS AKIBAT METIL ETIL KETON

Disusun Oleh :

Deseli Eka Rahmawati 1710029021

Pembimbing :
Dr. Krispinus Duma, SKM, M.Kes,

Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat
Ilmu Kedokteran Keluarga
Puskesmas Palaran/ Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman Samarinda
Juni 2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Laboratorium
Ilmu Kesehatan Masyarakat mengenai Kedokteran Keluarga di Puskesmas Palaran
Periode Juni 2019. Saya menyadari bahwa keberhasilan penyusunan tugas ini tidak
lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini kami menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:

1. dr. Ika Fikriah, M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas


Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. Dr. Krispinus Duma, SKM, M.Kes, sebagai Kepala Laboratorium Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. Dr. Krispinus Duma, SKM, M.Kes, sebagai pembimbing selama belajar di
Laboratarium Ilmu Kesehatan Masyarakat.
5. Seluruh dokter pengajar di Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat yang
telah mengajarkan ilmunya dan memberikan masukan kepada penyusun.
6. Seluruh staf Puskesmas Palaran yang telah menerima kami di Puskesmas
Palaran dalam rangka kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat.
7. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran kepada
penulis.
Kami membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Samarinda, Juli 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Juduli
Kata Pengantarii
Daftar Isiiii
BAB 1 Pendahuluan4
BAB 2 Kasus5
2.1 Definisi5

2.2 Etiologi6

2.3 Patomekanisme9

2.4 Gejala Klinis11

2.5 Diagnosis12

2.6 Penatalaksanaan13

2.7 Pencegahan14

Daftar Pustaka16

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit akibat kerja disebabkan oleh paparan terhadap bahan kimia dan
biologis, serta bahaya fisik di tempat kerja. Meskipun angka kejadiannya tampak
lebih kecil dibandingkan dengan penyakit-penyakit utama penyabab cacat lainnya,
terdapat bukti bahwa penyakit ini mengenai cukup banyak orang. Khususnya di
negara-negara yang sedang giat mengembangkan industri. Pada banyak kasus,
penyakit akibat kerja ini bersifat berat dan mengakibatkan kecacatan. Akan tetapi
ada dua faktor yang membuat penyakit ini mudah dicegah. Pertama, bahan
penyebab penyakit dapat diidentifikasi, diukur dan dikontrol. Kedua, populasi yang
beresiko biasanya mudah didatangi dan diawasi secara teratur serta diobati.
Selain itu, perubahan-perubahan awal seringkali dapat pulih dengan
penanganan yang tepat.Kerusakan saraf pusat dapat terjadi akibat pajanan bahan
kimia yang bersifat neurotoksik, penggunaan obat-obatan yang bersifat
neurotoksik, dan memiliki gangguan metabolisme seperti diabetes atau uremia.
Akan tetapi yang menjadi fokus utama ilmu kesehatan masyarakat adalah hubungan
antara kerusakan neurologis dan zat yang bersifat racun (toksin) yang ditemukan
ditempat kerja.
Gangguan neurotoksik adalah salah satu dari sepuluh penyakit dan cidera
yang berhubungan dengan tempat kerja di Amerika Serikat. Pajanan terhadap racun
seperti timbal, pelarut organik dan insektisida di tempat kerja dianggap
berkontribusi pada perkembangan terjadinya gejala neurobehavioral.
Oleh karena itu, deteksi dini penyakit akibat kerja sangatlah penting. Dengan
demikian, tenaga kerja yang sakit dapat segera diobati sehingga penyakitnya tidak
berkembang dan dapat disembuhkan dengan segera. selain itu juga dapat dilakukan
pencegahan agar tenaga kerja yang lain dapat terlindung dari penyakit tersebut.
Dengan adanya tugas ini, diharapkan dapat menjelaskan sebagian kecil
masalah yang dialami pekerja. Khususnya pekerja yang terkena pajanan pelarut
sintetis seperti metal etil keton (MEK).

4
BAB 2

KASUS

Seorang perempuan yang bekerja pada sebuah pabrik sol sepatu (bottom
sole) datang kepada seorang dokter, dia menjelaskan kepada dokter bahwa dia
memiliki keluhan, diantaranya sakit kepala, pusing, kesemutan yang hilang timbul
semenjak beberapa bulan yang lalu.

“NEUROTOKSIS AKIBAT METIL ETIL KETON”

Penyakit yang disebutkan dalam kasus ini adalah neurotoksis

2.1 Definisi

Neurotoksis adalah sebuah penyakit yang disebabkan toksin yang beraksi di


sel saraf neuron dan biasanya berinteraksi pada protein membran sel.
Neurotoksisitas merupakan kapasitas agen kimia, biologis, atau agen fisik yang
dapat menimbulkan efek merugikan bagi sistem saraf manusia.

Neurotoksisitas menurut the American Enviromental Health Foundation


dalam situsnya adalah kerusakan pada otak dan atau sistem saraf perifer diluar
tulang tengkorak oleh bahan kimia beracun atau bersifat toksik termasuk pelarut
organik, pestisida, timah, timbal, merkuri, cadmium, formaldehid, klorin, fenol, dan
lainnya.

Metil Etil Keton (MEK) merupakan salah satu jenis pelarut dalam dunia
industri. Banyak pelarut yang digunakan dalam industri untuk berbagai tujuan,
antara lain proses ekstraksi: minyak makan, minyak wangi, bahan farmasi, pigmen
dan produk-produk lainnya dari sumber alam. Menghilangkan lemak merupakan
satu contoh penggunaan solven untuk menghilangkan bahan-bahan yang tidak
diinginkan. Solven ditambahkan untuk memudahkan pemakaian penyalut (coating)
pada adhesive, tinta, cat, vernis, dan penyegel (sealer). Solven-solven ini mudah

5
menguap, oleh karena itu, mereka dengan sengaja dilepaskan ke atmosfer setelah
penggunaan.

2.2 Etiologi

Metil etil keton digunakan secara luas dimana solven yang lebih polar
dibutuhkan. Keton dalam jumlah besar digunakan dalam industri penyalut (the
coatings industry), industri sepatu (bottom sole). Seperti aldehid, keton juga bersifat
mengiritasi dan dengan alasan itu ia tidak dibenarkan diinhalasi dalam jumlah yang
berbahaya (in dangerous quantity). Toksisitas bertambah dengan bertambahnya
berat molekul, dan jika ikatan rangkap ditambahkan ke dalam strukturnya. Aseton,
umumnya suatu senyawa yang sangat aman, dan hanya akan menyebabkan
perasaan mengantuk dan iritasi pada dosis yang tinggi.

Metil etil keton sama seperti solven dengan bahaya yang rendah (a low-hazard
solvent), tetapi metil buill keton dimetabolisme, seperti juga heksan, menjadi suatu
neurotoksin yang kuat 2,5 hexsanedione.

Sebagian besar dari bahaya-bahaya di lingkungan kerja diakibatkan oleh


terhirupnya berbagai jenis zat kimia dalam bentuk uap, gas, debu, dan aerosol, atau
kontak kulit dengan zat-zat tersebut. Tingkat resiko yang diakibatkannya
tergantung dari besar, luas dan lama pemaparan.

Untuk mengenal faktor-faktor lingkungan kerja, pertama-tama harus diketahui


dahulu bahan-bahan kimia yang digunakan sebagai bahan baku, proses produksi,
dan hasil sampingan serta limbah yang dihasilkan. Sebagian dari informasi tersebut
didapat dari label kemasan bahan tersebut, dari produsennya, atau dari pustaka
dalam bentuk Material Safety Data Sheet (MSDS). Sebagai contoh, tingkat
keparahan (severity) dari penggunaan salven organik tergantung dari berbagai
faktor sebagai berikut:

• Bagaimana cara solven tersebut digunakan

• Jenis pekerjaan dan bagaimana pekerja terpapar

• Pola kerja

• Lama pemaparan

6
• Suhu lingkungan kerja

• Tingkat ventilasi

• Tingkat penguapan dati solven

• Pola aliran udara

• Konsentrasi uap di udara lingkungan kerja Pemeliharaan dan kebersihan ruang


kerja (housekeeping)

Uap solven dapat masuk ke dalam tubuh terutama melalui inhalasi, walaupun
absorbsi melalui kulit dapat pula terjadi. Uap tersebut akan diabsorbsi dari paru-
paru ke dalam darah, dan didistribusi terutama ke jaringan-jaringan yang
mengandung banyak lemak dan lipid, misalnya sistem syaraf pusat, hati, dan
sumsum tulang.

Banyak bahan-bahan kimia di industri seperti resin dan polimer relatif tidak
toksik dalam penggunaannya pada kondisi normal, namun bila dipanaskan atau
diolah, bahan-bahan tersebut mungkin mengalami dekomposisi dan membentuk
produk sampingan yang sangat toksik. Informasi mengenai produk dan produk
sampingan dapat diperoleh dari produsennya atau dari bagian teknik.

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gejala Neurotoksik


 Usia.
Usia adalah salah satu faktor penting karena ada beberapa penyakit yang menyerang
pada usia tertentu. Bertambahnya usia dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
gangguan kesehatan. Usia balita dan usia lanjut rentan terhadap penyakit karena
usia balita pertahanan belum stabil dan usia lanjut system pertahanan tubuhnya
sudah menurun. Secara Fisiologis dengan bertambahnya usia maka organ akan
mengalami penurunan kemampuan.

 Lama terpajan
Timbulnya gejala Neurotoksik pada pekerja pengecat dapat sangat tergantung pada
lamanya pajanan serta dosis pajanan yang diterima. Pajanan dengan kadar rendah

7
dalam waktu lama mungkin tidak akan segera menunjukan adanya gangguan.
Menurut O’Donoghue Maksimal pekerja terpapar bahan organik pajanan tinggi 4
jam selama sehari. Pekerja yang terpapar pajanan tinggi melebihi 4 jam ditemukan
bahwa pekerja tersebut mengalami radang tenggorokan, kehilangan keseimbangan
tubuh, lemah otot, gelisah, dan depresi.

 Masa kerja
Masa kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian neurotoksik
pada pekerja. Masa kerja penting diketahui untuk melihat lamanya seseorang telah
terpajan dengan sumber penyakit yang dapat mengakibatkan kejadian neurotoksik.)
Semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya
yang ditimbulkan oleh lingkungan kerjanya. Gamble memasukkan pekerja dengan
masa kerja setidaknya 10 tahun pada pekerjaan dengan tingkat pajanan tinggi
memiliki risiko terkena efek merugikan terhadap kesehatannya. Lundberg juga
berpendapat setidaknya 10 tahun pajanan di pertimbangkan sebagai kriteria untuk
mendiagnosis terjadinya chronic toxic encelopathy.

 Penggunaan alat pelindung pernafasan.


Alat pelindung diri adalah salah satu faktor terpenting karena sebagai salah satu alat
untuk mengurangi resiko kecelakaan kerja dan terkena penyakit akibat kerja.
Penggunaan alat pelindung pernafasan adalah salah satu bagian terpenting. Untuk
meminimalkan resiko pajanan bahan kimia bisa berupa uap bahan kimia maka
dianjurkan untuk menggunakan alat pelindung pernafasan dengan tipe filter sesuai
dengan jenis bahaya di tempat kerja. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang alat pelindung diri,
alat pelindung pernafasan adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi
organ pernafasan dengan cara menyalurkan udara bersih dan sehat atau menyaring
cemaran bahan kimia, mikro organisme, partikel dan sebagainya. Alat pelindung
pernafasan terdiri dari banyak jenis salah satunya masker.

8
2.3 Patomekanisme Neurotoksisitas

Beberapa senyawa yang spesifik bagi neuron (neurotoksikan) atau bagi


beberapa bagian neuron dapat mengakibatkan cedera atau kematian neuron
(nekrosis), dan neuron yang hilang itu tidak dapat diganti. Banyaknya fungsi yang
hilang akibat kerusakan system saraf bergantung pada jumlah neuron yang rusak
dan lokasi menetapnya. Beberapa neuron mungkin agak rusak tetapi kerusakannya
tidak permanen, dan dapat kembali menjalankan fungsi normalnya. Kerusakan
permanen dapat menyebabkan hilangnya sensasi dan kelumpuhan. Hal itu juga
dapat menimbulkan efek seperti disorientasi karena sistem saraf mengendalikan
banyak fungsi dalam tubuh, maka hampir semua fungsi seperti wicara, penglihatan,
ingatan, kekuatan otot, dan koordinasi dapat dihambat oleh neurotoksikan

Dibandingkan dengan organ-organ lainnya, saraf merupakan bagian tubuh


manusia yang paling rentan terhadap keracunan akibat zat toksik. Banyaknya jenis
zat toksik yang dapat merusak saraf diakibatkan mudahnya penetrasi zat toksik
yaitu melalui peredaran darah. Peter S. Spencer dalam buku “Neurotoxicity:
Identifying and Controlling Poisons of the Nervous System” mengemukakan alasan
kerentanan sistem saraf terhadap zat-zat toksik sebagai berikut (U.S. Congress,
1990) :
1. Sel-sel saraf tidak dapat mengalami regenerasi ketika sudah rusak.
2. Sel saraf mati dan mengalami perkembangan mundur seiring proses penuaan.
3. Pada bagian saraf tertentu, zat toksik secara langsung berinteraksi dengan
saraf akibat peredaran darah.
4. Banyak zat toksik dapat dengan mudah menembus membran saraf.
5. Tingginya kandungan lemak pada bagian tertentu dari sistem saraf seperti mielin
dapat menimbulkan penumpukan dan menahan zat toksik yang bersifat
lipofilik.
6. Permukaan yang luas dari sistem saraf dapat meningkatkan pajanan terhadap
zat toksik.
7. Transmisi elektrokimia pada sinaps membuka peluang pada zat toksik untuk
berlaku dengan cara selektif untuk merusak fungsi sinaps.
8. Saraf sensitif terhadap kekurangan oksigen dan kebutuhan energi tinggi.

9
2.4 Gejala klinis

Gejala untuk toksisitas otak adalah kehilangan memori jangka pendek,


kehilangan sirkulasi, dan ketidakseimbangan. Gejala yang dirasakan untuk sistem
perifer seperti mati rasa, kesemutan, kehilangan sensasi dan gerakan perubahan
suasana hati (mood) atau perasaan (kecemasan, depresi, kebingungan, kemarahan,
gejala kelelahan ekstrim, kehilangan memori jangka pendek, vertigo,
ketidakseimbangan, dan kurang konsentrasi).

Neurotoksik akibat agen kimia (zat neurotoksik) ditandai oleh disfungsi


neurologis atau perubahan kimiawi dan struktur sistem saraf. Umumnya
bermanifestasi sebagai gejala yang berkelanjutan, tergantung dari dosis dan durasi
pajanan serta faktor yang bersifat individual. Gangguan dapat terjadi pada sistem
saraf baik sentral maupun perifer serta juga organ sensoris. Gerakan, pemikiran,
penglihatan, pendengaran, ucapan, fungsi jantung, respirasi, dan banyak proses
fisiologis lainnya dikendalikan oleh jaringan proses syaraf, pemancar, hormon,
reseptor, dan saluran saraf yang kompleks ini. Setiap sistem tubuh utama dapat
terpengaruh oleh zat beracun, namun sistem saraf sangat rentan terhadap zat
beracun karena sistem saraf tidak seperti sel lain yang membentuk tubuh. Sel saraf
atau neuron biasanya tidak dapat beregenerasi setelah keracunan sampai ke otak.

Oleh karena itu, biasanya bersifat permanen. Banyak zat beracun dapat
mengubah aktivitas normal sistem saraf. Beberapa menghasilkan efek yang terjadi
hampir seketika dan berlangsung selama beberapa jam. Contohnya termasuk
minuman beralkohol atau asap dari sekaleng cat. Efek dari zat neurotoksik lainnya
mungkin muncul hanya setelah paparan berulang selama berminggu-minggu atau
bahkan bertahun-tahun. Misalnya : secara teratur menghembuskan asap pelarut di
tempat kerja atau makan makanan atau air minum yang terkontaminasi timbal.
Beberapa zat secara permanen dapat merusak sistem saraf setelah terpapar tunggal
- pestisida organofosfat dan senyawa logam tertentu seperti timbel trimetil. Banyak
zat neurotoksik dapat menyebabkan kematian saat diserap, dihirup, atau tertelan
dalam jumlah yang cukup besar. Zat neurotoksik memainkan peran kausal yang
signifikan dalam perkembangan beberapa kelainan neurologis dan psikiatri.

10
Kebanyakan solven adalah depresan Susunan Saraf Pusat. Mereka
terakumulasi di dalam material lemak pada dinding syaraf dan menghambat
transmisi impuls. Pada permulaan seseorang terpapar, maka fikiran dan tubuhnya
akan melemah. Pada konsentrasi yang sudah cukup tinggi, akan menyebabkan
orang tidak sadarkan diri. Senyawa-senyawa yang kurang polar dan senyawa-
senyawa yang mengandung klorin, alkohol, dan ikatan rangkap memiliki sifat
depresan yang lebih besar. Solven adalah irritan. Di dalam paru-paru, iritasi
menyebabkan cairan terkumpul. lrritasi kulit digambarkan sebagai hasil primer dari
larutnya lemak kulit dari kulit. Sel-sel keratin dari epidermis terlepas. Diikuti
hilangnya air dari lapisan lebih bawah. Kerusakan dinding sel juga merupakan suatu
faktor. Memerahnya kulit dan timbul tanda-tanda lain seperti inflamasi. Kulit pada
akhirnya sangat mudah terinfeksi oleh bakteri, menghasilkan ruam dan bisul
pemanah. Pemaparan kronik menyebabkan retak-retak dan mengelupasnya kulit.

2.5 Diagnosis

WHO menyebutkan gejala-gejala mendukung gangguan saraf akibat zat toksik


adalah sebagai berikut :

1. Rasa lelah yang berlebihan setelah bekerja dan ketika bangun.


2. Sering mengantuk saat siang hari.
3. Sering terbangun pada malam hari (diluar kebiasaan).
4. Mimpi buruk.
5. Dimensia atau sulit mengingat.
6. Kehilangan ide.
7. Sulit berkonsentrasi.
8. Merasa tertekan atau stress.
9. State mudah berubah.
10. Sakit kepala dan vertigo.
11. Jantung berdebar-debar.
12. Berkeringat berlebihan.
13. Tremor dan mati rasa pada jemari.

11
2.6 Penatalaksanaan

 Penanggulangan Dini Neurotoksis :

Penanggulangan keracunan perlu dilakukan untuk kasus akut maupun kronis.


Kasus akut lebih mudah dikenal sedangkan kasus kronis lebih sulit dikenal. Pada
kasus kecacunan akut, diagnosis klinis perlu segera dibuat. Ini berarti
mengelompokkan gejala-gejala yang diobservasi dan menghubungkan dengan
golongan xenobiotik yang memberi tanda-tanda keracunan tersebut. Hal ini tentu
membutuhkan pengetahuan luas tentang suatu toksis semua zat kimia. Tindakan
dini dapat dilakukan sebelum penyebab pasti dari kasus diketahui, karena sebagian
besar keracunan dapat diobati secara simtomatis menurut kelompok kimianya.

Beberapa contoh tindakan yang perlu dilakukan pada kasus keracunan akut
adalah sebagai berikut:

 Penurunan kesadaran :

Penderita hilang kesadarannya. Periksalah apakah penderita masih bernafas


teratur sekitar 20 kali semenit. Bila tidak bernafas maka perlu dilakukan pernafasan
buatan. Dalam keadaan koma penderita harus segera dibawa ke rumah sakit yang
besar yang biasa merawat kasus keracunan. Jangan diberi minum apa-apa, dan
hanya boleh dirangsang secara fisik untuk membangunkan seperti mencubit ringan
atau menggosok kepalan tangan di atas tulang dada (sternum). Obat perangsang
seperti kafein tidak boleh diberikan persuntikan. Bila muntah, tidurkanlah
telungkup supaya muntahan tidak terhirup dalam paru-paru.

 Kejang :

Bila terdapat kejang maka penderita perlu diletakkan dalam sikap yang enak
dan semua pakaian dilepas. Menahan otot lengan dan tungkai tidak boleh terlalu
keras, dan di antara gigi perlu diletakkan benda yang tidak keras supaya lidah tidak
tergigit. Penderita keracunan dengan kejang harus diberi diazepam intravena
dengan segera, namun perlu dititrasi, karena bila berlebihan dapat membahayakan.
Penderita juga harus segera dirawat di rumah sakit.

12
Gejala-gejala keracunan perlu dikelompokkan. Misalnya bila terdapat koma
dengan gejala banyak keringat dan mulut penuh dengan air liur berbusa, muntah,
denyut nadi cepat, maka dapat dipastikan bahwa hal ini merupakan keracunan
insektisida organofosfat atau karbamat. Pemeriksaan laboratorium mungkin tidak
diperlukan.

Antidotumnya sangat ampuh. yaitu atropin dosis besar yang diulang-ulang


pemberiannya. Bila terdapat kelompok gejala: kulit kering (tidak lembab), mulut
kering, pupil membesar dan tidak bereaksi terhadap cahaya lampu, serta denyut
jantung cepat, maka dapat dipastikan bahwa racun penyebabnya sejenis atropin.
Bila hal ini disertai dengan denyut jantung yang tidak teratur, maka kemungkinan
besar zat ini merupakan obat antidepresan (yang menyerupai atropin).

Pengenalan penyebab keracunan harus didasarkan pada pengetahuan sifat-


sifat obat dan zat kimia dalam kelompok-kelompok gejala seperti di atas. Walaupun
secara pasti belum dapat ditentukan zat kimianya, namun pengenalan kelompoknya
sudah cukup untuk dapat melakukan upaya pengobatannya. Bila diinginkan
identifikasi zat yang lebih pasti maka diperlukan bantuan laboratorium toksikologi.
Namun perlu disadari bahwa tanpa pedoman diagnosis kelompok penyebab,
laboratorium sulit sekali melakukan testing. Selain itu perlu juga diwaspadai bahwa
setiap keracunan dapat mirip dengan gejala penyakit.

 Manajemen Penderita Neurotoksis :

Tindakan pada kasus keracunan bila tidak ada tenaga dokter di tempat adalah
sebagai berikut:

o Tentukan secara global apakah kasus merupakan neurotoksis


o Bawa penderita segera ke rumah sakit, terutama bila tidak sadar

Sebelum penderita dibawa kerumah sakit, mungkin ada beberapa hal yang perlu
dilakukan bila terjadi keadaan sebagai berikut:

 Bila zat kimia terkena kulit, cucilah segera (sebelum dibawa kerumah sakit)
dengan sabun dan air yang banyak. Begitu pula bila kena mata (air saja).
Jangan menggunakan zat pembersih lain selain air.

13
 Bila penderita tidak benafas dan badan masih hangat, lakukan pernafasan
buatan sampai dapat bernafas sendiri, sambil dibawa ke rumah sakit
terdekat. Bila tanda tanda bahwa insektisida merupakan penyebab, tidak
dibenarkan meniup ke dalam mulut penderita.
 Bila racun tertelan dalam batas 4 jam, cobalah memuntahkan penderita bila
sadar.Memuntahkan dapat dengan merogoh tenggorokan (jangan sampai
melukai)
 Bila sadar, penderita dapat diberi norit yang digerus sebanyak 40 tablet,
diaduk dengan air secukupnya.
 Semua keracunan harus dianggap berbahaya sampai terbukti bahwa
kasusnya tidak berbahaya.
 Simpanlah muntahan dan urin (bila dapat ditampung) untuk diserahkan
kepada rumah sakit yang merawatnya.
 Bila kejang, diperlakukan seperti dibahas di atas.

2.7 Pencegahan

Dalam lingkungan industri, pencegahan merupakan tindakan yang lebih baik


dari pada membiarkan terjadi keracunan. Antisipasi dan tindakan keamanan harus
merupakan upaya pertama. Prinsip kerja secara aman adalah penting, namun sering
dianggap berlebihan karena mengeluarkan biaya lebih banyak dan tidak
menghasilkan nilai tambah yang nyata pada produk.

Pencegahan terjadinya keracunan dalam proses produksi di industri dapat


dilakukan dengan menggunakan zat kimia alternatif yang kurang toksik, dan
mengurangi bahaya dan resiko yang mungkin dapat ditimbulkan pada pekerja dan
lingkungan. Selain itu perlu diusahakan upaya pengamanan seperti menyediakan
tempat penyimpanan yang aman, tersedianya sarana air pembilas di tempat-tempat
strategis, menyediakan dokter perusahaan, melengkapi pekerja dengan masker dan
sarung tangan, dan sebagainya.

Penggunaan bahan kimia di dalam industri makin hari makin meningkat.


Walaupun zat kimia yang sangat toksis sudah dilarang dan dibatasi pemakaiannya,

14
pemaparan terhadap zat kimia yang dapat membahayakan tidak dapat dielakkan
dalam lingkungan kerja. Karena itu proteksi dan sikap hati-hati terhadap
xenobiotik, yaitu semua zat kimia yang dipakai manusia dan potensial dapat masuk
ke dalam tubuh, perlu ditingkatkan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Cahyana, G., Sukrisna, A., Mulyani, T. (2013). Hubungan Paparan Xylene dan
Methil Hippuric Acid pada Pekerja Informal Pengecatan Mobil di Karasak,
Bandung. Tehnik Lingkungan Universitas Kebangsaan.

Dick, F D. (2006). Solvent Neurotoxicity Occupational Environmental (1st ed).


London: Cambridg

Kusnoputranto, H. (2015), Toksikologi Lingkungan, Universitas Indonesia,


Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia
dan Lingkungan, Jakarta.

Manahan, Stanley E. (1994), Environmental Chemistry, sixth edition, Lewis


Publishers,Boca Raton, Ann Arbor, London, Tokyo.

Scott, Ronald McLean. (1989), Chemical Hazard in the Workplace, Lewis


Publishers, Inc., 121 South Main Street, Chelsea, Michigan 48118

Thetkathuek, A., Jaide, W., Saowakhonta, S. (2015). Neuropsychological


Symptoms among Workers Exposed to Toluene and Xylene in Two Paint
Manufacturing Factories in Eastern Tailand. Advances in Preventive
Medicine. 4(9), 521-524.

16
17

Anda mungkin juga menyukai