Anda di halaman 1dari 36

FARMAKOKINETIKA KLINIK KHEMOTERAPI

PASIEN KANKER

Author :

Hesinta Dinda 419018

Supervisor :

Apt. Ovikariani, M.Farm

PROGRAM STUDI FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TELOGOREJO

SEMARANG

2022
APPROVAL PAGE

Review Article

FARMAKOKINETIKA KLINIK KHEMOTERAPI PASIEN KANKER

Semarang, July 28th 2022

Author

Hesinta Dinda Azutika

419018

Confirmed by,

Supervisor

Apt. Ovikariani , M.Farm

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
PENDAHULUAN 1
METODE 2
HASIL DAN PEMBAHASAN 2
KESIMPULAN 5
DAFTAR PUSTAKA 6

3
REVIEW ARTIKEL
Farmakokinetika Klinik Khemoterapi Pasien Cancer
Hesinta Dinda Azustika1
Program Studi Farmasi, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Telogorejo, Semarang, Indonesia

4
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit kanker menjadi salah satu penyakit kronis yang peningkatannya cukup
tinggi saat ini. Menurut World Health Organization atau WHO (2014) kanker
merupakan suatu istilah umum yang menggambarkan penyakit pada manusia berupa
munculnya sel-sel abnormal dalam tubuh yang melampaui batas. Sel-sel tersebut dapat
menyerang bagian tubuh lain.
Kanker adalah salah satu penyebab utama kematian di negara berkembang.
Gumawan Achmad seorang ginekolog (Kompas, 2001) menyatakan bahwa dua pertiga
dari penderita kanker di dunia berada di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada Kabinet
Indonesia Bersatu, Siti Fadilah Supari (2005), menyatakan bahwa kanker telah menjadi
ancaman serius bagi masyarakat Indonesia. Begitu pula dalam sambutannya ketika
membuka Temu Ilmiah Dokter Bedah Onkologi Indonesia ke-1 (1stInternational
Scientific Meeting di Indonesi Society of SurgicalOncologyst/ISSO), beliau
menyatakan bahwa jumlah pasien kanker di Indonesia mencapai 6% dari 200 juta lebih
penduduk Indonesia (Media Indonesia, 2005). Kanker merupakan salah satu penyakit
kronis yang paling mematikan di dunia. Menurut statistik Amerika Serikat, kanker
menyumbang sekitar 23% dari total jumlah kematian di negara tersebut dan menjadi
penyakit kedua paling mematikan setelah penyakit jantung (Anand, Kunnumakara,
Sundaram, Harikumar, Tharakan, Lai, dan Aggarwal, 2008). Setiap 11 menit ada satu
orang penduduk dunia yang meninggal karena kanker dan setiap tiga menit ada satu
penderita kanker baru. Fakta lain menunjukkan bahwa lima besar kanker yang diderita
adalah kanker leher rahim, kanker payudara, kanker ovarium, kanker kulit, dan kanker
rektum (Rasjidi, 2009). Selain itu, Serikat Pengendalian Kanker Internasional (UICC)
mempredikasi akan terjadi peningkatan jumlah penderita kanker sebesar 300% di
seluruh dunia pada tahun 2030. Jumlah tersebut 70% berada di negara berkembang
seperti Indonesia (Kartika, 2013). Purwadianto (dalam Robby, 2014)

1
Anti kanker atau yang sering disebut obat sitostatika merupakan suatu obat yang
digunakan untuk membunuh atau menghambat mekanisme proliferasi sel kanker. Obat
ini bersifat toksik bagi sel kanker itu sendiri maupun sel normal yang proliferasinya cepat,
khususnya sel pada sumsum tulang belakang, sel pada epitel gastrointestinal, dan sel
folikel rambut. Terapi antikanker dapat diberikan secara per oral atau secara parenteral.
Dengan adanya obat antikanker diharapkan memiliki toksisitas selektif, artinya hanya
menghancurkan sel kanker tanpa harus merusak jaringan normal disekitarnya. Tetapi obat
antikanker memiliki efek toksik yang dapat muncul ketika sedang melakukan pengobatan
atau beberapa waktu setelah pengobatan. Efek toksik yang sering muncul antara lain
mual, muntah, tubuh terasa lemas, gangguan hematologis, gangguan gastrointestnal,
toksisitas pada rambut, neurotoksisitas, toksisitas saluran kemih, kelainan metabolik,
hepatotoksisitas, 6 sitotoksisitas, kardiotoksisitas, toksisitas paru, toksisitas gonad,
gangguan indera perasa kelainan otot dan saraf, kelainan pada darah, kulit kering,
produksi hormon tidak stabil, dan lain-lain (Remesh,2012).
Berdasarkan uraian latar belakang di atas perlu dilakukan kajian review artikel
terkait Farmakokinetika Klinik Khemoterapi pada pasien Kanker.

B. Rumusan Masalah
1. Definisi Kanker
2. Pengobatan Kanker
3. Profil Farmakokinetika Klinik Obat Anti Kanker

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
a. Dapat mengetahui tentang penyakit kanker
b. Dapat mengetahui faktor dan penyebab kanker
c. Untuk mengetahui pengobatan Kanker.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui profil farmakokinetika klinik khemoterapi pasien
penderita kanker yang diberi terapi pengobatan anti kanker.

2
D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Menambah keilmuan dalam bidang psikologi Farmakokinetika klinik dan


dapat dijadikan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.
2. Subjek penelitian. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
subjek penelitian tentang Farmakokinetika klinik khemoterapi pasien
kanker.
3. Praktisi penanganan penderita kanker. Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan praktisi dalam memberikan penanganan
kepada penderita kanker.
4. Peneliti selanjutnya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan peneliti
lain yang memiliki bidang minat penelitian yang sama terkait
Farmakokinetika klinik khemoterapi penderita kanker.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Kanker
Kanker merupakan salah satu jenis penyakit tidak menular yang masih menjadi
penyebab kematian terbesar di dunia. Penyakit ini ditandai dengan adanya
pertumbuhan pada sel tubuh yang tidak terkendali yang dapat merusak sel dan
jaringan disekitarnya, bahkan sering berakhir dengan kematian. Penyakit ini dapat
terjadi pada semua usia, insiden terjadinya kanker meningkat secara proporsional
dengan bertambahnya usia (Zdanowicz, 2003).
Dalam kondisi fisiologis, sel hanya akan membelah diri untuk mengganti sel-sel
yang rusak dan mati. Sebaliknya sel kanker tumbuh dan berkembang dengan cepat,
tidak terkendali, serta terus membelah diri yang selanjutnya menyusup kedalam
jaringan di sekitarnya dan terus menyebar melalui jaringan ikat dan darah yang dapat
menyerang saraf, tulang, dan organ sehingga terjadi penumpukan sel baru yang
akhirnya berubah menjadi ganas.

3
2. Faktor Penyebab Kanker
Sampai saat ini, penyebab kanker belum diketahui pasti. Ada banyak faktor
penyebab yang dapat menimbulkan kanker pada bintang percobaan. Namun, hal ini
belum sepenuhnya dapat dibuktikan pada manusia, walaupun patut mendapat
perhatian. Gaya hidup modern dewasa ini juga dapat meningkatkan resiko
pertumbuhan kanker. Misalnya saja kebiasaan merokok, konsumsi minuman keras
yang berlebihan, banyak makan makanan yang berlemak, dan berganti-ganti
pasangan seksual. Karsinogen secara umum dapat diartikan sebagai penyebab yang
dapat merangsang pertumbuhan kanker (Dalimartha, S. 2004).
Faktor Penyebab Kanker antara lain :
1. Umur
Kebanyakan kanker menyerang orang yang berumur di atas 60 tahun. Tetapi tidak
sedikit orang yang jauh lebih muda, bahkan anak-anak di bawah umur lima tahun,
yang juga terkena kanker.
2. Tembakau
Asap rokok/tembakau yang dihirup baik perokok aktif maupun perokok pasif
dapat menyebabkan kanker paru-paru, kanker pita suara, kanker mulut, tenggorokan,
ginjal, kandung kencing, kerongkongan, perut, pankreas, leukemia, dan leher rahim.
Bukan hanya asapnya, bahkan sering menghirup aroma tembakau pun dapat
menyebabkan kanker, dan mengunyah/menghisapnya (misal dalam bentuk susur –
Jw) dapat menyebabkan kanker mulut.
3. Sinar Matahari
Sinar matahari pagi baik untuk kesehatan. Tetapi sinar matahari siang, yang
banyak mengandung ultraviolet, dapat menyebabkan kanker kulit. Gunakan payung,
topi lebar, dan pakaian yang sebanyak mungkin menutup tubuh untuk melindungi
diri dari sinar ultraviolet. Kulit yang tidak terlindungi, sebaiknya diolesi dengan
sunscreen yang mengandung sun protection factor (SPF) paling sedikit 15.Sinar
ultraviolet dapat menembus kaca, pakaian yang tipis, juga dapat dipantulkan oleh
pasir, air, salju, dan es. Perlu diingat, bahwa lampu-lampu ultraviolet yang banyak
dijual di toko juga dapat menyebabkan kanker.
4. Zat-zat Kimia

4
Banyak zat kimia yang ditambahkan dalam makanan/minuman modern yang
dapat menjadi pemicu kanker, misalnya zat pengawet, pewarna buatan, pemanis
buatan, perasa buatan. Padahal, hampir semua makanan/minuman produksi pabrik
atau yang dijual di warung/restoran mengandung zat-zat tambahan tersebut. Tetapi
makanan yang disiapkan di rumah pun belum tentu bebas resiko kanker. Karena
kebanyakan sayur-sayuran dan buah-buahan ditanam dengan mengandalkan pupuk
buatan dan pestisida. Makanan yang dipanggang, dibakar, atau digoreng dengan
minyak jelantah juga berpotensi menyebabkan kanker. Begitu juga air yang terpolusi
deterjen maupun limbah-limbah kimiawi lainnya(walaupun telah dijernihkan).Zat-
zat kimia lain penyebab kanker dapat masuk ke tubuh manusia melalui udara, misal
bensin, asbes, kadmium, nikel, vinil klorida, dan sebagainya.
5. Infeksi Virus dan Bakteri
Beberapa jenis virus dan kuman dapat meningkatkan resiko kanker, antara lain:
a. Virus human papilloma (HPV), merupakan penyebab utama kanker leher
rahim dan dapat meningkatkan resiko timbulnya kanker jenis lain. Virus hepatitis B
dan hepatitis C dapat memicu timbulnya kanker hati. Virus human T-cell
leukemia/lymphoma (HTLV-1) meningkatkan resiko limfoma dan leukemia. Virus
human immunodeficiency (HIV) yang dikenal sebagai penyebab AIDS ini
meningkatkan resiko limfoma dan Kaposi’s sarcoma.
b. Virus Epstein-Barr meningkatkan resiko terjangkitnya limfoma. Virus
human herpes 8 (HHV8) dapat menyebabkan Kaposi’s sarcoma. Helicobacter pylori
penyebab luka lambung dan usus juga dapat menimbulkan kanker disepanjang
saluran pencernaan.
6. Diet, Kegemukan, dan Kurang Gerak
Terlalu banyak mengkonsumsi daging merah dan garam diduga dapat
meningkatkan resiko kanker usus, rektum, dan kanker lain di daerah perut.
Sebaliknya banyak mengkonsumsi sayur dan buah dapat mengurangi resiko kanker
di sepanjang saluran pencernaan.
Kegemukan dan kurang gerak dapat memicu timbulnya kanker payudara,
endometrium, ginjal, usus besar, dan kerongkongan. Untuk mencegahnya, setiap hari
berolahragalah setidaknya selama 30 menit.
7. Alkohol

5
Konsumsi alkohol dapat memicu kanker mulut, tenggorokan, kerongkongan, pita
suara, liver, dan payudara.
8. Hormon
Hormon estrogen yang berlebihan dalam tubuh dapat meningkatkan kemungkinan
terjangkitnya kanker kandungan dan kanker payudara. Sedang hormon progesteron
dapat mencegah timbulnya kanker endometrium, tetapi meningkatkan resiko kanker
payudara. Kedua jenis hormon tersebut banyak digunakan sebagai bahan pil KB
maupun terapi sulih hormon pada wanita menopause. Penggunaan jangka panjang
dapat mengurangi resiko kanker kandungan dan endometrium, tetapi meningkatkan
resiko kanker payudara dan kanker liver.
9. Riwayat Keluarga
Faktor-faktor pemicu di atas baru akan menimbulkan kanker kalau berhasil
membuat sebuah gen dalam inti sel berubah (bermutasi). Jika sistem kekebalan tubuh
tidak mampu memperbaiki atau menghancurkan gen yang mengalami mutasi ini, gen
tersebut membuat sel normal berubah menjadi sel ganas, yang seterusnya
berkembang menjadi kanker. Adakalanya gen pembawa sifat ini kemudian
diturunkan kepada anak, yang membuat anak tersebut memiliki gen yang tidak
normal. Sekalipun demikian gen tidak normal ini belum tentu berkembang menjadi
kanker, karena masih tergantung pada ada-tidaknya pemicu-pemicu lain dan kuat-
tidaknya daya tahan tubuhnya. Lagipula tidak semua jenis kanker diturunkan. Hanya
kanker jenis tertentu yang memiliki kecenderungan diturunkan, yakni melanoma
(kanker kulit), payudara, kandungan, prostat, dan usus besar (Dalamartha,S. 2004).
Gejala Kanker
Pada stadium dini, kanker biasanya belum menimbulkan keluhan atau rasa sakit.
Biasanya penderita menyadari bahwa tubuhnya telah terserang kanker ketika sudah
timbul rasa sakit, padahal saat ada keluhan tersebut kanker sudah memasuki stadium
lebih lanjut. Pengenalan gejala kanker harus dilakukan sedini mungkin, meskipun
tidak ada rasa gangguan atau rasa sakit. Dengan mengetahui serangan kanker yang
masih dalam stadium dini angka kesembuhan semakin besar. Pengenalan gejala
kanker dapat dilakukan sendiri dengan cara WASPADA yang merupakan
kependekan dari istilah-istilah sebagai berikut:
W = Waktu buang air besar atau kecil ada perubahan kebiasaan atau terganggu.

6
A = Alat pencernaan terganggu dan susah menelan.
S = Suara serak dan batuk yang tidak kunjung sembuh.
P = Payudara atau ditempat lain ada benjolan.
A = Andeng-andeng atau tahi lalat berubah sifat, menjadi semakin besar dan gatal.
D = Darah atau lendir yang tidak normal keluar dari lubang-lubang
tubuh.(Mangan, 2009).
Pencegahan Kanker
Kanker dapat dikatakan sebagai penyakit gaya hidup karena dapat dicegah dengan
melakukan gaya hidup sehat dan menjauhi faktor risiko terserang kanker. Berikut
beberapa cara pencegahan kanker secara dini :
1. Hindari makanan tinggi lemak, makanan instan yang mengandung bahan
pewarna dan bahan pengawet, serta makanlah makanan dengan gizi seimbang.
2. Hindari hubungan seksual dengan pasangan yang bukan suami atau istri
sendiri, atau berganti-ganti pasangan.
3. Hindari asap rokok atau berhentilah merokok.
4. Hindari stress dan konflik yang berkepanjangan.
5. Hindari terkena sinar matahari yang berlebihan.
6. Periksakan kesehatan secara berkala.
7. Minumlah air murni yang sudah melaui proses penyaringan misalnya
proses penyaringan reverse osmosis (RO).
8. Hindari terapi hormon sintesis.
9. Hindari penggunaan hormone sintesis saat KB dalam jangka waktu lama.
10. Rutin mengonsumsi vitamin A, C, E, B kompleks, dan suplemen yang
bersifat antioksidan, peningkat daya tahan tubuh, dan pembuang racun. Misalnya,
rutin mengonsumsi klorofil (Mangan, 2009).
3. Anti Kanker

Anti kanker atau yang sering disebut obat sitostatika merupakan suatu obat yang
digunakan untuk membunuh atau menghambat mekanisme proliferasi sel kanker. Obat
ini bersifat toksik bagi sel kanker itu sendiri maupun sel normal yang proliferasinya cepat,
khususnya sel pada sumsum tulang belakang, sel pada epitel gastrointestinal, dan sel
folikel rambut. Terapi antikanker dapat diberikan secara per oral atau secara parenteral.
Dengan adanya obat antikanker diharapkan memiliki toksisitas selektif, artinya hanya

7
menghancurkan sel kanker tanpa harus merusak jaringan normal disekitarnya. Tetapi obat
antikanker memiliki efek toksik yang dapat muncul ketika sedang melakukan pengobatan
atau beberapa waktu setelah pengobatan. Efek toksik yang sering muncul antara lain
mual, muntah, tubuh terasa lemas, gangguan hematologis, gangguan gastrointestnal,
toksisitas pada rambut, neurotoksisitas, toksisitas saluran kemih, kelainan metabolik,
hepatotoksisitas, 6 sitotoksisitas, kardiotoksisitas, toksisitas paru, toksisitas gonad,
gangguan indera perasa kelainan otot dan saraf, kelainan pada darah, kulit kering,
produksi hormon tidak stabil, dan lain-lain (Remesh,2012).
4. Farmakokinetika Klinis
Jadi Farmakokinetik mengacu pada proses dimana obat diserap, didistribusikan,
dimetabolisme, dan dieliminasi oleh tubuh.17 Karena proses ini secara langsung
mempengaruhi konsentrasi obat di organ yang berbeda dari waktu ke waktu, model
matematika apa pun yang menggambarkan efek dari jadwal pengobatan pada evolusi
resistensi harus memasukkan pertimbangan farmakokinetik. Dengan demikian kami
menggunakan data klinis dalam hubungannya dengan model farmakokinetik untuk
menggambarkan konsentrasi obat sebagai fungsi waktu untuk suatu jadwal pengobatan.
Untuk mempelajari dinamika resistensi yang muncul selama jadwal pemberian dosis
tertentu, kami menggabungkan model farmakokinetik dengan model evolusi stokastik
kami dari kanker populasi sel. Kerangka matematis gabungan ini kemudian digunakan
untuk menyelidiki efek proses farmakokinetik pada risiko resistensi. Khususnya, untuk
yang diberikan jadwal pengobatan ditentukan oleh intensitas dosis dari waktu ke waktu,
model farmakokinetik adalah digunakan untuk mendapatkan konsentrasi obat, C(t),
dalam tubuh sebagai fungsi waktu. Kita selanjutnya digunakan hubungan yang ditentukan
secara eksperimental antara konsentrasi obat dan tingkat kelahiran dan kematian individu
yang sensitif dan resisten untuk mendapatkan parameter model stokastik, X(t) dan X(t)
serta Y(t) dan Y(t). Model stokastik adalah kemudian digunakan untuk menyelidiki
dinamika resistensi yang muncul selama terapi farmakologis intervensi diarahkan pada
sel kanker. Metodologi hibrida ini dapat diperluas untuk mencakup: model
farmakokinetik kompleks yang sewenang-wenang dengan banyak kompartemen yang
menggambarkan banyak proses farmakokinetik yang berbeda (Winter ME, 2004).

8
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian pada penelitian ini adalah penelitian kualitatif bersifat analitik
dengan literature review. Literature review adalah pengumpulan data pustaka, atau
penelitian yang objek penelitiannya digali melalui beragam informasi kepustakaan
(jurnal ilmiah, koran, majalah, dan dokumen) untuk mengetahui bagaimana
Farmakokinetika klinik khemoterapi pada pasien kanker.
Tema yang akan diambil pada penelitian ini tentang farmakokinetika klinik
kemoterapi pada pasien kanker. Pemilihan kajian literatur ini dikarenakan ingin
mengetahui bagaimana profil farmakokinetika klinik pada pasien kanker. Framework
yang digunakan adalah mengacu pada PICOS. Proses merumuskan pertanyaan
masalah dapat berdasarkan PICO ataupun PICOS framework.
PICOS framework adalah akronim dari:
1. Population/Problem yaitu populasi atau masalah yang akan dianalisis sesuai
dengan tema yang telah ditentukan dalam literature review.
2. Intervention/Indicators yaitu suatu tindakan atau indikator dari masalah sesuai
dengan tema yang diangkat dalam literature review.
3. Comparation yaitu intervensi yang digunakan sebagai pembanding. Jika tidak
ada dapat menggunakan kelompok kontrol dalam studi yang terpilih.
4. Outcome yaitu hasil atau luaran yang diperoleh pada studi terdahulu yang
sesuai dengan tema dalam literature review.
5. Study design yaitu desain penelitian yang digunakan dalam artikel yang akan
direview.

Population/Problem Pasien Kanker


Intervention / Indicators Farmakokinetika
Comparation -
Outcome Klinik, kemoterapi
Study design Observasi

B. Sumber Data

9
Dalam penelitian ini penulis menggunakan data penelitian sekunder yang
diperoleh dari sumber data jurnal atau artikel Internasional seperti di Google Scholar,
Science Direct, Elsevier, PubMed, Science Direct.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Adapun yang menjadi populasi di penelitian ini adalah jurnal atau artikel
Internasional yang berkaitan dengan Farmakokinetika klinik kemoterapi pasien
kanker.
2. Sampel
Apabila populasi besar dan penulis tidak mungkin mempelajari semua
yang ada pada populasi karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka
penulis dapat menggunakan sampel yang representatif. Sampel dalam penelitian
ini adalah jurnal atau artikel Internasional yang berkaitan dengan
farmakokinetika klinik kemoterapi pasien kanker yang di dapatkan penulis secara
gratis.
3. Kriterian Inklusi dan Eksklusi Jurnal
Kriteria inklusi
1) Naskah literatur berupa artikel jurnal.
2) Literatur yang digunakan full text.
3) Artikel yang diterbitkan di dalam jurnal yang menyajikan hasil berupa
penjelasan bagaimana farmakokinetika klinik pada kemoterapi pada pasien
kanker.
4) Artikel yang di terbitkan di dalam jurnal merupakan studi observasi.
5) Artikel yang diterbitkan di dalam jurnal terbitan tahun 2010-2022.
6) Artikel yang diterbitkan di dalam jurnal berbahasa Inggris.
7) Artikel yang diterbitkan di dalam jurnal yang membahas tentang
farmakokinetika klinik pada kemoterapi pada pasien kanker sesuai dengan tema
dan yang dapat diakses secara gratis.
Kriteria eksklusi
1) Literatur yang diterbitkan di dalam jurnal tidak full text.
2) Artikel tidak memuat informasi yang jelas.
3) Literatur berupa tugas akhir mahasiswa atau laporan penelitian yang tidak

10
dipublikasikan dalam bentuk jurnal ilmiah.
4) Artikel yang diterbitkan di dalam jurnal tidak terbitan tahun 2010-2022.

D. Prosedur Penelitian Literatur


Langkah pertama yang dilakukan dalam literature review adalah mengidentifikasi
masalah yang akan ditinjau. Pada penelitian ini berfokus pada bagaimana
pengetahuan, sikap dan praktik apoteker dalam pelayanan pasien diabetes melitus
tipe 2 dan kualitas hidup, mencari jurnal atau artikel yang berkaitan dengan masalah
ini melalui mesin pencarian seperti Google Scholar, Science Direct, PubMed dengan
menggunakan kata kunci antara lain Clinical pharmacodynamics review of
Chemotherapy for patients Ca; Study of pharmacokinetics including
pharmacodynamic properties, minimum effective levels, minimum toxic levels in the
blood and pharmacogenetics; Pharmacokinetic profile (ex, t1/2, VD, Cp max, and
Tmax) in normal kidney patients and patients with impaired renal function. Setelah
proses identifikasi masalah, langkah selanjutnya adalah screening. Screening adalah
proses penyaringan atau pemilihan data yang gunanya untuk memilih masalah
penelitian yang sesuai dengan tema penelitian. Dalam proses ini pencarian lebih di
spesifikkan lagi dengan memenuhi kriteria inklusi penulis untuk dijadikan sebagai
literatur dalam penulisan literature review. Dalam artikel yang masuk dalam kriteria
inklusi dianalisis, diekstraksi dan disintesis kemudian ditentukan evidancenya. Hasil
ekstraksi dan analisis diharapkan akan ditemukan sebuah kesimpulan yang dapat
dijadikan dasar dalam melakukan literature review.
E. Anilisi Kualitas Data (Sesuai di dalam panduan project)
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun dalam pola, memilih mana yang penting dan akan
dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri
maupun orang lain (Sugiyono, 2016). Aktivitas analisis data sebagai berikut:
1. Reduksi data
Menurut Sugiyono (2016), reduksi data adalah merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.

11
2. Penyajian data
Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar
kategori, flowchart, dan sejenisnya. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan
data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif
(Sugiyono, 2016).
3. Kesimpulan/verifikasi
Kesimpulan adalah langkah terakhir dari suatu periode penelitian yang berupa
jawaban terhadap rumusan masalah (Sugiyono, 2016). Pada bagian ini peneliti
mengutarakan kesimpulan atas data-data yang telah diperoleh, sehingga menjadi
penelitian yang data menjawab permasalahan yang ada.

BAB. IV Hasil Peneltian dan Pembahasan


A. Analisis
Dalam penyusunan literature review ini terdapat 9 jurnal yang akan dianalisis.
1) Menurut penelitian Jasmine Foo, PhD* , Juliann Chmielecki, PhD†, William Pao,
MD, PhD‡, and Franziska Michor, PhD (2012).
Metode pada penelitian ini menggunakan pemodelan matematika dan data uji
klinis yang tersedia untuk memprediksi bagaimana parameter farmakokinetik yang
berbeda (metabolisme cepat versus lambat) dan jadwal dosis (rendah dosis versus
dosis tinggi; dosis yang terlewat dengan dan tanpa dosis tambahan) dapat
mempengaruhi evolusi
resistensi yang dimediasi T790M pada populasi campuran sel tumor.
Dari penelitian yang telah dilakukan, Kami menemukan bahwa pulsa dosis tinggi
dengan terapi kontinu dosis rendah menghambat perkembangan resistensi secara
maksimal, baik sebelum maupun sesudah munculnya resistensi. Probabilitas
resistensi lebih besar pada metabolisme obat cepat versus lambat, menunjukkan
mekanisme potensial, tidak dihargai sampai saat ini, mempengaruhi resistensi yang
didapat pada pasien. dalam kasus modifikasi dosis yang diperlukan karena toksisitas,
sedikit perbedaan yang diamati dalam hal kemanjuran dan dinamika resistensi antara
dosis harian standar (150 mg/hari) dan 150 mg/hari secara bergantian dengan 100
mg/hari. Dosis yang terlewat diperkirakan akan menyebabkan resistensi lebih cepat,
bahkan jika dosis tambahan dicoba.

12
Pada jurnal ini dijelaskan bahwa Dalam artikel ini, kami menguraikan penggunaan
kombinasi evolusioner dan farmakokinetik pendekatan pemodelan untuk mempelajari
kemunculan dan dinamika resistensi yang dimediasi T790M terhadap erlotinib pada
pasien dengan kanker paru-paru mutan EGFR. Kami menggunakan pemodelan
farmakokinetik perspektif yang diinformasikan oleh data subjek manusia untuk
memodelkan konsentrasi erlotinib over waktu dalam plasma pasien untuk jadwal
pemberian dosis yang beragam. Untuk mempelajari evolusi obat-sensitif dan populasi
yang resistan terhadap obat selama jadwal ini, kami menggunakan data kinetik
pertumbuhan dari pasangan isogenik dari garis sel NSCLC dengan dan tanpa mutasi
T790M. Digabungkan jenis data melalui pendekatan pemodelan hibrida baru, kami
dapat menyelidiki manfaat relatif dari berbagai strategi pengobatan dan parameter
farmakokinetik. Kami mempertimbangkan evolusi resistensi selama pemberian dosis
oral harian 25, 50, dan 150 mg serta dosis denyut 1600 mg setiap minggu, dengan dan
tanpa tambahan lanjutan dosis rendah 50 mg sampai 100 mg pada 6 hari tersisa. Kami
menemukan bahwa ketika sel resisten yang sudah ada sebelumnya, semua jadwal
yang mengandung dosis berdenyut lebih unggul dalam menunda waktu untuk
perkembangan penyakit (POD) dengan menghambat pertumbuhan sel resisten.
Namun, ketika resistensi yang sudah ada sebelumnya tidak ada, jadwal dengan 1600
sekali seminggu mg adalah pilihan yang tidak menguntungkan karena kemungkinan
mengembangkan resistensi meningkat karena istirahat pengobatan; selama istirahat
pengobatan, sel-sel sensitif melanjutkan proliferasi, berpotensi mengarah pada
pengembangan resistensi. Sebaliknya, jadwal 1600 mg mingguan ditambah dosis
lanjutan pada 6 hari tersisa mencapai kemungkinan resistensi yang sama dengan dosis
standar 150 mg/hari. Oleh karena itu, kami menyimpulkan bahwa terlepas dari apakah
ada resistensi yang sudah ada sebelumnya, pasien yang diberikan dosis tinggi terapi
berdenyut seminggu sekali ditambah dosis rendah selama 6 hari tersisa akan
menurunkan paling bermanfaat dalam hal mencegah atau menunda perkembangan
penyakit karena resistensi. Kami merekomendasikan agar rejimen ini diuji dalam uji
klinis untuk keamanan, tolerabilitas, dan kemanjuran. Secara anekdot, beberapa
pasien tidak dapat mentolerir rezim 150 mg/hari dan diberikan 150 mg pada hari
alternatif dengan 100 mg, atau dosis harian yang lebih rendah. Kami menunjukkan
bahwa tipe ini perubahan memiliki sedikit efek pada dinamika resistensi karena klon

13
sel resisten tidak secara substansial dihambat oleh erlotinib pada tingkat di bawah 150
mg. Selama dikelola dosis cukup tinggi untuk sebagian besar menghambat reproduksi
sel sensitif, kemungkinan mengembangkan resistensi dan ukuran yang diharapkan
dari klon sel resisten tidak signifikan terpengaruh.
2) Menurut penelitian Bin Peng, Michael Hayes, Debra Resta, Amy Racine-Poon,
Brian J. Druker, Moshe Talpaz, Charles L. Sawyers, Marianne Rosamilia, John
Ford, Peter Lloyd, and Renaud Capdevill (2004).
Metode pada penelitian ini adalah karakteristik farmakokinetik dasar imatinib
mesylate dan menilai hubungan antara farmakokinetik dan farmakodinamik sifat obat,
farmakokinetik dan farmakodinamik dari imatinib diselidiki selama uji coba fase I
yang mencakup 64 orang dewasa pasien dengan leukemia kromosom-positif
Philadelphia. Pasien menerima imatinib secara oral sekali atau dua kali sehari.
Parameter farmakokinetik imatinib, yang diturunkan dari kurva konsentrasi-waktu
plasma. Respon farmakodinamik, didefinisikan sebagai WBC setelah 1 bulan
pengobatan dengan imatinib, digunakan untuk mengembangkan model kemanjuran.
Model efek penghambatan maksimum digunakan untuk menggambarkan hubungan
antara pengurangan WBC dan parameter paparan obat.
Selanjutnya, di teliti Paparan imatinib adalah dosis proporsional setelah
pemberian oral untuk kisaran dosis 25 sampai 1.000 mg. Ada akumulasi obat 1,5
hingga tiga kali lipat setelah pemberian dosis sekali sehari berulang. Rata-rata palung
plasma konsentrasi adalah 0,57 g/mL (sekitar 1 mol/L) 24 jam setelah pemberian 350
mg imatinib pada kondisi mapan, yang melebihi konsentrasi penghambatan 50% yang
diperlukan untuk menghambat proliferasi sel leukemia Bcr-Abl-positif. Analisis
hubungan farmakokinetik/farmakodinamik menunjukkan bahwa hematologi awal
respon tergantung pada dosis yang diberikan untuk pasien dengan leukemia myeloid
kronis. Hasilnya ialah Paparan obat (area di bawah kurva konsentrasi-waktu) adalah
dosis proporsional untuk kisaran dosis 25 sampai 1.000 mg, dan ada akumulasi obat
1,5 sampai tiga kali lipat pada kondisi mapan setelah dosis sekali sehari. Analisis
hubungan antara farmakodinamik (pengurangan WBC) dan parameter
farmakokinetik pada kondisi tunak menunjukkan bahwa dosis 400 mg atau lebih
diperlukan untuk efek farmakodinamik maksimal.

14
3) Menurut review dari Remy B. Verheijen1 , Huixin Yu1 , Jan H.M. Schellens2,3,
Jos H. Beijnen1,3, Neeltje Steeghs2 and Alwin D.R. Huitema (2017).
Menurut artikel bahwa paparan farmakokinetik inhibitor kinase (KI) sangat
bervariasi dan ada hubungan yang jelas antara paparan dan hasil pengobatan, dosis
tetap masih merupakan praktik standar. Ulasan ini bertujuan untuk meringkas data
farmakokinetik dan farmakodinamik klinis yang tersedia menjadi pedoman praktis
untuk dosis individual Kis melalui pemantauan obat terapeutik (TDM). Selain itu,
kami memberikan ikhtisar uji coba TDM prospektif dan mendiskusikan langkah-
langkah masa depan yang diperlukan untuk implementasi TDM KI lebih lanjut.
Selanjutnya Sebagai paparan farmakokinetik (PK) [misalnya, area di bawa kurva
waktu konsentrasi plasma (AUC) atau tingkat palung plasma (Cmin)] sangat bervariasi
antar pasien, beberapa pasien mungkin risiko toksisitas terkait pengobatan karena
paparan tinggi, sementara orang lain mungkin mengalami kemanjuran suboptimal
yang disebabkan oleh rendahnya paparan. Oleh karena itu, PK adalah biomarker yang
relevan dan jelas yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan pengobatan melalui
TDM. Untuk beberapa obat antikanker, target TDM telah direkomendasikan
sebelumnya. Meskipun demikian, perluasan dan pembaruan dari karya-karya
sebelumnya ini dijamin mengingat perkembangan yang pesat dalam onkologi
ditunjukkan oleh volume besar PK baru dan data farmakodinamik (PD) yang telah
tersedia dan banyak agen baru di kelas ini yang telah disetujui di tahun terakhir. Tujuan
dari tinjauan ini adalah untuk mengintegrasikan klinis yang tersedia Data PK dan PD
menjadi rekomendasi praktis yang dapat digunakan untuk mempersonalisasi
perawatan dengan KI yang disetujui untuk pengobatan tumor padat, menggunakan
TDM. Sekilas tentang KI terpilih yang digunakan dalam pengobatan tumor padat dan
sifat farmacokinetic mereka (paling relevan dengan TDM). Pertama, hasil yang
tersedia studi paparan-toksisitas diberikan dan data paparan-respon dibahas.
Konsentrasi untuk metabolit diperhitungkan jika ini telah terbukti aktif secara
farmakologis dan berkontribusi secara substansial terhadap efek antikanker.
4) Menurut review dari Zeina N. Al-Mahayri, George P. Patrinos dan Bassam R. Ali
(2020).
Berdasarkan artikel, Kanker payudara (Breast Cancer) adalah salah satu jenis kanker
yang paling umum di seluruh dunia dengan angka kesakitan dan kematian. Modalitas

15
pengobatan termasuk terapi sistemik, di mana: kemoterapi adalah komponen utama
dalam banyak kasus. Beberapa agen kemoterapi digunakan dalam kombinasi atau
sebagai agen tunggal dengan banyak efek samping yang terjadi pada frekuensi
variabel. Peristiwa ini dapat menjadi penghalang yang signifikan dalan
menyelesaikan perawatan rejimen. Varian genom germline dianggap sebagai penentu
potensial dalam respon kemoterapi dan perkembangan efek samping. Beberapa
farmakogenomik penelitian dirancang untuk mengeksplorasi varian germline yang
dapat digunakan sebagai biomarker untuk memprediksi berkembangnya toksisitas
atau efek samping selama kemoterapi di BC. Di dalam ulasan, di nilai kembali dan
merangkum temuan utama studi farmakogenomik toksisitas kemoterapi selama
manajemen BC. Selain itu, kekurangan menghambat memanfaatkan temuan ini dan
target potensial penelitian masa depan ditekankan. Ketidakcukupan utama dalam
studi farmakogenomik toksisitas berasal dari desain studi, keterbatasan sampel,
heterogenitas gen yang dipilih, varian, dan definisi toksisitas. Dengan munculnya
teknik genotipe throughput tinggi, para peneliti diharapkan untuk jelajahi biomarker
genetik yang teridentifikasi serta potensial dari toksisitas dan kemanjuran untuk
meningkatkan manajemen BC. Namun, untuk mencapai ini, keterbatasan pekerjaan
sebelumnya harus dievaluasi dan dihindari untuk mencapai bukti yang lebih konklusif
dan dapat diterjemahkan untuk personalisasi kemoterapi.
5) Menurut review Jai N Patel (2016).
Dalam artikel Farmakogenomik kanker adalah lanskap yang berkembang dan
memiliki potensi untuk secara signifikan berdampak pada perawatan kanker dan
pengobatan presisi. Memanfaatkan dan memahami kode genetik baik pasien
(germline) dan tumor (somatik) memberikan kesempatan untuk personalisasi
pemilihan dosis dan terapi untuk pasien kanker. Sementara DNA germline berguna
dalam memahami disposisi farmakokinetik dan farmakodinamik suatu obat, terutama
DNA somatik berguna dalam mengidentifikasi target obat dan memprediksi respon
obat. Profil molekuler somatik DNA telah menghasilkan luasnya terapi bertarget yang
tersedia saat ini, memperluas arma mentarium untuk memerangi kanker. Ini
memberikan pembaruan tentang farmakogenomik kanker dan kedokteran berbasis
genomik, tantangan dalam menerapkan farmakogenomik ke pengaturan klinis, dan
perspektif pasien tentang penggunaan farmakogenomik untuk mempersonalisasi

16
Tujuan utama dari jaringan ini adalah untuk mengidentifikasi bagaimana EMR dapat
berfungsi sebagai sumber daya untuk analisis genomik kompleks yang besar dari
penyakit dan hasil terapi di seluruh pasien umum basis populasi. Jaringan ini juga
berfokus pada masalah sosial dan etika, termasuk privasi dan kerahasiaan, sebagai
yang utama perhatian pasien adalah penggunaan dan akses yang tidak sah ke
informasi genetik mereka. Perspektif yang berfokus pada pasien Integrasi pengujian
farmakogenomik ke dalam rutinitas praktik klinis tidak hanya bergantung pada
penerimaan klinisi tetapi juga pada adopsi dan pemahaman pasien tentang risiko dan
manfaat. Apakah tes itu melibatkan penyakit varian kerentanan, metabolisme
obat/farmakokinetik varian, target tumor, dll.
6) Menurut penelitian Liming Weng, Li Zhang, Yan Peng, and R Stephanie Huang
(2013).
Berdasarkan kemajuan dalam farmakogenetik dan farmakogenomik (PGx) secara
bertahap telah mengungkap dasar genetik perbedaan antarindividu dalam respons
obat. Sebagian besar dari ini kemajuan telah dibuat di bidang terapi antikanker. Saat
ini, FDA AS telah memperbarui paket itu menyisipkan sekitar 30 agen antikanker
untuk memasukkan informasi PGx. Mengingat kompleksitas informasi genetik ini
(misalnya, mutasi tumor dan ekspresi berlebih gen, translokasi kromosom dan variasi
germline), serta tingkat variabel ilmiah bukti, rekomendasi FDA dan tindakan
potensial yang diperlukan bervariasi di antara obat-obatan. Di dalam ulasan, kami
telah menyoroti beberapa penemuan PGx ini untuk nilai ilmiah dan kegunaannya di
meningkatkan efektivitas terapi dan mengurangi efek samping. Selanjutnya, contoh
juga disediakan untuk peran PGx dalam pengembangan obat antikanker baru dengan
mengungkapkan target obat baru.
Selain itu Meski menjanjikan, ada banyak tantangan dalam implementasi
pengujian PGx di praktek klinis. Pertama, faktor lingkungan, seperti diet dan obat-
obatan, mempengaruhi farmakokinetik / farmakodinamik, oleh karena itu
meningkatkan kompleksitas replikasi fungsi bio-marker pada pasien individu. Faktor-
faktor ini harus dipertimbangkan ketika melakukan eksperimen validasi klinis atau
meresepkan obat kepada pasien. Kedua, sifat heterogenitas tumor menghadirkan
tantangan terapeutik yang cukup besar karena pilihan pengobatan berdasarkan
biomarker yang ada dalam spesimen biopsi tunggal mungkin tidak relevan.

17
7) Menurut penelitian dari Shaon Chakrabarti dan Franziska Michor (2018).
Pada jurnal penelitian Identifikasi jadwal pemberian obat yang optimal untuk
memerangi munculnya resistensi adalah tantangan utama dalam penelitian kanker.
Keberadaan banyak mekanisme resistensi memerlukan pemberian obat dalam
kombinasi, secara signifikan mempersulit upaya memprediksi dinamika evolusi
kanker dan strategi intervensi yang optimal. Menyeluruh pemahaman tentang faktor
penentu penting dari evolusi kanker di bawah terapi kombinasi adalah oleh karena itu
penting untuk memprediksi hasil pengobatan dengan benar. Di sini kami
mengembangkan yang pertama strategi komputasi untuk mengeksplorasi efek
interaksi farmakokinetik dan obat dalam evolusi model perkembangan kanker –
langkah penting untuk membuat prediksi yang relevan secara klinis. Diemukan bahwa
menggabungkan fenomena ini ke dalam kerangka pemodelan stokastik multi-skala
secara signifikan mengubah jadwal pemberian obat optimal yang diidentifikasi,
seringkali memprediksi strategi non-intuitif untuk terapi kombinasi. Kami
menerapkan pendekatan kami ke fase yang sedang berlangsung-Ib uji klinis
(TATTON) pemberian AZD9291 dan selumetinib untuk kanker paru-paru mutan
EGFR pasien. Hasil kami menunjukkan bahwa jadwal yang digunakan dalam tiga
kelompok percobaan hampir identik khasiat, tetapi sedikit modifikasi dalam frekuensi
dosis kedua obat dapat secara signifikan meningkatkan pemberantasan sel tumor.
Menariknya, kami juga memprediksi bahwa konsentrasi obat lebih rendah dari dosis
yang ditoleransi secara maksimal sama manjurnya, menunjukkan bahwa menurunkan
jumlah total obat diberikan dapat menurunkan toksisitas tanpa mengorbankan
efektivitas obat. Pendekatan ini menyoroti fakta bahwa pengetahuan kuantitatif
farmakokinetik, interaksi obat dan proses evolusi sangat penting untuk
mengidentifikasi strategi intervensi terbaik. Metode berlaku untuk beragam jenis
kanker dan pengobatan dan memungkinkan desain uji klinis yang rasional.
8) Menurut penelitian dari Junichi Nakagawa , TakenoriTakahata , Rui Hyodo , Yu
Chen , Kengo Hasui, Kota Sasaki , Kensuke Saito, Kayo Ueno1 , Kazuhiro
Hosoi1, KazufumiTerui , Atsushi Sato & Takenori Niioka (2021).
Pada penelitian yang dilakukan, Terapi (R-)CHOP memiliki berbagai efek
samping, seperti neuropati perifer, disfungsi jantung, demam, dan neutropenia parah.
Oleh karena itu, dalam praktik klinis, pengurangan dosis obat antikanker sitotoksik

18
kadang-kadang diperlukan. Meskipun demikian, intensitas dosis relatif atau yang
dimaksudkan (DI) yang rendah mengurangi kemanjuran terapi CHOP dan
mempertahankan intensitas perawatan yang tinggi penting untuk keberhasilan
pengobatan DLBCL6-9. DIs ini mungkin terkait dengan paparan farmakokinetik obat
antikanker sitotoksik dalam terapi CHOP. Namun, konsentrasi efektif dan toksik
minimum untuk setiap obat antikanker sitotoksik tidak jelas. Selain itu, ini adalah tidak
jelas apakah penyesuaian dosis berdasarkan luas permukaan tubuh atau usia dapat
digunakan secara seragam untuk menetapkan farmakokinetik obat antikanker
sitotoksik ini. Usia rata-rata pasien DLBCL di Jepang adalah 70 tahun dan jumlah
pasien lanjut usia dengan DLBCL adalah diperkirakan akan meningkat seiring dengan
meningkatnya ukuran populasi yang menua. Pasien lanjut usia umumnya dikenal
menjadi kurang toleran terhadap kemoterapi dibandingkan pasien dewasa10. Dalam
dekade terakhir, rejimen dosis rendah (R)CHOP, seperti (R-)miniCHOP, telah
dikembangkan11-13. Terapi MiniCHOP, yang memberikan perkiraan setengah dosis
dari rejimen CHOP asli, telah menunjukkan kemanjuran dan keamanan pada pasien
berusia 80 tahun keatas.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan area di bawah kurva konsentrasi-waktu
plasma (AUCs) dari vincristine (VCR), doxorubicin (DXR) dan siklofosfamid (CPA)
antara rejimen (R-)CHOP dan (R)miniCHOP. AUC adalah dibandingkan antara pasien
berusia 65-79 tahun yang menerima terapi (R-)CHOP dan mereka yang berusia 80
tahun dan lebih tua menerima (R-) terapi miniCHOP. Usia bukanlah variabel
independen untuk memprediksi dosis yang disesuaikan AUCs (AUC/Ds) obat
antikanker sitotoksik. AUC median DXR dan CPA adalah secara signifikan lebih kecil
pada kelompok (R-)miniCHOP daripada kelompok (R-)CHOP (168,7 vs 257,9 ng
h/mL, P= 0,003, dan 219,9 vs 301,7 g h/mL, P= 0,020, masing-masing). AUC median
VCR menunjukkan tren yang sama tetapi perbedaannya tidak signifikan (24,83 vs
34,85 ng h/mL, P= 0,135). Itu mungkin bahwa AUC dari VCR, DXR, dan CPA pada
pasien berusia 80 tahun dan lebih tua yang menerima (R-)miniCHOP terapi mungkin
lebih rendah daripada pasien berusia 65-79 tahun yang menerima terapi (R-)CHOP.
9) Menurut penelitian dari K. Van der Speeten, K. Govaerts,1 O. A. Stuart, dan P.
H. Sugarbaker.

19
Permukaan peritoneum merupakan tempat kegagalan lokoregional yang diakui
pada keganasan abdomen. Perawatan sebelumnya upaya dengan terapi medis saja
tidak menghasilkan kelangsungan hidup jangka panjang. Selama dua dekade terakhir,
protokol pengobatan baru menggabungkan operasi sitoreduktif dengan kemoterapi
kanker intraperitoneal dan intravena perioperatif telah menunjukkan hasil klinis yang
sangat baik. Ini bertujuan untuk mengklarifikasi dasar farmakologis yang mendasari
rejimen pengobatan ini. Bahan dan Metode yang digunakan merupakan sebuah
tinjauan data farmakologis saat ini mengenai protokol kemoterapi perioperatif ini
dilakukan.Terdapat faktor farmakokinetik dan farmakodinamik yang jelas untuk
perioperatif intraperitoneal dan intravena kemoterapi kanker pada pasien keganasan
permukaan peritoneal.
Sampai saat ini, kemanjuran farmakologis kanker intraperitoneal protokol
kemoterapi dinilai dengan melihat farmakokinetik i.p. dan i.v. kompartemen. Itu
kemanjuran protokol IP kemudian diukur dengan menghitung rasio area di bawah
kurva (AUC) dari eksposur IP atas AUC dari paparan IV. Ini, bagaimanapun, tidak
tidak memperhitungkan variabel farmakodinamik. peristiwa farmakodinamik dari
pengikatan doxorubicin ke nodul tumor menghasilkan konsentrasi intratumoral
daripada yang dapat diprediksi oleh farmakokinetik IP/IV sederhana. Dengan
farmakokinetik identik jumlah doxorubicin muncul di peritoneal difus yang kurang
padat adenomysis (DPAM) subtipe PC keganasan apendiks secara statistik secara
signifikan lebih rendah daripada yang lebih padat peritoneal mucinous carcinomatosis
(PMCA) nodul. Keuntungan farmakokinetik identik (dinyatakan sebagai AUC IP/IV)
menghasilkan tingkat obat yang berbeda sesuai kepadatan nodul tumor; ini
menekankan pentingnya variabel farmakodinamik seperti tumor kepadatan nodul,
ukuran, dan vaskularisasi. Meningkatnya kesadaran akan aspek farmakodinamik dari
protokol pengobatan ini juga telah dilaporkan oleh Ceelen et al. Oleh karena itu,
diusulkan bahwa nodul tumor lebih tepat titik akhir farmakologis dari rasio AUC.

B. Pembahasan
Farmakokinetika dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh
terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti

20
sempit, farmakokinetika khususnya mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi
dari obat dan metabolitnya da dalam darah dan jarigan sebagai fungsi dari waktu.
Dalam fase farmakokinetika termasuk bagian proses invasi dan proses eliminasi
(evasi). Yang dimaksud dengan invasi ialah proses-proses yang berlangsung pada
pengambilan suatu bahan obat ke dalam organisme (absorpsi, distribusi), sedangkan
eliminasi merupakan proses-proses yang menyebabkan penurunan konsentrasi obat
dalam organisme (metabolisme, ekskresi).
Umumnya penyerapan obat dari usus ke dalam sirkulasi berlangsung melalui filtrasi,
difusi, atau transport aktif.
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna
(mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.
Pemakaian topikal. Contoh pemakaian topikal, selain pengobatan lokal pada
penyakit kulit, dapat disebutkan juga pemberian oral adsorbansia atau adstringensia,
pemakaian bronkholitika dalam bentuk aerosol, penyuntikan anestetika lokal ke
dalam jaringan dan pemakaian lokal sitostatika ke dalam kandung kemih.
Keuntungannya pemakaian obat pada kulit ialah umumnya dosis lebih rendah
sedangkan keburukannya ialah bahaya alergi yang umumnya lebih besar.
Pemakaian parenteral. Penyuntikan intravasal (kebanyakan intravena) termasuk
juga infuse ditandai oleh:
a. Dapat diatur dosis yang tepat dan ketersediaan hayati umumnya sebesar
100%. Hanya dalam hal-hal khusus terjadi adsorpsi sebagian bahan obat pada
peralatan infuse dank arena itu mengakibatkan penurunan ketersediaan hayati.
b. Akibat pengenceran yang cepat dalam darah dan akibat kapasitas daparnya
yang besar maka persyaratan larutan yang menyangkut isotoni dan isohidri lebih
rendah dibandingkan dengan penyuntikan subkutan.
c. Bahan obat mencapai tempat kerja dengan sangat cepat.
Oleh karena itu bentuk pemakaian ini terutama dipakai jika faktor waktu yang sangat
penting, misalnya dalam keadaan darurat serta pada pembiusan intravena.
Keburukannya, jika dibandingkan dengan cara pemberian lain, selain biaya tinggi
dan beban pasien (ketakutan akan penyuntikan) juga risiko yang tinggi.

21
Pemakaian oral. Obat-obat paling sering diberikan secara oral karena bentuk obat
yang cocok dapat relatif mudah diproduksi dan di samping itu, kebanyakan pasien
lebih menyukai pemakaian ini. Akan tetapi pemakaian obat secara oral dihindari
untuk bahan obat yang sukar diabsorpsi melalui saluran cerna (strofantin dan
tubokurarin) atau iritasi mukosa lambung. Untuk kasus terakhir dibutuhkan
pembuatan bentuk obat dengan penyalut yang tahan terhadap cairan lambung.
Pemakaian rektal. Pemakaian rektal tetap terbatas pada kasus-kasus yang tidak
mutlak diperlukan kadar dalam darah tertentu dan juga tidak terdapat keadaan
darurat. Hal ini disebabkan oleh kuosien absorpsi sangat berbeda dan kebanyakan
juga sangat rendah.
Karena itu, suppositoria yang mengandung antibiotika ditolak, sebaliknya pemakaian
rektal analgetika dan antipiretika pada bayi dan anak-anak kecil bermanfaat. Di
samping itu, pada pasien yang cenderung muntah atau lambungnya terganggu, lebih
disukai pemakaian rektal sejauh tidak dibutuhkan pemberian parenteral.
2. Distribusi
Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditranspor lebih lanjut bersama
aliran darah dalam sistem sirkulasi. Akibat landaian konsentrasi darah terhadap
jaringan, bahan obat mencoba untuk meninggalkan pembuluh darah dan terdistribusi
dalam organisme keseluruhan. Penetrasi dari pembuluh darah ke dalam jaringan dan
dengan demikian distribusinya, seperti halnya absorpsi, bergantung pada banyak
peubah.
Sering kali distribusi obat tidak merata akibat beberapa gangguan, yaitu adanya
rintangan, misalnya rintangan darah-otak (cerebro-spinal barrier), terikatnya obat
pada protein darah atau jaringan dan lemak. Dalam darah, obat akan diikat oleh
protein plasma dengan berbagai ikatan lemah (ikatan hidrofobik, van der Waals,
hidrogen, dan ionic). Ada beberapa macam protein plasma:
a. Albumin: mengikat obat-obat asam dan obat-obat netral (misalnya steroid)
serta bilirubin dan asam-asam lemak.
b. α-glikoprotein: mengikat obat-obat biasa.
c. CBG (corticosteroid-binding globulin): khusus mengikat kortikosteroid.
d. SSBG (sex steroid-binding globulin): khusus mengikat hormon kelamin.

22
Obat yang terikat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke seluruh tubuh.
Kompleks obat-protein terdisosiasi dengan sangat cepat (t½ ~ a20 milidetik). Obat
bebas akan keluar ke jaringan (dengan cara yang sama seperti cara masuknya) ke
tempat kerja obat, ke jaringan tempat depotnya, ke hati (di mana obat mengalami
metabolisme menjadi metabolit yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk
kembali ke darah) dan ke ginjal (di mana obat/metabolitnya diekskresi ke dalam
urin).
Di jaringan, obat yang larut air akan tetap berada di luar sel (di cairan usus)
sedangkan obat yang larut lemak akan berdifusi melintasi membran sel dan masuk
ke dalam sel tetapi karena perbedaan pH di dalam sel (pH = 7) dan di luar sel (pH =
7,4), maka obat-obat asam lebih banyak di luar sel dan obat-obat basa lebih banyak
da dalam sel.
Proses distribusi khusus yang harus dipertimbangkan ialah saluran cerna. Senyawa
yang diekskresi dengan empedu ke dalam usus 12 jari, sebagian atau seluruhnya
dapat direabsorpsi dalam bagian usus yang lebih dalam (sirkulasi enterohepatik).
Telah dibuktikan penetrasi senyawa basa dari darah ka dalam lambung. Juga bahan
ini sebagian direabsorpsi dalam usus halus (sirkulasi enterogaster).
Satu segi khusus dari cara mempengaruhi distribusi ialah yang disebut pengarahan
obat (drug targetting), artinya membawa bahan obat terarah kepada tempat kerja
yang diinginkan. Efek samping sering terjadi justru karena bahan obat selain bereaksi
dengan struktur tubuh yang diinginkan, ia bereaksi juga dengan struktur yang lain.
Pengarahan obat merangsang suatu sistem pembawa yang sesuai yang
memungkinkan satu transport yang selektif ke dalam jaringan yang dituju dan dengan
demikian memungkinkan kekhasan kerja yang diinginkan.
Sebagai pembawa yang mungkin ialah makromolekul tubuh sendiri maupun
makromolekul sintetik atau sel-sel tubuh misalnya eritrosit. Contoh yang sangat
menarik ialah pengikatan kovalen sitostatika kepada antibodi antitumor. Walaupun
keberhasilan praktis dengan sistem demikian sampai sekarang malah
mengecewakan, tetapi harapan berkembang bahwa melalui penambahan antibodi
monoklon yang makin banyak tersedia, maka keefektifan dapat diperbaiki.
3. Metabolisme

23
Pada dasarnya setiap obat merupakan zat asing bagi tubuh yang tidak diinginkan
karena obat dapat merusak sel dan mengganggu fungsinya. Oleh karena itu, tubuh
akan berupaya merombak zat asing ini menjadi metabolit yang tidak aktif lagi dan
sekaligus bersifat lebih hidrofil agar memudahkan proses ekskresinya oleh ginjal.
Biotransformasi terjadi terutama di dalam hati dan hanya dalam jumlah yang sangat
rendah terjadi dalam organ lain (misalnya dalam usus, ginjal, paru-paru, limpa, otot,
kulit, atau dalam darah.
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi, lalu diangkut melalui sistem
pembuluh darah (vena portae), yang merupakan suplai darah utama dari daerah
lambung-usus ke hati. Dengan pemberian sublingual, intrapulmonal, transkutan,
parenteral, atau rektal (sebagian), sistem porta ini dan hati akan dapat dihindari.
Dalam hati dan sebelumnya juga di saluran lambung-usus seluruh atau sebagian obat
mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan apda umumnya hasil
perubahannya (metabolit) menjadi tidak atau kurang aktif lagi. Maka proses ini
disebut proses detoksifikasi atau bio-inaktivasi. Ada pula obat yang khasiat
farmakologinya justru diperkuat (bio-aktivasi), oleh karenanya reaksi-reaksi
metabolisme dalam hati dan beberapa organ lain lebih tepat disebut bio-transformasi.
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak)
menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan
perubahan ini, obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif tapi sebagian berubah
menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik.
Reaski metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri
dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah oabt menjadi lebih polar
dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif, atau kurang aktif. Sedangkan reaksi fase
II merupakan reaksi konyugasi dengan substrat endogen: asam glukuronat, asam
sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan hasilnya menjadi sangat polar. Dengan
demikian hampir selalu tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I saja atau
reaksi fase II saja, atau reaksi fase I dan diikuti dengan reaksi fase II. Pada reaksi fase
I, obat dibubuhi gugus polar seperti gugus hidroksil, gugus amino, karboksil,
sulfhidril, dan sebagainya untuk dapat bereaksi dengan substrat endogen pada reaksi
fase II. Karena itu, obat yang sudah mempunyai gugus-gugus tersebut dapat langsung
bereaksi dengan substrat endogen (reaksi fase II). Hasil reaksi fase I dapat juga sudah

24
cukup polar untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui reaksi fase II
lebih dulu.
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytochrome P450
(CYP) yang disebut juga enzim mono-oksigenase atau MFO (mixed-function
oxidase) dalam endoplasmic reticulum (mikrosom) hati.
4. Ekskresi
Seperti halnya metabolisme, ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan
penurunan konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi
bergantung kepada sifat fisikokimia (bobot molekul, hatga pKa, kelarutan, tekanan
uap) senyawa yang diekskresi.
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal
melalui air seni disebut ekskresi. Selain itu ada pula beberapa cara lain, yaitu:
a. Kulit, bersama keringat, misalnya paraldehida dan bromida (sebagian).
b. Paru-paru, melalui pernapasan, biasanya hanya zat-zat terbang, seperti
alkohol, paraldehida, dan anastetika (kloroform, halotan, siklopropan).
c. Empedu, ada obat yang dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan empedu,
misalnya fenolftalein (pencahar).
Ekskresi melalui ginjal melibatkan tiga proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif
di tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus. Fungsi ginjal
mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan dan setelah dewasa menurun 1% per
tahun.
Filtrasi glumerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni plasma minus protein. Jadi
semua obat akan keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein tetap tinggal
dalam darah.
Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui
transporter membran P-glikoprotein (P-gp) dan MRP (multidrug-resistance protein)
yang terdapat di membran sel epitel dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk
anion organik dan konyugat dan P-gp untuk kation organik dan zat netral. Dengan
demikian terjadi kompetisi antara asam-asam organik maupun antara basa-basa
organik untuk disekresi.
Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk nonion obat yang larut
lemak. Oleh karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini

25
dimanfaatkan untuk mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam
atau obat basa.
Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi ginjal. Lain
halnya dengan pengurangan fungsi hati yang tidak dapat dihitung, pengurangan
fungsi ginjal dapat dihitung berdasarkan pengurangan kreatinin. Dengan demikian,
pengurangan dosis obat pada gangguan ginjal dapat dihitung.

D. Farmakodinamik Obat
Farmakodinamik ialah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan
fisiologi obat serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme obat ialah
untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan
mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respons yang terjadi.
Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna
dalam sintesis obat baru.
Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel
organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan
biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor
obat merupakan komponen makromolekul fungsional, hal ini mencakup dua konsep
penting. Pertama, obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, obat
tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.
Tujuan pokok percobaan farmakologi adalah penjelasan terhadap pertanyaan, apakah
senyawa yang diuji merupakan obat yang bekerja spesifik atau tidak spesifik.

Senyawa yang bekerja tidak spesifik. Zat berkhasiat ini mempunyai ciri:
1. Tidak bereaksi dengan reseptor spesifik;
2. Karena bekerja hanya pada dosis yang relatif besar;
3. Menimbulkan efek yang mirip walaupun strukturnya berbeda; dan
4. Kerjanya hampir tidak berubah pada modifikasi yang tidak terlalu besar.
Dalam kebanyakan hal, khasiatnya berhubungan dengan sifat lipofilnya. Oleh karena
itu, perbedaan kerjanya dapat dijelaskan dengan koefifien distribusi yang berbeda.
Kemungkinan besar kerja senyawa demikian menyangkut interaksi dengan struktur
lipofil organisme, khususnya struktur membran dalam hal ini fungsi struktur diubah.

26
Yang termasuk dalam obat yang bekerja tidak spesifik antara lain, anestetika inhalasi,
demikian juga zat desinfektan.
Senyawa dengan kerja spesifik. Senyawa golongan ini bekerja melalui interaksi
dengan reseptor spesifik. Efeknya sangat bergantung pada struktur kimia dan dengan
demikian bergantung kepada bentuknya, besarnya, dan pengaturan stereokimia
molekul. Selain itu, bergantung juga pada gugus fungsinya serta distribusi
elektronnya. Senyawa demikian berkhasiat dalam konsentrasi yang lebih kecil
daripada senyawa yang bekerja tidak spesifik. Bahkan perubahan yang sangat kecil
pada struktur kimianya dapat sangat mempengaruhi khasiat farmakologinya.
Senyawa yang berkaitan dengan reseptor yang sama memiliki banyak unsur struktur
yang umum yang disebut gugus farmakofor, dalam tata susun ruang yang sesuai.
Walaupun sudah banyak diketahui tentang efek obat dalam tubuh manusia, akan
tetapi mengenai mekanisme kerjanya belum banyak dipahami dengan baik.
Mekanisme kerja obat yang kini telah diketahui dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Secara fisis, misalnya anestetika terbang, laksansia, dan diuretika osmotis.
Aktivitas anestetika inhalasi berhubungan langsung dengan sifat lipofilnya. Obat ini
diperkirakan melarut dalam lapisan lemak dari membran sel yang karena ini berubah
demikian rupa hingga transport normal dari oksigen dan zat-zat gizi terganggu dan
aktivitas sel terhambat. Akibatnya adalah hilangnya perasaan. Pencahar osmotis
(magnesium dan natrium sulfat) lambat sekali diresorpsi usus dan melalui proses
osmosis menarik air dan sekitarnya. Volume isi usus bertambah besar dan dengan
demikian merupakan rangsangan mekanis atas dinding usus untuk memicu peristaltic
dan mengeluarkan isinya.
2. Secara kimiawi, misalnya antasida lambung dan zat-zat chelasi (chelator).
Antasida, seperti natrium bikarbonat, aluminium, dan magnesium hidroksida dapat
mengikat kelebihan asam lambung melalui reaksi netralisasi kimiawi. Zat-zat chelasi
mengikat ion-ion logam berat pada molekulnya dengan suatu ikatan kimiawi khusus.
Kompleks yang terbentuk tidak toksis lagi dan mudah diekskresikan oleh ginjal.
Contohnya adalah dimerkaprol (BAL), natrium edetat (EDTA), dan penisilamin
(dimetilsistein) yang digunakan sebagai obat rematik.
3. Melalui proses metabolisme pelbagai cara, misalnya antibiotika yang
mengganggu pembentukan dinding sel kuman, sintesa protein, atau metabolisme

27
asam nukleinat. Begitu pula antimikroba mencegah pembelahan inti sel dan diuretika
yang menghambat atau menstimulir proses filtrasi contoh lain adalah probenesid,
suatu obat encok yang dapat menyaingi penisilin dan derivatnya (antara lain
amoksisilin) pada sekresi tubuler, sehingga ekskresinya diperlambat dan efeknya
diperpanjang.
4. Secara kompetisi (saingan), di mana dapat dibedakan dua jenis, yakni
kompetisi untuk reseptor spesifik atau untuk enzim.
Ikatan antara obat denga reseptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan
ion, hidrogen, hidrofobik, van der Waals), mirip ikatan antara substrat dengan enzim,
jarang terjadi ikatan kovalen.
Yang dimaksud dengan reseptor adalah makromolekul (biopolimer) khas atau
bagiannya dalam organisme, yakni tempat aktif biologi, tempat obat terikat.
Persyaratan untuk interaksi obat-reseptor adalah pembentukan kompleks obat-
reseptor. Apakah kompleks ini terbentuk dan seberapa besar terbentuknya
bergantung pada afinitas obat terhadap reseptor. Kemampuan suatu obat untuk
menimbulkan suatu rangsang dan dengan demikian efek, setelah membentuk
kompleks dengan reseptor disebut aktivitas intrinsik. Aktivitas intrinsik menentukan
besarnya efek maksimum yang dicapai oleh masing-masing senyawa.
Secara farmakodinamik dapat dibedakan dua jenis antagonisme farmakodinamik,
yakni:
1. Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada sistem fisiologik yang sama
tetapi pada sistem reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin dan autakoid
lainnya yang dilepaskan tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi
dengan pemberian adrenalin.
2. Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme melalui sistem reseptor
yang sama (antagonisme antara agonis dengan antagonisnya). Misalnya, efek
histamin yang dilepaskan dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian
antihistamin yang menduduki reseptor yang sama.
Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif.
Antagonisme kompetitif. Dalam hal ini, antagonis mengikat reseptor di tempat
ikatan agonis secara reversibel sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi.
Dengan demikian hambatan efek agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar

28
agonis sampai akhirnya dicapai efek maksimal yang sama. Jadi, diperlukan kadar
agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efej yang sama.
Antagonism nonkompetitif. Hambatan efek agonis oleh antagonis nonkompetitif
tidak dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal
yang dicapai akan berkurang tetapi afinitas terhadap reseptornya tidak berubah.
Pengobatan pasien kanker dengan Kemoterapi menggunakan Prinsip kerja dengan
meracuni atau membunuh sel - sel kanker, mengontrol pertumbuhan sel kanker, dan
menghentikan pertumbuhannya agar tidak menyebar atau untuk mengurangi gejala-
gejala yang disebabkan oleh kanker. Kemoterapi terkadang merupakan pilihan
pertama untuk menangani kanker. Kemoterapi bersifat sistematik, berbeda dengan
radiasi atau pembedahan yang bersifat setempat, karenanya kemoterapi dapat
menjangkau sel-sel kanker yang mungkin sudah menjalar dan menyebar ke bagian
tubuh yang lain. Penggunaan kemoterapi berbeda-beda pada setiap pasien, kadang-
kadang sebagai pengobatan utama, pada kasus lain dilakukan sebelum atau setelah
operasi dan radiasi. Pengobatan kanker dengan kemoterapi, efeknya tidak hanya
berdampak pada tubuh yang terkenakanker saja tetapi dapat mempengaruhi kondisi
tubuh secara keseluruhan. Sel-sel tubuh yangsemula normal dapat menjadi rusak.
Apabila kerusakan telah mencapai saluran gastrointestinalmaka akan terjadi diare,
konstipasi, dan mal absorbsi. Meskipun demikian efek pada saluran gastrointestinal
ini hanya berlangsung sementara.Setelah beberapa hari akan tumbuh sel-sel barudan
selanjutnya fungsi saluran gastrointestinal pun dapat normal kembali. Gangguan lain
yang dapat timbul adalah ganguan indra perasa, nausea,vomiting, water retention,
dan pembengkakan .Setelah, kemoterapi selesai maka gangguan tersebut akan hilang
dan status gizi dapat menjadi lebih baik. Steroid yang digunakan saat kemoterapi
memerlukan pembatasan dalam intake natrium dan karbohidrat karena adanya
penimbunan cairan dan meningkatnya kadarglukosa serum. Efek samping yang
terjadi selama kemoterapi ini membuat pasien kanker sulit untuk mengkonsumi zat
gizi secara optimal. Dengan demikian perlu penanganan lebih lanjut padapasien
kemoterapi ini agar pasien dapat memperbaiki status gizinya secara optimal.Tingkat
keberhasilan kemoterapi juga berbeda-beda tergantung jenis kankernya. Kemoterapi
biasa dilakukan di rumah sakit, klinik swasta, tempat praktek dokter, ruang operasi

29
(walaupun jarang dilakukan) dan juga di rumah (oleh perawat, penderita sendiri, atau
anggota keluarga lainnya).
Efek samping kemoterapi adalah terjadi penurunan jumlah sel-sel darah (akan
kembali normal sekitar seminggu kemudian), infeksi (ditandai dengan panas , sakit
tenggorokan, rasa panas saat kencing, menggigil dan luka yang memerah, bengkak,
dan rasa hangat), anemia, pendarahan seperti mimisan, rambut rontok, kadang ada
keluhan seperti kulit yang gatal dan kering, mual dan muntah, dehidrasi dan tekanan
darah rendah, sembelit/konstipasi, diare, gangguan sistem syaraf.
Pengobatan dengan sitostatika bisa menimbulkan demam hingga menggigil, selain
itu dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada sumsum tulang sehingga jumlah
sel darah putih menurun atau lekopenia. Dalam keadaan ini dapat menyebabkan
turunnya daya tahan tubuh disamping itu juga terjadi penurunan jumlah trombosit
yang menyebabkan timbulnya pendarahan apalagi bila disertai erosi saluran
pencernaan. Pada saluran pencernaan hal itu bisa menimbulkan diare, gastritis,
sariawan, ulkus lambung, ataupun ileus. Melemahnya otot jantung akan
menyebabkan kegagalan jantung untuk memompa darah, komplokasi lain yang dapat
terjadi adalah terbentuknya jaringan ikat atau pibrosis di paru-paru dan hati,
kerusakan ginjal, hiperpigmentasi, rambut rontok, rasa kesemutan, pendarahan
rahim, kecing berdarah dan sebagainya. Komplikasi-komplikasi tersebut tergantung
jenis obat sitostatika yang diberikan.
BAB V. Kesimpulan
A. Kesimpulan
Pada Dari beberapa pernyataan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan
tubuh yang tidak normal.
2. Di Indonesia, hasil survei Riset Kesehatan Dasar menunjukkan angka prevalensi
penyakit tumor/kanker sebesar 4,3 per 1000 penduduk (Kementerian Kesehatan,
2007). Kanker sebagai penyebab kematian menempati urutan ke tujuh (5,7% dari
seluruh penyebab kematian) setelah kematian akibat stroke, tuberkulosis, hipertensi,
cedera, perinatal, dan diabetes melitus.
3. Faktor penyebab kanker :
a. Umur

30
b. Tembakau
c. Sinar Matahari
d. Zat-Zat Kimia
e. Infeksi Virus dan Bakteri
f. Diet, Kegemukan, dan Kurang Gerak
g. Alkohol
h. Hormon
i. Riwayat Keluarga
Dampak Kanker yaitu Pertumbuhan sel kanker dapat menekan (kompresi) organ-
organ tubuh disekitarnya sehingga menyebabkan luka (erosi), bahkan luka tembus
(perforasi) berbagai organ. Secara tidak langsung, kanker menyebabkan banyak
gangguan, seperti timbul demam, berat badan turun, tidak nafsu makan, kurang darah
(anemia), rasa lemas, maupun daya tahan tubuh menurun. Pengobatan dengan
sitostatika bisa menimbulkan demam hingga menggigil, selain itu dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada sumsum tulang sehingga jumlah sel darah
putih menurun atau lekopenia.
Strategi dan prinsip umum yang kami usulkan memerlukan validasi di klinik di masa
mendatang. pentingnya akuntansi untuk farmakokinetik dan interaksi obat dalam
membangun model prediksi terapi kombinasi. Oleh karena itu, pendekatan ini
penting. Pendekatan pemodelan tidak memperhitungkan efek dari sistem kekebalan,
the matriks ekstraseluler dan banyak faktor ekstrinsik sel lainnya yang diketahui
mempengaruhi dinamika sel kanker. Ini adalah bidang penelitian aktif, dan sebagai
model eksperimental sistem memungkinkan karakterisasi yang lebih baik dari efek
tersebut, model evolusi akan menjadi lebih akurat dan dapat diterjemahkan ke klinik.
B. Saran
Review dilakukan dengan meninjau artikel penelitian yang berkaitan dengan
aktivitas Farmakokinetika klinik kemoterapi pada pasien kanker.. Data dapat
ditemukan dari pangkalan data seperti Google Scholar dan Pubmed. Dalam
mereview penelitian-penelitian dengan topik terkiait aktivitas farmakokinetika
dengan digunakan tema Pengobatan kanker dan sub tema Kemoterapi pada pasien
dengan metode Perbandingan obat obatan. Kriteria artikel atau jurnal yang digunakan

31
dalam review artikel ini yaitu jurnal dengan teks lengkap, jurnal dengan range tahun
2004-2022.

DAFTAR PUSTAKA

Foo, J., Chmielecki, J., Pao, W., & Michor, F. (2012). Effects of pharmacokinetic
processes and varied dosing schedules on the dynamics of acquired resistance to
erlotinib in EGFR-mutant lung cancer. Journal of Thoracic Oncology, 7(10),
1583-1593.
Peng, Bin, et al. "Pharmacokinetics and pharmacodynamics of imatinib in a phase I trial
with chronic myeloid leukemia patients." Journal of Clinical Oncology 22.5
(2004): 935-942.
Verheijen, R. B., Yu, H., Schellens, J. H., Beijnen, J. H., Steeghs, N., & Huitema, A. D.
(2017). Practical recommendations for therapeutic drug monitoring of kinase
inhibitors in oncology. Clinical Pharmacology & Therapeutics, 102(5), 765-776.
Al-Mahayri, Z. N., Patrinos, G. P., & Ali, B. R. (2020). Toxicity and pharmacogenomic
biomarkers in breast cancer chemotherapy. Frontiers in pharmacology, 11, 445.
Patel, J. N. (2016). Cancer pharmacogenomics, challenges in implementation, and
patient-focused perspectives. Pharmacogenomics and personalized medicine, 9,
65.
Weng, L., Zhang, L., Peng, Y., & Huang, R. S. (2013). Pharmacogenetics and
pharmacogenomics: a bridge to individualized cancer
therapy. Pharmacogenomics, 14(3), 315-324.
Chakrabarti, S., & Michor, F. (2017). Pharmacokinetics and Drug Interactions Determine
Optimum Combination Strategies in Computational Models of Cancer
EvolutionPharmacokinetics and Drug Interactions in Cancer Evolution. Cancer
research, 77(14), 3908-3921.
Nakagawa, J., Takahata, T., Hyodo, R., Chen, Y., Hasui, K., Sasaki, K., ... & Niioka, T.
(2021). Evaluation for pharmacokinetic exposure of cytotoxic anticancer drugs in
elderly patients receiving (R-) CHOP therapy. Scientific Reports, 11(1), 1-8.
Van der Speeten, K., Govaerts, K., Stuart, O. A., & Sugarbaker, P. H. (2012).
Pharmacokinetics of the perioperative use of cancer chemotherapy in peritoneal
surface malignancy patients. Gastroenterology Research and Practice, 2012.

32

Anda mungkin juga menyukai