Anda di halaman 1dari 40

UNIVERSITAS INDONESIA

KONSEP DASAR KEGANASAN

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Keperawatan Medikal Bedah III

DisusunOleh:
Focus Group 4

Aji Purnomo 1806139853

Alya Ishfahanie 1806203502

Annisa Sanubari 1806139903

Dzakiyyah Alya Yusriyah 1806203566

Meksi Paldo Rerung 1806140136

Nethania Citra Susanti 1806203370

Vera Setianingsih 1806203616

Program Sarjana Ilmu Keperawatan

Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia

Depok

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah pada mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah III. Makalah ini membahas Konsep Dasar Keganasan, untuk memenuhi
tujuan pada tugas Question Based Learning (QBL), yaitu mampu mengetahui terapi
radiasi, biotherapy, dan targeted therapy pada manajemen kanker. Makalah ini juga
disusun sebagai alat untuk menambah ilmu pengetahuan serta informasi. Oleh
karena itu, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat secara luas dalam
kehidupan sehari-hari.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ners Muhamad Adam, S.Kep.,


M.Kep., Sp.Kep.MB., selaku fasilitator mata kuliah Keperawatan Medikal Bedal II
kelas A, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia yang telah
membimbing penulis dalam proses pembuatan makalah ini. Pembuatan makalah
ini, berusaha disusun dengan mengikuti kaidah penulisan makalah yang baik dan
benar. Namun, penulis sadar masih terdapat kekurangan dalam penulisan. Oleh
karena itu, penulis terbuka untuk menerima kritik dan saran dari pembaca.

Kamis, 1 Mei 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
1.3. Tujuan ............................................................................................................ 1
BAB II ISI ............................................................................................................... 2
2.1 Efek Radiasi dalam Manajemen Kanker ........................................................... 2
2.2 Prinsip Radiobiologi pada Manajemen Kanker ................................................ 4
2.2.1 Radiobiologi............................................................................................ 4
2.2.2 Respon sel pada radiasi ........................................................................... 5
2.3 Perencanaan Simulasi dan Terapi Radiasi pada Manajemen Kanker ............. 13
2.3.1 Simulasi Terapi ..................................................................................... 13
2.3.2 Penggambaran Radiografi.................................................................... 19
2.4 Pemberian Terapi Radiasi Eksternal dan Internal pada Manajemen Kanker .. 23
2.5 Manajemen Keperawatan Terapi Radiasi ....................................................... 25
2.6 Biotherapy pada Manajemen Kanker .............................................................. 26
2.6.1 Sitokin ................................................................................................... 27
2.6.2 Bacillus Calmette-Guérin (BCG)......................................................... 28
2.6.3 Imiquimod ............................................................................................. 29
2.6.4 Vaksin kanker ....................................................................................... 29
2.7 Terapi Target pada Manajemen kanker.......................................................... 30
BAB 3 ................................................................................................................... 32
PENUTUP ............................................................................................................. 32
3.1. Kesimpulan .................................................................................................... 32
3.2. Saran ............................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35

iii
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kanker mengacu pada salah satu dari banyak penyakit yang ditandai dengan
perkembangan sel abnormal yang membelah secara tidak terkendali dan memiliki
kemampuan untuk menyusup dan menghancurkan jaringan tubuh normal. Kanker
seringkali memiliki kemampuan untuk menyebar ke seluruh tubuh Anda.

Kanker adalah penyebab kematian nomor dua di dunia. Tetapi tingkat


kelangsungan hidup meningkat untuk berbagai jenis kanker, berkat perbaikan
dalam skrining, pengobatan dan pencegahan kanker. Jenis kanker bermacam-
macam, menurut WHO tahun 2020, dari data Globocan 2020 didapatkan 10 kanker
yang paling banyak di dunia yang menyebabkan kematian, yaitu kanker payudara,
kanker serviks uterus, kanker paru, kanker kolorektum, kanker prostat, kanker
ovariun, kanker hati, kanker nasofaring, kanker limfoma, dan kanker Leukemia.

Dalam mengatasi dan mengobati kanker, diperlukan adanya pengobatan-


pengobatan khusus, seperti terapi radiasi, terapi tertarget, serta bioterapi.
Pengobatan-pengobatan untuk kanker juga perlu ditingkatkan, agar berkurangnya
penderita kanker. Selain pengobatan, diperlukan juga manajemen keperawatan
yang baik untuk setiap pasien kanker, agar kebutuhan mengenai biologi, psikologi,
sosial, spiritual pasien tetap terpenuhi.

1.2. Rumusan Masalah


Jika terapi Radiasi dapat diberikan dengan baik, maka keberhasilan
pengobatan kanker akan dapat dicapai secara Optimal.

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui Tujuan dan jenis dari terapi radiasi
2. Memberikan pemahaman terhadap dampak efek samping dari radiasi
3. Mengetahui peran keperawatan dalam manajemen Radiasi.
4. Mengetahui fokus asuhan keperawatan dalam manajemen terapi radiasi

1
BAB II ISI

2.1 Efek Radiasi dalam Manajemen Kanker


Terapi radiasi merupakan metode terapi yang paling umum kedua dalam
mengobati kanker setelah kemoterapi, setidakya sekitar 60% akan menerima
radiasi (Yarbro, C. H., Wujcik, D., Gobel, 2011). Terapi radiasi, atau
radioterapi ini menggunakan radiasi pengion berenergi tinggi untuk membunuh
kanker. Radiasi pengion menembus sel jaringan dan menyimpan energi yang
menyebabkan kerusakan pada kromosom di dalam sel, sehingga mencegah
kemampuan sel untuk mereplikasi. Sel ganas yang berkembang biak dengan
cepat lebih sensitif terhadap radiasi, dan akan mempengaruhi sel yang
mengalami mitosis (sel kanker) menjadi ke dalam siklus pertumbuhan yang
lebih lambat (sel normal). Namun, dalam terapi radiasi ini ada berbera efek
yang ditimbulkan. Pada lembar tugas ini akan membahas mengenai efek-efek
akibat radiaoterapi dalam manajemen kanker.
Efek samping radiasi secara umum menurut Yarbro (2011), ada skin
reaction, fatigue (90%–100%), weight loss dan myelosuppression. Skin
reaction atau juga bisa disebut dengan radiodermatitis merupakan reaksi yang
terjadi pada jaringan kulit karena radioterapi. Efek pada skin reaction ini dapat
berupa acute skin effect dan late skin effect. Pada acute skin effect yang tejadi
hitungan jam sampai 3 bulan setelah terapi. Ada beberapa stage yang penting
untuk diukur oleh perawat diantaranya yaitu: early eritema, prominent
erythema, dry desquamation, moist desquamation, folli colitis dan
hyperpigmentation. Pada late skin effect terjadi karena respon akumulasi yang
bisa berupa: photosensiivity, pigmentation change, atrophy, fibrocis
(pembentukan jaringan parut yang tidak normal) di usus kecil, paru-paru, dan
kandung kemih; katarak; gangguan dalam pembentukan sel darah;
kemandulan; dan kanker baru, telangictasia dan ulceration dan necrotic.
Fatigue menurut The National Comprehensive Cancer Network
(NCCN) adalah kondisi dimana ada perasaan tertekan, presisten, subjektif pada
keluhan fisik, emosioanal, dan kelelahan yang berhubungan dengan
penngobatan kakner sehingga aktivitas menjadi terganggu (Yarbro, C. H.,
Wujcik, D., Gobel, 2011). Penyebab dari kelelahan ini tidak diketahui, dan

2
meningkat dengan perawatan radiasi yang terus berlanjut. Namun menurut
Ignatavius (2018), kelelahan mungkin terkait dengan peningkatan kebutuhan
energi yang dibutuhkan untuk memperbaiki sel yang rusak. Diperlukan edukasi
kepada klien dan keluarga terkait aktivitas yang seimbang. Penelitian
menunjukan aktivitas seimbang yang terbukti meningkatkan konsentrasi dan
kemampuan secara keseluruhan berpikir jernih, yang memungkinkan pasien
untuk berpartisipasi lebih banyak sepenuhnya dalam perawatan dan aktivitas
sehari-hari (Yarbro, C. H., Wujcik, D., Gobel, 2011).
Efek yang selanjutnya yaitu myelosupression. Myelosuppression
menurut National Cancer Institute ialah suatu kondisi saat aktivitas sumsum
tulang menurun, mengakibatkan lebih sedikit sel darah merah, sel darah putih,
dan trombosit. Sehingga pada Myelosuppression akan terjadi depresi fungsi
sumsum tulang, jika tempat produksi sumsum diradiasi, mengakibatkan
anemia (penurunan sel darah merah, hemoglobin, atau volume dikemas sel
darah merah), leukopenia (penurunan putih jumlah sel darah), dan
trombositopenia (penurunan jumlah trombosit)(Timby, Barbara K., & Smith,
2010).
Efek samping lain yang dapat terjadi akibat kerusakan sel-sel normal di
area yang diradiasi dan sel khusus diantaranya sebagai berikut (Timby, Barbara
K., & Smith, 2010): alopecia (rambut rontok), eritema (kemerahan lokal dan
peradangan pada kulit), deskuamasi (pengelupasan epidermis, yang bisa
menjadi kering atau lembab), perubahan pada mukosa mulut, termasuk
stomatitis (radang mulut), xerostomia (mulut kering), perubahan atau
hilangnya rasa, dan penurunan air liur, Anoreksia (kehilangan nafsu makan),
mual dan muntah, diare, sistitis (radang kandung kemih), dan pneumonitis
(radang paru-paru). Terapi radiasi juga dapat berkontribusi pada perkembangan
penyakit kardiovaskular melalui efek pada aliran darah kolateral dan dengan
meningkatkan risiko aterosklerosis dari waktu ke waktu. Itu dihipotesiskan
area tertentu di jantung mungkin lebih rentan terhadap radiasi
(Ignatavicius,2018).

3
(Ignatavicius,2018)
Penggunaan terapi radiasi yang sebagian besar digunakan oleh
pengidap kanker memiliki banyak efek. Untuk itu perawat harus
mnegetahui dan memberikan asuhan yang sesuai dengan kondisi klien.
Selain itu juga memberikan edukasi kepada klien dan keluarga terakit efek
yang mungkin terjadi, sehingga tidak semakin parah.

2.2 Prinsip Radiobiologi pada Manajemen Kanker


2.2.1 Radiobiologi
Efek biologis radiasi pada manusia adalah hasil dari rangkaian
peristiwa yang mengikuti penyerapan energi dari radiasi pengion dan upaya
organisme untuk mengimbangi serangan ini. Efek radiasi terjadi di tingkat
sel, dengan konsekuensi berkembang di jaringan, organ, dan seluruh tubuh
tergantung pada tempat perawatan. Pengaruh biologis radiasi pada sel-sel ini
dimediasi oleh berbagai faktor biokimia, genetik, dan kinetik. Hal itu juga
dipengaruhi oleh dosis, jenis, dan kecepatan radiasi yang diberikan. Insiden
dan tingkat keparahan efek ini dapat diklasifikasikan sebagai akut atau
terlambat tergantung pada kinetika jaringan.

4
2.2.2 Respon sel pada radiasi
2.2.2.1 Teori target
Menurut teori target, efek radiasi pada tingkat sel bisa langsung
atau tidak langsung. Serangan langsung terjadi ketika salah satu
molekul kunci di dalam sel rusak oleh energi yang langsung disimpan
dalam DNA atau RNA. Setelah radiasi dosis tinggi molekul DNA in
vitro, empat jenis kerusakan diamati: (1) perubahan atau hilangnya basa
(timin, adenin, guanin, atau sitosin), (2) putusnya ikatan hidrogen antara
kedua rantai dari molekul DNA, (3) putus dalam satu atau kedua rantai
molekul DNA, dan (4) ikatan silang rantai setelah usia putus. Pemutusan
atau perubahan yang tidak diperbaiki pada basa menyebabkan mutasi
yang mengakibatkan gangguan fungsi seluler atau kematian sel.
Serangan tidak langsung, menurut teori target, terjadi ketika
ionisasi terjadi di media (kebanyakan air intraseluler) yang mengelilingi
struktur molekul di dalam sel. Radiasi yang diserap oleh molekul air
menghasilkan pembentukan radikal bebas ketika elektron benar-benar
terlempar dari orbit yang mengelilingi ion. Radikal bebas yang dihasilkan
dengan cara ini dapat memicu berbagai reaksi kimia, menghasilkan
senyawa baru yang bersifat toksik bagi sel.
Secara umum disepakati bahwa serangan langsung (yaitu,
kerusakan DNA dan penyimpangan kromosom) menyebabkan cedera
paling efektif dan mematikan yang dihasilkan oleh radiasi pengion.
Namun, karena rasio relatif air terhadap DNA dalam satu sel,
kemungkinan kerusakan tidak langsung melalui ionisasi air intraseluler
jauh lebih besar daripada kemungkinan kerusakan akibat serangan
langsung. Hilangnya kapasitas reproduksi sel dianggap sebagai titik akhir
kerusakan radiasi yang paling signifikan secara biologis. Selain
kerusakan yang disebabkan oleh serangan langsung atau tidak langsung,
bukti eksperimental menunjukkan bahwa radiasi dapat menyebabkan
kerusakan pada protein, karbohidrat, dan enzim di dalam sel. Kerusakan
molekul tambahan ini, serta perubahan permeabilitas membran sel, dapat
berkontribusi pada efek akhir radiasi pada tingkat sel.

5
Pengaruh radiasi pengion pada molekul air
Produk akhir dari ionisasi molekul air (HOH) melalui radiasi adalah pasangan
ion (H+, OH-) dan radikal bebas (H·, OH ·), yang mampu merusak sel. Ionisasi
air ditunjukkan dalam langkah-langkah berikut:

Elektron bebas (e-) ditangkap oleh air lain yang tersedia


molekul dan, seperti yang ditunjukkan pada langkah berikutnya, membentuk
ion kedua:

Karena dua ion (HOH +, HOH–) yang dihasilkan oleh reaksi ini tidak stabil,
kerusakan cepat terjadi (dengan adanya molekul air normal lainnya),
membentuk ion lain dan radikal bebas:

Meskipun pasangan ion yang dihasilkan (H +, OH–) memiliki potensi


kerusakan sel melalui reaksi kimia, mereka lebih mungkin untuk bergabung
kembali dan membentuk air (HOH). Radikal bebas (H ·, OH ·) sangat reaktif,
dan mereka juga dapat bergabung kembali untuk membentuk air. Namun,
radikal bebas tampaknya lebih mungkin mengalami interaksi kimiawi dengan
radikal bebas lainnya, membentuk agen sitotoksik, seperti yang ditunjukkan
dalam reaksi ini:

Radikal bebas yang dihasilkan dari interaksi radiasi dengan air mampu memicu
berbagai reaksi kimia di dalam sel dan oleh karena itu diyakini menjadi faktor
utama dalam produksi kerusakan di dalam sel.

2.2.2.2 Siklus sel dan radiosensitivitas

Menurut Hall dan Cox, radiosensitivitas tampaknya dimaksimalkan


selama fase M dan G2 dari siklus sel (Henke Yarbro et al., 2011). Jadi efek
maksimum dari radiasi harus terjadi tepat sebelum dan selama pembelahan

6
sel yang sebenarnya. Dalam penelitian awal, Bergonié dan Tribondeau
menyatakan bahwa sensitivitas sel terhadap iradiasi berbanding lurus
dengan aktivitas reproduksinya dan berbanding terbalik dengan derajat
diferensiasinya. Sel yang terdiferensiasi adalah sel yang terspesialisasi
secara morfologis atau fungsional (misalnya, eritrosit) dan tidak mengalami
mitosis. Sel yang tidak berdiferensiasi (seperti sel darah merah, sel induk,
atau eritroblas) memiliki sedikit karakteristik morfologi atau fungsional
khusus, dan tujuan utamanya adalah untuk membelah dan menyediakan sel
baru untuk mempertahankan populasinya sendiri. Karena efek radiasi
diketahui paling besar selama mitosis, populasi sel yang tidak
berdiferensiasi umumnya paling sensitif terhadap radiasi. Sebaliknya, sel
yang berdiferensiasi baik relatif tahan radiasi.

Perubahan aktivitas mitosis akibat radiasi dapat diklasifikasikan


sebagai onset tertunda atau penghambatan total. Onset mitosis yang tertunda
menunjukkan bahwa meskipun kerusakan terjadi di beberapa titik selama
profase, perbaikan telah dilakukan, dan terjadi pembelahan. Penghambatan
total mitosis, atau sterilisasi sel, membuat sel tidak mampu membelah,
meskipun mungkin terus hidup dalam keadaan tidak bereproduksi.

2.2.2.3 Kematian sel

Menurut McBride dan Withers (Henke Yarbro et al., 2011), ada


empat jenis kematian sel: (1) mitosis (atau genetik), (2) interfase, (3)
apoptosis, dan (4) nekrotik.9 Kematian mitosis terjadi setelah satu atau lebih
sel divisi dan biasanya dengan dosis radiasi yang jauh lebih kecil daripada
yang diperlukan untuk menghasilkan kematian interfase. Kematian interfase
terjadi dalam 4 sampai 6 jam setelah penyinaran, bahkan dengan dosis
radiasi yang rendah. Sel yang terkena tidak dapat lagi berkontribusi pada
kolam reproduksi. Kematian apoptosis membutuhkan proses metabolisme
aktif dan sel-sel tetangga untuk memfagosit sisa-sisa sel, dengan seluruh
proses berlangsung hanya dalam beberapa jam. Kematian nekrotik
melibatkan hilangnya integritas membran, peningkatan ukuran sel,
pelepasan enzim lyposomal, dan pembentukan respons inflamasi. Jenis

7
kematian sel ini juga dapat mewakili respons patologis terhadap kerusakan
vaskular serta jalur default untuk sel yang kekurangan apoptosis yang
efektif.

Efek Biologis Saat Sel Terkena Radiasi


Kerusakan DNA untai tunggal yang dapat diperbaiki secara akurat
Kerusakan DNA untai tunggal yang salah diperbaiki, menyebabkan
mutasi
Kerusakan DNA untai ganda, yang biasanya tidak dapat diperbaiki
Keterlambatan mitosis untuk memungkinkan perbaikan DNA, jika
memungkinkan
Apoptosis (kematian sel terprogram) jika kerusakan DNA parah dan tidak
diperbaiki
Pembelahan sel dan repopulasi dengan beberapa sel yang mengandung
mutasi

2.2.2.4 Faktor biologi yang mempengaruhi

Sejumlah faktor tambahan secara langsung mempengaruhi respons


biologis terhadap radiasi dan hasil pengobatan diantaranya adalah sebagai
berikut. Efek oksigen. Tumor yang teroksigenasi dengan baik menunjukkan
respons yang jauh lebih besar terhadap radiasi; yaitu, tumor lebih sensitif
terhadap radiasi dibandingkan tumor yang kekurangan oksigen. Penelitian
laboratorium dan klinis yang ekstensif telah menunjukkan bahwa adanya
tekanan oksigen dari 20 hingga 40 mm Hg pada saat radiasi sangat
meningkatkan radiosensitivitas sel.

Salah satu teori menyatakan bahwa mekanisme efek oksigen


berkaitan dengan kemampuan oksigen untuk bergabung dengan radikal
bebas yang terbentuk selama ionisasi, sehingga menghasilkan kombinasi
baru dan toksik. Teori kedua menyatakan bahwa keberadaan oksigen pada
saat iradiasi mencegah pembalikan (dan dengan demikian perbaikan)
beberapa perubahan kimia yang terjadi sebagai hasil ionisasi.

8
Signifikansi klinis dari efek oksigen adalah bahwa oksigen
memodifikasi dosis radiasi yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat
kerusakan biologis tertentu. Besarnya efek oksigen dinyatakan sebagai rasio
peningkatan oksigen (OER). OER adalah rasio dosis radiasi tanpa oksigen
(atau hipoksia) dengan dosis radiasi dengan adanya oksigen yang diperlukan
untuk efek biologis yang sama. Sel yang hipoksia dianggap tahan
radioresensi dan oleh karena itu membatasi keefektifan terapi radiasi. Studi
di kepala dan leher dan kanker serviks telah menunjukkan hasil
kelangsungan hidup yang lebih buruk pada pasien dengan tumor hipoksia.
Juga telah dicatat bahwa pasien dengan tumor hipoksia lebih mungkin
mengalami anemia.

Transfer energi linier (LET) menggambarkan laju hilangnya


energi dari berbagai jenis radiasi saat bergerak melalui materi (Henke
Yarbro et al., 2011). Radiasi LET rendah (misalnya, sinar-x dan sinar
gamma) adalah pengion yang jarang, memiliki jalur acak yang
menghasilkan beberapa serangan langsung di dalam inti sel. Radiasi LET
yang lebih tinggi (misalnya, partikel alfa, neutron, dan ion negatif) memiliki
kemungkinan lebih besar untuk berinteraksi dengan materi dan
menghasilkan lebih banyak serangan langsung di dalam sel.

Efektivitas biologis relative (RBE). Karena beda tipe radiasi


memiliki berbagai tingkat kehilangan energi, biologis respon dari perawatan
ini juga akan berbeda. Oleh karena itu, RBE digunakan untuk
membandingkan dosis radiasi uji dengan dosis radiasi standar yang
menghasilkan radiasi respon biologis yang sama. Rumus berikut digunakan:

𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑟𝑒𝑓𝑒𝑟𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑎𝑑𝑖𝑎𝑠𝑖 𝑅𝐵𝐸


(𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑒𝑓𝑒𝑘 𝑏𝑖𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢)
RBE = 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑟𝑎𝑑𝑖𝑎𝑠𝑖 𝑢𝑗𝑖
(𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑒𝑓𝑒𝑘 𝑏𝑖𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎)

Tingkat dosis mengacu pada tingkat di mana dosis tertentu


diberikan oleh mesin atau peralatan perawatan. Tingkat dosis menjadi
sangat signifikan ketika rangkaian terapi difraksinasi selama beberapa hari
dan minggu, seperti dalam teleterapi pancaran eksternal standar. Penelitian

9
telah menunjukkan tingkat dosis rendah menjadi jauh kurang efektif dalam
menghasilkan kerusakan sel yang mematikan daripada tingkat dosis tinggi
terutama karena tingkat dosis rendah memungkinkan perbaikan sel terjadi
sebelum dosis yang mematikan tercapai dalam teleterapi yang difraksinasi.

Radiosensitivitas. Menurut Bergonié dan Tribondeau, radiasi


pengion paling efektif pada sel yang tidak berdiferensiasi dan menjalani
mitosis aktif. Pengalaman laboratorium dan klinis telah menunjukkan
hubungan ini berlaku di sebagian besar jaringan.

Fraksinasi adalah pendekatan pengobatan yang mengambil dosis


total radiasi dan membaginya menjadi fraksi yang sama, menyadari bahwa
dosis mungkin perlu lebih tinggi karena rencana pengiriman banyak fraksi.
Radiasi dosis tunggal memiliki lebih banyak efek biologis daripada dosis
yang sama dibagi atau difraksionasi, tetapi dosis tunggal itu tidak akan
mampu menyisihkan jaringan normal dan juga memberantas tumor.
Hiperfraksionasi menggunakan dosis yang lebih kecil per fraksi, dan
pengobatan diberikan dua kali sehari, dipisahkan oleh minimal 6 jam.

Empat R radiobiologi (repair, redistribution, repopulation, and


reoxygenation) menjelaskan efek biologis dan kimiawi fraksinasi pada
tumor dan jaringan normal (Henke Yarbro et al., 2011). Perbaikan
kerusakan subletal intraseluler oleh sel normal antara fraksi dosis harian
adalah salah satu keuntungan dari fraksinasi. Tujuan fraksinasi adalah untuk
memberikan dosis yang cukup untuk mencegah sel tumor diperbaiki sambil
membiarkan atau sel mal pulih sebelum dosis berikutnya diberikan.
Meskipun beberapa sel tumor dapat diperbaiki di antara dosis harian,
mereka juga dapat teroksigenasi, menjadikannya lebih sensitif terhadap
radiasi ketika dosis radiasi berikutnya diberikan. Jadi, meskipun beberapa
derajat perbaikan sel tumor dapat terjadi antara dosis yang difraksinasi,
dosis harian yang diulang pada akhirnya akan mengarah pada pengendalian
tumor.

10
Distribusi ulang usia sel (dalam siklus sel) sebagai akibat radiasi
harian menguntungkan karena lebih banyak sel tumor yang dibuat peka
terhadap radiasi. Secara teoritis, dengan dosis radiasi harian yang berhasil,
semakin banyak sel tumor akan tertunda dalam siklus dan mencapai fase
mitosis saat dosis berikutnya diberikan, sehingga meningkatkan
pembunuhan sel.

Repopulasi jaringan normal terjadi melalui pembelahan sel di


beberapa titik selama pengobatan yang difraksinasi. Fraksinasi dosis
memungkinkan repopulasi ini terjadi di jaringan normal,
menghindarkannya dari beberapa konsekuensi akhir yang mungkin muncul
jika populasi ulang (pertumbuhan baru) dihambat. Sel tumor yang berhasil
membelah saat menjalani terapi radiasi yang difraksinasi biasanya tidak
mampu bertahan karena efek radiasi. Jadi fraksinasi menguntungkan
jaringan normal sambil memberantas tumor.

Reoksigenasi adalah pertimbangan keempat yang mendukung


fraksinasi dosis radiasi. Sementara jaringan normal biasanya teroksigenasi
dengan baik, tumor secara khas berkisar dari normal hingga hipoksia hingga
anoksik. Seperti dibahas sebelumnya, osensitivitas radial berkaitan erat
dengan tekanan oksigen dalam sel tumor; sel hipoksia atau anoksik
umumnya bersifat radioresisten, sedangkan sel yang teroksigenasi bersifat
radiosensitif. Memecah dosis memungkinkan sel menjadi teroksigenasi saat
tumor menyusut.

Respon jaringan dan organ terhadap radiasi mencerminkan


kepekaan komponen seluler yang terpengaruh. Baik jaringan maupun organ
terdiri dari lebih dari satu jenis sel, dengan setiap kategori sel memiliki
derajat radiosensitivitas yang berbeda. Faktor lain yang menentukan respon
jaringan terkait dengan zat parenkim versus stroma yang ditemukan di
jaringan itu. Parenkim terdiri dari karakteristik sel jaringan atau organ. Jika
sel-sel tersebut bersifat radiosensitif (mis., Testis), maka radiasi pengion
memiliki efek terbesar pada parenkim. Sebaliknya, jika jaringan parenkim
relatif radioresisten (misalnya sumsum tulang belakang), maka respons

11
radiasi di organ tersebut disebabkan oleh efek tidak langsung pada
komponen stroma (terutama pembuluh darah) yang mendukung parenkim.

Tingkat Radiosensitivitas Berbagai Organ Berdasarkan Hipoplasia


Parenkim

Organ Radiosensitivitas
Organ limfoid, sumsum tulang, darah, Tinggi
testis, ovarium, usus
Kulit, kornea, rongga mulut, Cukup tinggi
kerongkongan, rektum, kandung kemih,
vagina, serviks, ureter
Lensa optik, perut, tulang rawan tumbuh, Medium
pembuluh darah halus, tulang tumbuh
Tulang rawan atau tulang dewasa, kelenjar Cukup rendah
ludah, organ pernapasan, ginjal, hati,
pankreas, tiroid, adrenal, kelenjar pituitari
Otot, otak, sumsum tulang belakang Rendah

Fokus utama penelitian radiobiologi saat ini diarahkan pada studi


berbagai mekanisme yang mengatur apoptosis. Apoptosis, atau kematian sel
terprogram, terjadi pada sel normal dan ganas dalam proses yang berbeda
dari kematian sel karena hipoksia. Kegagalan proses apoptosis normal
menyebabkan kelangsungan hidup dan proliferasi sel ganas yang tidak
terkendali.

Seperti dijelaskan sebelumnya, perbaikan cedera radiasi (perbaikan


kerusakan sublethal) terjadi pada jaringan sehat tetapi juga dapat terjadi
pada keganasan yang ditargetkan, sehingga mengurangi respons radio dan
mengurangi kemungkinan penyembuhan. Ionisasi dan kerusakan langsung
pada DNA menyebabkan kematian selama mitosis pada sebagian besar sel
yang diradiasi. Telah dibuktikan bahwa proses apoptosis juga dipercepat

12
oleh radiasi, terutama pada limfosit, sel kriptus usus halus, sel kelenjar
ludah, dan sel germinal.

Peran zat genetik, molekuler, dan biokimia tertentu (misalnya p53,


pRb, dan BCL-2), faktor pertumbuhan serat dasar (bFGF), dan penghambat
protein kinase C (PKC), antara lain pada saat itu. iradiasi dianggap
signifikan dalam apoptosis yang diinduksi radiasi.14,15 Ada atau tidaknya
zat ini dan banyak lainnya dapat meningkatkan radioresponsivitas di
berbagai garis sel. Penelitian intensif untuk mengidentifikasi jalur yang
pada akhirnya mengarah pada apoptosis sedang dilakukan. Memanipulasi
jalur ini mungkin memegang kunci untuk meningkatkan rasio manfaat
terapeutik dalam onkologi radiasi.

2.3 Perencanaan Simulasi dan Terapi Radiasi pada Manajemen Kanker


2.3.1 Simulasi Terapi
Simulasi terapi merupakan proses radiasi ditentukan, difilmkan, dan
ditandai pada kulit. Tujuan simulasi ini adalah untuk menentukan lokasi blok
pembentukan medan, mengukur berkas radiasi, dan menguraikan bidang di
kulit pasien (Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher, 2014). Pasien akan
diposisikan pada simulator dengan bantuan perangkat imobilisasi. Perangkat
imobilisasi tersebut digunakan untuk mempertahankan posisi pasien agar
stabil selama pada mesin sinar-X atau simulator (Lewis, Dirksen,
Heitkemper, & Bucher, 2014). Pasien akan dilakukan penargetan dan
diidentifikasi bagian jaringan normal. Setelah itu, pasien akan dipasang
penanda atau treatment port untuk memastikan posisi pasien secara tepat
setiap harinya. Simulasi dapat dilakukan dengan beberapa jenis simulasi,
yaitu fluoroscopic simulation, computerized tomographic (CT) sim
ulation, dan magnetic resonance imaging (MRI) simulation (Lewis,
Dirksen, Heitkemper, & Bucher, 2014).

2.3.1.1 Simulasi Fluoroskopi


Fluoroscopic simulation atau simulasi fluoroskopi merupakan
simulator perawatan tradisional dengan sinar-X untuk menduplikasi
geometri dan mekanik mesin perawatan radiasi. Simulasi fluoroskopi

13
biasanya digunakan untuk menampilkan bidang perawatan, memastikan
lokasi volume target, mengidentifikasi jaringan normal di sekitar target,
dan melindungi jaringan normal dari radiasi yang berlebihan (Yarbro,
Wujcik, & Gobel, 2011). Namun, seiring perkembangan zaman terjadi
penggantian simulasi fluoroskopi. Perkembangan penggunaan simulator
tersebut diakibatkan beberapa alasan, yaitu hubungan antara berkas
radiasi dan anatomi eksternal maupun internal yang tidak dapat dinilai
dengan radiologi diagnostik, kualitas yang tidak cukup canggih untuk
lokalisasi yang tepat, penggunaan mesin perawatan yang tidak praktis,
dan keperluan perencanaan perawatan dengan 3 dimensi (Yarbro,
Wujcik, & Gobel, 2011). Oleh karena itu, simulasi fluoroskopi sebagian
besar telah diganti dengan computerized tomographic simulation atau
simulasi CT.
2.3.1.2 Simulasi Computerized Tomography (CT)
Simulasi CT atau computerized tomographic (CT) simulation
adalah simulasi perencanaan perawatan diagnostik yang menggabungkan
prosedur simulasi dan CT. Keuntungan dari penggunaan simulasi CT
adalah mampu menentukan bidang perawatan yang tepat, dapat
menemukan target dan isocenter, menentukan konfigurasi balok, dan
memvisualisasikan dengan tampilan 3 dimensi untuk menghasilkan
simulasi virtual (Yarbro, Wujcik, & Gobel, 2011). Simulasi CT
dilakukan dengan menempatkan pasien di meja simulator CT untuk
melakukan penguraian struktur normal dan tumor pada setiap potongan
CT. Komputer akan membuat digitally reconstructed radiograph (DRR)
untuk meningkatkan kontras dan detail secara akurat dalam membedakan
tumor dari jaringan normal di sekitarnya (Yarbro, Wujcik, & Gobel,
2011). Namun, seiring majunya teknologi, saat ini terlah disediakan
radioterapi konformal 3 dimensi atau 3 dimensional conformal radiation
therapy (3D-CRT).

14
Gambar: Digitally Reconstructed Radiograph (DRR)
Sumber: Yarbro, C. H., Wujcik, D., & Gobel, B. H. (eds). (2011). Cancer
Nursing: Principles and Practice (7th ed.). Sudburry: Jones and Bartlett
Publishers.
Dalam artikel Kodrat, Susworo, Amalia, & Sabariani (2016),
penggunaan 3D-CRT tersebut dilakukan dengan penggunaan berkas sinar
yang lebih kompleks, sehingga dapat disesuaikan dengan bentuk jaringan
tumor. Pelaksanaan metode radiasi dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu tingkat
0 atau radioterapi dasar yang tidak dilakukan pengaturan berkas sinar,
sehingga tidak dimasukkan dalam golongan radioterapi konformal (Kodrat,
Susworo, Amalia, Sabariani, 2016). Tingkat 1 atau level dasar radioterapi
konformal dasar menggunakan fasilitas foto simulator dan kontur beberapa
irisan CT-Scan. Tingkat 2 atau radioterapi konformal 3 ddimensi yang harus
menggunakan CT-Scan (Kodrat, Susworo, Amalia, Sabariani, 2016). Pada
tingkat 3 atau radioterapi konformal tingkat lanjut menggunakan teknologi
Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) atau Stereotactic
Radiosurgery (SRS). IMRT merupakan tingkatan di atas 3D-CRT karena
intensitas berkas radiasi yang inhomogen atau membentuk beberapa segmen
dalam setiap berkas sinar (Kodrat, Susworo, Amalia, Sabariani, 2016).

15
Gambar: Posisi Pasien saat Simulasi CT
Sumber: Yarbro, C. H., Wujcik, D., & Gobel, B. H. (eds). (2011). Cancer
Nursing: Principles and Practice (7th ed.). Sudburry: Jones and Bartlett
Publishers.
Dalam menggunakan radioterapi konformal 3 dimensi, simulasi
virtual perlu digunakan untuk mensimulasikan mesin terapi dan beroperasi
pada representasi digital pasien (Yarbro, Wujcik, & Gobel, 2011). Pasien
yang berada pada perangkat imobilisasi dilakukan pemantauan di atas meja
CT-Scan. Sistem koordinat digunakan untuk melokalisasi objek dan
disesuaikan dengan masing-masing pasien. Setelah selesai, jaringan normal
di sekitar target harus dihindari dengan diuraikan pada tampilan komputer
(Yarbro, Wujcik, & Gobel, 2011). Gambar di bawah ini adalah parameter
untuk menggambarkan tampilan grafis 3 dimensi untuk melakukan
penggambaran volume dan target.

16
Gambar: Simulasi CT dan Simulasi Virtual
Sumber: Yarbro, C. H., Wujcik, D., & Gobel, B. H. (eds). (2011). Cancer
Nursing: Principles and Practice (7th ed.). Sudburry: Jones and Bartlett
Publishers.

2.3.1.3 Simulasi Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Simulasi MRI adalah simulasi dengan penggambaran target dan
struktur normal yang lebih akurat jika diindikasikan secara klinis (Yarbro,
Wujcik, & Gobel, 2011). Simulasi MRI tersebut mengidentifikasi massa inti
dalam volume tertentu dengan penggunaan radiasi frekuensi radio dan
bidang magnet. Simulasi dengan menggunakan MRI memberikan
keuntungan paling besar, yaitu dapat memvisualisasikan dan menargetkan
tumor pada sistem saraf pusat, kepala dan leher, serta prostat (Yarbro,
Wujcik, & Gobel, 2011). MRI fungsional atau functional MRI dapat
digunakan untuk menunjukkan aktivitas fisiologis dan neurologis dengan
mendeteksi perubahan aliran darah dengan aktivasi daerah di otak dan
mampu memetakan informasi penting, seperti sistem visual, area
pemrosesan semantic, dan korteks sensorik dan motorik (Yarbro, Wujcik,
& Gobel, 2011). CT-Scan seringkali digabungkan dengan MRI untuk
melakukan verifikasi posisi dan lokalisasi harian.

17
Gambar: Simulasi MRI
Sumber: Yarbro, C. H., Wujcik, D., & Gobel, B. H. (eds). (2011). Cancer
Nursing: Principles and Practice (7th ed.). Sudburry: Jones and Bartlett
Publishers.

MRI dengan respiratory gating merupakan alat untuk sinkronisasi


pengobatan radiasi dengan siklus pernapasan pasien. Manfaat dari MRI
respiratory gating adalah untuk meningkatkan akurasi radioterapi kanker
dengan menyesuaikan gerakan tumor yang disebabkan gerakan pernapasan,
memantau pernapasan tanpa mengurangi kenyamanan pasien, dan
mengkarakterisasi pola pernapasan dengan melacak gerakan penanda
retoreflektif untuk melacak gerakan pasien (Yarbro, Wujcik, & Gobel,
2011). Sinyal yang berasal dari transduser akan dimasukkan ke dalam
sistem CT untuk digunakan sebagai mekanisme gerbang akuisisi data.
Sistem CT akan menganalisis gerakan dinding dada dan pola normal dengan
gerakan tumor, sehingga rencana perawatan dapat dibuat (Yarbro, Wujcik,
& Gobel, 2011). Selama proses ini, pasien akan bernapas secara alami,
tetapi jika terjadi perubahan napas yang terganggu seperti batuk dan bersin
dapat mengganggu operasi sistem CT (Yarbro, Wujcik, & Gobel, 2011).

18
Gambar: MRI dengan Respiratory Gating
Sumber: Yarbro, C. H., Wujcik, D., & Gobel, B. H. (eds). (2011). Cancer
Nursing: Principles and Practice (7th ed.). Sudburry: Jones and Bartlett
Publishers.

Sebelum melakukan simulasi, pasien perlu dilakukan persiapan dan


edukasi terlebih dahulu. Pasien perlu diidentifikasi mengenai status
pernapasan karena dikhawatirkan terdapat riisiko atau efek samping yang
melekat pada perencanaan perawatan yang lebih lama daripada waktu
perawatan (Yarbro, Wujcik, & Gobel, 2011). Selain itu, pasien perlu
diberikan informasi singkat, baik dengan lisan maupun tulisan mengenai
cara MRI dengan respiratory gating bekerja untuk meningkatkan
perencanaan pengobatan (Yarbro, Wujcik, & Gobel, 2011).
2.3.2 Penggambaran Radiografi
2.3.2.1 Port Films

19
Perencanaan perawatan dapat dimulai dengan mengambil gambar
radiografi untuk memverifikasi target perawatan dengan port film. Sebelum
melakukan pengambilan gambar, pasien perlu diedukasi mengenai port film,
yaitu untuk menentukan stadium kanker yang terjadi saat pengobatan dan
setelah selesai pengobatan (Yarbro, Wujcik, & Gobel, 2011). Selain port
film, pengambilan gambar dapat dilakukan dengan menggunakan pencitraan
portal elektronik atau electronic portal imaging.

2.3.2.2 Positron Emission Tomography (PET)

Tomografi emisi positron atau Positron Emission Tomography


(PET) adalah gambar yang memberikan peta 3 dimensi dalam tubuh.
Pemindaian PET didasarkan dengan menghilangkan positron-elektron foton
dengan menyuntikkan isotop pelacak radioaktif yang berumur pendek
(Yarbro, Wujcik, & Gobel, 2011). Molekul yang paling umum digunakan
adalah fluorodeoxyglucose (FDG) yang dapat berkorelasi positif dengan sel
tumor. Durasi penyerapan FDG sekitar 1 jam sebelum pemindaian terjadi.
Setelah terjadi peluruhan emisi positron, positron akan bergerak beberapa
millimeter dan memusnahkan elektron, sehingga akan menciptakan cahaya
(Yarbro, Wujcik, & Gobel, 2011). Pemindaian PET dapat dibaca dengan
pemindaian CT atau MRI. Penggabungan PET/CT atau PET/MRI dapat
memberikan visualisasi anatomi dan metabolik (Yarbro, Wujcik, & Gobel,
2011).

20
Gambar: Tomografi Emisi Positron atau Positron Emission Tomography
(PET)
Sumber: Yarbro, C. H., Wujcik, D., & Gobel, B. H. (eds). (2011). Cancer
Nursing: Principles and Practice (7th ed.). Sudburry: Jones and Bartlett
Publishers.

2.3.2.3 Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)

Tomografi komputer emisi foto tunggal atau Single Photon Emission


Computed Tomography (SPECT) merupakan teknik pencitraan dengan
sinar-X. Spektroskopi MR (MRS) adalah te2.knik yang baru digunakan
dalam perencanaan radiasi untuk memvisualisasikan tumor otak dan prostat
dengan menggunakan gradient untuk menghasilkan rangsangan dalam
volume kecil jaringan (Yarbro, Wujcik, & Gobel, 2011). Setelah
mendapatkan rangsangan, peluruhan induksi bebas akan dicatat dan akan
menghasilkan spektrum dari voxel (Yarbro, Wujcik, & Gobel, 2011). Voxel
adalah unit dasar rekonstruksi CT yang direpresentasikan sebagai piksel
dalam tampilan CT. Voxel menghasilkan informasi mengenai komposisi,
kelas tumor, dan perubahan tumor dari waktu ke waktu (Yarbro, Wujcik, &
Gobel, 2011). Pada visualisasi bagian prostat, pasien akan menjalankan

21
simulasi MRI dengan body coil yang diperoleh melalui panggul untuk
meningkatkan perencanaan pengobatan.

Gambar: Spektroskopi Otak


Sumber: Yarbro, C. H., Wujcik, D., & Gobel, B. H. (eds). (2011). Cancer
Nursing: Principles and Practice (7th ed.). Sudburry: Jones and Bartlett
Publishers.

Gambar: Spektroskopi Prostat

22
Sumber: Yarbro, C. H., Wujcik, D., & Gobel, B. H. (eds). (2011). Cancer
Nursing: Principles and Practice (7th ed.). Sudburry: Jones and Bartlett
Publishers.
2.4 Pemberian Terapi Radiasi Eksternal dan Internal pada Manajemen
Kanker
Terapi radiasi atau radiotherapy merupakan salah satu terapi
manajemen kanker yang menggunakan radiasi dalam dosis tinggi untuk
menghambat atau menghancurkan sel tumor dan kanker. Terapi radiasi pada
manajemen kanker dibagi menjadi dua, yaitu terapi radiasi eksternal dan
internal. Jenis terapi radiasi yang didapatkan dalam manajemen kanker
bergantung pada beberapa faktor yang meliputi jenis kanker, ukuran sel tumor,
lokasi sel tumor, seberapa dekat sel tumor dengan jaringan normal yang
sensitive dengan radiasi, riwayat kesehatan, usia, dan beberapa kondisi medis
lainnya. Terapi radiasi eksternal atau external beam radiation therapy
mengarahkan partikel radiasi ke sel target (tumor) dengan menggunakan
mesin, sedangkan terapi radiasi internal atau internal radiation therapy
memasukkan zat radioaktif ke dalam tubuh dalam bentuk cairan atau padat
(NCI, 2018).

Di Indonesia, terdapat beberapa jenis terapi radiasi eksternal yang


sudah berhasil disediakan yang meliputi 3 Dimensional Conformal
Radiotherapy (3D CRT), Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT),
Stereotactic Radiosurgery (SRS), Stereotactic Body Radiotherapy (SBRT), dan
4D Adaptive Image Guided Radiotherapy (IGRT). 3D CRT merupakan jenis
terapi radiasi eksternal yang paling umum digunakan dalam manajemen kanker
dengan menggunakan gambaran CT Planing dan pengolahan dengan
Treatment Planning System (TPS) secara terkomputerisasi sehingga
menghasilkan kurva isodosis pada volume radiasi sesuai dengan bentuk sel
kanker. IMRT merupakan pengembangan dari 3D-CRT dimana digunakan
berkas sinar yang dibagi menjadi ukuran yang lebih kecil sehingga mampu
mencapai intensitas sinar yang akurat pada tiap titik di sel target (tumor)
dengan bantuan komputer (RSCM, 2017). Dalam studi yang dilakukan oleh
Shawata pada tahun 2019 mengenai evaluasi penggunaan metode terapi radiasi

23
eksternal 3D-CRT, IMRT, dan RapidArc pada pasien kanker prostat
mengatakan bahwa penggunaan IMRT lebih efektif dibandingkan 3D-CRT,
namun lebih mahal (Shawata, 2019). Selain itu, jenis terapi radiasi eksternal
lain yaitu SRS dan SBRT digunakan ketika letak tumor sulit dijangkau atau
berada di otak dan tulang belakang, sedangkan 4D Adaptive IGRT digunakan
untuk memantau gerakan pada organ target saat dilakukan terapi radiasi
(RSCM, 2017).

Mesin yang digunakan dalam pemberian terapi radiasi eksternal pada


manajemen kanker adalah linear accelerator (LINAC). Mesin ini menggunakan
gelombang elektromagnetik dengan frekuensi tinggi sehingga dapat
mengarahkan partikel bermuatan seperti elektron atau proton ke sel target
berupa sel tumor. Unit dasar energi yang digunakan dalam mesin ini adalah
voltase elektron dengan satuan energi kilovolts dan megavolts. Terdapat dua
jenis unit energi megavoltage yang meliputi low-energy megavoltage beams
dan medium to high-energy megavoltage beams. Perbedaan kedua jenis unit
energi megavoltage terletak pada kemampuan untuk mencapai sel tumor target
di kedalaman tertentu pada jaringan tubuh (Yarbro, 2011). Selain terapi radiasi
eksternal, terdapat jenis terapi radiasi lain yaotu terapi radiasi internal.

Terapi radiasi internal atau sering disebut degan brachytherapy


diberikan dalam manajemen kanker dalam dosis radiasi yang lebih tinggi
dibandingkan yang mungkin didapatkan pada terapi radiasi eksternal. Saat
melakukan prosedur pemberian terapi radiasi internal, imaging test seperti x-
ray ultrasound, MRI, atau CT Scan akan digunakan untuk menemukan lokasi
penempatan implant yang tepat di dalam tubuh. Implan dimasukkan ke dalam
tubuh dalam waktu yang beragam, tergantung pada tipe kanker, lokasi sel
kanker, dan perawatan lain yang didapatkan (ACS, 2017).

Brachytherapy merupakan salah satu jenis terapi radiasi internal yang


menggunakan zat radioaktif yang dikemas dalam bentuk yang lebih kecil dan
disebut dengan implan. Implan tersebut nantinya akan ditempatkan di dalam
atau di dekat area sel tumor dengan menggunakan jarum atau kateter. Zat
radioaktif yang digunakan bergantung pada output radiasi per unit, energi

24
photon yang dikeluarkan, half-life zat radioaktif, dan aktivitas dari zat
radioaktif (Yarbro, 2011). Biasanya, zat radioaktif yang digunakan meliputi
cesium (Cs), emas (Au), dan iridium (Ir). Keuntungan dari penggunaan
brachytherapy adalah terdapat dosis radiasi yang tinggi yang ditempatkan
langsung atau dekat dengan sel tumor sehingga dapat membatasi paparan dosis
radiasi pada jaringan sehat di sekitarnya. Studi penelitian menyebutkan bahwa
penggunaan terapi kemoradiasi yang ditunjang dengan brachytherapy memiliki
tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi (76,7%) dibandingkan penggunaan
terapi kemoterapi neoadjuvant tanpa brachytherapy dengan tingkat
kelangsungan hidup lebih rendah yaitu sebesar 69,3% (Chargari et al, 2019).

2.5 Manajemen Keperawatan Terapi Radiasi

Tujuan dari terapi radiasi adalah untuk membunuh sel kanker dengan
menggunakan radiasi sesedikit mungkin, dengan perawatan yang tersebar
selama periode yang sesuai. Tidak seperti radiasi dosis rendah yang
dipancarkan sinar-X standar, terapi radiasi memberikan dosis tinggi yang
mampu menghancurkan sel kanker, membuat mereka tidak dapat bereproduksi
dan menyebar. Kerusakan sel terjadi segera; sel kanker mati selama beberapa
hari, minggu, dan bulan dan dibuang oleh tubuh. Biasanya, sel-sel sehat di
bidang pengobatan radiasi dapat pulih.

Perencanaan Terapi Radiasi biasanya direncanakan di simulator (unit


x-ray) Pasien perlu diposisikan untuk memungkinkan reproduktifitas dan
kenyamanan Ahli onkologi memilih volume target (tumor + margin) Volume
target menggunakan pengaturan tersebut balok (dosis tinggi pada target dan
dosis minimal pada jaringan normal). Tahapan Pra-Radiasi adalah proses yang
dilakukan oleh perawat sebelum dilakukan terapi radiasi itu sendiri, dengan
Persiapan pengetahuan tentang radioterapi dengan menilai dan memberi
informasi, Persiapan pasien (tubuh), Tes laboratorium, dan Darah
(DiFrancesco et al., 2020). Peran keperawatan dalam terapi radiasi adalah
mengatasi dan mengantisipasi efek dari terapi radiasi yang diberikan (Poirier,
2013). Efek samping pengobatan, yang merupakan akibat dari kerusakan sel
normal, dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan kemampuan mereka

25
untuk melakukan aktivitas yang biasa. Adapun ekef samping berupa efek
samping akut, kronik dan efek samping spesifik(Manosilapakorn, n.d. 2017).
Efek samping Akut dapat berupa: Kelelahan , Anoreksia , Mucositis,
Xerostomia, Alopecia, Reaksi kulit , Mual & Muntah , Esofagitis & Disfagia,
Diare, Sistitis, Sumsum tulang. Untuk mengantisipasi efek dari kondisi
tersebut, maka diperlukan upaya pemberian asuhan keperawatan yang dpat
membantu mengatasi efek samping yang dapat timpul pada pasien yang
menjalani terapi radiasi. Proses asuhan keperawatan didasarkan atas respon
atau kondisi yang diakibatkan oleh terapi radiasi itu sendiri.

Pasien yang menerima terapi radiasi mengalami berbagai efek samping


yang dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Perawat
di semua pengaturan yang menghadapi pasien yang menerima terapi radiasi
adalah kunci untuk menilai dampak efek samping pada kehidupan pasien dan
memberikan pendidikan yang ditargetkan dan rekomendasi untuk manajemen
diri, termasuk penggunaan terapi komplementer dan alternatif. Perawat dalam
komunitas yang merawat pasien yang menerima terapi radiasi dapat
mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi mengalami efek samping,
memperkuat intervensi yang direkomendasikan oleh praktisi radiasi, dan
mengevaluasi efektivitas intervensi tersebut. Manajemen efek samping
pengobatan tidak hanya mengarah pada peningkatan kualitas hidup pasien,
tetapi juga dapat mengarah pada hasil pengobatan yang lebih baik dan
kelangsungan hidup yang lebih baik secara keseluruhan.

2.6 Biotherapy pada Manajemen Kanker


Bioterapi atau imunoterapi atau terapi biologis adalah terapi yang
merangsang sistem kekebalan alami tubuh untuk menekan dan menghancurkan
sel ganas (kanker) (White et al, 2013). Terapi jenis ini dapat sendiri atau
dikombinasikan dengan terapi pembedahan, radiasi, dan kemoterapi. Bioterapi
dilengkapi dengan Biologic Response Modifiers (BRMs) yang secara alami
terjadi dalam sistem kekebalan tubuh atau rekombinan (direproduksi melalui
rekayasa genetika/ obat yang dikembangkan di labolatorium) (Smeltzer et al,
2010). BRMs dapat mempengaruhi respon inang tumor dengan cara: (1)

26
memiliki efek antitumor langsung yaitu membantu tubuh mengenali sel kanker
sebagai benda asing sehingga akan dihancurkan sistem kekebalan tubuh; (2)
memulihkan, menambah, atau memodulasi mekanisme sistem kekebalan tubuh;
(3) memiliki efek mengganggu kemampuan sel kanker untuk bermetastasis atau
berdiferensiasi (Lewis et al, 2014). Terdapat beberapa jenis BRMs yaitu:

2.6.1 Sitokin
Stiokin adalah produk glikoprotein dari sel imun seperti limfosit dan
makrofag yang dapat mempengaruhi cara sel sistem kekebalan berfungsi dan
meningkatkan imunitas yang berperan dalam pencegahan kanker
(Ignatavicius et al, 2018). Interleukin (ILs), interferon (IFN), colony-
stimulating factors, tumor necrosis factors (TNF). Terdapat 2 prinsip dasar
sitokin: (1) Setiap sitokin dapat bekerja pada beberapa jenis sel yang berbeda
dan mengatur berbagai fungsi kekebalan. Ex: IL-2 bekerja pada sel T, sel B,
sel NK, dan makrofag. Oleh karena itu, IL-2 menginduksi aktivasi limfosit,
aktivasi makrofag, dan menstimulasi sekresi limfokin; (2) Sitokin yang
berbeda dapat memiliki fungsi yang serupa. Misalnya, IL-1 dan TNF-α yang
merupakan mediator inflamasi (Yarbro et al, 2011).

2.6.1.1 Interleukin (ILs)

Interleukin dikenal sebagai limfokin dan monokin yang diproduksi


oleh limfosit dan monosit. IL membantu sel-sel kekebalan yang berbeda
mengenali dan menghancurkan sel-sel tubuh yang abnormal (Ignatavicius et
al, 2018). Terdapat sekitar 25 ILs yang berbeda, namun IL-2 adalah pilihan
pengobatan yang disetujui untuk karsinoma sel ginjal dan metastasis
melanoma pada dewasa. Rejimen IL-2 yang disetujui FDA AS adalah sebagai
pemberian bolus intravena, tetapi juga diberikan IV dalam dosis yang lebih
rendah (Yarbro et al, 2011). Efek samping: flu, kelelahan, dan anoreksia serta
efek samping yang serius (misalnya, diarrhea berat, edema paru, hipotensi,
dan oliguria) (Smeltzer et al, 2010).

2.6.1.2 Interferon (IFN)

27
Interferon adalah sitokin dengan sifat antivirus dan antitumor.
Terdapat 3 IFN utama dengan indikasi klinis yaitu alpha (α), beta (β), dan
gamma (γ), sedangkan 2 IFN lainnya, tau dan omega tidak diizinkan untuk
tujuan terapeutik pada manusia. IFN yang disetujui untuk terapi kanker
adalah IFN-α. IFN-α efektif dalam melanoma, leukemia sel rambut dan
myeloid kronis, karsinoma sel ginjal, sarkoma Kaposi terkait AIDS, limfoma
non-Hodgkin folikuler, karsinoma hepatoseluler, dan kanker kandung kemih
superfisial (Yarbro et al, 2011). IFN dapat bekerja dengan memperlambat
pembelahan sel tumor, merangsang pertumbuhan dan aktivasi sel NK (natural
killer), mendorong sel kanker untuk kembali ke penampilan dan fungsi yang
lebih normal, dan menghambat ekspresi onkogen (Ignatavicius et al, 2018).
IFN dapat diberikan melalui jalur subkutan, intramuskular, intravena, dan
intrakavitas (Smeltzer et al, 2010). Efek samping: kelelahan, demam,
menggigil, mialgia, sakit kepala, dan malaise, neutropenia, anoreksia, mual /
muntah, peningkatan tes fungsi hati, depresi, diare, alopecia, dan sensasi rasa
yang berubah (LeMone et al, 2017).

2.6.1.3 Colony-stimulating factors

Colony-stimulating factors atau faktor pertumbuhan adalah terapi


suportif yang mempengaruhi pengaturan sel dan mendorong pemulihan sel
sumsum tulang yang lebih cepat setelah penekanan kemoterapi. Efek ini
memiliki dua manfaat: (1) Imunitas dan clotting yang terganggu
diperpendek agar risiko infeksi dan pendarahan lebih rendah; (2) faktor ini
memungkinkan pemulihan sumsum tulang yang lebih cepat sehingga pasien
dapat menerima kemoterapi sesuai jadwal dan bahkan dapat mentolerir
dosis yang lebih tinggi yang berpotensi meningkatkan kemungkinan remisi
atau penyembuhan. Efek samping: demam, menggigil, keras, dan gejala
mirip flu (malaise umum) (Ignatavicius et al, 2018).
2.6.2 Bacillus Calmette-Guérin (BCG)
Strain virus mycobacterium yang dilemahkan dan dikembangkan
sebagai vaksin untuk melawan tuberculosis. BCG adalah agen
imunomodulator nonspesifik yang mengaktifkan berbagai sel imun

28
termasuk makrofag, sel NK, limfosit T, dan limfosit B. Harapannya, sistem
kekebalan yang dirangsang tersebut akan membasmi sel-sel ganas. FDA
telah menyetujui penggunaan penanaman BCG intravesikal sebagai
pengobatan untuk karsinoma in situ kandung kemih. Kontraindikasi BCG:
pasien yang immunocompromised, memiliki penyakit hati, memiliki
riwayat tuberkulosis. infeksi saluran kemih atau hematuria, penyakit demam
akut, 7-14 hari setelah biopsy, trauma kateter, TBC aktif, dan
hipersensitivitas terhadap BCG. Efek samping: nyeri, sering buang air kecil
dan gejala seperti flu dan demam (Yarbro et al, 2011).

2.6.3 Imiquimod
Agen topikal untuk karsinoma sel basal superfisial (BCC), kutil
kelamin luar, dan keratosis aktinik. Imiquimod menstimulasi beberapa sitokin
serta memiliki efek antivirus dan antitumor. Efek antivirus dan antitumor
disebabkan oleh stimulasi respon imun di mikro kulit dan peningkatan
kekebalan. Imiquimod juga dapat membalikkan imunosupresi kronis yang
disebabkan oleh paparan sinar matahari, dimana terdapat kaitan antara sinar
matahari dengan kanker. Cara pakai: bersihkan dan keringkan area yang akan
diberikan imiquimod; aplikasikan secara tipis di area tersebut. Hindari: kontak
dengan mata, bibir, dan lubang hidung; perban oklusif; minimalkan paparan
sinar matahari (karena menyebabkan fototoksik); serta aktivitas seksual
walaupun menggunakan pelindung. Efek samping: eritema, reaksi kulit local,
dan sakit kepala (Yarbro et al, 2011).

2.6.4 Vaksin kanker


Vaksin kanker digunakan untuk memobilisasi respon imun tubuh dalam
mengenali dan menyerang sel kanker. Vaksin ini mengandung bagian sel
kanker saja atau bagian sel yang dikombinasikan dengan zat lain (bahan
pembantu) yang dapat meningkatkan respons kekebalan (Smeltzer et al, 2010).
- Vaksin autologous: terbuat dari sel kanker pasien sendiri, yang
diperoleh dari biopsi saat diagnosis atau pembedahan. Sel kanker akan
dibunuh dan disiapkan untuk disuntikkan kembali ke tubuh pasien.

29
- Vaksin alogenik: terbuat dari sel kanker yang diperoleh dari orang lain
yang memiliki jenis kanker tertentu. Sel kanker ini tumbuh di
laboratorium dan akhirnya dibunuh untuk disiapkan dan diinjeksikan ke
pasien.
- Vaksin profilaksis diberikan untuk mencegah penyakit.
- Vaksin rekombinan human papillomavirus (HPV) quadrivalent
digunakan untuk melindungi HPV yang terkait dengan kutil kelamin
umum (tipe 6 dan 11) dan kanker serviks (tipe 16 dan 18). Vaksin ini
diberikan dengan 3 dosis untuk wanita berusia 9 hingga 26 tahun.
- Vaksin terapeutik: diberikan untuk membunuh sel kanker yang ada
dan memberikan kekebalan yang tahan lama terhadap perkembangan
kanker lebih lanjut.

2.7 Terapi Target pada Manajemen kanker


Terapi target merupakan pengobatan kanker yang menggunakan obat-
obatan untuk menargetkan gen dan protein tertentu yang terlibat dalam
pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel kanker. Terapi yang ditargetkan
dapat memengaruhi lingkungan jaringan yang membantu pertumbuhan dan
kelangsungan hidup kanker atau dapat menargetkan sel-sel yang terkait dengan
pertumbuhan kanker, seperti sel pembuluh darah (Wilkes, GM., 2017).

Untuk menjalankan terapi target, hal pertama yang dilakukan ialah


mengidentifikasi perubahan genetik yang membantu tumor tumbuh dan
berubah. Target potensial untuk terapi ini adalah protein yang ada dalam sel
kanker tetapi bukan sel sehat. Ini bisa disebabkan oleh mutasi. Saat
mengidentifikasi mutasi, mereka mengembangkan pengobatan yang
menargetkan mutasi spesifik itu. Terapi target dapat melakukan berbagai hal
berbeda pada sel kanker yang mereka targetkan, yaitu

• Blokir atau matikan sinyal yang memberi tahu sel kanker untuk
tumbuh dan membelah
• Mencegah sel hidup lebih lama dari biasanya
• Menghancurkan sel kanker

30
Terdapat 2 jenis obat yang biasanya digunakan dalam terapi target,
yaitu antibodi monoklonal, dan obat molekul kecil.

• Antibodi monoklonal berfungsi memblokir target tertentu di luar sel


kanker. Sasarannya mungkin juga berada di area sekitar kanker.
Antibodi monoklonal juga dapat mengirimkan zat beracun langsung
ke sel kanker. Antibodi monoklonal juga merupakan jenis
imunoterapi (Wilkes, F., 2008)
• Obat molekul kecil berfungsi memblokir proses yang membantu sel
kanker berkembang biak dan menyebar. Contohnya adalah Inhibitor
angiogenesis. Angiogenesis adalah proses pembuatan pembuluh
darah baru. Tumor membutuhkan pembuluh darah untuk
memberinya nutrisi. Nutrisi membantunya tumbuh dan menyebar.
Inhibitor angiogenesis membuat tumor kelaparan dengan mencegah
pembentukan pembuluh darah baru di jaringan di sekitarnya.
Dalam melaksanakan terapi target, terdapat beberapa efek samping
yang dirasakan pasien, yaitu reaksi dermatologis, seperti ruam, kulit kering,
perubahan rambut, perubahan kuku; diare; Reaksi hipersensitivitas; dan ada
beberapa efek yang jarang terjadi, seperti toksisitas jantung. Perawat dapat
melakukan penatalaksanaan untuk meredakan efek samping. Sebagai
contoh, apabila efek samping yang dirasakan pasien berupa ruam kulit,
maka perawat dapat melakukan hal berikut (Yarbro, CH., Wujcik, D., &
Gobel, BH., 2010).

• Perawat dapat melakukan edukasi mengenai efek samping


pemberian terapi. Edukasi dilaksanakan saat pertama kali terapi
dilaksanakan. Perawat dapat memeriksa pemahaman klien
mengenai terapi dengan instruksi tertulis atau diskusi.
• Apabila pasien merasakan gejala muncul, maka pasien segera
memanggil perawat.
• Pemberian gel klindamisin sebagai Antibiotik tropikal yang
bersifat anti inflamasi dapat digunakan untuk ruam berjerawat,

31
dan krim kortison dapat digunakan untuk ruam makula untuk
pencegahan dini
• Instruksikan pasien untuk menggunakan produk untuk kulit yang
berbahan dasar air, dan non alkohol untuk meminimalkan kulit
kering
• Instruksikan pasien juga untuk menghindari lotion dan krim yang
mengandung iritan
• Instruksikan pasien untuk menghindari paparan sinar matahari
secara langsung, dan gunakan produk sun screen apabila
beraktivitas di luar rumah.
• Instruksikan pasien untuk mandi dengan air hangat dan
menggunakan sabun yang lembut
• Pasien yang masih beraktivitas di luar rumah juga butuh dukungan
dari keluarga atau kerabat terdekat selama terapi dilakukan.
Oleh karena itu, perawat perlu menyadari dan mewaspadai akan
adanya toksisitas atau efek samping yang terjadi saat terapi dilaksanakan.
Apabila penatalaksanaan efek samping berhasil, dapat berpotensi untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien, membuat pasien dapat bertahan pada
terapi untuk waktu yang lama, mengurangi dosis terapi atau jeda terapi.

BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dalam melakukan manajemen pasien dengan kanker, perawat perlu
mengetahui beberapa terapi yang dapat diberikan kepada pasien, seperti terapi
radiasi, bioterapi, dan terapi target. Terapi radiasi merupakan terapi yang

32
umum digunakan kedua setelah kemoterapi. Terapi radiasi dilakukan dengan
menggunakan penyerapan energi dari radiasi pengionan secara langsung pada
target. Simulasi pada terapi radiasi dapat dilakukan dengan simulasi
fluoroskopi, simulasi CT, dan simulasi MRI. Dari simulasi tersebut akan
didapatkan penggambaran radiologi, seperti port films, electronic portal
imaging, Positron Emission Tomography (PET), dan Single Photon Emission
Computed Tomography (SPECT). Terapi radiasi dapat diberikan secara
eksternal dan internal. Namun, terapi radiasi memiliki efek samping bagi
pasien, yaitu reaksi pada kulit, fatigue, kehilangan berat badan, dan
myelosupression. Efek samping tersebut perlu diperhatikan oleh perawat
sehingga manajemen keperawatan yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan persiapan pengetahuan pasien terhadap terapi, persiapan tes
laboratorium, dan mengatisipasi efek samping yang terjadi pada pasien dengan
asuhan keperawatan sesuai masalah pasien.
Bioterapi atau terapi biologis adalah terapi yang merangsang sistem
kekebalan alami tubuh untuk menekan dan menghancurkan sel ganas (kanker).
Bioterapi dilengkapi dengan Biologic Response Modifiers (BRMs) yang secara
alami terjadi dalam sistem kekebalan tubuh atau rekombinan. BRMs memiliki
beberapa jenis, yaitu sitokin, bacillus calmette-guerin (BCG), imuiquimod, dan
vaksin kanker. Pada terapi biologis, manajemen keperawatan yang perlu
diketahui adalah respon inang tumor dengan BRMs, pengetahuan klien
terhadap terapi biologis, dan penanganan efek samping yang terjadi.
Terapi target merupakan pengobatan kanker yang menggunakan obat-
obatan untuk menargetkan gen dan protein tertentu yang terlibat dalam
pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel kanker. Terapi target dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi perubahan genetik tumor, memberikan pengobatan
dengan antibody monklonal dan obat molekul kecil, dan memantau adanya
efek samping pada pasien. Efek samping yang dapat terjadi pada pasien adalah
reaksi dermatologis, diare, reaksi hipersensitivitas, dan efek yang jarang terjadi
seperti toksisitas jantung. Manajemen keperawatan yang dapat dilakukan
perawat adalah dengan mengetahui edukasi yang diterima oleh pasien terkait

33
prosedur, pemberian instruksi untuk pasien mengenai hal yang perlu dihindari,
dan penanganan asuhan keperawatan sesuai masalah klien.
3.2. Saran
Dalam pembuatan makalah ini, penulis berharap jika dapat membantu
pembaca dalam memahami manajemen kanker dengan terapi radiasi, bioterapi,
dan terapi target. Selain itu, penulis juga berharap pembaca dapat memberi
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Adapun
saran yang diberikan untuk perawat maupun calon perawat adalah perlunya
pemahaman lebih dalam mengetahui manajemen kanker pada pasien dengan
kanker. Selain itu, perawat juga perlu memahami asuhan keperawatan yang
sesuai dengan masalah pasien selama menjalani terapi, seperti asuhan
keperawatan yang sesuai dengan efek samping pasien.

34
DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. (2017). Getting Internal Radiation Therapy


(Brachytherapy). Retrieved from:
https://www.cancer.org/treatment/treatments-and-side effects/treatment-
types/radiation/internal-radiation-therapy-brachytherapy.html

Chargari, C., et al. (2019). Brachytherapy: An overview for clinicians. American


Cancer Society Journals. https://doi.org/10.3322/caac.21578

DiFrancesco, T., Khanna, A., & Stubblefield, M. D. (2020). Clinical Evaluation and
Management of Cancer Survivors with Radiation Fibrosis Syndrome. In
Seminars in Oncology Nursing. https://doi.org/10.1016/j.soncn.2019.150982

Henke Yarbro, C., Holmes Gobel, B., & Wujcik, D. (2011). Cancer Nursing:
Principles and Practice, Seventh Edition.

Ignatavicius, D. D., Workman, M. L., Rebar, C. R., & Heimgartner, N. M. (2018).


Medical-Surgical Nursing: Concepts for Interprofessional Collaborative Care
(9th ed.). Missouri: Elsevier.

Jaffray, D. A., & Gospodarowicz, M. K. (2015). Radiation therapy for cancer.


Cancer: Disease Control Priorities. https://doi.org/10.1596/978-1-4648-
0349-9_ch14

Kemenkes RI. (2019). Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI:
Beban Kanker di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI

Kodrat, H., Susworo, R., Amalia, T., & Sabariani, R. R. (2016). Radioterapi
konformal tiga dimensi dengan pesawat cobalt-60. Radioterapi &
Onkologi Indonesia, 7(1), 37-42.
LeMone, Burke, Bauldoff, Gubrud, Jones, L., Berry, B., Carville, Dwyer, Knox,
Moxham, Raymond, Searl, R. (2017). Medical Surgical Nursing: Critical
Thinking For Person-Centered Care, 3rd Ed. Melbourne: Pearson Australia.

35
Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., & Bucher, L. (2014). Medical-
Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems (9th
ed.). St. Louis: Elsevier.
Manosilapakorn, C. (n.d.). Nursing Management for Patients Receiving
Radiotherapy.
National Cancer Institute. (2018). External Beam Radiation Therapy for Cancer.
Retrieved from: https://www.cancer.gov/about-
cancer/treatment/types/radiation therapy/external-beam

Poirier, P. (2013). Nursing-led management of side effects of radiation: evidence-


based recommendations for practice. Nursing: Research and Reviews, March
2013, 47. https://doi.org/10.2147/nrr.s34112

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. (2021). Unit Pelayanan Onkologi dan Radiasi.
Retrieved from:
https://www.rscm.co.id/index.php?XP_webview_menu=0&pageid=82

Sharon L. Lewis, Shannon Ruff Dirksen, Margaret McLean Heitkemper, & Linda
Bucher. (2015). Medical-Surgical Nursing: Assessment And Management Of
Clinical Problems.

Shawata, A. S., Akl, M. F., Elshahat, K. M., Baker, N. A., & Ahmed, M. T. (2019).
Evaluation of different planning methods of 3DCRT, IMRT, and
RapidArc for localized prostate cancer patients: Planning and dosimetric
study. Egyptian Journal of Radiology and Nuclear Medicine.
https://doi.org/10.1186/s43055-019-0021-z

Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2010). Brunner &
Suddarth’s: Textbok of Medical Surgical Nursing 12th Ed. China: Wolters
Kluwer Health.

Timby, Barbara K., & Smith, N. E. (2010). Introdutory Medical-SurgicaNursing


(10th ed.). Lippincott Wlillam & Willkins.

White, L., Duncan, G., & Baumle, W. (2013). Medical Surgical Nursing An
Integrated Approach 3rd Ed. USA: Delmar Cengage Learning

36
Wilkes F. Managing drug infusion reactions: focus on cetuximab monoclonal
antibody therapy. Clin J Oncol Nurs. 2008;12:530–532.

Wilkes, GM. Targeted Therapy: Attacking Cancer with Molecular and


Immunological Targeted Agents. Asia‑Pacific Journal of Oncology Nursing.
2017. 5(2): 137-155.

Yarbro, C. H., Wujcik, D., Gobel, B. H. (2011). Cancer Nursing Principles and
Practice (Seventh). Jones & Bartelett Publishers.

37

Anda mungkin juga menyukai