MAKALAH
MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III
1
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya
kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Konsep Umum dan Asuhan Keperawatan
Pasien Kanker Nasofaring” dengan baik dan tepat pada waktunya. Kami sekaligus pula
menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada fasilitator Mata Kuliah
Keperawatan Dewasa III, Ns. Muhamad Adam, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.MB., atas
bimbingannya hingga kami dapat menyusun makalah ini. Keberhasilan kami dalam
penyusunan makalah ini bukan berasal dari kami saja namun juga bantuan serta dukungan
berbagai pihak. Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami sadar bahwa pada makalah ini tetap ditemukan banyak kekurangan serta jauh
dari kesempurnaan. Kami sangat terbuka dan mengharapkan masukan, kritik, atau saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Dengan dibuatnya makalah sederhana ini kami
berharap dapat meberikan manfaat dan apa yang disampaikan dapat dimengerti oleh setiap
pihak terutama para pembaca. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada perkataan
yang tidak berkenan di hati.
Penulis
Focus Group 2
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 5
BAB II ....................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 7
2.5 Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi Pada Kanker Nasofaring ............ 20
2.6.1 Asuhan Keperawatan diagnosa Risiko Aspirasi pada Pasien KNF ......................... 24
3
2.6.2 Asuhan Keperawatan diagnosa Nyeri Akut/Kronis pada Pasien KNF.................... 25
2.6.3 Asuhan Keperawatan diagnosa Defisit Nutrisi pada Pasien KNF ........................... 30
BAB III.................................................................................................................................... 32
PENUTUP............................................................................................................................... 32
3.1. Kesimpulan.................................................................................................................... 32
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker merupakan penyebab kematian utama pada negara berkembang dan penyebab
kedua terbanyak kematian pada negara maju. Peningkatan insiden kanker di dunia dari tahun
2008 hingga 2012 yaitu sekitar 12,7 juta. Kanker Nasofaring (KNF) merupakan keganasan dari
epitel dengan karakteristik yang unik sehingga secara epidemiologi, patologi, dan klinis
berbeda dari kasus kanker kepala dan leher lainnya. Sifat tumor yang sensitive terhadap radiasi
membuat kemoradiasi konkruen menjadi terapi utama kasus KNF lokal lanjut. Namun, KNF
masih memiliki angka rekurensi lokoregional dan metastasis jauh yang cukup banyak (Leu et
al, 2014). Berdasarkan GLOBOCAN (2012), setiap tahunnya terdapat 87.000 kasus baru
kanker nasofaring yang muncul dengan 61.000 kasus baru pada laki-laki dan 26.000 kasus baru
pada perempuan serta 51.000 kematian akibat (KNF) Karsinoma Nasofaring (36.000 pada laki-
laki dan 15.000 pada perempuan). KNF lebih sering dijumpai pada pria usia produktif dan 60%
pasien berusia antara 25 sampai 60 tahun. Angka kejadian tertinggi di dunia yaitu sebesar 40
sampai 50 kasus kanker nasofaring yang terjadi di provinsi China Tenggara diantara 100.000
penduduk. Sedangkan, Eropa dan Amerika Utara sangat jarang ditemukan kanker nasofaring
(angka kejadian <1/100.000 penduduk) (Ferlay, 2015). Di Indonesia, karsinoma nasofaring
merupakan salah satu jenis keganasan yang sering ditemukan berada pada urutan ke-4 kanker
terbanyak di Indonesia setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru
(Kemenkes, 2017).
5
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dan klasifikasi (overview) dari kanker nasofaring
2. Mengetahui etiologi dan patofisiologi kanker nasofaring?
3. Mengetahui pengkajian dan pemeriksaan fisik diagnostic pada kanker nasofaring
4. Mengetahui pemeriksaan diagnostik dan laboratorium pada klien dengan kanker
nasofaring
5. Mengetahui penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi dari penyakit
osteoarthritis
6. Mengetahui asuhan keperawatan klien dengan kanker nasofaring
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
a. Jenis kanker lain juga dapat ditemukan di nasofaring, seperti:
b. Limfoma, yaitu kanker sel sistem kekebalan yang disebut limfosit yang ditemukan
di seluruh tubuh termasuk di nasofaring.Contohnya Limfoma Non-Hodgkin
(American Cancer Society, 2018).
c. Adenokarsinoma dan karsinoma kistik adenoid, yaitu kanker yang dapat dimulai di
kelenjar ludah minor di nasofaring. Namun, kanker ini lebih banyak ditemukan di
hidung atau mulut. Contohnya kanker rongga mulut dan orofaring; kanker rongga
hidung dan sinus paranasal; atau kanker kelenjar ludah (American Cancer Society,
2018).
3. Benign nasopharyngeal tumors (Tumor jinak nasofaring)
Tumor jinak nasofaring jarang dan cenderung berkembang pada anak-anak dan dewasa
muda. Tumor ini tidak menyebar ke bagian tubuh lain dan biasanya tidak mengancam jiwa,
termasuk tumor atau malformasi sistem vascular (pembawa darah) seperti angiofibroma
dan hemangioma (American Cancer Society, 2018).
(Kemenkes, 2017)
8
Pengelompokkan Stadiun Kanker Nasofaring :
(Kemenkes, 2017)
9
a. Stadium IVA
Sel kanker telah menyebar ke otak, saraf kranial, hipofaring, kelenjar ludah di depan
telinga, tulang di sekitar mata, dan jaringan lunak rahang. Sel kanker juga mungkin
telah menyebar ke satu atau lebih kelenjar getah bening di satu atau kedua sisi leher.
Kenjar getah bening yang terkana lebih besar dari 6cm atau ditemukan dibagian
bawah leher.
b. Stadium IVB
Sel kanker telah menyebar keluar kelenjar getah bening, seperti di antara paru-paru,
dibawah tulang selangka, di ketiak atau ke bagian tubuh lain seperti tulang atau hati.
10
daerah endemik virus. Virus Epstein Barr (EBV) menginfeksi lapisan epitel di nasofaring dan
menyebabkan transformasi ganas. Karsinoma ini terbanyak merupakan keganasan tipe sel
skuamosa (Sinha & Gajra, 2020)
Gejala didasarkan pada luasnya tumor dan pola penyebarannya. Gejala awal kanker
adalah epistaksis atau obstruksi hidung unilateral. Terdapat gejala yang jarang terlihat karena
dinilai umum, diantaranya adalah a) peningkatan massa leher akibat metastasis kelenjar getah
bening, b) otitis media, dan c) obstruksi. Risiko metastasis meningkat jika tumor hingga
kelenjar getah bening (Yabro et al, 2011)
Keterlibatan saraf kranial dapat menyebabkan mati rasa wajah, diplopia, atau gejala apa
pun yang berhubungan dengan kelumpuhan saraf kranial. Saraf kranial ketiga, kelima, keenam,
dan keduabelas paling sering terkena. Disfagia dan odynophagia seperti yang terlihat pada
kanker kepala dan leher lainnya jarang terlihat pada kanker nasofaring stadium awal karena
tempat asalnya berada di atas orofaring (Sinha & Gajra, 2020)
Rongga telinga tengah merupakan ruang udara yang terletak di temporal tulang. Selaput
lendir melapisi telinga tengah menyambung dengan faring hidung melalui tabung eustachius
(pendengaran). Tabung eustachius berfungsi untuk menyamakan tekanan udara antara telinga
tengah dan tenggorokan serta memungkinkan membran timpani untuk bergerak bebas.
Penyumbatan tabung eustachius bisa terjadi karena infeksi nasofaring dan hipertrofi jaringan
di nasofaring. Jaringan yang berlebihan (hipertrofi) juga dapat merusak fungsi tuba eustachius
dan menyebabkan telinga terasa penuh atau nyeri (Lewis et al, 2014)
Menurut Sinha & Gajra (2020) terdapat beberapa faktor risiko yang memicu karsinoma
nasofaring, diantaranya
a. Pola makan
Pola makan yang terdiri dari makanan yang diawetkan atau mengandung nitrosamin
berisiko menyebabkan kanker nasofaring. Contoh makanannya adalah makanan dengan
garam dan makanan beruap seperti daging, ikan, telur, dan daun sayuran (Yabro et al,
2011)
b. Kebiasaan merokok
c. Riwayat keluarga kanker nasofaring
d. Konsumsi alkohol
11
e. Usia, kanker area kepala dan leher paling banyak terjadi pada pasien usia 50 sampai 60
tahun
f. Infeksi human papillomavirus (HPV)
g. Terapi radiasi ke kepala dan leher
A. Keluhan utama
Keluhan utama pasien umumnya terkait dengan keluhan klinis yang perlu diwaspadai
kemungkinan kanker nasofaring, dimana keluhan ini terdiri atas:
1. Keluhan terkait pembesaran kelenjar getah bening regional
Pembesaran pada kelenjar getah bening regional ialah gejala umum yang biasanya
dikeluhkan oleh pasien, dimana sekitar 76% pasien dengan kanker nasofaring
memiliki massa leher asimtomatik di posterior triangle (Leung & Tong, 2020).
2. Keluhan terkait gangguan pada hidung
Pada umumnya, pasien dengan penyakit tahap awal datang dengan keluhan hidung
tersumbat, postnasal drip (yakni aliran lendir dari hidung ke tenggorokan), dan
penurunan fungsi penciuman (Lo & Lu, 2010). Selain itu, sekitar 42,3% pasien
mengeluh mimisan pada tahap awal (Leung & Tong, 2020).
3. Keluhan terkait gangguan pada telinga
Sekitar 39,9% dari seluruh pasien kanker nasofaring mengeluh mengalami gangguan
pendengaran (Leung & Tong, 2020). Kehilangan pendengaran konduktif pada kanker
nasofaring disebabkan oleh infiltrasi tumor pada otot tuba sehingga mekanisme
12
pembukaan tuba Eustachius mengalami kerusakan dan efusi telinga tengah sehingga
menyebabkan penurunan pendengaran (Leung & Tong, 2020). Keluhan lain yang
dikeluhkan pasien pada kanker nasofaring termasuk tinnitus (telinga berdenging) dan
otitis media sebagai peringatan untuk perkembangan kanker (Lo & Lu, 2010).
4. Keluhan neurologis
Keluhan neurologis yang biasanya disampaikan ialah sakit kepala dimana 20% pasien
mengalaminya sebagai akibat dari kanker nasofaring yang mengikis dasar tengkorak
dan menyerang saraf kranial (CN) (Leung & Tong, 2020).
5. Keluhan nyeri
Nyeri ialah gejala umum yang paling sering dialami oleh pasien, dimana 96% pasien
dengan kanker nasofaring umumnya mengeluh nyeri pada kepala, telinga, rahang,
wajah bagian tengah, dan leher (Leung & Tong, 2020).
B. Riwayat keluarga
Dalam melakukan anamnesis, penting bagi perawat untuk menanyakan terkait dengan
riwayat kanker nasofaring pada keluarga pasien. Hal ini karena, pasien dengan riwayat
keluarga memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terkena kanker nasofaring (3,64%)
dibandingkan pada pasien tanpa riwayat keluarga dengan kanker nasofaring (Wang & Lu,
2017).
C. Pola diet
Berkaitan dengan pola diet, diketahui bahwa konsumsi ikan asin secara signifikan
termasuk faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan terkena kanker nasofaring
(Leung & Tong, 2020).
D. Riwayat lingkungan dan pekerjaan
Berkaitan dengan kondisi lingkungan dan pekerjaan, diketahui bahwa paparan api dari
memasak kayu domestik dan pelarut termasuk dalam faktor risiko yang dapat
meningkatkan kemungkinan terkena kanker nasofaring (Leung & Tong, 2020).
A. Pemeriksaan umum
13
Pemeriksaan umum pada kanker nasofaring, meliputi pemeriksaan status kesadaran dan
tanda-tanda vital pasien (Primadina & Imanto, 2017).
B. Pemeriksaan kepala dan wajah
Pemeriksaan kepala dilakukan dengan:
1. Inspeksi area wajah dengan meminta pasien untuk mengangkat kedua alis, menutup
mata dengan erat, mengerutkan wajah dengan kuat dan kemudian tersenyum lebar
untuk menilai kesimetrisan pada wajah (Yarbro et al., 2011). Pada kanker
nasofaring, CN VII (facial motor) seringkali terdampak sehingga menyebabkan
ketidaksimetrisan (Leung & Tong, 2020).
2. Palpasi otot temporal dan otot masseter pada area kepala dan wajah dengan
meletakkan tangan di atas otot temporal lalu otot masseter untuk meraba
kesimetrisan kontraksi otot (Yarbro et al., 2011). Pada kanker nasofaring, CN V
(saraf trigeminal) adalah lokasi yang paling sering terkena karena letaknya
berdekatan dengan foramen lacerum (Leung & Tong, 2020).
C. Pemeriksaan mata
Pemeriksaan mata untuk kanker nasofaring dilakukan dengan:
1. Inspeksi mata untuk ptosis bulbi (kelopak mata atas menurun), fisura palpebra
menyempit (normalnya: fissura palpebra vertikal 2-9 mm dan fissura palpebra
horizontal 28- 30 mm), dan kemampuan pasien membuka mata. Paresis CN III
menyebabkan kelumpuhan mata m.levator palpebra dan m.tarsalis superior sehingga
menyebabkan oftalmoplegia serta ptosis bulbi, fissura palpebra menyempit dan
kesulitan membuka mata (Primadina & Imanto, 2017).
14
2. Inspeksi mata untuk diplopia (penglihatan ganda) dengan mengamati posisi dan
gerakan kedua bola mata pasien ketika dihadapkan dengan benda atau cahaya pada
jarak 30 cm di depan mata pasien, kemudian minta pasien untuk melihat benda
tersebut. Tanyakan pada pasien apakah mengalami diplopia saat dilakukan
pemeriksaan. Pada penderita kanker nasofaring, paresis pada CN III, IV dan VI akan
menimbulkan keluhan diplopia (Leung & Tong, 2020 ; Primadina & Imanto, 2017)
D. Pemeriksaan hidung
Menurut (Primadina & Imanto, 2017), pemeriksaan pada hidung dilakukan dengan:
1. Inspeksi hidung untuk epistaksis dan sumbatan hidung termasuk pilek kronis, lendir
hidung kental dan gangguan penciuman.
2. Periksa fungsi indera penciuman dengan meletakkan swab alkohol atau bahan lain
yang berbau ke hidung pasien untuk menilai adanya anosmia
E. Pemeriksaan mulut dan faring
Pemeriksaan mulut dan faring mencakup :
1. Inspeksi dan palpasi mulut untuk menilai adanya leukoplakia (lesi putih pada
mukosa mulut), eritroplakia (lesi merah pada mukosa mulut), hipersaliva, bisul, dan
massa (Primadina & Imanto, 2017)
2. Periksa gerakan palatum dengan meminta pasien mengucapkan huruf “a” dengan
panjang disertai menjulurkan lidah untuk melihat gerakan uvula dan arcus
pharyngeus. Normalnya uvula akan berdeviasi kearah yang normal (berlawanan
dengan gerakan menjulurkan lidah). Parese N.XII akibat infiltrasi tumor
menyebabkan lidah berdeviasi ke sisi yang lumpuh saat dijulurkan dan suara pelo
(Leung & Tong, 2020).
15
3. Periksa refleks muntah dengan meraba dinding belakang faring dan bandingkan
refleks muntah kanan dan kiri. Pada pasien dengan kanker nasofaring parese N. IX
menyebabkan hilangnya refleks muntah dan disfagia ringan (Leung & Tong, 2020).
F. Pemeriksaan telinga
Menurut Leung & Tong (2020), pemeriksaan telinga dilakukan dengan:
1. Inspeksi kemampuan mendengar dengan melakukan tes weber dengan menempatkan
garpu tala (512 Hz) pada simpul dahi. Pada kasus penderita kanker nasofaring, suara
yang dirasakan akan lebih keras di telinga yang terinfeksi.
2. Inspeksi liang telinga dengan menggunakan otoskop untuk memeriksa membran
timpani untuk melihat otitis media.
G. Pemeriksaan leher
Pemeriksaan leher pada kanker nasofaring yakni:
1. Pegang leher dengan lembut dan minta pasien memutar kepala dari sisi ke sisi
terhadap resistensi
2. Inspeksi dan palpasi leher dimulai dari regio preauricular, lalu ke area parotid
kemudian submental, submandibular, lalu diikuti dengan lingkaran di sekitar anterior,
supraclavicular, jugulodiagastric, dan posterior triangle, dan berakhir di area post-
auricular leher (Leung & Tong, 2020). Palpasi untuk massa, kelembutan atau rasa
sakit, pembengkakan di sepanjang cervical lymph nodes (Yarbro et al., 2011). Massa
di cervikal atas dan posterior triangle perlu dicurigai merupakan keganasan
nasofaring (Leung & Tong, 2020).
16
H. Pemeriksaan level kelenjar getah bening (lymph nodes) di leher
Inspeksi dan palpasi pembesaran kelenjar getah bening, periksa adanya benjolan pada
kelompok kelenjar getah bening leher untuk membedakan kanker nasofaring dari massa
leher lainnya (Leung & Tong, 2020). Pemahaman terhadap level kelenjar getah bening
diperlukan untuk menggambarkan lokasi kelenjar getah bening di leher (Leung & Tong,
2020).
I. Pemeriksaan nasofaring
Inspeksi nasofaring dengan endoskopi untuk melihat adanya massa, tumor, ataupun
pendarahan pada nasofaring (Lo & Lu, 2010).
17
2.4 Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik Nasopharingeal Carcinoma
Pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk mengetahui tingkat keganasan (ukuran tumor
dan kedalaman), bukti invasi (ekstrakapsular, limfatik), kecukupan eksisi bedah (status margin
bedah positif atau negatif), derajat inti (mitosis rate), dan respon tumor terhadap pengobatan
atau perilaku penyakit (status reseptor, penanda tumor) (Lewis, 2014). Tidak semua
pemeriksaan diagnostik kanker pada umumnya dapat dilakukan pada NPC, dikarenakan
letaknya yang jauh dalam kepala dan dekat leher (American Cancer Society, 2021).
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan, diantaranya:
No Pemeriksaan Deskripsi
18
4. CT scan Penggunaan sinar-X sinar untuk memindai lapisan dari jaringan
(Lewis, 2014). CT scan kepala dan leher dapat memberikan informasi
tentang ukuran, bentuk, dan posisi tumor. Untuk kanker nasofaring,
CT banyak digunakan karena menawarkan ketersediaan yang lebih
besar, lebih murah, dan lebih sedikit memakan waktu (Yarbro, H. C.,
Wujcik, D., & Gobel, H. B, 2011).
19
Sumber: King, A. D., Woo, J. K. S., Chan J. S. M., etc, (2019).
Pemeriksaan laboratorium seperti tes darah tidak digunakan untuk mendiagnosis NPC,
tetapi dapat dilakukan karena alasan lain, seperti membantu mencari tahu apakah kanker telah
menyebar ke bagian lain dari tubuh. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu
pemeriksaan kadar DNA virus Epstein-Barr (EBV). Pemeriksaan ini berguna untuk mengukur
tingkat DNA EBV pada darah. Uji DNA EBV dapat dilakukan sebelum dan sesudah perawatan
untuk membantu menunjukkan keberhasilan intervensi (American Cancer Society, 2021).
A. Progestin
Menurut studi analisis progestin bermanfaat meningkatkan selera makan dan BB
namun tidak tidak memberikan efek untuk meningkatkan massa otot dan kualitas hidup
klien. Dosis yang optimal penggunaan progestin sebesar 480-800 mg/hari. Penggunaan
obat ini domulai dengan dosis yang kecil dan ditingkatkan secara bertahap jika selama
dua minggu obat tidak memberikan efek yang optimal.
B. Kortikosteroid
20
Kortikosteroid merupakan zat oreksigenik paling banyak digunakan. Penelitian
menunjukan pemberian kortikosteroid dapat meningkatkan selera makan dan kualitas
hidup klien
C. Siproheptadin
Siproheptadin merupakan antagonis dari reseptor 5-HT3 yang dapat memperbaikin
selera makan dan BB klien. Efek samping yang sering timbul dari jenis obat ini yaitu
pusing dan mengantuk.
1. Radioterapi
Radioterapi dapat diberikan sebagai terapi kuratif, definitive, dan paliatif.
a. Radioterapi kuratif definitive diberikan pada kanker nasofaring T1N0M0 (NCCN
Kategori 2A, konkuren bersama kemoterapi (kemoradiasi) pada T1N1-3,T2-T4 N0-3
(NCCN kategori 2A. sasaran dari radiasi yang diberikan yaitu tumor primer dan KGB
leher dan supraklavikula kepada seluruh stadium (I, II, III, IV lokal). Radiasi yang
diberikan berupa radiasi eksterna, radiasi intrakaviter, dan booster sebagai tambahan.
Radiasi eksterna mencakup gross tumor (nasofaring) beserta kelenjar getah bening
leher dengan dosis 66 Gy pada T1-2 atau 70 Gy pada T3-4, disertai penyinaran
kelenjar supraklavikula dengan dosis 50 Gy. Radiasi intrakaviter diberikan sebagai
booster pada tumor primer tanda adanya kelenjar gatah bening, diberikan dengan dosis
4x3 Gy, sehari 2x, apabila memerlukan booster pada kelenjar getah bening maka
diberikan penyinaran dengan electron. Teknik yang diberikan pada pengobatan kanker
nasofaring yaitu Teknik konvensional 2 dimensi, Teknik konvensional 3 dimensi (3D
Conformal Radiotherapy), dan Teknik intensity modulated radiation (IMRT).
b. Brakhiterapi dilakukan menggunakan aplikator Levendag dnegan sumber radiasi Ir
192 HDR dengan dilakukan tindakan anestesi lokal atau umum. NGT 100cm dengan
penampang 2 mm dimasukan melalui hidung dan keluar melalui mulut, sembari
dipasang aplikator levendeg lalu difiksasi, pemasangan kedua, aplikator dummy untuk
foto AP dan lateral. Dosis pemasangan ini ditentukan pada daerah nasofaring, dan
tidak boleh melebihi dosis jaringan sehat.
21
c. Radioterapi Paliatif dapat diberikan kepada klien dengan kasus stadium lanjut, dimana
kuratif sudah tidak dapat lagi dipertimbangkan. Pada stadium lanjut, radioterapi
locoregional diberikan setting kuratif pada klien dengan metastasis daerah terbatas
atau beban tumor yang rendah dengan tujuan mengurangi gejala selama toksisitas
radiasi. Radioterapi paliatif diberikan pada klien kanker nasofaring yang sudah
bermetastase jauh, seperti ke tulang, dan menimbulkan nyeri.
2. Kemoterapi
Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer yang diberikan pada klien dengan
T2-T4 dan N1-N3. Kemeterapi sebagai radiosensitizer diberikan preparate platinum based
30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan
radiasi. Pada kasusu N3> 6cm, diberikan kemoterapi dosis penuh neo adjuvant atau
adjuvant. Terapi sistemik pada penyakit ini dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvant, yaitu
cisplatin + RT diikuti dengan cisplatin/5-FU atau carboplatin/ 5-FU. Dosis preparate
platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali setiap minggu.
3. Dukungan nutrisi
Klien dengan kanker nasofaring sering mengalami malnutrisi dengan perevelensi
35% dan sekitar 6,7% mengalami malnutrisi berat. Malnutrisi dapat mempengaruhi
respons terapi, kualitas hidup, dan survival klien. klien dengan kanker nasofaring sering
mengalami efeksamping terapi, seperti diare, muntah, mual, mucositis, dysgeusia, dan
xerostomia. Kondisi tersebut dapat meningkatkan stress metabolisme sehingga perlu
mendapatkan tatalaksanan nutrisi secara optimal. Menurut European Partnership for
Action Against Cancer (EPAAC) dan The European Society for Clinical Nutrition and
Metabolism (ESPEN), klien dengan kanker nasofaring perlu melakukan skrinning gizi
untuk mendeteksi adanya gangguan nutrisi, asupan makan, oenurunan BB, dan indeks
massa tubuh sejak klien didiagnosis kanker. Klien dnegan hasil yang abnormal perlu
dilakukan penilaian objektif dan kuantitatif asupan nutrisi, kapasitas fungsional, dan
derajat inflamasi sistemik. Semua klien kanker nasofaring disarankan untuk melakukan
skrinning rutin untuk menilai asupan nutrisi yang tidak adekuat serta penilaian BB dan
IMT. Selain itu terdapat pemeriksaan radilogik yang dapat dilakukan klien dengan kanker
nasofaring, diantaranya (Komite Penanggulangan Kanker Nasional Kemenkes RI, 2015) ;
a. CT Scan nasofaring mulai setinggi sinus frontalis sampai dengan klavikula,
potongan koronal, aksial dan sigital tanda dengan kontras. Teknik pemberian kontras
dengan injector 1-2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT scan berguna untuk melihat
22
adanya tumor primer dan penyebaran jaringan disekitarnya serta penyebaran
kelenjar getah bening regional
b. Foto thoraks untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai adanya
kelainan
c. Bone scan untuk melihat metastasis tulang.
Seorang laki-laki berusia 45 tahun dirawat dengan keluhan sakit kepala sejak, pipi kiri
terasa tebal, pandangan mata kiri kabur, makan minum sulit, dan telinga kiri keluar cairan sejak
1 bulan yang lalu. Pasien merasa pilek, hidung buntu dan pendengaran telinga kiri berkurang
sejak 10 hari yang lalu. Pasien memiliki riwayat hipertensi. Pasien juga merokok dan minum
minuman alkohol sejak remaja dan berhenti setelah sakit.
23
yang tidak jelas yang sudah menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan meluas ke intrkranial. Pasien
didiagnosis KNF T4N0M0 dan direncanakan kemoterapi.
Berdasarkan data yang sudah didapatkan maka dapat ditegakkan diagnosis yang berkaitan
dengan kondisi klien yaitu risiko aspirasi. Diagnosis risiko aspirasi adalah resiko mengalami
masuknya sekresi gastrointestonal, sekresi orofaring, benda cair atau padat ke dalam saluran
trakeobronkhial akibat disfungsi mekanisme protektif saluran napas. Hal ini berkaitan dengan
kondisi klien yaitu klien mengalami kesulitan makan dan minum, terdapat parase pada N III,
V, VI, IX, dan X, dan terdapat massa solids pada nasofaring kiri.
Diagnosis Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
0039 Risiko Aspirasi NOC Aspiration precaution
1. Pencegahan Aspirasi Definisi: pencegahan atau
Definisi: Rentan
2. Status respirasi: ventilasi minimalisasi faktor risiko pada
terhadap masuknya
pasien yang berisiko mengalami
sekresi
Kriteria Hasil aspirasi
gastrointestinal,
1. Klien mampu menelan dan
sekresi orofaringeal,
mengunyah makanan Aktivitas:
padatan, atau cairan
24
ke saluran tanpa terjadi aspirasi serta 1. Memantau tingkat kesadaran,
trakeobronkial, yang dapat menjaga kebersihan refleks batuk, refleks muntah,
dapat mengganggu mulut dan kemampuan menelan
kesehatan.(Nanda, 2. Klien mampu bernapas 2. Memonitor status paru dan
2018). dengan mudah dan tidak mempertahankan jalan napas
berirama, serta frekuensi 3. Lakukan suction jika
pernapasan diperlukan
4. Cek nasogastric sebelum
makan
5. Hindari pemberian makan
jika residu tinggi
6. Awasi saat makan dan bantu
seperlunya
7. Potong makanan kecil-kecil
8. Periksa tabung NG atau
gastrostomy sisa sebelum
makan
9. Hindari cairan atau
menggunakan zat pengental
10. Penawaran makanan atau
cairan yang dapat dibentuk
menjadi bolus sebelum
menelan
25
3. Pendengaran telinga kiri berkurang sejak
10 hari yang lalu (desakan pembengkakan
jaringan akibat tumor).
4. Pasien merasa pilek dan hidung buntu
(desakan pembengkakan jaringan akibat
tumor).
5. TD 120/85 mmHg, frekuensi jantung 84
x/menit, frekuensi napas 16 x/menit, suhu
36,4 C. (TTV dapat meningkat pada klien
dengan nyeri)
26
2. Tentukan waktu dan pemicu 2. Nyeri dapat terjadi
nyeri hebat saat mendekati akhir interval
menggunakan agens 24 jam, dosis, yang menandakan
baik oral, intravena, topikal, kebutuhan akan dosis yang
transmukosa, epidural, atau lebih tinggi atau interval
medikasi koyok. dosis yang lebih singkat.
Nyeri dapat terjadi oleh
pemicu yang dapat
diidentifikasi maupun
spontan, sehingga
dibutuhkan penggunaan
agens dengan waktu paruh
singkat untuk dosis
penyelamatan atau
tambahan.
4. Meningkatkan relaksasi
4. Beri tindakan kenyamanan
dan membantu
nonfarmakologis, misalnya
27
massase, perubahan posisi, memfokuskan kembali
dan gosokan punggung, perhatian.
serta aktivitas pengalih,
misalnya musik, membaca,
dan TV.
5. Memungkinkan klien
5. Dorong penggunaan
untuk berpartisipasi secara
keterampilan manajemen
aktif pada terapi non obat
stres dan terapi
dan meningkatkan rasa
komplementer (relaksasi,
kendali. Teknik distraksi
visualisasi, imajinasi
dapat dikembangkan untuk
terbimbing, biofeedback,
mengurangi nyeri.
tertawa, musik,
aromaterapi, sentuhan
terapeutik).
28
Menunjukkan akupuntur, jika klien
penggunaan menginginkanya.
keterampilan relaksasi
dan aktivitas pengalih 8. Susun rencana manajemen 8. Rencana teratur yang
sesuai indikasi untuk nyeri perorangan dengan dimulai dengan jadwal
situasi individu. klien dan dokter. Berikan dosis yang paling
salinan rencana tertulis sederhana dan modalitas
untuk klien, keluarga, dan invasif yang paling
orang terdekat. sedikit, memperbaiki
peluang untuk
pengendalian nyeri.
29
10. Rujuk ke kelompok 10. Diperlukan untuk
dukungan terstruktur, mengurangi kecemasan
perawat spesialis klinis dan meningkatkan
psikiatri, psikolog, atau keterampilan koping
konseling sesuai indikasi. klien sehingga
mengurangi tingkat
nyeri.
Sumber: (Doenges, Moorhouse, Murr, 2010); (Bulechek, Butcher, Dochterman, Wagner, 2013); (Moorhead,
Johnson, Maas, Swanson, 2013).
Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan tingkat nyeri yang dirasakan pada
Tuan X dapat berkurang dengan teknik penatalaksanaan nyeri. Evaluasi dari tindakan
keperawatan diharapkan klien mengatakan nyeri berkurang, klien tampak tenang, dan
dilanjutkan intervensi seperti kaji nyeri lebih lanjut dan kolaborasi analgetik.
Diagnosis yang ditegakkan berkaitan dengan kasus pemicu adalah Defisit Nutrisi.
Definisi defisit nutrisi adalah ketidakadekuatan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme. Beberapa karakteristik pada pasien dengan diagnosa defisit nutrisi yaitu memiliki
otot pengunyah lemah, otot menelan lemah, dan tidak mampu menelan dengan baik (SDKI,
2017), Hal ini berkaitan dengan kondisi klien yaitu klien mengalami kesulitan makan dan
minum, terdapat parase pada N III, V, VI, IX, dan X.
30
Kriteria Hasil Intervensi
Observasi:
31
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kanker nasofaring (KNF) merupakan salah satu keganasan pada kepala dan leher yang
paling banyak dijumpai terutama pada pria usia produktif pada sebagian besar populasi di Asia
Tenggara, dan Afrika (Damayanti, Afiati, Hasan, & Hernowo 2015). Kanker nasofaring adalah
tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring (Hasibuan, 2010). Kanker nasofaring
stadium awal (stadium I dan II) bersifat radioresponsif sehingga radioterapi sering digunakan
sebagai terapi kanker nasofaring karena menunjukkan keefektifan yang tinggi terhadap
kematian sel kanker nasofaring (Nasir & Muhith, 2010). Kanker nasofaring (KNF) merupakan
salah satu penyakit yang ditimbulkan oleh interaksi antara virus Epstein Barr, risiko genetik
dan paparan lingkungan, sehingga bisa dikatakan bahwa etiologi KNF bersifat multifaktorial.
Faktor risiko diantaranya faktor lingkungan, genetik, gaya hidup dan okupasi. Kanker
nasofaring adalah jenis kanker tenggorokan yang terjadi pada lapisan luar nasofaring.
Nasofaring merupakan salah satu bagian pada tenggorokan bagian atas yang terletak di
belakang hidung dan di balik langit-langit rongga mulut. Kondisi ini dapat menimbulkan gejala
berupa benjolan pada tenggorokan, penglihatan kabur, hingga kesulitan membuka mulut (Nasir
& Muhith, 2010).
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana KNF termasuk dalam lima besar tumor ganas,
dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah
bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama
(KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor
ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,
hipofaring dalam persentase rendah (Damayanti, Afiati, Hasan, & Hernowo 2015). Nasofaring
terletak pada saluran nafas bagian atas di belakang kavum nasi berbentuk kerucut terpotong.
Daerah tetangga nasofaring adalah rongga hidung, tuba eustakius dan basis krani.
Pertumbuhan tumor pada daerah tetangga menimbulkan manifestasi klinik tertentu. Dalam
pertumbuhan KNF dikenal bentuk yaitu bentuk ulkus, nodul, dan eksofitik. (Tambunan &
Maylani, 1995) Gejala dan tanda pada kanker nasofaring tidak spesifik, sering sekali penderita
mengalami salah diagnosis atau berobat ke dokter dalam kondisi stadium lanjut, sehingga
terapi menjadi lebih rumit. Selain radioterapi sebagai pilihan utama terapi KNF stadium dini,
maka diperlukan juga kemoterapi dan kadang kala operasi pada KNF stadium lanjut, sehingga
32
biaya semakin mahal dan kadang hasil pengobatan tidak memuaskan (Hasibuan, 2010). Dalam
proses keperawatan, ketepatan dalam pemilihan tindakan dapat bepengaruh pada keberhasilan
perawat. Oleh karena itu, penting bagi perawat untuk melakukan pengkajian dengan benar agar
data yang terkumpul lengkap sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan
paripurna bagi pasien baik dari asuhan fisik maupun psikologis.
3.2. Saran
Melalui makalah ini, diharapkan kepada setiap pembaca untuk dapat memberi saran
dan kritik yang membangun bagi penulis demi kesempurnaan makalah ini sehingga dapat
menambah pengetahuan khususnya dalam bidang kesehatan. Saran bagi perawat ialah lebih
memperdalam ilmu, melatih keterampilan keperawatan secara teratur sehingga selalu sigap
dalam penanganan pada pasien kanker. Selain itu perawat juga harus memastikan perawatan
dirumah dengan cara memberikan edukasi perawatan kepada keluarga dan klien.
33
DAFTAR PUSTAKA
Adham, M., Gondhowiardjo, S., Soediro, R., Jack, Z., & Lisnawati. (2017). Kanker nasofaring.
Bulechek, G.M., Dochterman, J.M., Bucher, H.K., Wagner, C.M. (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC), 6th Ed. St. Louis: Elsevier.
Chen, Y. P., Chan, A. T. C., Le, Q. T., Blanchard, P., Sun, Y., & Ma, J. (2019). Nasopharyngeal
carcinoma. The Lancet, 394, 64–80. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(19)30956-0
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., Murr, A.C. (2010). Nursing care plan: Guidelines for
Individualizing Client Care Across the Life Span 8th Edition. USA: F. A. Davis
Company.
Damayanti, B S., Afiati., Hasan A A., & Hernowo B S. (2015). Imunoekspresi Bcl-2 sebagai
Prediktor Respons Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring yang Tidak Berdiferensiasi.
Journal of Medicine and Health Vol 1 (1): Hal 1-11
Ferlay, J. S. (2015). Cancer incidence and mortality worldwide: sources, methods and major
patterns in GLOBOCAN 2012. Int. J. Cancer; 136.
Hasibuan, S. (2011). Komplikasi Oral Pada Klien yang Menjalani Radioterapi Kanker
Nasofaring Di RSUP H. Adam Malik Medan. USU Institutional Repository
34
Ignatavicius, D. D., Workman, M. L., & Rebar, C. R. (2018). Medical-surgical nursing
concepts for interprofessional collaborative care (9th ed.). Missouri: Elsevier.
Kartini, M & Widjasena, A.B. (2012). Tingkat Ketahanan Hidup Penderita Kanker Nasofaring
pada Berbagai Modalitas Terapi: Studi Kasus yang Menjalani Terapi Konvensional dan
Pengobatan Komplementer Alternatif. Media Medika Indonesia.
King, A. D., Woo, J. K. S., Chan J. S. M., etc. (2019). Complementary Roles of MRI and
Endoscopic Examination in The Early Detection of Nasopharyngeal
Carcinoma. USA: Europian Society for Medical Oncology. Vol (3).
doi:10.1093/annonc/mdz106.
Leu, Y. et al. (2014). Prognosis of Nasopharyngeal Carcinoma in the Elderly is Worse than in
Younger Individuals Experience of a Medical Institute. Int. J Gerontol;8(2):81-84.
doi:10.1016/j.ijge.2013.08.008
Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher (2014). Medical-Surgical Nursing, Assessment and
Management of Clinical Problems (9th ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby.
Lo, S. S., & Lu, J. J. (2010). Nasopharyngeal Cancer Multidisiplinary Management (J. J. Lu,
J. S. Cooper, & A. W. M. Lee (eds.)). USA : Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-
540-92810-2_4
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., Swanson, E. (2013). Outcomes Classification (NOC):
Measurement of Health Outcomes 5th Edition. USA: Elsevier Mosby.
35
Nasir, A., & Muhith, A. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa: Pengantar dan Teori.
Jakarta: Salemba Medika
National Cancer Institute. (2019). Nasopharyngeal Cancer Treatment (Adult). U.S Department
of Health and Human Services. Retrieved from: https://www.cancer.gov/types/head-
and-neck/patient/adult/nasopharyngeal-treatment-pdq
Pratiwi, A., & Imanto, M. (2020). Karsinoma Nasofaring dengan Multiple Cranial Nerve Palsy
Pada Pasien Wanita Usia 52 Tahun. Jurnal Medula, 9(4), 609–615.
Primadina, M. A., & Imanto, M. (2017). Tumor Nasofaring dengan Diplopia Pada Pasien Usia
44 Tahun. Jurnal Medula, 7(4), 181–186.
https://pdfs.semanticscholar.org/7ceb/0584bef15548f883eb6dd330d4a567464fe1.pdf
Tambunan, G. & Maylani, H. (1995). Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker
Terbanyak di Indonesia. Jakarta: EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi
1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1
Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia(SIKI), Edisi 1.
Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia
Wang, Y., & Lu, X. (2017). The Incidence and Prognosis of Nasopharyngeal Carcinoma
Patients With Family History. Oncotarget, 99(2), 97323–97330.
https://doi.org/10.1016/j.ijrobp.2017.06.1512
Yarbro, C. H., Wujcik, D., & Gobel, B. H. (2011). Cancer Nursing Principles and Practice 7th
Edition. Canada : Jones and Bartlett Publisher.
36