Anda di halaman 1dari 130

i

UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN KASUS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA PADA


KLIEN RISIKO BUNUH DIRI DENGAN PENDEKATAN
TEORI CHRONIC SORROW DI RUANG UTARI
RUMAH SAKIT MARZOEKI MAHDI BOGOR

KARYA ILMIAH AKHIR

SITI NURJANAH
0906620562

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM PENDIDIKAN PERAWAT SPESIALIS JIWA
DEPOK
JUNI 2013

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
ii

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
iii

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
iv

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
v

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
vi

ABSTRAK

Nama : Siti Nurjanah


Program Studi : Keperawatan Jiwa
Judul Karya Tulis Akhir : Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan
Jiwa pada Klien Risiko Bunuh Diri dengan
Pendekatan Teori Chronic Sorrow di
Ruang Utari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi
Bogor
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang untuk
mengakhiri kehidupannnya. Perilaku bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan
secara sengaja untuk membunuh diri sendiri. Bunuh diri melibatkan ambivalensi
antara keinginan untuk hidup dan keinginan untuk mati. Perilaku bunuh diri terdiri
dari tiga tingkatan berupa ide/isyarat bunuh diri, ancaman bunuh diri, dan
percobaan bunuh diri (Videbeck,2011). Seseorang yang berisiko melakukan
bunuh diri adalah ketika mereka tidak mampu mendapatkan solusi dari
permasalahan dan penderitaan yang dialami. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir
ini adalah memberikan gambaran hasil manajemen kasus spesialis pada klien
risiko bunuh diri melalui pendekatan model stress adaptasi Stuart dan teori
Chronic Sorrow Eakes di rumah sakit Marzuki Mahdi. Tindakan keperawatan
diberikan kepada 11 klien dengan menggunakan terapi kognitif. Terapi kognitif
yang diberikan pada klien menunjukkan peningkatan dalam pencegahan perilaku
bunuh diri. . Terapi kognitif menunjukkan efektifitas kemampuan klien untuk
berpikir positif. Rekomendasi: pada klien risiko bunuh diri dengan pendekatan
model teori Chronic Sorrow bisa diberikan terapi kognitif. Untuk meningkatkan
efektifitas perlu adanya terapi kombinasi bagi klien risiko bunuh diri.

Kata kunci : risiko bunuh diri, teori Chronic Sorrow Eakes, terapi kognitif

ABSTRACT
Suicide is considered as a conscious of a person to end her or his life. Suicidal
behavior is a deliberate act to kill her or himself. Suicide involves an ambivalence
between the desire to live and wanting to die. Suicidal behavior consists of three
tiers in the form of ideas / cues suicide, self unuh threats, and suicide attempts
(Videbeck, 2011). Someone at risk of suicide is when they are not able to get the
solution of problems and suffering. The purpose of writing this scientific paper
was to describe the result of specialized case Stuart’s Stress Adaptation and
Eakes’s Chronic Sorrow Theories in Marzuki Mahdi Hospital. The Nursing
interventions were provided to 11 clients using cognitive therapy. The cognitive
therapy provided to the clients showed the improvement in the prevention of
suicidal behavior. The cognitive therapy has demonstrated the effectiveness of
positive thingking abilitiet of the cliens.It is recommended that the suicidal risk
clients can be treated with ognitive therapy using the combination of the Stuart’
Stress Adaptation and Eakes’ Chronic Sorrow Theories, as well as the
combination of other therapies to be complemented to each other.

Keywords: suicidal risk, Chronic Sorrow Eakes theory, cognitive therapy

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulilahi Rabbil Alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Penulisan karya
ilmiah akhir dengan judul Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa
pada Klien Risiko Bunuh Diri dengan Pendekatan Teori Chronic Sorrow
Eakes di Ruang Utari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Spesialis
Keperawatan Jiwa pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak inilah yang
membuat penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Oleh karena itu,
residen mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dewi Irawaty,MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan


Universitas Indonesia
2. dr. Erie Darmawan, SpKj, selaku Direktur utama Rumah Sakit Marzoeki
Mahdi Bogor yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
mengunakan lahan BLU sebagai tempat praktek.
3. Astuti Yuni Nursasi, SKp., MN, selaku Ketua Program Magister dan
Spesialis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
4. Prof. Achir Yani S Hamid, MN., D.NSc, selaku pembimbing utama
penyusunan karya ilmiah akhir sekaligus pengajar kelompok keilmuan
keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
5. Ice Yulia Wardani, SKp, M.Kep. Sp.Kep. J selaku pembimbing
penyusunan karya ilmiah akhir sekaligus pengajar kelompok Keilmuan
Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
6. Prof. DR. Budi Anna Keliat, SKp.,M.App.Sc, DR. Mustika Sari SKp.,
MARS, Novy Helena CD, SKp, M.Sc , Yossie Susanti Eka Putri SKp,
MN, serta Herni Susanti, SKp, MN, selaku pengajar kelompok keilmuan
keperawatan jiwa FIK UI
7. Bidang Diklit dan Perawatan BLU RS Marzoeki Mahdi Bogor

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
viii

8. Kepala ruangan dan seluruh staf ruang Utari Rumah Sakit Marzoeki
Mahdi Bogor.
9. Seluruh klien dan keluarga yang telah terlibat dalam proses praktik
residensi
10. Orangtua, kakak dan keponakan atas doa dan dukungannya.
11. Suami (Mas Sri Wahyu Januriyanto) dan anak-anakku (Shabrina Khansa
Mumtaz dan Syafiq Royyan Mumtaz), terima kasih atas doa, bantuan,
pengertian dan kesabarannya.
12. Rekan-rekan Program Pendidikan Perawat Spesialis Keperawatan Jiwa.
13. Semua pihak yang tidak dapat residen sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian karya ilmiah akhir ini.

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga karya ilmiah akhir ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu, khususnya ilmu keperawatan jiwa.

Depok, Juni 2013

Penulis

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. i
LEMBAR PERSETUJUAN…………………………………………………….. ii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………… iii
PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………………………… iv
PERSETUJUAN PUBLIKASI………………………………………………….. v
ABSTRAK………………………………………………………………………... vi
KATA PENGANTAR …………………………………………………………... vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. ix

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……………………………………………….. 1
1.2. Tujuan….. ..…………………………………………………… 9
1.3. Manfaat Penelitian ……………………………………………. 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Input………………………………………………….………… 12
2.1.1. Konsep bunuh diri………………………………………. 12
2.1.2. Faktor Predisposisi…………………………….………… 20
2.1.3. Stressor Presipitasi….…………………………………… 24
2.1.4. Penilaian terhadap stressor……………………………… 27
2.1.5. Sumber Koping…………………………………….……. 29
2.1.6. Pengalaman kehilangan………………………….……… 30
2.1.7. Disparitas…………………………………….………….. 31
2.1.8. Peristiwa pencetus………………………………………. 31
2.1.9. Penderitaan kronis (Chronic Sorrow)…………………… 31
2.2. Proses………………………………………………………….. 32
2.2.1. Model Praktek Keperawatan Profesional……………….. 32
2.2.2. Terapi kognitif…………………..………………………. 38
2.2.3. Mekanisme koping……………………………………… 40
2.2.4. Penerapan model teori Chronic Sorrow Eakes ………… 42
2.3. Output………………………………………………………… 45

BAB III. PROFIL LAHAN PRAKTEK……………………………………


3.1 Manajemen Praktek Keperawatan Profesional di RS. Marzoeki
Mahdi Bogor…………………………………………………… 46
3.2 Manajemen Pelayanan Keperawatan Profesional di Ruang
Utari............................................................................................ 56

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
x

BAB IV. PENERAPAN MANAJEMEN SPESIALIS KEPERAWATAN


JIWA PADA DIAGNOSA RISIKO BUNUH DIRI
4.1 Karakteristik klien……………………………………………... 63
4.2 Hasil pengkajian kondisi klinis……………………………….. 64
4.3 Faktor Presipitasi …………………………………………….. 66
4.4 Penilaian terhadap stressor ………………………………….. 69
4.5 Sumber koping……………………………………………….. 70
4.6 Mekanisme koping…………………………………………… 73
4.7 Diagnosa keperawatan dan diagnosa medis…………………… 73
4.8 Rencana Tindakan Keperawatan……………………………… 74
4.9 Penatalaksanaan keperawatan dan medis……………………… 79

BAB V PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Klien………………………………………… 90
5.2 Hasil pengkajian kondisi klinis..…………………………… 95
5.3 Faktor mekanisme koping…………………………………. 106
5.4 Diagnosa keperawatan……………………………………… 106
5.5 Efektifitas manajemen kasus spesialis……………………… 107
5.6 Pandangan penulis tentang penggunaan teori Chronic Sorrow 113

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN


6.1 . Simpulan ……………………………………………………... 115
6.2 . Saran …………………………………………………………. 116

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kesehatan jiwa merupakan suatu keadaan positif yang ditandai dengan
adanya rasa tanggung jawab, menunjukkan kesadaran diri, bebas dari rasa
cemas dan mampu mengatasi masalah yang dihadapi sehari-hari (Shives,
2005). Kesehatan jiwa menurut Mohr (2006) adalah keberhasilan
seseorang menampilkan fungsi mental, melakukan aktivitas produktif,
nyaman berhubungan sosial dan kemampuan beradaptasi dengan
perubahan serta mengatasi kesulitan. Dari definisi kesehatan jiwa tersebut
dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah kemampuan seseorang
dalam menyelesaikan masalah, memberikan cinta kepada sesama dan
mempertahankan kebahagiaan hidup.

Kesehatan jiwa digambarkan dalam sebuah rentang respon dari adaptif


sampai dengan maladaptif yang terdiri dari sehat jiwa, masalah
psikososial dan gangguan jiwa (Stuart, 2011). Kondisi sehat jiwa
digambarkan sebagai respon yang mendukung fungsi integrasi sehingga
seseorang memiliki kemampuan untuk tumbuh, belajar dan mencapai
tujuan hidup. Masalah psikososial adalah setiap perubahan dalam
kehidupan individu baik yang bersifat psikologis ataupun sosial yang
mempunyai pengaruh timbal balik dan dianggap berpotensi cukup besar
sebagai faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa (atau gangguan
kesehatan) secara nyata, atau sebaliknya masalah kesehatan jiwa yang
berdampak pada lingkungan sosial. Sedangkan gangguan jiwa adalah
respon yang menghalangi fungsi integrasi sehingga menghambat
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan mengganggu lingkungan (FIK
UI, 2012).

1 Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


2

Gangguan jiwa sebagai respon maladaptif terhadap stresor internal dan


eksternal yang ditunjukkan dengan pikiran, perasaan dan perilaku yang
tidak sesuai dengan norma budaya, mengganggu hubungan sosial,
pekerjaan dan fungsi fisik (Townsend, 2009). Videbeck (2011)
menjelaskan gangguan jiwa adalah suatu sindrom atau pola psikologis atau
perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan
dikaitkan dengan adanya distress (misalnya gejala nyeri) dan disabilitas
(yaitu kerusakan pada satu atau lebih area fungsi yang penting) atau
disertai peningkatan risiko kematian yang menyakitkan, nyeri, disabilitas,
atau sangat kehilangan kebebasan.) Kunci utama yang dapat kita
simpulkan dari gangguan mental adalah adanya respon maladaptif yang
ditunjukkan secara kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial
seseorang.

Prevalensi terjadinya masalah kesehatan jiwa meningkat tajam.


Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011 menyatakan
gangguan jiwa di Indonesia kurun waktu 5 tahun terakhir, telah mencapai
11,6 persen dari 238 juta orang. Dengan kata lain sebanyak 26.180.000
orang penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa. Maramis dan
Maramis (2009) mengidentifikasi bahwa sekitar 12-16% atau 26 juta dari
total populasi Indonesia mengalami gejala-gejala gangguan jiwa. Fakta ini
berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 yang menyebutkan
bahwa gangguan jiwa mencapai 0,46%. Wilayah paling banyak dengan
kasus gangguan jiwa adalah DKI Jakarta sebesar 2,03%, Nanggroe Aceh
Darusalam sebesar 1,85% dan Sumatera Barat sebesar 1,67%. Angka pada
ketiga wilayah tersebut menunjukkan prevalensi gangguan jiwa jauh lebih
tinggi dari angka gangguan jiwa di tingkat nasional.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
3

Program pelayanan bagi masalah gangguan jiwa di Indonesia masih


banyak terfokus pada tatanan pelayanan rumah sakit jiwa. Tingginya
prevalensi gangguan jiwa menyebabkan pelayanan gangguan jiwa di
tatanan rumah sakit jiwa tidak mampu menampung klien gangguan jiwa.
Selain alasan daya tampung, alasan biaya perawatan yang mahal juga
menjadi hambatan pemberian pelayanan kesehatan jiwa di rumah sakit
jiwa. Kebutuhan ini memunculkan paradigma baru pelayanan kesehatan
jiwa dari hospital base menjadi community base. Program pelayanan
kesehatan jiwa berbasis masyarakat ini dikembangkan untuk memenuhi
kebutuhan, menurunkan biaya perawatan dan memberikan kenyamanan
bagi konsumen karena klien tetap dapat tinggal dan berhubungan dengan
keluarga (Videbeck, 2011).

Masalah kesehatan jiwa lain yang teridentifikasi adalah masalah mental


emosional atau yang lebih dikenal dengan masalah psikososial. Hasil riset
kesehatan dasar yang dilakukan pada tahun 2007 mengidentifikasi
prevalensi masalah psikososial sebesar 11,6%. Provinsi dengan masalah
psikososial terbanyak adalah Jawa Barat sebesar 20,0% dikuti oleh
Gorontalo 16,5%, Sulawesi tengah 16,0% dan Nanggroe Aceh Darusalam
sebesar 14, 1%. Dengan demikian masalah psikososial angkanya 25 kali
lebih tinggi dibandingkan gangguan jiwa.

Tingginya prevalensi masalah psikososial yang ada di Indonesia tidak


diikuti dengan program pelayanan psikososial. Berbagai kebijakan terkait
pelayanan kesehatan jiwa masih terfokus pada masalah gangguan jiwa,
padahal angkanya jauh lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi
masalah psikososial. Klien masalah psikososial diabaikan dan tidak
mendapat pelayanan kesehatan jiwa. Hal ini berarti banyak individu
dengan masalah psikososial yang mengalami treatment gap. Belum
adanya kebijakan terkait dengan masalah psikososial ini dapat berpotensi
menyebabkan peningkatan gangguan jiwa di Indonesia. Program
pelayanan masalah psikososial dapat diberikan di tatanan rumah sakit

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
4

umum dan puskesmas. Program pelayanan psikososial bertujuan untuk


mengurangi risiko terjadinya gangguan jiwa.

Gangguan jiwa menurut Stuart (2011) adalah gangguan otak yang ditandai
oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi
(penangkapan panca indera). Seseorang yang mengalami gangguan jiwa
akan menunjukkan terganggunya fungsi secara keseluruhan sebagai akibat
dari terganggunya kondisi psikologis, biologis, serta sosial dari stressor
yang dialaminya (Maramis & Maramis, 2009). Hasil Riskesda (2007)
menunjukan terdapat 19 juta penduduk Indonesia mengalami masalah
kejiwaan dan satu juta diantaranya mengalami gangguan jiwa berat atau
psikosis. Klien yang mengalami gangguan jiwa sangat rentan dan berisiko
melakukan tindakan bunuh diri. Risiko bunuh diri menurut NANDA
(2012) adalah berisiko menyakiti diri sendiri dan cedera yang mengancam
jiwa. Sedangkan bunuh diri merupakan sebuah peringatan untuk perilaku
merusak diri atau mencelakakan diri sendiri (Sadock & Sadock, 2010).
Bunuh diri menurut Videbeck (2011) adalah tindakan yang dilakukan
dengan sengaja untuk membunuh diri sendiri. Roy (2000, dalam Videbeck,
2011) menyatakan upaya bunuh diri adalah suatu tindakan bunuh diri yang
gagal dilakukan atau tidak berhasil dilakukan sampai selesai, karena
berhasil ditolong oleh orang lain, atau tindakan bunuh diri selesai
dilakukan tetapi berhasil diselamatkan. Menurut Stuart (2011) lebih dari
90% seseorang yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri
memiliki masalah kejiwaan. Pada klien skizofrenia insiden terjadinya
bunuh diri sangat tinggi yaitu 40% mempunyai ide bunuh diri, 20 – 40%
pernah melakukan percobaan bunuh diri dan 10 – 15% mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri (Hunt et,al, 2006 dalam Stuart, 2011).
Skizofrenia merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan
menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga
merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai dimana-mana sejak
dahulu kala.Meskipun demikian pengetahuan tentang sebab-musabab dan
patogenisanya sangat kurang (Maramis & Maramis, 2009).

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
5

Seseorang yang memiliki riwayat upaya bunuh diri sebelumnya


meningkatkan risiko bunuh diri (Stuart, 2011, Videbeck, 2011, Sadock &
Sadock, 2010, Maramis & Maramis, 2009). Tindakan bunuh diri pada
umumnya merupakan cara ekspresi orang yang penuh stress dan tidak
mampu menolong dirinya sendiri (Stuart, 2011). Orang melakukan bunuh
diri umumnya karena kehilangan makna hidup. Orang kehilangan makna
hidup bisa karena sakit jiwa atau karena masalah yang tidak bisa
diatasinya. Masalah itu bisa karena rasa bersalah, rasa malu atau
memalukan nama keluarga, kehilangan harga diri atau karena suatu
idealisme yang tidak tercapai.

Kasus bunuh diri di Indonesia belakangan ini dinilai cukup


memprihatinkan karena angkanya cenderung meningkat sehingga perlu
mendapat perhatian serius. Angka bunuh diri di Indonesia menurut WHO
(2010) mencapai 1,6 – 1,8 per 100.000 penduduk dengan kecenderungan
usia produktif. WHO memperkirakan pada 2020 angka bunuh diri secara
global menjadi 2,4 per 100.000 jiwa dibandingkan 1,8 per 100.000 jiwa
pada tahun 1998. Data lima tahun terakhir yang diperoleh dari Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo menunjukkan 771 orang laki-laki dan 348
perempuan melakukan bunuh diri. Dari jumlah tersebut yang terbanyak
adalah melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri sebanyak 41%,
menggunakan insektisida sebanyak 23% dan karena overdosis sebanyak
31,8 %. Sementara di Jakarta angka bunuh diri meningkat dari 165 kasus
menjadi 176 kasus atau setiap bulannya terdapat 12 – 14 kasus bunuh diri
terjadi (RSCM, 2009). Menurut data Kepolisian Polda Metro Jaya pada
tahun 2011 tercatat hanya 142 kasus. Sedangkan tahun 2012, kasus bunuh
diri bertambah menjadi total 167 kasus, cara bunuh diri yang dilakukan
terbanyak adalah dengan gantung diri.

Perilaku bunuh diri menurut Stuart (2011) terbagi menjadi 4 kategori,


yaitu ide bunuh diri, ancaman bunuh diri, percobaan bunuh diri dan bunuh
diri komplit. Ide bunuh diri adalah adalah berpikir tentang bunuh diri yang

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
6

diucapkan atau disampaikan pada orang lain. Seseorang yang sudah


memiliki ide bunuh diri harus diwaspadai, dan membutuhkan perhatian
yang intensif (Suart, 2011). Selanjutnya Stuart (2011) menyatakan
ancaman bunuh diri merupakan suatu peringatan secara langsung atau
tidak langsung, verbal atau non verbal, dimana seseorang merencanakan
untuk mengakhiri hidupnya. Percobaan bunuh diri merupakan perbuatan
bunuh diri yang secara langsung dilakukan yang akan menyebabkan
kematian jika tidak dihentikan (Stuart, 2011). Sedangkan bunuh diri
komplit adalah bunuh diri yang dilakukan oleh seseorang yang berhasil
dilakukan setelah sebelumnya meninggalkan pesan (Stuart, 2011).

Penatalaksanaan klien dengan masalah risiko bunuh diri di pelayanan


kesehatan diberikan oleh tenaga kesehatan. Perawat sebagai salah satu
bagian dari pemberi layanan kesehatan memiliki peran penting untuk
membantu kesembuhan klien. Varcarolis dan Halter (2010) menyatakan
intervensi keperawatan untuk bunuh diri, terbagi menjadi tiga kategori,
yaitu primer, sekunder, dan tersier. Intervensi primer adalah suatu tindakan
preventif untuk mencegah terjadinya bunuh diri, yang dilakukan dengan
cara memberikan dukungan, informasi dan pendidikan terkait dengan
upaya pencegahan bunuh diri. Intervensi sekunder adalah suatu tindakan
yang diberikan ketika terjadi krisis bunuh diri yang bersifat aktual,
kesigapan perawatan dalam penanganan krisis bunuh diri merupakan hal
yang sangat diperlukan sebagai bentuk penyelamatan. Sedangkan
intervensi tersier adalah intervensi yang diberikan kepada keluarga dan
orang terdekat klien, setelah terjadi peristiwa bunuh diri. Tujuannya adalah
untuk mengurangi trauma dan memberikan dukungan terhadap orang
terdekat klien. (Varcarolis & Halter, 2010).

Asuhan keperawatan yang diberikan pada individu dengan risiko bunuh


diri dapat berupa tindakan keperawatan generalis dan spesialis (FIK UI,
2012). Tindakan keperawatan generalis meliputi tindakan keperawatan
untuk klien dan keluarga klien dengan isyarat bunuh diri, ancaman bunuh

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
7

diri dan percobaan bunuh diri. Tindakan keperawatan pada klien


percobaan bunuh diri adalah bentuk manajemen krisis,pada kondisi ini
klien dalam pemantauan 24 jam. Perawat harus memberikan lingkungan
yang aman dan dijauhkan dari benda-benda yang berbahaya (NANDA,
2011). Perawatan spesialis dengan pemberian terapi kognititf, terapi
kognitif perilaku, logoterapi dan psikoedukasi keluarga (FIK UI, 2012).
Sedangkan menurut Byrne (2005) tindakan spesialis yang diberikan pada
klien dengan risiko bunuh diri yaitu terapi kognitif dan logoterapi.
Pemberian terapi kognitif pada klien risiko bunuh diri berfokus pada
pikiran dan kepercayaan untuk membangun koping yang adaptif terhadap
permasalahan hidup.

Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor merupakan rumah sakit


yang telah menerapkan manajemen pelayanan keperawatan profesional.
RSMM bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia telah mengembangkan Model Praktik Keperawatan Profesional
(MPKP) di ruang pelayanan psikiatri sejak tahun 2000. Ruang Utari
merupakan ruang perawatan intermediate kelas III wanita yang melayani
klien umum. Indikator mutu pelayanan di Ruang Utari pada bulan Februari
2013 yaitu BOR adalah 78,75 %, AVLOS 17 hari dan TOI sebesar 18 hari,
sedangkan angka pengekangan, lari dan scabies 0% (RSMM, 2013).
Selama periode praktik Residensi 3 tanggal 18 Februari – 19 April 2013,
residen telah mengelola kasus sebanyak 54 (lima puluh empat) klien di
ruang Utari. Rata-rata klien memiliki 2-3 diagnosis keperawatan. Sebelas
dari 54 dari klien yang dirawat memiliki masalah risiko bunuh diri
Kegiatan manajemen asuhan keperawatan jiwa spesialis yang dituangkan
dalam karya ilmiah ini terintegrasi dalam pelaksanaan kegiatan residensi 3
di Ruang Utari khususnya untuk masalah keperawatan risiko bunuh diri.

Penatalaksanaan asuhan keperawatan klien dengan risiko bunuh diri di


ruang Utari dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan dengan
menerapkan model adaptasi stress (Stuart, 2011). Terapi keperawatan yang

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
8

diberikan pada klien dengan risiko bunuh diri meliputi terapi generalis dan
terapi spesialis keperawatan jiwa. Pada penulisan ini residen hanya
memberikan terapi spesialis berupa terapi kognitif pada klien dengan
risiko bunuh diri yang berfokus pada pikiran dan kepercayaan untuk
membangun koping yang adaptif terhadap masalah hidup. Penelitian yang
dilakukan Byrne (2005) menunjukan pada klien yang diberikan terapi
kognitif terjadi penurunan sebesar 50% terhadap risiko bunuh diri.
Berdasarkan data tersebut penulis tertarik untuk melakukan suatu studi
ilmiah tentang manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien
dengan risiko bunuh diri di ruang Utari.

Pendekatan teori model yang digunakan oleh penulis adalah model stres
adaptasi Stuart dan model Chronic Sorrow Eakes. Model stress adaptasi
Stuart memberikan gambaran pengkajian tentang faktor predisposisi,
stressor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, serta
mekanisme koping. Penulis memilih model Chronic Sorrow karena
memandang model ini memiliki kelebihan yaitu mampu menjelaskan
bagaimana seseorang bisa mengalami kesedihan kronis di sepanjang
kehidupan sehingga bisa menggambarkan kondisi pada klien dengan
risiko bunuh diri. Konsep utama dalam model teori Chronic Sorrow Eakes
terdiri dari pengalaman kehilangan, disparitas, kesedihan kronis, metode
manajemen internal dan eksternal, serta peristiwa pemicu. (Eakes, 1998).

1.2.Tujuan umum
Memberikan gambaran hasil manajemen kasus spesialis pada klien risiko
bunuh diri melalui pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan Theory
Chronic Sorrow di RSMM Bogor.

1.2.1. Tujuan khusus


1.2.1.1. Mengidentifikasi karakteristik klien risiko bunuh diri dengan
pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan Theory Chronic
Sorrow Eakes di ruang Utari RSMM Bogor

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
9

1.2.1.2. Mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien risiko bunuh diri


dengan pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan Theory Chronic
Sorrow Eakes di ruang Utari RSMM Bogor
1.2.1.3. Menyusun rencana asuhan keperawatan pada klien risiko bunuh diri
diri dengan pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan Theory
Chronic Sorrow Eakes di ruang Utari RSMM Bogor
1.2.1.4. Melaksanakan asuhan keperawatan pada klien risiko bunuh diri
dengan pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan Theory
Chronic Sorrow Eakes di ruang Utari RSMM Bogor
1.2.1.5. Mengidentifikasi hasil evaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan
pada klien risiko bunuh diri dengan pendekatan Model Stress
Adaptasi Stuart dan Theory Chronic Sorrow Eakes di ruang Utari
RSMM Bogor
1.2.1.6. Menyusun rencana tindak lanjut pada klien risiko bunuh diri
pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan Theory Chronic
Sorrow Eakes di ruang Utari RSMM Bogor
1.2.2.7. Menyusun rekomendasi berdasarkan implikasi hasil pelaksanaan
asuhan keperawatan klien risiko bunuh diri dengan pendekatan
Model Stress Adaptasi Stuart dan Theory Chronic Sorrow Eakes di
ruang Utari RSMM Bogor

1.3. Manfaat
1.3.1. Manfaat aplikatif
1.3.1.1 Diperoleh gambaran mengenai proses keperawatan pada klien
dengan diagnosa keperawatan risiko bunuh diri dengan menerapkan
Model Stress Adaptasi Stuart dan Theory Chronic Sorrow Eakes di
ruang Utari RSMM Bogor
1.3.1.2 Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan memberi masukan
bagi pemberi pelayanan kesehatan jiwa dalam memberikan
pelayanan pada klien dengan risiko bunuh diri dengan menerapkan
tindakan keperawatan generalis dan tindakan keperawatan spesialis
untuk klien, kelompok, dan keluarga.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
10

1.3.1.3 Sebagai masukan bagi rumah sakit untuk meningkatkan kualitas


asuhan keperawatan gangguan jiwa di unit pelayanan Poli dan ruang
rawat khususnya dalam mengatasi klien dengan risiko bunuh diri
1.3.1.1 Sebagai pertimbangan bagi pihak rumah sakit untuk menempatkan
perawat spesialis keperawatan jiwa sebagai konsultan klinis di unit
pelayanan umum.

1.3.2. Manfaat Keilmuan


1.3.2.1. Penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat berguna sebagai
bagian dari pengembangan model keperawatan jiwa di unit
pelayanan psikiatri dengan menghasilkan standar pelayanan dan
standar asuhan keperawatan jiwa. Penulisan karya ilmiah akhir ini
memberikan gambaran tentang manajemen ruangan dan manajemen
asuhan keperawatan pada diagnosa keperawatan risiko bunuh diri.
Model tersebut dapat menjadi masukan untuk pengembangan MPKP
Jiwa di rumah sakit.
1.3.2.2. Model asuhan keperawatan yang telah dilakukan mendasari
pelaksanaan manajemen kasus spesialis khususnya masalah risiko
bunuh diri pada klien dan keluarga di unit rawat inap psikiatri
dengan berbagai kombinasi terapi spesialis yang diberikan.
Penggunaan kombinasi terapi spesialis yang efektif menjadi dasar
penyusunan standar intervensi spesialis keperawatan jiwa yang
diberikan kepada klien dengan harga diri rendah kronis.

1.3.3. Manfaat Metodologi


Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan menjadi dasar
pengembangan riset keperawatan selanjutnya. Studi ini akan
menghasilkan wawasan tentang manajemen ruang dan manajemen
asuhan keperawatan pada diagnosa risiko bunuh diri sebagai dasar
pengembangan terapi-terapi spesialis keperawatan jiwa di tatanan
pelayanan umum. Pengembangan riset keperawatan yang dilakukan
akan meningkatkan kemampuan perawat dalam melakukan manajemen

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
11

kasus keperawatan dan memenuhi kebutuhan kesehatan jiwa di


Indonesia.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
12

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Bab dua ini membahas tentang konsep dan teori keperawatan yang melandasi
manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien dengan risiko bunuh diri
yang terdiri dari input, proses dan output. Input terdiri dari pemahaman tentang
konsep bunuh diri,faktor predisposisi, stressor presipitasi, penilaian terhadap
stressor dan sumber koping. Proses meliputi metode manajemen, sumber koping,
mekanisme koping , manajemen pelayanan keperawatan professional, serta terapi
kognitif. Output menggambarkan hasil yang diharapkan. Model adaptasi Stuart
dan teori Chronic sorrow yang terdiri dari lima komponen utama (pengalaman
kehilangan, disparitas, penderitaan berkepanjangan, metode manajemen dan
peristiwa pemicu) menjadi landasan asuhan keperawatan spesialis keperawatan
jiwa pada klien dengan risiko bunuh diri. Skema 2.1. menggambarkan kerangka
kerja berdasarkan teori Stres Adaptasi Stuart (2011) dan teori Chronic Sorrow
Eakes (1998).
2.1 Input

Penulisan ini diawali dengan konsep sentral dari permasalahan yang dibahas
yaitu tentang konsep bunuh diri. Kemudian dilanjutkan dengan penulisan
sesuai dengan kerangka teori.

2.1.1. Konsep Bunuh Diri

Klien gangguan jiwa sangat rentan dan berisiko melakukan tindakan


bunuh diri. Stuart (2011) menyatakan lebih dari 90% orang yang
mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri memiliki masalah
kejiwaan. Faktor psikiatrik yang sangat bermakna di dalam bunuh diri
mencakup penyalahgunaan zat, gangguan depresif, skizofrenia dan
gangguan jiwa lainnya. Hampir 95% orang yang melakukan atau
mencoba bunuh diri memiliki diagnosis gangguan jiwa, dan 10% adalah
gangguan jiwa skizofrenia (Sadock & Sadock, 2010).
12 Universitas Indonesia

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
13

1. Faktor Predisposisi Manajemen Pelayanan  Gejala Risiko Bunuh Diri


 Biologi Keperawatan Profesional
berkurang
 Psikologi 1. Pendekatan manajemen
2. Penghargaan  Peningkatan kemampuan
 Sosiokultural 3. Hubungan profesional
2. Stressor Presipitasi mengenal pikiran otomatis
Risiko Bunuh 4. Layanan asuhan
 Biologi Diri Terapi Pikiran negative dan kemampuan
keperawatan
 Psikologi mengcounter dengan pikiran
 Sosiokultural positf
3. Penilaian terhadap
stressor
 Kognitif Terapi Pikiran
 Afektif
 Psikologi
 Perilaku
(isyarat,ancaman Mekanisme
percbaan bunuh
diri)
Koping
 Sosial
4. Sumber Koping Penderitaan berkepanjangan
Sumber Koping
 Kemampuan
personal Metode manajemen
 Dukungan Sosial  Kemampuan personal
 Keyakinan positif
 Aset Material Internal
Keyakinan Positif
eksternal  Dukungan sosial

1. Pengalaman kehilangan
2. Disparitas
3. Peristiwa pemicu

CHRONIC SORROW
( Lifespan Chronic Sorrow Eakes, 1998)

Skema 2. 1 kerangka kerja berdasarkan teori Stres Adaptasi Stuart (2011) dan Theory of Chronic Sorrow Eakes (1998)

Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
14

2.1.1.1. Definisi Bunuh Diri


Bunuh diri merupakan suatu sindrom yang merupakan manifestasi dari
trauma psikologis yang sangat dalam, tidak mempunyai harapan, dan
harapan yang rendah untuk mendapatkan pertolongan terhadap
penderitaan yang dialami (Brendel et al, 2008 dalam Varcarolis &
Halter, 2010). Bunuh diri menurut Sadock dan Sadock (2010)
merupakan kematian yang diperbuat oleh sang pelaku sendiri secara
sengaja..

Bunuh diri didefinisikan oleh NANDA (2011) sebagai tindakan yang


secara sadar dilakukan oleh klien untuk mengakhiri kehidupannya.
Serupa dengan Nanda (2011), Videbeck (2011) menyatakan bunuh diri
adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh diri
sendiri, bunuh diri melibatkan ambivalensi antara keinginan untuk
hidup dan keinginan untuk mati. Dari berbagai definisi bunuh diri
dapat disimpulkan bahwa bunuh diri merupakan kumpulan
gejala/sindrom yang merupakan manfestasi dari trauma psikologis dan
berakhir pada tindakan yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk
membunuh diri sendiri

Pikiran bunuh diri terjadi pada orang yang rentan terhadap stressor dan
akan terus menjadi gagasan untuk jangka waktu lama. Pada saat pikiran
bunuh diri menjadi sangat kuat maka yang timbul adalah upaya bunuh
diri. Upaya bunuh diri menurut Videbeck (2011) adalah suatu tindakan
bunuh diri yang gagal dilakukan atau tidak berhasil dilakukan sampai
selesai. Perilaku bunuh diri menurut Stuart (2011) adalah tindakan
yang dilakukan secara sengaja untuk membunuh diri sendiri. Tingkah
laku bunuh diri adalah tanda yang salah diartikan bahwa seseorang
merasa putus asa atau putus harapan (Stuart, 2011). Tingkah laku bunuh
diri termasuk upaya untuk bunuh diri, isyarat bunuh diri, dan benar-
benar bunuh diri. Seseorang yang berisiko melakukan tindakan bunuh

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


15

diri adalah ketika mereka tidak mampu mendapatkan solusi dari


masalah dan penderitaan yang dialami dan tidak mampu menolong
dirinya sendiri atau suatu bentuk “jeritan minta tolong” terhadap
penderitaan yang dialami (Videbeck, 2011).

2.1.1.2. Tanda dan Gejala Bunuh Diri

Semua perilaku bunuh diri menurut Stuart (2011) adalah serius,


apapun tujuannya. Orang yang siap melakukan bunuh diri adalah
orang yang merencanakan kematian dengan tindak kekerasan,
mempunyai rencana spesifik dan mempunyai alat untuk
melakukannya. Stuart (2011) membagi perilaku bunuh diri menjadi 3
tingkatan, yaitu isyarat bunuh diri, ancaman bunuh diri dan percobaan
bunuh diri.
a. Isyarat Bunuh Diri

Peringatan verbal dan non verbal bahwa seseorang


mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang akan
melakukan bunuh diri mungkin akan mengungkapkan secara
verbal bahwa dalam waktu dekat dia tidak akan berada di sekitar
orang-orang terdekatnya. Atau secara non verbal memberikan
isyarat dengan menitipkan barang berharga yang dimilikinya
kepada orang terdekat (Stuart, 2011). Seseorang dengan gagasan
bunuh diri mengirimkan isyarat atau sinyal kepada orang lain
tentang maksud mereka untuk mencelakakan diri sendiri
(Videbeck, 2011).

Fortinash dan Worret (2004) menyatakan bahwa ide bunuh diri


atau berpikir tentang bunuh diri yang disampaikan secara intens
mempunyai risiko yang tinggi untuk melakukan aksi bunuh diri.
Sementara Stuart (2011) menyatakan bahwa ide bunuh diri yang
disampaikan sangat bervariasi dan serius, hal ini dapat bersifat
pasif ketika hanya berpikir tentang bunuh diri tetapi tidak diikuti

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


16

oleh aksi bunuh diri. Sedangkan bersifat aktif ketika berpikir


tentang rencana bunuh diri dan membuat perencanaan sesuatu
yang bisa membuatnya mati.

b. Ancaman bunuh Diri


Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh klien, berisi
keinginan untuk mati disertai oleh rencana untuk mengakhiri
kehidupan dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana
tersebut. Secara aktif klien telah memikirkan rencana bunuh
diri, tetapi tidak disertai percobaan bunuh diri (Stuart, 2011).
Pada tahap ini perawat harus waspada dan dilakukan
pengawasan ketat. Kesempatan sekecil apapun dapat digunakan
klien untuk melaksanakan rencana bunuh dirinya (Stuart, 2011;
Videbeck,2011).

c. Percobaan Bunuh Diri


Upaya percobaan bunuh diri menurut Stuart (2011) adalah
semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh
individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
Percobaan bunuh diri adalah suatu tindakan bunuh diri yang
gagal dilakukan atau tidak berhasil dilakukan sampai selesai,
seseorang yang tidak menyelesaikan tindakan bunuh diri, karena
berhasil ditolong oleh orang lain (Roy, 2000 dalam Videbeck,
2011).

Bunuh diri terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau


diabaikan. Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan yang
tidak benar-benar ingin mati mungkin akan mati, jika mereka
tidak ditemukan tepat pada waktunya. Stuart (2011) menyatakan
bahwa bunuh diri terjadi setelah tanda atau isyarat bunuh diri
tidak diperhatikan atau terabaikan. Seseorang yang melakukan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


17

tindakan bunuh diri sebelumnya menyampaikan pesan atau


isyarat akan melakukan bunuh diri. Satu hal yang perlu
diperhatikan adalah ketika seseorang menyampaikan ide atau
upaya bunuh diri secara serius, orang tersebut membutuhkan
bantuan untuk membangun komunikasi yang sehat, sehingga dia
tidak benar-benar mewujudkan keinginannya untuk mati (Stuart,
2011; Videbeck, 2011).

2.1.1.3. Proses Terjadinya Perilaku Bunuh Diri

Proses terjadinya bunuh diri untuk masalah keperawatan risiko


bunuh diri, bisa menggunakan pendekatan model Stuart (2011)
melalui Psikodinamika masalah keperawatan. Menurut Stuart (2011)
psikodinamika masalah keperawatan dimulai dengan menganalisa
faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber
koping dan mekanisme koping yang digunakan oleh seorang
individu sehingga menghasilkan respon baik yang bersifat
konstruktif maupun destruktif dalam rentang adaptif sampai
maladaptif. Fortaine (2009) menyatakan proses terjadinya perilaku
bunuh diri diuraikan melalui proses terjadinya gangguan jiwa yang
dihubungkan dengan perilaku bunuh diri. Menurut Stuart (2011)
lebih dari 90% seseorang yang mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri memiliki masalah kejiwaan. ). Seseorang yang
mengalami gangguan jiwa berisiko untuk melakukan bunuh diri
sehingga perlu mendapatkan penanganan terhadap gangguan
jiwanya. Pada klien skizofrenia insiden terjadinya bunuh diri sangat
tinggi yaitu 40% mempunyai ide bunuh diri, 20 – 40% pernah
melakukan percobaan bunuh diri dan 10 – 15% mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri (Hunt et,al, 2006 dalam Stuart, 2011). Pada awal
gangguan, risiko bunuh diri lebih tinggi karena memiliki energi dan
kapasitas untuk melakukan tindakan terhadap rencana bunuh dirinya
(Fortaine, 2009).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


18

2.1.1.4. Rentang Respon Protektif Diri Perilaku Bunuh Diri

Perilaku destruktif diri menurut Stuart (2011) adalah setiap aktivitas


yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Rentang
respons protektif diri merupakan respon paling adaptif dan bunuh
diri merupakan respons maladaptif (Stuart, 2011). Peningkatan diri
dan pengambilan risiko merupakan rentang respon yang adaptif,
dimana seseorang menyadari akan risiko perbuatan yang akan
dilakukan. Pada perilaku destruktif dan pencederaan diri, seseorang
telah mempunyai ide dan keinginan untuk mati sehingga melakukan
perbuatan yang membahayakan dirinya. Pada tingkatan bunuh diri,
seseorang telah melakukan bunuh diri secara nyata dan tidak
tertolong (Stuart, 2011). Skema 2.1 berikut ini menggambarkan
psikodinamika masalah keperawatan jiwa dan rentang respon
protektif diri.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


19

Faktor predisposisi

Biologi Psikologi Sosialkultural

Stresor presipitasi

Nature Origin Timing


Number

Penilaian terhadap stresor

Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku


Sosial

Sumber koping

Kemampuan personal Dukungan sosial Aset material Keyakinan


positif

Mekanisme koping

Konstruktif Destruktif

Rentang respon koping

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Peningkatan Pengambilan Perilaku Pencederaan Bunuh


diri risiko Destruktif diri diri

Skema 2.2. Psikodinamika Masalah Keperawatan Jiwa dan


Rentang Respon Protektif Diri – Perilaku Bunuh
Diri (Stuart, 2011)

Stuart (2011) menggambarkan dua dimensi yang dapat menjelaskan


proses terjadinya gangguan jiwa yaitu meliputi faktor predisposisi dan
stessor presipitasi.
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


20

2.1.2. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi menurut Stuart (2011) adalah faktor risiko yang


menjadi sumber terjadinya stres yang mempengaruhi tipe dan sumber dari
individu untuk menghadapi stres baik yang biologis, psikososial dan sosial
kultural. Berbagai teori menjadi dasar pola berpikir faktor predisposisi
kesehatan jiwa. . Seperti halnya gangguan kejiwaan yang lain, bunuh diri
merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi faktor lingkungan,
psikologis dan genetik, Faktor predisposisi yang menjadi penyebab
perilaku bunuh diri dikaitkan dengan faktor biologis, psikologis dan sosial
budaya (Stuart, 2011).

2.1.2.1 Faktor Biologi

Faktor biologis merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi


fisiologis dari individu yang mempengaruhi terjadinya risiko bunuh
diri. Fortinash dan Worret (2004) menyatakan bahwa neurotransmitter
dan struktur kimiawi tertentu di otak mempengaruhi kondisi mood atau
alam perasaan. Neurotransmitter adalah zat kimia otak yang
ditransmisikan dari dan ke sel-sel saraf. Peningkatan atau penurunan
neurotransmitter akan berakibat perubahan pada perilaku.
Neurotransmitter yang dikaitkan dengan perilaku bunuh diri adalah
dopamine, norepinefrin, asetilkolin, asam amino, dan GABA ( Stuart,
2011; Videbeck, 2011). Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan
bahwa bunuh diri berhubungan dengan kadar serotonin dalam otak yang
rendah. Keseimbangan serotonin akan memfasilitasi adaptasi respon
emosi (Stuart, 2011). Bunuh diri menurut Fortaine (2009) juga
berhubungan dengan trauma di otak, adanya riwayat cedera kepala
mempengaruhi perilaku agresif, impulsive yang bisa terjadi pada anak
dan orang dewasa.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


21

Perilaku bunuh diri menurut Sadock dan Sadock (2011) serta Varcarolis
dan Halter (2010). merupakan sesuatu yang diturunkan dalam keluarga
kembar monozigot memiliki risiko lebih tinggi melakukan bunuh diri
(Stuart, 2011; Videbeck, 2011). Selanjutnya riwayat keluarga dengan
bunuh diri secara signifikan berperan sebagai faktor risiko terhadap
perilaku destruktif terhadap diri sendiri (Stuart, 2011; Videbeck, 2011;
Sadock & Sadock, 2011). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa perilaku bunuh diri yang terjadi dapat dihubungkan dengan
abnormalitas pada struktur, fungsi dan neurotransmitter otak, riwayat
penggunaan NAPZA dan frekuensi dirawat.

2.1.2.2. Faktor Psikologi

Ketidakmampuan mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah


merupakan faktor yang menjadi alasan bunuh diri ketika menghadapi
suatu stressor. Seseorang yang berisiko melakukan bunuh diri adalah
mereka yang menarik diri dari kehidupan sosial, kehilangan harga diri,
kehilangan kepercayaan pada orang lain, berpikir sesuatu yang buruk
akan menimpanya, merasa tidak memiliki harapan hidup, berpikir kaku
dan tidak fleksibel (Stuart, 2011). Bunuh diri merupakan hasil dari
bentuk penyerangan atau kemarahan terhadap orang lain yang tidak
diterima yang dimanifestasikan atau ditunjukkan pada diri sendiri
(Stuart, 2011, Videbeck, 2011, Varcarolis & Halter, 2010). Seseorang
yang melihat permasalahan hidup sulit dan segala sesuatu harus
sempurna seperti apa yang dipikirkan akan berisiko melakukan bunuh
diri. Seseorang yang berisiko tinggi melakukan bunuh diri salah satunya
adalah yang memiliki tipe cara berpikir dan kepribadian kaku, selalu
mempermasalahkan perbedaan dan perfeksionis (Videbeck, 2011,
Varcarolis & Halter, 2010). Teori psikodinamik menyatakan bahwa
depresi yang terjadi karena kehilangan sesuatu yang dicintai, rasa
keputusasaan, kesepian, dan kehilangan harga diri (Sadock & Sadock,

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


22

2011). Bunuh diri merupakan cara mengakhiri semua rasa sakit yang
dirasakan (Fortinash&Worret, 2004).
2.1.2.3. Faktor sosial budaya spiritual

Teori sosial budaya meyakini faktor sosial dan budaya sebagai faktor
penyebab risiko bunuh diri. Pengalaman seseorang sulit beradaptasi
terhadap permintaan sosial budaya dikarenakan konsep diri yang rendah
dan mekanisme koping. Stresor sosial dan budaya menjadi ancaman
untuk seseorang dan dapat mempengaruhi berkembangnya perilaku
maladaptif dan menjadi onset terjadinya risiko bunuh diri. Faktor
budaya yang di dalamnya ada faktor spiritual, nilai yang dianut oleh
keluarga, pandangan terhadap perilaku yang menyebabkan kematian,
berdampak pada angka kejadian bunuh diri (Karch et al, 2008 dalam
Varcarolis & Halter, 2010). Durkheim (2010) dalam bukunya yang
berjudul Suicide menyatakan kegagalan sistem sosial dalam mengontrol
perilaku impulsive seseorang.menjadi penyebab terjadinya bunuh diri.

Kepercayaan suatu budaya mempengaruhi seseorang atau suatu


kelompok melakukan bunuh diri. Sanksi akan diberikan pada pelaku
melalui sistem norma yang berlaku pada masyarakat. Artinya,
masyarakat melakukan pengawasan terhadap perilaku bunuh diri dan
mempertahankan keselamatan untuk setiap anggotanya. Beberapa
faktor sosial yang mengarahkan pada bunuh diri adalah kemiskinan dan
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, pernikahan yang hancur,
keluarga dengan orang tua tunggal, penggangguran, dan kesulitan
dalam mempertahankan keterikatan personal, struktur keluarga dan
kontrol sosial (Townsend, 2009). Berbagai hasil penelitian
menyebutkan bahwa faktor ras, budaya, ekonomi dan faktor lingkungan
memiliki peran dalam timbulnya perilaku bunuh diri (Stuart, 2011;
Videbeck, 2011, Sadock & Sadock, 2010). Selain faktor sosial budaya,
faktor spiritualitas juga perlu dikaji.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


23

Spiritualitas menurut Yani (2008) adalah keyakinan dalam


hubungannya dengan yang Maha Kuasa dan Maha pencipta.
Spiritualitas berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau
keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau
mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stress emosional,
penyakit fisik atau kematian. Mickley et al (1992, dalam Yani 2008)
menguraikan spiritualitas sebagai sesuatu yang multidimensi, yaitu
dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus
pada tujuan dan arti hidup, sedangkan dimensi agama lebih berfokus
pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa.
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau
mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, mencintai,
menjalin hubungan penuh rasa percaya pada Tuhan. (Yani, 2008).
Seseorang yang memiliki kepercayaan menurut Yani (2008) berarti
mempercayai atau mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau
seseorang.

Nasrullah (2009) menyatakan dalam fiqih Islam bunuh diri lebih sering
dikenal dengan istilah intihar yang berarti usaha seseorang untuk
membunuh dirinya sendiri.Dalam ensiklopedia yang diterbitkan oleh
kementerian wakaf Kuwait dijelaskan, bunuh diri bisa dikategorikan ke
berbagai macam. Jika dilihat dari dari segi media yang digunakan,
bunuh diri bisa dikategorikan menjadi dua (Nasrullah, 2009). Bunuh
diri dengan cara yang positif (menggantung diri, lompat dari gedung
bertingkat atau menabrakkan diri). Ke dua bunuh diri dengan cara yang
negatif (mengakhiri hidup dengan melanggar perkara yang wajib
misalnya berhenti makan atau sengaja menolak untuk berobat tanpa
alasan jelas). Penting untuk diketahui, meski cara yang digunakan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


24

positif, bukan berarti bunuh diri yang dilakukan juga positif. Pada
dasarnya semua agama tidak ada yang menyetujui bunuh diri.
Maraknya kasus bunuh diri patut menjadi perhatian semua pihak. Dari
komunitas yang terkecil, keluarga sebagai tempat berbagi. Pemerintah
harus menjamin kesejahteraan rakyatnya dan Agama adalah muara
menaruh asa, menggantungkan harapan pada Yang Maha Esa
(Nasrullah, 2009). Sebenarnya, kasus bunuh diri seperti yang terjadi
akhir – akhir ini tidak akan terjadi jika para pelakunya memiliki
keyakinan akan agama mereka yang kuat. Dalam setiap ajaran
agamapun tidak ada yang membenarkan akan bunuh diri ini salah
satunya Islam, dimana dalam pandangan Islam hal ini adalah perbuatan
yang sangat keji, dan termasuk dosa yang sangat besar. Serta kegiatan
bunuh diri ini dianggap sebagai kegiatan manusia yang kalah/pengecut.
Terkait dengan stigma bunuh diri, setiap manusia diajarkan sejak kecil
bahwa orang yang bunuh diri adalah memalukan, berdosa, lemah, egois,
manipulatif serta mengajarkan bahwa bunuh diri bisa menular.
(Feigelmen, 2008). Varcarolis dan Halter (2010) menyatakan bahwa
keluarga yang terpandang dalam suatu budaya, jika ada anggota
keluarga yang melakukan bunuh diri hal ini akan menjadikan aib bagi
keluarga tersebut. Seseorang yang baru mengalami kehilangan,
perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini, dan berkurangnya
dukungan sosial merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang
melakukan bunuh diri (Stuart, 2011).

2.1.3. Stressor presipitasi

Faktor presipitasi adalah stimulus internal maupun eksternal yang


mengancam individu. Komponen faktor presipitasi terdiri atas sifat,
asal, waktu dan jumlah stressor (Stuart, 2011).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


25

2.1.3.1. Sifat stressor


Sifat stressor dapat diidentifikasi dalam tiga komponen utama yaitu
biologi, psikologis dan social (Stuart, 2011). Tiga komponen
tersebut merupakan hasil dari ancaman terhadap integritas fisik dan
ancaman terhadap sistem diri. Ancaman terhadap integritas fisik
terjadi karena ketidakmampuan fisiologis atau penurunan
kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari di masa
mendatang. Ancaman ini meliputi sumber internal dan sumber
eksternal. Sumber eksternal meliputi terpaparnya infeksi virus atau
bakteri, polusi lingkungan, bahaya keamanan, kehilangan perumahan
yang adekuat, makanan, pakaian atau trauma injuri. Sedangkan
sumber internal meliputi kegagalan mekanisme fisiologis seperti
jantung, sistem imun, atau regulasi suhu.

Faktor presipitasi psikologis dan sosial budaya berasal dari adanya


ancaman terhadap sistem diri. Ancaman terhadap sistem diri
diindikasikan mengancam identitas seseorang, harga diri, dan fungsi
integritas sosial (Stuart, 2011). Ancaman terhadap sistem diri juga
terdiri atas dua sumber yaitu eksternal dan internal (Stuart, 2011).
Sumber eksternal terdiri atas kehilangan orang yang sangat dicintai
karena kematian, perceraian, perubahan status pekerjaan, dilema etik,
dan tekanan sosial atau budaya. Sumber internal meliputi kesulitan
hubungan interpersonal di rumah atau di tempat kerja, dan
menjalankan peran baru seperti sebagai orang tua, pelajar atau
pekerja. Ancaman terhadap integritas fisik dapat juga menjadi
ancaman terhadap sistem diri karena mental dan fisik saling
berhubungan. Pembedaan kategori tersebut tergantung pada respon
seseorang terhadap adanya stresor.

Faktor presipitasi utama pada risiko bunuh diri yang dialami oleh
klien stressor sosial budaya berupa kesedihan kronis (Eakes, 1998).
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


26

Stresor sosial budaya ini akan menimbulkan respon yang dilakukan


oleh klien. Rasa takut terhadap suatu masalah akan menyebabkan
stresor psikologis terhadap klien. Kondisi ini akan menyebabkan
kelelahan fisik yang berpotensi menjadi stressor biologis bagi klien
Siklus ini akan terus berulang dimana stresor yang muncul akan
menimbulkan respon baik secara biologis, psikologis dan sosial dan
setiap respon yang ditampilkan berpotensi menjadi stressor bagi klien
(Stuart, 2011). Stresor sosial budaya dapat menyebabkan kesedihan
yang berkepanjangan atau kesedihan kronis pada sseorang.

2.1.3.2. Asal stressor


Asal stressor risiko bunuh diri dapat didentifikasi melalui dua
sumber yaitu internal dan eksternal. Sumber internal digambarkan
sebagai seluruh stresor risiko bunuh diri yang berasal dari dalam
individu baik yang bersifaf biologis maupun psikologis. Sumber
eksternal merupakan sumber risiko bunuh diri yang berasal dari
lingkungan eksternal individu termasuk didalamnya hubungan
interpersonal dan pengaruh budaya (Stuart, 2011).

2.1.3.3. Waktu dan lama stressor


Waktu menurut Stuart (2011) dilihat sebagai dimensi kapan stresor
mulai terjadi dan berapa lama terpapar stressor sehingga menyebabkan
munculnya gejala risiko bunuh diri. Frekuensi paparan stressor risiko
bunuh diri juga dapat diindikasikan untuk melihat terjadinya risiko
bunuh diri pada klien. Pada risiko bunuh diri, waktu terjadinya stresor
berupa peristiwa yang tidak menyenangkan tiba-tiba dan tidak
terduga. Lamanya stresor risiko bunuh diri tergantung pada kondisi
klien. Semakin berat tingkat pengalaman yang tidak menyenangkan
yang dialami klien akan memperpanjang lamanya stresor yang dialami
oleh klien. Demikian sebaliknya pada kondisi yang ringan, lamanya
stresor yang dialami oleh klien semakin pendek (Stuart, 2011).
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


27

2.1.3.4. Jumlah stresor


Jumlah stressor lebih dari satu yang dialami oleh individu dalam satu
waktu akan lebih sulit diselesaikan dibandingkan dengan satu stressor
yang dialami. Jumlah pengalaman stress yang dialami individu dalam
satu waktu tertentu juga menjadi faktor presipitasi terjadinya risiko
bunuh diri (Stuart, 2011). Jumlah stressor yang dialami oleh klien
pada awalnya satu, namun ketika muncul respon terhadap stresor
sosial tersebut maka jumlah stresor akan bertambah sesuai dengan
hasil respon yang ditampilkan ketika menerima stresor sosial. Stresor
yang dialami oleh klien akan bertambah dengan adanya stresor
psikologis dan biologis (Stuart, 2011)..

2.1.4. Penilaian terhadap stressor

Penilaian terhadap stressor dapat bersifat adaptif dan maladaptif (Stuart,


2011). Penilaian stressor yang adaptif akan menjadi faktor penguat yang
perlu dilakukan dalam tindakan keperawatan. Sedangkan penilaian stressor
yang maladaptif akan menjadi dasar penggunaan terapi keperawatan dalam
melatih disfungsi keterampilan yang dialami individu dalam menilai risiko
bunuh diri. Penilaian terhadap stresor yang dialami oleh klien risiko bunuh
diri meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan
sosial.Pemahaman tentang risiko bunuh diri dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai sumber. Model adaptasi
stress (Stuart, 2011) mengintegrasikan data dari konsep psikoanalisis,
interpersonal, perilaku, genetik dan biologis.

Respon kognitif meliputi kurang konsentrasi, ambivalensi, kebingungan,


fokus menyempit/ preokupasi, misinterpretasi, bloking, berkurangnya
kreatifitas, pandangan suram, pesimis, sulit untuk membuat keputusan,
mimpi buruk, produktivitas menurun, pelupa, ketidakpastian (Stuart,

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


28

2011). Fungsi kognitif terfokus pada antisipasi terhadap reaksi risiko


bunuh diri yang dipengaruhi oleh intelegensi dan introspeksi (Videbeck,
2011). Sedangkan respon afektif meliputi sedih, rasa bersalah, bingung,
gelisah, apatis/pasif, kesepian, rasa tidak berharga, penyangkalan perasaan,
marah, khawatir, perasaan gagal. Respon afektif dipengaruhi oleh
ketidakmampuan jangka panjang terhadap situasi yang membahayakan

sehingga mempengaruhi kecenderungan respon terhadap risiko bunuh diri


(Stuart, 2011). Respon fisiologis dibangun dari konsep neurobiologis yang
menyiapkan seseorang dalam mengatasi bahaya (Stuart, 2011). Respon
perilaku dan sosial dibangun dari belajar pengalaman sosial pada masa
kanak-kanak dan dewasa khususnya dalam menghadapi risiko bunuh diri.
Pada umumnya klien akan merasa kehilangan kontrol, marah, dan frustasi.
Secara umum emosi yang ditampilkan bersifat negatif, namun demikian
pada beberapa kasus ditemukan adanya klien yang tetap mampu
mengontrol emosinya. Kemampuan mengontrol emosi berdampak
terhadap kemampuan klien dalam berpikir tentang peran dan fungsinya
dalam menghadapi masalah. Konsekuensi lain yang dihadapi klien
terganggu kebutuhan tidur dan makan serta kelelahan secara fisiologis.
Kelelahan yang terjadi berdampak terhadap kondisi fisiologis yang
dimanifestasikan dengan adanya perubahan tanda-tanda vital dan kondisi
fisiologis lainnya (Stuart, 2011).

Perasaan sedih yang dialami oleh klien juga berpengaruh terhadap perilaku
dan hubungan sosial. Pada kondisi adaptif penilaian yang ditampilkan
secara perilaku dan hubungan sosial berupa tindakan mencari pertolongan
dan adanya komunikasi terbuka dengan anggota keluarga dalam
melakukan penyelesaian masalah. Namun penilaian stressor juga dapat
dimanifestasikan dalam bentuk perilaku dan tindakan sosial yang
maladaptif seperti menghindari melakukan perawatan dan menghindari

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


29

hubungan interpersonal dengan anggota keluarga maupun klien lain yang


dirawat di rumah sakit.

2.1.5 Sumber koping

Seseorang dapat mengatasi risiko bunuh diri dengan menggunakan sumber


koping internal dan eksternal yang tersedia (Stuart, 2011). Sumber koping
terdiri atas kemampuan personal, dukungan sosial, aset material dan
keyakinan. Empat komponen tersebut dapat membantu seseorang dalam
mengintegrasikan pengalaman penuh tekanan dan belajar tentang
mekanisme koping yang adaptif. Ketidakseimbangan pada empat
komponen sumber koping akan menyebabkan perilaku yang negatif dalam
mengontrol risiko bunuh diri. Pada klien dengan risiko bunuh diri
kemampuan personal yang harus dimiliki meliputi kemampuan secara
fisik dan mental (Stuart, 2011, Videbeck, 2011).

Kemampuan secara fisik teridentifikasi dari kondisi fisik yang sehat.


Kemampuan mental meliputi kemampuan kognitif, afektif, perilaku dan
sosial. Kemampuan kognitif meliputi mengidentifikasi masalah, menilai
dan menyelesaikan masalah. Kemampuan afektif meliputi kemampuan
untuk meningkatkan konsep diri terkait adanya masalah. Kemampuan
perilaku terkait dengan kemampuan melakukan tindakan yang adekuat
dalam menyelesaikan stressor yang dialami (Stuart, 2011). Seluruh
kemampuan ini digunakan dalam rangka mengontrol kondisi risiko bunuh
diri yang dirasakan oleh klien. Sumber dukungan sosial pada klien dengan
risiko bunuh diri meliputi dukungan dalam membantu klien mengontrol
perasaan sedih berkepanjangan. Dukungan yang diberikan dapat berupa
dukungan fisik dan psikologis. Dukungan fisik diperoleh dari keterrlibatan
aktif keluarga, kader dan significant other dalam membantu klien
mengontrol perasaan. Apabila dukungan sosial tidak terjadi maka yang
muncul adalah hubungan yang kurang baik dengan individu, keluarga,

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


30

kelompok dan masyarakat, kurang terlibat dalam organisasi


sosial/kelompok sebaya, serta ada konflik nilai budaya (Stuart, 2011).

Aset material yang dapat diperoleh klien dengan risiko bunuh diri
meliputi dukungan finansial yang membantu perawatan klien di rumah
sakit, meliputi ketersediaaan dana baik dari asuransi maupun tabungan.
Tidak terpenuhinya aset material seperti penghasilan kurang, sulit
memperoleh layanan kesehatan, tidak memiliki pekerjaan/posisi akan
berpotensi menimbulkan risiko bunuh diri pada klien akibat tidak
optimalnya sumber koping yang dimiliki oleh klien. Keyakinan positif
pada klien dengan risiko bunuh diri diperoleh dari keyakinan klien
terhadap kondisi kesehatan dan kemampuan diri dalam mengontrol
perasaan sedih berkpanjangan yang dirasakan. Adanya keyakinan yang
positif akan berpotensi meningkatkan motivasi klien untuk menggunakan
mekanisme koping yang adaptif. Sebaliknya keyakinan yang negatif akan
meningkatkan risiko bunuh diri yang dialami oleh klien dan jelas
berpotensi menimbulkan perilaku maladaptif pada klien. Pada klien risiko
bunuh diri umumnya tidak memiliki kemampuan untuk membuat
keputusan secara rasional. Orang dengan risiko bunuh diri ini cenderung
menghindar (Stuart, 2011, Videbeck, 2011, Sadock & Sadock, 2010).

2.1.6. Pengalaman kehilangan

Kehilangan terjadi akibat dari perbedaan antara suatu “ideal” atau harapan
dan situasi nyata atau pengalaman. Kehilangan adalah situasi aktual atau
potensial dimana seseorang atau objek yang dihargai tidak dapat dicapai
atau diganti sehingga di rasakan tidak berharga seperti semula (Eakes,
1998).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


31

2.1.7. Disparitas
Disparitas adalah kondisi dimana seseorang mengacu pada perbedaan
antara kondisi ideal dan situasi yang nyata karena beberapa
kerugian/pengalaman kehilangan (Eakes,1998)

2.1.8 Peristiwa pemicu


Peristiwa pemicu adalah situasi, keadaan dan kondisi-kondisi berbeda atau
perasaan kehilangan yang berulang (kambuh). NCRCS (The Nursing
Consortium for Research onChronic Sorrow) membandingkan dan
membedakan pencetus pada individu dengan kondisi kronik, family
caregiver, serta pada orang yang kehilangan (Burke, Eakes & Hainsworh,
1999).

2.1.9. Penderitaan
Penderitaan atau dukacita kronis adalah suatu perbedaan yang
berkelanjutan sebagai hasil dari suatu kehilangan, dengan karakteristik
dapat menyebar dan bisa juga menetap. Gejala berduka berulang pada
waktu tertentu dan gejala ini berpotensi progresif. Studi NCRCS (The
Nursing Consortium for Research on Chronic Sorrow) ini meliputi :
Individu dengan kanker (Eakes, 1993), infertility (Eakes et al., 1998),
Multiple Sclerosis (Hainsworth, Burke, Lindgren, & Eakes, 1993 ;
Hainsworth, 1994), dan Penyakit Parkinson (Lindgren, 1996). Individu
yang memiliki pasangan hidup dengan penyakit mental kronik
(Hainsworth, Busch, Eakes, & Burke, 1995) serta orang tua yang memiliki
anak dewasa dengan penyakit mental kronik (Eakes, 1995). Sedangkan
studi tentang individu yang berisiko bunuh diri belum dilakukan (Eakes
1998).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


32

2.2. Proses

2.2.1. Model Praktek Keperawatan Profesional

Pelayanan prima keperawatan dikembangkan dalam bentuk model praktek


keperawatan profesional (MPKP) awalnya dikembangkan oleh Sitorus
(2005) di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan beberapa rumah sakit
lainnya (Keliat, B. A, dkk, 2010). Kemudian konsep MPKP untuk rumah
sakit umum ini dimodifikasi sehingga bisa diterapkan di rumah sakit jiwa.
Penatalaksanaan kegiatan keperawatan berdasarkan 4 pilar nilai
profesional yaitu pendekatan manajemen, sistem penghargaan, hubungan
profesional dan layanan asuhan keperawatan (Keliat, B A, dkk, 2010).
Konsep yang dikembangkan dalam MPKP berdasarkan pada 4 pilar nilai
profesional tersebut sudah melingkupi semua kegiatan manajemen
pelayanan dan asuhan keperawatan yang ada dalam suatu unit pelayanan
keperawatan. Hal ini juga berlaku untuk MPKP di rumah sakit jiwa,
dimana MPKP berdasarkan keempat pilar tersebut, yang membedakan
hanyalah untuk pilar ke empat layanan asuhan keperawatan jiwa , yang
diagnosanya adalah diagnosa untuk keperawatan jiwa.

2.2.1.1. Pendekatan Manajemen

Manajemen adalah proses dalam menyelesaikan pekerjaan melalui


orang lain (Gillies,1989). Swanburg (2000) mendefinisikan manajemen
sebagai ilmu atau seni tentang bagaimana menggunakan sumber daya
secara efisien, efektif dan rasional untuk mencapai tujuan organisasi
yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelayanan keperawatan adalah
pelayanan yang dilakukan oleh banyak orang sehingga perlu
menerapkan manajemen yaitu dalam bentuk manajemen keperawatan.
Manajemen keperawatan adalah suatu proses bekerja melalui anggota
staf keperawatan untuk memberikan asuhan, pengobatan dan bantuan
terhadap para pasien (Gillies, 1989). Model praktek keperawatan
mensyaratkan pendekatan manajemen (management approach) sebagai
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


33

pilar praktek professional yang pertama. Oleh karena itu proses


manajemen harus dilaksanakan dengan disiplin untuk menjamin
pelayanan yang diberikan kepada pasien atau keluarga merupakan
praktek yang professional. Di ruang MPKP pendekatan manajemen
diterapkan dalam bentuk fungsi manajemen yang terdiri dari
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian.

2.2.1.2 Sistem Penghargaan


Kemampuan perawat melakukan praktek profesional perlu
dipertahankan, dikembangkan, dan ditingkatkan melalui manajemen
SDM perawat yang konsisten dan disesuaikan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengembangan SDM di rumah sakit
adalah untuk menciptakan iklim kerja yang menyenangkan dan
memberikan kepuasan bagi staf dan pasien. Pengembangan SDM
digambarkan sebagai suatu proses pengelolaan motivasi staf sehingga
dapat bekerja secara produktif. Hal ini juga merupakan penghargaan
bagi profesi keperawatan karena melalui manajemen SDM yang baik
maka perawat mendapatkan kompensasi berupa penghargaan
(compensatory reward) sesuai dengan apa yang telah dikerjakan.
2.2.1.3. Hubungan Profesional
Hubungan profesional dalam pemberian pelayanan keperawatan
merupakan standar dari hubungan antara pemberi pelayanan
keperawatan (tim kesehatan) dan penerima pelayanan keperawatan
(klien dan keluarga) (Cameron, 1997 dalam Elizabeth & Kathleen,
2003). Pada pelaksanaannya hubungan profesional bisa saja terjadi
secara internal artinya hubungan yang terjadi antara pemberi
pelayanan kesehatan misalnya antara perawat dengan perawat, antara
perawat dengan tim kesehatan dan lain-lain. Sedangkan hubungan
profesional secara eksternal adalah hubungan yang terjadi antara
pemberi dan penerima pelayanan kesehatan. Kedua hubungan tersebut
merupakan suatu siklus yang tidak terpisahkan dalam pemberian

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


34

pelayanan kesehatan. Model Praktek Keperawatan Profesional terdiri


dari rapat perawat ruangan, case conference, rapat tim kesehatan, dan
visit dokter.

2.2.1.4. Layanan Asuhan Keperawatan

Manajemen asuhan keperawatan yang baik sangat dibutuhkan dalam


memberikan asuhan keperawatan kepada klien secara sistematis dan
terorganisir. Manajemen asuhan keperawatan merupakan pengaturan
sumber daya dalam menjalankan kegiatan keperawatan dengan
menggunakan metoda proses keperawatan untuk memenuhi kebutuhan
klien atau menyelesaikan masalah klien (Keliat, 2000). Tiga
komponen penting dalam manajemen asuhan keperawatan yaitu
manajemen sumber daya manusia (perawat) dengan menggunakan
sistem pengorganisasian pekerjaan perawat (asuhan keperawatan) dan
sistem klasifikasi kebutuhan klien dalam metoda pemberian asuhan
keperawatan yaitu proses keperawatan.

Proses keperawatan adalah suatu proses yang interaktif, untuk


menyelesaikan masalah, sistematis, dan bersifat individual untuk
mencapai tujuan perawatan. Proses keperawatan meliputi beberapa
kegiatan, yaitu pengkajian, diagnosis, perencanaan, impentasi dan
evaluasi. Pada karya ilmiah akhir ini hanya akan menjelaskan tentang
diagnosis dan implementasi (penatalaksanaan) keperawatan untuk
masalah risiko perilaku bunuh diri.

2.2.1.4.1. Tindakan Asuhan Keperawatan pada Klien Risiko BunuhDiri


Risiko perilaku bunuh diri merupakan salah satu masalah
keperawatan yang banyak ditemui di unit rawat psikiatri,
walaupun secara kuantitatif tidak sebanyak masalah keperawatan
yang lain seperti halusinasi, risiko perilaku kekerasan, isolasi

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


35

sosial dan harga diri rendah, akan tetapi masalah risiko bunuh
diri adalah masalah yang perlu mendapatkan perhatian khusus
dari tenaga kesehatan jiwa, khususnya perawat jiwa.

Risiko bunuh diri merupakan salah satu bentuk kegawatdaruratan


psikiatri, sehingga perawat harus tanggap dan memberikan
tindakan yang tepat sehingga klien dengan risiko bunuh diri
dapat selamat dan ide bunuh diri tidak muncul lagi. Varcarolis
dan Halter (2010) menyatakan bahwa tindakan keperawatan
untuk bunuh diri terdiri dari 3 level, yaitu primer, sekunder, dan
tersier.

a. Tindakan Primer
Tindakan primer terdiri dari aktivitas dengan menyediakan
dukungan, informasi dan pendidikan untuk mencegah bunuh
diri. Tindakan primer dapat diberikan pada komunitas tertentu,
seperti sekolah, tempat peribadahan, rumah sakit dan tempat
kerja (Joe & Bryant, 2007 dalam Varcarolis & halter 2010).
Tindakan primer (tindakan preventif) yang dapat dilakukan
melalui promosi tentang kesadaran diri tentang bunuh diri
berbasis masalah kesehatan masyarakat, mendirikan suatu badan
khusus untuk pencegahan bunuh diri, membangun dan
mengimplementasikan strategi untuk mengurangi stigma yang
berhubungan dengan klien yang menderita gangguan jiwa, dan
pelayanan pencegahan bunuh diri, menerapkan program
pencegahan bunuh diri, mempromosikan tentang pengurangan
tindakan yang berbahaya dan mematikan, melakukan pelatihan
terhadap pemberian tindakan yang efektif, mengembangan akses
dan kerjasama lintas sektor dan lintas program dalam
masyarakat untuk penganan gangguan jiwa dan penyalahgunaan
zat, mendukung penelitian tentang bunuh diri dan upaya

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


36

pencegahan bunuh diri, serta mengembangkan sistem survei.


Perawat harus mampu memberikan pelayanan yang efektif
terhadap perilaku yang berpotensi bunuh diri. Proses ini akan
terus berlangsung secara terus menerus selama berinteraksi
dengan klien, melakukan pengawasan terhadap faktor yang
berbahaya mengakibatkan kematian, dan mengawasi risiko
perilaku destruktif (Fortinash & Worret, 2004).

b. Tindakan Sekunder
Tindakan sekunder adalah suatu tindakan yang dilakukan ketika
terjadi situasi krisis bunuh diri terjadi. Area praktik di rumah
sakit, klinik, penjara, dan telepon hotline. Pada tatanan
masyarakat bentuk pelayanan primer dan sekunder sangat
penting untuk mencegah bunuh diri (Varcarolis & Halter, 2010).

c. Tindakan Tersier
Tindakan tersier adalah tindakan yang diberikan kepada keluarga
atau teman dari seseorang yang telah melakukan bunuh diri. Hal
ini untuk mengurangi efek trauma dari kejadian (Varcarolis &
Halter, 2010). Perawat harus memahami duka atau kehilangan,
mendampingi mereka, memberikan konsultasi, dan memberikan
perhatian terhadap mereka (Batcher & Douglas, 2006 dalam
Varacolis & Halter 2010). Hal ini sangat penting, karena angka
bunuh diri terus meningkat.

Selain tindakan yang telah dijelaskan di atas, pada keperawatan


jiwa terdapat tindakan generalis dan spesialis untuk mengatasi
masalah risiko perilaku bunuh diri (Keliat & Akemat, 2010), yaitu:
a) Tindakan Generalis
Tindakan Keperawatan untuk bertujuan agar klien tetap aman
dan selamat
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


37

Tindakan keperawatan generalis :


1) Isyarat bunuh diri ; mendiskusikan cara mengatasi keinginan
untuk bunuh diri, meningkatkan harga diri klien
(mengungkapkan perasaan, memberikan pujian, keadaan
yang perlu disyukuri, merencanakan aktivitas), tingkatkan
kemampuan menyelesaikan masalah (cara klien
menyelesaikan masalah, efektivitas penyelesaian masalah
yang digunakan, cara menyelesaikan masalah dengan baik).
2) Ancaman / percobaan bunuh diri ; temani klien terus menerus
sampai dapat dipindahkan ke tempat yang aman, jauhkan
semua benda yang berbahaya (contohnya : pisau, silet, gelas,
dan tali pinggang), periksa apakah klien benar-benar telah
meminum obatnya, jika klien mendapatkan obat, dengan
lembut, jelaskan pada klien bahwa perawat akan melindungi
klien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.

Sedangkan tindakan keperawatan untuk keluarga bertujuan agar


keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang
mengancam atau mencoba bunuh diri. Tindakan keperawatan
generalis yang diberikan adalah menganjurkan keluarga untuk ikut
mengawasi klien serta jangan pernah meninggalkan klien sendirian,
menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-
barang berbahaya di sekitar klien, mendiskusikan dengan keluarga
supaya klien tidak sering melamun sendiri, dan menjelaskan pada
keluarga pentingnya klien minum obat secara teratur.

b) Tindakan spesialis (psikoterapi)


Pada individu dengan risiko perilaku bunuh diri pemberian beberapa
jenis psikoterapi sangat membantu. Individu dengan risiko perilaku
bunuh diri sering merasa tidak berguna, kehilangan makna dalam
hidupnya, dan merasa tidak diterima oleh orang lain. Riwayat
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


38

kegagalan yang berulang, serta kurangnya support system bagi klien


membuat kondisi klien semakin rapuh. Sedangkan bagi keluarga
masalah yang sering muncul yaitu ketidaktahuan keluarga dalam
menghadapi gejala-gejala yang terkadang masih muncul serta
menghadapi pandangan negatif dari masyarakat (Sadock & Sadock,
2010). Pemberian psikoterapi ini sangat bermanfaat bagi individu
dengan risiko perilaku bunuh diri, keluarga atau masyarakat.

Psikoterapi yang diberikan bagi penderita risiko perilaku bunuh diri


yaitu terapi individu, terapi kelompok, terapi kelompok dan terapi
keluarga. Terapi inidividu berupa terapi kognitif dan perilaku, terapi
kognitif serta logoterapi individu . Terapi kelompok berupa terapi
suportif, Self Help Group dan psikoterapi kelompok. Terapi
lingkungan berupa Assertive Community Therapy . Sedangkan terapi
keluarga berupa psikoedukasi keluarga.

Pada penulisan ini, terapi spesialis yang akan dijelaskan adalah


terapi kognitif. Terapi ini akan difokuskan untuk dibahas pada
asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan risiko perilaku bunuh
diri, walaupun pada pelaksanaannya tidak hanya terapi ini yang
diterapkan pada klien dengan risiko perilaku bunuh diri. Alasan
memilih terapi kognitif adalah kegunaaan untuk melawan pikiran
otomatis negatif, merasa tidak berguna yang sering muncul pada
pikiran klien dengan risiko bunuh diri.

2.2.2. Terapi kognitif

Terapi kognitif adalah salah satu psikoterapi yang dikembangkan oleh


Beck pada tahun 1960, terapi ini membantu klien keluar dari kesulitan
mengindentifikasi perubahan pola pikir, respon emosi yang salah. Terapi
kognitif adalah salah satu psikoterapi berdasarkan proses patologi mental,
fokus dari terapi ini adalah mengatasi dan memodifikasi distorsi kognitif

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


39

dan perilaku yang maladaptif (Townsend, 2009). Stuart (2011)


menyatakan bahwa terapi kognitif bertujuan untuk mengubah respon
maladaptif dari distorsi kognitif yang terjadi. Distorsi kognitif meliputi
logika yang salah, membuat alasan yang salah, atau ketika seseorang tidak
mampu melihat apa yang terjadi sesuai dengan realita yang terjadi.

Terapi kognitif digunakan untuk membantu klien merubah pikiran negatif


terhadap dirinya menjadi pikiran positif sehingga lebih bisa menghargai
dirinya sendiri. Terapi ini dapat digunakan pada klien depresi atau
skizofrenia yang mengalami harga diri rendah, keputusasaan, bahkan
risiko bunuh diri. Byrne (2005) menyatakan bahwa Terapi kognitif yang
diberikan pada klien risiko bunuh diri sangat berpengaruh terhadap
menurunnya risiko percobaan bunuh diri sebesar 50% sehingga bisa
digunakan sebagai upaya pencegahan bunuh diri. Terapi ini secara spesifik
mampu membantu klien untuk mengurangi gejala dan perilaku destruktif
terhadap diri.
a) Tujuan Terapi kognitif
Menurut Copel (2007) dalam Kristyaningsih (2009), terapi kognitif
bertujuan untuk membantu klien mengembangkan pola pikir yang
rasional, terlibat dalam uji realitas, dan membentuk kembali perilaku
dengan mengubah pesan-pesan internal. Mengubah kepercayaan
(anggapan) tidak logis, penalaran salah, dan pernyataan negatif yang
mendasari permasalahan perilaku ( Stuart & Laraia, 2005). Gladding
(2009) menyatakan bahwa tujuan utama Terapi kognitif adalah
mengubah pikiran yang belum teridentifikasi dan berisi pikiran
negatif. Terapi kognitif berfokus pada distorsi kognitif yang
berlebihan, melebeli diri sendiri, mengkritik diri sendiri, dan
personalisasi. Beck (1987 dalam Townsend, 2009) menjelaskan tujuan
Terapi kognitif adalah memonitor pikiran otomatis negatif,
menghubungkan antara pikiran, perasaan, dan perilaku. Melawan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


40

pikiran otomatis negatif dan dan mengidentifikasi latar belakang


disfungsi kepercayaan dan pengalaman masa lalu.

Terapi kognitif secara umum dapat disimpulkan bertujuan untuk untuk


merubah pikiran negatif terhadap diri menjadi pikiran yang positif.
Sehingga klien merasa bahwa dia masih memiliki sesuatu yang patut
dihargai terhadap dirinya serta mampu mengurangi rasa putus asa
serta keinginan untuk bunuh diri. Pelaksanaan terapi Terapi kognitif
dalam tulisan ilmiah ini membagi pelaksanaan terapi ini dalam 4 sesi
seperti yang dikembangkan oleh Kristyaningsih (2009) berdasarkan
beberapa ahli dimana pada pelaksanaannya dimodifikasi sesuai
dengan situasi dan kondisi, yaitu : a) Sesi 1 : identifikasi pikiran
otomatis yang negatif. b) Sesi 2 : penggunaan tanggapan rasional
terhadap pikiran otomatis yang negative. c) Sesi 3 : manfaat
tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif. d) Sesi 4 :
support system (meningkatkan komunikasi dengan klien dan keluarga,
klien mendapatkan support system dari keluarga, dan keluarga
menjadi support system bagi klien). Pelaksanaan terapi ini bisa
dilakukan sendiri dari sesi satu sampai sesi 4 atau terapi ini bisa
dilakukan sebagai salah satu bagian dari terapi yang lain, sebagai
salah satu mekanisme koping adaptif yang bisa diajarkan pada klien.
Rahayuningsih (2007) menyatakan bahwa Terapi kognitif memberi
pengaruh terhadap perubahan harga diri dan kemandirian kognitif
pada klien dengan harga diri rendah.

2.2.3. Mekanisme koping

Mekanisme koping konstruktif meliputi menilai pencapaian hidup, menilai


nyaman dengan pasangan hidup, menerima perubahan fisik dan psikologis
yang terjadi, membimbing dan menyiapkan generasi dibawah usianya
secara arif dan bijaksana, menyesuaikan diri dengan orang tua yang sudah

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


41

lanjut usia (Stuart, 2011). Klien mempunyai inisiatif dan ide-ide


melakukan sesuatu yang bermanfaat. Klien mampu menghasilkan sesuatu
yang berarti bagi dirinya dan orang lain, mengisi waktu luang dengan hal
yang positif dan bermanfaat. Klien perhatian dan peduli dengan orang lain
ditandai dengan memperhatikan kebutuhan orang lain.

Ketidakmampuan seseorang untuk mengatasi keinginan bunuh diri secara


konstruktif akan menyebabkan perilaku patologis. Untuk menetralisasi
keinginan bunuh diri seseorang mengembangkan pola koping. Pola ini
digunakan untuk mengatasi keinginan bunuh diri. Mekanisme koping
dapat dikategorikan sebagai task-oriented reaction dan ego oriented
reaction. Task-oriented reaction adalah berpikir, mencoba berhati-hati
untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik dan memberikan
kepuasan. Task-oriented reaction berorientasi dengan kesadaran secara
langsung dan tindakan. Contoh dari mekanisme koping task oriented
reaction yang dapat dilakukan pada klien dengan risiko bunuh diri adalah
berbicara dengan tenaga profesional dan orang lain yang dapat membantu
klien dalam mengatasi keinginan bunuh diri yang dialami. Ego oriented
reaction sering digunakan untuk melindungi diri. Reaksi ini sering disebut
sebagai mekanisme pertahanan. Setiap orang menggunakan mekanisme
pertahanan dan membantu seseorang mengatasi ansietas dalam tingkat
ringan sampai dengan sedang. Ego oriented reaction dilakukan pada
tingkat tidak sadar. Beberapa mekanisme koping ego oriented reaction
yang ditemukan pada klien dengan risiko bunuh diri adalah denial,
proyeksi, dan isolasi (Stuart, 2011)

Mekanisme koping destruktif trdiri dari tidak kreatif menyebabkan klien


kurang memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat,
tidak mempunyai hubungan akrab, kurang berminat bekerja dan
berkeluarga, tidak memiliki pekerjaan dan profesi yang tetap sehingga

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


42

tidak dapat mandiri secara finansial dan sosial, tidak bertanggungjawab


terhadap keluarga, ketidakmampuan untuk mencari informasi tentang
perawatan, tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan saat
diberikan kesempatan, enggan mengungkapkan perasaan yang sebenarnya,
ketergantungan terhadap orang lain yang dapat mengakibatkan iritabilitas,
ketidaksukaan, marah dan rasa bersalah, gagal mempertahankan ide /
pendapat yang berkaitan dengan orang lain ketika mendapat perlawanan.

Sumber dan mekanisme koping yang dimiliki oleh klien dalam


menghadapi stressor dapat dijadikan sebagai dasar bagi perawat dalam
menyusun rencana keperawatan bagi klien dengan masalah risiko bunuh
diri. Sumber koping dan mekanisme koping positif yang dimiliki oleh
klien digunakan sebagai dasar bagi perawat untuk menyusun kegiatan
yang bertujuan untuk menguatkan kemampuan klien. Sedangkan sumber
koping dan mekanisme koping yang negatif digunakan sebagai dasar
penyusunan kegiatan melatih ketrampilan dan kemampuan klien. Selain
sumber koping dan mekanisme koping, penilaian stressor juga dapat
digunakan sebagai dasar penyusunan rencana keperawatan pada klien
dengan risiko bunuh diri. Terapi yang diberikan berdasarkan pendekatan
penilaian stressor tergantung pada pendekatan aspek kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan sosial yang dimiliki oleh klien.

2.2.4. Penerapan Model Teori Chronic Sorrow Eakes Pada Proses


Keperawatan Klien dengan Risiko Bunuh Diri

Model keperawatan sebagai konsep menggambarkan keperawatan


berdasarkan pada asumsi filosofi dan prinsip keilmuan. Pada sub pokok
bahasan ini diuraikan tentang konsep Chronic sorrow yang digunakan
sebagai kerangka berpikir manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa
pada diagnosa risiko bunuh diri dan proses keperawatan sesuai dengan
Model Chronic sorrowEakes.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


43

2.2.4.1. Konsep Model Chronic Sorrow Eakes


Teori middle range,merupakan level ke tiga dari teori keperawatan,
abstraknya pada level pertengahan, inklusif, diorganisasi dalam
lingkup terbatas,memiliki sejumlah varibel terbatas, dapat diuji secara
langsung. Teori middle range memiliki hubungan yang lebih kuat
dengan penelitian dan praktik.Hubungan antara penelitian dan praktik
menurut Merton (1968), menunjukkan bahwa Teori middle-range
amat penting dalam disiplin praktik., selain itu Walkerand Avant
(1995) mempertahankan bahwa mid-range theories menyeimbangkan
kespesifikannya dengan konsep ekonomi secara normal yang nampak
dalamgrand teori.Akibatnya middle-range teori memberikan manfaat
bagi perawat,mudah diaplikasikan dalam praktik dan cukup abstrak
secara ilmiah.

Teori Chronic sorrow merupakan salah satu teori Middle Range yang
didokumentasikan pertama oleh Eakes pada tahun 1998, dengan
kerangka kerja yang menjelaskan tentang bagaimana individu dapat
menanggapi kerugian terhadap peristiwa yang sedang berlangsung.
Teori Chronic Sorrow membahas tentang fenomena yang spesifik
yaitu tentang masalah- masalah yang timbul dari penyakit kronis
mencakup proses berduka, kehilangan, faktor pencetus dan metoda
manajemennya. Karena kespesifikan teori tersebut, maka teori ini
mudah diaplikasikan dalam praktik keperawatan. Banyak penelitian
yang telah dilakukan sebagai aplikasi teori ini terkait dengan penyakit
kronik seperti pada klien multiple sklerosis, diabetes mellitus pada
anak, anemia sickle cell pada anak, epilepsi, sindrom down, spina
bifida, dan lain-lain. Tetapi belum banyak untuk kasus keperawatan
jiwa khususnya risiko perilaku bunuh diri. Konsep utama dari teori
Chronic sorrow adalah penderitaan/duka cita kronis,
kehilangan/kerusakan, peristiwa pencetus, dan metode manajemen.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


44

2.2.4.2. Proses keperawatan pada klien risiko bunuh diri dengan


pendekatan teori Chronic sorrow
Proses keperawatan jiwa pada klien dengan risiko bunuh diri
didasarkan pada lima langkah yang disesuaikan dengan konsep
lifespan Chronic sorrow (Gambar 2.3).

Gambar 2.3. Model teori Chronic Sorrow Eakes

Kesedihan kronis merupakan fenomena yang dapat diidentifikasi


dalam kehidupan orang-orang dalam situasi sakit / cacat kronis.
Analisis ini konsep telah mengidentifikasi atribut kritis kesedihan
kronis siklus progresif kesedihan dipicu oleh pribadi, keluarga, dan
kerugian sosial yang terjadi sebagai akibat dari penyakit atau
kecacatan. Kesedihan kronis tidak depresi atau kesedihan patologis,
tetapi reaksi yang normal yang rumit, situasi yang sulit dalam hidup.
Informasi tentang batas-batas maknanya dapat digunakan untuk
menentukan peran kesedihan kronis memainkan dalam kehidupan
populasi orang sakit kronis atau cacat dan pengasuh mereka di seluruh
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


45

jangka hidup. Memahami apa kesedihan kronis dan bagaimana


beroperasi dalam kehidupan pasien dan pengasuh mereka merupakan
dasar untuk memberikan asuhan keperawatan yang efektif untuk
orang-orang ini.

2.3 Output
Hasil akhir dari pelaksanaan terapi, peningkatan sumber koping dan mekanisme
koping dengan pendekatan teori stres adaptasi Stuart dan teori Chronic Sorrow
Eakes adanya penurunan gejala pada diagnosa risiko bunuh diri dan peningkatan
kemampuan dalam mengidentifikasi pikiran otomatis negatif sehingga klien
mammpu mengcounter dengan pikiran positif. . Selain itu, kemampuan dalam
menghadapi masalah juga terjadi peningkatan. Sejalan dengan makna mendalam
dari teori Chronic Sorrow Eakes, tujuan pelaksanaan asuhan keperawatan pada
klien dengan risiko bunuh diri adalah meningkatkan kemampuan klien dalam
menghadapi kesedihan yang kronis.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


46

BAB 3
PROFIL LAHAN PRAKTEK

Bab 3 menguraikan tentang manajemen pelayanan keperawatan jiwa di rumah


sakit Marzoeki Mahdi Bogor dan ruang Utari. Gambaran lahan praktek dan
pelayanan keperawatan jiwa yang diberikan ini bertujuan untuk melihat penerapan
asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa risiko bunuh diri di unit rawat
inap Utari berdasarkan manajemen pelayanan yang dikembangkan di unit
pelayanan psikiatri rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor.

3.1. Manajemen Praktek Keperawatan Profesional di Rumah Sakit


Marzoeki Mahdi Bogor

Manajemen praktek keperawatan profesional di rumah sakit Marzoeki Mahdi


Bogor dilakukan dengan pendekatan model praktek keperawatan profesional
(MPKP). Berikut ini disampaikan tentang gambaran rumah sakit Marzoeki
Mahdi Bogor dan pelaksanaan praktek keperawatan profesional yang telah
dilakukan di rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor.

3.1.1. Profil Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor (RSMM)


Profil rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor menggambarkan tentang
sejarah singkat berdirinya rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor, struktur
organisasi, visi, misi, jenis pelayanan, gambaran manajemen keperawatan
di RSMM khususnya dalam asuhan keperawatan klien dengan diagnosa
risiko bunuh diri di unit rawat pskiatri.

3.1.1.1 Sejarah RSMM


RSMM merupakan rumah sakit jiwa pertama yang didirikan di
Indonesia. Keputusan pendirian rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor
didasarkan pada sensus pada tahun 1862 dimana banyak klien penderita
gangguan jiwa berkeliaran di masyarakat bebas. Pertimbangan kedua
didasarkan bahwa penyakit jiwa dapat disembuhkan jika diberikan
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


47

perhatian dan perawatan yang baik. Berdasarkan perkembangan ilmu


pengetahuan psikiatri saat itu, maka berkembang pula wacana
mengenai cara perawatan bagi penderita gangguan jiwa. Pemerintah
Hindia Belanda mendirikan Rumah Sakit Jiwa Bogor secara resmi pada
tanggal 1 Juli 1882. RSJ Bogor ini dikhususkan untuk merawat
pegawai Hindia Belanda yang mengalami gangguan jiwa dan
diperuntukkan sebagai Rumah Sakit kustodial (tahanan).

Sebelum ada RSJ, maka klien yang mengalami gangguan jiwa dirawat
di Rumah Sakit Umum atau Tentara, juga dipenjara dan kantor polisi.
Mereka dikurung dan diasingkan. Fasilitas perawatannya dilengkapi
jeruji besi disetiap bangsal dengan pintu besi yang kuat. Penampungan
seperti itu terdapat di RS Cina di Batavia, Semarang, dan Surabaya.
RSJ pertama yang dibangun Pemerintah Belanda adalah RSJ Bogor.
Dokter pribumi pertama yang menjadi direktur Rumah Sakit itu adalah
dr Marzoeki Mahdi (1946-1950). Pada masa penjajahan Jepang,
sebagian bangunan RSJ Bogor dipakai untuk penampungan tentara
Jepang dan sebagian lain untuk karantina penyakit menular. Pemerintah
Belanda kemudian juga membangun rumah sakit serupa di Lawang,
Magelang, dan Sabang. RSJ Sabang ditutup pada zaman Jepang dan
kliennya dialihkan ke Lawang dan Bogor.

Konsep RSJ yang dibangun Belanda adalah koloni, karena adanya


pendapat bahwa sekali masuk RSJ, tidak akan pernah keluar lagi,
sehingga dipersiapkan lahan yang luas. RSJ Bogor memiliki lahan
seluas 117 hektar dan RSJ Lawang, memiliki lahan seluas 250 hektar.
Hal ini diperuntukkan supaya klien dapat beraktivitas di kompleks RSJ.
Alur perkembangan ilmu psikiatri telah diketahui bahwa sepertiga dari
klien gangguan jiwa bisa sembuh total, sepertiga lainnya harus bolak-
balik ke Rumah Sakit dan sepertiga lainnya sulit disembuhkan karena
sudah sangat parah. RSJ Bogor menapaki babakan baru pada akhir
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


48

tahun 1990-an. Pada tahun 1998, rumah sakit itu bekerja sama dengan
sebuah yayasan untuk merawat para pecandu NAPZA. Kerja sama itu
berakhir pada tahun 2000 karena terjadi ketidaksesuaian metode dan
konsep dalam cara perawatan, penyembuhan, dan pemulihan.

Pada tahun 2001 sesuai dengan Visi rumah sakit sebagai model
kemandirian dan perkembangan zaman serta adanya peningkatan
pengetahuan di bidang keperawatan, sehingga hampir semua RSJ di
Indonesia berganti nama dan RSJ Bogor berganti nama menjadi
RSMM. Perkembangan tersebut juga memberi dampak pada pelayanan,
sehingga dianggap perlu untuk meningkatkan sistem pelayanan
keperawatan yang bisa menjadi model dan mandiri. RSMM bekerja
sama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-
UI) telah mengembangkan bentuk pelayanan keperawatan profesional
yang dikenal dengan Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP).

Proses pengembangan MPKP tersebut diawali dengan pembentukan


Tim pengembang MPKP yang terdiri dari Tim RSMM dengan FIK-UI.
Selanjutnya dilakukan pertemuan rutin setiap minggu untuk menyusun
draft konsep MPKP Jiwa. Kemudian melakukan lokakarya terhadap
draft konsep MPKP Jiwa dengan pakar MPKP. Langkah selanjutnya
yaitu sosialisasi dengan Tim Kesehatan Jiwa, proses rekrutmen staf dan
persiapan sarana serta prasarana. Langkah terakhir yaitu pelatihan staf,
soft openning, seminar nasional dan pelatihan serta Grand openning
tanggal 10 Maret 2001.

Hasil dari kegiatan ini adalah ditentukannya 1 ruangan yang menjadi


model pelaksanaan MPKP yaitu ruang Srikandi tahun 2001. Kemudian
dikembangkan ruangan MPKP kedua yaitu Sadewa pada tahun 2003,
dan dilanjutkan dengan ruangan akut Kresna pada tahun 2006. RSMM
telah mempunyai rencana strategis bahwa pendekatan MPKP
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


49

merupakan salah satu indikator mutu untuk pelayanan di ruang rawat


inap. Pada tahun 2010 seluruh ruangan akan menjadi ruang MPKP.

3.1.2. Struktur Organisasi RSMM


Rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor merupakan rumah sakit pusat UPT
Depkes Republik Indonesia. Saat ini rumah sakit Marzoeki Mahdi bogor
merupakan rumah sakit badan layanan umum. Struktur organisasi Badan
Layanan Umum Rumah Sakit Marzoeki Mahdi dipimpin oleh Direktur
Utama. Direktur utama membawahi direktorat medik dan keperawatan,
direktorat SDM dan pendidikan, direktorat keuangan dan administrasi
umum, satuan pemeriksaan intern dan komite medik serta komite etik dan
hukum.

Direktorat Medik dan Keperawatan membawahi bidang medik dan bidang


keperawatan. Bidang medik terdiri dari dua seksi yaitu pelayanan medik
dan pelayanan penunjang medik. Bidang keperawatan mempunyai dua
seksi yaitu pelayanan keperawatan rawat jalan dan pelayanan rawat inap.
Direktorat SDM dan Pendidikan membawahi dua bagian yaitu SDM, serta
Pendidikan dan Penelitian. Bagian SDM memiliki dua subbagian yaitu
administrasi kepegawaian dan pengembangan SDM. Bagian Pendidikan
dan Penelitian memiliki dua subbagian yaitu pendidikan dan penelitian
tenaga medis, pendidikan dan penelitian tenaga keperawatan serta non
medis. Direktorat Keuangan dan Administrasi Umum membawahi dua
bagian yaitu keuangan dan administrasi umum. Bidang Keuangan
mempunyai tiga subbagian yaitu program dan anggaran, perbendaharaan
dan akuntansi, mobilisasi dana. Bidang Administrasi Umum mempunyai
tiga subbagian yaitu tata usaha dan pelaporan, rumah tangga dan
perlengkapan, hukum dan organisasi serta hubungan masyarakat. Masing-
masing direktorat membawahi instalasi terkait dan kelompok jabatan
fungsional.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


50

3.1.2.1 Bidang Keperawatan


Struktur dibidang keperawatan dikepalai oleh seorang Kepala Bidang
Keperawatan dan membawahi 2 Kepala Seksi. Kepala seksi pelayanan
keperawatan rawat jalan membawahi seluruh unit rawat jalan.
Sedangkan kepala seksi pelayanan keperawatan rawat inap membawahi
seluruh unit rawat inap yang ada di rumah sakit Marzoeki Mahdi
Bogor.

3.1.2.2. Visi, Misi, Motto dan Tujuan


3.1.2.2.1. Visi
Visi dari rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor adalah terwujudnya
rumah sakit mandiri melalui profesionalisme dan pelayanan yang
bermutu dengan mengutamakan kepuasan pelangan dan terjangkau
oleh rakyat miskin.
3.1.2.2.2. Misi
a) Melaksanakan pelayanan kesehatan dengan unggulan kesehatan
jiwa dan NAPZA
b) Memberdayakan seluruh potensi yang ada di Rumah Sakit
c) Mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa menjadi pusat
rujukan nasional
d) Mengembangkan pendidikan kesehatan dan penelitian serta
kemitraan yang seluas-luasnya.
e) Mencapai kesejahteraan bersama.
3.1.2.2.3. Tujuan
a) Tercapainya jasa layanan kesehatan jiwa dengan kualitas prima
b) Tercapainya produk unggulan dalam bidang kesehatan jiwa
c) Tersedianya sumber daya manusia bidang kesehatan jiwa yang
professional dan kemitraan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


51

3.1.2.3. Budaya organisasi


a) Belajar dan berkembang profesionalisme
b) Bekerja seimbang kebersamaan
c) Saling menghargai
d) Melayani dengan baik dan tulus
e) Motivasi dan kemitraan

3.1.3. Fasilitas Pelayanan


Jenis pelayanan kesehatan yang tersedia di RSMM meliputi 5 komponen utama
yaitu unit gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, penunjang dan bagian
pendidikan dan penelitian. Pelayanan unit gawat darurat terdiri atas unit gawat
darurat psikiatri dan unit gawat darurat pelayanan umum, Unit rawat jalan
terdiri atas pelayanan rawat jalan psikiatri dan pelayanan rawat inap psikiatri.
Unit rawat inap terdiri atas rawat inap psikiatri, rawat inap umum dan rawat
inap NAPZA.

3.1.4. Sumber Daya Manusia


Ketenagaan yang ada di rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor terdiri atas dokter,
apoteker, psikolog, keperawatan, paramedis non keperawatan, S2 manajemen
dan tenaga administrasi .Tabel 3.1 menggambarkan sumber daya manusia di
RSMM.

3.1.5. Penampilan Kinerja


Penampilan kinerja pelayanan RSMM adalah : (RSMM, 2012)
1) Kapasitas total tempat tidur : 668 tempat tidur
2) BOR : 79,15%
3) AvLOS : 26,95 hari
4) TOI : 5,78 hari
5) BTO : 13,15 hari

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


52

Tabel 3.1 Sumber Daya Manusia di RSMM


No Sumber daya Manusia/ketenagaan Jumlah

1 Dokter umum 24 orang

2 Dokter Psikiatri 10 rang

3 Dokter gigi 3 orang

4. Dokter spesialis (anak, gizi, jantung, paru, anastesi, gigi, 24 orang


mata,bedah, kulit dan kelamin,bedah orthopedic,
kebidanan dan kandungan, THT, rehabilitasi medic,
radiologi dan sayaraf)

5 Tenaga Keperawatan:

a. Perawat spesialis jiwa 2 orang

b. Magister keperawatan 2 orang

c. Magister kesehatan 1 orang

d. Sarjana Kesehatan 1 orang

e. Sarjana Keperawatan 30 orang

f. Diploma 3 keperawatan 324 orang

g. SPK (SPK,SPKJ, SPRB) 48 orang

h. Sekolah pengatur rawat gigi 2 orang

3 Tenaga perawatan lain:

a. Diploma 3 Kebidanana 13 orang

b. Diploma 3 anastesi 3 orang

c. Diploma 3 rehnik gigi 1 orang

d. Diploma 3 kesehatan gigi. 1orang

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


53

3.1.6. Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Tantangan (SWOT)


Sesuai dengan data di atas maka didapatkan analisis :
3.1.6.1. Kekuatan

a) Kualitas SDM yang memadai dari mulai tenaga medis dan non
medis
b) Pelayanan unggulan di bidang kesehatan jiwa
c) Pelayanan umum dan kebidanan
d) Fasilitas penunjang rehabilitasi yang lengkap
e) Telah banyak perawat yang mempunyai tingkat pendidikan
setingkat sarjana.
f) Ruang perawatan telah banyak yang menggunakan metode tim
g) Memiliki fungsi sebagai tempat penelitian, pendidikan dan
pengembangan keperawatan.
h) Adanya ruang perawatan yang telah menggunakan model
pelayanan keperawatan profesional dan menjadi rujukan nasional
dalam pelaksanaan model tersebut.
3.1.6.2. Kelemahan

a) Belum semua pimpinan (manajer) keperawatan dari mulai ketua


tim, kepala ruangan sampai dengan manajer tertinggi yang
mempunyai tingkat pendidikan minimal S1 Keperawatan.
b) AvLOS yang masih tinggi, terutama pada klien gangguan jiwa
c) Banyaknya klien gangguan jiwa yang tidak pernah dijenguk oleh
keluarga.
d) Manajemen sistem informasi keperawatan masih dilakukan secara
manual.

3.1.6.3. Peluang

a) Lokasi mudah dijangkau di kota Bogor

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


54

b) Visi sebagai rujukan wilayah Asia Tenggara untuk kesehatan jiwa


dan NAPZA.

3.1.6.4. Tantangan

a) Pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang meningkat akan hak-


hak atas pelayanan kesehatan.
b) Adanya perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan
konsumen.
Telah banyak rumah sakit lain yang mencoba untuk menerapkan model pelayanan
keperawatan profesional

3.1.7. Manajemen Praktek Keperawatan Profesional di RSMM


Kebijakan Direktur RSMM yang ada terkait dengan program MPKP yaitu
MPKP menjadi salah satu indikator mutu untuk pelayanan rawat inap baik
psikiatri maupun unit pelayanan umum di RSMM, sehingga telah ditetapkan
semua ruangan menerapkan MPKP pada tahun 2010. MPKP terdiri atas empat
pilar yaitu pilar manajemen approach, compensatory reward, profesional
relationship dan patient care delivery. Pada karya tulis ilmiah ini, residen
fokus membahas pelaksanaan patient care delivery khususnya pada klien
dengan risiko bunuh diri. Keberhasilan pelaksanaan patient care delivery perlu
didukung dengan keberhasilan pelaksanaan 3 (tiga) pilar MPKP yang lain
sehingga perlu adanya kesinambungan semua pilar MPKP.

Pengembangan MPKP di rumah sakit Marzoeki Mahdi di mulai di unit


pelayanan psikiatri yaitu ruang Srikandi tahun 2000 dan Sadewa tahun 2003
dan tahun 2006 telah dikembangkan di ruang akut yaitu Kresna. Fakultas Ilmu
Keperawatan melalui praktek spesialis keperawatan jiwa bekerja sama dengan
rumah sakit Marzoeki Mahdi selanjutnya mengambangkan MPKP di hampir
seluruh ruang di unit psikiatri. Dari 14 ruangan di unit psikiatri, semua sudah

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


55

dikembangkan menjadi ruang MPKP. Empat belas ruangan yang telah


dikembangkan belum secara optimal melaksanakan pilar-pilar MPKP sehingga
masih perlu kegiatan pendampingan, supervise dan penbudayaan.

Kegiatan riset keperawatan terkait dengan pilar patient care delivery di unit
psikiatri telah dilakukan oleh mahasiswa Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI
sejak tahun 2007. Riset keperawatan yang dilakukan meliputi penerapan
berbagai terapi modalitas yang telah dikembangkan. Hasil riset tersebut telah
didesiminasikan di lingkungan RSMM. Selain ruangan psikiatri ruangan yang
juga dikembangkan menjadi ruang MPKP adalah 2 ruangan di unit NAPZA
dan 3 ruangan di unit pelayanan umum. Pada Bulan Februari dan Maret 2013
sudah di buka juga ruangan psikiatri khusus untuk anak dan remaja serta
ruangan CLP. Kegiatan yang telah dilakukan meliputi pelatihan MPKP,
pendampingan program MPKP, dan pelaksanaan supervisi kegiatan MPKP
dengan sasaran bidang keperawatan, kepala ruang, ketua tim dan perawat
pelaksana. Selain itu pelatihan Asuhan keperawatan jiwa untuk anak dan
remaja juga sudah dilakukan pada tanggal 23-25 April 2013 seiring dibukanya
ruang Dewi Amba sebagai ruang rawat inap untuk klien jiwa anak dan remaja.

Sebagai Rumah Sakit dengan ciri khusus mengutamakan kesehatan jiwa,


RSMM mengembangkan pelayanan bukan hanya khusus unit psikiatri namun
berkembang dengan membuka unit umum untuk dewasa yaitu ruang Antasena,
Bisma, dan Arjuna; ruang kebidanan yaitu Dewi Kunti; ruang intensive care
unit yaitu Perina dan ICU serta ruang pelayanan anak yaitu Parikesit.

Pada kesempatan ini penulis khusus menyampaikan tentang manajemen


praktek keperawatan profesional di ruang psikiatri Utari. Manajemen praktek
keperawatan profesional ini akan melihat hubungan tiga pilar MPKP yaitu
manajemen approach, compensatory reward dan professional relationship
terhadap pelaksanaan patient care delivery khususnya risiko bunuh diri pada
klien di ruang Utari.
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


56

3.2. Manajemen Pelayanan Keperawatan Profesional di Ruang Utari

Ruang Utari merupakan salah satu ruangan di unit pelayanan umum khusus
merawat klien perempuan yang sakit jiwa. Manajemen pelayanan keperawatan
yang digunakan menggunakan pendekatan MPKP. Berikut ini diuraikan
tentang gambaran profil ruang Utari dan manajemen pelayanan keperawatan
profesional di ruang Utari.

4.1.1.Profil Ruang Utari


Ruangan Utari merupakan salah ruangan yang memberikan pelayanan
psikitari terutama Ruang Utari merupakan ruang perawatan intermediate
kelas III wanita yang melayani klien umum. Fasilitas pelayanan yang
tersedia diantaranya adalah kantor perawatan, ruang diskusi dan ruang TAK
yang merangkap ruang makan, ruang perawatan klien dengan kapasitas 40
tempat tidur, kantor perawat, taman, kamar mandi, tempat cuci piring dan
gudang. Tenaga kesehatan yang bertanggung jawab atas pemberian
pelayanan di Ruang Utari adalah 16 orang perawat (1 orang pendidikan S1
Keperawatan, 15 orang pendidikan D3 Keperawatan), 1 orang pramu
husada, 1 orang cleaning service, 1 orang psikiater dan 1 orang dokter
umum. Mayoritas perawat berusia antara 20-30 yakni 10 orang, 30 – 40
tahun yakni 3 orang dan berusia 41-55 tahun ada 2 orang. Indikator mutu
pelayanan di Ruang Utari pada bulan Februari 2013 yaitu BOR adalah 78,75
%, AVLOS 17 hari dan TOI sebesar 18 hari, sedangkan angka pengekangan,
lari dan scabies 0%. Masalah keperawatan terbanyak yang dialami klien
pada bulan April 2013 adalah halusinasi, diikuti dengan harga diri rendah,
isolasi sosial, risiko perilaku kekerasan dan risiko bunuh diri (RSMM,
2012).

4.1.2. Manajemen Praktek Keperawatan Profesional di Ruang Utari

Praktik manajemen keperawatan jiwa di ruang Utari didasarkan pada


pendekatan pilar profesional MPKP. Pendekatan manajemen keperawatan
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


57

jiwa yang dikembangkan di ruang Utari dilakukan dengan pendekatan


MPKP. Pendekatan MPKP dilakukan berdasarkan empat pilar MPKP
yaitu manajemen approach, compensatory reward, professional
relationship dan patient care delivery. Kegiatan manajemen approach
terdiri atas empat fungsi yaitu perencanaan, peengorganisasian,
pengarahan dan pengendalian. Pilar compensatory reward terdiri atas
penilaian kinerja dan pengembangan staf. Pilar professional relationship
terdiri atas rapat tim kesehatan, rapat keperawatan, konferensi kasus dan
visite dokter. Pilar patient care delivery meliputi asuhan keperawatan pada
klien dengan masalah gangguan

Pelaksanaan praktik manajemen keperawatan jiwa profesional di ruang


Utari, dilakukan berdasarkan pada pilar-pilar MPKP. Rumusan masalah
yang ditemukan dari hasil pengkajian adalah potensial optimalnya
kegiatan pembudayaan pilar-pilar MPKP yang dilaksanakan oleh kepala
ruang, ketua tim 1 dan ketua tim 2 serta perawat pelaksana. Berdasarkan
rumusan masalah tersebut residen bersama kepala ruang, ketua tim 1 dan 2
serta perawat pelaksana mendiskusikan kesepakatan bersama tentang
kegiatan yang akan dilaksanakan. Hasil kesepakatan bersama memutuskan
melakukan supervisi insidentil baik terhadap kepala ruang, ketua tim dan
perawat pelaksana. Adapun hasil pelaksanaan supervisi insidentil adalah
sebagai berikut:

4.1.2.1. Kepala ruangan, dari 32 kegiatan yang dibudayakan ada sepuluh


kegiatan yang mengalami peningkatan nilai lulus >75 yaitu pada
kegiatan rencana kegiatan, struktur organisasi, daftar alokasi klien,
supervisi, pre conference, post conference, case conference. audit
dokumentasi, survey kepuasan, penilaian kinerja, pengembangan staf
dan satu kegiatan belum dapat dilaksanakan atau belum terobservasi
selama mahasiswa praktek residensi 3, yaitu kegiatan rapat tenaga

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


58

kesehatan. Dengan adanya fakta tersebut maka kemampuan akhir yang


dicapai oleh kepala ruang adalah 30 kegiatan lulus dengan nilai >75.

4.1.2.2. Ketua tim 1 dan 2, dari 18 kegiatan yang dibudayakan, hasil supervisi
insidentil menunjukan bahwa ada peningkatan kegiatan pembudayaan
yang mencapai nilai lulus >75. Dengan adanya fakta tersebut maka
kemampuan akhir yang dicapai oleh kedua ketua tim adalah 18 kegiatan
lulus dengan nilai >75

4.1.2.3. Perawat pelaksana, dari 8 kegiatan yang dibudayakan, hasil supervisi


insidentil menunjukkan bahwa satu kegiatan mengalami penurunan
yaitu rencana kegiatan harian, sehingga menjadi 7 kegiatan yang
mencapai tingkat sustainability dibuktikan dengan pencapaian nilai
lulus >75.

Berdasarkan hasil pelaksanaan sustainability manajemen pelayanan MPKP


di ruangan Utari telah tersedia dokumen pengembangan MPKP yang
meliputi visi, misi, filosofi, struktur organisasi, daftar dinas, daftar alokasi
klien, daftar indikator mutu, daftar survei masalah kesehatan, format
pengkajian, SAK dan SOP, format dokumentasi, leaflet dan raport kepala
ruang, ketua tim dan perawat pelaksana. Dari hasil observasi terjadi
penurunan kualitas dokumen pengembangan MPKP yaitu pada struktur
organisasi dan daftar indikator mutu dimana tidak diperbaiki sesuai dengan
perawat yang ada di ruangan saat ini dan indikator mutu yang tidak
dihitung nilainya setiap bulan, sehingga tidak terlihat berapa kepuasan
klien dan keluarga terhadap pelayanan yang diberikan. Tabel 3.4
menggambarkan hasil pencapaian kemampuan kepala ruangan, ketua tim
dan perawat pelaksana dalam melaksanakan pembudayaan pilar-pilar
MPKP di ruang Utari RSMM.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


59

Tabel 3.4
Hasil Pencapaian Kemampuan Kepala Ruang, Ketua Tim dan
Perawat Pelaksana dalam Melaksanakan Pembudayaan Pilar-Pilar
MPKP Ruang Utari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, April 2013
Pilar Standar Kesepakatan Hasil Total
(lulus >75)

Kepala Manajemen 19 19 19 32
Ruang Approach

Compensatory 2 2 2
Reward

Professional 4 4 4
Relationship

Patient Care Delivery 7 7 7

Ketua Tim Manajemen 8 8 8 18


1 Approach

Compensatory 1 1 1
Reward

Professional 2 2 2
Relationship

Patient Care Delivery 7 7 7

Ketua Tim Manajemen 8 8 8 18


2 Approach

Compensatory 1 1 1
Reward

Professional 2 2 2
Relationship

Patient Care Delivery 7 7 7

Perawat Manajemen 1 1 0 7
Pelaksana Approach

Patient Care Delivery 7 7 7

Adapun kendala yang dirasakan terkait dengan pelaksanaan kegiatan


manajemen MPKP di ruangan Utari adalah belum adanya budaya kerja
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


60

yang positif, dimana suatu kegiatan yang sudah pernah dikerjakan dengan
baik menjadi turun kualitasnya karena tidak membudaya. Kegiatan hanya
dilakukan kalau ada tindakan supervisi . Kendala lain berkaitan dengan
padatnya acara atau kegiatan staf perawat khususnya karu dan katim untuk
mengikuti rapat atau program orientasi pegawai baru. Sementara kendala
yang paling dirasakan oleh perawat dalam asuhan klien adalah kurangnya
penghargaan dari atasan atas apa yang telah dilakukan dan minimnya
tindakan evaluasi oleh supervisor di ruangan, sehingga motivasi yang baik
menjadi menurun dan kualitas asuhan juga menurun.

Pelayanan keperawatan yang diberikan masih belum terstuktur dan belum


terdokumentasikan secara baik di ruangan. Asuhan keperawatan yang
dilakukan masih terfokus pada klien dengan masalah keperawatan utama
seperti halusinasi, harga diri rendah, isolasi social, risiko perilaku
kekerasan serta defisit perawatan diri. Rekomendasi yang dapat disusun
adalah dengan melanjutkan supervisi sehingga mencapai kemampuan
membudaya (lulus > 75) kepada kepala ruang, ketua tim dan perawat
pelaksana dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan risiko
bunuh diri. Kegiatan pilar professional relationship terkait dengan
kolaborasi dokter dalam penanganan masalah risiko bunuh diri di ruang
Utari sudah dilaksanakan walaupun belum optimal. Sebagian besar klien
yang mengalami risiko bunh diri hanya mendapatkan terapi generalis dan
spesialis dengan pendekatan keperawatan.

Selain pendekatan MPKP faktor lain yang menunjang keberhasilan


manajemen kasus rsiko bunuh diri pada klien di ruang Utari adalah
ketersediaan fasilitas pelayanan pendukung. Fasilitas pelayanan yang
tersedia di ruang anak Utari adalah kantor perawatan, kamar perawatan
dengan kapasitas 40 klien, 6 tempat tidur untuk ruang isolasi. Ruang Utari
sudah dilengkapi dengan ruang diskusi tetapi ruangan yang dapat

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


61

digunakan untuk melakukan terapi ataupun pendidikan kesehatan masih


terbatas .

Berdasarkan seting ruangan yang ada di ruang Utari, ruangan ini belum
memenuhi standar ideal ruang perawatan. Analisa tersebut didasarkan
pada tingkatan efektifitas dan efisiensi asuhan keperawatan yang dapat
diberikan baik klien. Bentuk ruangan yang berputar kurang efektif untuk
mencapai asuhan keperawatan secara optimal. Terbatasnya ruangan
menyebabkan terapi yang diberikan kepada klien dan keluarga dilakukan
di selasar sehingga kurang memperhatikan privacy dan kenyamanan
pelaksanaan terapi. Untuk lebih jelasnya, skema ruang Utari dapat dilihat
dari gambar 3.1

Skema 3.1. Denah Ruang Utari

TAMAN

TAMAN
TAMAN

Ruang
Kamar makan
Ruang tidur klien
perawat

TAMAN Dapur+
WC Kamar tidur
klien
Ruang
diskusi

Universitas Indonesia

Ket:
pintu

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


62

BAB 4
PENERAPAN MANAJEMEN SPESIALIS KEPERAWATAN
JIWA PADA DIAGNOSA KEPERAWATAN RISIKO
BUNUH DIRI

Bab ini membahas tentang pelaksanaan manajemen kasus spesialis keperawatan


jiwa pada diagnosa risiko bunuh diri yang dikelola oleh residen. Pelaksanaan
manajemen keperawatan spesialis jiwa pada klien dengan risiko bunuh diri
merupakan kegiatan yang terintegrasi dalam pemberian asuhan keperawatan jiwa
khususnya masalah gangguan jiwa di unit pelayanan psikiatri. Pemberian asuhan
keperawatan pada diagnosa keperawatan risiko bunuh diri dilakukan dengan
pendekatan proses keperawatan, model konsep stress adaptasi Stuart, konsep
psikodinamika keperawatan, dan teori Chronic Sorrow Pelaksanaan asuhan
keperawatan dilakukan pada periode residensi 3 tanggal 18 Februari sampai
dengan 19 April 2013.

Jumlah klien yang dirawat selama periode residensi 3 sebanyak 54 orang. Dari 54
orang klien kelolaan terdapat 11 orang klien (20,4%) diagnosa risiko bunuh diri.
Diagnosa risiko bunuh diri masih jarang di angkat dibandingkan dengan diagnosa
keperawatan lain seperti halusinasi, harga diri rendah atau isolasi sosial. Padahal,
jika dilihat dari jumlah dan presentase kasus risiko bunuh diri, jumlahnya cukup
banyak. Risiko bunuh diri adalah salah satu bentuk kegawatdaruratan psikiatri,
sehingga ketika berada di ruang intermediate sekalipun, perawat harus memiliki
kemampuan merawat klien dengan risiko bunuh diri dengan baik. Dari 11 kasus
risiko bunuh diri selanjutnya diuraikan berdasarkan tingkatan bunuh diri yaitu
isyarat bunuh diri sebanyak 4 orang (36,4%), ancaman bunuh diri sebanyak 2
orang (18,2%) dan percobaan bunuh diri sebanyak 5 orang (45,5%). Berikut ini
dijelaskan tentang manajemen kasus spesialis pada klien dengan risiko bunuh diri.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


63

4.1. Karakteristik Klien


Karakteristik 11 klien dengan risiko bunuh diri di ruang Utari
dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan dan pendidikan
(tabel 4.1).
Tabel 4.1.
Distribusi Karakteristik Klien dengan Risiko bunuh diri di Ruang Utari
RSMM Periode 18 Februari-19 April 2013 (N=11)

No Variabel Tingkat Bunuh Diri N %

Isyarat Ancaman Percobaan

1 Usia

 18-25 tahun 1 0 1 2 18,2


 25-44 tahun
3 2 4 9 81,8

2 Pendidikan

 Rendah (SD) 1 0 1 2 18,2


 Menengah (SMP-
2 2 3 7 63,6
SMA)
 Tinggi (PT) 1 0 1 2 18,2

3 Pekerjaan
 Bekerja 1 0 0 1 9,1
 Tidak bekerja 3 2 5 10 90,9

4 Status pernikahan
 Belum Menikah 3 7 1 7 63,6
 Menikah 1 1 1 3 27,2
 Janda 0 0 1 1 9,1

5 Onset gangguan jiwa


 ≤ 1 tahun 1 0 0 1 9,1
 > 1 – 10 tahun 1 0 2 3 27,3
 > 10- 23 tahun 2 2 3 7 63,6
6 Frekuensi masuk RS
 1 kali 2 0 0 2 18,2
 2-5 kali 0 1 1 5 45,5
 > 5 kali 1 1 2 4 36,4

Klien yang berada di ruang Utari seluruhnya adalah perempuan. Berdasarkan


tingkatan bunuh diri 4 orang (36,4%) berada pada isyarat bunuh diri, 2 orang
(18,2 %) ancaman bunuh diri dan 5 orang (45, 4%) pernah melakukan
percobaan bunuh diri. Berdasarkan usia 2 orang (18,2%) berada pada usia 18-
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


64

25 tahun dan 9 orang (81,8%) berada pada usia antara 25-44 tahun. Pendidikan
sebagian besar klien adalah pendidikan menengah 7 oang (63,6%). pendidikan
rendah dan tinggi sama banyak masing-masing sebesar 2 orang (18,2%).
Pekerjaan rata-rata adalah tidak bekerja sebanyak 10 orang (90,9%) sedangkan
yang bekerja sebanyak 1 orang (9,1%). Status pernikahan sebagian besar
belum menikah 7 orang (63,6%), menikah sebanyak 3 orang (27,2%), janda
sebanyak 1 orang (9,1%). Berdasarkan onset atau lama menderita gangguan
jiwa didapat sebagian besar menderita gangguan jiwa lebih dari 10 tahun
sebanyak 7 orang (72,7%), 1 orang sudah menderita selama1 tahun (9,1%),dan
2 orang (18,2%) lebih dari 1-10 tahun. Frekuensi masuk rumah sakit diperoleh
rata-rata yang terbanyak adalah sudah pernah masuk lebih dari 5 kali yaitu 4
orang (36,4%), kemudian 2-5 kali sebanyak 5 orang (45,5%), dan 1 kali
sebanyak 2 orang (18,2%).

4.2 Hasil Pengkajian Kondisi Klinis


Pengkajian yang dilakukan terhadap klien dengan diagnosa keperawatan risiko
bunuh diri menggunakan pendekatan konsep stres adaptasi oleh Stuart (2011)
yang dikembangkan dalam bentuk scaning pengkajian. Dari 11 klien yang
mengalami risiko bunuh diri didapat hasil pengkajian sebagai berikut:

4.2.1. Faktor Predisposisi


Menurut Stuart (2011) faktor predisposisi adalah faktor resiko yang
menjadi sumber terjadinya stres yang mempengaruhi tipe dan sumber dari
individu untuk menghadapi stres baik yang biologis, psikososial dan sosial
kultural. Pada diagnosa risiko bunuh diri faktor predisposisi diidentifikasi
berdasarkan tiga komponen yaitu biologis, psikologis dan sosialkultural
terhadap 11 klien yang sudah dikelola. Faktor predisposisi terjadinya
masalah risiko bunuh diri dapat dilihat pada tabel 4.2

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


65

Tabel 4.2.
Distribusi Faktor Predisposisi Risiko bunuh diri pada klien di Ruang
Utari RSMM Periode 18 Februari-19April 2013 (N=11)
No Faktor Predisposisi Tingkat Bunuh Diri Prosentase
(%)
Isyarat Ancaman Percobaan n

1 Biologis

 Penyakit kronis 1 0 1 2 18,2


 Genetik
 Pemerkosaan/pelecehan 1 1 1 3 27,3
seksual
1 1 2 4 36,4

2 Psikologis

 Kepribadian tertutup 2 2 5 9 81,8


 Pengalaman kehilangan
 Pengalaman kekerasan fisik 3 2 3 8 72,7
 Pengalaman kekerasan
0 0 3 3 27,3
seksual/pemerkosaan-
pelecehan 1 1 2 4 36,4

3 Sosial Budaya

 Pendidikan rendah 2 0 3 5 45,4


 Tidak bekerja/masalah
dengan pekerjaan 3 2 5 10 90,9
 Konflik keluarga
2 0 2 4 63,4
 Jarang terlibat kegiatan
sosial 4 2 5 11 100
 Masalah pernikahan
2 2 4 8 72,7

Berikut ini penjelasan tentang faktor predisposisi terjadinya masalah risiko


bunuh diri pada 11 klien yang dirawat:
4.2.1.2 Faktor biologis; hasil pengkajian menunjukkan bahwa faktor biologis
yang banyak teridentifikasi pada masalah risiko bunuh diri adalah
riwayat kekerasan seksual.pelecehan yangdialami oleh klien sebanyak
4 orang (36,4%). Selanjutnya adalah faktor genetik sebanayak 3 orang
(27,3%) dan penyakit kronis yang dialami oleh klien sebanyak 2 orang
(18,2%)

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


66

4.2.1.3 Faktor psikologis; pada sebagian besar kasus ditemukan bahwa klien
memiliki tipe kepribadian yang tertutup sebanyak 9 orang (81,8%),
sehingga tidak memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam
hidupnya. Selain itu ditemukan riwayat kehilangan orang yang berarti
baik karena kematian maupun perceraian sebanyak 8 klien (72,7%).
Adanya pengalaman kekerasan fisik baik oleh anggota keluarga
maupun orang lain ditemukan pada 3 klien (27,3%). Sedangkan
adanya pengalaman kekerasan seksual ditemukan pada 4 kasus
(36,4%).

4.2.1.4 Faktor sosial budaya: Pada sebagian besar kasus ditemukan bahwa
klien memiliki latar belakang tidak bekerja/masalah pekerjaan
sebanyak 10 orang (90,9%) dan Kurangnya keterlibatan klien dengan
masyarakat dalam kegiatan sosial yang ada dalam masyarakat juga
menempati jumlah kasus yang sama yaitu sebanyak 10 (90,9%).
Pendidikan rendah sebanyak 5 orang (45,4). Konflik dengan keluarga
sebanyak 4 orang (63,4%). Sedangkan faktor kelima yang menjadi
faktor predisposisi masalah risiko bunuh diri pada dimensi sosial
budaya adalah masalah pernikahan sebanyak 8 kasus (72,7%).

4.3. Faktor Presipitasi


Faktor presipitasi adalah stimulus internal maupun eksternal yang mengancam
individu. Faktor presipitasi ini dapat bersifat biologis, psikologis maupun sosial
kultural. Selaian sifat stressor, aspek faktor presipitasi yang juga dikaji adalah
asal stressor, waktu dan jumlah stressor. Tabel 4.3 menyajikan distribusi faktor
presipitasi terjadinya masalah risiko bunuh diri

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


67

Tabel 4.3.
Distribusi Faktor Presipitasi Risiko bunuh diri di Ruang Utari RSMM
(N=11) 18 Februari-19 April 2013

No Faktor Presipitasi Tingkat bunuh diri Prosentase


(%)
isyarat ancaman percobaan n

1 Sifat

 Biologis
1. putus obat
3 2 4 9 81,8
 Psikologis
1. Keinginan tidak terpenuh 1 1 1 3 27,2
(kesal)
1 0 1 2 18,2
2. Kegagalan dalam
pekerjaan (sedih/malu) 2 1 3 6 54,5
3. Putus cinta/Kegagalan
dalam
pernikahan(sedih/malu) 2 1 0 3 27,2
4. Di ejek( sedih/malu)
 Sosial Budaya 1 0 2 3 27,2
1. Masalah ekonomi 1 0 1 2 18,2
2. Masalah pekerjaan
3. Konflik keluarga 2 1 5 8 72,7

2 Asal stressor

 Internal 4 2 5 11 100

 Eksternal 3 1 4 8 72,7

3 Waktu

 < 6 bulan 2 1 2 5 45,5


 > 6 bulan 2 1 3 6 54,5

4 Jumlah stressor

 >2 4 2 5 11 100

Berikut ini dijelaskan faktor presipitasi terjadinya masalah risiko bunuh


diri di ruang Utari RSMM
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


68

4.3.1. Sifat stresor: Berdasarkan pengelolaan kasus yang telah dilakukan


terhadap 11 klien ditemukan bahwa faktor presipitasi biologis berupa
putus obat sebanyak 9 kasus ( 81,8%). Pada stresor psikologis,
perasaan kesal karena keinginan tidak terpenuhi sebanyak 3 kasus
(27,2%) sedih/malu karena masalah pekerjaan sebanyak 2 orang
(18,2%) sedangkan stresor psikologis lainnya adalah sedih/malu
karena masalah pernikahan yang ditemukan pada 6 kasus (54,5%),
perasaan sedih dan malu karena di ejek sebanyak 3 orang (27,2%).
Pada aspek sosial budaya ditemukan masalah ekonomi yang rendah,
masalah pekerjaan dan konflik keluarga. Masalah pekerjaan
meliputi seperti tidak bekerja 3 kasus (27,2%). Masalah ekonomi
dialami oleh 2 orang (18,2%).Selain itu hubungan yang tidak
harmonis dalam keluarga juga merupakan stressor sosiokultural yang
dialami klien. Hubungan yang tidak harmonis meliputi konflik
dengan anggota keluarga dan perceraian sebanyak8 orang (72,73%).

4.3.2. Asal stresor: sumber permasalahan yang ditemukan pada kasus


adalah berasal dari individu itu sendiri yaitu ketidakmampuan untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh diri sendiri baik yang
berasal dari kemampuan fisik maupun karena masalah kemampuan
mengontrol perasaan ingin bunuh diri sebanyak 11 kasus (100%).
Asal stresor dari luar individu yaitu dari faktor keluarga, kelompok
masyarakat, dan lingkungan sekitar sebanyak 8 kasus (72,7%).

4.3.3. Waktu dan lamanya stresor: rata-rata klien telah terpapar dengan
stresor selama lebih dari 6 bulan sebanyak 6 orang (54,5%).
Selebihnya mengalami stressor kurang dari 6 bulan sebanyak 5 orang
(45,5%).

4.3.4. Jumlah stresornya: seluruh klien 11 orang (100%) mengalami lebih


dari satu stresor. Stresor terbanyak yang dialami adalah berasal dari
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


69

stresor sosial budaya. Selain itu juga ditemukan beberapa stresor


psikologis dan sebagian kecil stresor biologis.

4.4. Penilaian terhadap stresor


Penilaian terhadap stresor meliputi penentuan arti dan pemahaman
terhadap pengaruh situasi yang penuh dengan stres bagi individu.
Penilaian terhadap stresor ini meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis,
perilaku dan respon sosial. Berikut ini penjelasan rinci penilaian terhadap
stresor pada klien dengan masalah risiko bunuh diri di ruang Utari RSMM:
Respon kognitif maladaptif dialami oleh 11 klien, berupa supresi pikiran
sebanyak 11 orang (100%) dan ketidakmampuan memecahkan masalah 11
orang (100%). Secara afektif respon klien yang terbesar adalah perasaan
sedih sebanyak 11 orang (100%), marah sebanyak 9 orang (81,8%), dan
mudah tersinggung 8 klien (72,7%). Respon fisiologis yang teramati pada
klien akibat stressor yang ada adalah merasa lemah 5 orang (45,5%),
kurang nafsu makan sebanyak 6 orang (54,5%), sulit tidur 9 klien
(81,8%). Respon perilaku murung di alami oleh klien sebanyak 11 orang
(100%), menangis dan marah-marah masing masing sebanyak 7orang
(63,6%). Secara sosial klien bermusuhan sebanyak 10 orang (90,9%), klien
menarik diri sebanyak 7 orang (63,6%), dan menolak interaksi 8 klien
(72,7%).

Tabel 4.4 menjelaskan secara rinci distribusi penilaian terhadap stressor


pada 11 klien yang mengalami risiko bunuh diri di ruang Utari RS
Marzuki Mahdi.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


70

Tabel 4.4.
Distribusi Penilaian terhadap Stressor Klien Risiko bunuh diri
di Ruang Utari RSMM (N=11) Periode 18 Februari – 19 April 2013

No Penilaian terhadap Stressor Tingkat bunuh diri Prosentase


(%)
isyarat ancaman percobaan n

1 Respon Kognitif:
 Tidak mampu memecahkan
4 2 5 11 100
masalah
 Supresi pikiran 4 2 5 11 100

2 Respon Afektif:
 Marah 3 2 4 9 81,8
 Mudah tersinggung
3 1 4 8 72,7
 Sedih
4 2 5 11 100

3 Respon Fisiologis:
 Lemah 2 1 2 5 45,5
 Kurang nafsu makan
2 1 3 6 54,5
 sulit tidur
3 2 4 9 81,8

4 Respon Perilaku:
 Murung 4 2 5 11 100
 Menangis 2 2 3 7 63,6
 Marah-marah
3 1 3 7 63,6

5 Respon Sosial:
 Bermusuhan 3 2 5 10 90,9
 Menarik diri 2 1 4 7 63,6
 Menolak interaksi
3 2 3 8 72,7

4.5. Sumber Koping


Sumber koping yang dimiliki klien dikaji dari kemampuan yang dimiliki
klien dalam mengatasi masalah, adanya dukungan sosial, ketersediaan
materi, dan keyakinan positif (Stuart, 2011). Tabel 4.5 menjelaskan secara
rinci tentang distribusi sumber koping pada 11klien yang dirawat.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


71

Tabel 4.5
Distribusi Sumber Koping Klien Risiko bunuh diri di Ruang Utari
RSMM (N=11) Periode 18 Februari – 19 April 2013
No Penilaian terhadap Stressor Tingkat bunuh diri Prosentase
(%)
isyarat ancaman percobaan n

1 Kemampuan personal:
 Belum mengenal masalah
yang bisa membahayakan 2 1 0 3 27,3
diri sendiri
 Belum mengenal cara
mengatasi masalah tanpa
1 1 2 4 36,4
membahayakan diri sendiri
 Telah mengenal cara
mengatasi masalah tanpa
membahayakan diri sendiri 1 0 3 4 36,4

2 Dukungan keluarga
 Ada
o mampu merawat 1 1 2 4 36,4
o tidak mampu
merawat 2 1 3 6 54,5
 Tidak ada
1 0 0 1 9,1

Dukungan Kelompok
Tidak ada
0 0 0 0 0

Dukungan masyarakat
 Ada
 Tidak ada 1 0 0 0 9,1

0 0 0 0 90,9

3 Ketersediaan materi dan


pelayanan kesehatan

 Pembiayaan RS
Jamkesmas/jamkesda 4 2 5 11 100

 Akses dari tempat tinggal


menuju pelayanan
kesehatan
o Jauh
1 1 3 5 45,5
o Dekat
3 1 2 6 54,5

4. Keyakinan yang positif


 Merasa mampu mengatasi
masalah 1 1 2 4 36,4
 Merasa tidak mampu
mengatasi masalah 3 1 3 7 72,7

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


72

Berikut ini sumber koping pada klien dengan risiko bunuh diri di ruang
Utari:
4.5.1. Kemampuan personal: Berdasarkan hasil pengkajian diketahui bahwa
3 orang (27,3%) belum mengenal masalah yang bisa membahayakan
diri sendiri. Sebanyak 4 orang (36,4%) belum mengetahui cara
menyelesaikan masalah tanpa membahayakan dirinya sementara 4
orang lainnya (36,4 %) sudah mengenal cara mengatasi masalah.
Sebagian klien sudah sering dirawat sehingga sudah pernah di ajarkan
cara menyelesaikan masalah tanpa membahayakan dirinya.

4.5.2. Dukungan : Dukungan sosial dapat berasal dari keluarga, kelompok,


dan masyarakat. Sebagian besar klien masih mempunyai keluarga
sebanyak 10 orang (90,9%). Satu orang klien (9,1%) merupakan anak
tunggal yang kedua orangtuanya sudah meninggal dunia sedangkan
keluarga besar menolak untuk merawat. Pada klien yang masih
memiliki keluarga,sebanyak 4 (36,4%) klien yang keluarga mampu
merawat. Sedangkan sebanyak 6 klien (54,5%) keluarga tidak amapu
merawat. besar klien masih mempunyai keluarga namum hanya 4
klien (36,3%) Sebagian besar klien 10 orang (90,9%) belum
mendapatkan dukungan kelompok dari kelompok dan masyarakat
sekitar.

4.5.3. Ketersediaaan materi dan pelayanan kesehatan , Semua pembiayaan


klien menggunakan Jamkesmas/Jamkesda. Akses mendapatkan
pelayanan kesehatan dapat dilihat dari jarak antara tempat tinggal dan
sarana pelayanan kesehatan jiwa. Dari hasil pengkajian didapatkan
data bahwa 5 orang (45,5%) klien tinggal dekat dengan pelayanan
kesehatan jiwa, dan 6 orang (54,5%) yang tinggal jauh dari pelayanan
kesehatan jiwa. Pelayanan kesehatan jiwa yang dimaksud adalah
rumah sakit, baik rumah sakit jiwa ataupun rumah sakit umum yang
menyediakan pelayanan kesehatan jiwa.
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


73

4.5.4. Keyakinan positif: Pada keyakinan positif terkait kemampuan


mengatasi masalah bunuh diri dimiliki oleh 4 orang klien (36,4% ).
Keyakinan positif yang dimiliki klien merupakan kesempatan positif
bagi perawat dalam membantu klien mengatasi masalahnya sebagai
upaya pencegahan bunuh diri. Sedangkan sebanyak 7 orang (72,7%)
merasa tidak mampu mengatasi.

4.6. Mekanisme Koping

Rata-rata klien menggunakan dua mekanisme koping. Pada sebagian besar kasus
yang ditemukan, mekanisme koping yang dipergunakan adalah projeksi 6 orang
(54,5%), 5 orang (72,7 %) menggunakan koping supresi dan 4 orang
menggunakan koping reaksi formasi (36,4%).
4.7. Diagnosa Keperawatan dan Diagnosa Medis
4.7.1. Diagnosa keperawatan

Klien yang dikelola residen memiliki diagnosa lain selain diagnosa


risiko bunuh diri. Diagnosa yang menyertai diagnosa keperawatan dapat
dilihat pada tabel 4.6
Tabel 4.6
Distribusi Diagnosa Keperawatan Yang Menyertai Diagnosa
Keperawatan Risiko bunuh diri Pada Klien Yang Dirawat Di
Ruang Utari RSMM Bogor Periode 19 Februari - 18 April 2013
Diagnosa Diagnosa Penyerta Jumlah Prosentase
Risiko bunuh Harga diri rendah 10 90,9
diri Isolasi sosial 8 72,7
Halusinasi 7 63,6
Risiko perilaku 4 36,4
kekerasan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


74

Berdasarkan hasil pengkajian diketahui bahwa setiap klien memiliki lebih


dari dua diagnosa. Diagnosa lain yang menyertai diagnosa risiko bunuh
diri terbanyak adalah diagnosa harga diri rendah yaitu 10 orang (90,9%),
dilanjutkan dengan isolasi sosial sebanyak 8 orang (72,7%). Klien dengan
diagnosa halusinasi sebanyak 7 orang (63,6%) sedangkan klien dengan
risiko perilaku kekerasan sebanyak 4 orang (36,4%).

4.7.2. Diagnosa medis


Klien rata-rata diagnosa dengan skizofrenia paranoid 10 orang (90,9%)
sedangkan klien dengan diagnosa skizofrenia sebanyak 2 orang (9,1%).

4.8. Rencana Tindakan Keperawatan


Rencana manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa dilakukan dengan
menyusun paket terapi yang diberikan pada klien dan keluarganya. Paket terapi
dibuat berdasarkan kondisi klinis klien dengan strategi intervensi pada klien risiko
bunuh diri menurut Stuart (2011). Kondisi akhir yang diharapkan adalah klien
mampu memberi tanggapan rasional positif terhadap pikiran otomatis negatif serta
mampu meningkatkancara untuk menyelesaikan masalah risiko bunuh diri yang
dirasakan. Tabel 4.7 akan menggambarkan paket terapi pada klien risiko bunuh
diri .
Tabel 4.7
Paket terapi yang diberikan pada klien Risiko bunuh diri
Strategi pencegahan Strategi Antisipasi Strategi Pembatasan
Terapi generalis Terapi Spesialis Intervensi krisis:
Klien Klien: terapi kognitif Pengawasan ketat
Kelompok klien: TAK Keluarga: Lingkungan yang aman
Keluarga psikoedukasi

Kondisi klinis isyarat dan ancaman bunuh diri Percobaan bunuh diri

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


75

4.9. Penatalaksanaan keperawatan dan Medis Klien dengan Risiko bunuh


diri
4.9.1. Penatalaksanaan keperawatan

Berikut ini akan digambarkan proses pelaksanaan menajemen kasus


spesialis pada klien dan keluarga dengan masalah keperawatan risiko
bunuh diri. Tabel 4.8 akan menggambarkan tindakan tindakan
keperawatan pada klien dan keluarga.
Tabel 4.8
Distribusi Pelaksanaan Terapi Keperawatan Pada Klien Risiko
bunuh diri di Ruang Utari RSMM (N=11)
No Tindakan Keperawatan N %
1 Tindakan Keperawatan Generalis
a. Klien 11 100
b. Kelompok klien : TAK stimulasi persepsi 11 100

2 Tindakan Keperawatan Spesialis


a. Klien : terapi kognitif 11 100
b. Keluarga : Psikoedukasi 3 27,3

Berikut ini akan dijabarkan dengan lebih rinci pemberian tindakan


keperawatan pada 11 klien yang dirawat berdasarkan jenis terapi
keperawatan yang telah diberikan.
4.9.1.1. Tindakan Keperawatan Generalis
Tindakan keperawatan generalis diberikan pada klien dan
kelompok klien. Tindakan keperawatan generalis pada kelompok
klien diberikan dalam bentuk terapi aktivitas kelompok. Tindakan
keperawatan generalis dilakukan pada seluruh (N=11) klien yang
dirawat. Tindakan keperawatan generalis sebagian besar telah
dilakukan oleh perawat ruangan Utari, mahasiswa D3 dan residen
3 yang sedang praktik di ruang Utari. Kondisi klien yang dirawat
oleh Residen selama praktek di ruang Utari tidak ada yang berada

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


76

pada tingkatan percobaan bunuh diri. Kondisi klien yang dirawat


ada berada pada tingkatan perilaku bunuh diri berupa ide/isyarat
bunuh diri dan ancaman bunuh diri. Gambaran pelaksanaan
tindakan keperawatan generalis dapat dilihat pada tabel 4.9

Tabel 4.9
Pelaksanaan Terapi Generalis pada klien Risiko bunuh diri di Ruang Utari
Periode 19 Februari – 18 April 2013 (N=11)
Interaksi Tindakan Keperawatan generalis n

1 Mendiskusikan penyebab keinginan bunuh diri, tanda dan gejala, rencana 11


bunuh diri, dan akibat perilaku bunuh diri
2 Mendiskusikan cara mengatasi keinginan bunuh diri 11
3 Meningkatkan harga diri dengan melihat aspek positif klien 11
4 Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri dengan menguatkan 11
koping konstruktif
5 Mendiskusikan rencana masa depan yang realistis bersama klien 11
6 Menjauhkan semua benda yang berbahaya 11
7 Memeriksa apakah klien benar-benar meminum obat yang diberikan 11
8 Melindungi klien sampai tidak ada keinginan bunuh diri 11

Terapi aktivitas kelompok yang diberikan pada kelompok klien adalah


terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi. Terapi ini diberikan pada 11
klien yang dirawat di ruang Utari. Klien dilatih mempersepsikan stimulus
yg disediakan dari artikel dan atau yang dialami (stimulus pengalaman
masa lalu yang tidak menyenangkan) selanjutnya kemampuan persepsi
dievaluasi dan ditingkatkan pada setiap sesi. Gambaran pelaksanaan terapi
aktivitas kelompok dapat dilihat pada tabel 4.10.

Tabel 4.10
Pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok pada klien Risiko bunuh diri Di
Ruang Utari Periode 19 Februari – 18 April 2013 (N=11)
Interaksi Tindakan Keperawatan generalis n

1 Mengenal perilaku bunuh diri, tanda dan gejala, rencana bunuh diri, dan 11
akibat perilaku bunuh diri
2 Mendiskusikan cara mengatasi keinginan bunuh diri 11
3 Meningkatkan harga diri dengan melihat aspek positif 11
4 Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri dengan 10

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


77

menguatkan koping konstruktif


5 Mendiskusikan rencana masa depan yang realistis bersama klien 6
6 Mencegah perilaku risiko bunuh diri dengan patuh minum obat 6

Tujuh orang klien mengikuti TAK sampai dengan sesi akhir. Empat orang
hanya mengikuti sampai sesi 3 karena pulang. Satu orang mengikuti
sampai sesi 4 karena pulang juga. Terapi aktivitas kelompok dilakukan
dengan kerja sama antara perawat ruangan dan residen. Pendokumentasian
pelaksanaan TAK dan pencapaian kemampuan klien setelah TAK
dokumentasikan di buku khusus dan catatan perkembangan klien. Terapi
aktivitas kelompok dilakukan sebanyak empat kali, satu sesi dilakukan
sebanyak satu kali pertemuan selama 30 – 45 menit. Seluruh klien
mengikuti kegiatan dengan antusias.

4.9.1.2. Tindakan Keperawatan Spesialis


Tindakan keperawatan spesialis yang diberikan berbentuk terapi spesialis
untuk klien, kelompok dan keluarga. Tindakan keperawatan spesialis
bertujuan untuk memberikan kemampuan tingkat mahir pada klien dalam
mengatasi masalahnya. Terapi spesialis untuk klien adalah terapi kognitif,
Terapi spesialis untuk keluarga adalah terapi psikoedukasi keluarga.

4.9.1.2.1. Terapi kognitif

Terapi kognitif diberikan pada 11 klien, Enam klien mendapatkan


terapi kognitif sampai selesai. Lima klien hanya mengikuti sampai
sesi 3 karena klien pulang. Pikiran negatif klien yang menyebabkan
munculnya risiko bunuh diri adalah pikiran tidak berguna karena
tidak dihargai oleh keluarga, tidak berguna karena tidak bekerja,
merasa diri kotor, gagal menampilkan peran sebagai istri, ibu, atau
anak. merasa tidak memiliki kelebihan apapun, serta merasa malu
dengan gangguan jiwanya. Pikiran rasional positif yang muncul
klien Sebagian besar klien mengalami distorsi kognitif
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


78

overgeneralisasi. Ketika klien berhasil melawan pikiran negatif


tersebut, secara otomatis akan terganti dengan pikiran positif dari
apa yang dipikirkan sebelumnya.. Pikiran rasional positif yang
muncul antara lain klien merasa berguna, merasa memiliki
kelebihan, merasa memiliki keluarga, Gambaran pelaksanaan terapi
kognitif dapat dilihat pada tabel 4.11
Tabel 4.11
Pelaksanaan Terapi kognitif Pada Klien Risiko bunuh diri
di Ruang Utari RSMM Periode 19 Februari – 18 April 2013 (N=11)
Sesi Tindakan Keperawatan spesialis : CT n
1 Mengidentifikasi pikiran otomatis negatif dan alasan munculnya pikiran 11
negatif

2 Melatih pikiran positif/menggunakan tanggapan rasional terhadap 11


pikiran otomatis negative
Evaluasi sesi 1 dan 2 11
Mengidentifikasi pikiran otomatis negatif yang lain dan melatih
menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif
3 Mendiskusikan manfaat latihan berpikir positif/manfaat tanggapan 11
rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif
4 Melatih mendapatkan sistem pendukung (support system) 6

Pada terapi kognitif, klien dilatih melawan pikiran otomatis negatif yang
muncul yang meliputi merasa tidak berguna, merasa menjadi anak atau
istri yang gagal, merasa tidak memiliki kelebihan apapun, serta merasa
malu dengan gangguan jiwanya. Ketika klien berhasil melawan pikiran
negatif tersebut, secara otomatis akan terganti dengan pikiran positif dari
apa yang dipikirkan sebelumnya.

4.9.1.2.2. Psikoedukasi Keluarga

Terapi psikoedukasi keluarga dilakukan pada 3 keluarga yang anggota


keluarganya dirawat di ruang Utari karena selama Residen praktek di
ruang Utari hanya 3 keluarga yang bisa residen temui. Selebihnya keluarga
menjenguk pada saat residen tidak ada di ruangan atau keluarga memang

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


79

tidak berkunjung. Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga dapat dilihat


pada tabel 4.12
Tabel 4.12
Pelaksanaan Terapi Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Risiko bunuh diri
Di Ruang Utari RSMM Periode 19 Februari -18 April 2012 (N=3)
Sesi Tindakan Keperawatan Spesialis: N
Psikoedukasi Keluarga
1 Mendiskusikan pengalaman keluarga merawat anggota keluarga 3
dengan risiko bunuh diri
2 Mengajarkan cara merawat klien dengan risiko bunuh diri 3
3 Mendiskusikan stres yang dirasakan keluarga akibat merawat klien 3
Mengajarkan cara mengatasi stress.
4 Mendiskusikan beban yang dirasakan keluarga akibat merawat klien 2
Mengajarkan cara mengatasi beban
5 Mendiskusikan cara mencari dan menggunakan fasilitas kesehatan 2
jiwa di masyarakat dan di rumah sakit

Dari 3 keluarga yang mendapatkan psikoedukasi keluarga yang bisa


mengikuti sampai sesi 5 hanya 1 keluarga saja, sementara 2 keluarga yang
lain hanya sampai sesi 3. Pemberian terapi yang tidak tuntas disebabkan
karena keluarga jarang menjenguk klien di rumah sakit. Pelaksanaan
psikoedukasi keluarga dilakukan sebanyak 1 sampai 2 kali pertemuan di
rumah sakit. Pada pelaksanaannya dalam satu kali pertemuan bisa
dilakukan sampai dengan 3 sesi terapi. Hal ini mengantisipasi jika
keluarga belum datang lagi, minimal keluarga sudah mendapatkan terapi
psikoedukasi sampai dengan manajemen stress.

Kegiatan yang dilakukan pada sesi satu adalah mendiskusikan pengalaman


keluarga merawat klien dirumah termasuk beban subjektif yang objektif
yang dirasakan. Dua keluarga mampu menyebutkan cara merawat klien
dengan risiko bunuh diri di rumah. Satu keluarga tidak mampu
menyebutkan cara merawat klien dengan Risiko bunuh diri. Beban
subjektif yang dirasakan oleh keluarga terbesar adalah perasaan takut,
malu, sedih, dan putus asa dengan kondisi klien. Beban subjektif terberat

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


80

dirasakan pada saat klien dirumah, karena takut klien akan mengancam
bunuh diri atau melakukan percobaan bunuh diri lagi. Beban objektif yang
dirasakan keluarga adalah beban finansial, beban waktu, dan beban fisik
yang dirasakan oleh keluarga. Keluarga merasa bahwa kondisi klien
membutuhkan pemantauan atau pengawasan yang ketat, sementara mereka
harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Rata-rata
klien pernah mendapatkan penjelasan tentang cara merawat klien saat
perawatan klien sebelumnya, namun keluarga mengatakan merasa
kesulitan ketika melakukan di rumah.

Kegiatan sesi tiga adalah membantu keluarga mengatasi beban subjektif.


Residen mengajarkan beberapa tehnik relaksasi, dan terapi kognitif. Terapi
relaksasi yang diberikan adalah relaksasi progresif, latihan tarik napas
dalam. Terapi relaksasi diberikan pada kelurga yang mengalami beban
subjektif berupa perasaan cemas dan khawatir. Latihan berfikir positif
diberikan pada keluarga yang mengalami beban subjektif berupa perasaan
malu dan putus asa akibat merawat klien. Kegiatan yang dilakukan di sesi
4 adalah mendiskusikan cara mengurangi beban dalam merawat klien.
Langkah awal pada sesi ini adalah mengidentifikasi sumber yang ada
dalam keluarga inti yang masih dapat diberdayakan untuk membantu
caregiver utama merawat klien di rumah. Sumber daya ini dapat
dipergunakan untuk membantu caregiver dalam mengurangi beban tenaga,
waktu dan finansial. Langkah berikutnya adalah mendiskusikan bagaimana
upaya yang harus dilakukan agar sumber daya tersebut mau membantu
meringankan beban caregiver.

Kegiatan yang dilakukan pada sesi lima adalah mendiskusikan sumber


daya yang ada di komunitas yang dapat digunakan keluarga dalam
merawat klien. Materi yang diberikan bervariasi diantaranya adalah
mengidentifikasi kegiatan yang ada di lingkungan masyarakat yang dapat
diikuti klien sebagai tempat rehabilitasi, mengidentifikasi pelayanan
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


81

kesehatan jiwa yang terdekat dengan tempat tinggal seperti adanya


pukesmas yang memberikan pelayanan kesehatan jiwa, dan mendikusikan
penggunaan fasilitas pemerintah terkait jaminan kesehatan dalam bentuk
jamkesmas dan asuransi kesehatan sosial bagi pegawai negeri dan
keluarganya.

4.9.2. Penatalaksanaan medis

Distribusi pemberian terapi medis dapat dilihat pada tabel 4.13


Berdasarkan tabel 4.13 terlihat bahwa terapi medis yang diberikan adalah
antipsikotik tipikal, antipsikotik atipikal dan kombinasi antipsikotik tipikal
dan atipikal. Selain obat anti psikotik klien mendapatkan terapi
antikolinergik.
Tabel 4.13
Distribusi pemberian terapi medis pada klien risiko bunuh diri yang dirawat di
ruang Utari 18 Februari – 19 April 2013 (N=11)

Paket Terapi Dosis Diagnosa Medis N


Skizofrenia Paranoid Skizofrenia
Antipsikotik 3x5 mg 4 1 4
tipikal + 2x2 mg
antikolinergik 2x2 mg
1-2x100 mg
Antipsikotik 3x5 mg 3 0 3
atipikal + 2x2 mg
antikolonergik 1-2x100 mg
Antipsikotik 3x5 mg 2 1 4
tipikal + 2x2 mg
atipikal + 2x2 mg
antikolinergik 1x100 mg
Jumlah 9 2 11

4.6 Evaluasi Hasil


Evaluasi pemberian tindakan keperawatan generalis dan spesialis di nilai dari
kemampuan klien dalam mengatasi masalah risiko bunuh diri dan pergeseran
kondisi klinis klien dari perilaku bunuh diri berupa ancaman atau ide bunuh
diri menjadi tidak ada pikiran bunuh diri. Tabel 4.14. menjelaskan hasil terapi
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


82

keperawatan dalam penanganan masalah risiko bunuh diri. Klien di bagi


menjadi dua kelompok berdasarkan paket terapi yang dilakukan.

Tabel 4.14
Distribusi Hasil Evaluasi Terapi Keperawatan pada Klien Risiko bunuh diri Periode 18
Februari – 19 April 2013(N = 11)
N Terapi Jumlah %
Kemampuan
o Keperawatan
Kemampuan Klien yang dicapai
yang
klien (%)
diberikan
1. Terapi 8 72,7 - Mampu mendiskusikan cara mengatasi 5 dari 8
generalis keinginan untuk bunuh diri kemampuan
+ - Mampu mengungkapkan perasaan (62,5%)
Terapi - Mampu menyadari bahwa dirinya
kognitif penting
- Mampu mendiskusikan keadaan yang
patut disyukuri
- Mampu melawan pikiran otomatis
negatif terhadap diri
- Mampu merencanakan aktivitas yang
membuat hidupnya berarti
- Mempunyai tujuan hidup
- Mampu merawat diri di rumah
2 Terapi 3 27,3 - Mampu mendiskusikan cara mengatasi 6 dari 8
generalis keinginan untuk bunuh diri kemampuan
+ - Mampu mengungkapkan perasaan (75%)
Terapi - Mampu menyadari bahwa dirinya
Kognitif penting
+ - Mampu mendiskusikan keadaan yang
Psikoedukasi patut disyukuri
keluarga - Mampu melawan pikiran otomatis
negatif terhadap diri
- Mampu merencanakan aktivitas yang
membuat hidupnya berarti
- Mempunyai tujuan hidup
- Mampu mengoptimalkan perawatan
klien dirumah dan rumah sakit melalui
keterlibatan peran serta keluarga
Total 11 100

Kelompok satu, klien mendapatkan tindakan keperawatan generalis dan


tindakan keperawatan spesialis berupa terapi kognitif (n=8). Enam dari
delapan klien sudah memiliki kemampuan menyadari bahwa perilaku
destruktif terhadap diri timbul akibat adanya pikiran negatif, klien pun sudah

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


83

mampu mengembangkan pikiran positif untuk melawan pikiran negatifnya.


Lima dari delapan orang klien masih memerlukan bantuan pendampingan
perawat, karena klien sudah pulang sebelum intervensi selesai dilakukan.
Klien yang mendapat paket terapi keperawatan generalis dan terapi kognitif
memiliki kemampuan 71,4% dari seluruh kemampuan yang diharapkan
dimiliki oleh klien dengan risiko bunuh diri.

Kelompok dua, klien mendapatkan tindakan keperawatan generalis dan


tindakan keperawatan spesialis berupa terapi kognitif dan psikoedukasi
keluarga (n=3). Tiga orang klien ini sudah menyadari bahwa perilaku
destruktif terhadap diri timbul akibat adanya pikiran negatif, klien pun sudah
mampu mengembangkan pikiran positif untuk mengcounter pikiran
negatifnya. Keluarga mampu merawat klien dengan risiko bunuh diri dengan
bantuan perawat. Keluarga mampu mengenal masalah, mampu menyebutkan
cara merawat klien, mampu mengenal stres dan beban yang dirasakan akibat
merawat klien, mampu mengatasinya stres dan beban, serta mampu
menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Pada kelompok ini
kemampuan yang dimiliki adalah 85,7% dari seluruh kemampuan yang harus
dimiliki.

Perubahan penilaian terhadap stressor di ukur berdasarkan hasil pengkajian


awal dan di ukur lagi setelah klien mendapatkan terapi . tabel 4.15
menyajikan rincian penilaian terhadap stressor klien risiko bunuh diri setelah
mendapat intervensi keperawatan.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


84

Tabel 4.15
Penilaian terhadap Stressor Klien Risiko bunuh diri
Setelah Intervensi di Ruang Utari RSMM (N=11)
Periode 18 Februari – 19 April 2013
No Penilaian terhadap Stressor Tingkat bunuh diri Prosentase
(%)
isyarat ancaman percobaan n

1 Respon Kognitif:
 Tidak mampu memecahkan
2 1 2 5 45,5
masalah
 Supresi pikiran 3 0 2 5 45,5

2 Respon Afektif:
 Marah 0 0 3 3 27,3
 Mudah tersinggung 2 1 2 5 45,5
 Sedih
1 1 4 6 54,5

3 Respon Fisiologis:
 Lemah 1 1 2 4 36,4
 Kurang nafsu makan 0 0 2 2 18,2
 sulit tidur
2 1 3 6 54,4

4 Respon Perilaku:
 Murung 1 1 4 6 54,5
 Menangis
1 1 3 5 45,5
 Marah-marah
0 0 3 3 27,3

5 Respon Sosial:
 Bermusuhan 0 0 3 3 27,3
 Menarik diri
0 1 2 3 27,3
 Menolak interaksi
0 0 0 0 0

Perubahan Penilaian terhadap Stressor Klien Risiko bunuh diri dari sebelum
dan sesudah intervesi terapi kogniitif perlu dijelaskan lebih lanjut. Hal ini
dipaparkan oleh tabel 4.16 dibawah ini.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


85

Tabel 4.16
Penilaian terhadap Stressor Klien Risiko bunuh diri
Setelah Intervensi di Ruang Utari RSMM (N=11)
Periode 18 Februari – 19 April 2013
No Penilaian terhadap Stressor n Prosentase n Prosentase
Pre Post
1. Respon Kognitif:
 Tidak mampu 1 100 5 45,5
memecahkan masalah
1 100 5 45,5
 Supresi pikiran

2. Respon Afektif:
 Marah 9 81,8 3 27,3
 Mudah tersinggung 8 72,7 5 45,5
 Sedih 1 100 6 54,5

3. Respon Fisiologis:
 Lemah
5 45,5 4 36,4
 Kurang nafsu makan
6 54,5 2 18,2
 sulit tidur
9 81,8 6 54,4

4. Respon Perilaku:
 Murung 1 100 6 54,5
 Menangis 7 63,6 5 45,5

 Marah-marah 7 63,6 3 27,3

5 Respon Sosial:
 Bermusuhan 1 90,9 3 27,3
 Menarik diri 7 63,6 3 27,3
 Menolak interaksi 8 72,7 0 0

Perubahan respon kognitif maladaptif dialami oleh 11 klien, berupa


penurunan ketidakmampuan memecahkan masalah dari 11 orang (100%)
menjadi 5 orang (45,5%), respon maladaptif supresi pikiran mengalami
penurunan dari 11 (100%) klien menjadi 5 klien (54,5%). Secara afektif
respon klien yang terbesar sedih dari 11 orang klien (100%) menjadi 5
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


86

orang klien (54,5%), marah dari 9 orang klien (81,8%) menjadi 3 orang
klien (27,3%), dan mudah tersinggung dari 8 orang (72,7%) menjadi 5
klien (45,5%). Respon fisiologis yang teramati pada klien akibat stressor
yang ada adalah sulit tidur dari 9 orang (81,8%) turun menjadi 6 orang
(54,5%), dari 6 orang klien (54,5%) yang mengalami kurang nafsu makan
turun menjadi 2 orang (18,2%), dan lemah dari 5 orang (45,5%) menjadi 4
orang (36,4%).

Secara perilaku, didapatkan 11 orang (11%) murung, setelah intervensi


terjadi penurunan menjadi sebanyak 6 orang(54,5%)., dari 7 orang klien
(63,6%) yang mengalami respon perilaku menangis turun menjadi 5 orang
(45,5%), dari 7 orang klien (63,6%) yang mengalami respon perilaku
marah-marah turun menjadi 3 orang (27,3%), Secara sosial, klien
bermusuhan sebanyak 10 orang (90,9%), turun menjadi 3 orang (27,3%),
menarik diri dari 7 orang (63,6%) menjadi menjadi 3 orang (27,3%), dan
menolak interaksi dari 8orang (72,7%) menjadi 0%, yaitu semua klien
bersedia melakukan interaksi.

4.10 Keterbatasan
Keterbatasan dari penulisan karya ilmiah akhir ini adalah:
a. Penulis kurang mengeksplorasi pengalaman atau riwayat klien terkait
perilaku bunuh diri sehingga data yang didapat belum cukup lengkap.
b. Kurangnya referensi terkait teori Chronic Sorrow sehingga pemaparan
terkait model teori ini masih kurang
c. Instrumen untuk mengukur tingkat perilaku bunuh diri serta perubahan
tanda dan gejala serta kemampuan klien belum baku. Mengingat penulisan
karya ilmiah ini bukan murni penelitian tetapi berfokus pada pengalaman
dalam merawat klien selama di rumah sakit.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


87

4.11 Kendala
Kendala yang ditemukan selama proses pelaksanaan pemberian asuhan
keperawatan dengan diagnosa Risiko bunuh diri adalah :
4.11.1. Klien: Kendala yang ditemukan pada pelaksanaan terapi individu
adalah kondisi klien yang fluktuatif, sehingga membutuhkan kontrak
ulang untuk melanjutkan terapi. Belum semua klien mendapatkan
tindakan keperawatan spesialis sampai dengan selesai dikarenakan
klien pulang. Motivasi melakukan latihan cara mencegah dan
mengontrol perilaku bunuh diri berfluktuasi pada klien kronis dan
klien yang tinggal di rumah sakit dalam jangka waktu lama (klien
inventaris). Terkadang klien merasa tidak ada gunanya berlatih
karena hasil latihan tidak membawa dampak positif pada keluarga
untuk membawa klien pulang ke rumah. Klien dengan risiko bunuh
diri, hampir seluruhnya memiliki gangguan konsep diri, harga diri
rendah sehingga membutuhkan privasi dan kenyamanan pada saat
mengikuti terapi. Sementara di ruangan hanya ada ruang terbuka
pada saat klien mengikuti terapi.

4.11.2. Keluarga: Kurangnya peran serta keluarga dalam merawat klien, hal
ini bisa dilihat dari rendahnya kunjungan keluarga, lebih banyaknya
waktu yang dihabiskan oleh klien di rumah sakit atau di yayasan
dibandingkan di rumah. Terbatasnya waktu yang disediakan
keluarga saat berkunjung, sehingga pada beberapa keluarga,
psikoedukasi keluarga dilakukan dengan terburu-buru. Kurangnya
komitmen keluarga dalam membuat perjanjian waktu untuk datang
kembali ke rumah sakit. Masih adanya keluarga yang datang ke
rumah sakit hanya saat mengantar dan membawa klien pulang. Pada
saat melakukan psikoedukasi keluarga, tidak semua keluarga bisa
mengikuti terapi ini, dikarenakan jarak rumah yang jauh dari rumah
sakit atau karena kendala biaya, sehingga jarang menjenguk klien.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


88

4.11.3 Lingkungan Perawatan:


Ruang Utari: Belum optimalnya pelaksanaan pendidikan kesehatan
kelompok keluarga. Tidak adanya kesinambungan pemberian asuhan
keperawatan dari mahasiswa pratikan sebelumnya pada mahasiswa
berikutnya, sehingga asuhan keperawatan yang diberikan oleh
mahasiswa seringkali berupa pengulangan, Belum semua perawat
ruang Antareja mempunyai kemampuan merawat klien dengan risiko
perilaku kekerasan. Saat praktik residensi hanya dua dari sepuluh
perawat pelaksana yang terlibat dalam kegiatan peningkatan
kemampuan perawat pelaksana dalam memberikan asuhan
keperawatan, sehingga untuk perawat yang tidak terlibat, belum
diketahu kemampuannya dalam merawat klien khususnya untuk
diagnosa risiko bunuh diri.

4.12 Rencana Tindak Lanjut


Rencana tindak lanjut yang dapat direkomendasikan adalah :
4.12.1Klien: bagi klien yang masih dirawat, diharapkan meneruskan
latihan yang sudah dijadualkan dengan difasilitasi oleh perawat
ruangan. Klien yang telah diizinkan pulang dianjurkan untuk
melakukan kontrol ke bagian poliklinik psikiatri dan poliklinik
konsultasi keperawatan, sehingga kondisi klien terus dapat dipantau dan
risiko bunuh diri tidak terjadi lagi.
4.12.2Keluarga: keluarga sebaiknya rutin mengunjungi klien agar
terpelihara dukungan sosial bagi klien dan terjalin komunikasi yang
baik dengan perawat ruangan serta bisa mengikuti psikoedukasi
keluarga. Melalui kunjungan rutin dan kegiatan ruangan, keluarga dapat
belajar cara merawat klien secara langsung sehingga memperkecil
kekambuhan dan upaya pencegahan bunuh diri. Lingkungan Perawatan:
melakukan pengawasan secara ketat kepada klien dengan Risiko bunuh
diri, serta memberikan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


89

4.12.3Lingkunga Perawatan: Ruang Utari: Melanjutkan jadual latihan


klien bagi klien yang masih dirawat, melanjutkan TAK stimulasi persepsi,
meningkatkan frekuensi interaksi dengan klien, melakukan koordinasi dan
kerjasama dengan pihak instalasi gawat darurat psikiatri dan poli rawat
jalan psikiatri untuk membuat kontrak pertemuan dengan keluarga klien
secara rutin pada waktu pertama kali dirawat. Bagi kepala ruangan dan
ketua tim, diharapkan meneruskan pelaksanaan supervisi kepada perawat
pelaksana untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan
merawat klien untuk semua diagnosa keperawatan. Poliklinik keperawatan
jiwa: Mengevaluasi kemampuan klien dalam menerapkan cara mencegah
dan mengantisipasi risiko bunuh diri di rumah pada klien yang melakukan
konsultasi keperawatan. Mengevaluasi latihan yang dilakukan saat di
rumah. Merujuk klien yang belum menyelesaikan paket terapi spesialis
pada perawat spesialis jiwa yang bertugas di poliklinik keperawatan jiwa.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


90

BAB 5
PEMBAHASAN

Pada bab ini dibahas tentang manajemen kasus spesialis pada risiko bunuh diri
klien di ruang Utari yang dilakukan pada periode 18 Februari-19 April 2013.
Manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien dengan risiko bunuh diri
akan membahas tentang karakteristik klien dengan risiko bunuh diri, efektifitas
manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa dan hubungan karakteristik dengan
hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien dengan risiko bunuh
diri berdasarkan model teori stress Adaptasi Stuart dan model teori Chronic
Sorrow Eakes.

5.1 Karakteristik Klien

Hasil Pengkajian karakteristik klien dengan risiko bunuh diri di ruang Utari terdiri
atas usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, faktor predisposisi, faktor presipitasi,
penilaian terhadap stressor dan sumber koping. Berikut ini pembahasan tentang
karakteristik klien dengan masalah risiko bunuh diri di ruang Utari.

5.1.1 Usia Klien


Stuart (2009) menyatakan bahwa usia merupakan aspek sosial budaya
terjadinya gangguan jiwa dengan risiko frekuensi tertinggi mengalami
gangguan jiwa yaitu pada usia dewasa. Usia dewasa merupakan masa
produktif dimana klien memiliki tuntutan aktualisasi diri, baik dari diri
sendiri, keluarga, maupun lingkungan. Klien yang dikelola dengan masalah
risiko bunuh diri sebagian besar berusia 25-44 tahun dan sebagian kecil
berusia 18-25 tahun. Erikson (1963, dalam Townsend 2009)
menggolongkan usia 25-44 tahun ke dalam usia dewasa dan usia 18-25
tahun pada tahapan usia dewasa awal.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


91

Setiap manusia pasti akan melewati masa usia tumbuh kembang dengan
berbagai tugas perkembangannya dan akan mempersepsikan segala stimulus
baik internal maupun eksternal. Seiring dengan yang diuraikan Erickson
(1963, dalam Townsend, 2009) maka pada usia dewasa seseorang berusaha
mencapai aktualisasi diri sesuai dengan ideal diri yang sudah ditetapkan
olehnya. Hambatan atau kegagalan dalam mencapai tugas perkembangan ini
menyebabkan individu merasa sebagai orang yang gagal, tidak
berkompeten, tidak berharga, minder, tidak mampu, putus asa, tidak
berdaya.dan lain-lain.

Erikson (1963, dalam Townsend, 2009) menggambarkan periode antara


usia kira-kira 20-40 tahun sebagai stadium keintiman lawan absorpsi atau
isolasi diri (intimacy versus self-absorption or isolation) (Sadock & Sadock,
2010). Keintiman menyangkut kemampuan membentuk persahabatan dan
pergaulan yang hangat dengan orang lain. Integritas ego juga memiliki arti
yang sangat penting terhadap penerimaan diri sendiri. Seseorang yang telah
mencapai integritas diri bersikap bijaksana dalam tingkah lakunya. Jalan
pintas yang dilakukan oleh seseorang yang gagal dalam tahap ini akan
memilih berputus asa, hal ini akan menjadi sumber ketakutan yang
mendalam sehingga seakan-akan tidak ada ruang lagi untuk bergerak lebih
aktif dan dinamis (Sadock & Sadock, 2010, Maramis & Maramis, 2009)

Karakeristik usia yang teridentifikasi dari hasil pelaksanaan manajemen


kasus spesialis pada klien risiko bunuh diri menguatkan pendapat Stuart
(2011) yang melaporkan bahwa frekuensi tertinggi usia seseorang berisiko
mengalami gangguan jiwa yaitu pada usia 25-44 tahun . begitu juga dengan
prevalensi bunuh diri dengan distribusi terbanyak pada kisaran usia tersebut
(Stuart, 2011, Videbeck, 2011). Analisa yang dapat ditegakkan adalah
bahwa usia dewasa berkontribusi terhadap terjadinya risiko bunuh diri
berhubungan dengan berbagai tugas perkembangan yang komplek. Pada
tahapan usia ini individu memiliki tanggung jawab kemandirian yang tinggi
terkait dengan sosial ekonomi, sumber dukungan dan kemampuan koping

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


92

dalam menghadapi stress kehidupan dibandingkan pada tahapan kehidupan


yang lain. Ketidakmampuan klien dalam menjalankan perannya
menimbulkan rasa khawatir yang dimanifestasikan dalam bentuk risiko
bunuh diri.

5.1.3 Pendidikan Klien


Pendidikan merupakan salah satu dari aspek sosial budaya faktor
predisposisi dan presipitasi terjadinya gangguan jiwa. Stuart (2011)
menyatakan bahwa pendidikan menjadi salah satu tolak ukur kemampuan
seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Klien yang
dikelola dengan masalah risiko bunuh diri mempunyai latar belakang
pendidikan yang bervariasi. Sebagian besar klien memiliki latar belakang
pendidikan tinggi (SMA dan PT) dengan tingkat risiko bunuh diri berada
pada semua tingkatan (ide, isyarat, dan percobaan bunuh diri). Pada klien
dengan latar belakang pendidikan rendah (SD dan SMP) ditemukan
sebagian besar berada pada tingkatan perilaku bunuh diri berupa isyarat
bunuh diri. Temuan ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Kopelowicz, Liberman dan Zarare (2002) yang menyatakan bahwa semakin
tinggi pendidikan dan pengetahuan seseorang akan berkorelasi positif
dengan keterampilan koping yang dimiliki. Perbedaan terletak pada
kemampuan koping yang dimanifestasikan dalam bentuk tingkatan bunuh
diri. Pendidikan memungkinkan seseorang memiliki penalaran yang rasional
dan bersikap kritis terhadap masalah yang dihadapinya. Dengan demikian
tingkat pendidikan yang dimiliki oleh klien sangat mempengaruhi proses
pemberian terapi sebagai proses belajar yang bertujuan terjadinya perubahan
kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor ke arah yang lebih adaptif.
Pendidikan akan mempengaruhi seseorang dalam menyelesaikan masalah
dan mengambil suatu keputusan terhadap kondisi kesehatan jiwa yang saat
ini terganggu. Stuart (2011) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan
yang lebih tinggi ditemukan lebih sering menggunakan pelayanan kesehatan
jiwa.
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


93

Kesimpulan dari temuan ini adalah bahwa pendidikan dan pengetahuan


yang tinggi tentang kondisi kesehatan dapat memberi dua dampak terhadap
klien. Dampak positif yang ditemukan adalah dengan pendidikan yang
tinggi akan mempengaruhi pendapatan klien sehingga dapat menjadi sumber
koping untuk klien. Dampak positif lain adalah dengan pendidikan yang
tinggi diharapkan pengetahuan dan keterampilan klien dalam merawat diri
semakin baik. Sedangkan dampak negatif yang teridentifikasi adalah
semakin tinggi pendidikan klien maka pengetahuan tentang kegawatan
penyakit diri semakin diketahui dan hal ini berpotensi menimbulkan
peningkatan perilaku bunuh diri pada klien yang pada akhirnya berisiko
bunuh diri.

5.1.4 Pekerjaan Klien


Kondisi sosial ekonomi yang rendah berpengaruh terhadap kondisi
kehidupan yang dijalani meliputi; nutrisi yang tidak adekuat, rendahnya
pemenuhan perawatan untuk anggota keluarga, perasaan tidak berdaya,
perasaan ditolak oleh orang lain dan lingkungan sehingga berusaha menarik
diri dari lingkungan. Stres kehidupan dalam kelompok sosial ekonomi
rendah cukup sering mencetuskan terjadinya gangguan jiwa pada
masyarakat.Hasil manajemen kasus spesialis keperawatan pada klien risiko
bunuh diri teridentifikasi hampir seluruhnya klien tidak bekerja.. Hanya satu
klien yang mempunyai latar belakang pekerjaan. Pekerjaan erat
hubungannya dengan pendapatan yang diterima oleh klien. Fortinash dan
Worret (2004), menyebutkan bahwa kemiskinan dan pengangguran yang
menyebabkan stress berkontribusi terhadap peningkatan rata-rata kasus
bunuh diri. Adanya ketidakseimbangan antara peningkatan kebutuhan hidup
dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan menyebabkan seseorang
frustasi dan mudah putus asa. Sadock dan Sadock (2010) menyebutkan
bahwa seseorang dengan status ekonomi tinggi atau rendah memiliki risiko
bunuh diri lebih besar dibandingkan kelas ekonomi menengah. Sehingga
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


94

dapat disimpulkan bahwa status sosial ekonomi sangat berdampak pada


kondisi kejiwaan seseorang.

Pendapatan yang rendah menjadi salah satu faktor pencetus masalah risiko
bunuh diri pada klien yang dirawat di rumah sakit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pekerjaan akan berkorelasi positif dengan pendapatan.

5.1.5 Status Perkawinan Klien


Berbagai masalah perkawinan merupakan sumber stress yang dialami
seseorang (Hawari, 2001). Klien yang dikelola dengan masalah risiko
bunuh diri sebagian besar belum menikah sebanyak 7 orang (63,4%) Rasa
kesepian dan hidup dalam kesendirian merupakan stressor tersendiri bagi
seseorang yang belum/tidak menikah. Kebutuhan untuk berbagi, merasa
mencintai dan dicintai menjadi hal yang tidak dimiliki oleh orang yang
belum/tidak menikah (Yani, 2008). Sebagian besar klien skizofrenia secara
subyektif menyatakan bahwa merasa kehilangan harapan, kesepian dan
mempunyai hubungan sosial yang tidak menyenangkan (Cohen, dkk, 1990
dalam Fortinash & Worret, 2004). Angka bunuh diri pada orang yang tidak
menikah atau single dua kali lebih besar dibandingkan dengan mereka
memiliki pasangan atau menikah (Stuart,2011, Videbeck 2011, Sadock &
Sadock 2010). Pemberian terapi kognitif pada sebagian besar klien yang
tidak menikah, akan meningkatkan rasa percaya diri dan mempunyai
pandangan yang positif terhadap diri sendiri serta mampu menghilangkan
pikiran yang menyatakan bahwa hidupnya tidak berguna lagi menjadi
berpikir bahwa hidupnya masih berguna.

5.1.6 Onset gangguan jiwa dan frekuensi masuk rumah sakit


Klien sebagian besar sudah mengalami sakit selama lebih dari 10 tahun
dan hal ini erat kaitannya dengan frekuensi klien dirawat, rata-rata 2 – 5
kali masuk rumah sakit (70%). Kondisi kronis dan seringnya klien
mengalami kekambuhan akan berdampak pada tingkat keparahan
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


95

gangguan yang dialami oleh klien, setiap kali kambuh akan mengalami
penurunan kemampuan. Maguire (2002 dalam Fortinash & Worret, 2004)
menyatakan bahwa kekambuhan adalah sesuatu yang sering terjadi pada
klien skizofrenia, hal ini disebabkan oleh insight yang buruk terhadap
sakitnya, tidak mengikuti pengobatan dengan baik, kurangnya dukungan
keluarga, ketidakmampuan koping individu, dan putus obat karena
pengobatan dalam jangka panjang. Sinaga (2007) menyatakan bahwa klien
skizofrenia dengan prognosis buruk salah satu cirinya adalah selama 3
tahun pengobatan tidak ada perbaikan atau sering terjadi kekambuhan.

Pemberian terapi kognitif yang dikolaborasi dengan terapi medis


memberikan dampak yang cukup baik dalam meningkatkan kemampuan
klien dalam berpikir positif secara rasional. Hal ini sangat penting dimiliki
oleh klien dengan risiko bunuh diri. Upaya pencegahan sangat penting
dilakukan sehingga bunuh diri tidak terjadi.

5.2. Hasil Pengkajian kondisi klinis


Pengkajian pada klien risiko bunuh diri terdiri atas empat komponen
pengkajian. Pertama, pengkajian faktor predisposisi; kedua, pengkajian faktor
presipitasi; ketiga, penilaian terhadap stressor; keempat, sumber koping.

5.2.1 Faktor Predisposisi


Menurut Stuart (2011) faktor predisposisi adalah faktor resiko yang menjadi
sumber terjadinya stres yang mempengaruhi tipe dan sumber dari individu
untuk menghadapi stres baik yang biologis, psikososial dan sosial kultural.
5.2.1.1 Aspek Biologis
Hasil pelaksanaan manajemen kasus spesialis pada klien dengan
masalah risiko bunuh diri ditemukan faktor predisposisi biologis
berupa penyakit kronis dan faktor genetik. Penyakit kronis (TBC paru
dan kejang) ditemukan pada 2 klien dari 11 klien yang dikelola. Dari 2
orang yang mengalami penyakit kronis keduanya menyebabkan
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


96

percobaan bunuh diri. Hal ini sesuai Stuart (2011) yang menyatakan
bahwa kondisi kesehatan seseorang sangat berpengaruh terhadap stres
yang dialami oleh seseorang yang bisa menyebabkan terjadinya risiko
bunuh diri. Semakin buruk kondisi kesehatan klien maka akan
menyebabkan tingkatan perilaku bunuh diri meningkat. Pengalaman
masa lalu yang tidak menyenangkan seperti yang dialami oleh 4 orang
klien berupa pelecehan seksual dan pemerkosaan yang dilakukan baik
oleh keluarga maupun orang lain memberi kontribusi munculnya
masalah risiko bunuh diri (Stuart, 2011).

Hasil manajemen kasus spesialis mengidentifikasi 3 kasus dari 11 kasus


yang dikelola memiliki keterkaitan faktor genetik. Genetik dihasilkan
dari fakta-fakta mendalam tentang komponen genetik yang
berkontribusi terhadap perkembangan gangguan risiko bunuh diri
(Sadock & Sadock, 2010). Hasil manajemen kasus risiko bunuh diri
pada klien ini memperkuat teori genetik yang disampaikan oleh Shives
(2006) yang menyatakan bahwa risiko bunuh diri 3-4% dipengaruhi
oleh faktor genetik. Namun demikian peran genetik bukan merupakan
faktor utama yang berkontribusi sebagai faktor predisposisi biologi
karena prevalensi terjadinya masalah risiko bunuh diri yang disebabkan
oleh genetik sangat rendah. Cenderung bukan genetik tetapi lebih
bagaimana perilaku itu dipelajari dan dicontoh (Shives, 2006)

Hasil pengkajian faktor predisposisi biologi manajemen kasus klien


risiko bunuh memiliki kesamaan dengan pengkajian respon kehilangan
pada model teori Chronic Sorrow (Eakes, 1998) tentang kontribusi
kehilangan secara fisik terhadap risiko bunuh diri. Persamaan yang
ditemukan terletak pada kontribusi biologi terhadap proses koping
sehingga mengakibatkan terjadinya risiko bunuh diri. Berdasarkan teori
Chronic Sorrow Eakes (1998) yang dikaitkan dengan kondisi klien
gangguan jiwa menunjukkan pada klien yang mengalami penyakit
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


97

kronis, ia mengalami kehilangan atas kesehatan tubuhnya dan ini


berdampak pada kualitas hidupnya, kemampuan klien untuk beraktifitas
menjadi terbatas, kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, maupun
pasangan. Sama halnya pada klien yang mengalami pengalaman
kehilangan akibat pelecehan seksual/pemerkosaan, klien menganggap
bagian yang di anggap suci dari tubuhnya sudah hilang akibat tindakan
pelecehan/pemerkosaan bahkan ada klien yang merasa asing dengan
tubuhnya sendiri. Hasil temuan residen saat praktek di ruang Utari, ada
satu klien yang selalu menolak untuk melakukan olahraga, ternyata
setelah dilakukan pengkajian mendalam, klien mengatakan gerakan-
gerakan olahraga membuat klien mudah terangsang secara biologis dan
mengingatkan klien akan peristiwa pemerkosaan yang dialami. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor biologis memiliki dampak pada faktor
psikologis dan juga sosial budaya spiritual.

5.2.1.2 Aspek Psikologis


Faktor predisposisi ke dua yang diidentifikasi pada manajemen kasus
spesialis keperawatan jiwa klien dengan risiko bunuh diri adalah faktor
psikologis. Pada faktor predisposisi psikologis yang teridentifikasi
adalah kondisi psikologis yang terkait dengan kepribadian yang
tertutup, pengalaman kehilangan dan pengalaman menjadi korban
kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Hal ini senada dengan teori
psikoanalisa yang disampaikan oleh Freud (1994, dalam Videbeck
2011) bahwa risiko bunuh diri merupakan hasil dari ketidakmampuan
menyelesaikan masalah, konflik yang tidak disadari antara impuls
agresif atau kepuasan libido serta pengakuan terhadap ego dari
kerusakan eksternal yang berasal dari kepuasan. Persamaan yang dapat
di analisa terletak pada kondisi afektif yang dihasilkan karena
kemampuan diri dan pengaruh faktor lingkungan. Hasil manajemen
kasus spesialis pada klien risiko bunuh diri ini memperkuat pendapat

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


98

Roerig (1999) yang menjelaskan bahwa kondisi psikologis dihasilkan


dari konflik yang tidak disadari pada saat masa kanak-kanak, seperti
takut kehilangan cinta atau perhatian orang tua, menimbulkan perasaan
tidak nyaman atau ansietas pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa
awal. Townsend (2009) menyatakan bahwa faktor psikologis yang
mempengaruhi seseorang bunuh diri adalah keputusasaan, perpisahan
dengan orang yang berarti, kesepian, riwayat kekerasan, malu karena
kehilangan status sosial, dan stressor pada tahapan tumbuh kembang.
Senada dengan Towsend (2009), Stuart (2011) dan Videbeck (2011)
juga menyatakan hal yang sama. Pada klien dengan kerapuhan
psikologis tidak mampu beradaptasi dengan stressor yang ada, sehingga
bunuh diri menjadi pilihan untuk menyelesaikan masalah

5.2.1.3 Aspek Sosial Budaya Spiritual


Faktor predisposisi ke tiga adalah sosial budaya spiritual. Hasil
manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa mengidentifikasi adanya
faktor usia, pendidikan yang menengah,tidak bekerja, masalah
pernikahan, pola komunikasi yang buruk dan jarang terlibat dalam
kegiatan sosial. Ke lima aspek sosial budaya ini mempunyai prevalansi
yang tinggi sebagai penyebab risiko bunuh diri. Hasil ini senada dengan
teori sosial budaya yang menyatakan bahwa pengalaman seseorang sulit
beradaptasi terhadap permintaan sosial budaya dikarenakan konsep diri
yang rendah dan mekanisme koping yang buruk (Shives, 2006).
Kemampuan komunikasi yang rendah akibat konsep diri yang negatif
menyebabkan seseorang sulit dalam menyelesaikan masalah sehingga
berpotensi menyebabkan risiko bunuh diri. Persamaan yang dapat
dianalisa adalah kemampuan hubungan interpersonal yang
melatarbelakangi terjadinya risiko bunuh diri. Kemampuan hubungan
interpersonal yang buruk memiliki dampak terhadap peningkatan
perilaku bunuh diri pada klien.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


99

Faktor predisposisi yang teridentifikasi pada model adaptasi stress


Stuart (2011) senada dengan penderitaan atau dukacita kronis Eakes
(1998). Persamaan terletak pada faktor yang mempengaruhi terjadinya
masalah risiko bunuh diri. Sama dengan pengalaman kehilangan,
penderitaan dan dukacita kronis juga dilihat dari aspek internal dan
eksternal. Aspek internal teridentifikasi dalam faktor predisposisi
biologi. Aspek eksternal teridentifikasi dari faktor predisposisi
psikologi dan sosial budaya. Varcarolis dan Halter (2010) menyebutkan
bahwa faktor budaya termasuk kepercayaan, agama, nilai keluarga,
sikap menghadapi kematian, berdampak pada risiko bunuh diri. Isolasi
dan terasing dari lingkungan sosial terpisah dari keluarga, komunitas
dan hubungan sosial menyebabkan seseorang mempunyai keinginan
untuk bunuh diri. Selain factor sosial budaya, factor spiritualitas juga
perlu dikaji. Yani (2008) menyatakan spiritualitas adalah keyakinan
dalam hubungannya dengan yang Maha Kuasa dan Maha
pencipta.Spiritualitas berupaya untuk mempertahankan keharmonisa
atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau
mndapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stress emosional,
penyakit fisik atau kematian. Mickley et al (1992, dalam Yani 2008)
menguraikan spiritualitas sebagai sesuatu yang multidimensi, yaitu
dimensia eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial
berfokus pada tujuan dan arti hidup, sedangkan dimens agama lebih
berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Mahasa
penguasa. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk
mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi
kewajiban agama, menintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya
pada Tuhan. (Yani, 2008). Pada klien dengan riwayat pemerkosaan,
secara psikologis sosial budaya , klien harus berjuang keras untuk
melanjutkan kehidupannya, dengan pendekatan metode manajemen
internal Chronic Sorrow Eakes (1998) dimensi spiritual dapat menjadi
sumber koping yang cukup baik. Seseorang yang miliki kepercayaan
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


100

menurut Yani (2008) berarti mempercayai atau mempunyai komitment


terhadap sesuatu atau seseorang.

5.2.2 Faktor Presipitasi


Hasil Pengkajian faktor presipitasi masalah risiko bunuh diri pada klien
yang dirawat di ruamah sakit terdiri atas faktor biologi, berupa putus obat;
faktor psikologis takut kehilangan keluarga atau orang yang dicintai serta
faktor sosial budaya berupa masalah ekonomi, masalah pekerjaan, gangguan
peran dan konflik keluarga. Beberapa penelitian sejalan dengan hasil
manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien risiko bunuh diri.

Faktor presipitasi sosial budaya gangguan peran yang teridentifikasi pada


hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien risiko bunuh
diri memperkuat hasil penelitian yang menjelaskan bahwa ketidakmampuan
menjalankan peran pada klien yang dirawat di rumah sakit akan
meningkatkan distress psikologis dan masalah adaptasi yang teridentifikasi
dalam bentuk ansietas yang berpotensi meningkatkan risiko bunuh diri
(Varcarolis & Halter, 2010). Burr (1985, dalam Varcarolis & Halter, 2010)
menekankan gangguan peran terkait dengan ketegangan hubungan dengan
pasangan akibat klien yang sakit. Hasil manajemen kasus risiko bunuh diri
pada klien mengidentifikasi bahwa stressor utama adalah sosial berupa
masalah ekonomi.

Asal stresor pada manajemen kasus spesialis adalah eksternal dan internal.
Stresor eksternal teridentifikasi dari stresor sosial budaya. Sedangkan
stresor internal teridentifikasi dari stresor biologi dan psikologi. Hal ini
sesuai dengan konsep adaptasi stres (Stuart, 2011) yang menyatakan
bahwa asal stresor dapat berasal dari internal dan eksternal. Pada awalnya
stresor yang ditemukan berasal dari eksternal yaitu masalah ekonomi.
Stresor utama tersebut menimbulkan respon yang berkontribusi terhadap

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


101

stresor psikologis dan biologis. Sehingga pada akhirnya asal stresor yang
dialami oleh klien denngan risiko bunuh diri adalah dari internal dan
eksternal.

Jumlah stresor yang ditemukan pada manajemen kasus spesialis klien


risiko bunuh diri berjumlah lebih dari satu. Semakin banyak jumlah
stressor yang dialami maka tingkat perilaku bunuh diri yang dialami oleh
klien semakin meningkat. Hal ini memperkuat pernyataan Stuart (2011)
yang menyatakan bahwa jumlah stressor lebih dari satu yang dialami oleh
individu dalam satu waktu akan lebih sulit diselesaikan dibandingkan
dengan satu stressor yang dialami. Analisa yang dapat kita tegakkan
adalah jumlah stressor akan berhubungan terhadap kejadian risiko bunuh
diri dan tingkat perilaku bunuh diri.

Faktor presipitasi yang teridentifikasi pada model adaptasi stress Stuart


(2011) senada dengan peristiwa pemicu pada model Chronic Sorrow
Eakes (1998). Persamaan dua konsep ini terletak pada pengaruh langsung
terhadap penyebab risiko bunuh diri klien. Kedua model ini melihat faktor
presipitasi dan peristiwa pemicu sebagai stimulus pencetus yang
menyebabkan terjadinya risiko bunuh diri pada klien. Selain itu dua
model ini melihat stimulus tersebut berasal dari dua stimulus yaitu internal
dan eksternal. Stimulus internal pada peristiwa pemicu model Chronic
Sorrow Eakes (1998) teridentifikasi dalam bentuk faktor presipitasi
biologi, psikologi dan sosial budaya.

5.2.3 Faktor Penilaian Terhadap Stresor


Penilaian stressor yang teridentifikasi pada hasil manajemen kasus
spesialis keperawatan jiwa pada klien risiko bunuh diri diklasifikasikan
dalam penilaian fisiologis, kognitif, afektif, perilaku dan sosial budaya.
Respon kognitif yang teridentifikasi dari hasil manajemen kasus spesialis

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


102

keperawatan jiwa adalah kemampuan berpikir yang dimiliki oleh klien


dalam melihat stressor yang dialami. Respon kognitif yang ditemukan ada
yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Respon positif
dihasilkan dari kemampuan klien dalam mentoleransi stressor. Respon
negatif dihasilkan dari kegagalan dalam melakukan penilaian kognitif
terhadap stresor. Hal ini senada dengan pendapat Stuart (2011) yang
menyatakan bahwa faktor kognitif bertugas mencatat kejadian yang penuh
tekanan, memilih pola koping yang digunakan, dan emosional, fisiologis,
perilaku dan reaksi sosial seseorang.

Hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien risiko bunuh
diri mengidentifikasi empat penilaian afektif yaitu marah,mudah
tersinggung, afek labil dan sedih. Dalam penilaian terhadap stresor respon
afektif utama adalah reaksi sedih, merasa kesepian, merasa tidak berguna,
dan marah. Respon afektif yang teriidentifikasi pada manajemen kasus
sejalan dengan pendapat Stuart (2011) yang menyatakan bahwa respon
afektif meliputi sedih, takut, marah, menerima, tidak percaya, antisipasi
atau kaget, bingung dan kawatir. Persamaan yang dapat kita analisa dari
hasil manajemen kasus dan model adaptasi stress adalah respon emosional
negatif akibat stressor yang dialami.

Respon fisiologis yang ditemukan pada manajemen kasus spesialis


khususnya diagnosa risiko bunuh diri adalah lemah, kurang nafsu makan
dan sulit tidur. Respon fisiologis saat stres merefleksikan interaksi
beberapa neuroendokrin yang meliputi hormon, prolaktin, hormon
adrenokortikotropik (ACTH) vasopresin, oksitosi, insulin, epineprin,
norepineprin, dan neurotransmiter lain di otak. Respon fisiologis Fight-or-
fligh menstimulasi divisi simpatik dari sistem saraf autonomik dan
meningkatkan aktivitas kelenjar adrenal (Stuart, 2011). Sebagai tambahan,
stres dapat mempengaruhi sistem imun dan mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk melawan penyakit. Pendapat yang sama disampaikan oleh
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


103

Fortinash (2003) yang menyatakan bahwa orang yang berisiko pada


perilaku bunuh diri terjadi secara fisiologis dapat ditunjukan dalam skala
normal, meningkat, menurun atau fight or flight.

Respon perilaku adalah hasil dari respon emosional dan fisiologis. Hasil
manajemen kasus kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien risiko
bunuh diri teridentifikasi dua perilaku yang maladaptif yaitu murung dan
menangis. Dua perilaku maladaptif yang ditampilkan dalam bentuk
penolakan dan hukuman terhadap lingkungan yang ada disekitarnya.
Respon sosial merupakan hasil dari respon kognitif, afektif, fisiologis dan
perilaku yang ditampilkan terhadap hubungan dengan orang lain. Hasil
pengkajian manajemen kasus pada klien risiko bunuh diri teridentifikasi
dua respon sosial yang teridentifikasi dengan menghindari orang lain dan
berbicara dengan orang lain. Sebagian besar klien menunjukkan perilaku
menghindari orang lain. Hal ini senada dengan pernyataan Peate dan
Whiting (2006) yang menyatakan bahwa kebosanan dan kelelahan
menyebabkan klien menghindari kontak sosial dengan orang lain.

5.2.4 Faktor Sumber Koping


Pada pelaksanaan manajemen kasus spesialis pada klien risiko bunuh diri
teridentifikasi empat sumber koping yang terdiri dari kemampuan
personal, dukungan sosial, asset material dan keyakinan positif. Empat
sumber koping yang teridentifikasi diklasifikasikan berdasarkan tingkatan
risiko bunuh diri.

Kemampuan personal yang teridentifikasi dalam manajemen kasus


spesialis pada klien dengan risiko bunuh diri adalah belum mengenal cara
mengatasi masalah tanpa membahayakan diri sendiri. Kemampuan
penyelesaian masalah tidak hanya berfokus pada kemampuan kognitif tapi
juga berhubungan dengan kemampuan afektif dan psikomotor. Hal ini

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


104

selaras dengan konsep Stuart (2011) yang menyatakan bahwa kemampuan


personal yang perlu dimiliki oleh klien meliputi kemampuan mengenal
masalah, menentukan masalah dan menyelesaikan masalah. Kemampuan
mengenal masalah tampak dari pengetahuan klien tentang potensi diri
klien. Kemampuan menentukan masalah teridentifikasi dari kemampuan
untuk melakukan prioritas masalah sedangkan kemampuan menyelesaikan
masalah teridentifikasi dari kemampuan melakukan perawatan terhadap
diri sendiri dalam mengontrol risiko bunuh diri.

Sebagian besar klien dengan risiko bunuh diri ditemukan tidak


mendapatkan dukungan sosial terkait dengan stresor yang dialami.
Semakin rendah dukungan sosial yang diterima oleh keluarga
menyebabkan peningkatan tingkatan bunh diri. Demikian sebaliknya jika
dukungan sosial yang diterima semakin meningkat maka kemampuan
koping akan meningkat dan tigkatan bunuh diri menjadi rendah. Hal ini
senada dengan Varcarolis & Halter (2010) yang menyatakan bahwa
dukungan sosial yang membantu seseorang untuk meningkatkan
pemahaman terhadap stresor dalam mencapai keterampilan koping yang
efektif. Analisa yang dapat ditegakkan adalah bahwa dengan dukungan
sosial maka seseorang akan merasa dihargai dan akan meningkatkan peran
aktif kliena. Hal ini senada dengan Sarafino (2002) yang menyatakan
bahwa dukungan sosial merupakan perasaan caring, penghargaan atau
membantu seseorang menerima orang lain yang berasal dari keyakinan
yang berbeda. Seseorang dengan dukungan sosial akan memberikan cinta,
penghargaan dan menjadi bagian jaringan social (Videbeck, 2011).

Dukungan sosial yang teridentifikasi dalam manajemen kasus spesialis


sebagian berasal dari keluarga, kader dan aparat RT/RW. Hal yang sama
disampaikan oleh Taylor et al. (2003) bahwa dukungan sosial datang dari
pasangan, saudara, teman kelompok sosial dan kelompok komunitas.
Menurut Safarino (2002) terdapat lima tipe dasar dukungan sosial.
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


105

Dukungan yang pertama adalah dukungan emosi yang terdiri atas rasa
empati, caring, memfokuskan pada kepentingan orang lain. Tipe yang
kedua adalah dukungan esteem yang terdiri atas ekspresi positif thingking,
mendorong atau setuju dengan pendapat orang lain. Dukungan yang ketiga
adalah dukungan instrumental yaitu menyediakan pelayanan langsung
yang berkaitan dengan kesehatan jiwa. Tipe keempat adalah dukungan
informasi yaitu memberikan nasehat, petunjuk dan umpan balik bagaimana
seseorang harus berperilaku. Tipe terakhir atau kelima adalah dukungan
network menyediakan dukungan kelompok untuk berbagi pengalaman.
Berdasarkan analisa hasil manajemen kasus spesialis keperawatan klien
dengan risiko bunuh diri menunjukkan bahwa dukungan sosial yang
diberikan terfokus pada dukungan emosi, instrumental dan informasi.

Dari hasil pengkajian yang dilakukan dalam manajemen kasus spesialis


teridentifikasi fakta utama dihadapi dalam pelayanan kasus spesialis
adalah faktor kemiskinan. Sebagian besar kasus ditemukan sebagai
pengguna pelayanan jamkesmas dan SKTM. Hal ini senada dengan Stuart
(2011) yang menyatakan bahwa secara umum sumber koping material aset
sering dihubungkan dengan ketersediaan finansial dan asuransi.

Sumber koping keempat adalah keyakinan positif, yaitu keyakinan diri


yang menimbulkan motivasi dalam menyelesaikan segala stresor yang
dihadapi. Hasil manajemen kasus menemukan bahwa sebagian besar
menunjukkan keyakinan yang negatif terhadap kondisi kesehatan klien
Keyakinan negatif ini berkorelasi negatif dengan tingkatan bunuh diri.
Semakin negatif keyakinan klien maka semakin berat tingkatan bunuh diri
yang dilami.

Hasil pengkajian manajemen kasus pada aspek penilaian terhadap stressor


dan sumber koping senada dengan proses koping metode manajemen pada
model Chronic Sorrow (Eakes, 1998). Metode manajenen adalah suatu
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


106

cara bagaimana klien menerima penderitaan kronis. Proses koping pada


model Chonic Sorrow terdiri atas metode manajemen internal dan
manajemen eksternal. Manajemen internal berupa strategi koping klien
sedangkan mananemen eksternal adalah bantuan tenaga kesehatan atau
intervensi dari orang lain. Penderitaan kronis (chronic sorrow) tidak akan
membuat individu melemah bila efektif dalam mengatur perasaan baik
secara internal maupun eksternal (Eakes,1998). Strategi manajemen
perawatan diri di atur melalui strategi koping internal. (kemampuan
personal, sumber koping, asset material dan keyakinan yang positif).

5.3 Faktor Mekanisme Koping


Semua klien menggunakan mekanisme koping untuk mengahadapi stresor
dengan berfokus pada masalah. Sebagian besar klien juga menggunakan
mekanisme koping yang berfokus pada emosi dan kognitif. Hal ini
menunjukkan bahwa klien kurang mampu mengembangkan mekanisme
koping yang adapatif dalam menyelesaikan setiap masalah yang
dihadapinya.

Hasil terapi kognitif menggambarkan bahwa sebagian besar klien mampu


mengembangkan mekanisme koping adaptif melalui berbagai aktivitas
melalui berpikir positif dan melakukan kegiatan yang bermakna. Gladding
(2009) menyatakan bahwa peran terapis dalam terapi kognitif adalah untuk
membuat pikiran yang terselubung menjadi lebih terbuka, hal ini sangat
penting untuk mengatasi kognisi yang bersifat otomatis. Sedangkan yang
diberikan sangat mendukung klien untuk menjadikan hidupnya lebih
bermakna sehingga ide bunuh diri tidak muncul kembali.

5.4. Diagnosa Keperawatan


Penetapan diagnosa keperawatan dilakukan berdasarkan pada analisa data
yang diperoleh dari pengkajian secara holistik. Hasil manajemen kasus

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


107

spesialis keperawatan jiwa mengidentifikasi risiko bunuh diri berdasarkan


pada tingkatan perilaku bunuh diri. Diagnosa keperawatan yang ditegakkan
meliputi risiko bunuh diri yang terdiri dari ide bunuh diri, ancaman bunuh diri
dan percobaan bunuh diri. Pada penetapan diagnosa oleh seorang perawat
spesialis jiwa yang profesional harus menekankan pada analisa dan sintesa
data yang dikumpulkan. Analisa dan sintesa dilakukan dengan mengacu pada
penilaian terhadap stresor model adaptasi stress dan pengkajian bunuh diri
(Stuart, 2011).

Diagnosa yang dihasilkan dapat bersifat diagnosa fisik maupun psikososial.


Penetapan diagnosa keperawatan ini berbeda dengan NANDA (2012).
NANDA (2012) lebih menekankan penetapan diagnosa berdasarkan koping
klien. Pada manajemen keperawatan klien dengan risiko bunuh diri koping
justru digunakan untuk menetapkan intervensi bukan untuk menetapkan
diagnosa.

5.5. Efektifitas Manajemen Kasus Spesialis pada klien dengan Risiko bunuh
diri di Ruang Utari

Model teori Chronic Sorrow Eakes merupakan suatu pola yang bermanfaat
untuk memprediksi dan memahami perilaku sosial secara umum yang
mempengaruhi sistem panjang kehidupan (life span) seseorang. Dasar dari
prinsip ini adalah suatu model teori yang membahas tentang fenomena
spesifik tentang masalah-masalah yang timbul dari penyakit kronis mencakup
proses berduka, kehilangan, faktor pencetus dan metoda manajemennya.
(Eakes,1998). Teori Chronic Sorrow didokumentasikan pertama oleh Eakes
pada tahun 1998 dengan kerangka kerja yang menjelaskan bagaimana individu
dapat menanggapi kerugian selanjutnya dari peristiwa yang sedang
berlangsung.
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


108

Pengertian dari kerugian selanjutnya bisa residen jelaskan terkait dengan klien
risiko bunuh diri, contoh pada dua orang klien kelolaan di ruang Utari yang
mengalami pelecehan seksual oleh keluarga, dan pada dua orang klien yang
mengalami pemerkosaan oleh orang lain. Pengalaman kehilangan pertama
atau kerugian yang di alami oleh keempat klien tersebut hampir sama, yaitu
kehilangan kehormatan secara fisik maupun secara psikologis. Akibat dari
peristiwa tersebut, klien mengalami krisis kepercayaan diri untuk membina
hubungan dengan orang lain, hal ini berdampak pada ketidakmampuan klien
menjalin hubungan yang berarti dengan orang lain atau lawan jenis, kondisi
ini juga menyebabkan klien sulit untuk mendapatkan pekerjaan, serta
dikucilkan oleh masyarakat. Hal yang dialami oleh klien adalah kondisi
normal dalam bentuk sedih berkepanjangan (Chronic sorrow) yang mungkin
ditemukan dalam sepanjang rentang kehidupan. Sehingga yang bisa dilihat
adalah bagaimana metoda manajemen baik internal berupa koping dari klien,
maupun eksternal berupa dukungan keluarga maupun tim kesehatan untuk
menguatkan koping adapatif, sehingga jika ada peristiwa pemicu lainnya,
klien mampu berespon secara adaptif.

Berdasarkan model teori Chronic Sorrow seseorang yang mempunyai niat


atau ide untuk bunuh diri, akan mempersepsikan bahwa dirinya adalah lemah,
tidak berguna, kehilangan makna hidupnya dan semua masalah yang menimpa
hidupnya tidak ada jalan keluar lagi, kecuali bunuh diri menjadi suatu
manajemen internal yang sudah direncanakan sebelumnya. Klien dengan
Risiko bunuh diri membutuhkan bantuan dan perawatan yang intensif, karena
Risiko bunuh diri merupakan salah satu bentuk kegawatdaruratan psikiatri.
Manajemen krisis sebagai bentuk tindakan preventif perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya perilaku bunuh diri. Inilah yang menjadi dasar perlunya
pemberian terapi kognitif sebagai bagian dari upaya preventif tindakan bunuh
diri.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


109

Terapi keperawatan yang disusun didasarkan pada penilaian stresor dan sumber
koping yang dimiliki oleh keluarga. Dua intervensi utama yang diberikan
meliputi intervensi generalis dan intervensi spesialis. Intervensi generalis
difokuskan pada kemampuan dasar klien dalam menghadapi stresor. Terapi
spesialis disusun untuk memenuhi kebutuhan kemampuan mahir yang harus
dimiliki oleh seorang individu. Seluruh intervensi disusun berdasarkan pada
sumber koping yang dimiliki oleh klien. Jika sumber koping yang dimiliki oleh
klien telah positif maka rencana kegiatan yang dilakukan adalah melakukan
sustainability kemampuan klien.

Tindakan keperawatan pada klien risiko bunuh diri terdiri dari tindakan
keperawatan generalis dan tindakan keperawatan spesialis. Tindakan
keperawatan generalis difokuskan pada empat kemampuan dasar yang harus
dimiliki klien risiko bunuh diri dalam menghadapi stressor. Tindakan
keperawatan spesialis diberikan untuk lebih meningkatkan sumber koping klien
dalam mengatasi stressor. Semakin banyak sumber koping yang dimiliki
diharapkan semakin besar pula kemampuan klien mengatasi masalah bahkan
mengantisipasi timbulnya masalah.

Tindakan keperawatan generalis termasuk dalam strategi pencegahan tepatnya


pendidikan kesehatan. Tindakan keperawatan generalis mencakup delapan
aspek cara mengatasi dan mengekspresikan perilaku bunuh diri yaitu mengenal
perilaku bunuh diri, mendiskusikan cara mengatasi keinginan bunuh diri,
meningkatkan harga diri dengan melihat aspek positif klien,menguatkan
koping konstruktif, mendiskusikan rencana masa depan yang realistis,
menjauhkan semua benda yang berbahaya, memastikan klien tetap meminum
obat yang diberikan serta melindungi klien sampai tidak ada keinginan bunuh
diri. (Stuart, 2011; Videbeck, 2011).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


110

Seluruh klien sebanyak 11 orang (100%) mendapatkan tindakan keperawatan


generalis dengan hasil seluruh klien mampu mencegah terjadinya perilaku
risiko bunuh diri. Hal ini sesuai dengan penelitian Keliat (2003) tentang
pemberdayaan klien dan keluarga dalam perawatan klien skizofrenia dengan
risiko bunuh diri. Pada manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa yang
dilakukan terhadap klien risiko bunuh diri, terapi spesialis yang dilakukan
adalah terapi kognitif.Terapi kognitif dirancang untuk klien dengan
ketidakmampuan dalam mengatasi pikiran negatif yang menyebabkan
terjadinya risiko bunuh diri pada klien. Perbedaaan pemberian terapi terletak
pada ada atau tidaknya perubahan perilaku yang mengarah maladaptif. Pada
pelaksanaan manajemen kasus risiko bunuh diri pada klien ditemukan adanya
11 orang yang mengungkapkan pikiran negatif terkait dengan dirinya yang
dirawat di rumah sakit. Dengan pemberian terapi kognitif kemampuan yang
dicapai oleh klien adalah kemampuan merubah pikiran negatif menjadi positif.
Selain itu kemampuan yang dicapai adalah kemampuan mengontrol perilaku
bunuh diri. Hasil ini senada dengan pendapat Videbeck (2011) yang
menyatakan bahwa terapi kognitif efektif diberikan pada masalah risiko bunuh
diri.

Sepuluh dari sebelas klien (91.9%) yang diberikan terapi perilaku kognitif
mengalami diagnosa harga diri rendah selain risiko bunuh diri. Hal ini
dibuktikan dengan isi pikiran negatif klien yaitu merasa tidak berguna karena
tidak dihargai oleh keluarga, gagal menampilkan peran sebagai istri, ibu, anak,
atau karyawan. Berdasarkan hal ini residen menyimpulkan bahwa terapi
perilaku kognitif sesuai diberikan pada klien perilaku kekerasan yang juga
mengalami harga diri rendah, jika pikiran negatif klien terhadap dirinya
menyebabkan klien melakukan perilaku kekerasan.

Kognitif terapi merupakan bagian dari terapi yang diberikan kepada konsumen
jiwa sehat dengan gangguan pada fungsi kognitifnya. Hasil ini diperkuat oleh
Wheeler (2008) yang menyatakan bahwa terapi kognitif merupakan terapi
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


111

yang memberikan pedoman terhadap pandangan seseorang terhadap masalah


yang dihadapi dengan merubah pandangan negatif menjadi positif dengan
tujuan mengurangi risiko bunuh diri.

Terapi spesialis keluarga yang dirancang berdasarkan sumber koping yang


dimiliki oleh klien adalah terapi psikoedukasi keluarga. Terapi ini dirancang
berdasarkan pengkajian sumber koping pada faktor dukungan sosial. Indikasi
pemberian terapi psikoedukasi keluarga ini adalah keterbatasan dukungan
keluarga yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan keluarga dalam
menghadapi stresor. Dampak dari pemberian terapi psikoedukasi ini adalah
peningkatan pengetahuan dan kemampuan keluarga dalam merawat anggota
keluarga yang sakit dan mengontrol risiko bunuh diri.

Amenta dan Bohnet (1986) menyatakan ada 4 instrumen yang dapat


digunakan dalam membantu perawat dalam mengimplementasikan asuhan
keperawatan yaitu kebutuhan untuk mendengarkan, kehadiran perawat,
kemampuan perawat untuk menerima apa yang perawat sampaikan dan
menggunakan diri secara bijaksana. Dengan demikian alat penting yang perlu
dipersiapkan dalam melakukan implementasi adalah kesadaran diri dari
perawat.

Alat utama yang digunakan dalam melaksanakan manajemen kasus spesialis


klien dengan risiko bunuh diri adalah komunikasi dan kemampuan memahami
emosi. Implementasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan berbagai
teknik komunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Peplau (1952) yang
menyatakan bahwa komunikasi membantu orang lain untuk memperhatikan
dan melakukan klarifikasi terhadap persepsi orang lain secara nyata sehingga
mampu menerima dan mengerti perasaan tentang kondisi orang lain. Proses
personal inilah yang selanjutnya disebut “therapeutic use of self” (Northouse
& Northouse, 1998: Videbeck, 2011). Dengan demikian penguasaan terhadap

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


112

berbagai konsep komunikasi dan teknik komunikasi akan berdampak terhadap


keberhasilan terapi yang diberikan kepeda klien dengan risiko bunuh diri.

Tindakan kolaborasi dengan tenaga medis dalam manajemen kasus spesialis


pada klien dengan risiko bunuh diri di ruang Utari sudah dilakukan.Hal ini
sesuai dengan konsep kolaborasi yaitu bersama-sama menyusun rencana,
membuat keputusan, menyelesaiakan masalah, menetapkan tujuan, dan
menerima tanggung jawab dengan bekerja bersama dan komunikasi terbuka
(Stuart, 2011). Fakta ini menunjukkan bahwa konsep kolaborasi cukup
optimal diterapkan ditatanan pelayanan kesehatan khususnya kesehatan jiwa
oleh seluruh tim kesehatan. Kolaborasi antara perawat spesialis jiwa dan
psikiater dalam penanganan masalah risiko bunuh diri dapat dibangun dari
pengkajian sampai dengan evaluasi.

Berdasarkan evaluasi hasil pelaksanaan manajemen kasus dapat dianalisa


bahwa seluruh terapi yang diberikan berfokus untuk menyelesaikan sumber
koping khususnya kemampuan personal dan keyakinan positif. Seluruh paket
menunjukkan adanya peningkatan kemampuan klien dalam mengontrol
perilaku bunuh diri serta menurunkan tingkat perilaku bunh diri.

Tindakan keperawatan yang diberikan dalam rangka membantu klien dalam


menyediakan aset material pada klien dengan risiko bunuh diri dilakukan
dengan memberikan infomasi dan memfasilitasi prosedur mendapatkan
jamkesmas dan SKTM. Tindakan yang belum dilakukan adalah memfasilitasi
klien untuk mendapatkan link dengan berbagai LSM yang membantu
pemenuhan aset material klien.

Evaluasi tidak hanya difokuskan pada kemampuan personal perawat dan klien
namun juga terhadap ketersediaan sarana prasarana penunjang yang
membantu keefektifan terapi sehingga dapat menurunkan dan membantu klien
dalam mengontrol perilaku bunuh diri. Sayangnya prasarana penunjang yang
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


113

tersedia di ruang Utari masih terbatas terutama dalam penyediaan seting


tempat terapi keperawatan yang diberikan.

Kendala lain yang dihadapi oleh residen adalah masih jarangnya perawat
ruangan baik kepala ruang, ketua tim dan perawat yang mengangkat diagnosa
risiko bunuhdiri dan melaksanakan manajemen kasus pada klien dengan
risiko bunuh diri khususnya dalam pemberian terapi generalis. Perawat
ruangan dianggap belum membudaya dalam melakukan manajemen kasus
klien dengan risiko bunuh diri lebih pada belum membudayanya perawat
untuk menerapkan asuhan keperawatan. Perawat masih kadang-kadang
melakukan asuhan keperawatan dan terkadang tidak. Selain itu kemampuan
perawat dalam melakukan asuhan keperawatan masih lebih menekankan pada
kemampuan kognitif klien dalam mengontrol perilaku bunuh diri dan belum
menekankan pada kemampuan psikomotor klien.

Upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi kendala belum membudayanya


perawat ruangan untuk melakukan terapi generalis adalah dengan
menggunakan pola konsultan di unit pelayanan psikiatri. Adanya penjenjangan
dalam manajemen kasus dengan pola konsultan akan meningkatkan kolaborasi
antar perawat di seluruh level pendidikan. Perawat konsultan jiwa minimal
ditempatkan satu di unit pelayanan psikiatri sehingga dapat meningkatkan
mutu pelayanan psikiatri baik terhadap klien maupun keluarga.

5.6. Pandangan penulis tentang penggunaan teori Chronic Sorrow Eakes


dikait dengan diagnosa risiko bunuh diri
Kesedihan kronis (chronic sorrow) merupakan fenomena yang dapat
diidentifikasi dalam kehidupan orang-orang yang mengalami situasi sakit,
cacat maupun kehilangan. Kesedihan kronis adalah reaksi normal yang dapat
ditemui sepanjang kehidupan. Eakes (1998) menambahkan pengalaman

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


114

kesedihan kronis adalah unik pada masing-masing individu dan masing-


masing situasi. orang unik. Pad awalnya teori ini di dasari dari penelitian
tentang pengalaman orangtua yang memiliki anak cacat. (Eakes, 1998). Lalu
kemudian terus dikembangkan dengan beberapa penelitian lain yang tetap
menggunakan pendekatan model teori Chronic Sorrow.

Penulis menggunakan teori Chronic Sorrow sebagai pendekatan pada kasus


klien dengan diagnosa risiko bunuh diri karena penulis melihat ada dampak
kelanjutan/kerugian dari pengalaman masa lalu (kehilangan, kegagalan,
sexual abuse, sakit kronis) yang dialami oleh klien di masa datang. Mutiara
yang penulis dapatkan dari proses pembelajaran teori Chronic Sorrow ini
adalah setiap orang pasti memiliki pengalaman kehilangan di sepanjang
kehidupannya, pengalaman kehilangan ini akan menjadi duka yang
berkepanjangan manakala metode manajemen internal (koping individu)
maupun manajemen eksternal (keluarga, masyarakat, tenaga kesehatan) yang
dimiliki maladaptif. Sebagai individu penulis menilai pengalaman kehilangan
harus disikapi dengan ikhlas, berpikir positif dan selalu optimis. Sebagai
perawat, penulis melihat dengan memahami chronic sorrow perawat dapat
merencanakan intervensi yang tepat untuk klien, mengakui chronic sorrow
sebagai reaksi normal, meningkatkan adaptasi sehat serta member dukungan
empati.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


115

BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
Karya tulis ilmiah ini berfokus pada karakteristik klien, efektifitas tindakan
dan terapi spesialis keperawatan jiwa pada klien risiko bunuh diri dan
hubungan karakteristik dan terapi yang diberikan kepada klien dengan risiko
bunuh diri. Kesimpulan yang didapatkan dari tiga kegiatan tersebut tersebut
adalah sebagai berikut:

6.1.1 Karakteristik klien dengan masalah risiko bunuh diri di Ruang Utari
mayoritas berusia dewasa 25-44 tahun (81,8%), pendidikan rata – rata
tinggi (SMA dan PT) 6orang (54,6)%, belum menikah 7 orang (63,6%)
dan sebagian besar tidak memiliki pekerjaan 10 orang ( 90,9%).
6.1.2 Berdasarkan karakteristik bunuh diri yang dialami dari 11 klien yang
dirawat, antara lain 4 orang (36,4%)) dengan isyarat bunuh diri, 2 orang
(18,2%) dengan ancaman bunuh diri dan 5 orang (45,5%) dengan
percobaan bunuh diri.
6.1.3 Faktor predisposisi penyebab Risiko Bunuh Diri yang paling banyak
ditemukan adalah pada aspek biologis yaitu sexual abuse 4 orang
(36,4%), pada aspek psikologis yaitu kepribadian tertutup 9 orang
(81,8%) dan pada aspek sosial budaya yaitu jarang terlibat kegiatan sosial
11 orang (100%) dan masalah pekrjaan 10 orang (90,9%) . Faktor
presipitasi yang paling banyak ditemukan pada klien Risiko Bunuh Diri
yaitu pada aspek biologis karena putus obat 9 orang (81,8%), pada aspek
sosial budaya yaitu konflik keluarga 8 orang (72,7%), asal stressor
internal sebanyak 11 orang (100%), dengan jumlah stresor lebih dari 2
stresor 11 orang (100%).
6.1.4 Diagnosa medis yang paling banyak ditemukan adalah skizofrenia
paranoid, sedangkan diagnosa keperawatan yang menyertai diagnosa
Risiko Bunuh Diri yaitu, halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosal dan
resiko perilaku kekerasan. Terapi spesialis keperawatan jiwa yang
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


116

dilakukan yaitu terapi kognitif, dan psikoedukasi keluarga. Klien dengan


Risiko Bunuh Diri yang mendapatkan terapi spesialis menunjukkan
perubahan cara berpikir.
6.1.5 Terapi spesialis keperawatan jiwa dengan Risiko Bunuh Diri tidak
berfokus pada satu terapi saja melainkan merupakan gabungan dari
beberapa terapi sesuai dengan kebutuhan klien. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa keberhasilan klien merupakan kombinasi dari macam-
macam terapi modalitas yaitu dari terapi keperawatan, psikofarmaka dari
medik dan lainnya.

6.2 Saran
Berdasarkan simpulan hasil karya ilmiah akhir, ada beberapa hal yang dapat
disarankan kepada pihak – pihak terkait dalam rangka meningkatkan
pelayanan kesehatan jiwa.

6.2.1. Dinas Ksehatan


6.2.1.1. Promosi tentang kesadaran diri tentang bunuh diri berbasis masalah
kesehatan masyarakat
6.2.1.2. Membangun dan mengimplementasikan strategi untuk mengurangi
stigma yang berhubungan dengan klien yang menderita gangguan jiwa
dan pelayanana pencegahan bunuh diri
6.2.1.3. Menerapkan program pencegahan bunuh diri dan mempromosikan
tentang pengurangan tindakan yang berbahaya dan mematikan
6.2.1.4. Melakukan pelatihan terhadap pemberian tindakan yang efektif
6.2.1.5. Mengembangkan akses dan kerjasama lintas ssektor dan lintas program
dalam masyarakat untuk penanganan gangguanjiwa
6.2.1.6. Mendukung penelitian dan upaya pencegahan bunuh diri

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


117

6.2.2. Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit Jiwa


6.2.2.1. Perlunya penempatan perawat spesialis jiwa sebagai konsultan klinis di
ruang rawat inap untuk memberikan kemampuan tingkat mahir pada
klien dalam mengatasi dan mengantisipasi masalah khususnya masalah
risiko bunuh diri.
6.2.2.2. Perlunya penempatan perawat spesialis jiwa di poliklinik konsultasi
keperawatan jiwa untuk melanjutkan pemberian terapi spesialis yang
belum tuntas dilakukan di ruang rawat inap khususnya masalah risiko
bunuh diri.
6.2.2.3. Kepala bidang perawatan perlu meningkatkan kemampuan perawat
ruangan dalam memberikan tindakan keperawatan generalis khususnya
masalah risiko bunuh diri. Upaya yang dapat dilakukan adalah
melakukan pelatihan standar asuhan keperawatan, pendampingan
perawat dalam memberikan tindakan keperawatan generalis, dan
supervisi yang berkesinambungan.
6.2.2.4. Dibuatnya standar pemberian asuhan keperawatan jiwa pada klien
risiko bunuh diri dengan pemberian tindakan keperawatan generalis dan
tindakan keperawatan spesialis
6.2.2.5. Perlu adanya kebijakan dan peraturan tertulis yang mewajibkan
keluarga untuk berperan serta aktif dalam perawatan klien khususnya
masalah risiko bunuh diri

6.2.3. Pendidikan Keperawatan


6.2.3.1 Mengembangkan standar pelaksanaan terapi kognitif untuk klien di
ruang rawat inap psikiatri.
6.2.3.2 Mengembangkan terapi spesialis yang lebih sederhana untuk klien
dengan kemampuan kognitif yang rendah
6.2.3.3 Memberikan materi tambahan tentang strategi kolaborasi yang efektif
dengan tenaga kesehatan lain dan menambakan kemampuan kolaborasi
sebagai kompetensi perawat spesialis jiwa.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


118

6.2.3.4 Mengembangkan paket terapi spesialis keperawatan jiwa sesuai dengan


kondisi klinis klien, misalkan terapi relaksasi prgresif untuk klien pada
rentang kekerasan, terapi perilaku kognitif dan terapi perilaku pada
rentang agresif, dan terapi asertif klien risiko perilaku kekerasan pada
rentang pasif.

6.2.4. Penelitian Keperawatan


6.2.4.1. Memperbanyak penelitian dan melakukan penelitian lebih lanjut
tentang masalah risiko bunuh diri
6.2.4.2. Melakukan penelitian hubungan antara stress dan beban keluarga
terhadap kemampuan keluarga merawat klien dengan risiko bunuh diri.
6.2.4.3. Melakukan penelitian tentang kelayakan tinggal kembali di masyarakat
bagi klien gangguan jiwa sudah tinggal di rumah sakit dalam jangka
waktu panjang
6.2.4.4. Melakukan penelitian tentang pengaruh tinggal di rumah sakit dalam
jangka waktu lama dengan kualitas hidup klien risiko bunuh diri
6.2.4.5. Melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan model teori
Chronnic Sorrow pada masalah-masalah keperawatan jiwa yang lain..

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


119

DAFTAR PUSTAKA

American Phychiatric Association (2012). Definition of a Mental Disorder. www.


dsm5.org.com. diakses pada tanggal 24 Mei 2012
Depkes (2011). Program Kesehatan Jiwa. www. depkes.go.id. diakses pada
tanggal 23 Mei 2013.
Eakes,G.G, dkk (1998). Chronic Sorrow:a Lifespan. http//psychiatry.org. diakses
pada tanggal 25 Mei 2013
Eakes, G.G., Burke, M.L., & Hainsworth, M.A.(1998). Middle-range theory of
Chronic Sorrow. The Journal of Nursing Scholarship
Fortaine, K.L.(2009). Mental health nursing. (6th ed.).New Jersey: Pearson
Education,Inc
Fortinash, K.M & Worret, P.A (2004). Psychiatric Mental Health Nursing. (3rd
ed). St. Louis : Mosby.
Frisch, N.C & Frisch, L.E (2006). Psychiatric Mental Health Nursing (3rd ed).
Canada : Thomson.
Yani, A.(2008). Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Ibrahim, A.S.(2011). Skizofrenia: Spliting personality. Tangerang:Jelajah Nusa.
Kristiani (2009). Cognitive therapy pada pasien gagal ginjal kronis di Rumah
Sakit Fatmawati. Tesis FIK UI. Tidak dipublikasikan.
Maramis, W.F. & Maramis A.A.(2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. (edisi 2).
Surabaya: Airlangga University Press
Mohr,W.K.(2006). Psychiatric mental health nursing. (6 th ed).Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins.
NANDA Internasional (2012). Diagnosis keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta: EGC
Paterson S.J & Bredow T.S (2004). Middle Range Theories : Application to
nursing research. Philadelphia : Lippincott.
Pirruccello L.M (2010). Preventing adolescent suicide. New Jersey : Journal of
Psychosocial nursing and mental health services volume 48. May edition.
Puri, B.K., Laking, P.J. & Treasaden, I.H. (2011). Buku Ajar Psikiatri. (edisi 2).
Jakarta: EGC
Rahayuningsih (2007). Pengaruh terapi kognitif terhadap tingkat harga diri dan
kemandirian klien dengan kanker payudara. Tesis FIK UI. Tidak
dipublikasikan.
Sadock, B.J & Sadock, V.A. (2010). Kaplan & Sadock: Buku Ajar Psikiatri Klinis
(edisi 2). Jakarta: EGC
Shives, R.L.(2005). Basic concepts of psychiatric-mental health nursing. (6th ed.).
Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.
Smith. M (2005). Cognitive therapy reduce risk of repeat suicide attempts.
Journal of University of Pennsylvania School of Medicine.
www.medpagetoday.com. Diakses pada tanggal 24 Juni 2013
Stuart, G.W. (2011). Principles and practice of psychiatric nursing.9th ed.
Mosby.Inc.
Susanto, C.E (2011). Angka bunuh diri meningkat. www.mediaindonesia.com
diakses pada tanggal 17 Mei 2013
Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013


120

Teguh (2011). 19 juta penduduk Indonesia gangguan jiwa.


www.harianhaluan.com. Diakses pada tanggal 24 Mei 2013
Tomey, A.M. & Alligood, M. R. (2006). Nursing Theorists and Their Work. (6th
ed). Maryland Heights : Elsevier.
Townsend,C.M.(2009).Psychiatric mental health nursing. (6th ed.) Philadelphia:
F.A.Davis Company
Varcarolis,E.M.et al.(2006). Foundations of psychiatric mental health nursing.
4th ed. St.Louis. Elseiver Inc.
Varcarolis, E.M & Halter, M.J (2010). Foundation of Psychiatric Mental Health
Nursing : a Clinical approach. St. Louis : Saunders Elsevier.
Videbeck, S.L..(2011). Buku ajar keperawatan jiwa. (Renata Komalasari, dkk,
penerjemah). Jakarta :EGC.
WHO. (2010).Angka bunuh diri di Indonesia.
http//kominfonewscenter.com.diakses pada tanggal 28 Mei 2013

Universitas Indonesia

Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai