UNIVERSITAS INDONESIA
SITI NURJANAH
0906620562
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
ii
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
iii
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
iv
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
v
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
vi
ABSTRAK
Kata kunci : risiko bunuh diri, teori Chronic Sorrow Eakes, terapi kognitif
ABSTRACT
Suicide is considered as a conscious of a person to end her or his life. Suicidal
behavior is a deliberate act to kill her or himself. Suicide involves an ambivalence
between the desire to live and wanting to die. Suicidal behavior consists of three
tiers in the form of ideas / cues suicide, self unuh threats, and suicide attempts
(Videbeck, 2011). Someone at risk of suicide is when they are not able to get the
solution of problems and suffering. The purpose of writing this scientific paper
was to describe the result of specialized case Stuart’s Stress Adaptation and
Eakes’s Chronic Sorrow Theories in Marzuki Mahdi Hospital. The Nursing
interventions were provided to 11 clients using cognitive therapy. The cognitive
therapy provided to the clients showed the improvement in the prevention of
suicidal behavior. The cognitive therapy has demonstrated the effectiveness of
positive thingking abilitiet of the cliens.It is recommended that the suicidal risk
clients can be treated with ognitive therapy using the combination of the Stuart’
Stress Adaptation and Eakes’ Chronic Sorrow Theories, as well as the
combination of other therapies to be complemented to each other.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulilahi Rabbil Alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Penulisan karya
ilmiah akhir dengan judul Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa
pada Klien Risiko Bunuh Diri dengan Pendekatan Teori Chronic Sorrow
Eakes di Ruang Utari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Spesialis
Keperawatan Jiwa pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak inilah yang
membuat penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Oleh karena itu,
residen mengucapkan terimakasih kepada:
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
viii
8. Kepala ruangan dan seluruh staf ruang Utari Rumah Sakit Marzoeki
Mahdi Bogor.
9. Seluruh klien dan keluarga yang telah terlibat dalam proses praktik
residensi
10. Orangtua, kakak dan keponakan atas doa dan dukungannya.
11. Suami (Mas Sri Wahyu Januriyanto) dan anak-anakku (Shabrina Khansa
Mumtaz dan Syafiq Royyan Mumtaz), terima kasih atas doa, bantuan,
pengertian dan kesabarannya.
12. Rekan-rekan Program Pendidikan Perawat Spesialis Keperawatan Jiwa.
13. Semua pihak yang tidak dapat residen sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian karya ilmiah akhir ini.
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga karya ilmiah akhir ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu, khususnya ilmu keperawatan jiwa.
Penulis
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. i
LEMBAR PERSETUJUAN…………………………………………………….. ii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………… iii
PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………………………… iv
PERSETUJUAN PUBLIKASI………………………………………………….. v
ABSTRAK………………………………………………………………………... vi
KATA PENGANTAR …………………………………………………………... vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. ix
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……………………………………………….. 1
1.2. Tujuan….. ..…………………………………………………… 9
1.3. Manfaat Penelitian ……………………………………………. 10
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
x
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Klien………………………………………… 90
5.2 Hasil pengkajian kondisi klinis..…………………………… 95
5.3 Faktor mekanisme koping…………………………………. 106
5.4 Diagnosa keperawatan……………………………………… 106
5.5 Efektifitas manajemen kasus spesialis……………………… 107
5.6 Pandangan penulis tentang penggunaan teori Chronic Sorrow 113
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
3
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
4
Gangguan jiwa menurut Stuart (2011) adalah gangguan otak yang ditandai
oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi
(penangkapan panca indera). Seseorang yang mengalami gangguan jiwa
akan menunjukkan terganggunya fungsi secara keseluruhan sebagai akibat
dari terganggunya kondisi psikologis, biologis, serta sosial dari stressor
yang dialaminya (Maramis & Maramis, 2009). Hasil Riskesda (2007)
menunjukan terdapat 19 juta penduduk Indonesia mengalami masalah
kejiwaan dan satu juta diantaranya mengalami gangguan jiwa berat atau
psikosis. Klien yang mengalami gangguan jiwa sangat rentan dan berisiko
melakukan tindakan bunuh diri. Risiko bunuh diri menurut NANDA
(2012) adalah berisiko menyakiti diri sendiri dan cedera yang mengancam
jiwa. Sedangkan bunuh diri merupakan sebuah peringatan untuk perilaku
merusak diri atau mencelakakan diri sendiri (Sadock & Sadock, 2010).
Bunuh diri menurut Videbeck (2011) adalah tindakan yang dilakukan
dengan sengaja untuk membunuh diri sendiri. Roy (2000, dalam Videbeck,
2011) menyatakan upaya bunuh diri adalah suatu tindakan bunuh diri yang
gagal dilakukan atau tidak berhasil dilakukan sampai selesai, karena
berhasil ditolong oleh orang lain, atau tindakan bunuh diri selesai
dilakukan tetapi berhasil diselamatkan. Menurut Stuart (2011) lebih dari
90% seseorang yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri
memiliki masalah kejiwaan. Pada klien skizofrenia insiden terjadinya
bunuh diri sangat tinggi yaitu 40% mempunyai ide bunuh diri, 20 – 40%
pernah melakukan percobaan bunuh diri dan 10 – 15% mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri (Hunt et,al, 2006 dalam Stuart, 2011).
Skizofrenia merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan
menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga
merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai dimana-mana sejak
dahulu kala.Meskipun demikian pengetahuan tentang sebab-musabab dan
patogenisanya sangat kurang (Maramis & Maramis, 2009).
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
5
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
6
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
7
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
8
diberikan pada klien dengan risiko bunuh diri meliputi terapi generalis dan
terapi spesialis keperawatan jiwa. Pada penulisan ini residen hanya
memberikan terapi spesialis berupa terapi kognitif pada klien dengan
risiko bunuh diri yang berfokus pada pikiran dan kepercayaan untuk
membangun koping yang adaptif terhadap masalah hidup. Penelitian yang
dilakukan Byrne (2005) menunjukan pada klien yang diberikan terapi
kognitif terjadi penurunan sebesar 50% terhadap risiko bunuh diri.
Berdasarkan data tersebut penulis tertarik untuk melakukan suatu studi
ilmiah tentang manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien
dengan risiko bunuh diri di ruang Utari.
Pendekatan teori model yang digunakan oleh penulis adalah model stres
adaptasi Stuart dan model Chronic Sorrow Eakes. Model stress adaptasi
Stuart memberikan gambaran pengkajian tentang faktor predisposisi,
stressor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, serta
mekanisme koping. Penulis memilih model Chronic Sorrow karena
memandang model ini memiliki kelebihan yaitu mampu menjelaskan
bagaimana seseorang bisa mengalami kesedihan kronis di sepanjang
kehidupan sehingga bisa menggambarkan kondisi pada klien dengan
risiko bunuh diri. Konsep utama dalam model teori Chronic Sorrow Eakes
terdiri dari pengalaman kehilangan, disparitas, kesedihan kronis, metode
manajemen internal dan eksternal, serta peristiwa pemicu. (Eakes, 1998).
1.2.Tujuan umum
Memberikan gambaran hasil manajemen kasus spesialis pada klien risiko
bunuh diri melalui pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan Theory
Chronic Sorrow di RSMM Bogor.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
9
1.3. Manfaat
1.3.1. Manfaat aplikatif
1.3.1.1 Diperoleh gambaran mengenai proses keperawatan pada klien
dengan diagnosa keperawatan risiko bunuh diri dengan menerapkan
Model Stress Adaptasi Stuart dan Theory Chronic Sorrow Eakes di
ruang Utari RSMM Bogor
1.3.1.2 Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan memberi masukan
bagi pemberi pelayanan kesehatan jiwa dalam memberikan
pelayanan pada klien dengan risiko bunuh diri dengan menerapkan
tindakan keperawatan generalis dan tindakan keperawatan spesialis
untuk klien, kelompok, dan keluarga.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
10
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
11
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
12
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab dua ini membahas tentang konsep dan teori keperawatan yang melandasi
manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien dengan risiko bunuh diri
yang terdiri dari input, proses dan output. Input terdiri dari pemahaman tentang
konsep bunuh diri,faktor predisposisi, stressor presipitasi, penilaian terhadap
stressor dan sumber koping. Proses meliputi metode manajemen, sumber koping,
mekanisme koping , manajemen pelayanan keperawatan professional, serta terapi
kognitif. Output menggambarkan hasil yang diharapkan. Model adaptasi Stuart
dan teori Chronic sorrow yang terdiri dari lima komponen utama (pengalaman
kehilangan, disparitas, penderitaan berkepanjangan, metode manajemen dan
peristiwa pemicu) menjadi landasan asuhan keperawatan spesialis keperawatan
jiwa pada klien dengan risiko bunuh diri. Skema 2.1. menggambarkan kerangka
kerja berdasarkan teori Stres Adaptasi Stuart (2011) dan teori Chronic Sorrow
Eakes (1998).
2.1 Input
Penulisan ini diawali dengan konsep sentral dari permasalahan yang dibahas
yaitu tentang konsep bunuh diri. Kemudian dilanjutkan dengan penulisan
sesuai dengan kerangka teori.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
13
1. Pengalaman kehilangan
2. Disparitas
3. Peristiwa pemicu
CHRONIC SORROW
( Lifespan Chronic Sorrow Eakes, 1998)
Skema 2. 1 kerangka kerja berdasarkan teori Stres Adaptasi Stuart (2011) dan Theory of Chronic Sorrow Eakes (1998)
Universitas Indonesia
Manajemen kasus..., Siti Nurjanah, FIK UI, 2013
14
Pikiran bunuh diri terjadi pada orang yang rentan terhadap stressor dan
akan terus menjadi gagasan untuk jangka waktu lama. Pada saat pikiran
bunuh diri menjadi sangat kuat maka yang timbul adalah upaya bunuh
diri. Upaya bunuh diri menurut Videbeck (2011) adalah suatu tindakan
bunuh diri yang gagal dilakukan atau tidak berhasil dilakukan sampai
selesai. Perilaku bunuh diri menurut Stuart (2011) adalah tindakan
yang dilakukan secara sengaja untuk membunuh diri sendiri. Tingkah
laku bunuh diri adalah tanda yang salah diartikan bahwa seseorang
merasa putus asa atau putus harapan (Stuart, 2011). Tingkah laku bunuh
diri termasuk upaya untuk bunuh diri, isyarat bunuh diri, dan benar-
benar bunuh diri. Seseorang yang berisiko melakukan tindakan bunuh
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Faktor predisposisi
Stresor presipitasi
Sumber koping
Mekanisme koping
Konstruktif Destruktif
Universitas Indonesia
Perilaku bunuh diri menurut Sadock dan Sadock (2011) serta Varcarolis
dan Halter (2010). merupakan sesuatu yang diturunkan dalam keluarga
kembar monozigot memiliki risiko lebih tinggi melakukan bunuh diri
(Stuart, 2011; Videbeck, 2011). Selanjutnya riwayat keluarga dengan
bunuh diri secara signifikan berperan sebagai faktor risiko terhadap
perilaku destruktif terhadap diri sendiri (Stuart, 2011; Videbeck, 2011;
Sadock & Sadock, 2011). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa perilaku bunuh diri yang terjadi dapat dihubungkan dengan
abnormalitas pada struktur, fungsi dan neurotransmitter otak, riwayat
penggunaan NAPZA dan frekuensi dirawat.
Universitas Indonesia
2011). Bunuh diri merupakan cara mengakhiri semua rasa sakit yang
dirasakan (Fortinash&Worret, 2004).
2.1.2.3. Faktor sosial budaya spiritual
Teori sosial budaya meyakini faktor sosial dan budaya sebagai faktor
penyebab risiko bunuh diri. Pengalaman seseorang sulit beradaptasi
terhadap permintaan sosial budaya dikarenakan konsep diri yang rendah
dan mekanisme koping. Stresor sosial dan budaya menjadi ancaman
untuk seseorang dan dapat mempengaruhi berkembangnya perilaku
maladaptif dan menjadi onset terjadinya risiko bunuh diri. Faktor
budaya yang di dalamnya ada faktor spiritual, nilai yang dianut oleh
keluarga, pandangan terhadap perilaku yang menyebabkan kematian,
berdampak pada angka kejadian bunuh diri (Karch et al, 2008 dalam
Varcarolis & Halter, 2010). Durkheim (2010) dalam bukunya yang
berjudul Suicide menyatakan kegagalan sistem sosial dalam mengontrol
perilaku impulsive seseorang.menjadi penyebab terjadinya bunuh diri.
Universitas Indonesia
Nasrullah (2009) menyatakan dalam fiqih Islam bunuh diri lebih sering
dikenal dengan istilah intihar yang berarti usaha seseorang untuk
membunuh dirinya sendiri.Dalam ensiklopedia yang diterbitkan oleh
kementerian wakaf Kuwait dijelaskan, bunuh diri bisa dikategorikan ke
berbagai macam. Jika dilihat dari dari segi media yang digunakan,
bunuh diri bisa dikategorikan menjadi dua (Nasrullah, 2009). Bunuh
diri dengan cara yang positif (menggantung diri, lompat dari gedung
bertingkat atau menabrakkan diri). Ke dua bunuh diri dengan cara yang
negatif (mengakhiri hidup dengan melanggar perkara yang wajib
misalnya berhenti makan atau sengaja menolak untuk berobat tanpa
alasan jelas). Penting untuk diketahui, meski cara yang digunakan
Universitas Indonesia
positif, bukan berarti bunuh diri yang dilakukan juga positif. Pada
dasarnya semua agama tidak ada yang menyetujui bunuh diri.
Maraknya kasus bunuh diri patut menjadi perhatian semua pihak. Dari
komunitas yang terkecil, keluarga sebagai tempat berbagi. Pemerintah
harus menjamin kesejahteraan rakyatnya dan Agama adalah muara
menaruh asa, menggantungkan harapan pada Yang Maha Esa
(Nasrullah, 2009). Sebenarnya, kasus bunuh diri seperti yang terjadi
akhir – akhir ini tidak akan terjadi jika para pelakunya memiliki
keyakinan akan agama mereka yang kuat. Dalam setiap ajaran
agamapun tidak ada yang membenarkan akan bunuh diri ini salah
satunya Islam, dimana dalam pandangan Islam hal ini adalah perbuatan
yang sangat keji, dan termasuk dosa yang sangat besar. Serta kegiatan
bunuh diri ini dianggap sebagai kegiatan manusia yang kalah/pengecut.
Terkait dengan stigma bunuh diri, setiap manusia diajarkan sejak kecil
bahwa orang yang bunuh diri adalah memalukan, berdosa, lemah, egois,
manipulatif serta mengajarkan bahwa bunuh diri bisa menular.
(Feigelmen, 2008). Varcarolis dan Halter (2010) menyatakan bahwa
keluarga yang terpandang dalam suatu budaya, jika ada anggota
keluarga yang melakukan bunuh diri hal ini akan menjadikan aib bagi
keluarga tersebut. Seseorang yang baru mengalami kehilangan,
perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini, dan berkurangnya
dukungan sosial merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang
melakukan bunuh diri (Stuart, 2011).
Universitas Indonesia
Faktor presipitasi utama pada risiko bunuh diri yang dialami oleh
klien stressor sosial budaya berupa kesedihan kronis (Eakes, 1998).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Perasaan sedih yang dialami oleh klien juga berpengaruh terhadap perilaku
dan hubungan sosial. Pada kondisi adaptif penilaian yang ditampilkan
secara perilaku dan hubungan sosial berupa tindakan mencari pertolongan
dan adanya komunikasi terbuka dengan anggota keluarga dalam
melakukan penyelesaian masalah. Namun penilaian stressor juga dapat
dimanifestasikan dalam bentuk perilaku dan tindakan sosial yang
maladaptif seperti menghindari melakukan perawatan dan menghindari
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Aset material yang dapat diperoleh klien dengan risiko bunuh diri
meliputi dukungan finansial yang membantu perawatan klien di rumah
sakit, meliputi ketersediaaan dana baik dari asuransi maupun tabungan.
Tidak terpenuhinya aset material seperti penghasilan kurang, sulit
memperoleh layanan kesehatan, tidak memiliki pekerjaan/posisi akan
berpotensi menimbulkan risiko bunuh diri pada klien akibat tidak
optimalnya sumber koping yang dimiliki oleh klien. Keyakinan positif
pada klien dengan risiko bunuh diri diperoleh dari keyakinan klien
terhadap kondisi kesehatan dan kemampuan diri dalam mengontrol
perasaan sedih berkpanjangan yang dirasakan. Adanya keyakinan yang
positif akan berpotensi meningkatkan motivasi klien untuk menggunakan
mekanisme koping yang adaptif. Sebaliknya keyakinan yang negatif akan
meningkatkan risiko bunuh diri yang dialami oleh klien dan jelas
berpotensi menimbulkan perilaku maladaptif pada klien. Pada klien risiko
bunuh diri umumnya tidak memiliki kemampuan untuk membuat
keputusan secara rasional. Orang dengan risiko bunuh diri ini cenderung
menghindar (Stuart, 2011, Videbeck, 2011, Sadock & Sadock, 2010).
Kehilangan terjadi akibat dari perbedaan antara suatu “ideal” atau harapan
dan situasi nyata atau pengalaman. Kehilangan adalah situasi aktual atau
potensial dimana seseorang atau objek yang dihargai tidak dapat dicapai
atau diganti sehingga di rasakan tidak berharga seperti semula (Eakes,
1998).
Universitas Indonesia
2.1.7. Disparitas
Disparitas adalah kondisi dimana seseorang mengacu pada perbedaan
antara kondisi ideal dan situasi yang nyata karena beberapa
kerugian/pengalaman kehilangan (Eakes,1998)
2.1.9. Penderitaan
Penderitaan atau dukacita kronis adalah suatu perbedaan yang
berkelanjutan sebagai hasil dari suatu kehilangan, dengan karakteristik
dapat menyebar dan bisa juga menetap. Gejala berduka berulang pada
waktu tertentu dan gejala ini berpotensi progresif. Studi NCRCS (The
Nursing Consortium for Research on Chronic Sorrow) ini meliputi :
Individu dengan kanker (Eakes, 1993), infertility (Eakes et al., 1998),
Multiple Sclerosis (Hainsworth, Burke, Lindgren, & Eakes, 1993 ;
Hainsworth, 1994), dan Penyakit Parkinson (Lindgren, 1996). Individu
yang memiliki pasangan hidup dengan penyakit mental kronik
(Hainsworth, Busch, Eakes, & Burke, 1995) serta orang tua yang memiliki
anak dewasa dengan penyakit mental kronik (Eakes, 1995). Sedangkan
studi tentang individu yang berisiko bunuh diri belum dilakukan (Eakes
1998).
Universitas Indonesia
2.2. Proses
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
sosial dan harga diri rendah, akan tetapi masalah risiko bunuh
diri adalah masalah yang perlu mendapatkan perhatian khusus
dari tenaga kesehatan jiwa, khususnya perawat jiwa.
a. Tindakan Primer
Tindakan primer terdiri dari aktivitas dengan menyediakan
dukungan, informasi dan pendidikan untuk mencegah bunuh
diri. Tindakan primer dapat diberikan pada komunitas tertentu,
seperti sekolah, tempat peribadahan, rumah sakit dan tempat
kerja (Joe & Bryant, 2007 dalam Varcarolis & halter 2010).
Tindakan primer (tindakan preventif) yang dapat dilakukan
melalui promosi tentang kesadaran diri tentang bunuh diri
berbasis masalah kesehatan masyarakat, mendirikan suatu badan
khusus untuk pencegahan bunuh diri, membangun dan
mengimplementasikan strategi untuk mengurangi stigma yang
berhubungan dengan klien yang menderita gangguan jiwa, dan
pelayanan pencegahan bunuh diri, menerapkan program
pencegahan bunuh diri, mempromosikan tentang pengurangan
tindakan yang berbahaya dan mematikan, melakukan pelatihan
terhadap pemberian tindakan yang efektif, mengembangan akses
dan kerjasama lintas sektor dan lintas program dalam
masyarakat untuk penganan gangguan jiwa dan penyalahgunaan
zat, mendukung penelitian tentang bunuh diri dan upaya
Universitas Indonesia
b. Tindakan Sekunder
Tindakan sekunder adalah suatu tindakan yang dilakukan ketika
terjadi situasi krisis bunuh diri terjadi. Area praktik di rumah
sakit, klinik, penjara, dan telepon hotline. Pada tatanan
masyarakat bentuk pelayanan primer dan sekunder sangat
penting untuk mencegah bunuh diri (Varcarolis & Halter, 2010).
c. Tindakan Tersier
Tindakan tersier adalah tindakan yang diberikan kepada keluarga
atau teman dari seseorang yang telah melakukan bunuh diri. Hal
ini untuk mengurangi efek trauma dari kejadian (Varcarolis &
Halter, 2010). Perawat harus memahami duka atau kehilangan,
mendampingi mereka, memberikan konsultasi, dan memberikan
perhatian terhadap mereka (Batcher & Douglas, 2006 dalam
Varacolis & Halter 2010). Hal ini sangat penting, karena angka
bunuh diri terus meningkat.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Teori Chronic sorrow merupakan salah satu teori Middle Range yang
didokumentasikan pertama oleh Eakes pada tahun 1998, dengan
kerangka kerja yang menjelaskan tentang bagaimana individu dapat
menanggapi kerugian terhadap peristiwa yang sedang berlangsung.
Teori Chronic Sorrow membahas tentang fenomena yang spesifik
yaitu tentang masalah- masalah yang timbul dari penyakit kronis
mencakup proses berduka, kehilangan, faktor pencetus dan metoda
manajemennya. Karena kespesifikan teori tersebut, maka teori ini
mudah diaplikasikan dalam praktik keperawatan. Banyak penelitian
yang telah dilakukan sebagai aplikasi teori ini terkait dengan penyakit
kronik seperti pada klien multiple sklerosis, diabetes mellitus pada
anak, anemia sickle cell pada anak, epilepsi, sindrom down, spina
bifida, dan lain-lain. Tetapi belum banyak untuk kasus keperawatan
jiwa khususnya risiko perilaku bunuh diri. Konsep utama dari teori
Chronic sorrow adalah penderitaan/duka cita kronis,
kehilangan/kerusakan, peristiwa pencetus, dan metode manajemen.
Universitas Indonesia
2.3 Output
Hasil akhir dari pelaksanaan terapi, peningkatan sumber koping dan mekanisme
koping dengan pendekatan teori stres adaptasi Stuart dan teori Chronic Sorrow
Eakes adanya penurunan gejala pada diagnosa risiko bunuh diri dan peningkatan
kemampuan dalam mengidentifikasi pikiran otomatis negatif sehingga klien
mammpu mengcounter dengan pikiran positif. . Selain itu, kemampuan dalam
menghadapi masalah juga terjadi peningkatan. Sejalan dengan makna mendalam
dari teori Chronic Sorrow Eakes, tujuan pelaksanaan asuhan keperawatan pada
klien dengan risiko bunuh diri adalah meningkatkan kemampuan klien dalam
menghadapi kesedihan yang kronis.
Universitas Indonesia
BAB 3
PROFIL LAHAN PRAKTEK
Sebelum ada RSJ, maka klien yang mengalami gangguan jiwa dirawat
di Rumah Sakit Umum atau Tentara, juga dipenjara dan kantor polisi.
Mereka dikurung dan diasingkan. Fasilitas perawatannya dilengkapi
jeruji besi disetiap bangsal dengan pintu besi yang kuat. Penampungan
seperti itu terdapat di RS Cina di Batavia, Semarang, dan Surabaya.
RSJ pertama yang dibangun Pemerintah Belanda adalah RSJ Bogor.
Dokter pribumi pertama yang menjadi direktur Rumah Sakit itu adalah
dr Marzoeki Mahdi (1946-1950). Pada masa penjajahan Jepang,
sebagian bangunan RSJ Bogor dipakai untuk penampungan tentara
Jepang dan sebagian lain untuk karantina penyakit menular. Pemerintah
Belanda kemudian juga membangun rumah sakit serupa di Lawang,
Magelang, dan Sabang. RSJ Sabang ditutup pada zaman Jepang dan
kliennya dialihkan ke Lawang dan Bogor.
tahun 1990-an. Pada tahun 1998, rumah sakit itu bekerja sama dengan
sebuah yayasan untuk merawat para pecandu NAPZA. Kerja sama itu
berakhir pada tahun 2000 karena terjadi ketidaksesuaian metode dan
konsep dalam cara perawatan, penyembuhan, dan pemulihan.
Pada tahun 2001 sesuai dengan Visi rumah sakit sebagai model
kemandirian dan perkembangan zaman serta adanya peningkatan
pengetahuan di bidang keperawatan, sehingga hampir semua RSJ di
Indonesia berganti nama dan RSJ Bogor berganti nama menjadi
RSMM. Perkembangan tersebut juga memberi dampak pada pelayanan,
sehingga dianggap perlu untuk meningkatkan sistem pelayanan
keperawatan yang bisa menjadi model dan mandiri. RSMM bekerja
sama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-
UI) telah mengembangkan bentuk pelayanan keperawatan profesional
yang dikenal dengan Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
5 Tenaga Keperawatan:
Universitas Indonesia
a) Kualitas SDM yang memadai dari mulai tenaga medis dan non
medis
b) Pelayanan unggulan di bidang kesehatan jiwa
c) Pelayanan umum dan kebidanan
d) Fasilitas penunjang rehabilitasi yang lengkap
e) Telah banyak perawat yang mempunyai tingkat pendidikan
setingkat sarjana.
f) Ruang perawatan telah banyak yang menggunakan metode tim
g) Memiliki fungsi sebagai tempat penelitian, pendidikan dan
pengembangan keperawatan.
h) Adanya ruang perawatan yang telah menggunakan model
pelayanan keperawatan profesional dan menjadi rujukan nasional
dalam pelaksanaan model tersebut.
3.1.6.2. Kelemahan
3.1.6.3. Peluang
Universitas Indonesia
3.1.6.4. Tantangan
Universitas Indonesia
Kegiatan riset keperawatan terkait dengan pilar patient care delivery di unit
psikiatri telah dilakukan oleh mahasiswa Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI
sejak tahun 2007. Riset keperawatan yang dilakukan meliputi penerapan
berbagai terapi modalitas yang telah dikembangkan. Hasil riset tersebut telah
didesiminasikan di lingkungan RSMM. Selain ruangan psikiatri ruangan yang
juga dikembangkan menjadi ruang MPKP adalah 2 ruangan di unit NAPZA
dan 3 ruangan di unit pelayanan umum. Pada Bulan Februari dan Maret 2013
sudah di buka juga ruangan psikiatri khusus untuk anak dan remaja serta
ruangan CLP. Kegiatan yang telah dilakukan meliputi pelatihan MPKP,
pendampingan program MPKP, dan pelaksanaan supervisi kegiatan MPKP
dengan sasaran bidang keperawatan, kepala ruang, ketua tim dan perawat
pelaksana. Selain itu pelatihan Asuhan keperawatan jiwa untuk anak dan
remaja juga sudah dilakukan pada tanggal 23-25 April 2013 seiring dibukanya
ruang Dewi Amba sebagai ruang rawat inap untuk klien jiwa anak dan remaja.
Ruang Utari merupakan salah satu ruangan di unit pelayanan umum khusus
merawat klien perempuan yang sakit jiwa. Manajemen pelayanan keperawatan
yang digunakan menggunakan pendekatan MPKP. Berikut ini diuraikan
tentang gambaran profil ruang Utari dan manajemen pelayanan keperawatan
profesional di ruang Utari.
Universitas Indonesia
4.1.2.2. Ketua tim 1 dan 2, dari 18 kegiatan yang dibudayakan, hasil supervisi
insidentil menunjukan bahwa ada peningkatan kegiatan pembudayaan
yang mencapai nilai lulus >75. Dengan adanya fakta tersebut maka
kemampuan akhir yang dicapai oleh kedua ketua tim adalah 18 kegiatan
lulus dengan nilai >75
Universitas Indonesia
Tabel 3.4
Hasil Pencapaian Kemampuan Kepala Ruang, Ketua Tim dan
Perawat Pelaksana dalam Melaksanakan Pembudayaan Pilar-Pilar
MPKP Ruang Utari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, April 2013
Pilar Standar Kesepakatan Hasil Total
(lulus >75)
Kepala Manajemen 19 19 19 32
Ruang Approach
Compensatory 2 2 2
Reward
Professional 4 4 4
Relationship
Compensatory 1 1 1
Reward
Professional 2 2 2
Relationship
Compensatory 1 1 1
Reward
Professional 2 2 2
Relationship
Perawat Manajemen 1 1 0 7
Pelaksana Approach
yang positif, dimana suatu kegiatan yang sudah pernah dikerjakan dengan
baik menjadi turun kualitasnya karena tidak membudaya. Kegiatan hanya
dilakukan kalau ada tindakan supervisi . Kendala lain berkaitan dengan
padatnya acara atau kegiatan staf perawat khususnya karu dan katim untuk
mengikuti rapat atau program orientasi pegawai baru. Sementara kendala
yang paling dirasakan oleh perawat dalam asuhan klien adalah kurangnya
penghargaan dari atasan atas apa yang telah dilakukan dan minimnya
tindakan evaluasi oleh supervisor di ruangan, sehingga motivasi yang baik
menjadi menurun dan kualitas asuhan juga menurun.
Universitas Indonesia
Berdasarkan seting ruangan yang ada di ruang Utari, ruangan ini belum
memenuhi standar ideal ruang perawatan. Analisa tersebut didasarkan
pada tingkatan efektifitas dan efisiensi asuhan keperawatan yang dapat
diberikan baik klien. Bentuk ruangan yang berputar kurang efektif untuk
mencapai asuhan keperawatan secara optimal. Terbatasnya ruangan
menyebabkan terapi yang diberikan kepada klien dan keluarga dilakukan
di selasar sehingga kurang memperhatikan privacy dan kenyamanan
pelaksanaan terapi. Untuk lebih jelasnya, skema ruang Utari dapat dilihat
dari gambar 3.1
TAMAN
TAMAN
TAMAN
Ruang
Kamar makan
Ruang tidur klien
perawat
TAMAN Dapur+
WC Kamar tidur
klien
Ruang
diskusi
Universitas Indonesia
Ket:
pintu
BAB 4
PENERAPAN MANAJEMEN SPESIALIS KEPERAWATAN
JIWA PADA DIAGNOSA KEPERAWATAN RISIKO
BUNUH DIRI
Jumlah klien yang dirawat selama periode residensi 3 sebanyak 54 orang. Dari 54
orang klien kelolaan terdapat 11 orang klien (20,4%) diagnosa risiko bunuh diri.
Diagnosa risiko bunuh diri masih jarang di angkat dibandingkan dengan diagnosa
keperawatan lain seperti halusinasi, harga diri rendah atau isolasi sosial. Padahal,
jika dilihat dari jumlah dan presentase kasus risiko bunuh diri, jumlahnya cukup
banyak. Risiko bunuh diri adalah salah satu bentuk kegawatdaruratan psikiatri,
sehingga ketika berada di ruang intermediate sekalipun, perawat harus memiliki
kemampuan merawat klien dengan risiko bunuh diri dengan baik. Dari 11 kasus
risiko bunuh diri selanjutnya diuraikan berdasarkan tingkatan bunuh diri yaitu
isyarat bunuh diri sebanyak 4 orang (36,4%), ancaman bunuh diri sebanyak 2
orang (18,2%) dan percobaan bunuh diri sebanyak 5 orang (45,5%). Berikut ini
dijelaskan tentang manajemen kasus spesialis pada klien dengan risiko bunuh diri.
Universitas Indonesia
1 Usia
2 Pendidikan
3 Pekerjaan
Bekerja 1 0 0 1 9,1
Tidak bekerja 3 2 5 10 90,9
4 Status pernikahan
Belum Menikah 3 7 1 7 63,6
Menikah 1 1 1 3 27,2
Janda 0 0 1 1 9,1
25 tahun dan 9 orang (81,8%) berada pada usia antara 25-44 tahun. Pendidikan
sebagian besar klien adalah pendidikan menengah 7 oang (63,6%). pendidikan
rendah dan tinggi sama banyak masing-masing sebesar 2 orang (18,2%).
Pekerjaan rata-rata adalah tidak bekerja sebanyak 10 orang (90,9%) sedangkan
yang bekerja sebanyak 1 orang (9,1%). Status pernikahan sebagian besar
belum menikah 7 orang (63,6%), menikah sebanyak 3 orang (27,2%), janda
sebanyak 1 orang (9,1%). Berdasarkan onset atau lama menderita gangguan
jiwa didapat sebagian besar menderita gangguan jiwa lebih dari 10 tahun
sebanyak 7 orang (72,7%), 1 orang sudah menderita selama1 tahun (9,1%),dan
2 orang (18,2%) lebih dari 1-10 tahun. Frekuensi masuk rumah sakit diperoleh
rata-rata yang terbanyak adalah sudah pernah masuk lebih dari 5 kali yaitu 4
orang (36,4%), kemudian 2-5 kali sebanyak 5 orang (45,5%), dan 1 kali
sebanyak 2 orang (18,2%).
Universitas Indonesia
Tabel 4.2.
Distribusi Faktor Predisposisi Risiko bunuh diri pada klien di Ruang
Utari RSMM Periode 18 Februari-19April 2013 (N=11)
No Faktor Predisposisi Tingkat Bunuh Diri Prosentase
(%)
Isyarat Ancaman Percobaan n
1 Biologis
2 Psikologis
3 Sosial Budaya
Universitas Indonesia
4.2.1.3 Faktor psikologis; pada sebagian besar kasus ditemukan bahwa klien
memiliki tipe kepribadian yang tertutup sebanyak 9 orang (81,8%),
sehingga tidak memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam
hidupnya. Selain itu ditemukan riwayat kehilangan orang yang berarti
baik karena kematian maupun perceraian sebanyak 8 klien (72,7%).
Adanya pengalaman kekerasan fisik baik oleh anggota keluarga
maupun orang lain ditemukan pada 3 klien (27,3%). Sedangkan
adanya pengalaman kekerasan seksual ditemukan pada 4 kasus
(36,4%).
4.2.1.4 Faktor sosial budaya: Pada sebagian besar kasus ditemukan bahwa
klien memiliki latar belakang tidak bekerja/masalah pekerjaan
sebanyak 10 orang (90,9%) dan Kurangnya keterlibatan klien dengan
masyarakat dalam kegiatan sosial yang ada dalam masyarakat juga
menempati jumlah kasus yang sama yaitu sebanyak 10 (90,9%).
Pendidikan rendah sebanyak 5 orang (45,4). Konflik dengan keluarga
sebanyak 4 orang (63,4%). Sedangkan faktor kelima yang menjadi
faktor predisposisi masalah risiko bunuh diri pada dimensi sosial
budaya adalah masalah pernikahan sebanyak 8 kasus (72,7%).
Universitas Indonesia
Tabel 4.3.
Distribusi Faktor Presipitasi Risiko bunuh diri di Ruang Utari RSMM
(N=11) 18 Februari-19 April 2013
1 Sifat
Biologis
1. putus obat
3 2 4 9 81,8
Psikologis
1. Keinginan tidak terpenuh 1 1 1 3 27,2
(kesal)
1 0 1 2 18,2
2. Kegagalan dalam
pekerjaan (sedih/malu) 2 1 3 6 54,5
3. Putus cinta/Kegagalan
dalam
pernikahan(sedih/malu) 2 1 0 3 27,2
4. Di ejek( sedih/malu)
Sosial Budaya 1 0 2 3 27,2
1. Masalah ekonomi 1 0 1 2 18,2
2. Masalah pekerjaan
3. Konflik keluarga 2 1 5 8 72,7
2 Asal stressor
Internal 4 2 5 11 100
Eksternal 3 1 4 8 72,7
3 Waktu
4 Jumlah stressor
>2 4 2 5 11 100
4.3.3. Waktu dan lamanya stresor: rata-rata klien telah terpapar dengan
stresor selama lebih dari 6 bulan sebanyak 6 orang (54,5%).
Selebihnya mengalami stressor kurang dari 6 bulan sebanyak 5 orang
(45,5%).
Universitas Indonesia
Tabel 4.4.
Distribusi Penilaian terhadap Stressor Klien Risiko bunuh diri
di Ruang Utari RSMM (N=11) Periode 18 Februari – 19 April 2013
1 Respon Kognitif:
Tidak mampu memecahkan
4 2 5 11 100
masalah
Supresi pikiran 4 2 5 11 100
2 Respon Afektif:
Marah 3 2 4 9 81,8
Mudah tersinggung
3 1 4 8 72,7
Sedih
4 2 5 11 100
3 Respon Fisiologis:
Lemah 2 1 2 5 45,5
Kurang nafsu makan
2 1 3 6 54,5
sulit tidur
3 2 4 9 81,8
4 Respon Perilaku:
Murung 4 2 5 11 100
Menangis 2 2 3 7 63,6
Marah-marah
3 1 3 7 63,6
5 Respon Sosial:
Bermusuhan 3 2 5 10 90,9
Menarik diri 2 1 4 7 63,6
Menolak interaksi
3 2 3 8 72,7
Universitas Indonesia
Tabel 4.5
Distribusi Sumber Koping Klien Risiko bunuh diri di Ruang Utari
RSMM (N=11) Periode 18 Februari – 19 April 2013
No Penilaian terhadap Stressor Tingkat bunuh diri Prosentase
(%)
isyarat ancaman percobaan n
1 Kemampuan personal:
Belum mengenal masalah
yang bisa membahayakan 2 1 0 3 27,3
diri sendiri
Belum mengenal cara
mengatasi masalah tanpa
1 1 2 4 36,4
membahayakan diri sendiri
Telah mengenal cara
mengatasi masalah tanpa
membahayakan diri sendiri 1 0 3 4 36,4
2 Dukungan keluarga
Ada
o mampu merawat 1 1 2 4 36,4
o tidak mampu
merawat 2 1 3 6 54,5
Tidak ada
1 0 0 1 9,1
Dukungan Kelompok
Tidak ada
0 0 0 0 0
Dukungan masyarakat
Ada
Tidak ada 1 0 0 0 9,1
0 0 0 0 90,9
Pembiayaan RS
Jamkesmas/jamkesda 4 2 5 11 100
Universitas Indonesia
Berikut ini sumber koping pada klien dengan risiko bunuh diri di ruang
Utari:
4.5.1. Kemampuan personal: Berdasarkan hasil pengkajian diketahui bahwa
3 orang (27,3%) belum mengenal masalah yang bisa membahayakan
diri sendiri. Sebanyak 4 orang (36,4%) belum mengetahui cara
menyelesaikan masalah tanpa membahayakan dirinya sementara 4
orang lainnya (36,4 %) sudah mengenal cara mengatasi masalah.
Sebagian klien sudah sering dirawat sehingga sudah pernah di ajarkan
cara menyelesaikan masalah tanpa membahayakan dirinya.
Rata-rata klien menggunakan dua mekanisme koping. Pada sebagian besar kasus
yang ditemukan, mekanisme koping yang dipergunakan adalah projeksi 6 orang
(54,5%), 5 orang (72,7 %) menggunakan koping supresi dan 4 orang
menggunakan koping reaksi formasi (36,4%).
4.7. Diagnosa Keperawatan dan Diagnosa Medis
4.7.1. Diagnosa keperawatan
Universitas Indonesia
Kondisi klinis isyarat dan ancaman bunuh diri Percobaan bunuh diri
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 4.9
Pelaksanaan Terapi Generalis pada klien Risiko bunuh diri di Ruang Utari
Periode 19 Februari – 18 April 2013 (N=11)
Interaksi Tindakan Keperawatan generalis n
Tabel 4.10
Pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok pada klien Risiko bunuh diri Di
Ruang Utari Periode 19 Februari – 18 April 2013 (N=11)
Interaksi Tindakan Keperawatan generalis n
1 Mengenal perilaku bunuh diri, tanda dan gejala, rencana bunuh diri, dan 11
akibat perilaku bunuh diri
2 Mendiskusikan cara mengatasi keinginan bunuh diri 11
3 Meningkatkan harga diri dengan melihat aspek positif 11
4 Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri dengan 10
Universitas Indonesia
Tujuh orang klien mengikuti TAK sampai dengan sesi akhir. Empat orang
hanya mengikuti sampai sesi 3 karena pulang. Satu orang mengikuti
sampai sesi 4 karena pulang juga. Terapi aktivitas kelompok dilakukan
dengan kerja sama antara perawat ruangan dan residen. Pendokumentasian
pelaksanaan TAK dan pencapaian kemampuan klien setelah TAK
dokumentasikan di buku khusus dan catatan perkembangan klien. Terapi
aktivitas kelompok dilakukan sebanyak empat kali, satu sesi dilakukan
sebanyak satu kali pertemuan selama 30 – 45 menit. Seluruh klien
mengikuti kegiatan dengan antusias.
Pada terapi kognitif, klien dilatih melawan pikiran otomatis negatif yang
muncul yang meliputi merasa tidak berguna, merasa menjadi anak atau
istri yang gagal, merasa tidak memiliki kelebihan apapun, serta merasa
malu dengan gangguan jiwanya. Ketika klien berhasil melawan pikiran
negatif tersebut, secara otomatis akan terganti dengan pikiran positif dari
apa yang dipikirkan sebelumnya.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dirasakan pada saat klien dirumah, karena takut klien akan mengancam
bunuh diri atau melakukan percobaan bunuh diri lagi. Beban objektif yang
dirasakan keluarga adalah beban finansial, beban waktu, dan beban fisik
yang dirasakan oleh keluarga. Keluarga merasa bahwa kondisi klien
membutuhkan pemantauan atau pengawasan yang ketat, sementara mereka
harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Rata-rata
klien pernah mendapatkan penjelasan tentang cara merawat klien saat
perawatan klien sebelumnya, namun keluarga mengatakan merasa
kesulitan ketika melakukan di rumah.
Tabel 4.14
Distribusi Hasil Evaluasi Terapi Keperawatan pada Klien Risiko bunuh diri Periode 18
Februari – 19 April 2013(N = 11)
N Terapi Jumlah %
Kemampuan
o Keperawatan
Kemampuan Klien yang dicapai
yang
klien (%)
diberikan
1. Terapi 8 72,7 - Mampu mendiskusikan cara mengatasi 5 dari 8
generalis keinginan untuk bunuh diri kemampuan
+ - Mampu mengungkapkan perasaan (62,5%)
Terapi - Mampu menyadari bahwa dirinya
kognitif penting
- Mampu mendiskusikan keadaan yang
patut disyukuri
- Mampu melawan pikiran otomatis
negatif terhadap diri
- Mampu merencanakan aktivitas yang
membuat hidupnya berarti
- Mempunyai tujuan hidup
- Mampu merawat diri di rumah
2 Terapi 3 27,3 - Mampu mendiskusikan cara mengatasi 6 dari 8
generalis keinginan untuk bunuh diri kemampuan
+ - Mampu mengungkapkan perasaan (75%)
Terapi - Mampu menyadari bahwa dirinya
Kognitif penting
+ - Mampu mendiskusikan keadaan yang
Psikoedukasi patut disyukuri
keluarga - Mampu melawan pikiran otomatis
negatif terhadap diri
- Mampu merencanakan aktivitas yang
membuat hidupnya berarti
- Mempunyai tujuan hidup
- Mampu mengoptimalkan perawatan
klien dirumah dan rumah sakit melalui
keterlibatan peran serta keluarga
Total 11 100
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 4.15
Penilaian terhadap Stressor Klien Risiko bunuh diri
Setelah Intervensi di Ruang Utari RSMM (N=11)
Periode 18 Februari – 19 April 2013
No Penilaian terhadap Stressor Tingkat bunuh diri Prosentase
(%)
isyarat ancaman percobaan n
1 Respon Kognitif:
Tidak mampu memecahkan
2 1 2 5 45,5
masalah
Supresi pikiran 3 0 2 5 45,5
2 Respon Afektif:
Marah 0 0 3 3 27,3
Mudah tersinggung 2 1 2 5 45,5
Sedih
1 1 4 6 54,5
3 Respon Fisiologis:
Lemah 1 1 2 4 36,4
Kurang nafsu makan 0 0 2 2 18,2
sulit tidur
2 1 3 6 54,4
4 Respon Perilaku:
Murung 1 1 4 6 54,5
Menangis
1 1 3 5 45,5
Marah-marah
0 0 3 3 27,3
5 Respon Sosial:
Bermusuhan 0 0 3 3 27,3
Menarik diri
0 1 2 3 27,3
Menolak interaksi
0 0 0 0 0
Perubahan Penilaian terhadap Stressor Klien Risiko bunuh diri dari sebelum
dan sesudah intervesi terapi kogniitif perlu dijelaskan lebih lanjut. Hal ini
dipaparkan oleh tabel 4.16 dibawah ini.
Universitas Indonesia
Tabel 4.16
Penilaian terhadap Stressor Klien Risiko bunuh diri
Setelah Intervensi di Ruang Utari RSMM (N=11)
Periode 18 Februari – 19 April 2013
No Penilaian terhadap Stressor n Prosentase n Prosentase
Pre Post
1. Respon Kognitif:
Tidak mampu 1 100 5 45,5
memecahkan masalah
1 100 5 45,5
Supresi pikiran
2. Respon Afektif:
Marah 9 81,8 3 27,3
Mudah tersinggung 8 72,7 5 45,5
Sedih 1 100 6 54,5
3. Respon Fisiologis:
Lemah
5 45,5 4 36,4
Kurang nafsu makan
6 54,5 2 18,2
sulit tidur
9 81,8 6 54,4
4. Respon Perilaku:
Murung 1 100 6 54,5
Menangis 7 63,6 5 45,5
5 Respon Sosial:
Bermusuhan 1 90,9 3 27,3
Menarik diri 7 63,6 3 27,3
Menolak interaksi 8 72,7 0 0
orang klien (54,5%), marah dari 9 orang klien (81,8%) menjadi 3 orang
klien (27,3%), dan mudah tersinggung dari 8 orang (72,7%) menjadi 5
klien (45,5%). Respon fisiologis yang teramati pada klien akibat stressor
yang ada adalah sulit tidur dari 9 orang (81,8%) turun menjadi 6 orang
(54,5%), dari 6 orang klien (54,5%) yang mengalami kurang nafsu makan
turun menjadi 2 orang (18,2%), dan lemah dari 5 orang (45,5%) menjadi 4
orang (36,4%).
4.10 Keterbatasan
Keterbatasan dari penulisan karya ilmiah akhir ini adalah:
a. Penulis kurang mengeksplorasi pengalaman atau riwayat klien terkait
perilaku bunuh diri sehingga data yang didapat belum cukup lengkap.
b. Kurangnya referensi terkait teori Chronic Sorrow sehingga pemaparan
terkait model teori ini masih kurang
c. Instrumen untuk mengukur tingkat perilaku bunuh diri serta perubahan
tanda dan gejala serta kemampuan klien belum baku. Mengingat penulisan
karya ilmiah ini bukan murni penelitian tetapi berfokus pada pengalaman
dalam merawat klien selama di rumah sakit.
Universitas Indonesia
4.11 Kendala
Kendala yang ditemukan selama proses pelaksanaan pemberian asuhan
keperawatan dengan diagnosa Risiko bunuh diri adalah :
4.11.1. Klien: Kendala yang ditemukan pada pelaksanaan terapi individu
adalah kondisi klien yang fluktuatif, sehingga membutuhkan kontrak
ulang untuk melanjutkan terapi. Belum semua klien mendapatkan
tindakan keperawatan spesialis sampai dengan selesai dikarenakan
klien pulang. Motivasi melakukan latihan cara mencegah dan
mengontrol perilaku bunuh diri berfluktuasi pada klien kronis dan
klien yang tinggal di rumah sakit dalam jangka waktu lama (klien
inventaris). Terkadang klien merasa tidak ada gunanya berlatih
karena hasil latihan tidak membawa dampak positif pada keluarga
untuk membawa klien pulang ke rumah. Klien dengan risiko bunuh
diri, hampir seluruhnya memiliki gangguan konsep diri, harga diri
rendah sehingga membutuhkan privasi dan kenyamanan pada saat
mengikuti terapi. Sementara di ruangan hanya ada ruang terbuka
pada saat klien mengikuti terapi.
4.11.2. Keluarga: Kurangnya peran serta keluarga dalam merawat klien, hal
ini bisa dilihat dari rendahnya kunjungan keluarga, lebih banyaknya
waktu yang dihabiskan oleh klien di rumah sakit atau di yayasan
dibandingkan di rumah. Terbatasnya waktu yang disediakan
keluarga saat berkunjung, sehingga pada beberapa keluarga,
psikoedukasi keluarga dilakukan dengan terburu-buru. Kurangnya
komitmen keluarga dalam membuat perjanjian waktu untuk datang
kembali ke rumah sakit. Masih adanya keluarga yang datang ke
rumah sakit hanya saat mengantar dan membawa klien pulang. Pada
saat melakukan psikoedukasi keluarga, tidak semua keluarga bisa
mengikuti terapi ini, dikarenakan jarak rumah yang jauh dari rumah
sakit atau karena kendala biaya, sehingga jarang menjenguk klien.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 5
PEMBAHASAN
Pada bab ini dibahas tentang manajemen kasus spesialis pada risiko bunuh diri
klien di ruang Utari yang dilakukan pada periode 18 Februari-19 April 2013.
Manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien dengan risiko bunuh diri
akan membahas tentang karakteristik klien dengan risiko bunuh diri, efektifitas
manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa dan hubungan karakteristik dengan
hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien dengan risiko bunuh
diri berdasarkan model teori stress Adaptasi Stuart dan model teori Chronic
Sorrow Eakes.
Hasil Pengkajian karakteristik klien dengan risiko bunuh diri di ruang Utari terdiri
atas usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, faktor predisposisi, faktor presipitasi,
penilaian terhadap stressor dan sumber koping. Berikut ini pembahasan tentang
karakteristik klien dengan masalah risiko bunuh diri di ruang Utari.
Universitas Indonesia
Setiap manusia pasti akan melewati masa usia tumbuh kembang dengan
berbagai tugas perkembangannya dan akan mempersepsikan segala stimulus
baik internal maupun eksternal. Seiring dengan yang diuraikan Erickson
(1963, dalam Townsend, 2009) maka pada usia dewasa seseorang berusaha
mencapai aktualisasi diri sesuai dengan ideal diri yang sudah ditetapkan
olehnya. Hambatan atau kegagalan dalam mencapai tugas perkembangan ini
menyebabkan individu merasa sebagai orang yang gagal, tidak
berkompeten, tidak berharga, minder, tidak mampu, putus asa, tidak
berdaya.dan lain-lain.
Universitas Indonesia
Pendapatan yang rendah menjadi salah satu faktor pencetus masalah risiko
bunuh diri pada klien yang dirawat di rumah sakit. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pekerjaan akan berkorelasi positif dengan pendapatan.
gangguan yang dialami oleh klien, setiap kali kambuh akan mengalami
penurunan kemampuan. Maguire (2002 dalam Fortinash & Worret, 2004)
menyatakan bahwa kekambuhan adalah sesuatu yang sering terjadi pada
klien skizofrenia, hal ini disebabkan oleh insight yang buruk terhadap
sakitnya, tidak mengikuti pengobatan dengan baik, kurangnya dukungan
keluarga, ketidakmampuan koping individu, dan putus obat karena
pengobatan dalam jangka panjang. Sinaga (2007) menyatakan bahwa klien
skizofrenia dengan prognosis buruk salah satu cirinya adalah selama 3
tahun pengobatan tidak ada perbaikan atau sering terjadi kekambuhan.
percobaan bunuh diri. Hal ini sesuai Stuart (2011) yang menyatakan
bahwa kondisi kesehatan seseorang sangat berpengaruh terhadap stres
yang dialami oleh seseorang yang bisa menyebabkan terjadinya risiko
bunuh diri. Semakin buruk kondisi kesehatan klien maka akan
menyebabkan tingkatan perilaku bunuh diri meningkat. Pengalaman
masa lalu yang tidak menyenangkan seperti yang dialami oleh 4 orang
klien berupa pelecehan seksual dan pemerkosaan yang dilakukan baik
oleh keluarga maupun orang lain memberi kontribusi munculnya
masalah risiko bunuh diri (Stuart, 2011).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Asal stresor pada manajemen kasus spesialis adalah eksternal dan internal.
Stresor eksternal teridentifikasi dari stresor sosial budaya. Sedangkan
stresor internal teridentifikasi dari stresor biologi dan psikologi. Hal ini
sesuai dengan konsep adaptasi stres (Stuart, 2011) yang menyatakan
bahwa asal stresor dapat berasal dari internal dan eksternal. Pada awalnya
stresor yang ditemukan berasal dari eksternal yaitu masalah ekonomi.
Stresor utama tersebut menimbulkan respon yang berkontribusi terhadap
Universitas Indonesia
stresor psikologis dan biologis. Sehingga pada akhirnya asal stresor yang
dialami oleh klien denngan risiko bunuh diri adalah dari internal dan
eksternal.
Universitas Indonesia
Hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien risiko bunuh
diri mengidentifikasi empat penilaian afektif yaitu marah,mudah
tersinggung, afek labil dan sedih. Dalam penilaian terhadap stresor respon
afektif utama adalah reaksi sedih, merasa kesepian, merasa tidak berguna,
dan marah. Respon afektif yang teriidentifikasi pada manajemen kasus
sejalan dengan pendapat Stuart (2011) yang menyatakan bahwa respon
afektif meliputi sedih, takut, marah, menerima, tidak percaya, antisipasi
atau kaget, bingung dan kawatir. Persamaan yang dapat kita analisa dari
hasil manajemen kasus dan model adaptasi stress adalah respon emosional
negatif akibat stressor yang dialami.
Respon perilaku adalah hasil dari respon emosional dan fisiologis. Hasil
manajemen kasus kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien risiko
bunuh diri teridentifikasi dua perilaku yang maladaptif yaitu murung dan
menangis. Dua perilaku maladaptif yang ditampilkan dalam bentuk
penolakan dan hukuman terhadap lingkungan yang ada disekitarnya.
Respon sosial merupakan hasil dari respon kognitif, afektif, fisiologis dan
perilaku yang ditampilkan terhadap hubungan dengan orang lain. Hasil
pengkajian manajemen kasus pada klien risiko bunuh diri teridentifikasi
dua respon sosial yang teridentifikasi dengan menghindari orang lain dan
berbicara dengan orang lain. Sebagian besar klien menunjukkan perilaku
menghindari orang lain. Hal ini senada dengan pernyataan Peate dan
Whiting (2006) yang menyatakan bahwa kebosanan dan kelelahan
menyebabkan klien menghindari kontak sosial dengan orang lain.
Universitas Indonesia
Dukungan yang pertama adalah dukungan emosi yang terdiri atas rasa
empati, caring, memfokuskan pada kepentingan orang lain. Tipe yang
kedua adalah dukungan esteem yang terdiri atas ekspresi positif thingking,
mendorong atau setuju dengan pendapat orang lain. Dukungan yang ketiga
adalah dukungan instrumental yaitu menyediakan pelayanan langsung
yang berkaitan dengan kesehatan jiwa. Tipe keempat adalah dukungan
informasi yaitu memberikan nasehat, petunjuk dan umpan balik bagaimana
seseorang harus berperilaku. Tipe terakhir atau kelima adalah dukungan
network menyediakan dukungan kelompok untuk berbagi pengalaman.
Berdasarkan analisa hasil manajemen kasus spesialis keperawatan klien
dengan risiko bunuh diri menunjukkan bahwa dukungan sosial yang
diberikan terfokus pada dukungan emosi, instrumental dan informasi.
Universitas Indonesia
5.5. Efektifitas Manajemen Kasus Spesialis pada klien dengan Risiko bunuh
diri di Ruang Utari
Model teori Chronic Sorrow Eakes merupakan suatu pola yang bermanfaat
untuk memprediksi dan memahami perilaku sosial secara umum yang
mempengaruhi sistem panjang kehidupan (life span) seseorang. Dasar dari
prinsip ini adalah suatu model teori yang membahas tentang fenomena
spesifik tentang masalah-masalah yang timbul dari penyakit kronis mencakup
proses berduka, kehilangan, faktor pencetus dan metoda manajemennya.
(Eakes,1998). Teori Chronic Sorrow didokumentasikan pertama oleh Eakes
pada tahun 1998 dengan kerangka kerja yang menjelaskan bagaimana individu
dapat menanggapi kerugian selanjutnya dari peristiwa yang sedang
berlangsung.
Universitas Indonesia
Pengertian dari kerugian selanjutnya bisa residen jelaskan terkait dengan klien
risiko bunuh diri, contoh pada dua orang klien kelolaan di ruang Utari yang
mengalami pelecehan seksual oleh keluarga, dan pada dua orang klien yang
mengalami pemerkosaan oleh orang lain. Pengalaman kehilangan pertama
atau kerugian yang di alami oleh keempat klien tersebut hampir sama, yaitu
kehilangan kehormatan secara fisik maupun secara psikologis. Akibat dari
peristiwa tersebut, klien mengalami krisis kepercayaan diri untuk membina
hubungan dengan orang lain, hal ini berdampak pada ketidakmampuan klien
menjalin hubungan yang berarti dengan orang lain atau lawan jenis, kondisi
ini juga menyebabkan klien sulit untuk mendapatkan pekerjaan, serta
dikucilkan oleh masyarakat. Hal yang dialami oleh klien adalah kondisi
normal dalam bentuk sedih berkepanjangan (Chronic sorrow) yang mungkin
ditemukan dalam sepanjang rentang kehidupan. Sehingga yang bisa dilihat
adalah bagaimana metoda manajemen baik internal berupa koping dari klien,
maupun eksternal berupa dukungan keluarga maupun tim kesehatan untuk
menguatkan koping adapatif, sehingga jika ada peristiwa pemicu lainnya,
klien mampu berespon secara adaptif.
Universitas Indonesia
Terapi keperawatan yang disusun didasarkan pada penilaian stresor dan sumber
koping yang dimiliki oleh keluarga. Dua intervensi utama yang diberikan
meliputi intervensi generalis dan intervensi spesialis. Intervensi generalis
difokuskan pada kemampuan dasar klien dalam menghadapi stresor. Terapi
spesialis disusun untuk memenuhi kebutuhan kemampuan mahir yang harus
dimiliki oleh seorang individu. Seluruh intervensi disusun berdasarkan pada
sumber koping yang dimiliki oleh klien. Jika sumber koping yang dimiliki oleh
klien telah positif maka rencana kegiatan yang dilakukan adalah melakukan
sustainability kemampuan klien.
Tindakan keperawatan pada klien risiko bunuh diri terdiri dari tindakan
keperawatan generalis dan tindakan keperawatan spesialis. Tindakan
keperawatan generalis difokuskan pada empat kemampuan dasar yang harus
dimiliki klien risiko bunuh diri dalam menghadapi stressor. Tindakan
keperawatan spesialis diberikan untuk lebih meningkatkan sumber koping klien
dalam mengatasi stressor. Semakin banyak sumber koping yang dimiliki
diharapkan semakin besar pula kemampuan klien mengatasi masalah bahkan
mengantisipasi timbulnya masalah.
Universitas Indonesia
Sepuluh dari sebelas klien (91.9%) yang diberikan terapi perilaku kognitif
mengalami diagnosa harga diri rendah selain risiko bunuh diri. Hal ini
dibuktikan dengan isi pikiran negatif klien yaitu merasa tidak berguna karena
tidak dihargai oleh keluarga, gagal menampilkan peran sebagai istri, ibu, anak,
atau karyawan. Berdasarkan hal ini residen menyimpulkan bahwa terapi
perilaku kognitif sesuai diberikan pada klien perilaku kekerasan yang juga
mengalami harga diri rendah, jika pikiran negatif klien terhadap dirinya
menyebabkan klien melakukan perilaku kekerasan.
Kognitif terapi merupakan bagian dari terapi yang diberikan kepada konsumen
jiwa sehat dengan gangguan pada fungsi kognitifnya. Hasil ini diperkuat oleh
Wheeler (2008) yang menyatakan bahwa terapi kognitif merupakan terapi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Evaluasi tidak hanya difokuskan pada kemampuan personal perawat dan klien
namun juga terhadap ketersediaan sarana prasarana penunjang yang
membantu keefektifan terapi sehingga dapat menurunkan dan membantu klien
dalam mengontrol perilaku bunuh diri. Sayangnya prasarana penunjang yang
Universitas Indonesia
Kendala lain yang dihadapi oleh residen adalah masih jarangnya perawat
ruangan baik kepala ruang, ketua tim dan perawat yang mengangkat diagnosa
risiko bunuhdiri dan melaksanakan manajemen kasus pada klien dengan
risiko bunuh diri khususnya dalam pemberian terapi generalis. Perawat
ruangan dianggap belum membudaya dalam melakukan manajemen kasus
klien dengan risiko bunuh diri lebih pada belum membudayanya perawat
untuk menerapkan asuhan keperawatan. Perawat masih kadang-kadang
melakukan asuhan keperawatan dan terkadang tidak. Selain itu kemampuan
perawat dalam melakukan asuhan keperawatan masih lebih menekankan pada
kemampuan kognitif klien dalam mengontrol perilaku bunuh diri dan belum
menekankan pada kemampuan psikomotor klien.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Karya tulis ilmiah ini berfokus pada karakteristik klien, efektifitas tindakan
dan terapi spesialis keperawatan jiwa pada klien risiko bunuh diri dan
hubungan karakteristik dan terapi yang diberikan kepada klien dengan risiko
bunuh diri. Kesimpulan yang didapatkan dari tiga kegiatan tersebut tersebut
adalah sebagai berikut:
6.1.1 Karakteristik klien dengan masalah risiko bunuh diri di Ruang Utari
mayoritas berusia dewasa 25-44 tahun (81,8%), pendidikan rata – rata
tinggi (SMA dan PT) 6orang (54,6)%, belum menikah 7 orang (63,6%)
dan sebagian besar tidak memiliki pekerjaan 10 orang ( 90,9%).
6.1.2 Berdasarkan karakteristik bunuh diri yang dialami dari 11 klien yang
dirawat, antara lain 4 orang (36,4%)) dengan isyarat bunuh diri, 2 orang
(18,2%) dengan ancaman bunuh diri dan 5 orang (45,5%) dengan
percobaan bunuh diri.
6.1.3 Faktor predisposisi penyebab Risiko Bunuh Diri yang paling banyak
ditemukan adalah pada aspek biologis yaitu sexual abuse 4 orang
(36,4%), pada aspek psikologis yaitu kepribadian tertutup 9 orang
(81,8%) dan pada aspek sosial budaya yaitu jarang terlibat kegiatan sosial
11 orang (100%) dan masalah pekrjaan 10 orang (90,9%) . Faktor
presipitasi yang paling banyak ditemukan pada klien Risiko Bunuh Diri
yaitu pada aspek biologis karena putus obat 9 orang (81,8%), pada aspek
sosial budaya yaitu konflik keluarga 8 orang (72,7%), asal stressor
internal sebanyak 11 orang (100%), dengan jumlah stresor lebih dari 2
stresor 11 orang (100%).
6.1.4 Diagnosa medis yang paling banyak ditemukan adalah skizofrenia
paranoid, sedangkan diagnosa keperawatan yang menyertai diagnosa
Risiko Bunuh Diri yaitu, halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosal dan
resiko perilaku kekerasan. Terapi spesialis keperawatan jiwa yang
Universitas Indonesia
6.2 Saran
Berdasarkan simpulan hasil karya ilmiah akhir, ada beberapa hal yang dapat
disarankan kepada pihak – pihak terkait dalam rangka meningkatkan
pelayanan kesehatan jiwa.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia