Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PENATALAKSANAAN PENYAKIT TERMINAL KANKER


KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF

Dosen Pengampu: Ns. Nurhusna, S.Kep., M.Kep

DISUSUN OLEH:

TRIA ATIKA JULIANI

G1B121093

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Dzat penguasa alam semesta yang telah
memberikan taufiq, rahmat, hidayah serta hidayahnya sehingga penulis dapat untuk
menyusun dan menyelesaikan makalah tentang “Penatalaksanaan Penyakit Terminal
Kanker”.

Penyusunan makalah ini merupakan salah satu metode pembelajaran pada mata
kuliah Keperawatan Menjelang Ajal Dan Paliatif Program Studi Keperawatan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan masukan, dorongan dan bimbingan kepada
penulis dalam menyusun makalah ini baik dari segi moral dan materil.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.

Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha
Esa senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin. Dan akhirnya semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua terutama bagi pembaca. Terima kasih.

Jambi, 4 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1

1.1 Latar Belakang .........................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................1

1.3 Tujuan ......................................................................................................................2

1.4 Manfaat ....................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................3

2.1 Patofisiologi Proses Maligna ...................................................................................3

2.2 Peran Sistem Imun ...................................................................................................4

2.3 Deteksi dan Pencegahan Kanker ..............................................................................6

2.4 Diagnosis Kanker (Penatalaksanaan & Penderajatan) .............................................8

2.5 Penatalaksanaan Kanker (Kemoterapi) ..................................................................10

BAB III PENUTUP .......................................................................................................19

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................19

3.2 Saran ......................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker adalah pertumbuhan sel-sel baru secara abnormal yang tumbuh
melampaui batas normal, dan yang kemudian dapat menyerang bagian sebelah tubuh
dan menyebar ke organ lain. Proses ini disebut metastasis. Metastasis merupakan
penyebab utama kematian akibat kanker (WHO, 2009).
Menurut data WHO tahun 2013, insiden kanker meningkat dari 12,7 juta kasus
tahun 2008 menjadi 14,1 juta kasus tahun 2012, dengan jumlah kematian meningkat
dari 7,6 juta orang tahun 2008 menjadi 8,2 juta pada tahun 2012. Kanker menjadi
penyebab kematian nomor 2 di dunia sebesar 13% setelah penyakit kardiovaskular
(Kemenkes RI, 2014). Prevalensi kanker di Indonesia sebesar 1,4 per 1000 penduduk.
Penanganan kanker yaitu dengan pembedahan, radiasi dan kemoterapi. Kemoterapi
adalah proses pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang bertujuan untuk
membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel- sel kanker. Kemoterapi dapat
diberikan dengan cara Infus, Suntikan langsung (pada otot, bawah kulit, rongga
tubuh) dan cara diminum (tablet/kapsul). Kemoterapi efektif untuk menangani kanker
pada anak terutama dengan penyakit tertentu yang tidak dapat diatasi secara tuntas
dengan pembedahan maupun radiasi (Bowden, et al., 1998 dalam Apriany, 2010).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana patofisiologi proses maligna?
2. Bagimana peran sistem imun?
3. Bagaimana cara mendeteksi dan pencegahan kanker?
4. Bagaimana diagnosis kanker?
5. Bagaimana penatalaksanaan kemoterapi untuk kanker

1
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai:
1. Patofisiologi proses maligna
2. Peran sistem imun
3. Deteksi dan pencegahan kanker
4. Diagnosis kanker (pentahapan dan penderajatan)
5. Penatalaksanaan kanker (kemoterapi

1.4 Manfaat
a. Manfaat Bagi Penulis
Dengan pembuatan makalah ini akan mampu menerapkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh dari perguruan tinggi ataupun dari belajar mandiri
dan menambah ilmu pengetahuan mengenai patofisiologi maligna, peran sistem
imun, deteksi dini dan pencegahan kanker, diagnosa kanker (tahap dan derajat),
dan penatalaksanaan kanker (kemoterapi).
b. Manfaat Bagi Mahasiswa
Sebagai pokok pemahaman untuk mahasiswa dalam mata kuliah
keperawatan menjelang ajal dan paliatif, sehingga mahasiswa dapat mengetahui
dan mengerti tentang konsep kanker mulai dari patofisiologi maligna, peran
sistem imun, deteksi dini dan pencegahan, diagnosis kanker, dan penatalaksanaan
kanker.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Patofisiologi Proses Maligna


Kanker adalah proses penyakit yang bermula ketika sel abnormal diubah oleh
mutasi genetic dari DNA selular. Sel abnormal ini membentuk klon dan mulai
berproliferasi secara abnormal, mengabaikan sinyal mengatur pertumbuhan dalam
lingkungan sekitar sel tersebut.
Kemudian dicapai suatu tahap dimana sel mendapatkan ciri-ciri insasive dan
terjadi perbuhan dimana pada jaringan sekitarnya. Sel-sel tersebut menginfiltrasi
jaringan sekitar dan memperoleh akses ke limfe dan pembuluh-pembuluh darah,
melalui pembuluh tersebut sel-sel dapat terbawa ke area lain dalam tubuh untuk
membentuk metastase (penyeberan kanker) pada bagian tubuh yang lain.
Meskipun penyakit ini dapat diuraikan secara umum seperti yang telah digunakan,
namun kanker bukan suatu penyakit tunggal dengan penyebab tunggal; tetapi lebih
kepada suatu kelompok penyakit yang jelas dengan penyebab, manifestasi,
pengibatan dan prognosa yang berbeda.
Patofisiologi Neuroleptic Malignant Syndrome sebenarnya belum sepenuhnya
dimengerti. Sebagian besar pakar setuju bahwa penurunan bermakna dari aktivitas
dopaminergik sentral yang diakibatkan oleh blokade reseptor dopamin D2 pada
jalur nigrostriatal, tuberoinfundibular, dan mesolimbik/kortikal membantu
menerangkan gambaran klinis Neuroleptic Malignant Syndrome termasuk rigiditas,
hipertermia, dan perubahan status mental. Teori ini didukung dengan pengamatan
bahwa penyebab utama Neuroleptic Malignant Syndrome adalah penggunaan obat-
obatan neuroleptik yang menghambat reseptor dopamin khususnya reseptor D2, dan
bahwa sindroma ini dapat juga diinduksi oleh penghentian dopamin secara mendadak.
Morbiditas dan mortalitas pada Neuroleptic Malignant Syndrome sering akibat
sekunder dari komplikasi jantung, paru-paru dan ginjal sehingga diperlukan
perawatan intensif. Komplikasi yang paling umum adalah rhabdomyolysis (30,1%).
Komplikasi umum lainnya adalah kegagalan pernafasan akut (16,1%), cedera ginjal
akut (17,7%), sepsis (6,2%), dan infeksi sistemik lainnya. Angka mortalitas yang di

3
temukan adalah 5,6%. Usia yang lebih tua, kegagalan pernafasan akut, cedera ginjal
akut, sepsis, dan komorbiditas jantung kongestif adalah prediktor signifikan
mortalitas. Kegagalan pernafasan akut adalah prediktor kematian independen yang
paling kuat

2.2 Peran Sistem Imun


Sistem imun manusia terdiri dari sistem imun nonspesifik dan spesifik. Sistem
imun nonspesifik terdiri dari kulit dan membran mukosa, sel-sel fagosit, komplemen,
lisozim, interferon, dan berbagai faktor humoral lain. Sistem imun spesifik meliputi
sistem produksi antibodi oleh sel B dan sistem imunitas seluler oleh sel T. Dalam
tubuh, sistem imun non spesifik dan spesifik bekerja sama untuk melenyapkan
infeksi. Respon imun ditengahi oleh berbagai sel dan molekul larut yang disekresi
oleh sel-sel tersebut. Sel utama yang terlibat dalam reaksi imun adalah limfosit (sel
B, sel T. dan sel NK), fagosit (neutrofil, eosinofil, monosit, dan makrofag), sel asesori
(basofil, sel mast, dan trombosit), sel jaringan dan lainnya (Wahab dan julia, 2002: 2).
Sel-sel tersebut tidak bisa dipandang secara terpisah karena sel-sel tersebut akan
saling berinteraksi ketika terdapat zat- zat berbahaya atau penyakit yang masuk dalam
tubuh. Mereka akan saling bekerja sama untuk melawan zat-zat berbahaya tersebut.
Itulah sebabnya sistem imun memiliki peran yang amat penting dalam tubuh manusia.
Sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk
mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang
ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup.

Adapun fungsi dari sistem imun adalah:

1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit, menghancurkan dan


menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit,
jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh.
2. Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak (debris sel) untuk
perbaikan jaringan.
3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.

4
Sasaran utamanya adalah bakteri patogen dan virus. Leukosit merupakan sel imun
utama (disamping sel plasma, makrofag, dan sel mast). Adapun struktur sistem imun
adalah:

1. Organ sistem imun yang berada di seluruh bagian tubuh disebut organ
limfoid.
2. Organ limfoid: merupakan "rumah" bagi limfosit.
3. Jaringan limfoid primer: terdiri dari kelenjar thymus dan sumsum tulang

Jaringan limfoid sekunder: yang dapat dibagi menjadi berkapsul (limpa dan
kelenjar limfa) dan tdk berkapsul (tonsil, GALT (gut-associated lymphoid tissue),
jaringan limfoid ini terdapat di kulit, saluran pernapasan, kemih, dan reproduksi.

Sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk


mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang
ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Jika sistem kekebalan
bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan
virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Sistem
kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor. Respon imun ditangahi
oleh berbagai sel dan molekul larut yang disekresi oleh sel-sel tersebut. Sel utama
yang terlibat dalam reaksi imun adalah limfosit (sel B, sel T, dan sel NK), fagosit
(neutrofil, cosinofil, monosit, dan makrofag), sel asesori (basofil, sel mast, dan
trombosit), sel jaringan dan lainya (Wahab dan Julia, 2002: 1).

Sel Natural Killer (Sel NK) merupakan golongan limfosit tapi tidak mengandung
petanda seperti pada permukaan sel B dan sel T. Sel ini memiliki kemampuan
mengenal dan membunuh sel abnormal, seperti sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh
virus. Sel ini dikenal karena memiliki petanda permukaan CD56 dan CD16 tapi tidak
CD3. Cara kerja sel ini dan sasaran utamanya serupa dengan sel T sitotoksik, tapi sel
sitotoksik hanya dapat mematikan sel-sel terinfeksi virus atau sel kanker jenis
tertentu yang pernah dijumpai, sedangkan sel NK membentuk pertahanan yang
bersifat segera dan non spesifik terhadap sel yang terinfeksi virus dan sel kanker
sebelum sel T sitotoksik yang lebih banyak berfungsi.

5
Sel T berkembang menjadi sel T imunokompeten didalam timus. Sel induk ini
belum mempunyai molekul reseptor sel T, CD3, CD4, maupun CD8, pada
permukaannya, tetapi dalam perjalannya melalui timus, sel-sel ini berdiferensiasi
menjadi sel T yang mampu mengekspresikan glikoprotein reseptor tersebut. Sel-
sel induk yang pada awalnya tidak mempunyai pertanda CD4 ataupun CDS
(negatif-ganda), mula-mula berdiferensiasi menjadi sel yang mampu
mengekspresikan CD4 maupun CDS (positif-ganda), sebelum akhimya
mempunyai salah satu pertanda saja, CD4 atau CD8.

Pada sistem imun non spesifik, sel NK selalu aktif pada sistem walaupun tanpa
adanya sel tumor Akan tetapi tingkat keefektifan sel efektor bergantung pada
jumlah sel-sel itu sendiri. Itulah sebabnya sel tumor dapat tumbuh dengan pesat
ketika jumlah sel-sel efektor mulai berkurang Ketika beberapa jumlah dari sel-sel
efektor berinteraksi dengan sel tumor yang semakin meningkat maka sel- sel
elektor tersebut akan mengalami inaktifasi.

2.3 Deteksi dan Pencegahan kanker


Deteksi yang dapat dilakukan yaitu dengan sebagai berikut:
• Pemeriksaan fisik, yang dapat digunakan sebagai petunjuk lokasi dan
ukuran sel kanker.
• Imaging Test contohnya seperti x-rays, CT scans, dan MRI yang akan
memberikan gambaran lokasi sel kanker, ukuran tumor, dan penyebaran
sel kanker.
• Pemeriksaan laboratorium yang memerlukan darah, urin (air seni), dan
cairan tubuh lainnya bahkan bagian tubuh tertentu yang diangkat.
• Laporan patologi yang akan memberikan informasi berupa ukuran tumor,
perkembangan jaringan dan organ, tipe sel kanker, dan derajat sel tumor
dibandingkan dengan sel normal.
• Laporan bedah berasal dari sampel yang didapat pada operasi dapat
membantu menentukan ukuran dan penampakan dari tumor.

Teori Stimulus-Organism-Response (S-O-R) sudah ada sejak ditemukan oleh


Hovland pada tahun 1953 dengan basis teori psikologi yang kemudian digabungkan

6
dengan teori komunikasi. Hovland berasumsi bahwa efek suatu komunikasi tertentu
(perubahan sikap dan perilaku) bergantung pada sejauh mana komunikasi
diperhatikan, dipahami, dan diterima. Manusia pada dasarnya memiliki komponen-
komponen seperti sikap, opini, perilaku, kognisi, afeksi, dan konasi. Komunikasi
pendidikan pada dasarnya tidak cukup hanya sebatas menerima dan memahami
materi pembelajaran saja, namun juga harus memberikan perubahan terhadap
penerima materi tersebut. Teori S-O-R beranggapan bahwa organisme menghasilkan
perubahan perilaku jika ada kondisi stimulus tertentu, sehingga efek yang timbul
adalah reaksi khusus terhadap stimulus (Kurniawan, 2018).

Berdasarkan teori ini, yang perlu ditekankan dalam aspek perubahan sikap adalah
how (bagaimana mengubah sikap komunikan atau penerima pesan), bukanlah what
atau why. Komunikan harus diberikan penajaman serta penekanan terhadap pesan
yang sedang disampaikan, seperti mampu menumbuhkan motivasi serta
menumbuhkan gairah kepada komunikan sehingga terjadi perubahan sikap dan
perilaku komunikan. Unsur penting dalam S-O-R ini ada 3, yaitu Pesan (stimulus),
Komunikan (Organism), dan Efek (Response) (Effendy, 2003). Pesan yang
disampaikan harus dapat merangsang perhatian, pengertian, dan penerimaan dari
komunikan untuk menimbulkan perubahan sikap di akhir prosesnya.

Proses belajar dikaitkan dengan proses perubahan perilaku. Proses yang terjadi
adalah dimulai dari memberikan stimulus (rangsang) yang dapat ditolak (tidak efektif
memengaruhi perhatian individu dan proses berhenti) atau diterima (efektif dan
menerima perhatian dari individu). Jika stimulus diterima, maka organisme
mengolah stimulus (pesan) untuk bertindak dan bersikap sesuai dengan pesan yang
telah diterima (Mackay, 2003). Pada akhirnya, pesan dapat memberikan efek
tindakan dari individu dengan bantuan serta dorongan dari lingkungan sekitarnya.

Pada dasarnya, teori S-O-R ini membutuhan komunikasi dua arah (dialog),
sehingga seorang komunikator harus memiliki kemampuan berkomunikasi serta
mendengar dan keterbukaan yang baik terhadap para komunikan sehingga pesan
tidak hanya sampai begitu saja, namun juga menimbulkan pemahaman serta
perubahan perilaku dan sikap (Waluya, Rahayuwati, & Lukman, 2019)

7
2.4 Diagnosis Kanker (Pentahapan & Penderajatan)
Sukardja (2010) diagnosis kanker ialah usaha untuk mengidentifikasi jenis kanker
yang diderita dengan cara pemeriksaan tertentu secara legeartis.
1. Macam-macam diagnosa
Untuk penderita dengan neoplasma ada 2 diagnosa, yaitu:
a. Diagnosa Klinik atau Topografi
1) Diagnose utama (mobiditas utama), ialah penyakit karena tumor itu
sendiri.
2) Diagnose komplikasi, ialahpenyakit komplikasi utama.
3) Diagnose sekunder (co-modbiditas), ialah penyakit-penyakit lain yang
tidak ada hubungannya dengan penyakit neoplasma, tetapi mungkin
dapat mempengaruhi prognose atau terapinya.

Dasar dignosa klinik suatu kanker yaitu ada plaque, tumor atau ulkus seperti:

1) Tumbuh progresif
2) Hipervaskuler atau ada neovaskularisasi
3) Rapuh dan mudah berdarah
4) Menunjukkan infiltrasi
5) Ada tanda-tanda metastase

b. Diagnosa patologi atau Morfologi


Diagnose patologi atau morfologi didasarkan atas hasil pemeriksaan
mikroskopi. Nomenklatur diagnose patologi didasarkan atas histogenesis
tumor. Dalam diagnose patologi dianjurkan supaya dicantumkan:
1) Jenis histologi tumor
2) Sifat tumor
3) Derajat diferensiasi sel.

Dasar diagnosa patologi yaitu pada pemeriksaan mikroskopi, terdapat:

1) Struktur sel yang khas untuk sel kanker


2) Banyak sel yang menunjukkan mitose

8
3) Struktur jaringan yang distorsi
4) Infiltrasi sel kanker ke jaringan sekitar atau pembuluh darah

2. Pemeriksaan Kanker
Sukardja (2010) menjelaskan apabila pemeriksaan kanker sudah mencapai
pada tindakan biopsy dan menunjukkan hasil positif kanker, maka akan diteruskan
dengan pemeriksaan lanjutan untuk menganalisi tahap perkembangan sesl-sel
kanker ke pembuluh darah getah bening atau organ tubuh lainnya. Berikut
beberapa pemeriksaan perkembangan beberapa jenis kanker:
a) X-Ray dada untuk memeriksa penyebaran kanker ke paru-paru
b) Bone Scan (scan tulang) untuk memeriksa ada tidaknya penyebaran
kanker tulang
c) Tes penanda tumor CA 15-3 dan CEA melalui pengambilan sampel darah.
Bertujuan untuk mengetahui penyebaran tumor ke organ pencernaan atau
risiko kekambuhan
d) Pemeriksaan pap smear atau pengambilan cairan vagina untuk
pemeriksaan kanker serviks
e) Colposcopy atau teropong leher rahim
f) Tes penanda tumor SCC dan CEA untuk melihat penyebaran kanker ke
paru-paru dan usus besar
g) Pemeriksaan CT scan spiral bagi kanker paru
h) Pengambilan sampel sputum untuk diperiksa di laboratorium
i) Pemeriksaan Bronskopi atau teropong paru-paru
j) Pemeriksaan darah PTH untuk mendeteksi kanker paru atau kanker pleura
k) Pemeriksaan mediastinoskopi untuk pmendeteksi penyebaran kanker ke
getah bening.
l) Guaiac Fecal Occult Blood Test (gFOBT) yaitu pemeriksaan ada tidaknya
darah dalam tinja (gejala awal kanker usus)
m) Foto rontgen dengan enema barium (barium dimasukkan ke usus besar
melalui anus)

9
2.5 Penatalaksanaan Kanker (Kemoterapi)
Cara terapi kanker ada bermacam-macam, seperti:
a. Operasi
Operasi ialah terapi untuk membuang tumor, memperbaiki komplikasi dan
merekonstruksi defek yang ada melalui pembedahan.
b. Radioterapi
Ialah terapi untuk menghancurkan kanker dengan sinar ionisasi.
Kerusakan yang terjadi akibat sinar tidak terbatas pada sel-sel kanker saja
tetapi juga pada sel-sel normal di sekitarnya, tetapi kerusakan pada sel kanker
umumnya lebih besar dari sel normal. Sehingga perlu diatur dosis agar
kerusakan jaringan dapat diminimalkan dan pulih kembali.
c. Kemoterapi
Ialah terapi untuk membunuh sel-sel kanker dengan obat anti kanker yang
disebut sisostatika.
d. Hormonterapi
Ialah terapi untuk mengubah lingkungan hidup kanker, segingga
pertumbuhan sel-selnya terganggu dan akhirnya mati sendiri. Hormone terapi
hanya dipaki untuk beberapa jenis kanker yang pertumbuhannya dipengaruhi
oleh hormone (hormondependent), seperti kanker mammae, endometrium,
thyroid, dan prostat.
e. Immunoiterapi
Ialah terapi untuk menguatkan daya tahan tubuh dan memperbesar
kemampuan tubuh menghancurkan sel-sel kanker. Kemampuan immunoterapi
menghancurkan sel-sel kanker terbatas.
f. Bioterapi
Ialah terapi dengan menggunakan produk biologi, seperti sitokin,
interferon, antiangiogenesis dsb.
g. Terapi lain-lain
1) Elektrokoagulasi
2) Laser surgery
3) Cryo surgery

10
4) Khemosurgery

PENGERTIAN KEMOTERAPI

Aziz Farid (2006) mengatakan bahwa berbeda dengan terapi radiasi dan
pembedahan, kemoterapi atau disebut juga dengan istilah “kemo” adalah pengobatan
kanker dengan menggunakan obat-obatan atau hormone yang bersifat sitotoksik dalam
terapi kanker yang dapat menghambat proliferasi sel kanker. Kemoterapi dapat digunakan
dengan efektif pada penyakit-penyakit baik yang diseminata maupun yang masih
terlokalisasi.

Kemoterapi adalah prosedur pengobatan atau terapi kanker dengan memberikan


obat-obatan untuk membunuh sel kanker. Jaringan tubuh kita terdiri dari milyaran sel, di
mana sel-sel tersebut akan terus tumbuh dan berkembang. Proses ini akan terus berjalan
apabila terdapat sel yang memerlukan perbaikan. Umumnya, sel-sel dalam tubuh akan
terus tumbuh dan mati dengan cara yang terkendali. Namun, pada kondisi kanker, sel
kanker tumbuh tanpa kendali. Sehingga, dibutuhkan kemoterapi untuk menghentikan
penyebaran atau memperlambat pertumbuhan sel kanker tersebut.

MACAM-MACAM KEMOTERAPI

Terdapat tiga program kemoterapi yang dapat diberikan pada pasien kanker yaitu
sebagai berikut:

1. Kemoterapi primer, yaitu kemoterapi yang diberikan sebelum tindakan medis


lainnya, seperti opersai dan radiasi.
2. Kemoterapi adjunvat, yaitu kemoterapi yang diberikan sesudah tindakan operasi
atau radiasi. Tindakan ini ditujukan untuk menghancurkan sel-sel kanker yang
masih tersisa atau metastasis kecil.
3. Kemoterapi neoadjuvant, yaitu kemoterapi yang diberikan sebelum tindakan
operasi atau radiasi yang kemudian dilanjutkan kembali dengan kemoterapi.
Tindakan ini ditujukan untuk mengecilkan ukuran massa kanker yang dapat
mempermudah saat dilakukannya tindakan operasi atau radiasi.

11
4. Kemoterapi kombinasi bertujuan untuk memperbaiki laju respons dan
memperbaiki laju respons dan memperbaiki daya ketahanan hidup. Efektivitas
kemoterapi kombinasi meningkatkan karena mencegah timbulnya klon yang
resisten. Efek sitolitik akan meningkatkan karena menggabungkan 2 macam obat
yaitu fase spesifik dan dan fase nonspesifik sehingga dapat membunuh sel baik
yang berada dalam pembelahan maupun sel dalam fase inaktif.

Terdapat beberapa pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum dan/atau sesudah


pasien menjalani kemoterapi, diantaranya sebagai berikut:

1. Darah tepi (hemoglobin, , leukosit, hitung jenis dan trombosit).


2. Fungsi hepar (SGOT, SGPT, alkali fosfat, dan bilirubin).
3. Fungsi ginjal (ureum, kreatinin, dan creatinin clearance Test jika ada peningkatan
serum kreatinin).
4. Audiogram (terutama jika pasien diberikan obat kemoterapi cisplatin)

Sifat alamiah serta penggunaan kemoterapi harus benar-benar dimengerti


sehingga dapat dibuat keputusan yang tepat dan rasional. Untuk memahami rasional
dari pengobatan kanker harus mengerti kineka sel dalam siklus pembelahan. Setiap
sel yang membelah diri akan mengikuti pola replikasi sel yang disebut waktu generasi
(generation time) yang terdiri atas lima fase berikut ini:

1. Fase G 1: pada saat ini diproduksi enzim untuk sintesis DNA dan RNA
berlangsung kira-kira 4-24 jam
2. Fase S: pada fase ini mulai terjadi sintesis DNA kira-kira 10-20 jam
3. Fase G 2 (premitosis) : pada fases ini terjadi sintesis RNA dan protein seluler (2-
10 jam). Setelah fase ini selanjutnya sel akan masuk fase M
4. Fase M: terjadi mitosis sel, terjadi pembelahan sel dari 1 sel akan terbentuk 2 sel
anak (0,5-1 jam) yang selanjutnya akan masuk ke G 2
5. Fase G 0: sel-sel yang tidak aktif akan masuk ke fase G 0 dimana proses
makromolekuler relative tidak aktif sehingga sel tersebut tidak snsitif terhadap
kemoterapi.

12
Kanker tidak berkembang lebih cepat daripada jaringan normal. Pada jaringan tumor
lebih banyak sel yang berada dalam fase aktif dari siklus sel jika dibanmdingkan pada
jaringan normal. Pada jaringan normal sebagian besar populasi sel berada dalam fase
G 0.

CARA PEMEBRIAN KEMOTERAPI

Aziz Farid (2006) mengatakan pada pemberian obat kemoterapi harus dilakukan
evaluasi sebelum dilakukan pengobatan antara lain, yaitu:

1. Evaluasi terhadap jaringan sekitar jarum infus apabila dibalut harus dibuka
2. Kanula harus terfiksir dengan baik
3. Mengajarkan pada pasien untuk ssgera memberi tahu jika ada keluhan pada saat
pengobatan dilakukan (rasa panas atau seperti tersengat, gatal pada lokasi insrsi
jarum atau sepanjang vena).

Sedangkan Setiati (2014) menjelaskan ada beberapa teknik pemberian


kemoterapi. Masing-masing tehnik ditentukan oleh jenis keganasan yang diobati,
lokasi dari keganasan, dan jenis obat sitostatika yang diperlukan:

1) Pemberian Peroral
Beberapa jenis kemoterapi telah dikemas untuk pemberian peroral, diantaranya
adalah chlorambucil dan etoposide (VP-16). Diberikan pada pada kanker ovarii
yang kambuh dengan platinum dan taksan.
2) Pemberian secara Intravena
Pemberian ini dapat dengan bolus perlahan lahan atau diberikan secara infus
(drip). Pemberian dapat dilakukan Pada kanker payudara baik sebagai terapi
ajuvan, neoajuvan maupun kanker payudara yang sudah metastasis. Obat yang
sering digunakan pada IV adalah epirubisin, siklosfamid, sitarabin.
3) Pemberian secara Intravascular
Pemberian dengan pemasangan reservoar subQ secara operatif dan dengan kateter
ventricular (SRVC). Diberikan untuk terapi meningitis neoplastic, tumor solid,
profilaksin dengan risiko tinggi limfoma dan dan leukemia. Contoh obatnya
adalah metotreksat, tiotepa, dan sitarabin.

13
4) Pemberian secara Intraperitoneal
Cara ini juga jarang dilakukan karena membutuhkan alat khusus (kateter
intraperitoneal). Pemberian kemoterapi ini diindikasikan pada minimal tumor
residu kanker ovarium, untuk trial terapi ajuvan, kanker gaster dan kolon. Jenis
obat pada terapi ini adalah sisplatin/karboplatin, metotreksat, dosorubisin,
paklitaksel, dan interferon alfa.
5) Pemberian Intra-arterial
Kemoterapi intra-arteri (IAC) merupakan metode pemberian obat kemoterapi
langsung ke jaringan kenker melalui pembuluh darah arteri dengan menggunakan
kkateter dan system pencitraan X-ray untuk melihat arteri. Metode IAC ini efktif,
baik sebagai pengobatan primer atau sekunder (setelah radiasi atau kemoterapi
IV).
6) Pemberian Intravesikal
Terapi ajuvan profilaksis dan etiologic adalah untuk mengemilinasi karsinoma in
situ, karsinoma superfisial yang tidak dapat diresksi dan mencegah kekambuhan.
Terapi intravesikal, didasarkan pada kecenderungan dan resiko terjadinya progesi
dan kekambuhan.

MEKANISME UMUM KERJA OBAT KEMOTERAPI KANKER

Aziz Farid (2006) , Tujuan penggunaan obat kemoterapi terhadap kanker adalah
mencegah/menghambat multiplikasi sel kanker, menghambat invasi dana metastase.
Karena poliferasi juga mnerupakan proses yang terjadi pada beberapa sel organ normal,
kemoterapi juga berefek toksik terhadap sel-sel normal terutama pada jaringan-jaringan
yang mempunyai siklus sel yang cepat anatra lain sumsum tulang, epitel mukosa, dan
folikel rambut. Oleh karena itu, kemoterapi yang ideal harus mempunyai efek
menghambat yang maksimal terhadap pertumbuhan sel kanker, tetapi mempunyai efek
minimal terhadap selsel jaringan tubuh yang normal.

Proses inhibisi ploriferasi sel dan pertumbuhan kanker dapat terjadi pada beberapa
tingkat proses dalam sel (1) sintesis makromokuler, (2) organ dalam sitoplasma, dan (3)
fungsi sintesis membrane sel. Kebanyakan obat sitotoksik mempunyai efek yang utama
pada proses sintesis dan fungsi molekul makroseluler, yaitu proses sintesis DNA, RNA,

14
atau protein atau mempengaruhi kerja molekul tersebut. Proses ini cukup menimbulkan
kematian sel.

EFEK SAMPING PEMBERIAN KEMOTERAPI

a. Respon objektif
Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan regresi tumor sehingga regresi
tumor dapat digunakan sebagai ukuran efektivitas pengobatan. Regresi tumor
dapat dievaluasi dengan berbagai cara:
1. Regresi ukuran tumor
a) Respon komplit: hilang massa tumor pada 2 kali pemeriksaan berselang 4
minggu
b) Respon persial: berkurangnya ukuran tumor yaitu diameter terbesar dan
diameter perpendikuler sebesar 50% atau lebih tanpa ada pertumbuhan lesi
baru selama 4 minggu
c) Tumor yang stabil (stable disease) berkurangnya ukuran tumor <50%
d) Lesi progesif: ukuran tumor meningkat > 50%
2. Produk tumor
Pada beberapa kanker ukuran tumor tidak dapat dievaluasi sehingga dapat
digunakan pengukuran produksi tumor untuk mengevaluasi respons tumor,
contoh beta hCG untuk mengevaluasi koriokarsinoma.
3. Evaluasi keadaan klinis penderita
Perubahahn objektivitas dari keadaan klinik dapat dijadikan ukuran respons
penyakit terhadap pengobatan contohnya derajat deficit neurologi pada
penderita dengan tumor serebri.
4. Perubahan status penderita

b. Toksisitas
Toksisitas merupakan adalah tingkat merusaknya suatu zat jika dipaparkan
terhadap organisme. Toksisitas dapat mengacu pada dampak terhadap seluruh
organisme, seperti hewan, bakteri, atau tumbuhan, dan efek terhadap substruktur

15
organisme, seperti sel (sitotoksisitas) atau organ tubuh seperti hati
(hepatotoksisitas).

c. Toksisitas umum obat-obat kemoterapi


1) Mual muntah
Keluhan mual dan muntah setelah kemoterapi digolongkan menjadi 3 tipe
yaitu akut, tertunda (delayed) dan terantisipasi (antipatory). Muntah akut
terjadi pada 24 jam pertama setelah kemoterapi. Muntah yang terjadi setelah
periode akut ini kemudian digolongkan dalam muntah tertunda (delayed) yang
terjadi pada 24-96 jam setelah kemoterapi.
2) Alopesia
Kerontokan rambut sering terjadi pada kemoterapi akibat efek letal obat
terhadap sel-sel folikel rambut. Pemulihan akan terjadi ketika kemoterapi
dihentikan. pada beberapa pasien rambut dapat tumbuh kembali pada saat
terapi masih berlangsung. Tumbuhnya kembali merefleksikan proses
proliferative kompensatif yang meningkatkan jumlah sel-sel induk atau
mencerminkan perkembangan resistensi obat pada jaringan normal.
Dicky (2017) juga menjelaskan bahwa karena efek obat kemoterapi tidak
mampu membedakan sel kanker dan sel yang sehat/ normal sehingga sel-sel
folikel juga ikut hancur dan menyebabkan kerontokan. Namun sel-sel folikel
merupakan salah satu sel yang dapat mebelah diri dengan cepat sehingga dapat
rambut dapat kembali setelah pasien selesai menjalani kemoterapi.
3) Mukositis
Mukositis dapat terjadi pada rongga mulut (stomatitis), lidah (glossitis),
tenggorok (esophagitis), usus (enteritis), dan rekum ( prokstitis). Umumnnya
mukositis terjadi pada hari ke 5-7 setelah kemoterapi. Satu kali mukositis
muncul, siklus selanjutnya akan terjadi mukositis kembali, kecuali obat
diganti atau dosis diturunkan. Mukositis dapat menyebabkan infeksi sekunder,
asupan nutrisi yang buruk, dehidrasi, penambahan lama waktu perawatan, dan
peningakatan biaya perawatan.
4) Diare

16
Kemoterapi mempengaruhi daya serap dan peningkatan zat terlarut dalam
lumen usus. Hal ini menyebabkan pergeseran osmotic air ke lumen sehingga
terjadinya diare. Selain itu diare disebkan karena kerusakan sel epitel saluran
cerna sehingga absorpsi tidak adekuat. Obat golongan antimetabolite adalah
yang sering menimbulkan diare. pasien dianjurkan untuk makan rendah serat,
tinggi protein (enteramin) dan minum cairan yang banyak. Jika terjadi lecet
pada perianal, maka segera atasi agar tidak memicu infeksi.
Diare merupakan efek samping yang sering dialami oleh penderita kanker
dengan stadium lanjut. Diare dapat menyebabkan dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, insufisiensi ginjal, disfungsi kekebalan tubuh
dan kemingkinan dapat menyebabkan kematian dalam kasus yang ekstrem.
5) Infertilitas
Spermatogenesis dan pembetukan folikel ovarium merupakan hal yang rentan
terhadap efek toksik obat antikanker. Pria yang mendapatkan kemoterapi
seringkali produksi spermanya menurun. Biopsis testis seringkali
menununjukkan hilangnya sel-sel germinal pada tubulus seminiferous, hal ini
terjadi akbit efek obat terhadap sel yang berproliferasi cepat. Sedangkan pada
perempuan seringkali menyebabkan premenopouse mengalami penghentian
menstruasi menopause. Hilangnmya efek ini sangat tergantung dari umur,
jenis obat yang digunakan, serta lama intesitas kemoterapi. Biopsi ovarium
menunjukkan kegagalan pembentukan folikel ovarium.
6) Reaksi alergi atau hipersensitivitas
Kemoterapi dapat menyebabkan reaksi alergi atau hipersensitivitas, yang
dipicu oleh respon sistem kekebalan tubuh. Anafilaksis adalah reaksi alergi
yang parah, yang dapat menyebabkan tekanan darah rendah, syok, atau
bahkan kematian. Gejala utama reaksi alergi antara lain sulit bernafas, ruam
kulit, gatal-gatal, pembengkakan kelopak mata, pembengkakan lidah, dan
pembengkakan bibir.
7) Gangguan Kulit
Kemoterapi dapat menyebabkan masalah-masalah kulit seperti ruam kulit dan
kulit kering. Selain itu juga dapat menyebabkan kulit terkelupas, pecah-pecah,

17
bersisik, gatal atau terjadi perubahan warna kulit menjadi lebih hitam atau
gelap kusam (hiperpigmentasi) hingga terjadi kelainan pada kuku yang berupa
pita berwarna atau depresi horizontal, vertikel, hiperpigmentasi total,
berwarna kekuningkuningan, kuku mengalami kerusakan dan terlepas. Hal ini
terjadi akibat pengaruh dari beberapa obat kemoterapi, namun kelainana kuku
ini akan menghilang setelah obat dihentikan 6-12 bulan.
8) Kelelahan
Banyak pasien kanker mengeluh kelelahan dan kurang tenaga. Ini disebabkan
rasa sakit, kehilangan nafsu makan (anoreksia), kekurangan tidur/istrahat serta
anemia sehingga dalam hali ini menyebabkan pasien mengalami tekanan
darah yang rendah. Kelelahan karena kemoterapi muncul tiba-tiba walau tanpa
melakukan aktifitas. Selain dari faktor proses pengobatan atau perawatan.
Kelelahan juga dapat disebabkan oleh faktor psikologis pasien (stress) yang
berkepanjangan akibat penyakit. Kelelahan berlangsung beberapa hari,
beberapa minggu, atau bahkan sampai beberapa bulan.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kseimpulan
Kanker adalah pertumbuhan sel-sel baru secara abnormal yang tumbuh
melampaui batas normal, dan yang kemudian dapat menyerang bagian sebelah
tubuh dan menyebar ke organ lain. Proses ini disebut metastasis. Metastasis
merupakan penyebab utama kematian akibat kanker (WHO, 2009).
Penanganan kanker yaitu dengan pembedahan, radiasi dan kemoterapi.
Kemoterapi adalah proses pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang
bertujuan untuk membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel- sel kanker.
Kemoterapi dapat diberikan dengan cara Infus, Suntikan langsung (pada otot,
bawah kulit, rongga tubuh) dan cara diminum (tablet/kapsul). Kemoterapi efektif
untuk menangani kanker pada anak terutama dengan penyakit tertentu yang tidak
dapat diatasi secara tuntas dengan pembedahan maupun radiasi (Bowden, et al.,
1998 dalam Apriany, 2010).
Efek samping kemoterapi yang sering timbul secara langsung adalah mual,
muntah, sariawan, radang tenggorokan, dan gangguan pencernaan, efek ini timbul
karena obat- obat kemoterapi sangat kuat, dan tidak hanya membunuh sel-sel
kanker, tetapi juga menyerang sel-sel sehat, terutama selsel yang membelah
dengan cepat. Obat kemoterapi secara umum disebut sitostatika, berefek
menghambat atau membunuh semua sel yang sedang aktif membelah diri. Jadi,
sel normal yang aktif membelah atau berkembang biak juga terkena dampaknya,
seperti sel akar rambut, sel darah, sel selaput lendir dan mulut. Sel tubuh tersebut
adalah yang paling parah terkena efek samping kemoterapi, sehingga dapat timbul
kebotakan, kurang darah, sariawan, dll (Hendry, 2007). Efek samping yang timbul
dari kemoterapi ini akan mempengaruhi asupan makanan, pencernaan dan
penyerapan zat gizi sehingga akan mempengaruhi status gizi. Status gizi yang baik
dapat menurunkan komplikasi dari pengobatan kanker dan membuat penderita
merasa lebih baik (Eryn, 2016).

19
3.2 Saran
Penulis mengharapkan kepada semua pembaca agar dapat menelaah,
memahami dan mengaplikasikan mengenai yang telah tertulis dalam makalah ini
sehingga sedikit banyak bisa menambah pengetahuan untuk pembaca. Selain itu
juga, penulis mengaharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sehingga penulis bisa berorientasi lebih baik pada makalah selanjutnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Lestari, Y. E. (2011). Analisis model matematika pada interaksi sistem imun


dengan pertumbuhan sel tumor (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim)

Larasati, B. A., & Kautsar, A. P. (2016). Perbandingan Berbagai Teknologi untuk


Mencari dan Deteksi Kanker Payudara: Article Review. Farmaka, 14(1),
48-62

Kembuan, M. A. (2016). Sidroma neuroleptik maligna patofisiologi, diagnosis,


dan terapi. Jurnal Biomedik: JBM, 8(2)

Fathonah, R. (2018). Identifikasi Efek Samping Kemoterapi Pada Penderita


Kanker Di Yayasan Kanker Sindonesia Mulyorejo (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Surabaya)

Fadrial, A. M., Muchtar, F., Rum, M., & Hisbullah, H. (2021). Tatalaksana
Neuroleptik Malignant Syndrome di Intensif Care Unit dengan Impending
Organ Failure. UMI Medical Journal, 6(2), 89-100.

21

Anda mungkin juga menyukai