Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH ASPEK FARMAKOLOGI OBAT-OBAT UNTUK PENGOBATAN

PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN SERTA GANGGUAN PADA MATA, TELINGA,


HIDUNG DAN TENGGOROKAN

OLEH KELOMPOK 9 :

NAMA : 1. RUBIYANTO SOARES

2. RINTIS NOMLENE

3. SHERLY JAKARIA

KELAS / SEMESTER : E / II

PRODI : S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARANATHA

KUPANG

2023
Kata Pengantar

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmat-
Nya kami bisa menyelesaikan tugas kami. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu kami dalam segala aspek, sehingga tugas ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Tugas ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya tugas ini. Semoga tugas ini memberikan
informasi bagi Mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.

Kupang,
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….
KATA PENGANTAR………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………….
1.1 Latar belakang…………………………………………………………………….
1.2 Tujuan……………………………………………………………….
1.3 Manfaat ……………………………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………

2.1 Aspek Farmakologi obat untuk pengobatan penyakit kulit……………………….

2.2 Aspek Farmakologi obat untuk kelamin…………………………………………..

2.3 Aspek Farmakologi obat untuk gangguan pada mata……………………………….


2.4 Aspek Farmakologi obat untuk gangguan pada telinga………………………………
2.5 Aspek Farmakologi obat untuk gangguan pada hidung………………………………
2.6 Aspek Farmakologi obat untuk gangguan pada tenggorokan…………………………

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………


3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………..
3.2 Saran…………………………………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Obat merupakan salah satu unsur utama dan pertama dalam ilmu farmakologi,
selain itu obat juga tidak bisa terpisahkan dalam unsur pelayanan kesehatan. Pengertian
Obat sendiri adalah suatu bahan atau campuran bahan untuk dipergunakan dalam
menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit
atau gejala penyakit, luka atau kelainan jasmani dan rohani pada manusia atau hewan
termasuk untuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia. Adapun pengertian
tentang kulit dan kelamin serta gangguan pada mata, telinga, hidung dan tenggorokan.
Pemberian obat pada kulit dan kelamin merupakan cara memberikan obat pada
kulit dengan mengoleskan bertujuan mempertahankan hidrasi, melindungi permukaan
kulit, mengurangi iritasi kulit, atau mengatasi infeksi. Pemberian obat dapat bermacam-
macam seperti krim, losion, aerosol dan sprei.
Pemberian terapi pada mata dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun dengan
adanya hambatan statis dan dinamis, pemberian secara sistemik merupakan suatu hal
yang sulit dilakukan. Jalur penyerapan obat pada mata sangat tergantung oleh sifat
kelarutan obat tersebut terhadap air atau lemak. Pemberian obat secara topikal atau lokal
menjadi pilihan utama untuk menangani penyakit pada segmen anterior bola mata.
Pemberian obat pada telinga biasanya dilakukan melalui kanal atau dalam bentuk
cairan, tujuannya memberikan efek terapi lokal atau mengurangi peradangan, membunuh
orgasm penyebab infeksi pada kanal telinga eksternal, meghilangkan rasa nyeri dan
melunakan serumen agar mudah di ambil.
Pemberian obat pada hidung dengan cara memberikan tetes hidung, yang dapat
dilakukan pada seseorang dengan keradangan hidung (rhinitis) atau nasofaring.
Tujuannya untuk meredakan gejala sumbatan (kongesti) sinus dan flu, dan dapat
digunakan untuk astma.
Pengobatan sakit tenggorokan akan disesuaikan dengan penyebabnya. Jika sakit
tenggorokkan disebabkan oleh infeksi bakteri, akan diresepkan antibiotik. Dosis dan lama
pengobatan akan disesuaikan dengan hasil pemeriksaan.
1.2 Tujuan

1) Mahasiswa dapat mengetahui tetang pengertian kulit kelamin


2) Mahasiswa dapat mengetahui tentang pengobatan gangguan pada mata
3) Mahasiswa dapat mengetahui tentang pengobatan gangguan pada telinga
4) Mahasiswa dapat mengetahui tentang pengobatan gangguan pada hidung
5) Mahasiswa dapat mengetahui tentang pengobatan gangguan pada tenggorokan

1.3 Manfaat

1) Untuk mengetahui tentang pengertian kulit kelamin


2) Untuk mengetahui tentang pengobatan gangguan pada mata
3) Untuk mengetahui tentang pengobatan gangguan pada telinga
4) Untuk mengetahui tentang pengobatan gangguan pada hidung
5) Untuk mengetahui tentang pengobatan gangguan pada tenggorokan
BAB 2
PEMBAHASAN

B. ASPEK FARMAKOLOGI OBAT TENTANG PENGOBATAN KULIT

Kortikosteroid sistemik memiliki peran yang paling luas di antara semua antiinflamasi
dan imunosupresi banyak agen. Penggunaannya di dalam berbagai bidang dari kedokteran,
termasuk dermatologi, banyak menghasilkan perbaikan klinis yang bermakna. Di sisi lain,
pengaruh kortikosteroid terhadap sebagian besar sistem organ, terutama bila diberikan dalam
dosis tinggi jangka panjang, berpotensi menghasilkan efek samping yang utama, meliputi
gangguan neuropsikiatrik, kelainan mata, penyakit kardiovaskular, dislipidemia,
hiperkoagulabilitas, gangguan gastrointestinal, hiperglikemia, gangguan cairan-elektrolit,
kelainan kulit, lipodistrofi, miopati, osteoporosis, infeksi akibat imunosupresi, supresi tumbuh-
kembang anak, serta supresi sumbu hipotalamus-hipofisis-adre-akhir optimalisasi penggunaan
kortikosteroid berdasarkan sifat farmakologiknya, yakni pemilihan persiapan, rejimwn dosis,
interval serta waktu dan lama pemberian, metode tapering off, potensi interaksi obat, skrining
dan pemantauan efek samping serta reaksi hipersentivitas, juga pemahaman akan fenomena
resistensi, kemungkinan timbul dampak buruk dapat dibatasi, sehingga peranan obat ini sebagai
pilihan terapi bagi klinisi dapat dipertahankan.

 Mekanisme Kerja

Kortikosteroid terbagi atas mineralokortikoid yang mengatur keseimbangan air dan


elektrolit dengan aldosteron sebagai prototipenya, serta glukokortikoid yang mengatur
metabolisme dalam mempertahankan hemeotasis, dengan kortisol (hidrokortison) sebagai
prototipenya. Sintesis dan pelepasan kortisol oleh korteks adrenal mengikuti variasi diurnal
(mencapai kadar tertinggi pagi hari lalu menurun sepanjang hari), dengan kecepatan sekresi
optimal 10 mg/hari. Kortikosteroid memengaruhi kecepatan sintesis protein, dimulai dari difusi
pasif ke dalam sel, bereaksi dengan reseptor spesifik sitoplasma membentuk kompleks steroid-
reseptor, mengalami perubahan konfirmasi dan bergerak menuju nukleus untuk berikatan dengan
kromatin, lalu menstimulus transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik untuk mewujudkan
efek fisiologis steroid. Selain terlibat dalam metabolisme, glukokortikoid menunjukkan efek
antiinflamasi, imunosupresi, antiproliferasi, dan vasokonstriksi. Efek antiinflamasi dihasilakn
melalui aktivasi transkripsi gen antiinflamasi/represi transkripsi gen proinflamasi.
Glukokortikoid menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrien melalui hambatan fosfolipase
A2 dalam melepaskan asam arakhidonat (supresi peruabahan vaskular). Efek imunosupresi
didapat dengan menekan hipersentivitas tipe lambat yakni, menghambat fagositosis oleh
makrofag serta mengurangi aktivitas limfosit T, dengan hanya sedikit pengaruh pada imunitas
humoral (supresi perubahan selular). Sebagai antiproliferatif, glukokortikoid menghambat
sintesis deoxyribonucleic acid (DNA) dan turnover sel epidermis. Sebagai bahan vasokonstriktif,
glukokortikoid menghambat histamin dan mediator vasodilator lain.

 Farmakokinetik – Farmakodinamik

Bioavailabilitas kortikosteroid oral mencapai 80-90%, berkurang oleh asam lambung dan
metabolisme lintas pertama di hati. Perubahan struktur kimia memengaruhi kecepatan absorpsi,
awitan dan lama kerja. Prednisonadalah prodrug yang diubah menjadi prednisolon, yaitu bentuk
aktifnya dalam tubuh, sehingga hanya tersedia secara oral yang memungkinkannya melewati
metabolisme lintas pertama saat absorpsi. Pada penyakit hati berat, prednisolon lebih disarankan,
karena tidak membutuhkan hidroksilasi untuk aktif secara biologis. Kortikosteroid diabsorpsi
melalu kulit, sehingga penggunaan jangka panjang untuk daerah luas menyebabkan fek sistemik.
Sebanyak 90% kortisol terikat pada protein plasma globulin pengikat kortikosteroid (transkortin)
dan albumin. Minimal 70% kortisol dimetabolisme di hati dengan masa paruh eliminasi 2-4 jam,
dan metabolitnya merupakan senyawa inaktif/berpotensi rendah.

Efek kortikosteroid berhubungan dengan dosis, yakni makin besar dosis akan makin
besar pula efeknya. Ada juga keterkaitan kerja dengan hormon lain melalui kerjasama permissive
effects, yaitu pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respons jaringan
terhadap hormon lain. Kortikosteroid dibagi atas sediaan dengan kerja singkat (<12 jam), kerja
sedang (12-36 jam), dan kerja lama (>36 jam). Potensi relatif dikaitkan dengan afinitas terhadap
reseptor, dinilai berdasarkan efek glukoneogenesis, khasiat antiinflamasi, serta retensi natrium
(rasio mineralokortikoid), yang menentukan efikasi. Kortikosteroid diberikan dalam dosis rendah
(setara prednison ≤7,5 mg/hari), dosis menengah (>30 mg-100 mg/hari), dosis tinggi (>100
mg/hari), atau dosis denyut jika prednison ≥250 mg/hari diberikan selama satu atau beberapa
hari. Terapi jangka pendek didefenisikan sebagai terapi dengan waktu kurang dari 3 bulan,
jangka menengah antara 3-6 bulan. Prednison lebih dari 20 mg/hari selama lebih 3 bulan juga
termasuk pemberian dosistinggi jangka panjang.

Hidrokortison lebih aman digunakan untuk anak karena efek supresi rendah terhadap
pertumbuhan. Prednison, karena murah, mungkin adalah kortikosteroid sistemik yang paling luas
digunakan untuk kondisi kronis. Karena aktivitas glukokortikoidnya relatif tinggi dibandingkan
mineralokortikoidnya, prednison sering digunakan sebagai antiinflamasi atau imunosupresi.
Metilprednisolon, meskipun mirip prednison, menunjukkan aktivitas mineralokortikoid yang
lebih kecil lagi, sehingga disarankan untuk kasus yang efek mineralokortikoidnya tak diinginkan.
Deksametason juga menunjukkan aktivitas mineralokortikoid minimal, tetapi jauh lebih poten
dengan masa kerja lebih panjang. Pengobatan dengan jangka panjang dengan deksametason
dihubungkan dengan supresi berat sumbu hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA), sehingga hanya
digunakan jangka pendek pada kondisi akut dan sangat berat. Selain itu, masa kerjanya yang
panjang membuatnya tidak sesuai untuk terapi intermiten.

Pemberian dosis kortikosteroid bersifat sangat individual tergantung kondisi penyakit,


farmakokinetik preparat, potensi interaksi, srta respons terapi. Pada kelainan endokrin, dosisnya
mendekati dosis fisiologis, sedangkan pada gangguan non-endokrin diberikan dosis terapi untuk
menekan inflamasi. Toksisitas kortikosteroid berhubungan dengan dosis rata-rata dan akumulasi
lama penggunaan, namun batas ambang dosis atau lama terapi belum dapat ditetapkan. Saat
stres, dosis ditingkatkan untuk mencegah krisis adrenal. Stres ringan berupa aktivitas fisik,
emosi, imunisasi, dan penyakit virus tanpa komplikasi tidak membutuhkan rejimen tambahan.
Dosis tambahan diperlukan pada trauma, demam, muntah, diare, penurunan asupan oral, luka
bakar luas, letargi, serta pembedahan.

 Efek samping

Efek samping kortikosteroid timbul akibat pemberian terus-menerus terutama dengan


dosis tinggi, atau bila pemberian jangka lama kemudian dihentikan tiba-tiba. Sindrom Cushing
(hiperkortisolisme) terjadi akibat tingginya kortisol darah dalam waktu lama, akibat tumor
hipofisis sebagai penyebab eksogen. Serta 70% kematian akibat sindrom Cushing dihubungkan
dengan kardiovaskular atau infeksi. Terapi sindrom Cushing akibat kortikosteroid eksogen
adalah mifepriston sebagai antagonis reseptor glukokortikoid, namun masih kontroversi akibat
aktivitasnya yang juga sebagai antagonis reseptor progesteron.

Adapun retinoid merupakan salah satu senyawa aktif yang paling luas penggunaannya di
bidang dermatologi, yaitu sebagai anti-akne, anti-aging dan depigmenting agent. Penggunaan
retinoid dapat menimbulkan iritasi pada kulit yang dapat diminimalkan dengan cara pemakaian
konsentrasi dan frekuensi yang dinaikkan bertahap. Selain itu, retinoid memiliki potensi
teratogenik sehingga harus dihindari penggunaannya pada wanita hamil dan usia produktif.

C. ASPEK FARMAKOLOGI OBAT TENTANG PENGOBATAN KELAMIN

Penyakit kulit beragam, mulai dari yang ringan, hingga yang paling parah bisa
mengancam nyawa kamu. Banyak faktor yang menyebabkan penyakit kulit, mulai dari
faktor lingkungan hingga faktor genetic Jika kamu pernah memiliki riwayat penyakit
kulit, jaga kebersihan kulit kamu agar kamu tidak terinfeksi penyakit kulit lainnya.
Khususnya di bagian organ intim kamu, karena ternyata ada penyakit kulit yang bisa
menyerang alat kelamin Menurut (Siti Aisya & Aida Vitria, 2017).
Contohnya : inveksi parasite
Parasite seperti kutu dan tunggang, merupakan jenis parasite yang serng
menimnulkan penyakit kulit, yaitu kudis. Selain itu jenis parasittersebut, infeksi cacing
juga bisa menimbulkan penyakit kulit.

Jenis pengobatan pada penyakit kulit yaitu : ANTIBIOTIK

Antibiotic salep diberikan untuk mengatasi penyakit kulit akibat infeksi bakteri.pada
infeksi yang luas, dokter akan memberikan antibiotic dalam bentuk tablet atau kapsul
yang diminum. Konsumsi antibiotic haus berdasarkan resep dokter.

D. ASPEK FARMAKOLOGI OBAT TENTANG PENGOBATAN MATA

Mata adalah suatu panca indra yang sangat penting, yaitu untuk berinteraksi dengan
lingkungan sekitar. Jika mata mengalami gangguan dan kita mengabaikannya, bisa saja itu
merupakan gejala awal penyakit mata yang dapat berakibat fatal. Mengingat bahwa tenaga
ahli dan jam praktek yang terbatas, sehingga pasien tidak dapat konsultasi dengan pakar
kapan di mana saja, maka diperlukan sebuah sistem pakar yang dapat meenggantiakn peranan
seorang pakar Menurut (Erianto Ongko, 2017).

Contoh penyakit gangguan pada mata seperti : Buta warna


Ketika seseorang tidak dapat melihat warna tertentu, atau tidak dapat membedakan beberapa
warna, memungkinkan ia mengalami buta warna. Penyakit ini terjadi ketika sel-sel warna ( sel
kerucut ) tidak ada atau tidak berfungsi. Saat paling para, seseorang hanya bisa melihat dalam
bayangan, tetapi kondisi ini jarang terjadi. Kebanyakan orang yang memiliki kondisi ini
mendapatnya sejak lahir. Namun, bisa juga terjadi akibat konsumsi obat-obatan dan penyakit
tertentu.

Jenis pengobatan penyakit mata:

Penyakit ini dapat sembuh dengan obat tetes mata atau penggunaan kacamata. Namun, jika
penyakit seperti glau, atau katarak sudah dalam kondisi para perlu adanya perawatan laser hingga
pembedahan.

E. ASPEK FARMAKOLOGI OBAT TENTANG PENGOBATAN TELINGA

Sebenarnya apapun etiologi dari kelainan/penyakit tersebut, obat harus dapat mencapai
daerah yang mengalami kelainan (farmakokinetika), baru dapat berkerja mengatasi kelainan
tersebut (farmakodinamika). Terdapat beberapa rute yang dapat dipilih untuk memberikan obat
dengan bentuk sediaan tertentu. Setiap rute memiliki kelebihan dan kekurangan. Rute-rute
tersebut adalah:

1. Topikal : bentuk sediaan obat : tetes (solution dan suspensi), salep


2. Oral : tablet, kapsul, sirup, elixir
3. Parenteral :
a. Intravena, intra muskuler, subkutan, intrakutan
b. Injeksi subkunjungtiva, sub-Tenon's, dan retrobulbar, intaokuler, intravitreal,
intratimpanic, intakoklear.
Pemberian secara topikal, umumnya ditujukan untuk efek lokal pada daerah yang diaplikasikan,
misalnya mata atau telinga bagian luar saja. Namun, beberapa obat topikal, terutama pada
penggunaan dosis besar atau penggunaaan jangka panjang, dapat menimbulkan efek samping
sistemik (obat tersebut berhasil mencapai aliran darah sistemik dan mempengaruhi berbagai
sistem organ).

Pemberian obat per oral, secara pasti akan menimbulkan efek sistemik, karena obat tersebut
harus berhasil masuk ke dalam aliran darah sistemik, baru dapat mencapai daerah yang
mengalami kelainan, baik di mata, telinga atau maupun organ. Oleh karena itu, harus
dipertimbangan farmakokinetika (absorbsi, distribusi, metabolisme/ biotransformasi, dan
ekskresi) obat tersebut serta kemungkinan efek samping pada saluran cerna dan efek samping
sistemiknya.

Pemberian obat secara parenteral (injeksi), farmakokinetikanya tergantung pada tempat


injeksinya. Secara umum, rute pemberian ini tidak dipengaruhi oleh faktor absorbsi, karena obat
langsung mencapai aliran darah sistemik atau daerah yang mengalami kelainan. Rute pemberian
ini, membutuhkan suatu keahlian untuk mengaplikasikannya. Efek samping sistemik juga harus
dipertimbangkan.

ASPEK FARMAKOKINETIKA OBAT UNTUK TELINGA (khususnya TELINGA


DALAM)
Aspek farmakokinetika pada obat yang diberikan topikal, atau langsung ke dalam telinga
atau melalui rute sistemik, pada dasarnya sama dengan obat untuk sistem organ yang lain.
Beberapa hal yang khas, antara lain: absorbsi, beberapa aspek yang berhubungan dengan
absorbsi obat sehingga dapat mencapai telinga dalam:

1. Kompartemen cairan
 Sebagian besar struktur koklea, dilindungi barier darah koklea atau labirin
(blood-cochlear barrier / blood-labyrinthine barrier) dari aliran darah sistemik.
 Cairan dalam telinga terdiri atas 4 macam yaitu : (1) aliran darah sistemik; (2)
perilymph, cairan yang komposisinya mirip dengan cairan sebrospinal, (3)
endolymph, cairan yang tinggi kandungan K, dan (4) cairan ekstraseluler pada
tulang koklea.
2. Mekanisme Barrier : keberdaan barier ini membatasi obat yang mencapai koklea. Sel-
sel endotel yang menyusun kapiler pada koklea, sangat rapat, sehingga lebih sulit obat
melintasinya. Endotel ini juga muatannya lebih positif, sehingga hanya jika jumlah obat
yang tak terionisasi tinggi, yang dapat melintasinya.
Rute pemberian obat pada telinga :
1. Topikal : tetes telinga ; untuk kelainan pada telinga luar atau telinga tengah jika
membran timpani tidak intak lagi (saat ekskresi otorea telinga minimal)
2. Oral : tablet, kapsul, sirup, eliksir; efek sistemik
3. Parenteral :
 Intratympanic ; misalnya gentamicin dan steroid untuk mengobati penyakit
menier (telinga dalam)
 Metodenya :
1. Transtympanic injection atau myringotomy
2. Silverstein MicroWick
3. Microcatheter implantation
4. Hydrogel application
 Nanoparticles
 Langsung ke dalam telinga dalam (intakoklear)
o Metodenya :
1. Melalui Cochlear Implantation
2. Melalui osmotic pump
3. Melalui reciprocating perfusion system

Macam-macam Obat Telinga yang digunakan untuk Terapi

 Antibiotik

Antibiotik adalah zat yangdigunakan untuk menghambat pertumbuhan (bakteriostatik) dan atau
membunuh bakteri (bakterisid). Efek ini terkait dengan toksisitas spesifik dari antibiotik terhadap
sel bakteri, akan tetapi aman untuk sel manusia.

Mekanisme kerja utama antibiotik adalah:

1) Penghambatan sintesis dinding sel

2) Perubahan permeabilitas membrane dan transport aktif membrane sel

3) Penghambatan sintesis protein

4) Penghambatan sintesis asam nukleat


Jenis antibiotik yang sering digunakan :

1. Penicillin

Penisilin merupakan asam organik, terdiri dari satu inti siklik dengan satu rantai samping. Inti
siklik terdiri dari cincin tiazolidin dan cincin betalaktam. Penisilin menghambat pembentukan
mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.

Penggunaan pada bidang THT


1) Penisilin G
Merupakan antibiotic terpilih untuk infeksi pneumokokus, streptokokus, stafilokokus,
gonokokus, treponema pallidum, bacillus antracis, lysteria, dan bacterioides.
2) Penisilin V per oral
Biasanya diberikan bersama dengan aminoglikosida untuk infeksi saluran napas atau struktur
yang berhubungan, terutama pada anak-anak (faringitis, otitis, sinusitis).
3) Benzatine Penisilin G
Suntikan IM benzatine penisilin terutama berguna untuk faringitis streptokokus beta
hemolitikus.
4) Ampisilin dan amoksisilin
Umumnya digunakan pada infeksi sekunder saluran napas (otitis, sinusitis, dan bronchitis).

Efek samping
1) Alergi
2) Toksisitas pada SSP

Penisilin tersedia dalam sediaan sebagai berikut:


1) Penisilin V tersedia sebagai garam kalium dalam bentuk tablet 250 mg dan 625 mg dan sirup
125 mg/5 ml.
2) Penisilin G biasanya digunakan secara parenteral.Sediaan terdapat dalam bentuk penisilin G
larut air dan repository untuk suntikan IM.
3) Ampisilin trihidrat dosis dewasa 250 4x/hari aau 500 mg 2x/hari. Anak 5-10 tahun 125-250
mg, 2-5 tahun 125 mg, <2 tahun 62,5 mg. Dosis ini diberikan 4 x/hari.
4) Amoksisilin tersedia sebagai kapsul atau tablet berukuran 125,250,dan 500 mg dan sirup 125
mg/5 ml.Dosis sehari dapat diberikan lebih kecil daripada ampisilin karena absorpsinya lebih
baik daripada ampislilin yaitu 3 kali 250-500 mg sehari.
2. Sefalosporin

Sefalosporin memiliki cara kerja yang analog dengan penisilin dengan terikat pada PBPs,
yaitu: menghambat pembentukan dinding sel bakteri dengan inhibisi transpeptidasi
peptidoglikan, dan aktivasi enzim autolitik dalam dinding sel bakteri.
Penggunaan pada bidang THT
1) Cefadroxil dan Cefalexin
Obat golongan Cefalosporin ini yang digunakan untuk mengobati infeksi tertentu yang
disebabkan oleh bakteri pada kulit, tenggorokan, dan infeksi kandung kemih. Antibiotik ini
tidak efektif untuk pilek, flu atau infeksi lain yang disebabkan virus.
2) Cephalotin
Obat golongan Sefalosporin ini yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri dan penyakit
pada infeksi kulit dan jaringan lunak, saluran nafas, genito-urinaria, pasca operasi, otitis media
dan septikemia.
3) Cefaclor
Cefaclor digunakan untuk pengobatan sinusitis dan otitis media yang alergi atau tidak
mempunyai respo terhadap ampisilin dan amoksisilin.
4) Cefprozil
Obat Sefalosporin ini mengobati infeksi seperti Otitis Media, infeksi jaringan lunak dan
saluran nafas.
5) Cefuroxim
Cefuroxim digunakan untuk mengobati infeksi tertentu yang disebabkan oleh bakteri seperti;
bronkitis, gonore, penyakit limfa, dan infeksi pada organ telinga, tenggorokan, sinus, saluran
kemih, dan kulit.
6) Cefotaxim
Cefotaxime digunakan untuk mengobati Gonore, infeksi pada ginjal (pyelonephritis), organ
pernafasan, saluran kemih, meningitis, pencegahan infeksi pada proses operasi dan infeksi
kulit dan jaringan lunak.
7) Cefpodoxim
Obat Sefalosporin ini menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai macam infeksi
seperti Pneumonia, Bronkitis, Gonore dan infeksi pada telinga, kulit, tenggorokan dan saluran
kemih.

3. Ofloxacin
Ofloxacin merupakan suatu antibakteri sintetik derivat asam piridonkarboksilat.
Ofloxacin efektif terhadap Enterobacteriaceae yang resisten terhadap asam nalidiksat,
N.gonorrhae yang resisten terhadap gentamisin. Ofloxacin juga efektif terhadap beberapa bakteri
anaerob. Ofloxacin bekerja secara spesifik dengan menghambat sintesis DNA mikroorganisme.
a. Penggunaan pada bidang THT
1) Pneumonia, bronkitis kronik, panbronkiolitis difus, bronkiektasis dengan infeksi, infeksi
sekunder pada penyakit pernapasan kronik.
2) Faringitis, laringitis, bronkitis akut, tonsilitis.
3) Folikulitis, furuncle, furunkulosis, carbuncle, erysipelas,flegmon, limfangitis, limfaderitis,
felon, abses subkutan,spiradenitis, akne konglobata, infeksi atheroma, abses perianal.
4) Otitis media, sinusitis.

4. Erytromisin
Eritromisin dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces erytreus. Eritromisin bekerja
dengan cara berikatan dengan ribosom 50S bakteri dan menghalangi translokasi molekul
peptidil-tRNA dari akseptor ke pihak donor, bersamaan dengan pembentukan rantai polipepetida
dan menghambat sintesis protein.
Erytromisin terutama menjadi antibiotik pilihan pada infeksi difteri dan pertusis. Selain
itu juga berguna untuk faringitis streptokokal yang resisten terhadap penisilin.
Efek Samping
1) Gangguan epigastrik
2) Ikterus kolestatik
3) Ototoksisitas
4) Alergi

 Antihistamin
a. Penggolongan Antihistamin
Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif
yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga. Generasi pertama dan kedua
berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan
menimbulkan
efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan
mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua.
Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma,
sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak. Sedangkan generasi ketiga merupakan
derivat dari generasi kedua, berupa metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan
enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh
profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal.
b. Mekanisme Kerja
Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan
menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif.
Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa mengurangi permiabilitas vaskular,
pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Antihistamin H1
generasi ke tiga memiliki kelebihan dari generasi pertama dan kedua yaitu adanya efek
antiinflamasi di samping efek antihistaminnya.
c. Farmakokinetik
Pemberian antihistamin H1 secara oral bisa diabsorpsi dengan baik dan mencapai
konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan protein plasma berkisar
antara 78-99%. Sebagian besar antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal
mixed function oxygenase system.
Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin memiliki waktu paruh
cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin hanya 2 jam. Waktu paruh metabolit aktif
juga sangat berbeda jauh dengan obat induknya, seperti astemizole 1,1 hari sementara
metabolit aktifnya, N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal inilah yang
mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 rata-rata masih eksis meski kadarnya
dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih
pendek pada anak dan jadi lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, dan pasien
yang menerima ketokonazol, eritromisin, atau penghambat microsomal oxygenase lainnya
(Katzung, 1998).
d. Penggunaan di bidang THT
Penyakit alergi. AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut,efeknya bersifat
paliatif,membatasi dan menghambat efek histamine yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen-
antibodi terjadi. AH1 tidak berpengaruh terhadap intensitas reaksi antigen-antibodi yang
merupakan penyebab berbagai gangguan alergik. Keadaan ini dapat diatasi hanya dengan
menghindari allergen,desensitisasi atau menekan reaksi tersebut dengan kortikosteroid. AH1
dapat menghilangkan bersin,rinore,gatal pada mata, hidung dan tenggorokan pada pasien
seasonal hay fever.AH1 efektif terhadap alergi yang disebabkan debu,tetapi kurang efektif
bila jumlah debu banyak dan kontaknya lama. Kongesti hidung kronik lebih refrakter terhadap
AH1. AH1 tidak efektif pada rhinitis vasomotor.
e. Efek Samping
Antihistamin generasi pertama umumnya memiliki efek samping SSP berupa sedasi,
vertigo, tinnitus, lelah, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan tremor.
Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual,
muntah, keluhan pada epigastrium, serta konstipasi atau diare.
f. Kontraindikasi dan Interaksi Obat
1) Dermatitis kontak alergi dapat terjadi pada pemakaian antihistamin H1 secara topikal
golongan ethylen diamine pada penderita yang telah mendapat obat lain yang mempunyai
struktur yang mirip (aminophyline).
2) Efek sedasi akan meningkat bila antihistamin H1 diberikan bersama obat antidepresan atau
allkohol.
3) Golongan phenotiazine dapat menghambat efek vasopressor dari ephinefrin.
4) Efek antikolinergik dari antihistamin akan menjadi lebih berat dan lebih lama diberikan
bersama obat inhibitor monoamine (procarbazine, furazolidone, isocarboxazid).

 Obat Tetes Telinga

1. Pelunak serumen
Serumen (kotoran telinga) adalah campuran sekresi kelenjar keringat dan kelenjar sebasea dari
saluran telinga bagian luar. Tumpukan kotoran telinga yang berlebihan dalam telinga dapat
menimbulkan gatal, rasa sakit, gangguan pendengaran dan merupakan penghalang bagi
pemeriksaan secara otologik. Baru-baru ini, larutan surfaktan sintetik dikembangkan untuk
aktivitas cerumenolitik dalam melepaskan lilin telinga. Salah satu bahan ini, kondensat dari
trietanolamin polipeptida oleat, dalam perdagangan diformulasikan dalam propilen glikol, yang
digunakan sebagai pengemulsi kotoran telinga sehingga membantu pengeluarannya.

2. Antiinfeksi, Antiradang, dan Analgetik

Obat-obat yang digunakan pada permukaan bagian luar telinga untuk melawan infeksi
adalah zat – zat seperti kloramfenikol, kolistin sulfat, neomisin, polimiksin B sulfat dan nistatin.
Pada umumnya zat – zat ini diformulasikan ke dalam bentuk tetes telinga (larutan atau suspensi)
dalam gliserin anhidrida atau propilen glikol. Pembawa yang kental ini memungkinkan kontak
antara obat dengan jaringan telinga yang lebih lama. Selain itu karena sifat higroskopisnya,
memungkinkan menarik kelembaban dari jaringan telinga sehingga mengurangi peradangan dan
membuang lembab yang tersedia untuk proses kehidupan mikroorganisme yang ada. Untuk
membantu mengurangi rasa sakit yang sering menyertai infeksi telinga, beberapa preparat otik
antiinfeksi juga mengandung bahan
Analgetika dan anestetika lokal seperti lidokain dan benzokain. pH optimum untuk
larutan berair yang digunakan pada telinga utamanya adalah dalam pH asam. Fabricant dan
Perlstein menemukan range pH antara 5 – 7,8. Keefektifan obat telinga sering bergantung pada
pH-nya.
Penggunaan Klinik
Obat tetes telinga yang diberikan pada kasus OMSK yang mengandung antibiotik diberikan
selama 7-10 hari. Apabila cairan di telinganya sangat banyak maka berikan lebih dahulu H2O2
3% tetes telinga selama 3-5 hari untuk mengeringkan cairan sehingga obat dapat masuk dengan
baik ke dalam telinga. Apabila disertai dengan infeksi pada hidung atau tenggorakan maka dapat
disertai pula dengan pemberian antibiotik minum seperti Amoksisilin atau Amoksisilin + Asam
Klavulanat selama 5-10 hari. Obat tetes telinga yang dapat diberikan adalah yang mengandung
antibiotik seperti yang mengandung kloramfenikol, neomicin-polimixcin hidrokortison,
gentamisin atau yang mengandung ofloxacin.

Erlamycetin
Tetes telinga Erlamycetin mengandung 1% Chloramphenicol base di
dalam larutan tetes telinga.

Indikasi:
Infeksi superfisial pada telinga luar oleh kuman gram positif atau gram negatif yang peka
terhadap Chloramphenicol.
Kontra Indikasi:
- Bagi penderita yang sensitif terhadap Chloramphinicol.
- Perforasi membran timpani.
Cara Pemakaian:
Teteskan ke dalam lubang telinga 2 - 3 tetes, 3 kali sehari. Hindarkan penggunaan jangka lama
karena dapat merangsang hipersensitivitas dan superinfeksi oleh kuman yang resistan . Obat tetes
ini hanya bermanfaat untuk infeksi yang sangat superfisial, infeksi yang dalam memerlukan
terapi sistemik.
Efek samping:
Iritasi lokal, seperti gatal, rasa panas, dermatitis vesikuler dan mukolopapular.
Kemasan:
Botol @ 10 ml.

Garamycin
Komposisi: Gentamicin sulfate
Indikasi: Terapi topikal untuk otitis eksterna
Dosis: 3-4 tetes 2-4 x/hari
Efek toksisitas terhadap nervus kranial VII perlu dipertimbangkan.

Tarivid Otic
Komposisi: Ofloxacin
Indikasi: Terapi topikal untuk otitis eksterna, otitis media supuratif kronik, dan otitis media akut
Dosis: dewasa 6-10 tetes 2x/hari. Anak 3-5 tetes 2x/hari.
Kontraindikasi: hipersensitivitas
Efek samping: jarang terjadi berupa nyeri telinga dan superior

 Penggunaan Steroid pada Penyakit THT

Kortikosteroid adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Hormon ini penting untuk
fungsi fisiologik dan metabolik dalam tubuh. Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan
tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh. Kortikosteroid banyak digunakan
dalam pengobatan radang dan penyakit imunologik. Efek antiinflamasi dan imunosupresifnya
sukar dipisahkan secara tegas oleh karena respon inflamasi merupakan bagian dari respon imun.
Efek imunosupresif kortikosteroid yaitu menekan respon imun humoral juga menekan respon
imun seluler.

1. Akibat yang bisa terjadi pada penghentian terapi steroid adalah:


Kambuhnya kembali penyakit yang kita obati
Insufusiensi adrenal
2. Akibat terapi steroid dosis suprafisiologis
Penekanan kerja korteks adrenal

Efek Samping
1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : edema, hipokalemia, alkalosis, hipertensi.
2. Infeksi
Bisa mengaktifasi infeksi laten.Pada penderita-penderita dengan infeksi pemberian
glukokortikoid hanya diberikan bila sangat dibutuhkan dan harus dengan perlindungan
pemberian antibiotika yang cukup.
3. Ulkus Peptikum
Hubungan antara glukokortikoid dan terjadinya ulkus pepticum ini masih belum diketahui.
Mungkin melalui efek glukokortikoid yang menurunkan perlindungan oleh selaput lendir
lambung (mucous barrier), mengganggu proses penyembuhan jaringan dan meningkatkan
produksi asam lambung dan minggu ke 7 tahun. pepsinogen dan mungkin oleh karena
hambatan penyembuhan luka-luka oleh sebab-sebab lain.
4. Myopati
Terjadi karena pemecahan protein otot-otot rangka yang dipakai sebagai substrat
pembentukan glukosa. Miopati ini ditandai dengan kelemahan otototot bagian proksimal
tangan dan kaki. Pada penderita asma bronchiale dengan pemakaian khronis glukokortikoid
dapat keadaan ini dapat memperburuk keadaan bila kelemahan terjadi pada otot pernafasan.
5. Perubahan tingkah laku
Gejala yang bisa timbul bervariasi : nervous, insomnia, euphoria, psychosis.
6. Pada mata
Efek glukokortikoid terhadap terjadinya katarak paralel dengan dosis dan lama pemberian dan
proses dapat terus berlangsung meskipun dosis sudah dikurangi atau dihentikan.
Glukokortikoid juga dapat menginduksi terjadinya glaukoma.
7. Osteoporosis
Osteoporosis dan fraktura kompressif sering terjadi pada penderita-penderita yang mendapat
terapi glukokortikoid dalam jangka lama, terutama terjadi pada tulang dengan struktur
trabeculae yang luas seperti tulang iga dan vertebra.
8. Osteonekrosis
Terjadi nekrosis aseptic tulang sesudah pemakaian glukokortikoid yang lama meskipun
osteonekrosis juga dilaporkan terjadi pada pemberian jangka pendek dengan dosis besar.
Osteonekrosis sering terjadi pada caput femoris .
9. Gangguan pertumbuhan
Gangguan pertumbuhan pada anak bisa terjadi dengan dosis yang relatif kecil. Mekanisme
yang pasti dari gangguan pertumbuhan ini belum diketahui.Pemberian glukokortikoid
antenatal pada binatang percobaan menyebabkan terjadinya cleft palate dan gangguan tingkah
laku yang kompleks.
Glukokortikoid jenis fluorinated (dexamethasone, betamethasone, beclomethasone,
triamcinolone) dapat menembus barier placenta, oleh karena itu walaupun pemberian
glukokortikoid antenatal dapat membantu pematangan paru dan mencegah RDS namun kita
tetap harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya gangguan pertumbuhan/perkembangan
janin.
F. ASPEK FARMAKOLOGI OBAT TENTANG PENGOBATAN HIDUNG

Oxymetazoline merupakan dekongestan yang digunakan sebagai terapi simptomatis


untuk mengurangi kongesti nasal dan nasofaring, serta untuk mengurangi gejala mata merah.
Oxymetazoline tersedia dalam 2 sediaan, yaitu sediaan nasal dan oftalmik.

Farmakologi oxymetazoline merupakan dekongestan nasal dan oftalmik yang bekerja secara
lokal di hidung atau mata dengan menyebabkan terjadinya vasokonstriksi.

Farmakodinamik
Dekongestan nasal bekerja pada mukosa nasal dan ostium paranasal sinus untuk merestorasi
fungsi fisiologis dari nasal dan paranasal sinus tersebut. Mukosa nasal merupakan tempat yang
kaya akan pembuluh darah. Dekongestan dibagi menjadi menjadi 2 jenis menurut cara kerjanya,
yaitu:

 Amina simpatomimetik: fenolik, yang meliputi phenylephrine dan epinephrine,


sertanonfenolik, yang meliputi efedrin dan fenilpropanolamin
 Derivatif imidazole: oxymetazoline, tetryzoline, xylometazoline

Oxymetazoline merupakan kelompok dekongestan derivatif imidazoline yang bekerja secara


lokalis. Oxymetazoline bekerja pada saraf simpatis yang memiliki efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah arteri maupun vena dengan mengaktivasi reseptor adrenergik α.

Efek Terapi pada Hidung

Aktivasi reseptor adrenergik α menyebabkan aktivasi noradrenalin yang kemudian memiliki efek
vasokonstriksi pada pembuluh darah vena (capacitance vessels) yang banyak di mukosa nasal
serta meningkatkan resistensi pada pembuluh darah arteriol dan anastomosis arteriovenosa
(resistance vessels).
Vasokonstriksi pembuluh darah akan mengakibatkan hilangnya sumbatan hidung melalui 2
mekanisme:

 Melalui terjadinya peningkatan lumen saluran napas

 Melalui penurunan eksudasi yang berasal dari venula pasca-kapiler


Sehingga secara keseluruhan terjadi penurunan resistensi aliran udara hidung sebesar 35,7% dan
penurunan 50% produksi eksudat yang berasal dari aliran darah mukosa. Efek ini dapat
bermanfaat dalam terapi simtomatik pada pasien infeksi saluran nafas atas, sinusitis, common
cold, atau influenza.
Farmakokinetik
Farmakokinetik oxymetazoline berupa aspek absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya.
Oxymetazoline memiliki eliminasi waktu paruh 5 – 8jam.

Absorbsi

Onset: dalam hitungan beberapa detik hingga beberapa menit.

Periode laten (mencapai konsentrasi maksimal): 20 menit.

Durasi kerja: 10-12 jam.

Distribusi

Distribusi dan ikatan protein oxymetazoline tidak diketahui.

Metabolisme

Oxymetazoline dikonversi menjadi konjugat glukoronida in vitro oleh UGT1A9. Apabila


oxymetazoline tidak sengaja tertelan secara per oral, maka efek pada reseptor α akan diabsorbsi
secara sistemik hingga 7 jam pada pemakaian 1 dosis.

Ekskresi

Oxymetazoline diekskresikan lewat urin melalui ginjal (30%) dan lewat feses (10%). Eliminasi
waktu paruh oxymetazoline adalah 5–8 jam.

Resistensi
Resistensi pada penggunaan oxymetazoline dikenal sebagai takifilaksis, yaitu penurunan
efektivitas obat akibat penggunaan berkali-kali. Takifilaksis ini merupakan salah satu efek
samping yang terjadi akibat keadaan iskemik akibat vasokonstriksi.

Takifilaksis

Salah satu mekanisme yang dapat menjelaskan takifilaksis adalah berkurangnya respon dari
reseptor α-2 dan α-1-agonis. Kejadian rebound congestion dan takifilaksis akan meningkatkan
penggunaan oxymetazoline karena efek obat dirasa belum bekerja. Apabila hal ini berkelanjutan
maka akan mengakibatkan kerusakan mukosa nasal dan menyebabkan rhinitis medikamentosa.
Rhinitis medikamentosa terjadi karena gangguan pengaturan vasomotor yang menyebabkan
peningkatan aktivitas parasimpatis karena kelelahan dari mekanisme vasokonstriktor oleh
aktivasi adrenergik α terus menerus. Hal ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular
dan meningkatkan kemungkinan terjadinya edema intravaskular.

Pasien akan mengeluhkan bahwa gejala obstruksi nasal tidak membaik dengan obat namun justru
semakin memperparah. Perubahan mukosa nasal masih bersifat reversible pada penggunaan
jangka pendek, tetapi jika pemakaian sudah melebihi 30 hari, perubahan ini menjadi ireversibel.

G. ASPEK FARMAKOLOGI OBAT TENTANG PENGOBATAN TENGGOROKAN

Obat bisa masuk ke dalam tubuh dengan berbagai jalan. Setiap rute memiliki kelebihan
dan kekurangan masing-masing. Rute yang paling umum adalah melalui mulut (per oral) karena
sederhana dan mudah dilakukan. Beberapa rute tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, namun
harus diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.

Berikut macam-macam rute pemberian obat:

 Diminum (oral)
 Diberikan melalui suntikan ke pembuluh darah (intravena), ke dalam otot
(intramuskular), ke dalam ruang di sekitar sumsum tulang belakang (intratekal), atau
di bawah kulit (subkutan)
 Ditempatkan di bawah lidah (sublingual) atau antara gusi dan pipi (bukal)
 Dimasukkan ke dalam rektum (dubur) atau vagina (vagina)
 Ditempatkan di mata (rute okular) atau telinga (rute otic)
 Disemprotkan ke hidung dan diserap melalui membran hidung (nasal)
 Terhirup masuk ke dalam paru-paru, biasanya melalui mulut (inhalasi) atau mulut
dan hidung (dengan nebulisasi)
 Diterapkan pada kulit (kutanea) untuk efek lokal (topikal) atau seluruh tubuh
(sistemik)
 Dihantarkan melalui kulit dengan patch (transdermal, semacam koyo) untuk efek
sistemik.
Rute Oral

Banyak obat dapat diberikan secara oral dalam bentuk tablet, cairan (sirup, emulsi),
kapsul, atau tablet kunyah. Rute ini paling sering digunakan karena paling nyaman dan biasanya
yang paling aman dan tidak mahal. Namun, rute ini memiliki keterbatasan karena jalannya obat
biasanya bergerak melalui saluran pencernaan. Untuk obat diberikan secara oral, penyerapan
(absorpsi) bisa terjadi mulai di mulut dan lambung. Namun, sebagian besar obat biasanya diserap
di usus kecil. Obat melewati dinding usus dan perjalanan ke hati sebelum diangkut melalui aliran
darah ke situs target. Dinding usus dan hati secara kimiawi mengubah (memetabolisme) banyak
obat, mengurangi jumlah obat yang mencapai aliran darah. Akibatnya, ketika obat yang sama
diberikan secara suntikan (intravena), biasanya diberikan dalam dosis yang lebih kecil untuk
menghasilkan efek yang sama.

Ketika obat diambil secara oral, makanan dan obat-obatan lainnya dalam saluran pencernaan
dapat mempengaruhi seberapa banyak dan seberapa cepat obat ini diserap. Dengan demikian,
beberapa obat harus diminum pada saat perut kosong, beberapa obat lain harus diambil dengan
makanan, beberapa obat lain tidak harus diambil dengan obat-obatan tertentu lainnya, dan
beberapa obat yang lain tidak dapat diambil secara oral sama sekali.

Beberapa obat oral mengiritasi saluran pencernaan. Misalnya, aspirin dan sebagian besar obat
nonsteroidal anti-inflammatory (NSAID) dapat membahayakan lapisan lambung dan usus kecil
untuk berpotensi menyebabkan atau memperburuk ulser yang sudah ada sebelumnya. Beberapa
obat lain penyerapannya buruk atau tidak teratur dalam saluran pencernaan atau dihancurkan
oleh enzim asam dan pencernaan di dalam perut.
Rute pemberian lain  yang diperlukan ketika rute oral tidak dapat digunakan, misalnya:

 Ketika seseorang tidak bisa mengambil apapun melalui mulut


 Ketika obat harus diberikan secara cepat atau dalam dosis yang tepat atau sangat
tinggi
 Ketika obat buruk atau tidak teratur diserap dari saluran pencernaan
Rute Sublingual dan rute buka

Beberapa obat ditempatkan di bawah lidah (secara sublingual) atau antara gusi dan gigi
(secara bucal) sehingga mereka dapat larut dan diserap langsung ke dalam pembuluh darah kecil
yang terletak di bawah lidah. Obat ini tidak tertelan. Rute sublingual sangat baik untuk
nitrogliserin, yang digunakan untuk meredakan angina, karena penyerapan yang cepat dan obat
segera memasuki aliran darah tanpa terlebih dahulu melewati dinding usus dan hati. Namun,
sebagian besar obat tidak bisa digunakan dengan cara ini karena obat dapat diserap tidak lengkap
atau tidak teratur.

Rute inhalasi

Obat diberikan dengan inhalasi melalui mulut harus dikabutkan menjadi tetesan lebih
kecil dibanding pada rute hidung, sehingga obat dapat melewati tenggorokan (trakea) dan ke
paru-paru. Seberapa dalam obat bisa ke paru-paru tergantung pada ukuran tetesan. Tetesan kecil
pergi lebih dalam, yang meningkatkan jumlah obat yang diserap. Di dalam paru-paru, mereka
diserap ke dalam aliran darah.

Relatif sedikit obat yang diberikan dengan cara ini karena inhalasi harus dimonitor untuk
memastikan bahwa seseorang menerima jumlah yang tepat dari obat dalam waktu tertentu.
Selain itu, peralatan khusus mungkin diperlukan untuk memberikan obat dengan rute ini.
Biasanya, metode ini digunakan untuk pemberian obat yang bekerja secara khusus pada paru-
paru, seperti obat antiasma aerosol dalam wadah dosis terukur (disebut inhaler), dan untuk
pemberian gas yang digunakan untuk anestesi umum.

Rute injeksi
Pemberian dengan suntikan (parenteral) meliputi rute berikut:

 Subkutan (di bawah kulit)


 Intramuskular (dalam otot)
 Intravena (dalam pembuluh darah)
 Intratekal (sekitar sumsum tulang belakang)

Suatu obat dapat dibuat atau diproduksi dengan cara yang memperpanjang penyerapan obat dari
tempat suntikan selama berjam-jam, hari, atau lebih lama. Produk tersebut tidak perlu diberikan
sesering produk obat dengan penyerapan yang lebih cepat.

Untuk rute subkutan, jarum dimasukkan ke dalam jaringan lemak tepat di bawah kulit. Setelah
obat disuntikkan, kemudian bergerak ke pembuluh darah kecil (kapiler) dan terbawa oleh aliran
darah. Atau, obat mencapai aliran darah melalui pembuluh limfatik. Obat protein yang berukuran
besar seperti insulin, biasanya mencapai aliran darah melalui pembuluh limfatik karena obat ini
bergerak perlahan dari jaringan ke kapiler. Rute subkutan digunakan untuk banyak obat protein
karena obat tersebut akan hancur dalam saluran pencernaan jika mereka diambil secara oral.

Obat-obatan tertentu (seperti progestin yang digunakan untuk pengendalian kelahiran hormonal)
dapat diberikan dengan memasukkan kapsul plastik di bawah kulit (implantasi). Meskipun rute
ini jarang digunakan, keunggulan utamanya adalah untuk memberikan efek terapi jangka panjang
(misalnya, etonogestrel yang ditanamkan untuk kontrasepsi dapat bertahan hingga 3 tahun).

Rute intramuskular disukai dibanding rute subkutan ketika diperlukan obat dengan volume
yang lebih besar. Karena otot-otot terletak di bawah kulit dan jaringan lemak, digunakan jarum
yang lebih panjang. Obat biasanya disuntikkan ke dalam otot lengan atas, paha, atau pantat.
Seberapa cepat obat ini diserap ke dalam aliran darah tergantung, sebagian, pada pasokan darah
ke otot: Semakin kecil suplai darah, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk obat yang akan
diserap.

Untuk rute intravena, jarum dimasukkan langsung ke pembuluh darah. Suatu larutan yang
mengandung obat dapat diberikan dalam dosis tunggal atau dengan infus kontinu. Untuk infus,
larutan digerakkan oleh gravitasi (dari kantong plastik dilipat) atau, lebih umum, dengan pompa
infus melalui pipa fleksibel tipis ke tabung (kateter) dimasukkan ke dalam pembuluh darah,
biasanya di lengan bawah. Pemberian intravena adalah cara terbaik untuk memberikan dosis
yang tepat dengan cepat dan dengan cara yang terkendali dengan baik ke seluruh tubuh. Hal ini
juga digunakan untuk larutan yang membuat iritasi, yang akan menyebabkan nyeri dan
kerusakan jaringan jika diberikan melalui suntikan subkutan atau intramuskular. Suntikan
intravena dapat lebih sulit untuk dikelola daripada injeksi subkutan atau intramuskular karena
memasukkan jarum atau kateter ke dalam vena mungkin sulit, terutama jika orang tersebut
adalah obesitas.

Ketika diberikan secara intravena, obat dikirimkan langsung ke aliran darah dan cenderung
berlaku lebih cepat daripada ketika diberikan oleh rute lain. Akibatnya, praktisi kesehatan terus
memantau orang yang menerima suntikan intravena untuk tanda-tanda bahwa obat ini bekerja
atau menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan. Juga, efek dari obat yang diberikan oleh
rute ini cenderung bertahan untuk waktu yang lebih singkat. Oleh karena itu, beberapa obat harus
diberikan melalui infus terus menerus untuk menjaga efeknya konstan.

Untuk rute intratekal, jarum dimasukkan antara dua tulang di tulang punggung bagian bawah
dan ke dalam ruang di sekitar sumsum tulang belakang. Obat ini kemudian disuntikkan ke kanal
tulang belakang. Sejumlah kecil anestesi lokal sering digunakan untuk memati rasakan tempat
suntikan. Rute ini digunakan ketika obat diperlukan untuk menghasilkan efek yang cepat atau
lokal pada otak, sumsum tulang belakang, atau lapisan jaringan yang menutupi (meninges) -
misalnya, untuk mengobati infeksi dari struktur ini. Anestesi dan analgesik (seperti morfin)
kadang-kadang diberikan dengan cara ini.
BAB 3

PENUTUP

Kesimpulan

Obat merupakan salah satu unsur utama dan pertama dalam ilmu farmakologi, selain itu obat
juga tidak bisa terpisahkan dalam unsur pelayanan kesehatan. Pengertia Obat sendiri adalah
suatu bahan atau campuran bahan untuk dipergunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah,
mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan
jasmani dan rohani pada manusia atau hewan termasuk untuk memperelok tubuh atau bagian
tubuh manusia.

Saran

Menurut kami masih banyak hal yang harus diperbaiki dari makalah ini,tapi yang
menjadi harapan kami semoga dengan membuat makalah ini dapat bermanfaat bagi orang-orang
DAFTAR PUSTAKA

Siagian, Joyce & Ascobat, Purwantyastuty & Linuwih, Sri. (2019). Kortikosteroid
Sistemik: Aspek Farmakologi dan penggunaan klinis di bidang dermatologi. Media
dermato Venereologica Indonesia. 45. 10.33820/mdvi.v45i3.33.

Erianto Ongko 2017 Perancangan sistem pakar diagnosa penyakit pada mata

https://www.scribd.com//doc/299302046/FARMAKOLOGI-OBAT-TELINGA (annafira
yuniar. Feb 15, 2016)

https://www.alomedika.com > obat hidung

https://id.wikibooks.org/wiki/Farmakologi/Rute_Pemberian_Obat > obat tenggorokkan

Anda mungkin juga menyukai