FARMASI
CIMETIDINE
Oleh :
12700368 / 2012 D
FAKULTAS KEDOKTERAN
2015
2
KATA PENGANTAR
Puji skuyur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti tahap ujian farmasi di Jurusan
Dalam proses penyusunan tugas ini tentunya tidak lepas dari dorongan dan
bantuan berbagai pihak, maka dari itu penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada :
Surabaya.
2. Prof. Dr. H. Janggan Sargowo,dr. Sp.JP (K), FIHA, FACC, FCAPC, FESC,
periode tahun 2009 sampai 2014 yang telah memberi kesempatan kepada penulis
Surabaya.
3. Lusiani Tjandra, S.Si, Apt, M.Kes selaku dosen pembimbing kuliah farmasi
tugas ini.
4. Orang tua penulis yang dalam proses penyusunan Tugas Farmasi ini selalu
Penulis menyadari Tugas Farmasi ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu
penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dalam
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
4
Judul.... 1
Kata Pengantar..... 2
Daftar Isi........... 4
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang... 5
B. Tujuan.... 9
C. Manfaat.. 9
BAB II FARMASI-FARMAKOLOGI
2.1 . Sifat fisikokimia dan rumus kimia obat..
..11
2.2 Farmakologi umum...12
2.3 Farmakodinamik...13
2.4 Farmakokinetik.17
2.5 Taksisitas...19
BAB IV KESIMPULAN..25
DAFTAR PUSTAKA.26
BAB I
PENDAHULUAN
5
A. Latar Belakang
Pada saat ini telah ditemukan berbagai jenis gejala penyakit yang diakibatkan
oleh rilisnya histamin oleh tubuh manusia. Histamin menyebabkan kontraksi otot
polos antara lain pada bronkus dan usus, tetapi menyebabkan relaksasi kuat pada otot
kelenjar eksokrin lainnya misalnya kelenjar mukosa saluran nafas. Akibat vasodilatasi
pada pembuluh darah kecil maka timbul kemerahan dan rasa panas di daerah wajah,
kapilar meningkat sehingga protein dan cairan plasma keluar ke ruangan ekstraselular
kronis, sehingga perlu diteliti lebih lanjut mekanisme antihistamin pada pengobatan
maag atau ulkus peptikum. Bila terjadi di antara kardia dan pilorus disebut ulkus
lambung dan bila terjadi pada daerah setelah pilorus disebut ulkus duodenum. Ulkus
1992).
Klasifikasi UP yang sering digunakan dibuat oleh Schuster dan Gross (1963)
yaitu ulkus peptikum primer dan sekunder. Ulkus peptikum primer adalah ulkus yang
terjadinya terutama dipengaruhi langsung oleh sekresi asam lambung dan pepsin yang
berlebihan (Dodge, 1993 & Herbst, 1996). Ulkus peptikum primer dapat bersifat akut
akut menunjukkan gambaran proses erosi dengan tepi tajam, tidak ada kongesti,
hanya dijumpai tanda inflamasi minimal di sekitar ulkus dan dalam penyembuhannya
tidak disertai fibrosis. Pada ulkus peptikum primer kronis ditemukan jaringan
nekrotik dengan dasar eksudat fibropurulen dan jaringan granulasi vaskular dengan
ketahanan mukosa saluran cerna, yang dapat terjadi setelah mengalami penyakit /
trauma berat (stress ulcer), luka bakar (Curlings ulcer), penyakit intrakranial
kronis (Dodge,1993).
Diagnosis UP dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
radiologis dan dipastikan dengan pemeriksaan endoskopi (J2). Ulkus peptikum pada
anak sering menunjukkan gejala muntah, nyeri perut yang bersifat periodik dan
7
dipicu dengan masuknya makanan, dalam keadaan berat dapat terjadi perdarahan.
Gejala klinis UP pada anak dapat menyerupai gejala esofagitis, penyakit hati dan
proton, obat sitoprotektif, prostaglandin dan operasi pada kasus dengan perdarahan
makanan lunak. Namun tidak ada bukti yang mendukung bahwa istirahat dan
namun hanya bersifat sementara. Netralisasi asam lambung oleh antasida tergantung
pada komposisi dan dosis, ada tidaknya makanan, dan adanya mukoprotein atau
subtansi lain dalam lambung. Netralisasi keasaman lambung dengan pemberian bahan
alkali sangat sulit dicapai tanpa menyampingkan timbulnya efek samping. Pemberian
antasid tunggal untuk mengobati UP pada anak tidak efektif, dan penggunaan jangka
dibutuhkan pada UP relatif besar dan harus diberikan 1 dan 3 jam setelah makan dan
antihistamin H1 yang dalam dosis terapi, hanya efektif untuk mengobati edema,
eritem dan pruritus, tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung
akibat histamin. Setelah tahun 1972 ditemukan kelompok antihistamin baru yang
yang mengandung cincin imidazol dari histamine (Feldman & Burton, 1990).
Simetidin juga dapat menghambat sistem metabolisme obat oksidatif sitokrom P-450,
dan hal inilah yang memungkinkan simetidin dapat berefek hepatoprotektor (Kalra,
dkk., 2007). Selain menghambat aksi histamin pada reseptor histamin-2, simetidine
juga menghambat pengeluaran dari enzyme pepsin pada lambung (J4). Selanjutnya
akan dibahas lebih lanjut mengenai sifat fisiko kimia, rumus kimia, farmakologi
berikutnya.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran secara keseluruhan mengenai obat golongan
C. Manfaat
1. Bagi Masyarakat
Meningkatkan wawasan masyarakat agar lebih memahami tentang apa saja
simetidin.
3. Bagi Fakultas Kedokteran
Dapat digunakan sebagai bahan informasi dan pengetahuan untuk fakultas
ARH-2 simetidin.
4. Bagi Bidang Farmasi
Sebagai rangkuman dan rekaan ulang untuk meriview kembali dalam
BAB II
FARMASI FARMAKOLOGI
10
dalam etanol; sangat sedikit larut dalam chloroform; tidak larut pada
diethyl ether. Hydrochloride dengan bebas larut dalam air; larut dalam
ethanol; sangat susah larut dalam chloroform; dan tidak larut dalam
diethyl ether.
d) Spectroscopy data : Data ultraviolet, infra merah, rensonasi nuclear
umumnya, obat golongan ARH-2 jenis simetidin dan ranitidin banyak digunakan
untuk mengobati penyakit ulkus peptikum. Simetidin atau ranitidine memiliki potensi
perforasi lambung atau duodenum, perdarahan masif yang tidak dapat diatasi dengan
pengobatan standar, obstruksi duodenum atau muara lambung karena jaringan parut,
dan kegagalan pengobatan pada kasus hipersekresi asam. Food and Drug
menghambat sistem metabolisme obat oksidatif sitokrom P-450, dan hal inilah yang
obat lainnya. Semua jenis antagonis reseptor H-2 dapat mempengaruhi absorbsi obat
lain karena efek peningkatan pH lambung, misalnya ketokonazol, etanol dan bismut.
Sebaliknya, adanya obat lain di dalam lambung juga dapat mempengaruhi kerja
yang dapat menurunkan bioviabilitas obat antagonis reseptor H-2 seperti simetidin,
Secara umum, penggunaan obat simetidin juga memiliki efek samping sama
seperti obat lainnya. Efek samping terutama berhubungan dengan sistem syaraf
sentral, seperti nyeri kepala, letargi, bingung, halusinasi, depresi dan insomnia. Efek
samping gastrointestinal yaitu konstipasi atau diare, mulut kering, mual, dan perasaan
tidak enak di perut (abdominal discomfort) (Katzung, 1992 & Peroutka, 1994).
2.3 Farmakodinamik
Farmakodinamik merupakan suatu efek fisiologi dan biokimiawi obat
dibahas satu persatu mengenai khasiat dari simetidin, kegunaan terapi, dan kontra
indikasinya.
1. Khasiat simetidine
Simetidin merupakan obat golongan antagonis reseptor histamine 2 yang
memiliki kasiat untuk menurunkan sekresi asam lambung. Adanya histamin pada
reseptor H-2 pada lambung tersebut akan mengaktifasi adenilsiklase dan terjadi
ATP-ase) pada sel parietal untuk mensekresi ion hidrogen (H+) menggantikan
posisi ion kalium (K+) sehinga terjadi peningkatan asam lambung (Brunton,
1991). Di reseptor H-2 itulah lokasi obat simetidin bekerja dengan cara mengikat
obat oksidatif sitokrom P-450, dan hal inilah yang memungkinkan simetidin dapat
2. Kegunaan terapi
1. Terapi ulkus peptikum
Ulkus peptikum atau sering disebut penyakit maag, merupakan
ini pun bervariasi, ada yang disebabkan karena sekresi asam lambung dan
pepsin yang berlebihan (sebab primer), dan ada yang disebabkan karena
basolateral dan sel parietal dari lambung. Adanya histamin pada reseptor
kalium ATP-ase) pada sel parietal untuk mensekresi ion hidrogen (H+)
lambung dan konsentrasi H+. Penurunan sekresi oleh sel kelenjar lambung
sehingga penggunaan satu dosis pada malam hari menjelang tidur sangat
menetralkan asam dengan cepat, dan dapat meredakan gejala lebih cepat
diterapi 2 kali sehari dengan h2 antagonist atau proton pump inhibitor. Pada
karena itu proton pump inhibitor lebih baik karena langsung menghambat
gastrointestinal bagian atas terjadi pada 1-5% dari pasien yang kritis
pasien kritis mempunyai asam lambung yang normal atau menurun, banyak
optimal tidak menentu untuk saat ini. Pasien yang tanpa nasoenteric tube
atau ileus, antagonist h2 intravena lebih baik dari proton pump inhibitor
antagonis secara berlanjut umumnya lebih baik untuk infuse bolus karena
3. Kontra indikasi
Kontraindikasi pemberian simetidin adalah pada pasien yang mengalami
hipersensitif dan pada pasien yang sedang menerima terapi obat ketokonazol,
etanol dan bismuth yang akan berpengaruh pada absorpsi obat tersebut yang
2.4 Farmakokinetik
Farmakokinetik merupakan suatu perjalanan dari obat mulai sejak
diminum hingga keluar melalui organ ekskresi di tubuh manusia. Beberapa hal
50%. Waktu paruh pada serum berada pada kisaran 1-4 jam, namun durasi aksi
sekresi tubulus ginjal. Dosis reduksi diperlukan pada pasien dengan gagal ginjal
sedang-berat. Pada usia tua, terdapat penurunan hingga 50% dari klirens obat
2. Waktu paruh
Waktu paruh dari obat golongan antagonis reseptor histamin 2 simetidine adalah
1-4 jam, namun durasi tersebut tergantung dari seberapa besar dosis yang
diberikan.
3. Ikatan protein
Simetidin menghambat ikatan dari dihydrotestosteron dengan reseptor
prolaktin. Ketika simetidin digunakan dalam jangka panjang dengan dosis tinggi,
17
ini dapat menyebabkan gynecomastia atau impoten pada laki-laki dan galaktorhea
pada wanita.
4. Bioavailabilitas
Simetidin dimetabolisme melalui first-pass hepatic yang mengasilkan
2.5 Toksisitas
Toksisitas merupakan tingkat merusaknya suatu zat jika dipaparkan terhadap
organisme. Beberapa hal yang akan dibahas yang menyangkut toksisitas adalah
2012) :
1. Efek samping dan toksisitas
Antagonis reseptor histamin 2 pada umumnya adalah obat yang sangat
aman. Efek yang merugikan terjadi pada kurang dari 3% dari pasien seperti diare,
sakit kepala, fatigue, myalgia, dan konstipasi. Beberapa studi menyatakan bahwa
menjalani unit intensive care yang sudah berusia tua atau yang memiliki disfungsi
hepar atau ginjal. Semua kejadian tersebut lebih sering terjadi pada pemberian
obat simetidin. Perubahan status mental pasien jarang terjadi pada pasien rawat
jalan.
Simetidin menghambat ikatan dari dihydrotestosteron dengan reseptor
prolaktin. Ketika simetidin digunakan dalam jangka panjang dengan dosis tinggi,
ini dapat menyebabkan gynecomastia atau impoten pada laki-laki dan galaktorhea
18
pada wanita. Semua efek tersebut hanya spesifik pada pemberian simetidin dan
2. Gejala toksisitas
Gejala dari toksisitas obat simetidin seperti diare, sakit kepala, fatigue, myalgia,
dan konstipasi. Terdapat juga gejala perubahan status mental seperti confusion,
toksisitas simetidin.
BAB III
PEMBAHASAN
Abstrak
sampai lapisan otot saluran cerna yang disebabkan oleh aktivitas pepsin dan asam
lambung yang berlebihan. Ulkus peptikum dapat bersifat primer (akut dan kronis)
atau sekunder akibat adanya penyakit lain. Tujuan utama pengobatan ulkus
pada kelompok anak sebagai pengobatan standar terhadap ulkus peptikum adalah
simetidin dan ranitidin. Simetidin dan ranitidin efektif untuk menghilangkan gejala
nyeri pada episode akut dan mempercepat penyembuhan ulkus dengan toksisitas
relatif ringan. Pada kasus ulkus peptikum kronik yang disertai infeksi oleh
Ketajaman analisis
antagonis reseptor histamin-2 dapat digunakan sebegai terapi dari ulkus peptikum.
menurunkan volume cairan lambung dan konsentrasi H+. Penurunan sekresi oleh
2. Pengaruh pemberian simetidin terhadap kadar SGOT dan SGPT tikus putih
Abstact
Tuberkulosis (TB) has long been known as an infection diseases, and has been reported to increased.
The INH dan Rifampisin are two different drugs that are known tobe the most active drugs, therefore
both drugs are being used as never ending drugs in curing the TB. Utilization of both INH and
rifampisin in a combination to cure the TB patients, however could increase the possibility of hepar
lession risk. This research was aimed to firstly, knowing whether cimetidine could prevent increase of
SGOT and SGPT levels of rats (Rattus norvegicus) given by both drugs INH and rifampisin, and
secondly what was the minimum dose of cimetidine that able to prevent the increase of SGOT and SGPT
levels. A Completely Random Design (CRD) was applied in this research, 24 male rats (Rattus
norvegicus) of the wistar variety were divided into 4 different groups. The first group, was only given the
INH and rifampisin orally at the doses of 50 mg/Kg body weight/day, the next groups groups II, III, and
IV were also given those two drugs at the same dose, but the cimetidine was also given at 112,5 , 225,
and 450 mg/Kg body weight/day for the 28 days. Consequently the SGOT and SGPT levels were
measured twice pre and post treatments. The data obtained were analysied by the paired t test, a one
way ANOVA, Post Hoc Tukeys HSD, Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test. This research result
showed that the cimetidine that given following the INH and rifampisin could prevent the increase of
SGOT and SGPT levels. The highest dose of 450 mg/Kg body weight/day that given orally showed highly
significant different from other (p<0,00) in preventing the SGOT and SGPT of treated animals.
Abstrak
Tuberkulosis sudah lama diketahui sebagai penyakit infeksi, dan sudah dilaporkan
meningkat. Rifampicin dan INH adalah dua obat berbeda yang diketahui obat
paling aktif, oleh karena itu kedua obat tersebut digunakan sebagai terapi jangka
panjang TB. Pemanfaatan dari rifampisin dan INH pada kombinasi untuk
pada hepar. Penelitian ini pertama bertujuan, untuk mengetahui apakah simetidin
dapat mencegah peningkatan SGOT dan SGPT pada tikus (Rattus norvegicus)
yang diberikan obat rifampisin dan INH, kedua untuk mengetahui apa dosis
minimum dari simetidin dapat digunakan untuk mencegah peningkatan SGOT dan
tikus jantan (Rattus norvegiccus) dengan variasi wistar yang dibagi menjadi 4 grup
yang berbeda. Grup pertama, hanya diberikan rifampisin dan INH secara oral
21
dengan dosis 50 mg/Kg per hari, grup selanjutnya II,III,IV juga diberikan dua obat
yang sama dengan dosis yang sama tetapi diberikan obat simetidin dengan dosis
yang berbeda 112,5 , 225, dan 450 mg/Kg per hari selama 28 hari. Secara
konsekuen kadar SGOT dan SGPT dihitung dua kali yaitu pre dan post treatment.
Data diperoleh dari hasil analisis oleh paired t test, a one way ANOVA, Post Hoc
hasil bahwa simetidin yang diberikan bersama dengan rifampicin dan INH dapat
mencegah peningkatan dari kadar SGOT dan SGPT. Dosis terbesar 450mg/Kg
body berat per hari yang diberikan secara oral menunjukan peningkatan yang
signifikan dan berbeda dengan yang lain (p<0,00) dalam pencegahan SGOT dan
Ketajaman analisis
dapat menurunkan kadar SGOT dan SGPT pada hepar. Yang sartinya penurunan
kadar SGOT dan SGPT tersebut dapat pula menurunkan resiko terjadinya lesi pada
obat oksidatif sitokrom P-450, dan hal inilah yang memungkinkan simetidin dapat
BAB IV
KESIMPULAN
digunakan untuk terapi ulkus pepticum karena fungsinya sendiri yaitu dapat
menghambat pengikatan histamin. secara selektif pada reseptor H2. Selain ulkus
dan pencegahan pendarahan pada kejadian gastritis dapat diterapi dengan pemberian
obat simetidin. Simetidin juga diketahui dapat berikatan dengan sitokrom P-450 pada
kejadian toksisitas pada simetidin juga sangat rendah sehingga disebut obat yang
aman. Beberapa gejala yang terjadi pada toksisitas simetidin seperti diare, sakit
kepala, fatigue, myalgia, dan konstipasi dapat diterapi dengan pemberian obat
simtomatik.
23
DAFTAR PUSTAKA