Anda di halaman 1dari 24

1

FARMASI

CIMETIDINE

Oleh :

I Gusti Agung Ari Nugraha

12700368 / 2012 D

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2015
2

KATA PENGANTAR

Puji skuyur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

rahmat-Nya yang telah memberikan berbagai kemudahan kepada penulis untuk

menyelesaikan Tugas Farmasi dengan judul Cimetidine. Adapun penulisan Tugas

ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti tahap ujian farmasi di Jurusan

Pendidikan Dokter Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

Dalam proses penyusunan tugas ini tentunya tidak lepas dari dorongan dan

bantuan berbagai pihak, maka dari itu penulis mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Soedarto,dr.,Ph.D.,DTMH.,Sp.Park Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang telah memberi kesempatan kepada

penulis menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma

Surabaya.
2. Prof. Dr. H. Janggan Sargowo,dr. Sp.JP (K), FIHA, FACC, FCAPC, FESC,

FASCC, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

periode tahun 2009 sampai 2014 yang telah memberi kesempatan kepada penulis

untuk menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma

Surabaya.
3. Lusiani Tjandra, S.Si, Apt, M.Kes selaku dosen pembimbing kuliah farmasi

kedokteran yang telah sabar membimbing serta mengarahkan untuk penulisan

tugas ini.
4. Orang tua penulis yang dalam proses penyusunan Tugas Farmasi ini selalu

memberikan semangat dan dukungannya pada penulis.


3

5. Teman-teman angkatan 2012 yang memberikan inspirasi dan semangatnya

selama proses penyusunan Tugas farmasi ini.


6. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang juga

membantu menyelesaikan Tugas ini.

Penulis menyadari Tugas Farmasi ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu

penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dalam

rangka penyempurnaan penulisan berikutnya. Semoga Tugas Farmasi ini dapat

dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih.

Surabaya, Juni 2015

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
4

Judul.... 1
Kata Pengantar..... 2
Daftar Isi........... 4

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang... 5
B. Tujuan.... 9
C. Manfaat.. 9

BAB II FARMASI-FARMAKOLOGI
2.1 . Sifat fisikokimia dan rumus kimia obat..
..11
2.2 Farmakologi umum...12
2.3 Farmakodinamik...13
2.4 Farmakokinetik.17
2.5 Taksisitas...19

BAB III PEMBAHASAN ATAU DISKUSI21

BAB IV KESIMPULAN..25

DAFTAR PUSTAKA.26

BAB I

PENDAHULUAN
5

A. Latar Belakang
Pada saat ini telah ditemukan berbagai jenis gejala penyakit yang diakibatkan

oleh rilisnya histamin oleh tubuh manusia. Histamin menyebabkan kontraksi otot

polos antara lain pada bronkus dan usus, tetapi menyebabkan relaksasi kuat pada otot

polos pembuluh darah kecil, sehingga permeabilitasnya meningkat dan timbul

pruritus (White, M., 1999).


Selain itu, histamin merupakan perangsang kuat sekresi asam lambung dan

kelenjar eksokrin lainnya misalnya kelenjar mukosa saluran nafas. Akibat vasodilatasi

pada pembuluh darah kecil maka timbul kemerahan dan rasa panas di daerah wajah,

resistensi perifer menurun sehingga tekanan darah menurun (hipotensi). Permeabilitas

kapilar meningkat sehingga protein dan cairan plasma keluar ke ruangan ekstraselular

dan menimbulkan edema.


Histamin merupakan salah satu faktor yang menimbulkan kelainan akut dan

kronis, sehingga perlu diteliti lebih lanjut mekanisme antihistamin pada pengobatan

penyakit alergik. Antihistamin merupakan inhibitor kompetitif terhadap histamin.

Antihistamin dan histamin berlomba menempati reseptor yang sama. Blokade

reseptor oleh antagonis H1 menghambat terikatnya histamin pada reseptor sehingga

menghambat dampak akibat histamin misalnya kontraksi otot polos, peningkatan

permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi pembuluh darah (Pohan, 2007).


Salah satu penyakit yang dapat di akibatkan oleh rangsangan histamin adalah

maag atau ulkus peptikum. Bila terjadi di antara kardia dan pilorus disebut ulkus

lambung dan bila terjadi pada daerah setelah pilorus disebut ulkus duodenum. Ulkus

peptikum (UP) adalah kerusakan pada lapisan mukosa, sub mukosa


6

sampai lapisan otot saluran cerna yang disebabkan oleh aktifitas

pepsin dan asam lambung. Ulkus peptikum dapat mengenai

esofagus sampai usus halus, tetapi kebanyakan terjadi pada bulbus

duodenum (90%) dan kurvatura minor (Dodge, 1993 & Djuwantoro

1992).
Klasifikasi UP yang sering digunakan dibuat oleh Schuster dan Gross (1963)

yaitu ulkus peptikum primer dan sekunder. Ulkus peptikum primer adalah ulkus yang

terjadinya terutama dipengaruhi langsung oleh sekresi asam lambung dan pepsin yang

berlebihan (Dodge, 1993 & Herbst, 1996). Ulkus peptikum primer dapat bersifat akut

dan kronis, dibedakan berdasarkan pemeriksaan histologi. Ulkus peptikum primer

akut menunjukkan gambaran proses erosi dengan tepi tajam, tidak ada kongesti,

hanya dijumpai tanda inflamasi minimal di sekitar ulkus dan dalam penyembuhannya

tidak disertai fibrosis. Pada ulkus peptikum primer kronis ditemukan jaringan

nekrotik dengan dasar eksudat fibropurulen dan jaringan granulasi vaskular dengan

pembentukan fibrosis. Pada permukaan jaringan nekrotik tersebut sering ditemukan

Helicobacter pylori. Ulkus peptikum sekunder didasarkan adanya gangguan

ketahanan mukosa saluran cerna, yang dapat terjadi setelah mengalami penyakit /

trauma berat (stress ulcer), luka bakar (Curlings ulcer), penyakit intrakranial

(Rokitansky-Cushings ulcer), minum aspirin atau kortikosteroid, dan penyakit hati

kronis (Dodge,1993).
Diagnosis UP dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

radiologis dan dipastikan dengan pemeriksaan endoskopi (J2). Ulkus peptikum pada

anak sering menunjukkan gejala muntah, nyeri perut yang bersifat periodik dan
7

dipicu dengan masuknya makanan, dalam keadaan berat dapat terjadi perdarahan.

Gejala klinis UP pada anak dapat menyerupai gejala esofagitis, penyakit hati dan

saluran empedu, pneumonia, pankreatitis, atau giardiasis (Hassal, 1996).


Meskipun UP merupakan penyakit dengan angka kematian relatif rendah.

Pengobatan UP telah banyak dikembangkan, yaitu istirahat, diet, netralisasi keasaman

lambung (antasida), antikolinergik, antagonis reseptor H-2 (ARH-2), inhibitor pompa

proton, obat sitoprotektif, prostaglandin dan operasi pada kasus dengan perdarahan

berat (Soemanto, dkk., 1993).


Pada awalnya patogenesis UP dikaitkan dengan faktor stres dan makanan,

sehingga pengobatan diutamakan pada istirahat di rumah sakit dan pemberian

makanan lunak. Namun tidak ada bukti yang mendukung bahwa istirahat dan

mengkonsumsi makanan lunak berpengaruh pada lamanya penyembuhan ulkus.

Kemudian konsep UP didasarkan pada sekresi asam lambung yang berlebihan,

dengan pengobatan utama menggunakan antasid. Antasid dapat mengurangi nyeri,

namun hanya bersifat sementara. Netralisasi asam lambung oleh antasida tergantung

pada komposisi dan dosis, ada tidaknya makanan, dan adanya mukoprotein atau

subtansi lain dalam lambung. Netralisasi keasaman lambung dengan pemberian bahan

alkali sangat sulit dicapai tanpa menyampingkan timbulnya efek samping. Pemberian

antasid tunggal untuk mengobati UP pada anak tidak efektif, dan penggunaan jangka

panjang untuk pencegahan UP tidak dianjurkan. Dosis terapeutik antasid yang

dibutuhkan pada UP relatif besar dan harus diberikan 1 dan 3 jam setelah makan dan

saat tidur, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien. Dasar pengobatan

UP mulai berkembang dengan ditemukannya penghambat sekresi asam lambung,


8

seperti antagonis muskarinik (antikolinergik), ARH-2, dan penghambat pompa proton

(Soemanto, dkk., 1993).


Pada awalnya hanya ditemukan antagonis reseptor histamine atau

antihistamin H1 yang dalam dosis terapi, hanya efektif untuk mengobati edema,

eritem dan pruritus, tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung

akibat histamin. Setelah tahun 1972 ditemukan kelompok antihistamin baru yang

dapat menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin ini

digolongkan antagonis reseptor histamin-2 (ARH-2). Terdapat beberapa jenis obat

golongan ARH-2, yaitu :


1. Cimetidine (simetidin)
2. Ranitidin
3. Famotidin
4. Nizatidin
Simetidin merupakan senyawa antagonis reseptor pertama yang ditemukan,

yang mengandung cincin imidazol dari histamine (Feldman & Burton, 1990).

Simetidin juga dapat menghambat sistem metabolisme obat oksidatif sitokrom P-450,

dan hal inilah yang memungkinkan simetidin dapat berefek hepatoprotektor (Kalra,

dkk., 2007). Selain menghambat aksi histamin pada reseptor histamin-2, simetidine

juga menghambat pengeluaran dari enzyme pepsin pada lambung (J4). Selanjutnya

akan dibahas lebih lanjut mengenai sifat fisiko kimia, rumus kimia, farmakologi

umum, farmakodinamik, farmakokinetik dan toksisitas dari simetidin pada bab

berikutnya.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran secara keseluruhan mengenai obat golongan

antagonis reseptor histamine 2 (ARH-2) khususnya simetidin.


2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari makalah ini adalah :
9

a. Untuk mengetahui sifat fisik kimia dan rumus kimia simetidin


b. Untuk mengetahui farmakologi umum dari simetidin
c. Untuk mengetahui farmakodinamik simetidin
d. Untuk mengatahui farmakokinetik simetidin
e. Untuk mengatahui toksisitas dari obat simetidin

C. Manfaat
1. Bagi Masyarakat
Meningkatkan wawasan masyarakat agar lebih memahami tentang apa saja

khasiat, kegunaan terapi, kontraindikasi, kadar toksisitas dan gejala dari

toksisitas obat ARH-2 simetidin.


2. Bagi Penulis
Agar penulis lebih memahami bagaimana farmakologi umum,

farmakodinamik, farmakokinetik, serta toksisitas dari obat ARH-2

simetidin.
3. Bagi Fakultas Kedokteran
Dapat digunakan sebagai bahan informasi dan pengetahuan untuk fakultas

kedokteran, tak terkecuali kedokteran gigi dan kedokteran hewan tentang

farmakologi umum, farmakodinamik. Farmakokinetik, dan toksisitas obat

ARH-2 simetidin.
4. Bagi Bidang Farmasi
Sebagai rangkuman dan rekaan ulang untuk meriview kembali dalam

bidang ilmu farmasi khususnya obat golongan ARH-2 yaitu simetidin.

BAB II
FARMASI FARMAKOLOGI
10

2.1 Sifat fisiko kimia dan rumus kimia obat


1. Sifat fisiko kimia cimetidine dari Windholz (1983) dan Bavin, dkk. (1984) :
a) Description : White to off-white crystalline powder
b) Melting-point : 141-143 C (base), 193C dec (hydrochloride)
c) Solubility : Larut (114%) dalam air pada suhu 37C; larut

dalam etanol; sangat sedikit larut dalam chloroform; tidak larut pada

diethyl ether. Hydrochloride dengan bebas larut dalam air; larut dalam

ethanol; sangat susah larut dalam chloroform; dan tidak larut dalam

diethyl ether.
d) Spectroscopy data : Data ultraviolet, infra merah, rensonasi nuclear

magnetic dan massa spectral sudah dilaporkan.


e) Stability : senyawa yang kering, di letakan pada ruangan atau

tempat tertutup, menunjukan tidak ada dekomposisi pada 5 tahun

kemudian. Cimetidine hydrochloride stabil untuk 48 jam pada temperatur

ruangan yang normal ketika diencerkan dengan solutions yang digunakan

pada pemberian secara intravena.

2. Rumus kimia obat cimetidine dari Katzung et al. (2012) :

2.2 Farmakologi umum


11

Cimetidine atau simetidin merupakan obat golongan antagonis reseptor

histamin 2 (ARH-2) yang mengandung cincin imidazol dari histamin. Pada

umumnya, obat golongan ARH-2 jenis simetidin dan ranitidin banyak digunakan

untuk mengobati penyakit ulkus peptikum. Simetidin atau ranitidine memiliki potensi

untuk menekan sekresi asam hidroklorida pada kasus ulkus duodenum,

menghilangkan gejala selama episode akut dan mempercepat penyembuhan ulkus

dengan toksisitas yang relatif ringan (Katzung, 1992).

Tindakan operasi umumnya dilakukan pada kasus ulkus peptikum dengan

perforasi lambung atau duodenum, perdarahan masif yang tidak dapat diatasi dengan

pengobatan standar, obstruksi duodenum atau muara lambung karena jaringan parut,

dan kegagalan pengobatan pada kasus hipersekresi asam. Food and Drug

Administration (FDA) merekomendasikan pemberian simetidin dalam pencegahan

perdarahan lambung (Peroutka, 1994).

Selain pada pengobatan penyakit ulkus peptikum, menurut penelitin simetidin

juga dapat di gunakan sebagai hepatoprotektor. Dimana simetidin juga dapat

menghambat sistem metabolisme obat oksidatif sitokrom P-450, dan hal inilah yang

memungkinkan simetidin dapat berefek hepatoprotektor (Kalra, dkk., 2007).

Penggunaan obat simetidin dapat menimbulkan interaksi dengan beberapa

obat lainnya. Semua jenis antagonis reseptor H-2 dapat mempengaruhi absorbsi obat

lain karena efek peningkatan pH lambung, misalnya ketokonazol, etanol dan bismut.

Sebaliknya, adanya obat lain di dalam lambung juga dapat mempengaruhi kerja

antagonis reseptor H-2, misalnya magnesium hidroksida dan aluminium hidroksida


12

yang dapat menurunkan bioviabilitas obat antagonis reseptor H-2 seperti simetidin,

ranitidin dan famotidin sampai 30-40% (Feldman & Burton, 1990).

Secara umum, penggunaan obat simetidin juga memiliki efek samping sama

seperti obat lainnya. Efek samping terutama berhubungan dengan sistem syaraf

sentral, seperti nyeri kepala, letargi, bingung, halusinasi, depresi dan insomnia. Efek

samping gastrointestinal yaitu konstipasi atau diare, mulut kering, mual, dan perasaan

tidak enak di perut (abdominal discomfort) (Katzung, 1992 & Peroutka, 1994).

2.3 Farmakodinamik
Farmakodinamik merupakan suatu efek fisiologi dan biokimiawi obat

terhadap berbagai jaringan tubuh. Obat simetidin secara farmakodinamik akan

dibahas satu persatu mengenai khasiat dari simetidin, kegunaan terapi, dan kontra

indikasinya.
1. Khasiat simetidine
Simetidin merupakan obat golongan antagonis reseptor histamine 2 yang

memiliki kasiat untuk menurunkan sekresi asam lambung. Adanya histamin pada

reseptor H-2 pada lambung tersebut akan mengaktifasi adenilsiklase dan terjadi

peningkatan konsentrasi cyclicadenosin monophosphate (c-AMP) intraselular.

Peningkatan konsentrasi c-AMP mengaktifasi pompa proton (hidroksida kalium

ATP-ase) pada sel parietal untuk mensekresi ion hidrogen (H+) menggantikan

posisi ion kalium (K+) sehinga terjadi peningkatan asam lambung (Brunton,

1991). Di reseptor H-2 itulah lokasi obat simetidin bekerja dengan cara mengikat

reseptor H-2 agar tidak berikatan dengan histamin.


Menurut sumber terbaru, diketahui simetidin juga sebagai

hepatoprotektor. Dimana simetidin juga dapat menghambat sistem metabolisme


13

obat oksidatif sitokrom P-450, dan hal inilah yang memungkinkan simetidin dapat

berefek hepatoprotektor (Kalra, dkk., 2007).

2. Kegunaan terapi
1. Terapi ulkus peptikum
Ulkus peptikum atau sering disebut penyakit maag, merupakan

penyakit yang telah banyak di alami oleh masyarakat. Penyebab penyakit

ini pun bervariasi, ada yang disebabkan karena sekresi asam lambung dan

pepsin yang berlebihan (sebab primer), dan ada yang disebabkan karena

adanya gangguan ketahanan mukosa saluran cerna (sebab sekunder).


Salah satu dasar dari terapi ulkus peptikum adalah dengan

mengontrol sekresi asam lambung yaitu dengan pemberian obat antagonis

reseptor histamin 2 (ARH-2). Reseptor histamin H-2 terdapat pada lapisan

basolateral dan sel parietal dari lambung. Adanya histamin pada reseptor

H-2 tersebut akan mengaktifasi adenilsiklase dan terjadi peningkatan

konsentrasi cyclicadenosin monophosphate (c-AMP) intraselular.

Peningkatan konsentrasi c-AMP mengaktifasi pompa proton (hidroksida

kalium ATP-ase) pada sel parietal untuk mensekresi ion hidrogen (H+)

menggantikan posisi ion kalium (K+) sehinga terjadi peningkatan asam

lambung (Brunton, 1991).


Pemberian obat ARH-2 simetidin menurunkan volume cairan

lambung dan konsentrasi H+. Penurunan sekresi oleh sel kelenjar lambung

berlangsung simultan dengan penurunan volume cairan lambung. ARH-2

dapat menurunkan sekresi asam lambung basal (puasa), nokturnal, dan

post-prandial atau yang distimulasi oleh insulin. Penghambatan sekresi

asam lambung nokturnal merupakan faktor penting pada penyembuhan UP,


14

sehingga penggunaan satu dosis pada malam hari menjelang tidur sangat

bermanfaat (Brunton, 1991).


2. Terapi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
Pasien dengan rasa mulas (perih di lambung) atau gangguan

pencernaan (kurang dari 3 kali tiap minggu) mungkin dapat menggunakan

antacid atau h2 antagonist yang berselang-selang. Karena antacid dapat

menetralkan asam dengan cepat, dan dapat meredakan gejala lebih cepat

dibandingkan antagonis h2. Namun efek dari antacid hanya berlangsung

pendek (1-2 jam) dibandingkan dengan antagonist h2 (6-10 jam). H2

antagonis dapat digunakan sebelum makan sebagai usaha untuk

mengurangi kemungkinan rasa perih di lambung. Rasa mulas lebih baik

diterapi 2 kali sehari dengan h2 antagonist atau proton pump inhibitor. Pada

pasien dengan erosive esophagitis (kemungkinan 50% pasien dengan

GERD), h2 antagonist mampu menyembuhkan kurang dari 50% pasien,

karena itu proton pump inhibitor lebih baik karena langsung menghambat

produksi dari asam lambung (Katzung, et al., 2012).


3. Terapi Nonulcer Dyspepsia
H2 antagonist lebih sering digunakan sebagai kelompok perlawanan

dan kelompok resep untuk mengobati dyspepsia yang tidak disebabkan

oleh ulkus peptikum. Namun, keuntungan dibandingkan dengan placebo

sudah tidak meyakinkan ditunjukan (Katzung, et al., 2012).


4. Mencegah pendarahan dari stress-related gastritis
Pendarahan yang berarti secara klinik dari erosi atau ulcers

gastrointestinal bagian atas terjadi pada 1-5% dari pasien yang kritis

sebagai hasil dari gangguan mekanisme pertahanan mukosa yang

disebabkan oleh kekurangan perfusi pada lambung. Meskipun kebanyakan


15

pasien kritis mempunyai asam lambung yang normal atau menurun, banyak

studi telah menunjukan kelompok yang menyebabkan peningkatan

intragastric pH (h2 antagonist atau proton pump inhibitor) menurunkan

insiden dari pendarahan klinik yang signifikan. Namun kelompok yang

optimal tidak menentu untuk saat ini. Pasien yang tanpa nasoenteric tube

atau ileus, antagonist h2 intravena lebih baik dari proton pump inhibitor

intravena karena memberikan kemanjuran dan murah biaya. Infus h2

antagonis secara berlanjut umumnya lebih baik untuk infuse bolus karena

akan mencapai konsistensi, dan elevasi berkelanjutan dari pH intragastric

(Katzung, et al., 2012).


5. Sebagai hepatoprotektor
Selain pada pengobatan penyakit ulkus peptikum, menurut penelitian

simetidin juga dapat di gunakan sebagai hepatoprotektor. Dimana simetidin

juga dapat menghambat sistem metabolisme obat oksidatif sitokrom P-450,

dan hal inilah yang memungkinkan simetidin dapat berefek hepatoprotektor

(Kalra, dkk., 2007).

3. Kontra indikasi
Kontraindikasi pemberian simetidin adalah pada pasien yang mengalami

hipersensitif dan pada pasien yang sedang menerima terapi obat ketokonazol,

etanol dan bismuth yang akan berpengaruh pada absorpsi obat tersebut yang

dikarenakan terjadi peningkatan pH lambung. Selain itu terdapat juga beberapa

obat yang mempengaruhi absorpsi dari simetidin seperti metoklopramid dan

fenobarbital yang sama-sama memiliki efek menurunkan absorbsi ARH-2. Jadi


16

pemberian simetidin tidak dianjurkan pada saat menerima terapi obat-obat

tersebut (Feldman & Burton, 1990).

2.4 Farmakokinetik
Farmakokinetik merupakan suatu perjalanan dari obat mulai sejak

diminum hingga keluar melalui organ ekskresi di tubuh manusia. Beberapa hal

akan dibahas yang berkaitan dengan farmakokinetik seperti pola ADME

(Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, Ekskresi), waktu paruh, Ikatan protein, dan

bioavailabilitas pada simetidin menurut Katzung et al. 2012 :


1. Pola ADME
Simetidin diabsorpsi secara cepat di dalam usus halus. Simetidin melalui

metabolisme first-pass hepatic menghasilkan bioavailabilitas kira-kira sebesar

50%. Waktu paruh pada serum berada pada kisaran 1-4 jam, namun durasi aksi

(duration of action) tergantung dari dosis yang diberikan. Simetidin mengalami

eliminasi melalui kombinasi dari metabolisme hepatic, glomerular filtration, dan

sekresi tubulus ginjal. Dosis reduksi diperlukan pada pasien dengan gagal ginjal

sedang-berat. Pada usia tua, terdapat penurunan hingga 50% dari klirens obat

sebaik reduksi yang berarti pada volume distribusi.

2. Waktu paruh
Waktu paruh dari obat golongan antagonis reseptor histamin 2 simetidine adalah

1-4 jam, namun durasi tersebut tergantung dari seberapa besar dosis yang

diberikan.

3. Ikatan protein
Simetidin menghambat ikatan dari dihydrotestosteron dengan reseptor

androgen, menghambat metabolisme estradiol, dan meningkatkan serum

prolaktin. Ketika simetidin digunakan dalam jangka panjang dengan dosis tinggi,
17

ini dapat menyebabkan gynecomastia atau impoten pada laki-laki dan galaktorhea

pada wanita.

4. Bioavailabilitas
Simetidin dimetabolisme melalui first-pass hepatic yang mengasilkan

biavailabilitas sekitar 50%.

2.5 Toksisitas
Toksisitas merupakan tingkat merusaknya suatu zat jika dipaparkan terhadap

organisme. Beberapa hal yang akan dibahas yang menyangkut toksisitas adalah

efek samping, gejala toksisitas dan penanggulangannya menurut Katzung et al.

2012) :
1. Efek samping dan toksisitas
Antagonis reseptor histamin 2 pada umumnya adalah obat yang sangat

aman. Efek yang merugikan terjadi pada kurang dari 3% dari pasien seperti diare,

sakit kepala, fatigue, myalgia, dan konstipasi. Beberapa studi menyatakan bahwa

h2 antagonist intravena dapat meningkatkan resiko nosocomial pneumonia pada

pasien yang sakit kritis.


Perubahan status mental (confusion, hallucination, agitation) mungkin

terjadi karena penggunaan antagonist h2 intravena, khususnya pada pasien yang

menjalani unit intensive care yang sudah berusia tua atau yang memiliki disfungsi

hepar atau ginjal. Semua kejadian tersebut lebih sering terjadi pada pemberian

obat simetidin. Perubahan status mental pasien jarang terjadi pada pasien rawat

jalan.
Simetidin menghambat ikatan dari dihydrotestosteron dengan reseptor

androgen, menghambat metabolisme estradiol, dan meningkatkan serum

prolaktin. Ketika simetidin digunakan dalam jangka panjang dengan dosis tinggi,

ini dapat menyebabkan gynecomastia atau impoten pada laki-laki dan galaktorhea
18

pada wanita. Semua efek tersebut hanya spesifik pada pemberian simetidin dan

tidak terjadi pada pemberian h2 antagonist lainnya.

2. Gejala toksisitas
Gejala dari toksisitas obat simetidin seperti diare, sakit kepala, fatigue, myalgia,

dan konstipasi. Terdapat juga gejala perubahan status mental seperti confusion,

halusinasi. Dan agitasi.


3. Penanggulangannya
Pengobatan atau penanggulangan biasanya diberikan secara simtomatik dan

supportif karena tidak terdapat antidotum yang spesifik untuk menangani

toksisitas simetidin.

BAB III
PEMBAHASAN

1. Peran antagonis reseptor H-2 dalam pengobatan ulkus peptikum

Abstrak

Ulkus peptikum adalah kerusakan pada lapisan mukosa, submukosa

sampai lapisan otot saluran cerna yang disebabkan oleh aktivitas pepsin dan asam

lambung yang berlebihan. Ulkus peptikum dapat bersifat primer (akut dan kronis)

atau sekunder akibat adanya penyakit lain. Tujuan utama pengobatan ulkus

peptikum adalah untuk mengurangi rasa sakit, mempercepat penyembuhan ulkus

dan mencegah terjadinya residif ataupun komplikasi. Antagonis reseptor H2


19

berperan dalam mengurangi sekresi asam lambung dengan menghambat

pengikatan histamin secara selektif pada reseptor H2 dan menurunkan kadar

cyclic-AMP dalam darah. Antagonis reseptor H2 yang paling banyak digunakan

pada kelompok anak sebagai pengobatan standar terhadap ulkus peptikum adalah

simetidin dan ranitidin. Simetidin dan ranitidin efektif untuk menghilangkan gejala

nyeri pada episode akut dan mempercepat penyembuhan ulkus dengan toksisitas

relatif ringan. Pada kasus ulkus peptikum kronik yang disertai infeksi oleh

Helicobacter pylori, diperlukan pemberian antibiotik amoksisilin dan atau

metronidazol (Aziz, 2007).

Ketajaman analisis

Dari abstrak penelitiaan tersebut, telah dibuktikan bahwa obat golongan

antagonis reseptor histamin-2 dapat digunakan sebegai terapi dari ulkus peptikum.

Cara kerjanya adalah dengan menghambat pengikatan histamin. secara selektif

pada reseptor H2 dan menurunkan kadar cyclic-AMP dalam darah. ARH-2

menurunkan volume cairan lambung dan konsentrasi H+. Penurunan sekresi oleh

sel kelenjar lambung berlangsung simultan dengan penurunan volume cairan

lambung.12 Penggunaan ARH-2 pada UP dapat menyembuhkan ulkus dalam

pengobatan selama 4-6 minggu dan kadang-kadang hingga 8 minggu dengan

tingkat penyembuhan 84-97% (Peroutka, 1994).

2. Pengaruh pemberian simetidin terhadap kadar SGOT dan SGPT tikus putih

yang diberi anti tuberculosis rifampisin dan isoniazid


20

Abstact

Tuberkulosis (TB) has long been known as an infection diseases, and has been reported to increased.
The INH dan Rifampisin are two different drugs that are known tobe the most active drugs, therefore
both drugs are being used as never ending drugs in curing the TB. Utilization of both INH and
rifampisin in a combination to cure the TB patients, however could increase the possibility of hepar
lession risk. This research was aimed to firstly, knowing whether cimetidine could prevent increase of
SGOT and SGPT levels of rats (Rattus norvegicus) given by both drugs INH and rifampisin, and
secondly what was the minimum dose of cimetidine that able to prevent the increase of SGOT and SGPT
levels. A Completely Random Design (CRD) was applied in this research, 24 male rats (Rattus
norvegicus) of the wistar variety were divided into 4 different groups. The first group, was only given the
INH and rifampisin orally at the doses of 50 mg/Kg body weight/day, the next groups groups II, III, and
IV were also given those two drugs at the same dose, but the cimetidine was also given at 112,5 , 225,
and 450 mg/Kg body weight/day for the 28 days. Consequently the SGOT and SGPT levels were
measured twice pre and post treatments. The data obtained were analysied by the paired t test, a one
way ANOVA, Post Hoc Tukeys HSD, Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test. This research result
showed that the cimetidine that given following the INH and rifampisin could prevent the increase of
SGOT and SGPT levels. The highest dose of 450 mg/Kg body weight/day that given orally showed highly
significant different from other (p<0,00) in preventing the SGOT and SGPT of treated animals.

Abstrak

Tuberkulosis sudah lama diketahui sebagai penyakit infeksi, dan sudah dilaporkan

meningkat. Rifampicin dan INH adalah dua obat berbeda yang diketahui obat

paling aktif, oleh karena itu kedua obat tersebut digunakan sebagai terapi jangka

panjang TB. Pemanfaatan dari rifampisin dan INH pada kombinasi untuk

menyembuhkan pasien TB, namun kemungkinan dapat meningkatkan resiko lesi

pada hepar. Penelitian ini pertama bertujuan, untuk mengetahui apakah simetidin

dapat mencegah peningkatan SGOT dan SGPT pada tikus (Rattus norvegicus)

yang diberikan obat rifampisin dan INH, kedua untuk mengetahui apa dosis

minimum dari simetidin dapat digunakan untuk mencegah peningkatan SGOT dan

SGPT. Penelitian ini menggunakan metode Completely Random Design (CRD), 24

tikus jantan (Rattus norvegiccus) dengan variasi wistar yang dibagi menjadi 4 grup

yang berbeda. Grup pertama, hanya diberikan rifampisin dan INH secara oral
21

dengan dosis 50 mg/Kg per hari, grup selanjutnya II,III,IV juga diberikan dua obat

yang sama dengan dosis yang sama tetapi diberikan obat simetidin dengan dosis

yang berbeda 112,5 , 225, dan 450 mg/Kg per hari selama 28 hari. Secara

konsekuen kadar SGOT dan SGPT dihitung dua kali yaitu pre dan post treatment.

Data diperoleh dari hasil analisis oleh paired t test, a one way ANOVA, Post Hoc

Tukeys HSD, Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney test. Penelitian ini menunjukan

hasil bahwa simetidin yang diberikan bersama dengan rifampicin dan INH dapat

mencegah peningkatan dari kadar SGOT dan SGPT. Dosis terbesar 450mg/Kg

body berat per hari yang diberikan secara oral menunjukan peningkatan yang

signifikan dan berbeda dengan yang lain (p<0,00) dalam pencegahan SGOT dan

SGPT pada binatang (Perdini, dkk., 2010).

Ketajaman analisis

Dsini diketahui bahwa obat antagonis reseptor histamin-2 yaitu simetidin

dapat menurunkan kadar SGOT dan SGPT pada hepar. Yang sartinya penurunan

kadar SGOT dan SGPT tersebut dapat pula menurunkan resiko terjadinya lesi pada

hepar. Simetidin memiliki kemampuan dapat menghambat sistem metabolisme

obat oksidatif sitokrom P-450, dan hal inilah yang memungkinkan simetidin dapat

berefek hepatoprotektor (Kalra, dkk., 2007).


22

BAB IV

KESIMPULAN

Simetidin merupakan obat golongan antagonis reseptor histamine-2 yang banyak

digunakan untuk terapi ulkus pepticum karena fungsinya sendiri yaitu dapat

menghambat pengikatan histamin. secara selektif pada reseptor H2. Selain ulkus

peptikum, penyakit Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), non ulcer dyspepsia,

dan pencegahan pendarahan pada kejadian gastritis dapat diterapi dengan pemberian

obat simetidin. Simetidin juga diketahui dapat berikatan dengan sitokrom P-450 pada

hepatic metabolisme sehingga disebut memiliki sifat sebagai hepatoprotektor. Angka

kejadian toksisitas pada simetidin juga sangat rendah sehingga disebut obat yang

aman. Beberapa gejala yang terjadi pada toksisitas simetidin seperti diare, sakit

kepala, fatigue, myalgia, dan konstipasi dapat diterapi dengan pemberian obat

simtomatik.
23

DAFTAR PUSTAKA

White M. Mediators of inflammation and the inflammatory process. J Allergy Clin


Immunol 1999; 103: S378-81.
Pohan, Saut S. 2007. Mekanisme antihistamin pada Pengobatan Penyakit Alergik :
Blokade Reseptor-Penghambatan Aktivasi Reseptor. Department Ilmu
Kesehatan Kulit & Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Dodge JA. The Stomach. Dalam: Gracey M, Burke V, penyunting. Paediatric Gastro
Enterology and Hepatology. Edisi ke-3. Boston: Black Well Scientific
Publications, 1993. h. 77-94.
Djuwantoro D. Diagnosis dan pengobatan tukak peptik. Cermin Dunia Kedokteran
1992; 17: 14-7.
Hassall E. Peptic Diseases. Dalam: Rudolf. Pediatric, penyunting. Edisi ke-20.
California: Prentice Hall Int, 1996. h. 1087-92.
Soemanto PM, Hirlan, Setiawati A, Hadi S. Penatalaksanaan gastritis dan ulkus
peptikum. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Uji Diri. Jakarta: Yayasan
Penerbit IDI, 1993. h. 1-29.
Feldman M, Burton ME. Histamine2-receptor antagonis standard therapy for acid-
peptic disease (first of two parts). The New Engl of Med 1990; 323:1672-755.
24

Kalra, Bhupinder S, Sarita A, Nita K and Usha G. 2007. Effect of Cimetidine on


Hepatotoxicity Induced by Isoniazid- Rifampicin Combination in Rabbits:
Departements of Pharmacology, Biochemistry and Pathology, Maulana Azad
Medical College New Delhi.
Windholz, M., ed. (1983) The Merck Index 10th ed., Rahway, NJ, Merck & Co., p.
323
Bavi, :PM.G., Post, A & Zarembo, J.E. (1984) Cimetidine. An. Profiles Drug Subst.,
13, 127-182
Katzung, B.G., Masters, S.B., Trevor, A.J., 2012. Basic & Clinical Pharmacology, 12th
Ed. New York: McGraw-Hill.
Katzung BG. Basic and clinical pharmacology. Edisi ke- 5. Norwalk: Appleton &
Lange, 1992. h. 238-9.
Brunton LL. Agents for control of gastric acidity and treatment of peptic ulcers.
Dalam: Alfred Goodman Gilman. Rall TW, Nies AS, Taylor P, penyunting.
The pharmacological basis of therapeutics. Singapore: McGraw-Hill Book
Co, 1991. h. 897-902.
Aziz, Noval. 2002. Peran Antagonis Reseptor H-2 Dalam Pengobatan Ulkus
Peptikum. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatra Utara.
Perdini, E., Siswandari, W., Pribadi, F.W., 2010. Pengaruh Pemberian Simetidin
Terhadap Kadar SGOT dan SGPT Tikus Putih (Rattus norvegicus) Yang
Diberi Anti Tuberkulosis Rifampisin dan Isoniazid. Fakultas Kedokteran dan
Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jendral Sudirman Purwokerto.

Anda mungkin juga menyukai