Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KELOMPOK

MAKALAH
MATA KULIAH FARMAKOLOGI
“OBAT ANTIEMESES (FARMAKOKINETIK, FARMAKODINAMIKA,
INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI)”
Dosen : Dra. Kionarni O, Apt, M. M.Kes

Disusun Oleh :
Kelompok 2 (Dua)
1. Elda Damayanti (P27824423227)
2. Lailatul Maghfiroh (P27824423229)
3. Linda Eka Pratiwi (P27824423230)
4. Nadhifa Asfan (P27824423231)
5. Talitha Rahma Nabila (P27824423237)
6. Yeni Adelia (P27824423239)
7. Fitria Hidayana (P27824423246)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL TENAGA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah - Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat
waktu. Makalah ini merupakan tugas kelompok bagi mahasiswa prodi STR
Kebidanan Poltekkes Kemenkes Surabaya untuk memenuhi tugas mata kuliah
Farmakologi. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dwi Wahyu Wulan S., SST., M.Keb., selaku ketua jurusan Kebidanan Poltekkes
Kemenkes Surabaya.
2. Dwi Purwati, S.Kp., SST., M.Kes. selaku ketua prodi STR Kebidanan Poltekkes
Kemenkes Surabaya
3. Dra. Kionarni O, Apt, M. M.Kes, selaku dosen mata kuliah Farmakologi
Poltekkes Kemenkes Surabaya
4. Seluruh pihak yang turut membantu dan kerja sama dalam menyelesaikan
makalah yang berjudul Obat Antiemeses (Cara Kerja, Farmakokinetik,
Farmakodinamika, Indikasi Dan Kontraindikasi).
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kesalahan dan kekurangan. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan,
pengalaman, dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan dalam
pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca.

Surabaya, 01 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah................................................................................................. 2
1.3 Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
1.4 Tujuan ................................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 4
2.1 5HT3 Antagonis reseptor.................................................................................... 5
2.2 Antihistamin ..................................................................................................... 10
2.3 D2 Antagonis / Anti dopaminergik ................................................................... 12
2.4 Antikolinergik .................................................................................................. 17
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 20
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 20
3.2 Saran ................................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 21

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mual adalah perasaan dorongan kuat untuk muntah. Muntah atau
memuntahkan adalah memaksa isi perut naik melalui kerongkongan dan keluar
dari mulut (UMMC, 2013). Penyebab mual dan muntah ini ada bermacam-
macam seperti: alergi makanan, infeksi pada perut atau keracunan makanan,
bocornya isi perut (makanan atau cairan) keatas yang juga disebut
gastroesophageal reflux atau GERD (UMMC, 2013).
Mual dan muntah sejauh ini merupakan kejadian yang sering terjadi pada
kondisi kesehatan selama kehamilan, dengan prevalensi diperkirakan sekitar 50
- 70 %. Kejadian yang sering terjadi berupa hyperemesis gravidarum (HG),
telah diperkirakan sebesar 0,5 - 2 % dari seluruh kehamilan (Svetlana et al,
1999). Anti-emetik atau obat mual adalah obat yang digunakan untuk mengatasi
rasa mual dan muntah.
Antiemetik secara khusus digunakan untuk mengatasi mabuk perjalanan
dan efek samping dari analgesik dari golongan opiat, anestesi umum, dan
kemoterapi yang digunakan untuk melawan kanker, juga untuk mengatasi
vertigo (pusing) atau migren (Mutschler, 1991). Tujuan keseluruhan dari terapi
anti-emetik adalah untuk mencegah atau menghilangkan mual dan muntah,
seharusnya tanpa menimbulkan efek samping.
Terapi anti - emetik diindikasikan untuk pasien dengan gangguan 2
elektrolit akibat sekunder dari muntah, anoreksia berat, memburuknya status
gizi atau kehilangan berat badan.
Anti - emetika atau obat antimual adalah obat obatan yang digunakan untuk
mengurangi atau menghilangkan rasa mual dan muntah. Karena muntah hanya
suatu gejala, maka yang penting dalam pengobatan adalah mencari
penyebabnya (Sri Riyanti, 2014). Obat - obatan tersebut bekerja dengan
mengurangi hiperaktifitas reflex muntah.

1
Antiemetika yang bekerja secara local dapat berupa anastid, anestesi
local,adsorben, obat pelindung yang melapisi mukosa GI, atau obat yang
menghindari distensi dan menstimulasi peregangan saluran GI. Mual muntah
bisa mempengaruhi kualitas nutrisi, asupan makanan dan pada akhirnya
mempengauhi kualitas hidup pasien (Ballatori dan Roila,2003).
(MMK) atau mual muntah oleh kemoterapi merupakan efek samping yang
paling ditakuti oleh pasien kanker yang mendapat kemoterapi atau radioterapi
(Schnell, 2003). Efikasi antiemetika dalam menghindari mual muntah jarak
sekitar 70 % - 80 % pada pasien yang mendapat kemoterapi dengan emetogenik
berat (Akal dkk, 2005).
Mual dan muntah merupakan kondisi yang sering di jumpai pada pasien
terkait pengobatan dan penyakit yang diderita. Obat-obat antiemesis digunakan
untuk mencegah dan menghentikan rasa mual yang di derita pasien setidaknya
24 jam setelah pengobatan atau operasi. Anti emesis bekerja dengan cara
menghambat zat kimia tertentu yang mengaktivasi pusat mual dan muntah di
otak. Diberikan sesaat sebelum tindakan melakukan kemoterapi atau radiasi.
1.2 Batasan Masalah
Pembatasan masalah dilakukan pada farmakokinetik dan farmakodinamika obat
antiemesis.
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana farmakokinetik dan farmakodinamika obat antiemesis ?
2 Apa indikasi obat antiemesis ?
3 Apa kontraindikasi obat antiemesis ?
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Agar semua mahasiswa dapat memahami tentang cara kerja / khasiat,
farmakokinetik farmakodinamika, indikasi, kontraindikasi obat antiemesis
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamika obat
antiemesis
2. Untuk mengetahui indikasi obat antiemesis

2
3. Untuk mengetahui kontraindikasdari obat antiemesis

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Obat Antiemetik Mual dan muntah adalah kondisi yang sering dialami oleh
setiap ibu hamil, mual dan muntah selama kehamilan trismester pertama, yang juga
dikenal dengan morning sickness, bisa menjadi tanda - tanda kehamilan yang sehat.
Untuk mengatasi mual dan muntah pada ibu hamil obat yang aman digunakan
sebagai antiemetik adalah ondansentron, metoclopramide, prometazin,
proklorperazin, antasida doen dan lain - lain.
Tinjauan tentang obat anti mual dan mutah (Rother, 2012)
Mekanisme
Group & contoh Efek samping Catatan
kerja
5HT3 Antagonis 1. Selektif 1. Sakit kepala 1. Terbukti
reseptor memusuhi 2. Sakit kepala mengurangi
1. Ondansetron reseptor 5HT ringan PONV sebesar
2. Granisetron 2. Berpusat di 3. Konstipasi 26 %
CTZ 2. Target muntah
3. Perifer di lebih khusus
saluran GI dari mual
3. Tidak terkait
dengan efek
samping ekstra
- piramidal,
sedasi
berlebihan atau
pemulihan
berkepanjangan
dari anestesi
dan berguna
untuk operasi
siang hari pada
pasien
4. Baik diberikan
pada pasca
operasi
Antihistamin 1. Blok reseptor 1. Mulut kering 1. Terbukti
1. Siklizin Histamin di 2. Efek sedasi mengurangi
2. Prometazin pusat muntah PONV sebesar
2. Juga 21 %.
mempunyai 2. Jarang
sifat digunakan pada

4
antikolinergik operasi siang
dan memblok hari pada
reseptor pasien karena
muskarinik efek sedasinya.
Butyrofenone Memusuhi 1. Vasodilatasi Droperidol
1. Droperidol reseptor dopamin 2. Hipotensi mengurangi PONV
dan alpha 3. Efek sedasi sebesar 24.5 %
adrenergic 4. Kegelisahan
5. Mimpi buruk
6. Memperpanjang
QT interval jika
diberikan oral
Dopamin Tidak selektif 1. Gangguan pada Obat anti mual
Antagonis memusuhi ekstra pyramidal muntah ini sudah
1. Metoklopramid reseptor 2. Pusing jarang digunakan
2. Proklorperazin Dopamin 3. Efek sedasi karena mempunyai
3. Haloperidol efek ekstra
pyramidal
Steroid Mekanisme kerja Gangguan 1. Mengurangi
1. Deksametason masih belum pencernaan PONV sebesar
jelas 26.4 %
2. Efektif
diberikan
sebelum
induksi
3. Efektif
mencegah
PONV
berkaitan
kemoterap
2.1 5HT3 Antagonis reseptor
Antagonis reseptor 5-hydroxy tryptamine (5-HT3) bekerja dengan cara
menghambat reseptor serotonin dalam sistem saraf pusat dan saluran
gastrointestinal yang dapat mencegah terjadinya mual muntah pasca operasi.
Golongan antagonis reseptor 5-HT3 adalah dolasetron, granisetron,
ondansetron, palonosetron, ramosetron dan tropisetron
2.1.1 Ondansetron
a. Farmakokinetik :
Farmakokinetik ondansetron adalah bersirkulasi dengan ikatan
terhadap protein plasma darah. Ondansetron dapat diberikan secara oral
dan parenteral. Pada pemberian oral, dosis yang diberikan adalah 4 - 8

5
mg / kg BB. Pada intravena diberikan dosis tunggal ondansetron 0,1
mg / BB sebelum operasi atau bersamaan dengan induksi (Goodman &
Gilman, 2021).
Pada pemberian oral, obat ini diabsorbsi secara cepat. Ondansetron
di eliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama
secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukoronida atau sulfat di
hati. Pada disfungsi hati terjadi penurunan kadar plasma dan
berpengaruh pada dosis yang diberikan. Kadar serum dapat berubah
pada pemberian bersama fenitoin, fenobarbital dan rifampin (Omoigui,
2017).
Efek ondansetron terhadap kardiovaskuler sampai batas 3 mg / kg
BB masih aman, clearance ondansetron pada wanita dan orang tua lebih
lambat dan bioavailabilitasnya 60 %, ikatan dengan protein 70 – 76 %,
metabolisme di hepar, diekskresi melalui ginjal dan waktu paruh 3,5 -
5,5 jam. Mula kerja kurang dari 30 menit, lama aksi 6 - 12 jam (John,
2015).
b. Farmakodinamik :
Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor serotonin (5 - HT3)
merupakan obat yang selektif menghambat ikatan serotonin dan
reseptor 5 - HT3. Obat - obat anestesi akan menyebabkan pelepasan
serotonin dari sel - sel mukosa enterochromafin dan dengan melalui
lintasan yang melibatkan 5 - HT3 dapat merangsang area postrema
menimbulkan muntah. Pelepasan serotonin akan diikat reseptor 5 -
HT3 memacu aferen vagus yang akan mengaktifkan refleks muntah.
Serotonin juga dilepaskan akibat manipulasi pembedahan atau iritasi
usus yang merangsang distensi gastrointestinal (Pranowo, 2016).
Efek antiemetik ondansetron terjadi melalui (White & Watcha, 2019) :
 Blokade sentral pada area postrema (CTZ) dan nukleus traktus
solitarius melalui kompetitif selektif di reseptor 5 - HT3.

6
 Memblok reseptor perifer pada ujung saraf vagus yaitu dengan
menghambat ikatan serotonin dengan reseptor pada ujung saraf
vagus.
c. Indikasi :
Pencegahan mual dan muntah yang berhubungan dengan operasi dan
pengobatan kanker dengan radioterapi dan sitostatika.
d. Kontraindikasi :
hipersensitivitas dan penyakit hati (Pranowo, 2016).
e. Efek Samping :
Keluhan yang umum ditemukan ialah konstipasi. Gejala lain dapat
berupa sakit kepala, flushing, mengantuk, gangguan saluran cerna,
nyeri dada, susah bernapas, dsb (Pranowo, 2016).
f. Penggunaan Klinik :
Ondansetron digunakan untuk pencegahan mual dan muntah yang
berhubungan dengan operasi dan pengobatan kanker dengan
radioterapi dan sitostatika. Ondansetron biasa diberikan secara oral dan
intravena atau intramuskuler. Awal kerja diberi 0,1 - 0,2 mg / kg BB
secara perlahan melalui intravena atau infus untuk 15 menit sebelum
tindakan operasi. Dan disusul pemberian oral dengan dosis 4 - 8 mg /
kg BB tiap 12 jam selama 5 hari (Pranowo, 2016).
2.1.2 Granisetron Hidroklorida
a. Farmakokinetik :
 Penyerapan
Ketika Tablet KYTRIL (granisetron) diberikan dengan makanan,
AUC menurun sebesar 5 % dan Cmax meningkat sebesar 30 %
dosis tunggal 10 mg.
 Distribusi
Pengikatan protein plasma sekitar 65 % dan granisetron
didistribusikan secara bebas antara plasma dan sel darah merah.
 Metabolisme

7
Metabolisme granisetron melibatkan demetilasi N dan
oksidasi cincin aromatik diikuti dengan konjugasi. Studi
mikrosomal hati in vitro menunjukkan bahwa rute utama
metabolisme granisetron dihambat oleh ketokonazol,
menunjukkan metabolisme yang dimediasi oleh subfamili
sitokrom P - 450 3A. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa
beberapa metabolit mungkin juga memiliki aktivitas antagonis
reseptor 5- HT3.
 Eliminasi
Pembersihan sebagian besar terjadi melalui metabolisme hati
sekitar 11 % dari dosis yang diberikan secara oral. Dieliminasi
dalam urin dalam waktu 48 jam. Sisa dosis diekskresikan sebagai
metabolit, 48 % melalui urin dan 38 % melalui feses.
b. Farmakodinamik :
Granisetron adalah antagonis reseptor 5-hydroxytryptamine 3 (5-
HT3) selektif dengan sedikit atau tanpa afinitas terhadap reseptor
serotonin lain, termasuk 5-HT1, 5-HT1A, 5-HT1B/C, 5-HT2, untuk
alfa 1-, alfa 2-, atau beta-adrenoreseptor, untuk dopamine-D2, atau
untuk histamine-H1, benzodiazepine, reseptor pikrotoksin atau opioid.
Reseptor serotonin tipe 5-HT3 terletak di perifer pada terminal saraf
vagal dan terpusat di zona pemicu kemoreseptor di area
postrema. Selama kemoterapi yang menyebabkan muntah, sel
enterokromafin mukosa melepaskan serotonin, yang merangsang
reseptor 5-HT3 . Hal ini menimbulkan keluarnya cairan aferen vagal,
menyebabkan muntah. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa,
dengan berikatan dengan reseptor 5-HT3, granisetron menghambat
rangsangan serotonin dan muntah berikutnya setelah rangsangan
emetogenik seperti cisplatin. Pada model hewan musang, suntikan
granisetron tunggal mencegah muntah akibat cisplatin dosis tinggi atau
menahan muntah dalam waktu 5 hingga 30 detik.

8
Dalam sebagian besar penelitian pada manusia, granisetron
memiliki pengaruh kecil terhadap tekanan darah, detak jantung,
atau EKG . Tidak ada bukti efek pada
konsentrasi prolaktin atau aldosteron plasma yang ditemukan dalam
penelitian lain.
Setelah dosis oral tunggal dan ganda, Tablet KYTRIL (granisetron)
memperlambat transit kolon pada sukarelawan normal. Namun,
KYTRIL (granisetron) tidak berpengaruh pada waktu transit oro-cecal
pada sukarelawan normal ketika diberikan infus intravena (IV) tunggal
50 mcg/kg atau 200 mcg/kg.
c. Indikasi :
 Mual dan muntah yang berhubungan dengan terapi kanker
emetogenik awal dan berulang, termasuk cisplatin dosis tinggi.
 Mual dan muntah yang berhubungan dengan radiasi, termasuk
iradiasi total pada tubuh dan radiasi perut yang terfraksionasi.
d. Kontraindikasi :
Granisetron hidroklorida dikontraindikasikan pada pasien yang
diketahui hipersensitif terhadap obat atau komponennya.
e. Efek samping :
Efek samping yang umum dari Kytril (granisetron hidroklorida)
meliputi :
 diare,
 sembelit,
 sakit perut atau kesal,
 kehilangan selera makan,
 kelemahan,
 sakit kepala,
 demam,
 pusing,
 kantuk,
 kesulitan tidur (insomnia), dan

9
 kecemasan.
Efek samping Kytril (granisetron hidroklorida) yang sangat kecil
kemungkinannya namun sangat serius, termasuk :
 gerakan atau kekakuan otot yang tidak biasa,
 detak jantung cepat atau berdebar kencang,
 demam,
 pegal - pegal,
 gejala flu,
 mudah memar atau berdarah, atau
 kelemahan yang tidak biasa.
2.2 Antihistamin
Antihistamin (antagonis reseptor histamin H1) antara lain : siklisin,
diphenhydramine, dimenhidrinat, meslizine, prometasin dan hidroxisin.
2.2.1 Dimenhydrinate
a. Farmakokinetik :
Dimenhydrinate diabsorpsi baik setelah konsumsi per oral. Efek
obat oral dimulai dalam waktu 15 ‒ 30 menit, dengan konsentrasi
puncak tercapai dalam waktu satu jam. Masa kerja obat adalah sekitar
4 ‒ 6 jam.
b. Farmakodinamik :
Dimenhydrinate secara kompetitif memblokade reseptor H1
sehingga mencegah kerja zat histamin pada otot polos bronkial, kapiler,
dan gastrointestinal. Hal ini akan mencegah bronkokonstriksi yang
disebabkan oleh induksi histamin. Selain itu, mekanisme ini juga
mencegah vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler, dan
spasme otot polos gastrointestinal.
c. Indikasi :
Indikasi dimenhydrinate atau dimenhidrinat adalah untuk
tatalaksana dan pencegahan vertigo, motion sickness, penyakit
Meniere, dan hiperemesis gravidarum. Dimenhydrinate juga dapat

10
digunakan untuk mengurangi gejala alergi misalnya pada rhinitis alergi
dan urtikaria.
d. Kontraindikasi :
Kontraindikasi dimenhydrinate atau dimenhidrinat adalah
penggunaan pada neonatus dan riwayat hipersensitivitas dengan obat
ini atau komponennya. Peringatan pada pengguna obat ini adalah untuk
tidak mengemudikan kendaraan atau mengoperasikan alat berat.
e. Efek samping :
Efek samping dimenhydrinate yang sering ditemukan adalah rasa
mengantuk. Konstipasi, penglihatan kabur, atau rasa melayang juga
dapat terjadi. Pasien dapat mengeluhkan mulut kering, gelisah, dan
ansietas.
2.2.2 Diphenhydramine
a. Farmakokinetik :
Setelah lisan diphenhydramine administrasi baik diserap dari
saluran pencernaan, secara luas didistribusikan ke seluruh tubuh, dan
mampu melewati meskipun penghalang darah dan otak. Oral
ketersediaan adalah 61 % dan 78 % terikat dalam plasma. Konsentrasi
plasma puncak dicapai dalam 2 – 3 jam. Diphenhydramine
dimetabolisme untuk nordiphenhydramine (metabolit aktif),
dinordiphenhydramine, dan asam diphenylmethoxyacetic. Diparuh
plasma adalah 3,2 – 8,5 jam, lebih pendek dan lebih lama paruh telah
dilaporkan untuk anak – anak dan orang tua. Ekskresi diphenhydramine
berubah 1,9 %
b. Farmakodinamik :
Diphenhydramine adalah obat golongan antagonis histamin-1 yang
terikat secara selektif pada reseptor H1 namun tidak mengaktivasinya,
sehingga menurunkan kerja dari histamin. Histamine dibentuk oleh
dekarboksilasi asam amino L-histidine pada sel epitel, limfosit, sel
mast, basofil, sel enterokromafin di mukosa gaster, dan neuron
histaminergik. Reseptor H1 sendiri terdapat pada otot polos

11
pernapasan, sel endotel, saluran cerna, sel imun, uterus, dan sistem
saraf pusat.
c. Indikasi :
Indikasi dari diphenhydramine adalah reaksi alergi, gejala
ekstrapiramidal, motion sickness, urtikaria, dan sedasi. Dosis
diphenhydramine yang biasa digunakan pada orang dewasa adalah 25-
50 mg per oral
d. Kontraindikasi :
Kontraindikasi dari diphenhydramine adalah pasien yang
hipersensitif terhadap diphenhydramine. Peringatan pada penggunaan
diphenhydramine pada anak dan lansia karena risiko efek samping
yang lebih besar dan risiko paradoks stimulasi sistem saraf pusat.
e. Efek samping :
Efek samping diphenhydramine yang umum timbul adalah sedasi,
gangguan fungsi motorik, konfusi, pusing, penglihatan kabur, mulut
kering, palpitasi, takikardia, konstipasi, dan nyeri kepala. Antihistamin
seperti diphenhydramine juga bisa memperburuk retensi urine dan
glaukoma.
2.3 D2 Antagonis / Anti dopaminergik
Anti dopaminergik untuk mengobati mual dan muntah yang berhubungan
dengan penyakit keganasan, radiasi, opioid, sitostatik dan anestesi umum,
yaitu : domperidon, droperidol, haloperidol, klorpromazin, prometazin dan
proklorperazin, metoclopramide dan alisaprid.
2.3.1 Domperidone
a. Farmakokinetik :
Domperidone cepat diserap setelah pemberian oral. Namun,
bioavailabilitas obat sistemik ini hanya sekitar 15 % bila diberikan
sebagai dosis tunggal pada pasien berpuasa dan bioavailabilitas
meningkat setelah makan. Salah satu penyebab rendahnya
bioavailabilitas domperidone adalah karena metabolisme lintas
pertama di hati dan usus. Sekitar 90 % domperidone terikat pada

12
protein plasma, dengan waktu paruh sekitar 7,5 jam. Obat ini
dimetabolisme secara ekstensif di hati melalui reduksi radikal alkil di
situs N oleh enzim sitokrom 450 CYP3A4 dan hidroksilasi aromatik
oleh CYP1A2, CYP3A4, dan CYP2E1. Sekitar 30 % dosis
diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam (kebanyakan dalam
bentuk metabolit), sisanya diekskresikan melalui feses setelah
beberapa hari, 10 % di antaranya utuh (obat tidak mudah
dimetabolisme). sawar darah otak). Domperidone dalam jumlah kecil
didistribusikan ke dalam ASI (konsentrasinya mencapai 10 – 15 %
dalam serum ibu).
b. Farmakodinamik :
Domperidone termasuk dalam kelompok antagonis Dopamin
dengan efek antiemetik. Domperidone juga meningkatkan sekresi
prolaktin di kelenjar pituitari. Namun, tingkat pasien yang memakai
obat mengalami efek yang tidak diinginkan seperti sindrom
ekstrapiramidal sangat jarang terjadi. Efek antiemetik yang diketahui
Domperidone disebabkan oleh kombinasi kerja perifer (motilitas
lambung) dengan antagonis antidopaminin pada daerah kemosensori
CTZ di luar sawar darah otak (di daerah postrema). Studi ilmiah pada
manusia menunjukkan bahwa pemberian domperidone oral
meningkatkan tekanan esofagus bagian bawah, meningkatkan
pengosongan lambung, dan meningkatkan motilitas antral dan
duodenum. Obat ini tidak mempengaruhi sekresi lambung.
c. Indikasi :
Indikasi untuk pengobatan gejala dispepsia fungsional. Tidak
dianjurkan untuk pemberian jangka lama. Untuk mual dan muntah
akut. Tidak dianjurkan untuk pencegahan rutin pada muntah setelah
operasi. Untuk mual dan muntah yang disebabkan oleh pemberian
levodopa dan bromokriptin lebih dari 12 minggu (Medidata, 2017)
d. Kontraindikasi :

13
Penderita hipersensitif terhadap domperidone. Penderita dengan
prolaktinoma tumor hipofise yang mengeluarkan prolaktin. Anak -
anak (kecuali untuk mencegah mual dan muntah sehubungan dengan
kemoterapi kanker dan irradiasi)
e. Efek Samping :
Efek samping domperidone berikut ini mungkin terjadi, namun
cenderung jarang
a. Asi keluar dari puting susu
b. Mulut kering
c. Pembesaran payudara
d. Sakit kepala
e. Gatal - gatal
f. Serangan rasa panas
g. Kulit gatal
h. Mata gatal, merah, nyeri, atau bengkak.
2.3.2 Metoclopramide
a. Farmakokinetik :
 Absorbsi
Metoklopramid dapat diberikan secara oral atau parenteral.
Diabsorbsi cepat dengan konsentrasi plasma maksimum tercapai
30-60 menit setelah pemberian oral dan 1-3 menit setelah
pemberian 0,2 mg / kg BB intravena (Morgan & Mikhail, 2016).
Kadar dalam plasma 40-80 mg / ml setelah pemberian oral
metoklopramid 10 mg pada orang sehat dan puasa. Metoklopramid
dimetabolisme dihati (Stoelting, 2019).
 Distribusi
Volume distribusi dilaporkan 2,2 - 3,5 1 / kg bb pada orang
dewasa. Dapat melewati placenta, dengan konsentrasi tinggi pada
air susu ibu. Berikatan secara lemah dengan protein plasma
(terutama albumin) yaitu sebanyak 13-30 % (Widana, 2020).
 Eliminasi

14
Waktu paruh eliminasi (t ½ α) 5 menit, dengan waktu paruh
distribusi t 1/2 β 2,5 - 6 Jam.
 Toksisitas
Efeknya pada motilitas gastrointetinal di antagonis oleh obat
- obatan antikolinergik (contohnya atropin) dan analgesik
narkotik; efek sedatif dipotensiasi oleh alkohol, hipnotik sedatif,
penenang, narkotik; mempercepat awitan aksi dari tetrasiklin,
asetaminofen, levodopa, dan etanol, yang terutama diobsorbsi
dalam usus kecil; memperpanjang lamanya aksi suksinilkolin
(melalui pelepasan asetilkolin dan inhibisi dari kolinesterase
plasma); melepaskan katekolamin pada pasien dengan hipertensi
esensial dan feokromositoma; dapat menimbulkan perasaan
ansietas dan kegelisahan yang sangat setelah suntikan intravena
cepat; dapat menimbulkan reaksi ekstra piramida (Omoigui,
2017).
b. Farmakodinamik :
 Efek gastrointestinal
Metoklopramid bekerja secara selektif pada sistem
cholinergik tractus gastrointestinal (efek gastropokinetik).
Metoklopramid merangsang motilitas saluran cerna bagian atas
tanpa merangsang sekresi asam lambung, empedu atau pankreas.
Metoklopramid meningkatkan tonus dan amplitudo kontraksi
lambung terutama bagian antral, merelaksasi sfingter pilorus dan
bulbus duodenum, dan meningkatkan peristaltik duodenum dan
yeyunum sehingga terjadi percepatan pengosongan lambung dan
transit intestinal. Metoklopramid meningkatkan tonus sfingter
esofagus bagian bawah pada keadaan istirahat. Motilitas kolon
atau kandung empedu hanya terpengaruh sedikit oleh
metoklopramid (Omoigui, 2017).
 Efek antiemetik

15
Efek ini timbul berdasarkan mekanisme sentral maupun
perifer. Secara sentral, metoklopramid mempertinggi ambang
rangsang muntah di Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ),
sedangkan secara perifer menurunkan kepekaan saraf visceral
yang menghantarkan impuls afferent dari saluran cerna ke pusat
muntah (Widana, 2020).
 Efek pada saraf pusat
Memiliki efek anti mual dan efek sedasi. Efek anti mual
karena kemampuannya pada sistem saraf pusat memblok reseptor-
reseptor dopamine terutama reseptor D-2, pada Chemoreseptor
Trigger Zone (CTZ) (Widana, 2020).
c. Indikasi :
Gangguan lambung - usus, mabuk perjalanan, mual di pagi hari pada
wanita hamil, mual dan muntah yang disebabkan oleh obat, anoreksia
(kehilangan nafsu makan), aerofagi (penelanan udara), ulkus peptikum,
stenosis pilorik (ringan), dispepsia, nyeri pada uluh hati,
gastroduodenitis, dispepsia setelah gastrektomi, endoskopi dan
intubasi.
d. Kontraindikasi :
Penyumbatan usus, feokromositoma, epilepsi.
e. Efek samping :
Efek samping umumnya ringan dan sangat jarang, meliputi:
mengantuk, disporia, agitasi/gelisah, distonia, oedem periorbita. Efek
samping utama pada kardiovaskular: hipertensi, hipotensi, aritmia
(Widana, 2020).
Pada SSP : mengantuk, reaksi ekstra piramida akatisia, insomnia,
ansietas. Pada gastrointestinal : mual dan diare. Lain - lain : galaktore,
ginekomastia, hipoglikemia (Omoigui, 2017).
Umumnya terjadi pada dewasa muda, terjadi 36 jam setelah
pemberian, meskipun sangat jarang ditemukan pada sekali pemberian
(Widana, 2020).

16
2.4 Antikolinergik
a. Antikolinergik (antimuskarinik, parasimpatolitik)
 menurunkan motilitas dan sekresi gastrointestinal
 Mekanisme menghambat asetilkolin dan histamin dan asam
hidroklorida.
b. Hyoscine (scopolamine)
 motion sickness
2.4.1 Scopolamine
a. Farmakokinetik :
 Absorbsi
Scopolamine diabsorbsi dengan baik di dalam tubuh.
Sirkulasi didalam plasma sekitar 4 jam dengan level puncak
sedang diperoleh rata - rata sekitar 24 jam. Konsentrasi plasma
yang dihasilkan adalah 87 pg/mL (0,28 nM) untuk scoplamine
bebas dan 354 pg / nM untuk total scopolamine. (Anonym, 2013)
 Distribusi
Distribusi scopolamine tidak terlalu bagus. Dapat melintasi
plasentadan sawar darah otak dan mungkin terikat secara
reversibel dengan protein plasma. (Anonym, 2013)
 Metabolisme
Scopolamine di metabolisme di dalam hati. Scopolamine
dimetabolisme secara ekstensif dan terkonjugasi kurang dari 5%
dari totaldosis yang tidak diubah di dalam urine. Metabolismenya
selama 108 jam. (Anonym, 2013)
 Ekskresi
Eliminasi scopolamine belum diketahui dengan pasti. Kurang dari
10 % total dosis diekskresikan di dalam urine. (Anonym, 2015)
 Waktu Paruh dan Onset
Waktu paruh scopolamine adalah 9,5 jam. Onset 30 menit.
(Anonym,2015)
 Bioavailabilitas

17
Scopolamine memiliki bioavailabilitas sebesar 11 – 48 %
(Anonym, 2015)
b. Farmakodinamik :
Skopolamin adalah obat antikolinergik yang secara luas digunakan
dan mencegah rangsangan di pusat muntah dengan memblok kerja dari
asetilkolin di pada reseptor muskarinik di system vestibular.
Skopolamin trasdermal dikatakan efektif dalam mengontrol PONV
setelah operasi laparoskopi ataupun setelah pemberian morfin.
Penelitian terbaru mengatakan bahwa skopolamin trasdermal memiliki
efektifitas yang sama dengan ondansetron 4 mg dan droperidol 1,25 mg
(Rahman and Beattie, 2014; Wallenborn, 2016; Fleisher, 2013; Morgan
et al, 2013)
c. Indikasi :
 Kejang pada saluran pencernan dan urogenital
 Mabuk perjalanan
 Ulkus peptikum gastritis (radang lambung)
d. Kontraindikasi :
 Penderita yang memiliki gangguan pada ginjal, hati, jantung
 Penderita glaucoma
 Pembesaran prostat
e. Efek samping :
 Kemerahan pada wajah dan leher
 Eritema (kelemahan kulit karna pelebaran pembuluh
 Mulut kering
 Kontipasi
 Mengantuk
 Retensi urin (Anonym, 2013)
f. Toksisitas
Toksisitas dari scopolamine berupa menyebabkan gelisah, koma,
kejang,halusinasi, sesak nafas, gangguan visual, takikardia serta

18
aritmia supraventrikular.Adapun gejala ini bisa lebih parah apabila
tidak mendapatkan pertolongan medis bahkan bisa menyebabkan
kematian. (Anonym, 2013) Penanggulangan scopolamine dapat berupa
memastikan bahwa pada saatsesak nafas sang pasien mendapatkan
dukungan pernapasan yang memadai seperti pembebasan jalan nafas,
adapun diperlukan juga pemantauan terus menerus tanda - tanda vital
dan EKG. (Anonym, 2013)

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Antiemetik adalah obat-obatan yang digunakan dalam penatalaksanaan


mual dan muntah. Obat-obatan tersebut bekerja dengan cara mengurangi
hiperaktifitas refleks muntah menggunakan satu dari dua cara, yaitu secara
lokal, untuk mengurangi respons lokal terhadap stimulus yang dikirim ke
medula guna memicu terjadinya muntah, atau secara sentral, untuk
menghambat CTZ secara langsung atau menekan pusat muntah.
Obat-obatan antimuntah terdiri dari antagonisserotonin, antagonis
dopamin, antagonis histamin, antikolinergik, kanabinoid, dan benzodiasepin.
Pemilihan jenis antiemetik akan disesuaikan dengan penyebab mual
atau muntah.

3.2 Saran

Sebagai tenaga kesehatan khususnya bidan sangat penting untuk


mengetahui jenis obat anti emetik, cara pemberian obat, cara kerja obat di
dalam tubuh, indikasi serta kontra indikasi obat agar dapat memberikan
pengobatan secara tepat.

20
DAFTAR PUSTAKA

Morgan J.G., Mikhail M.S., Murray M., 2013. Clinical Anesthesiology. 5 th ed,
New York: Mcgraw-Hill Companies., pp. 283-286.

Preskorn, Sheldon H. "Clinically important differences in the pharmacokinetics


of the ten newer “atypical” antipsychotics: part 1." Journal of Psychiatric
Practice® 18.3 (2012): 199-204.

https://repository.unair.ac.id/55218/13/FF%20FK%2009%2016-min.pdf

https://repository.unair.ac.id/55096/2/FF%20FK%2003%2016.pdf

https://www.scribd.com/document/448584744/FARMASI-scopolamin-docx

Bashir et al. 2015. A comparative evaluation of prophylactic single dose


metoclopramide, single dose ondansetron and a combination of ondansetron
plus dexamethasone in the reduction of post operative nausea and vomiting,
IOSR Journal of Dental and Medical Sciences, Vol. 14, pp. 20-24.

Fithrah, BA. 2014. Penatalaksanaan Mual Muntah Pascabedah di Layanan


Kesehatan Primer, Continuing Medical Education, Vol. 41, pp. 407-411.

Gan et al. 2014. Consensus Guidelines for Managing Postoperative Nausea and
Vomiting, Anesthesia Analgesia, Vol. 118, pp. 85–113.

Pierre, S., & Whelan, R. 2012. Nausea and Vomiting after Surgery, Continuing
Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain, pp. 1-5.

Pushplata, G., & Jain, S. 2014. Postoperative Nausea and Vomiting Prophylaxis:
A comparative study of ondansetron, granisetron and granisetron and
dexamethasone combination after modified radical mastectomy, Saudi Journal
of Anesthesia, Vol. 8, pp. 567-571.
Rother, C. 2012. Post‐Operative Nausea & Vomiting ‐ Use of Anti‐Emetic
Agents in Anaesthesia, Scottish Universities Medical Journal, Vol. 1, pp. 89-97.

Sayana, A., Barshiliya, Y. 2012. Comparative Study of Metochlopramide,


Ondansetron and Granisetron in Prophylaxis of Post operative Nausea and
Vomiting in Patient Undergoing Laparoscopic Cholecystectomy Under General
Anaesthesia, AJPLS, Vol. 2, ISSN 2231-4423.

21

Anda mungkin juga menyukai