Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

MESO KORTIKOSTEROID DAN KIE HOME CARE

KELOMPOK 1

Dosen Pengampu : Tita Nofianti, M.Si.,Apt

1. Tia Nurlistian 52119001

2. Lani Natriandini 52119002

3. Nita Anggriani 52119003

4. Lisa Kaunar 52119004

5. Nova Hardianti 52119005

STIKES BHAKTI TUNAS HUSADA TASIKMALAYA

PROGRAM STUDI APOTEKER

TAHUN 2019- 2020


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Segala puji bagi Allah yang

telah memberikan kemudahan sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan tugas

mata kuliah “Pelayanan Kefarmasian” MESO Kortikosteroid dan KIE Home care

pada tepat waktu. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak

khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah yaitu Tita Nofianti, M.Si.,Apt yang

telah memberikan arahan dalam menyelesaikan tugas ini.

Tiada hal yang kami harapkan selain makalah ini dapat diterima dengan baik

dan bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Penulis,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3
A. Pengertian MESO .......................................................................... 3
B. Masalah dan Kejadian Efek Samping Obat ................................... 4
C. Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat ............................ 4
D. Kortikosteroid ................................................................................ 11
E. Efek Kortikosteroid yang merugikan ............................................ 13
F. Penggunaan Obat Kortikosteroid ................................................... 14
G. Meso Kortikosteroid ...................................................................... 17
BAB II I PENUTUP ....................................................................................... 18
A. Kesimpulan ................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Badan Pengawasan Obat dan makanan Republik indonesiasebagai
lembaga yang mengemban otoritas regulatoridi bidang obat di Indonesia
mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat untuk menjamin bahwa
semua produk obat yang beredar ( pasca pemasaran ) memenuhi persyaratan
keamanan, khasiat dan mutu. Dalam hal ini, badan POM melakukan langkah
pengawalan dan pemantau baik dari aspek keamanan, kemanfaatan dan mutu
obat yang beredar , mulai dari evaluasi pra pemasaran hingga pengawasan
pasca pemasaran obat yang beredar diwilayah republic Indonesia.
Efek Samping Obat / ESO (Adverse Drug Reactions/ADR) adalah
respon terhadap suatu obat yang merugikan dan tidak diinginkan serta terjadi
pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia untuk pencegahan,
diagnosis, terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologis.
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) adalah kegiatan pemantauan
dan pelaporan efek samping obat yang dilakukan oleh tenaga kesehatan secara
sukarela (voluntary reporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO
berwarna kuning, yang dikenal sebagai form kuning. Monitoring dilakukan
terhadap seluruh obat yang beredar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan
di Indonesia. Aktifitas monitoring ESO dan juga pelaporannya yang dilakukan
oleh sejawat tenaga kesehatan sebagai healthcare provider merupakan suatu
alat yang dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya ESO
yang serius dan jarang terjadi.
Tujuan MESO adalah untuk sedini mungkin memperoleh informasi baru
mengenai efek samping obat, tingkat kegawatan, frekuensi kejadiannya,
sehingga dapat segera dilakukan tindak lanjut yang diperlukan, seperti
penarikan obat yang bersangkutan dari peredaran; pembatasan penggunaan
obat, misalnya perubahan golongan obat; pembatasan indikasi; perubahan
penandaan; dan tindakan lain yang dianggap perlu untuk pengamanan atau
penyesuaian penggunaan obat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Monitoring Efek Samping Obat ?
2. Bagaimana MESO kortikosteroid ?
3. Bagaimana KIE dari obat kortikosteroid ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan MESO ?
2. Untuk mengetahui MESO kortikosteroid ?
3. Untuk mengetahui KIE dari obat kortikosteroid ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian MESO
Menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organization/WHO 1970) efek samping suatu obat adalah segala sesuatu
khasiat yang tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang dimaksudkan pada
dosis yang dianjurkan.
Pengertian efek samping adalah setiap efek yang tidak dikehendaki
yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu
pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali,
tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari
faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah diketahui. (Anief, 2007)
Efek Samping Obat/ESO (Adverse Drug Reactions/ADR) adalah
respon terhadap suatu obat yang merugikan dan tidak diinginkan dan yang
terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia untuk pencegahan,
diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologik.
Tujuan MESO adalah untuk sedini mungkin memperoleh informasi
baru mengenai efek samping obat, tingkat kegawatan, frekuensi kejadiannya,
sehingga dapat segera dilakukan tindak lanjut yang diperlukan, seperti
penarikan obat yang bersangkutan dari peredaran; pembatasan penggunaan
obat, misalnya perubahan golongan obat; pembatasan indikasi; perubahan
penandaan; dan tindakan lain yang dianggap perlu untuk pengamanan atau
penyesuaian penggunaan obat (Sirait, 2001).
B. Masalah dan Kejadian Efek Samping Obat
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek
samping. Oleh karena itu, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi
yang kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam
sistem biologik tubuh. Jika suatu efek farmakologik terjadi secara ekstrim, ini
juga akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologik tubuh.
Anief (2007) mengatakan bahwa efek samping adalah sautu obat yang
tidak termasuk kegunaan terapi. Misalnya C.T.M efek samping yang ada ialah
menidurkan. Pengertian efek samping dalam pembahasan ini adalah setiap
efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien dari
suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari atau dihilangkan
sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan
menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah diketahui.
Beberapa contoh efek samping misalnya:
a. Reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik)
b. Hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik yang
berlebihan)
c. Osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek samping
karena penggunaan jangka lama)
d. Hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala penghentian
obat)
e. Fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada masa
awal kehamilan (efek teratogenik)

C. pemantauan dan pelaporan efek samping obat (eso)


MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela
(voluntary reporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna
kuning, yang dikenal sebagai Form Kuning. Monitoring tersebut dilakukan
terhadap seluruh obat beredar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di
Indonesia. Aktifitas monitoring ESO dan juga pelaporannya oleh sejawat
tenaga kesehatan sebagai healthcare provider merupakan suatu tool yang
dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya ESO yang serius
dan jarang terjadi (rare).
1. Siapa yang melaporkan?
Tenaga kesehatan, dapat meliputi:
 dokter,
 dokter spesialis,
 Dokter gigi,
 Apoteker,
 Bidan,
 Perawat, dan
 Tenaga kesehatan lain
2. Apa yang perlu dilaporkan?
Setiap kejadian yang dicurigai sebagai efek samping obat perlu
dilaporkan, baik efek samping yang belum diketahui hubungan kausalnya
(KTD/AE) maupun yang sudah pasti merupakan suatu ESO (ADR).
3. Bagaimana cara melapor dan informasi apa saja yang harus dilaporkan?
Informasi KTD atau ESO yang hendak dilaporkan diisikan ke dalam
formulir pelaporan ESO/ formulir kuning yang tersedia. Dalam penyiapan
pelaporan KTD atau ESO, sejawat tenaga kesehatan dapat menggali
informasi dari pasien atau keluarga pasien. Untuk melengkapi informasi
lain yang dibutuhkan dalam pelaporan dapat diperoleh dari catatan medis
pasien.
4. Karakteristik laporan efek samping obat yang baik.
Karakteristik suatu pelaporan spontan (Spontaneous reporting) yang baik,
meliputi beberapa elemen penting berikut:
a. Diskripsi efek samping yang terjadi atau dialami oleh pasien, termasuk
waktu mula gejala efek samping (time to onset of signs/symptoms).
b. Informasi detail produk terapetik atau obat yang dicurigai, antara lain:
dosis, tanggal, frekuensi dan lama pemberian, lot number, termasuk
juga obat bebas, suplemen makanan dan pengobatan lain yang
sebelumnya telah dihentikan yang digunakan dalam waktu yang
berdekatan dengan awal mula kejadian efek samping.
c. Karakteristik pasien, termasuk informasi demografik (seperti usia,
suku dan jenis kelamin), diagnosa awal sebelum menggunakan obat
yang dicurigai, penggunaan obat lainnya pada waktu yang bersamaan,
kondisi ko-morbiditas, riwayat penyakit keluarga yang relevan dan
adanya faktor risiko lainnya.
d. Diagnosa efek samping, termasuk juga metode yang digunakan untuk
membuat/menegakkan diagnosis.
e. Informasi pelapor meliputi nama, alamat dan nomor telepon.
f. Terapi atau tindakan medis yang diberikan kepada pasien untuk
menangani efek samping tersebut dan kesudahan efek samping
(sembuh, sembuh dengan gejala sisa, perawatan rumah sakit atau
meninggal).
g. Data pemeriksaan atau uji laboratorium yang relevan.
h. Informasi dechallenge atau rechallenge (jika ada).
i. Informasi lain yang relevan.
5. Kapan Melaporkan?
Tenaga kesehatan sangat dihimbau untuk dapat melaporkan kejadian
efek samping obat yang terjadi segera setelah muncul kasus diduga ESO
atau segera setelah adanya kasus ESO yang teridentifikasi dari laporan
keluhan pasien yang sedang dirawatnya.
6. Analisis Kausalitas
Analisis kausalitas merupakan proses evaluasi yang dilakukan untuk
menentukan atau menegakkan hubungan kausal antara kejadian efek
samping yang terjadi atau teramati dengan penggunaan obat oleh pasien.
Badan Pengawas Obat dan Makanan akan melakukan analisis kausalitas
laporan KTD/ESO. Sejawat tenaga kesehatan dapat juga melakukan
analisis kausalitas per individual pasien, namun bukan merupakan suatu
keharusan untuk dilakukan. Namun demikian, analisis kausalitas ini
bermanfaat bagi sejawat tenaga kesehatan dalam melakukan evaluasi
secara individual pasien untuk dapat memberikan perawatan yang terbaik
bagi pasien.
Tersedia beberapa algoritma atau tool untuk melakukan analisis
kausalitas terkait KTD/ESO. Pendekatan yang dilakukan pada umumnya
adalah kualitatif sebagaimana Kategori Kausalitas yang dikembangkan
oleh World Health Organization (WHO), dan juga gabungan kualitatif dan
kuantitatif seperti Algoritma Naranjo. Di dalam formulir pelaporan ESO
atau formulir kuning, tercantum tabel Algoritma Naranjo, yang dapat
sejawat tenaga kesehatan manfaatkan untuk melakukan analisis kausalitas
per individu pasien. Berikut diuraikan secara berturut-turut Kategori
Kausalitas WHO dan Algoritma Naranjo.

a) Kategori Kausalitas WHO


Certain
 Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat
dari waktu kejadian dapat diterima yaitu bahwa terjadi setelah
penggunaan obat (Event or laboratory test abnormality with
plausible time relationship to drug intake)
 Tidak dapat dijelaskan bahwa efek samping tersebut merupakan
perkembangan penyakit atau dapat disebabkan oleh penggunaan
obat lain (Cannot be explained by disease or other drugs)
 Respon terhadap penghentian penggunaan obat dapat terlihat
(secara farmakologi dan patologi (Response to withdrawal
plausible (pharmacologically, pathologically))
 Efek samping tersebut secara definitive dapat dijelaskan dari aspek
farmakologi atau fenomenologi (Event definitive
pharmacologically or phenomenologically (An objective and
specific medical disorder or recognised pharmacological
phenomenon))
 Rechallenge yang positif (Positive rechallenge (if necessary)

Probable
 Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat
dari waktu kejadian masih dapat diterima yaitu bahwa terjadi
setelah penggunaan obat (Event or laboratory test abnormality with
reasonable time relationship to drug intak)
 Tidak tampak sebagai perkembangan penyakit atau dapat
disebabkan oleh obat lain (Unlikely to be attributed to disease or
other drugs)
 Respon terhadap penghentian penggunaan obat secara klinik dapat
diterima (Response to withdrawal clinically reasonable)
 Rechallenge tidak perlu (Rechallenge not necessary)

Possible
 Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat
dari waktu kejadian masih dapat diterima yaitu bahwa terjadi
setelah penggunaan obat (Event or laboratory test abnormality with
reasonable time relationship to drug intake)
 Dapat dijelaskan oleh kemungkinan perkembangan penyakit atau
disebabkan oleh obat lain (Could also be explained by disease or
other drugs)
 Informasi terkait penghentian obat tidak lengkap atau tidak jelas
(Information on drug withdrawal lacking or unclear)
Unlikely
 Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat
dari hubungan waktu kejadian dan penggunaan obat adalah tidak
mungkin (Event or laboratory test abnormality with a time
relationship to drug intake that makes a connection improbable
(but not impossible))
 Perkembangan penyakit dan akibat penggunaan obat lain dapat
memberikan penjelasan yang dapat diterima (Diseases or other
drugs provide plausible explanations)

Conditional / Unclassified
 Terjadi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal (Event or
laboratory test abnormality)
 ata yang lebih lanjut diperlukan untuk dapat melakukan evaluasi
yang baik (More data for proper assessment needed) Atau data
tambahan dalam proses pengujian (Or additional data under
examination)

Unassessable / Unclassifiable
 Laporan efek samping menduga adanya efek samping obat (A
report suggesting an adverse reaction)
 Namun tidak dapat dinilai karena informasi yang tidak lengkap
atau cukup atau adanya informasi yang kontradiksi (Cannot be
judged because of insufficient or contradictory information)

 Laporan efek samping obat tidak dapat ditambahkan lagi


informasinya atau tidak dapat diverifikasi (Report cannot be
supplemented or verified

b) Algoritma Naranjo
7. Kerahasiaan/Confidentiality
Semua informasi yang disampaikan dalam pelaporan KTD/ESO akan
dijaga kerahasiaannya oleh Badan POM RI.
Contoh form MESO

D. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh
kelenjar adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol
respon inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki efek penting
pada metabolisme karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan mineralokortikoid
memiliki efek kuat terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit (Katzung,
2012; Gilman, 2012; Johan, 2015).
Penggunaan yang luas dan manfaat yang banyak, membuat
kortikosteroid menjadi obat yang digemari. Selain memiliki manfaat yang
banyak, kortikoseteroid memiliki banyak efek samping, yaitu sekitar sembilan
puluh lima efek samping pengobatan. Kortikosteroid sering disebut life saving
drug karena dalam penggunaanya sebagai antiinflamasi, kortikosteroid
berfungsi sebagai terapi paliatif, yaitu menghambat gejala saja sedangkan
penyebab penyakit masih tetap ada. Hal ini akhirnya menyebabkan
kortikosteroid banyak digunakan tidak sesuai indikasi, dosis, dan lama
pemberian (Suherman & Ascobat, 2005; Azis, 2006; Guidry et al., 2009).
Penggunaan yang terus menerus menyebabkan efek samping yang
serius dan bersifat merugikan. Efek samping yang ditimbulkan oleh
kortikosteroid akan menjadi semakin buruk apabila digunakan tidak sesuai
dengan aturan pakainya, baik itu dosis maupun lama pemakaian (Gilman,
2012). Guidry et al. (2009) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara durasi pemakaian kortikostroid dengan mean severity score
efek samping kortikosteroid.
Kortison dan hidrokortison mempunyai efek mineralokortikoid
yang relatif tinggi yang akan menyebabkan dapat menyebabkan retensi cairan,
sehingga tidak sesuai untuk pengobatan jangka panjang. Meskipun keduanya
dapat digunakan sebagai terapi pengganti pada insufisiensi adrenal,
hidrokortison lebih baik karena kortison masih perlu diubah menjadi
hidrokortison di liver. Hidrokortison digunakan intravena untuk pengobatan
jangka pendek pada penanganan darurat beberapa keadaan. Hidrokortison
mempunyai potensi antiinflamasi yang tidak terlalu kuat, sehingga baik
digunakan secara topikal untuk inflamasi kulit karena kemungkinan efek
samping topikal maupun sistemik kecil. Kortison tidak aktif secara topical
Prednisolon, mempunyai efek glukokortikoid yang dominan dan
merupakan kortikosteroid oral yang paling sering digunakan dalam terapi
supresi penyakit jangka panjang.
Betametason dan deksametason mempunyai aktivitas
glukokortikoid yang sangat tinggi sedangkan aktivitas mineralokortikoidnya
sangat rendah; sehingga digunakan untuk kondisi yang memerlukan
kortikosteroid dosis tinggi tanpa retensi cairan yang membahayakan.
Betametason dan deksametason mempunyai masa kerja yang lama, dengan
efek mineralokortikoid yang kecil sehingga kedua sifat ini sesuai untuk
kondisi yang memerlukan supresi sekresi kortikotropin (hiperplasia adrenal
kongenital). Beberapa bentuk ester betametason dan beklometason bila
diberikan mempunyai efek topikal (pada kulit dan paru-paru) yang lebih nyata
daripada bila diberikan secara oral, sehingga sifat ini dimanfaatkan dengan
menggunakan ester tersebut secara topikal agar kemungkinan efek samping
sistemik minimal (untuk pemakaian pada kulit dan inhalasi untuk asma)
Deflazakort mempunyai aktivitas glukokor-tikoid yang tinggi,
merupakan turunan dari prednisolon.

E. Efek kortikosteroid yang merugikan


Overdosis atau penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan efek
fisiologis yang berlebihan sehingga menimbulkan efek samping
glukokortikoid maupun mineralokortikoid.
Efek samping mineralokortikoid adalah hipertensi, retensi natrium dan
air serta kehilangan kalium. Hal ini jelas terjadi pada fludrokortison dan
cukup sering terjadi pada kortison, hidrokortison, kortikotropin dan
tetrakosaktrin. Efek samping mineralokortikoid pada betametason dan
deksametason yang mempunyai efek glukokortikoid yang besar, dapat
diabaikan, sedangkan pada metil prednisolon, prednisolon dan triamsinolon
efek mineralokortikoid ringan.
Efek samping glukokortikoid antara lain diabetes dan osteoporosis,
yang berbahaya, terutama pada lanjut usia, dapat terjadi fraktur osteoporotik
pada tulang pinggul dan tulang belakang. Selain itu, pemberian dosis tinggi
dapat mengakibatkan nekrosis avaskular pada kepala femur.
Dapat terjadi gangguan mental yang serius; paranoid atau depresi
dengan risiko bunuh diri, terutama pada pasien dengan riwayat gangguan
mental. Sering terjadi euphoria. Dapat terjadi hilang massa otot (proximal
myopathy). Terapi kortikosteroid mempunyai hubungan dengan timbulnya
tukak peptik meskipun lemah. (tidak jelas manfaat sediaan yang diatur
kelarutannya atau salut enterik untuk mengurangi risiko ini).
Kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan sindrom
Cushing dengan gejala-gejala moon face, striae dan acne yang dapat pulih
(reversibel) bila terapi dihentikan, tetapi cara menghentikan terapi harus
dengan menurunkan dosis secara bertahap (tappering-off) untuk menghindari
terjadinya insufisiensi adrenal akut.
Pada anak, penggunaan kortikosteroid dapat menghambat
pertumbuhan dan dapat mempengaruhi perkembangan pubertas. Oleh karena
itu penting untuk menggunakan dosis efektif terrendah, pemberian secara
berselang sehari dapat membatasi efek penurunan perkembangan anak. Efek
pemberian kortikosteroid selama kehamilan dapat dilihat pada peringatan
untuk pemakaian selama kehamilan dan menyusui .

F. Penggunaan obat kortikosteroid


Dosis kortikosteroid bervariasi tergantung penyakit dan kondisi
pasien. Jika kortikosteroid dapat menyelamatkan atau memperpanjang hidup,
seperti pada penyakit exfoliative dermatitis, pemphigus, leukemia akut atau
penolakan transpalantasi akut, dosis tinggi diberikan karena komplikasi terapi
yang mungkin timbul akan relatif lebih ringan dibandingkan penyakitnya
sendiri
Terapi kortikosteroid jangka panjang untuk penyakit kronis yang
memerlukannya kemungkinan efek samping pengobatan menjadi lebih kecil
dari efek yang disebabkan oleh penyakit. Untuk mengurangi efek samping
tersebut sebaiknya digunakan dosis pemeliharaan serendah mungkin.
Bila pengobatan yang lebih aman tidak berhasil maka kortikosteroid
secara topikal boleh digunakan untuk kondisi inflamasi pada kulit.
Penggunaan kortikosteroid pada psoriasis sedapat mungkin dihindarkan atau
digunakan hanya di bawah pengawasan dari dokter spesialis.
Kortikosteroid dapat digunakan secara topikal (melalui rektum) dan
sistemik (secara oral atau injeksi intravena) untuk penanganan kolitis ulserasi
dan penyakit Crohn. Aktivitas mineralokortikoid fludrokortison dapat
digunakan untuk menangani postural hipotensi pada neuropathy
autonomic. Meskipun dosis kortikosteroid yang sangat tinggi telah diberikan
secara injeksi intravena pada septicshock, suatu studi deng a n menggunakan
dosis tinggi metil prednisolon natrium suksinat tidak menunjukkan manfaat
bahkan pada sebagian kelompok pasien memberi kesan tingkat mortalitas
yang lebih tinggi. Namun terdapat bukti bahwa pemberian hidrokortison dosis
rendah (50 mg secara intravena setiap 6 jam) dan fludrokortison (50 mcg
perhari secara oral) bermanfaat untuk pasien yang mengalami insufisiensi
adrenal korteks akibat septic shock.
Efek mineralokortikoid deksametason dan betametason hampir tidak
ada atau ada kecil sekali dan lama kerjanya sangat panjang sehingga sesuai
untuk supresi sekresi kortikotropin pada hiperplasia adrenal kongenital di
mana dosis sebaiknya disesuaikan dengan respon klinik dan dengan kadar
androgen adrenal dan 17-hidroksiprogesteron. Sebagaimana semua
glukokortikoid, aksi supresif terhadap hypothalamic pituitary adrenal
axis paling kuat dan lama jika diberikan pada malam hari.
Pada kebanyakan subjek normal, pemberian dosis tunggal
deksametason 1 mg pada malam hari cukup untuk menghambat sekresi
kortikotropin selama 24 jam. Hal ini merupakan dasar dari ”overnight
dexamethason suppress ion test” yang digunakan untuk diagnosa Cushing ’s
Syndrome.
Betametason dan Deksametason juga menjadi pilihan untuk kondisi
dimana retensi cairan merupakan suatu keadaan yang dihindari.
Kortikosteroid dapat digunakan untuk penanganan kasus peningkatan tekanan
intrakranial atau serebral odema akibat keganasan, umumnya digunakan
betametason dan deksametason dosis tinggi. Namun demikian, kortikosteroid
sebaiknya tidak digunakan untuk penanganan luka kepala atau stroke karena
mungkin tidak memberi manfaat dan bahkan dapat membahayakan.
Pada reaksi hipersensitif akut misal angioedema pada saluran
pernapasan atas dan syok anafilaksis, kortikosteroid diindikasikan sebagai
obat tambahan pada penanganan gawat darurat dengan adrenalin (epinefrin),
pada beberapa kasus diperlukan hidrokortison (sebagai natrium suksinat)
injeksi intravena dengan dosis 100-300 mg.
Kortikosteroid sebaiknya digunakan secara inhalasi dalam penanganan
asma, tetapi terapi sistemik bersama dengan bronkodilator diperlukan untuk
pengobatan asma akut yang parah.
Kortikosteroid mungkin bermanfaat pada kondisi seperti auto-
immune hepatitis, rhematoid arthritis, sarkoidosis, anemia hemolitik
yang acquired, mungkin bermanfaat pada beberapa kasus sindrom nefrotik
(terutama pada anak) dan trombositopenia purpura. Kortikosteroid dapat
memperbaiki prognosis penyakit serius seperti systemic lupus erythematosus,
temporal arteritis dan polyarteritis nodosa. Efeknya mungkin dapat menekan
proses penyakit dan menghilangkan gejala, walau sebenarnya tidak
menyembuhkan penyakitnya, tetapi gejala dapat hilang.
Biasanya untuk memulai terapi pada kondisi ini adalah dengan dosis
tinggi seperti 40-60 mg prednisolon per hari dan kemudian dosis dikurangi
sampai dosis yang paling rendah yang tetap dapat mengendalikan penyakit
Bilamana memungkinkan pengobatan lokal dengan krim, injeksi
intraartikular, inhalasi, tetes mata atau secara enema lebih baik digunakan
daripada pengobatan sistemik. Aksi supresif kortikosteroid terhadap sekresi
kortisol paling kecil bila obat diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari.
Untuk mengurangi supresi pituitary-adrenal lebih lanjut, dapat diusahakan
dengan memberikan total dosis untuk 2 hari dalam bentuk dosis tunggal dan
diberikan setiap 2 hari, tetapi cara pemberian tersebut tidak efektif untuk
penanganan asma. Supresi pituitary–adrenal dapat juga dikurangi dengan cara
pemberian selang hari pada terapi jangka pendek. Pada beberapa kondisi
mungkin untuk mengurangi dosis kortikosteroid dengan penambahan dosis
kecil obat imunosupresan.

G. MESO KORTIKOSTEROID
Jurnal Kortikosteroid

KIE Homecare Kortikosteroid

OBAT KORTIKOSTEROID

Seorang pasien bernama Lani berumur 45 tahun datang ke apotek dengan membawa
resep yang berisi obat, prednisone 5 mg untuk mengobati radangnya.

Pasien : ”Assalamualaikum, selamat pagi”


AA : “ Selamat pagi, ada yang perlu saya bantu?”

Pasien : ” Ini saya ada resep dari dokter, mau tebus obat disini”

AA : “ Baik nanti saya konsultasikan pada apotekernya ya”

(Asisten Apoteker menuju ruang apoteker untuk mengkonsultasikan


resep)

(Apoteker menskrining resep)

Seteleh menyiapkan obat asisten apoteker memanggil pasien

AA : “Silahkan masuk ke ruangan apoteker untuk konseling obat”

Apoteker : “ selamat pagi bu, saya dengan apoteker Tia. ibu apa yang terasa?”

Pasien : “ini bu tangan saya gatal- gatal dan melepuh”

Apoteker : “ baik bu, ini dari dokter ibu diberi prednison 5mg untuk obat

radangnya.

Pasien : “ ada makanan yang harus dihindari ga bu”

Apoteker : “banyak bu jangan makan telon, asin”

Pasien :“ Baik bu, terimakasih”

Apoteker : ’’Sama- sama bu, oh iya begini bu karena penyakit ibu kusta dan

kelihatannya kustanya agak banyak menjalar di tubuh dan

gatalnya kelihatan sangat mengganggu aktivitas, jadi saran

saya kayaknya perlu dilakukan Pemantauan terapi obat. Apakah

ibu bersedia jika saya melakukan home care ?’’

Pasien : ‘‘Home care itu seperti apa?’’


Apoteker :‘‘ Jadi homecare itu saya sebagai apoteker melakukan pemantauan

terapi obat pada obat yang ibu gunakan dengan cara saya datang

kerumah ibu , supaya ibu teratur dalam meminum obat.’’

Pasien : ‘‘Baik lah saya bersedia.’’

Apoteker : ‘‘ya sudah bu mulai besok saya akan berkunjung kerumah ibu.’’

Pasien : ‘‘Baik bu saya tunggu.’’

( Beberapa hari kemudian apoteker kerumah pasien)

Apoteker : ‘‘Assalamualaikum,’’

Pasien : ‘‘waalaikumsalam mari bu silahkan masuk.’’

Apoteker : ‘‘saya apoteker dari apotek adila farma bu, mau Melakukan

pemantauan terapi obat yang ibu konsumsi.’’

Pasien : ‘‘Oh iya bu silahkan.’’

Apoteker : ‘‘Bagaimana yang dirasakan pada penggunaan obat setelah beberapa

hari ini bu?’’

Pasien : ‘‘Alhamdulilah bu agak sedikit mendingan.’’

Apoteker : ‘‘Apakah pernah terjadi rx sebelumnya menggunakan obat ini ?’’

Pasien : ‘‘Tidak (0)’’

Apoteker : ‘‘Apakah rx muncul setelah mengkonsumsi obat ini?’’

Pasien : ‘‘Ya ( +1)’’

Apoteker : ‘‘Apakah rx berkurang saat obat dihentikan ?’’

Pasien : ‘‘Ya ( +1)’’


Apoteker : ‘‘Apakah ada penyebab alternatif ( selain obat) yang dapat

menyebabkan Rx ini ?’’

Pasien : ‘‘Tidak (0)’’

Apoteker : ‘‘Apakah obat terdeteksi alam darah ( cairan lain) dalam konsentrasi

yang diketahui Toksik?’’

Pasien :‘‘ Tidak tahu (0)’’

Apoteker : ‘‘Apakah rx lebih berat saat obat dinaikan atau berkurang saat dosis

diturunkan?’’

Pasien : ‘‘Tidak tahu (0)’’

Apoteker : ‘‘Apakah pasien mempunyai rx yang mirip pada obat yang sama 1

sama lain?’’

Pasien : ‘‘Tidak tahu (0)’’

Apoteker :‘‘ Apakah rx dikonfirmasi dengan suatu bukti obyektif ?’’

Pasien :‘‘ Tidak tahu (0)’’

Apoteker : baik bu. Dari hasil pertanyaan yang saya ajukan ke ibu kemungkinan
ibu mengalami efek samping dari obat prednison yaitu moon face atau
wajah ibu bengkak. Saran saya sebaiknya ibu ke dokter lagi untuk
mengonsultasikan dosis obat prednison agar di turunkan dosisnya
sedikit-demi sedikit agar wajah ibu tidakmengalami pembengkakan
lagi.

Pasien : baik bu kalau begitu terimakasih

Apoteker : sama-sama bu semoga lekas sembuh.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang dibahas dapat disimpulkan bahwa:

- Obat- obat kortikosteroid adalah jenis obat yang digunakan sebagai anti
inflamasi atau anti peradangan pada tubuh.
- Manfaat dari penggunaan jenis kortikosteroid adalah untuk menangani kondisi
penyakit seperti asma, bronchitis, peradangan, reaksi alergi, Rheumatoid
arthritis dan lain- lain
- Jenis Obat-obatan kortikosteroid antara lain, betametason, dexametason,
methylprednisolone, prednisone dan sebagainya.
- Dosis pemakaian dari jenis obat- obatan tergantung kepada rentan umur
penggunanya, dan kadar didalam obat tersebut.
- Efek samping dari penggunaan obat- obatan kortikosteroid jangka panjang
yaitu rentan terkena infeksi, meningkatnya tekanan darah atau hipertensi,
meningkatnya kadar gula darah dan lain.
DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI. 2012. Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Bagi Tenaga

Kesehatan. Jakarta: Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik Dan

PKRT Badan POM RI.

Sirait, Midian. 2001. Tiga Dimensi Farmasi, Ilmu Teknologi, Pelayanan Kesehatan,

dan Potensi Ekonomi. Jakarta: Institut Darma Mahardika

Anief, M., 2007, Apa yang diketahui tentang obat, cetakan kelima, Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai