Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut (60 tahun) yang memiliki
karakteristik khusus dan membedakannya dari pasien lainnya. Karakteristik
tersebut disebabkan keadaan multipatologi, penurunan fungsi organ, penurunan
status fungsional serta tampilan gejala yang tidak khas yang ada pada pasien
geriatri.1 World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah geriatri di
dunia meningkat dari 605 juta pada tahun 2000 menjadi 1,2 milyar pada tahun
2025. Pada tahun 2002 sekitar 60% geriatri berada di negara berkembang, jumlah
tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 75% (843 juta) pada tahun 2025.2
Jumlah geriatri di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 19,9 juta. Pada tahun 2012
Indonesia termasuk negara Asia ketiga dengan jumlah absolut populasi usia lanjut
terbesar yakni setelah Cina (200 juta), India (100 juta) dan menyusul Indonesia
(25 juta). Bahkan diperkirakan Indonesia akan mencapai jumlah 100 juta lanjut
usia (lansia) pada tahun 2050. Sensus nasional menunjukkan bahwa persentase
penduduk usia lanjut tertinggi berada di Provinsi Yogyakarta (13,04%) dan di
Provinsi Aceh (5,88%) pada tahun 2012.3,4
Pada geriatri sering ditemukan lebih dari satu penyakit kronis
(multipatologi). Beberapa penyakit kronis yang sering terjadi pada pasien geriatri
adalah hipertensi, gagal jantung, gangguan saraf, gagal ginjal kronik, diabetes
mellitus, penyakit paru obstruktif, muskuloskeletal, serta penyakit digestif. 5,6 Hal
tersebut menyebabkan peresepan obat yang diberikan kepada geriatri bersifat
polifarmasi. Polifarmasi adalah pemberian 5 jenis obat atau lebih pada 1 pasien.7
Interaksi obat merupakan salah satu risiko yang timbul akibat polifarmasi. 7
dan akan meningkat seiring dengan penambahan jenis obat. Pasien yang
mengonsumsi 5-9 jenis obat beresiko 50% mengalami interaksi obat. 8 Pasien
geriatri yang mendapatkan obat polifarmasi harus diberi perhatian khusus karena
sering terjadi interaksi obat, hal tersebut dikarenakan terdapat perubahan
farmakokinetik dan farmakodinamik obat disertai penurunan fungsi dari berbagai
organ sehingga tingkat keamanan dan efektifitas obat akan berubah.6,9,10 Dampak
klinis yang sering timbul pada pasien geriatri akibat interaksi obat adalah gejala

1
2

antikolinergik, perubahan status mental, hipotensi ortostatik, perubahan mood dan


perilaku serta gangguan saluran pencernaan (perdarahan, konstipasi).11
Suatu penelitian pada kasus interaksi obat yang melibatkan 624 pasien
geriatri menunjukkan adanya 80% pasien dengan satu atau lebih interaksi obat dan
3,8% dari pasien tersebut mendapat obat-obat dengan interaksi yang berbahaya. 12
Penelitian lainnya terhadap 150 pasien geriatri di RSUD Saiful Anwar Malang ada
72% pasien geriatri mendapatkan obat polifarmasi dan mengalami Drug Related
Problem (DRP), dengan 66% diantaranya mengalami interaksi obat.13
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang hubungan obat polifarmasi dengan potensi timbulnya interaksi obat pada
pasien geriatri di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA Banda Aceh.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan hal yang dikemukakan pada latar belakang, permasalahan
yang mendasari penelitian ini adalah Apakah terdapat hubungan antara obat
polifarmasi dengan potensi timbulnya interaksi obat pada pasien geriatri di Ruang
Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui adanya hubungan antara obat polifarmasi dengan
timbulnya potensi interaksi obat pada pasien geriatri di Ruang Rawat Inap
Penyakit Dalam RSUDZA.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengidentifikasi variasi penggunaan jumlah obat pada pasien
geriatri di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA.
2. Untuk mengetahui persentase pasien geriatri di Ruang Rawat Inap
Penyakit Dalam RSUDZA yang berpotensi mengalami interaksi obat.
3. Untuk mengidentifikasi kategori interaksi obat-obat pada pasien geriatri di
Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA.
3

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat ilmiah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan ilmu
pengetahuan kesehatan khususnya di bidang farmakologi dan sebagai bahan
informasi untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat praktis
Memberikan informasi kepada dokter tentang hubungan obat polifarmasi
dengan potensi interaksi obat pada pasien geriatri sehingga bisa dijadikan bahan
evaluasi bagi para dokter dalam hal pemilihan dan pemberian obat serta
monitoring pasien geriatri.

1.5 Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah
Terdapat hubungan antara obat polifarmasi dengan potensi interaksi obat pada
pasien geriatri di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geriatri
Gerontologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang menangani kondisi
dan penyakit yang dikaitkan dengan proses penuaan.14 Prevalensi geriatri (60
tahun) meningkat lebih cepat dibandingkan populasi kelompok umur lainnya
karena peningkatan angka harapan hidup dan penurunan angka kelahiran. 15 Data
demografi dunia menunjukkan peningkatan populasi geriatri meningkat tiga kali
lipat dalam waktu 50 tahun, dari 600 juta geriatri pada tahun 2000 menjadi lebih
dari 2 miliar geriatri pada tahun 2050. Hal itu menyebabkan populasi geriatri yang
berusia lebih atau sama dengan 80 tahun meningkat terutama di negara maju.
Jumlah penduduk geriatri di Indonesia mencapai peringkat lima terbanyak di
dunia, yakni 19,9 juta pada tahun 2010 dan akan meningkat menjadi 28,8 juta
pada tahun 2025. Angka harapan hidup penduduk Indonesia mencapai 67,8 tahun
pada tahun 2000-2005 dan menjadi 73,6 tahun pada tahun 2020-2025. 4,16
Berdasarkan kategori usia geriatri di kelompokkan menjadi 3 kategori yaitu
elderly (60-74 tahun), old (75-90 tahun), very old (>90 tahun).15
Beberapa penyakit kronis yang sering terjadi pada pasien geriatri adalah
hipertensi, gagal jantung, gangguan saraf, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus,
penyakit paru obstruktif, penyakit muskuloskeletal, serta penyakit digestif.5,6 Pada
geriatri penyakit-penyakit tersebut berdampak pada imobilisasi, instabilitas,
inkontinensia, insomnia, depresi, infeksi, defisiensi imun, malnutrisi, gangguan
pendengaran dan penglihatan, gangguan kognitif, irritable colon, dan impotensi.17
Pemberian obat pada pasien geriatri haruslah tepat indikasi, tepat pasien,
tepat dosis (cara dan lama pemberian) serta waspada efek samping obat
dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
1. Penyakit pada pasien geriatri cenderung terjadi pada banyak organ dan
pasien cenderung mendatangi banyak dokter, sehingga pemberian obat
cenderung bersifat polifarmasi.
2. Pemberian obat polifarmasi dapat meningkatkan resiko lebih banyaknya
kejadian interaksi obat, efek samping obat dan reaksi yang merugikan.

4
5

3. Pola farmakokinetik dan farmakodinamik pada geriatri banyak mengalami


perubahan, disamping terjadinya penurunan fungsi berbagai organ, yang
berakibat pada perubahan tingkat keamanan dan efektifitas obat.18,19
Interaksi obat polifarmasi termasuk dalam drug related problem (DRP)
yaitu kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien yang melibatkan terapi obat
dan berpotensi mengganggu hasil terapi yang diinginkan pada pasien. DRP
meliputi terapi yang tidak tepat, potensi interaksi obat, dosis yang tidak tepat, obat
yang berbahaya untuk pasien, dan efek samping obat.20

2.2 Perubahan Farmakokinetik Dan Farmakodinamik Pada Geriatri

2.2.1 Perubahan Farmakokinetik Pada Geriatri


Pada pasien yang berusia lebih dari 55-60 tahun pada farmakokinetik suatu
obat juga mengalami perubahan. Absorpsi obat dapat diperlambat akibat motilitas
gastrointestinal atau kongesti pasif pembuluh darah abdomen seperti pada gagal
jantung kongestif. Distribusi juga mengalami perubahan karena rendahnya protein
plasma, terutama pada pasien-pasien yang kurang gizi. Penurunan protein plasma
menyebabkan jumlah obat bebas atau yang tidak terikat akan meningkat sehingga
mengakibatkan terjadinya peningkatan kerja obat. Metabolisme yang dilakukan
oleh hati dan ekskresi yang dilakukan oleh ginjal mengalami perlambatan sebagai
bagian dari proses penuaan dan dapat mengakibatkan memanjangnya waktu paruh
obat. Komposisi tubuh juga berubah sejalan dengan usia, misalnya peningkatan
jaringan lemak dan penurunan otot rangka serta air tubuh total. Dosis obat yang
diterima seorang pasien sehat berusia 50 tahun mungkin akan menjadi terlalu
tinggi bagi pasien yang sama 20 tahun kemudian.19,21
6

Tabel 2.1. Perubahan Farmakokinetik Pada Geriatri22


Proses Perubahan Terkait Usia Dampak Terhadap
Farmakokinetik
Absorpsi Peningkatan pH lambung Menurunnya Penyerapan

Penurunan Pengosongan lambung


Berkurangnya aliran darah limpa
Berkurangnya permukaan absorpsi
Penurunan motilitas gastrointestinal
Berkurangnya aliran darah hati Menurunkan Metabolisme
Distribusi Meningkatnya lemak tubuh Meningkatkan volume
distribusi dan waktu paruh
obat lipofilik
Penurunan jumlah air dalam tubuh Meningkatnya konsentrasi
plasma obat hidrofilik
Penurunan kadar serum albumin Meningkatnya kadar
protein pengikat obat asam
dalam plasma
Peningkatan alfa-1 asam Menurunkan kadar obat
glikoprotein basa bebas
Penurunan permeabilitas barier Meningkatkan distribusi ke
darah-otak otak
Metabolism Penurunan massa hati Gangguan metabolisme
e fase pertama

Eliminasi Penurunan aliran darah ginjal Gangguan eliminasi ginjal

Penurunan laju filtrasi glomerulus

2.2.2 Perubahan Farmakodinamik Pada Geriatri


Di dalam sel terjadi proses biokimiawi yang menghasilkan respon selular.
Respon selular pada geriatri secara keseluruhan menurun. Penurunan ini sangat
menonjol pada mekanisme respon homeostatik yang berlangsung secara
fisiologis.
Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses
biokimiawi seluler intensitas pengaruhnya akan menurun, misalnya agonis beta
untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar. Padahal dengan
dosis yang lebih besar efek samping obatnya akan lebih besar pula. Sebaliknya
obat-obat yang cara kerjanya menghambat proses biokimiawi seluler,
pengaruhnya akan menjadi nyata sekali terlebih-lebih dengan mekanisme regulasi
homeostasis yang melemah, efek farmakologi obat dapat sangat menonjol
sehingga toksik. Misalnya obat-obat antagonis beta, antikolinergik, antipsikotik,
7

dan antiansietas. Dengan demikian indeks terapi obatnya menurun. Seolah-olah


terjadi peningkatan farmakodinamik.18

2.3 Polifarmasi
2.3.1 Definisi
Menurut WHO polifarmasi adalah penggunaan obat dalam jumlah yang
banyak dalam waktu bersamaan atau penggunaan obat dalam jumlah yang
berlebihan dan melebihi keperluan dari indikasi klinis.23 Polifarmasi juga dapat
didefinisikan berdasarkan jumlah jenis obat yang dikonsumsi yaitu pemberian 5
jenis obat atau lebih pada 1 pasien.7 Insidensi dan prevalensi dari polifarmasi
tergantung dari definisi yang digunakan.24
2.3.2 Faktor Resiko Polifarmasi
Faktor resiko terbesar untuk mendapat obat secara polifarmasi adalah
geriatri. Faktor resiko lain yang ditemukan antara lain tingginya frekuensi berobat,
status kesehatan yang buruk, depresi, hipertensi, anemia, asma, angina,
diverticulosis, osteoarthritis, gout dan diabetes mellitus. 25
2.3.3 Dampak Polifarmasi
Banyaknya jumlah obat serta tingginya frekuensi mengonsumsi obat
menimbulkan dampak yang merugikan di kalangan geriatri. dampak signifikan
yang timbul akibat polifarmasi adalah meningkatkan resiko interaksi obat, kasus
jatuh, dan meningkatnya mortalitas.25
Berdasarkan studi literatur bertambahnya hari rawat inap dikarenakan
kesalahan pemberian obat serta pengeluaran biaya tambahan yang tidak efisien
karena peresepan obat berlebihan dan tidak tepat merupakan dampak yang
dikaitkan dengan polifarmasi.26
2.3.4 Polifarmasi Pada Pasien Geriatri
Polifarmasi pada pasien geriatri sulit dihindari dikarenakan:
1. Banyaknya penyakit yang diderita pasien dan biasanya bersifat kronis.
2. Obat yang dikonsumsi merupakan resep dari beberapa dokter
3. Gejala yang dirasakan pasien seringkali tidak jelas
4. Adanya penambahan obat baru untuk menghilangkan efek samping
obat
8

Semakin tinggi jumlah obat yang diberikan maka resiko terjadinya


interaksi obat akan semakin besar. Pasien geriatri beresiko tinggi untuk
mengalami interaksi obat bukan hanya karena mengonsumsi obat secara
polifarmasi, tetapi juga karena adanya gangguan mekanisme homeostatik yang
tidak memungkinkannya untuk menetralkan beberapa efek yang tidak
diinginkan.27

2.4 Interaksi Obat


Interaksi obat terjadi ketika efek dan atau farmakokinetik serta
farmakodinamik dari suatu obat berubah karena adanya pemberian obat yang lain.
Efek dari kombinasi obat dapat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme,
dan ekskresi dan atau menimbulkan efek yang aditif serta antagonistik.28 Kondisi-
kondisi yang meningkatkan resiko terjadinya interaksi obat adalah usia (geriati
dan anak-anak), kondisi medis akut (infeksi, dehidrasi), penurunan fungsi ginjal
dan hepar, kondisi metabolik atau endokrin (obesitas, hipotiroidisme), polifarmasi,
dan indeks terapeutik yang sempit.29
2.4.1 Jenis Interaksi Obat
1. Interaksi Obat-Obat
Interaksi antar obat dapat menguntungkan atau merugikan. Interaksi yang
menguntungkan misalnya penisilin dengan probenesid, dimana probenesid
menghambat sekresi penisilin di tubuli ginjal sehinngga meningkatkan kadar
penisilin di dalam plasma dan dengan demikian dapat meningkatkan
efektivitasnya dalam terapi gonore. Sedangkan interaksi yang merugikan
contohnya interaksi parasetamol dengan fenobarbital yang dapat meningkatkan
resiko hepatotoksisitas.30
2. Interaksi Obat-Makanan
Makanan dapat menyebabkan perubahan klinis yang penting dalam
absorpsi obat melalui efek terhadap motilitas saluran cerna atau dengan ikatan
obat.31 Oleh karena itu, beberapa obat tidak boleh digunakan bersamaan dengan
makanan. Seperti contoh interaksi tyramin dalam makanan dengan monoamine
oxidase inhibitor (MAOI) dan interaksi antara grapefruit juice dengan Ca channel
blocker felodipin.27
9

3. Interaksi Obat-Herbal
Obat Glycyrrhizin glabra (liquorice) yang digunakan dalam pengobatan
gangguan pencernaan dapat menyebabkan interaksi yang signifikan pada pasien
yang mengonsumsi digoksin ataupun diuretik. Beberapa produk herbal
mengandung senyawa antiplatelet dan antikoagulan yang dapat meningkatkan
resiko perdarahan ketika digunakan bersama dengan aspirin atau warfarin.27
4. Interaksi Obat-Penyakit
Interaksi obat dengan penyakit sering disebut sebagai kontraindikasi
absolut dan relatif. Kontraindikasi absolut adalah resiko terapi yang menyebabkan
penyakit tertentu, jelas kerugiannya melebihi manfaatnya. Dengan kontraindikasi
relatif, keseimbangan resiko dan manfaat harus dikaji secara individu. Contoh
umum dari kontraindikasi relatif mencakup kehamilan, menyusui, gagal ginjal dan
gagal hati.32

2.4.2 Mekanisme Interaksi Obat


1. Interaksi Farmaseutik atau Inkompatibilitas
Interaksi farmaseutik atau inkompatibilitas terjadi di luar tubuh sebelum
obat diberikan antara obat yang tidak dapat bercampur (inkompatibel).
Pencampuran obat tersebut menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara
fisik atau kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan,
perubahan warna dan mungkin juga tidak terlihat secara visual. Interaksi ini
biasanya mengakibatkan inaktivasi obat. Seperti contoh gentamisin mengalami
inaktivasi jika dicampur dengan karbenisilin, begitu juga dengan penisilin G jika
dicampur dengan vitamin C, sedangkan amfoterisin B mengendap dalam larutan
garam fisiologis atau larutan Ringer, serta fenitoin mengendap dalam larutan
dekstrosa 5%.30
2. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi jika salah satu obat mempengaruhi
absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua. Sehingga kadar plasma
obat kedua meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas
atau penurunan efektivitas obat tersebut. Interaksi farmakokinetik tidak dapat
10

diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi,


walaupun struktur kimianya mirip. Dikarenakan antar obat yang segolongan juga
terdapat variasi sifat-sifat fisiokimia sehingga sifat farmakokinetiknya juga akan
berbeda. Seperti simetidin yang tidak sama dengan H2 bloker lainnya. Terfenadin
atau astemizol tidak sama dengan antihistamin nonsedatif lainnya.30
a. Absorpsi
Interaksi secara fisik ataupun kimiawi antar obat dalam saluran
cerna sebelum proses absorpsi dapat mengganggu proses absorpsi. Untuk
menghindari interaksi ini maka obat yang berinteraksi diberikan dengan
jarak waktu minimal 2 jam. Seperti contoh interaksi langsung antara
digoksin dengan adsorben (kaolin, arang aktif) dimana digoksin akan
diadsorpsi oleh kaolin sehingga jumlah absorpsi digoksin di saluran cerna
menjadi menurun.30
b. Distribusi
Terdapat banyak obat yang terikat dengan protein plasma, obat
yang bersifat asam terutama terikat pada albumin, sedangkan obat yang
bersifat basa pada asam 1 glikoprotein. Dikarenakan jumlah protein
plasma yang terbatas, maka terjadi kompetisi antara obat-obat yang
bersifat asam maupun basa untuk berikatan dengan protein yang sama.
Tergantung dari kadar obat dan afinitasnya terhadap protein plasma, maka
suatu obat dapat digeser dari ikatannya dengan protein plasma oleh obat
lain, dan peningkatan kadar obat bebas menimbulkan peningkatan efek
farmakologiknya. Seperti contoh fenitoin yang menggeser warfarin dari
ikatannya dengan protein plasma kemudian menimbulkan efek toksisitas
yaitu perdarahan. Contoh lain seperti pirimetamin yang menggeser kinin
dari ikatannya dengan protein plasma yang menimbulkan efek sinkonisme
dan depresi sumsum tulang belakang.30
c. Metabolisme
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim
cytochrome P450 (CYP), yang disebut juga enzim mono-oksigenase, atau
mixed-function oxidase (MFO) dalam endoplasmic reticulum (mikrosom)
hati. Ada sekitar 50 jenis isoenzim CYP yang aktif pada manusia tetapi
11

hanya ada beberapa yang penting untuk metabolisme obat. Enzim-enzim


tersebut adalah: 30
CYP3A4/5 (30% dari total CYP dalam hati) yang berfungsi untuk
memetabolisme 50% obat untuk manusia dan merupakan enzim
metabolisme yang paling penting. Isoenzim ini juga terdapat di
epitel usus halus (70% dari total CYP di uusu halus) dan ginjal.
CYP2D6 (2-4% total CYP dalam hati) merupakan CYP yang
pertama dikenal dengan nama debrisoquine hydroxylase yang
berfungsi memetabolisme 15-25% obat.
CYP2C(20% total CYP dalam hati) bekerja memetabolisme 15%
obat.
CYP1A1/2(12-13% total CYP dalam hati) bekerja memetabolisme
5% obat.
CYP2E1 (6-7% total CYP dalam hati) bekerja memetabolisme 2%
obat.
Hambatan metabolisme terutama menyangkut obat-obat yang merupakan
substrat enzim metabolisme sitokrom P450 (CYP) dalam mikrosom hati. CYP
merupakan isoenzim yang penting untuk metabolisme obat. Tiap isoenzim
memiliki substrat dan penghambatnya masing-masing. Pemberian bersama salah
satu substrat dengan salah satu penghambat dari enzim yang sama akan
meningkatkan kadar plasma substrat sehingga meningkatkan efek atau
toksisitasnya.30
CYP3A4/5 memetabolisme sekitar 50% obat untuk manusia, maka
penghambat isoenzim ini menjadi penting karena berinteraksi dengan banyak
obat, terutama penghambat yang poten, seperti ketokonazol, itrakonazol,
eritromisin dan klaritromisin.
Jika substrat isoenzim CYP merupakan obat dengan margin of safety yang
sempit, maka hambatan metabolismenya akan menimbulkan efek toksik sehingga
dosis substrat harus diturunkan jika hendak diberikan bersama penghambatnya
atau bahkan tidak boleh diberikan bersama penghambatnya (kontraindikasi) jika
akumulasi obat membahayakan.30
12

d. Ekskresi
Interaksi yang mempengaruhi eksresi umumnya mempengaruhi
transport aktif di dalam tubulus ataupun efek pH pada transport pasif dari
asam lemah dan basa lemah. Dalam kasus terbaru, ada sedikit obat yang
secara klinis dipengaruhi oleh perubahan pH urin, seperti fenobarbital dan
salisilat. Perubahan presentasi sodium pada ginjal mempengaruhi eksresi
dan level serum lithium.33 Contoh yang menunjukkan efek gangguan
eksresi ginjal akibat kerusakan ginjal oleh obat adalah aminoglikosida
yang merusak ginjal disertai akumulasi AINS yang keduanya akhirnya
bersinergis dalam menimbulkan kerusakan ginjal.30
Tabel 2.2 Contoh Interaksi Farmakokinetik30
Obat A Obat B Efek
Absorpsi Resin penukar anion Obat A diabsorpsi oleh obat B
Warfarin, (kolestiramin,kolestipol) sehingga jumlah absorpsi obat A
digoksin, Kalsium menurun
siklosporin, asam Kompleks yang tidak larut sehingga
valproat jumlah absorpsi obat A menurun
Bifosfonat
(alendronat)
Distribusi Fenilbutazon, Obat B menggeser obat A dari
Feniotin oksifenbutazon, salisilat, ikatannya dengan protein plasma
valproat sehingga efek atau toksisitas obat A
meningkat
Metabolisme Eritromisin, Meningkatkan kadar midazolam
Midazolam ketokonazol, sehingga menimbulkan efek sedasi
(Substrat) itrakonazol, ditiazem, yang lama dan dalam
verapamil (penghambat)
Fenitoin (Substrat) Simetidin (Penghambat) Meningkatkan kadar fenitoin
Simvastatin, Meningkatkan kadar statin
atorvastatin, mengakibatkan rabdomiolisis dan
lovastatin kontraindikasi
(Substrat)
Eksresi Digoksin Obat A merupakan obat yang
Aminoglikosida, merusak ginjal dan akumilasi obat B
siklosporin dieliminasi terutama melalui ginjal
sehingga akumulasi obat B
menimbulkan efek toksik
Amfoterisin B Flusitosin Akumulasi obat B menimbulkan efek
depresi sumsum tulang
Obat bersifat basa: Amonium Klorida Obat B mengasamkan urin dan
amfetamin, efedrin, (untuk pengobatan pada mengakibatkan meningkatnya
pseudoefedrin, keracunan obat A) ionisasi obat A sehingga eksresi obat
kuinidin A menjadi meningkat
Obat bersifat asam: Natrium bikarbonat Obat B membasakan urin dan
13

Salisilat, (untuk pengobatan pada mengakibatkan meningkatnya


fenobarbital keracunan obat A) ionisasi obat A sehingga eksresi obat
A menjadi meningkat

3. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik merupakan interaksi antara obat yang bekerja
pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga
terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan
kadar obat dalam plasma. Interaksi farmakodinamik merupakan sebagian besar
dari interaksi obat yang penting dalam klinik. Kebanyakan interaksi
farmakodinamik dapat diperkirakan kejadiannya, sehingga dapat dihindarkan jika
mengetahui mekanisme kerja obat yang bersangkutan.30
a. Interaksi aditif atau sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama
diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol
menekan SSP, jika diberikan dalam sedang dosis terapi normal sejumlah
obat (ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain) dapat menyebabkan mengantuk
berlebihan. Terkadang efek aditif juga dapat menyebabkan toksik seperti
aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang belakang dan
perpanjangan interval QT.31
b. Interaksi antagonis atau berlawanan
Ada beberapa pasang obat dengan kerja yang berlawanan satu
sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan
darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan
vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu
protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi
pengobatan antikoagulan.31

Tabel 2.3 Contoh Interaksi Farmakodinamik30


Reseptor Agonis Antagonis
14

Kolinergik/muskarinik Asetilkolin, fisostigmin Atropin, propantelin,


triheksifenidil, antihistamin H1,
fenotiazin, antidepresi trisiklik,
kuinidin, disopiramid
Nikotinik neuromuskular Asetilkolin, neostigmin, d-tubokurarin, galamin,
piridostigmin pankuronium, vekuronium
Nikotinik ganglia Asetilkolin, nikotin Mekamilamin, trimetafan
Dopaminergik Dopamin, bromokriptin Fenotiazin, haloperidol,
risperidon
Serotoninergik Serotonin, LSD Metisergid, siproheptadin,
pizotifen
Opioid Morfin, nalorfin, Nalokson, nalorfin
metadon, petidin
Estrogen Estrogen Klomifen, tamoksifen

4. Interaksi Lain-Lain
Seperti interaksi antar antimikroba. Pada meningitis yang disebabkan oleh
pneumokokus yang sensitif terhadap ampisilin, pemberian penisilin bersama
kloramfenikol/klortetrasiklin menimbulkan antagonisme. Pemberian ketokonazol
bersama amfoterisin B untuk penyakit jamur sistemik bersifat antagonisme.30

2.5 Identifikasi Potensi Interaksi Obat


Potensi interaksi obat yang terjadi dapat diidentifikasi dengan
menggunakan drug interactions checker program (Drugs). Drug interactions
checker program juga memberikan informasi mengenai kategori interaksi obat,
mekanisme interaksi, efek klinis atau farmakologik dan bagaimana mengontrol
serta mengelola resiko interaksi obat.34,35
15

Gambar 2.1 Drugs : Drug Interaction Checker34

2.6 Kerangka Teori


16

Geriatri1

Perubahan
Farmakokinetik Multipatologi dan
dan Penurunan fungsi
Farmakodinamik organ 5,6
20,22

Interaksi Obat30 Polifarmasi23

: Komponen yang diteliti


: Komponen yang tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Teori


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan
desain cross-sectional survey, yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika
korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan,
observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach),
artinya tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran
dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan.36
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam Rumah
Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Penelitian ini dilakukan dari
Maret sampai November 2016.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh pasien geriatri yang menjalani
perawatan di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA Banda Aceh
periode April 2016.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah geriatri yang memenuhi kriteria inklusi di
Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA Banda Aceh. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah total sampling.
3.3.3 Kriteria Sampel
a. Kriteria Inklusi yaitu:
1. Pasien dengan umur 60 tahun.
2. Pasien yang dirawat di ruang rawat inap Penyakit Dalam
RSUDZA selama periode penelitian.
3. Pasien yang mendapat terapi obat-obatan.
b. Kriteria eksklusi yaitu:
1. Pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap

17
18

3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.4.1 Variabel Penelitian


Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah polifarmasi pada
pasien geriatri. Sedangkan variabel dependen (terikat) dalam penelitian ini adalah
interaksi obat-obat pada pasien geriatri.
Tabel 3.1 Variabel Penelitian
Variabel
No Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Penelitian
1 Polifarmasi Jumlah Obat Polifarmasi Nominal
Tidak Polifarmasi
2 Interaksi Obat- Drug Ada Nominal
Obat Interaction Tidak Ada
34
Checker

3.4.2 Definisi Operasional


1. Geriatri
Geriatri adalah semua orang dengan umur 60 tahun.1
2. Polifarmasi
Polifarmasi adalah pemberian 5 jenis obat atau lebih pada 1 pasien.7
Peneliti mengetahui pasien melakukan pengobatan dengan polifarmasi dengan
melihat rekam medik.
3. Interaksi Obat-Obat
Interaksi obat terjadi ketika efek dan atau farmakokinetik serta
farmakodinamik dari suatu obat berubah karena adanya pemberian obat yang lain.
Efek dari kombinasi obat dapat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme,
dan ekskresi dan atau menimbulkan efek yang aditif serta antagonistik. 28 Program
yang digunakan untuk memeriksa adanya interaksi obat adalah Drug interactions
checker program (Drugs).34
4. Obat
a. Bentuk Sediaan : Tablet, kapsul, sirup, suspensi, dan injeksi.
b. Cara Pemberian : Oral, rektal, topikal, intravena, intramuskular,
subkutan, dan semprot.37
19

3.5 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Polifarmasi Interaksi Obat

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.6 Instrumen Penelitian


Sebagai sumber data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data
sekunder yang diperoleh dari rekam medik dalam masa periode Agustus sampai
September 2016. Instrumen lain yang digunakan adalah drug interaction checker
program (Drugs).34

3.7 Prosedur Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah:
a. Melakukan proses administrasi dengan cara mendapatkan surat pengantar
pengambilan data dari pihak Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala.
b. Mendapatkan izin melakukan penelitian dari pihak Rumah Sakit.
c. Mencatat nomor rekam medik (RM) pasien geriatri yang tertera pada buku
register di bagian ruang rawat inap penyakit dalam.
d. Mendapatkan data dari rekam medik yaitu:
Nama, usia, jenis kelamin
Diagnosis penyakit
Obat-obatan yang digunakan
e. Melakukan pengolahan data dan analisa data yang didapatkan dari rekam
medis.
f. Menyimpulkan hasil yang diperoleh dan menyusun laporan.

3.8 Teknik Pengumpulan Data


Data yang diambil berupa data sekunder berupa rekam medik yang
diperoleh setelah melakukan proses administrasi dan izin penelitian dari Fakultas
20

Kedokteran dan Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Adapun
tahapan pengumpulan datanya sebagai berikut :
1. Peneliti mengambil data dari rekam medik pasien. Data yang diambil
meliputi:
a. Nama, usia, jenis kelamin
b. Diagnosis penyakit
c. Obat-obatan yang digunakan
2. Setelah data terkumpul, peneliti melapor kembali ke Bagian Pendidikan
RSUDZA Banda Aceh, untuk mendapatkan surat keterangan selesai melakukan
penelitian. Kemudian dilakukan pengolahan data berupa :36
a. Coding, yaitu pemberian kode untuk mengurutkan data dan
memudahkan pengolahan data.
b. Editing, yaitu memeriksa kembali data untuk menghindari
kesalahan, dan menjamin data sudah lenkap dan benar.
c. Tabulating, yaitu data yang diperoleh dikelompokan sesuai dengan
karakteristik dan ditambilkan dalam bentuk tabel sesuai dengan sub
variabel yang diteliti kemudian dihitung frekuensinya.
d. Cleaning, yaitu mengevaluasi kembali data untuk menghindari
kesalahan dalam pengolahan data.

3.9 Analisis Data Penelitian


Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat
dan dilanjutkan dengan analisis bivariat.
1. Analisis univariat
Analisa univariat digunakan untuk mendeskripsikan frekuensi
dan karakteristik masing-masing variabel, baik variabel dependen
maupun variabel independen.
Rumus dalam analisis ini adalah :

f1
p= x 100
n
21

Keterangan: P = Persentase
f1 = Frekuensi teramati
n = Jumlah sampel
2. Analisis bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan tingkat
polifarmasi dengan potensi interaksi obat pasien geriatri. Dalam analisis
data, uji hipotesis yang akan digunakan adalah uji chi square.
Rumus dalam analisis ini adalah :

X [
= f
( f f )
]
Keterangan: X = Nilai Chi Square
f = Frekuensi yang diharapkan
f = Frekuensi yang diperoleh
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Umum


4.1.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien Geriatri
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Ruang Rawat Inap
Penyakit Dalam RSUDZA Banda Aceh periode Maret sampai November 2016,
didapatkan 61 pasien geriatri yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Karakteristik sampel penelitian berupa distribusi subjek penelitian
berdasarkan usia dan jenis kelamin disajikan pada tabel 4.1
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien Geriatri
Karakteristik Pasien Frekuensi (n=61) Persentase (%)
Usia
60-74 (Elderly) 50 82,0%
75-90 (Old) 11 18.0%
Jenis Kelamin
Laki-laki 33 54,1%
Perempuan 28 45,9%

Berdasarkan usia pasien geriatri dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu


elderly, old, dan very old.15 Berdasarkan tabel 4.1 terdapat 50 pasien geriatri
dengan kategori elderly (82%), dan 11 pasien geriatri dengan kategori old (18%)
serta tidak didapatkan pasien geriatri kategori very old. Berdasarkan tabel 4.1
didapatkan 33 pasien laki-laki (54,1%) dan 28 pasien perempuan (45,9%).
4.1.2 Jumlah Obat Yang Diberikan Pada Pasien Geriatri
Berdasarkan data rekam medis pasien geriatri yang menjalani rawat inap
periode April 2016 di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam didapatkan jumlah
variasi jenis obat yang dikonsumsi oleh pasien seperti tabel 4.2

23
24

Tabel 4.2 Jumlah Obat Yang Diberikan Pada Pasien Geriatri


Jumlah Obat Frekuensi (n=61) Persentase (%)
2 jenis obat 4 6,6
3 jenis obat 11 18,0
4 jenis obat 9 14,8
5 jenis obat 14 23,0
6 jenis obat 12 19,7
7 jenis obat 5 8,2
8 jenis obat 3 4,9
9 jenis obat 1 1,6
12 jenis obat 2 3,3
Total 61 100%

Berdasarkan tabel 4.2 jumlah jenis obat terbanyak yang diberikan pada
pasien geriatri adalah 5 jenis obat yaitu diberikan pada 14 pasien (23%).
Sedangkan yang paling sedikit adalah 9 jenis obat yang diterima 1 pasien (1,6%).
4.1.3 Pasien Geriatri Yang Mengalami Interaksi Obat
Dengan menggunakan Drug Interactions Checker potensi interaksi obat
dapat diketahui. Data obat yang telah diterima pasien geriatri selama menjalani
rawat inap dimasukkan ke dalam Drug Interactions Checker dan kemudian
didapatkan apakah obat-obat yang telah diterima pasien berpotensi mengalami
interaksi atau tidak. Data jumlah pasien yang mengalami interaksi obat disajikan
pada tabel 4.3
Tabel 4.3 Jumlah Pasien Geriatri Yang Mengalami Interaksi Obat
Interaksi Obat Frekuensi (n=61) Persentase (%)
Ada 40 65,6
Tidak Ada 21 34,4
Total 61 100,0

Berdasarkan hasil identifikasi interaksi obat dengan menggunakan Drug


Interactions Checker didapatkan 40 pasien (65,6%) berpotensi mengalami
interaksi obat dan 21 pasien (34,4%) lainnya tidak berpotensi mengalami interaksi
obat.
4.1.4 Tingkat Keparahan Interaksi Obat Pasien Geriatri
Data obat yang telah diterima pasien geriatri selama menjalani rawat inap
dimasukkan ke dalam Drug Interactions Checker dan kemudian didapatkan
apakah obat-obat yang telah diterima pasien berpotensi mengalami interaksi atau
25

tidak. Pada Drug Interactions Checker tingkat keparahan interaksi obat


dikategorikan menjadi 3 yaitu minor, moderate, dan mayor. Tingkat keparahan
minor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap status klinis pasien. Tingkat
keparahan moderate dapat berpotensi menyebabkan memburuknya status klinis
pasien. Tingkat keparahan mayor dapat berpotensi membahayakan jiwa ataupun
kerusakan organ pada pasien. Data tingkat keparahan interaksi obat disajikan pada
tabel 4.4
Tabel 4.4 Tingkat Keparahan Interaksi Obat Pasien Geriatri
Tingkat Keparahan Frekuensi (n=61) Persentase (%)
Tidak Ada Interaksi 21 34,4
Interaksi Moderate 31 50,8
Interaksi Mayor 2 3,3
Mayor dan Moderate 7 11,5
Total 61 100,0

Berdasarkan hasil identifikasi interaksi obat dengan menggunakan Drug


Interactions Checker didapatkan 31 pasien berpotensi mengalami interaksi
moderate (50,8%), 2 pasien berpotensi mengalami interaksi mayor (3,3%), 7
pasien berpotensi mengalami interaksi mayor dan moderate (11,5%) serta 21
pasien tidak berpotensi mengalami interaksi obat.
4.1.5 Hubungan Polifarmasi Dengan Potensi Interaksi Obat Pada Pasien
Geriatri
Untuk menilai hubungan polifarmasi dengan potensi interaksi obat pasien
geriatri, maka peneliti melakukan analisis data menggunakan uji Chi Square. Data
disajikan pada tabel 4.5
Tabel 4.5 Hubungan Polifarmasi Dengan Potensi Interaksi Obat Pada Pasien
Geriatri
Variabel Interaksi Obat
Total
Ada Tidak Ada Nilai p
Polifarmasi
n % n % n %
Tidak Polifarmasi 8 33,3 16 66,7 24 100 0,000
Polifarmasi 32 86,4 5 13,6 37 100
Jumlah 40 65,5 21 34,5 61 100

Pada uji Chi Square didapatkan p value = 0,001 (p <0,05) berarti terdapat
korelasi yang sangat signifikan antara polifarmasi dengan potensi interaksi obat
pada pasien geriatri.
26

4.2 Pembahasan
4.2.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien Geriatri
Hasil penelitian yang dilakukan pada periode Oktober sampai November
2016 didapatkan 61 orang pasien geriatri yang memenuhi kriteria inklusi.
Sifat penyakit pada pasien geriatri tidak sama dengan penyakit pada
golongan usia lainnya. Penyakit pada geriatri cenderung bersifat multipel, yang
merupakan akumulasi antara penurunan fungsi fisiologis dan berbagai proses
patologik. Penyakit biasanya bersifat kronis, menimbulkan kecacatan, bahkan
dapat menyebabkan kematian. Geriatri juga rentan terhadap berbagai penyakit
akut, yang diperberat dengan kondisi daya tahan tubuh yang menurun. Selain itu
kesehatan pada geriatri juga dipengaruhi oleh faktor psikis, sosial, dan ekonomi.
Hal tersebut yang menyebabkan tingginya angka rawat inap yang harus dilakukan
pada pasien geriatri.38
4.2.2 Jumlah Obat Yang Diberikan Pada Pasien Geriatri
Berdasarkan penelitian ini, jumlah obat yang paling banyak dikonsumsi
oleh pasien geriatri yaitu 5 jenis obat seperti terlihat pada tabel 4.2. Penelitian ini
menunjukkan bahwa tingginya peresepan obat dengan jumlah yang banyak pada
pasien geriatri. Menurunkan jumlah peresepan obat pada geriatri merupakan hal
yang sulit, dikarenakan kondisi multipatologi yang membutuhkan farmakoterapi.39
Hasil Penelitian di USA menunjukkan peningkatan persentase kejadian
polifarmasi pada geriatri dikarenakan banyaknya konsultasi medis yang dilakukan
yaitu dari 6,7% menjadi 18,7% sejak tahun 1990-2000.40 Hasil penelitian di
Swedia menunjukkan peningkatan kejadian polifarmasi (10 obat) dengan
persentase 15% sejak tahun 2005-2008. Hasil penelitian lainnya di New Zealand
menunjukkan persentase kejadian polifarmasi meningkat dari 1,3% menjadi 2,1%
pada tahun 2005-2013.41
Pemberian obat secara polifarmasi pada pasien geriatri dapat memberikan
banyak dampak negatif. Selain meningkatkan potensi interaksi obat juga dapat
meningkatkan biaya pengobatan, meningkatkan kejadian ADR (Adverse Drug
27

Reactions), dan mengakibatkan munculnya banyak sindroma pada geriatri seperti


jatuh, perubahan fungsi kognitif serta memengaruhi status nutrisi.42,43,44,45
Pada Geriatri sering terjadi penyakit iatrogenik, akibat banyak obat-obatan
yang dikonsumsi, sehingga kumpulan dari semua masalah ini menciptakan suatu
kondisi yang disebut sindroma geriatri.38
4.2.3 Pasien Geriatri Yang Mengalami Interaksi Obat
Penelitian ini menunjukkan bahwasanya dari 61 pasien geriatri terdapat 40
pasien yang berpotensi mengalami interaksi obat dengan persentase 65,6%. Pada
21 pasien lainnya tidak berpotensi mengalami interaksi obat dengan persentase
34,4%. Interaksi obat lebih mudah terjadi pada pasien geriatri dikarenakan jumlah
obat dan perubahan fisiologis serta farmakodinamik dan farmakokinetik pada
geriatri. Dampak dari interaksi obat juga bisa menjadi lebih buruk pada pasien
geriatri dibandingkan dengan pasien yang lebih muda. Selain interaksi obat,
ketergantungan terhadap obat juga menjadi masalah pada geriatri.46
Terapi farmakologi pada pasien geriatri secara signifikan berbeda dengan
pasien usia lainnya. Karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan
oleh proses penuaan, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang
digunakan sebelumnya. Faktor lain yang menyebabkan polifarmasi sulit dihindari
oleh pasien geriatri yaitu peresepan didapatkan dari beberapa dokter, gejala yang
dirasakan oleh pasien geriatri cenderung tidak jelas, dan untuk menghilangkan
efek samping dari obat sebelumnya justru menggunakan obat baru. 14 Beberapa
penelitian telah dilakukan mendapatkan kejadian peresepan obat yang tidak perlu
pada pasien geriatri dengan prevalensi hingga 40%. Hal tersebut menyebabkan
meningkatnya potensi interaksi obat yang terjadi pada pasien geriatri.47
Selain usia dan polifarmasi, faktor-faktor lain yang menyebabkan
meningkatnya potensi interaksi obat adalah :48
a. Genetik : Variasi genetik setiap individu menyebabkan
perbedaan polimorfisme dalam setiap oksidasi obat yang sering melibatkan
sitokrom P450 yang spesifik. Namun akibat variasi genetik bisa
melibatkan enzim lain.
b. Lingkungan dan makanan : Jus jeruk bali diketahui menghambat
metabolisme CYP3A dari substrat obat yang diberikan bersama jus
28

tersebut. Perokok memetabolisme beberapa jenis obat secara lebih cepat


dikarenakan induksi enzim.
c. Penyakit : Eliminasi obat keluar dari tubuh dapat melibatkan
beberapa organ seperti hati, ginjal, dan paru-paru. Penyakit pada hati dapat
menyebabkan kerusakan enzim-enzim hati yang menghambat proses
metabolisme serta penyakit pada ginjal seperti gagal ginjal dapat
menyebabkan menurunnya laju filtrasi glomerulus yang menghambat
proses eksresi obat.
Sulit dalam menentukan kejadian interaksi obat, dikarenakan data
yang pasti mengenai insiden interaksi obat masih belum terdokumentasi
dikarenakan sedikitnya studi epidemiologi mengenai hal tersebut di
Indonesia. Sebagian besar informasi diperoleh dari laporan-laporan kasus
terpisah, uji-uji klinis, dan studi farmakokinetik pada subyek sehat yang
tidak sedang menggunakan obat-obat lainnya, sehingga untuk menetapkan
risiko efek samping akibat suatu interaksi obat pada seorang pasien sering
tidak dapat secara langsung. Profil keamanan suatu obat baru didapatkan
setelah obat tersebut sudah digunakan cukup lama dan secara luas di
masyarakat, termasuk oleh populasi pasien yang sebelumnya tidak
terwakili dalam uji klinis obat tersebut. Maka diperlukan beberapa bulan
atau tahun sebelum diperoleh data yang memadai tentang masalah efek
akibat interaksi obat.49
4.2.4 Tingkat Keparahan Interaksi Obat Pada Pasien Geriatri
Penelitian ini menunjukkan tingginya potensi interaksi obat pada pasien
geriatri di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA Banda Aceh dengan 2
orang berpotensi mengalami interaksi dengan tingkat keparahan Mayor (3,3%).
Tingkat keparahan interaksi obat Mayor mengindikasikan bahwa penggunaan
obat-obat berpotensi dapat menyebabkan kerusakan permanen ataupun
membahayakan jiwa. Seperti penggunaan captopril bersama valsartan yang
didapatkan salah satu pasien geriatri dimana penggunaan keduanya secara
bersamaan dapat meningkatkan efek samping penurunan tekanan darah,
penurunan fungsi ginjal dan hiperkalemia. Bahkan dalam kasus yang parah dapat
menyebabkan gagal ginjal, paralisis otot, aritmia, dan gagal jantung.33,34
29

Didapatkan 31 orang dengan tingkat keparahan Moderate (50,8%). Tingkat


keparahan interaksi obat Moderate mengindikasikan bahwa penggunaan obat-obat
berpotensi menyebabkan memburuknya status klinis pasien geriatri. Seperti
penggunaan lansoprazol bersamaan dengan clopidogrel pada salah satu pasien
geriatri yang dapat menyebabkan menurunnya efektivitas clopidogrel dalam
mencegah serangan jantung ataupun stroke.33,34 7 orang lainnya mengalami
interaksi obat dengan tingkat keparahan moderate dan mayor (11,5%).
4.2.5 Hubungan Polifarmasi Dengan Potensi Interaksi Obat Pasien Geriatri
Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan
antara polifarmasi dengan potensi interaksi obat pasien geriatri karena p value =
0,000 (p<0,05).
Berdasarkan hasil penelitian dari 24 pasien (39,3%) yang tidak
termasuk kategori polifarmasi (<5 jenis obat) tetapi mengalami interaksi obat
adalah sebanyak 8 pasien yang terdiri dari 6 pasien mendapatkan 3 jenis obat dan
2 pasien mendapatkan 4 jenis obat. Sebuah penelitian di Paris juga menunjukkan
bahwa pasien yang menggunakan obat dalam jumlah 2 jenis dapat berpotensi
mengalami interaksi obat dimana terdapat 97 pasien kanker yang mendapat 2
jenis obat dan 32 pasien diantaranya berpotensi mengalami interaksi obat. 47 Dapat
disimpulkan bahwa perbedaan insidensi potensi interaksi obat yang terjadi antara
penelitian ini dengan penelitian di Paris dikarenakan perbedaan defini polifarmasi
yang digunakan.24

Berdasarkan hasil penelitian dari 37 pasien (60,7%) yang termasuk


kategori polifarmasi ( 5 jenis obat) tetapi mengalami interaksi obat adalah
sebanyak 5 pasien yang terdiri dari 3 pasien mendapatkan 5 jenis obat dan 2
pasien mendapatkan 6 jenis obat. Data tersebut menunjukkan bahwa potensi
interaksi obat tidak mutlak terjadi pada pasien yang mengalami polifarmasi. Hal
ini sejalan dengan sebuah penelitian kohort prospektif di Canada terhadap geriatri
yang menjalani rawat inap yang rata-rata mendapat 5 atau lebih jenis obat dengan
prevalensi interaksi obat 80%. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa
kemungkinan terjadinya interaksi obat-obat meningkat berbanding lurus dengan
jumlah obat terutama pada pasien yang mendapat 5-9 jenis obat dengan
30

kemungkinan 50% dan naik menjadi 100% apabila seseorang mendapat 20 jenis
obat.10
Informasi interaksi obat dibutuhkan oleh tenaga kesehatan terutama dalam
menangani pasien geriatri yang memiliki sangat berisiko mengalami polifarmasi.
Pemanfaatan Drug Interactions Checker merupakan pilihan terbaik dalam
mengidentifikasi dan mencegah kejadian interaksi obat.50
4.3 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini masih memiliki kekurangan, antara lain peneliti tidak
mengevaluasi potensi interaksi obat berdasarkan kondisi klinis pada pasien, fungsi
ginjal serta fungsi hati pasien geriatri sehingga kemungkinan ada faktor lain yang
menyebabkan adanya potensi interaksi obat yang ada pada pasien geriatri.
31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Terdapat hubungan antara polifarmasi dengan potensi interaksi obat
pada pasien Geriatri di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA
Banda Aceh.
2. Jumlah jenis obat yang sering diberikan pada pasien geriatri di Ruang
Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA Banda Aceh adalah 5 jenis obat
(23%), 6 jenis obat (19,7%), dan 3 jenis obat (18%)
3. Pasien geriatri di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA Banda
Aceh yang berpotensi mengalami interaksi obat didapatkan 40 pasien
(65,6%) berpotensi mengalami interaksi obat dan 21 pasien (34,4%)
tidak berpotensi mengalami interaksi obat.
4. Potensi interaksi yang sering ditemukan pada pasien geriatri di Ruang
Rawat Inap Penyakit Dalam RSUDZA Banda Aceh adalah interaksi
dengan tingkat keparahan moderate pada 31 pasien (50,8%), moderate
dan mayor pada 7 pasien (11,5%), dan mayor pada 2 pasien (3,3%).

5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disarankan beberapa hal yaitu :
1. Perlu edukasi kepada pasien dan pengawasan yang lebih baik terhadap
dampak polifarmasi yang didapatkan pasien geriatri di RSUDZA Banda
Aceh.
2. Perlu penelitian yang lebih spesifik mengenai dampak polifarmasi
terhadap interaksi obat pada penyakit-penyakit tertentu.
3. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai interaksi obat secara in vivo.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S. Geriatric Medicine, Sarkopenia, Frailty, dan Kualitas Hidup


Pasien Usia Lanjut: Tantangan Masa Depan Pendidikan, Penelitian dan
Pelayanan Kedokteran di Indonesia. eJurnal Kedokt Indones [Internet].
2013.

2. Keller I, Makipaa A, Kalenscher T, Kalache A. WHO: Global Survey on


Geriatrics in the Medical Curriculum. Geneva; 2002.

3. Gambaran Kesehatan Lanjut Usia Di Indonesia. Kemenkes RI; 2013.

4. Boedhi D. Geriatri: Demografi Dan Epidemiologi Polulasi Lanjut Usia. 5th


ed. 2014. 40-58 p.

5. Von Lueder TG, Atar D. Comorbidities and polypharmacy. Heart Fail Clin
[Internet]. Elsevier Inc; 2014;10(2):36772.

6. Hadi M. Geriatri: Aspek Fisiologik Dan Patologik Akibat Proses Menua.


5th ed. Martono H, Darmojo B, editors. Badan Penerbit FKUI; 2014.
61,363.

7. Hajjar, Robert L, Maher J, Joseph R, Hanlon, Emily. Clinical consequences


of polypharmacy en elderly. 2014;13(1):111.

8. Bjorkman, IK, Fastbom J, Schmidt I. Drug-drug interactions in the elderly.


Ann Pharmacother. 2002. 36:116571.

9. Singh M, Chaudhary S, Azizi S, Green J. Gastrointestinal drug interactions


affecting the elderly. Clin Geriatr Med. 2014;30(1):115.

10. Zakrzewski-Jakubiak H, Doan J, Lamoureux P, Singh D, Turgeon J,


Tannenbaum C. Detection and prevention of drug-drug interactions in the
hospitalized elderly: Utility of new cytochrome P450-based software. Am J
Geriatr Pharmacother [Internet]. Excerpta Medica, Inc.; 2011;9(6):46170.

11. James M. Pharmacotherapy Considerations in Elderly Adults [Internet].


Medscape. 2012 [cited 2016 Apr 24]. Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/769412_4

12. Doubova Dubova SV, Reyes-Morales H, Torres-Arreola L del P, Suarez-


Ortega M. Potential drug-drug and drug-disease interactions in
prescriptions for ambulatory patients over 50 years of age in family
medicine clinics in Mexico City. BMC Health Serv Res. England;
2007;7:147.

13. Rahmawati Y, Sunarti S. Permasalahan Pemberian Obat pada Pasien


Geriatri di Ruang Perawatan RSUD Saiful Anwar Malang Drug-Related
Problem in Hospitalized Geriatric Patients at Saiful Anwar Hospital

33
34

Malang. J Kedokt Brawijaya. 2011;28(2):1404.

14. Setiati, Harimurti, Roosheroe. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed.
Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, editors. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam FKUI; 2006. 1335 p.

15. United Nations, Department of Economic and Social Affairs PD. World
Population Ageing. United Nations. 2013. 3 p.

16. Badan Pusat Statistik [Internet]. Data untuk perencanaan pembangunan


dalam era desentralisasi. [cited 2016 Apr 10]. Available from:
https://www.bps.go.id/index.php/publikasi/1045

17. Widiastuti M, Pranarka K. Geriatri: Sindroma Geriatri. 5th ed. Badan


Penerbit FKUI; 2014. 149-349 p.

18. Nasution I, Rejeki A. Geriatri:Penggunaan Obat Secara Rasional Pada Usia


Lanjut. 5th ed. Martono H, Darmojo B, editors. Badan Penerbit FKUI;
2014. 885-894 p.

19. Bennis Nechba R, El MBarki Kadiri M, Bennani-Ziatni M, Zeggwagh AA,


Mesfioui A. Difficulty in managing polypharmacy in the elderly: Case
report and review of the literature. J Clin Gerontol Geriatr. 2015;6(1):30
3.

20. Yuni R, Sri S. Drug-Related Problem in Hospitalized Geriatric Patients at


Saiful Anwar Hospital Malang. 2014;142.

21. Judith H, April H. Pedoman Obat Untuk Perawat. 1st ed. Sari K, Monica E,
editors. Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. xvi.

22. De Spiegeleer B, Wynendaele E, Bracke N, Veryser L, Taevernier L,


Degroote A, et al. Regulatory development of geriatric medicines: To GIP
or not to GIP? Ageing Res Rev [Internet]. Elsevier B.V.; 2016;27:2336.

23. WHO. Aging and Health Technical Report: A glossary of terms for
community health care and services for older persons. 2004.

24. Desevo G, Klootwyk J. Pharmacologic Issues in Management Chronic


Disease: Polypharmacy Inappropriate Prescribing Adherence Adverse
Drug Events. Prim Care Clin Off Pract. Elsevier Inc; 2012;39(2):34562.

25. Mongat M, Sermet C, Rococo E. Polypharmacy: definitions, measurement


and stakes involved. Review of the literature and measurement tests. 2014;
(December):18.

26. Hovstadius B, Petersson G. The impact of increasing polypharmacy on


prescribed drug expenditure a register based study in Sweden 2005-2009.
2013;16674.
35

27. Thanacoody. Drug Interactions. 5th ed. Walker R, Whittlesea, editors.


Churchill Livingstone Elsevier; 2012. 50,51,57,58,59,119-131.

28. Setiawati. Farmakologi Dan Terapi: Interaksi Obat. 5th ed. Gunawan S,
editor. Jakarta: Departemen Farmakologi Dan Teraupetik FKUI; 2012. 862-
874 p.

29. Becker M, Kallewaard M, Caspers P, Schalekamp T, Stricker B. Potential


determinants of drug-drug interaction associated dispensing in community
pharmacies. 2005;3718.

30. Setiawati A. Farmakologi Dan Terapi: Interaksi Obat. 5th ed. Gunawan S,
Setabudi R, Nafriadi, Elysabeth, editors. Departemen Farmakologi Dan
Teraupetik FKUI; 2012. 8 862-875.

31. Stockley I. Stockleys Drug Interaction. 8th ed. Great Britain:


Pharmaceutical Press; 2008. 1-11 p.

32. Siregar, Kumulosari. Farmasi Klinik Teori Dan Penerapan. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. 120 p.

33. Tatro, editor. Drug Interaction Facts. 6th ed. United States Of America:
Wolters Kluwer Company; 2001.

34. Drugs: Drug Interaction Checker [Internet]. 2016 [cited 2016 May 7].
Available from: http://www.drugs.com/drug_interactions.php

35. Obreli Neto PR, Nobili A, de Lyra DPJ, Pilger D, Guidoni CM, de Oliveira
Baldoni A, et al. Incidence and predictors of adverse drug reactions caused
by drug-drug interactions in elderly outpatients: a prospective cohort study.
J Pharm Pharm Sci. Canada; 2012;15(2):33243.

36. Notoadmojo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta;


2010. 125-127 38 176-178 182 p.

37. Badan POM RI: Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Bagi
Tenaga Kesehatan. Badan POM RI; 2012.

38. Pranarka K. Simposium geriatric syndromes: revisited. Semarang: Badan


Penerbit Universitas Diponegoro; 2011.

39. Pitkala K, Strandberg T, Tilvis R. Is It Possible To Reduce in The Elderly?


A Randomised, Controlled Trial. 2001;(Drugs Aging):1439.

40. Aparasu RR, Mort JR, Brandt H. Polypharmacy trends in office visits by
the elderly in the United States, 1990 and 2000.". Res Soc Adm Pharm 1.
2005;44659. doi: 10.1016/j. sapharm.2005.06.004.

41. Nishtala PS, Slahudeen MS. Temporal Trends in Polypharmacy and


Hyperpolypharmacy in Older New Zealanders over a 9-Year Period: 2005-
36

2013. Gerontology. 2014;doi: 10.1159/000368191.

42. Fletcher P, Berg K, Dalby D, Hirders J. Risk factors for falling among
community-based seniors. J Patient Sa [PubMed 19920442]. 2009;5:6166.

43. Kojima T, Akishita M, Nakamura T. Association of polypharmacy with fall


risk among geriatric outpatients. Geriatr Gerontol Int [PubMed 21545384].
:11:438444.

44. Heuberger R, Caudell K. Polypharmacy and nutritional status in older


adults. Drugs Aging [PubMed: 21428466]. 2011;28:315323.

45. Chan M, Nicklason F, Fial J. Adverse Drug Events as a Cause Of Hospital


Admission In The Elderly. Intern Med J. 2001;199205.

46. Girre V, Arkoub H, Puts MTE, Vantelon C, Blanchard F, Droz JP, et al.
Potential drug interactions in elderly cancer patients. Crit Rev Oncol /
Hematol [Internet]. Elsevier Ireland Ltd; 2011;78(3):2206.

47. Lechevalliet-Michel N, Gautier-Bertrand M, Alperovitch A. Frequency and


risk factors of potentially inappropriate medication use in a community-
dwelling elderly population: results from the 3C Study. Eur J Clin
Pharmacol;2005;8139.
48. Betram G, Katzung. Farmakologi Dasar Dan Klinik. 10th ed. Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2012. 34-63.

49. Gitawati R. Interaksi Obat Dan Beberapa Implikasinya. Media Litbang


Kesehatan Volume XVIII No; 4. 2008.175.

50. Kaliamurthy K, Kumar A, Punniyakotti S, Devanandan P. Study of Drug-


Drug Interactions in General Medicine Department of a Tertiary Care
Hospital. J App Pharm Sci, 2015; 5 (12): 122-124.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadwal Kegiatan Penelitian


Jadwal Kegiatan Penelitian

Tahun 2016
Kegiatan Bulan
No
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Studi kepustakaan
2 Penyusunan proposal
3 Seminar proposal
4 Perbaikan proposal
5 Penelitian
6 Pengolahan data
7 Penyusunan laporan
akhir
8 Sidang skripsi

37
38

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Syiah

Kuala
39

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian RSUDZA


40
41
42
43

Lampiran 4. Formulir Penelitian

Formulir Penelitian
Nomor Rekam Medik : ..................................................................................
Nama : ..................................................................................
Usia : ...... Tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki/Perempuan


Alamat : ..................................................................................
Diagnosis : 1. .....................................................................

2. .....................................................................

3. .....................................................................

4. .....................................................................

Obat-Obat yang digunakan :


1. .....................................................................

2. .....................................................................

3. .....................................................................

4. .....................................................................

5. .....................................................................

6. .....................................................................

7. .....................................................................

8. .....................................................................

9. .....................................................................

10. ...................................................................
44

Lampiran 5. Master Data

Master Data

Jumlah Obat Jenis


NO Usi Interaksi
Nama Jenis Jumla Interpretasi Interaksi
. a Obat
Kelamin h Obat
1 Bustami AB L 64 8 Polifarmasi Ada Moderate
Marwansyah Polifarmasi Moderate
2 Nasution L 71 8 Ada
Tidak Tidak Tidak ada
3 Zamzami L 62 3 Polifarmasi Ada
Polifarmasi >1
4 Sayyudin R L 65 5 Ada Interaksi
Tidak >1
5 Mansur L 63 4 Polifarmasi Ada Interaksi
Syahbudin Tidak Tidak -
6 Sulaiman L 60 3 Polifarmasi Ada
Tidak Tidak -
7 Nasri IS L 62 2 Polifarmasi Ada
Willy Hong Polifarmasi >1
8 Gara Then 62 6 Ada Interaksi
Tidak Mayor
9 Idrus B L 60 3 Polifarmasi Ada
10 M Jamil L 65 6 Polifarmasi Ada Moderate
Mohd Hasyim Polifarmasi Moderate
11 Ishak L 65 6 Ada
Jhonson Bani Polifarmasi >1
12 Hafas L 67 6 Ada Interaksi
13 T Thahirsyah L 71 7 Polifarmasi Ada Moderate
14 Djafar L 88 7 Polifarmasi Ada Moderate
Tidak Tidak -
15 Ismail B L 80 2 Polifarmasi Ada
Tidak Tidak -
16 A Rahman L 76 2 Polifarmasi Ada
Polifarmasi Tidak -
17 M Husen L 68 5 Ada
Polifarmasi Tidak -
18 M Jamil L 66 6 Ada
Tidak Tidak -
19 Abd Mutalip L 68 4 Polifarmasi Ada
Rusli Tidak Tidak -
20 Abdullah L 63 3 Polifarmasi Ada
21 Yusuf Abd L 83 6 Polifarmasi Ada Moderate
Tidak Moderate
22 Jamalluddin L 65 4 Polifarmasi Ada
Polifarmasi Tidak -
23 Buyung L 60 6 Ada
45

Tidak Tidak -
24 M Harun L 60 4 Polifarmasi Ada
Tidak Moderate
25 Makdiah 65 3 Polifarmasi Ada
26 Abdurrahman L 60 7 Polifarmasi Ada Moderate
27 Hasyim L 61 5 Polifarmasi Ada Moderate
28 Ismail Sakan L 72 6 Polifarmasi Ada Moderate
29 Rukaiyah P 81 6 Polifarmasi Ada Moderate
30 Putri P 73 9 Polifarmasi Ada Moderate
31 HJ Ummi P 69 5 Polifarmasi Ada Moderate
Sara Tidak Tidak -
32 Sihombing P 61 3 Polifarmasi Ada
M. Yusuf Tidak Moderate
33 Abdullah L 75 3 Polifarmasi Ada
Tidak Mayor
34 Rohana P 62 3 Polifarmasi Ada
Zakarria Tidak Tidak -
35 Abbas L 62 4 Polifarmasi Ada
36 Ruzuar L 66 8 Polifarmasi Ada Moderate
Polifarmasi Tidak -
37 Nurjannah P 73 5 Ada
38 Mariati P 60 5 Polifarmasi Ada Moderate
Tidak Tidak -
39 Hamidah P 61 4 Polifarmasi Ada
Polifarmasi >1
40 Nursiah AR P 61 6 Ada Interaksi
Salamah Polifarmasi Moderate
41 Budiman P 70 5 Ada
Putri Tidak Moderate
42 Mahmud P 70 3 Polifarmasi Ada
43 Aisyah P 61 12 Polifarmasi Ada Moderate
44 Rasyidah P 61 7 Polifarmasi Ada Moderate
45 Sakdiah P 70 6 Polifarmasi Ada Moderate
Sulaiman Polifarmasi Moderate
46 Ibrahim L 69 7 Ada
H Polifarmasi Tidak -
47 Muhammad L 68 5 Ada
Tidak Tidak -
48 Anisah P 69 4 Polifarmasi Ada
49 Ainsyah P 82 5 Polifarmasi Ada Moderate
Nursiah M. Tidak Tidak -
50 Thaib P 67 3 Polifarmasi Ada
51 Rudhoi Amin P 76 5 Polifarmasi Ada Moderate
Polifarmasi >1
52 Ramisyah P 61 12 Ada Interaksi
Tidak Tidak -
53 Rubiah P 63 4 Polifarmasi Ada
54 Hindun P 79 6 Polifarmasi Ada >1
46

Interaksi
55 Jariah P 65 5 Polifarmasi Ada Moderate
56 Cut Mariana P 77 5 Polifarmasi Ada Moderate
Tidak Tidak -
57 Nurmi P 68 4 Polifarmasi Ada
Tidak Tidak -
58 Aminah P 60 2 Polifarmasi Ada
59 Zimmah P 77 5 Polifarmasi Ada Moderate
Tidak Moderate
60 Ratnawati A P 66 3 Polifarmasi Ada
61 Nurminah P 61 5 Polifarmasi Ada Moderate
47

Lampiran 6. Hasil Analisa Univariat

1. Distribusi Frekuensi Data Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Laki-Laki 33 54,1 54,1 54,1

Valid Perempuan 28 45,9 45,9 100,0

Total 61 100,0 100,0

2. Distribusi Frekuensi Data Berdasarkan Kategori Usia

Kategori Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Elderly 50 82,0 82,0 82,0

Old 11 18,0 18,0 100,0

Total 61 100,0 100,0

3. Distribusi Frekuensi Data Berdasarkan Jumlah Obat

Jumlah Obat
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

2 jenis obat 4 6,6 6,6 6,6

3 jenis obat 11 18,0 18,0 24,6

4 jenis obat 9 14,8 14,8 39,3

5 jenis obat 14 23,0 23,0 62,3

6 jenis obat 12 19,7 19,7 82,0


Valid
7 jenis obat 5 8,2 8,2 90,2

8 jenis obat 3 4,9 4,9 95,1

9 jenis obat 1 1,6 1,6 96,7

12 jenis obat 2 3,3 3,3 100,0

Total 61 100,0 100,0


48

4. Distribusi Frekuensi Data Berdasarkan Interpretasi Jumlah Obat

Interpretasi Jumlah Obat

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Polifarmasi 37 60,7 60,7 60,7

Valid Tidak Polifarmasi 24 39,3 39,3 100,0

Total 61 100,0 100,0

5. Distribusi Frekuensi Data Berdasarkan Interaksi Obat

Interaksi Obat

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Ada 40 65,6 65,6 65,6

Valid Tidak Ada 21 34,4 34,4 100,0

Total 61 100,0 100,0

6. Distribusi Frekuensi Data Berdasarkan Kategori Interaksi Obat

Kategori Interaksi Obat

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Ada Interaksi 21 34,4 34,4 34,4

Interaksi Moderate 31 50,8 50,8 85,2

Interaksi Mayor 2 3,3 3,3 88,5

Mayor dan Moderate 7 11,5 11,5 100,0

Total 61 100,0 100,0


49

Lampiran 7. Hasil Analisa Bivariat

1. Hasil Uji Chi Square

Interpretasi Jumlah Obat * Interaksi Obat Crosstabulation


Count

Interaksi Obat Total

Ada Tidak Ada

Polifarmasi 32 5 37
Interpretasi Jumlah Obat
Tidak Polifarmasi 8 16 24
Total 40 21 61

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig.


sided) sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square 18,219a 1 ,000


b
Continuity Correction 15,940 1 ,000
Likelihood Ratio 18,687 1 ,000
Fisher's Exact Test ,000 ,000
Linear-by-Linear Association 17,920 1 ,000
N of Valid Cases 61

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,26.
b. Computed only for a 2x2 table

Anda mungkin juga menyukai