Anda di halaman 1dari 25

TINJAUAN KEPUSTAKAAN V

Jumat, 15 Desember 2017

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

FARMAKOLOGI PADA PASIEN GERIATRI

Oleh:

dr. Vitaka Dwi Charisma

132021140005

Pembimbing : dr. Irma Ruslina Defi, SpKFR (K). PhD

Penguji : dr. Sunaryo B. Sastradimaja, SpKFR

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................i

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

BAB II PROFIL FARMAKOLOGI PADA PASIEN GERIATRI.........................3

2.1 Aspek Farmakologi...........................................................................................3

2.2 Perubahan Respon Terhadap Obat Pada Geriatri..............................................3

2.1.1 Perubahan Farmakokinetik.....................................................................4

2.1.2 Perubahan Farmakodinamik...................................................................8

BAB III EFEK SAMPING OBAT PADA PASIEN GERIATRI............................9

3.1 Pola Penggunaan Obat Pada Pasien Geriatri....................................................9

3.2 Obat Psikotropika............................................................................................10

3.3 Obat Untuk Gejala Neurologis........................................................................12

3.4 Obat Nyeri (Analgesik) dan Inflamasi.............................................................13

3.5 Obat Jantung...................................................................................................15

3.6 Obat Respirasi.................................................................................................17

3.7 Obat Gastrointestinal......................................................................................18

3.8 Obat Untuk Infeksi..........................................................................................19

BAB IV PENUTUP..............................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Efek fisiologis pada Geriatri yang dapat merubah

Farmakokinetik ...........................................................................7

Gambar 3.1 Medication cascade effect...........................................................9

ii

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut WHO di kawasan Asia Tenggara populasi lansia pada tahun 2013

sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa. Pada tahun 2050 diperkirakan populasi

lansia meningkat 3 kali lipat dari tahun tersebut. Tahun 2000 jumlah lansia sekitar

5.300.000 (7.4%) dari total populasi, sedangkan pada tahun 2010 jumlah lansia

24.000.000 (9.77%) dari total populasi, dan tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia

mencapai 28.800.000 (11.34%) dari total populasi. Sedangkan di Indonesia sendiri

pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia sekitar 80.000.000.1, 4

Proses penuaan yang terjadi bersifat universal berupa kemunduran dari

fungsi biosel, jaringan, organ, bersifat progresif yang terjadi secara bertahap dan

akumulatip. Proses penuaan mengakibatkan terjadinya perubahan pada berbagai

organ di dalam tubuh seperti sistem gastrointestinal, genitourinaria, endokrin,

immunologis, serebrovaskular, sistem saraf pusat dan sebagainya. Tahun 2015

angka kesakitan lansia sebesar 28.62 persen, artinya bahwa dari setiap 100 orang

lansia terdapat 28 orang diantaranya mengalami sakit.1, 5

Berdasarkan peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor 25

tahun 2016 pasien lanjut usia dengan multi penyakit dan atau gangguan akibat

penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang

membutuhkan pelayanan kesehatan secara terpadu dengan pendekatan

multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin disebut dengan pasien geriatri.

Kumpulan gejala atau masalah kesehatan yang sering dialami oleh seorang pasien

1

geriatri disebut juga dengan sindrom geriatri. Masalah akibat tindakan medis atau

disebut juga iatrogenik merupakan salah satu bagian dari sindrom geriatri.

Polifarmasi merupakan bagian dari iatrogenik yang paling sering terjadi pada

pasien geriatri.3, 5, 6

Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari

pasien usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh

usia dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan

sebelumnya. Farmakokinetika dan farmakodinamika pada pasien geriatri akan

berbeda dari pasien muda karena beberapa hal, terutama akibat perubahan

komposisi tubuh, perubahan faal hati terkait metabolisme obat, perubahan faal

ginjal terkait ekresi obat serta kondisi multipatologi. Penulis berpendapat agar

polifarmasi tidak terjadi pada pasien geriatri maka seorang dokter harus

mempelajari lebih lanjut mengenai farmakologi pada geriatri. Oleh karena itu

tulisan ilmiah ini ditujukan supaya pelayanan pada pasien bisa lebih optimal.5, 6, 7

2

BAB II
PROFIL FARMAKOLOGI PADA PASIEN GERIATRI

2.1 Aspek Farmakologi


Pengertian farmakologi adalah ilmu tentang interaksi antara obat, sistem dan
proses hidup untuk kepentingan diagnosis, pencegahan, perawatan, dan
pengobatan penyakit. Untuk dapat mencapai tempat kerjanya ada 3 proses yang
harus dilalui obat, yaitu farmasetik, farmakokinetik dan farmakodinamik.
Farmasetik adalah fase pertama dari kerja obat, dimana obat harus didisintegrasi
menjadi partikel-partikel kecil supaya larut ke dalam cairan gastrointestinal serta
bisa diabsorpsi (disolusi). Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuskuler
atau intravena maka fase ini tidak terjadi.5, 8, 9
Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat.
Terdapat 4 proses dalam fase ini yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme (atau
biotransformasi) dan eksresi (atau eliminasi). Proses terakhir adalah
famakodinamik dimana terjadinya interaksi obat dengan sel dan mengetahui
respon yang terjadi pada sel tersebut. Bagian dari proses farmakodinamik adalah
mekanisme kerja obat, reseptor obat, interaksi reseptor dengan obat serta durasi
aksi dari obat.8, 9

2.2 Perubahan Respon Terhadap Obat Pada Geriatri


Farmakokinetik dan farmakodinamik pada pasien geriatri akan berbeda dari
pasien muda karena beberapa hal yakni terutama akibat perubahan komposisi
tubuh, perubahan faal hati terkait metabolisme obat, perubahan faal ginjal terkait
ekskresi obat serta kondisi multipatologi. Selain itu, perubahan status mental dan
faal kognitif juga turut berperan dalam pencapaian hasil pengobatan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa aspek psikososial juga akan mempengaruhi penerimaan pasien
dalam terapi medikamentosa.5, 10, 11

3

2.2.1 Perubahan Farmakokinetik
Absorpsi obat

Perubahan pada fungsi gastrointestinal pada lansia berpotensi


mempengaruhi cara obat diserap dari saluran gastrointestinal. Perubahan tersebut
meliputi penurunan asam lambung, penurunan waktu pengosongan lambung,
penurunan aliran darah di gastrointestinal, berkurangnya daerah permukaan
serapan dan penurunan motilitas usus. Penurunan waktu pengosongan lambung
dapat meningkatkan resiko ulserasi dari obat anti inflamasi non steroid, suplemen
kalium dan bifosfonat. Sejak 60 tahun yang lalu Vanzant dkk (1932) telah
melaporkan terjadinya aklorhidria (berkurangnya produksi asam lambung) dengan
bertambahnya usia seseorang. Aklorhidria terdapat pada 20-25% dari mereka yang
berusia 80 tahun dibandingkan dengan 5% pada mereka yang berusia 30 tahun-
an.5, 7, 10
Penelitian terbaru menyebutkan pengaruh enzim gut-associated
cytochrom P-450. Aktivitas enzim ini dapat mempengaruhi bioavailability obat
yang masuk per oral. Beberapa obat mengalami destruksi saat penyerapan dan
metabolisme awal di hepar (first-pass metabolism di hepar) obat-obat ini lebih
sensitif terhadap perubahan bioavailability akibat proses menua. Sebagai contoh,
sebuah obat yang akibat aktivitas enzim tersebut mengalami destruksi sebanyak
95 % pada first-pass metabolism, sehingga yang masuk ke sirkulasi tinggal 5 %;
jika karena proses menua destruksi obat mengalami penurunan (hanya 90 %) maka
yang tersisa menjadi 10% dan sejumlah tersebut yang masuk ke sirkulasi. Jadi
akibat penurunan aktivitas enzim tersebut maka destruksi obat berkurang dan dosis
yang masuk ke sirkulasi meningkat dua kali lipat. Obat dengan farmakokinetik
seperti kondisi tersebut di atas disebut sebagai obat dengan high first-pass effect
contohnya nifedipin dan verapamil.5, 7, 10

Distribusi obat
Proses berikutnya setelah obat diserap ke dalam tubuh adalah
pendistribusian ke berbagai jaringan. Distribusi ini dapat berubah karena
perubahan fisiologis pada komposisi tubuh. Komposisi tubuh manusia sebagian

4

besar dapat digolongkan kepada komposisi cairan tubuh, lemak tubuh serta
konsentrasi plasma protein. Pada usia bayi, komposisi cairan tubuh tentu masih
sangat dominan namun ketika beranjak besar maka cairan tubuh mulai berkurang
dan digantikan dengan massa otot yang sebenarnya sebagian besar juga berisi
cairan. Saat seseorang beranjak dari dewasa ke usia lebih tua maka jumlah cairan
tubuh akan berkurang akibat berkurangnya pula massa otot. Sebaliknya, pada usia
lanjut akan terjadi peningkatan komposisi lemak tubuh.5, 7, 10
Persentase lemak pada usia dewasa muda sekitar 8-20% (laki-laki) dan
33% pada perempuan kemudian di usia lanjut meningkat menjadi 33% pada laki-
laki dan 40-50% pada perempuan. Keadaan tersebut akan sangat mempengaruhi
distribusi obat di dalam plasma. Distribusi obat larut lemak (lipofilik) akan
meningkat dan distribusi obat larut air (hidrofilik) akan menurun. Konsentrasi obat
hidrofilik di plasma akan meningkat karena jumlah cairan tubuh menurun. Dosis
obat hidrofilik mungkin harus diturunkan sedangkan interval waktu pemberian
obat lipofilik mungkin harus dijarangkan. Gentamisin, digoxin, etanol, teofilin,
dan simetidin merupakan contoh obat-obatan yang bersifat hidrofilik5, 7, 10
Kadar albumin dan α1-acid glycoprotein juga dapat mempengaruhi
distribusi obat dalam tubuh. Hipoalbuminemia sesungguhnya tidak semata-mata
disebabkan oleh proses menjadi tua namun juga dapat disebabkan oleh penyakit
yang diderita. Tinggi rendahnya kadar albumin terutama berpengaruh pada obat-
obat yang afinitasnya terhadap albumin memang cukup kuat seperti naproxen.
Kadar naproxen bebas dalam plasma sangat dipengaruhi oleh afinitasnya pada
albumin. Pada kadar albumin normal maka kadar obat bebas juga normal pada
kadar albumin yang rendah maka kadar obat bebas akan sangat meningkat
sehingga bahaya efek samping lebih besar.5, 7, 10

Metabolisme Obat
Massa serta aliran darah ke hepar berkurang setelah seseorang berumur 50
tahun, aliran darah ke hepar juga berkurang. Secara umum metabolisme obat di
hepar (biotransformasi) terjadi di retikulum endoplasmik hepatosit dengan
bantuan enzim mikrosom. Biotransformasi biasanya mengakibatkan molekul obat

5

menjadi lebih polar sehingga kurang larut dalam lemak dan mudah dikeluarkan
melalui ginjal. Reaksi kimia yang terjadi dibagi dua yaitu reaksi oksidatif (fase 1)
dan reaksi konyugasi (fase 2). Reaksi fase satu dapat berupa oksidasi, reduksi
maupun hidrolisis sehingga obat menjadi kurang aktif atau menjadi tidak aktif
sama sekali. Reaksi fase 1 (melalui sistem sitokhrom P-450, tidak memerlukan
energi) biasanya terganggu dengan bertambahnya umur seseorang. Reaksi fase
dua berupa konjugasi molekul obat dengan gugus glukuronid, asetil atau sulfat
yang memerlukan energi dari ATP sehingga metabolit menjadi inaktif. Reaksi fase
2 ini tidak mengalami perubahan dengan bertambahnya usia.5, 7, 10
Reaksi oksidatif dipengaruhi pula oleh beberapa hal seperti: merokok,
indeks ADL's (Activities of Daily Living) Barthel serta berat ringannya penyakit
yang diderita pasien geriatri. Keadaan-keadaan tersebut dapat mengakibatkan
kecepatan biotransformasi obat berkurang dengan kemungkinan terjadinya
peningkatan efek toksik obat karena obat yang menjalani inaktivasi di hepar akan
tetap aktif dalam waktu lama karena penurunan kapasitas metabolisme.5, 7, 10

Ekresi Obat
Ginjal adalah tempat eksresi obat dari dalam tubuh. Massa ginjal menurun
seiring bertambahnya usia, hal ini terlihat dari pengurangan nefron. Perubahan
vaskular intra-renal juga terjadi yaitu hyalinisasi vaskular yang menyebabkan
berkurangnya aliran darah di arteriol aferen di korteks. Pada proses penuaan tidak
ada perubahan pada pembuluh darah meduler. Aliran plasma ginjal dan laju filtrasi
glomerulus menurun seiring bertambahnya usia namun enurunannya tidak
konsisten. Meskipun penurunan tingkat filtrasi glomerulus, tidak ada peningkatan
dalam kreatinin plasma karena usia yang terkait dengan hilangnya massa otot.
Oleh karena itu penggunaan kadar kreatinin bukanlah indikator yang tepat untuk
menilai fungsi ginjal pada pasien geriatri. Rumus Cockroft-Gault digunakan untuk
menilai fungsi ginjal di pasien geriatri.
CCT = (140-umur) x BB (kg) (dalam ml/menit) dikali 0,85 untuk pasien
–––––––––––––––– perempuan
72 x [kreatinin]plasma

6

Laju filtrasi glomerulus dapat diperhitungkan dengan mengukur kreatinin
urin 24 jam bukan dengan kreatinin plasma. Kecepatan filtrasi glomerulus
menurun sekitar 1% per tahun dimulai pada usia 40 tahun. Dengan menurunnya
laju filtrasi glomerulus pada usia lanjut maka diperlukan penyesuaian dosis obat
hal ini sama dengan pada usia dewasa muda yang dengan gangguan faal ginjal.
Penyesuaian dosis tersebut memang tak ada patokannya yang sesuai dengan usia
tertentu namun pada beberapa penelitian dipengaruhi antara lain oleh skor ADL’s
Barthel. Proses patologis di atas mengakibatkan berkurangnya kemampuan ginjal
untuk mengeksresikan obat. Hal tersebut menyebabkan obat tetap aktif untuk
waktu yang lama sehingga memperpanjang efek obat dan meningkatkan risiko
efek samping obat.5, 7, 11

Gambar 2.1 Efek fisiologis pada geriatri yang dapat merubah farmakokinetik
Dikutip dari kepustakaan no 11

7

2.2.2 Perubahan Farmakodinamik
Sensitivitas jaringan terhadap obat juga mengalami perubahan sesuai
pertambahan umur seseorang. Perubahan farmakodinamik dipengaruhi oleh
degenerasi reseptor obat di jaringan yang mengakibatkan kualitas reseptor berubah
atau jumlah reseptornya berkurang. Sensitivitas obat yang berkurang pada usia
lanjut juga terlihat pada pemakaian obat propranolol. Penurunan frekuensi denyut
nadi setelah pemberian propranolol pada usia 50-65 tahun ternyata lebih rendah
dibandingkan mereka yang berusia 25-30 tahun. Efek tersebut adalah pada
reseptor β1; efek pada reseptor β2 yakni penglepasan insulin dan vasodilatasi
akibat pemberian isoprenalin tidak terlihat. Perubahan sensitivitas menunjukkan
bahwa terdapat perubahan pada pasca-reseptor intraselular. Penurunan pada fungsi
mitokondria dapat mempengaruhi bagaimana sel merespon terhadap berbagai
obat.5,7,11

8

BAB III
EFEK SAMPING OBAT PADA PASIEN GERIATRI

3.1 Pola Penggunaan Obat Pada Pasien Geriatri


Pasien geriatri cenderung mengkonsumsi obat yang tidak proporsional
dibandingkan pasien lainnya. Dengan bertambahnya usia maka tidak dapat
dihindari terjadinya perubahan kondisi fisik baik, selain itu timbulnya penyakit
yang biasanya juga tidak hanya satu macam tetapi multiple. 80% individu dengan
usia diatas 65 tahun mengalami dua atau lebih penyakit kronis. Hal tersebut
menyebabkan pasien memerlukan obat-obatan untuk proses penyembuhan atau
sekedar mempertahankan agar penyakitnya tidak bertambah parah.5, 11, 12
13% populasi warga Amerika Serikat adalah orang dengan usia lebh dari
65 tahun namun mereka menerima 34% dari semua resep obat. Dalam sampel
besar di Amerika pada masyarakat berusia 57 sampai 85 tahun, 81% dilaporkan
menggunakan setidaknya satu resep obat, dan 29% menggunakan empat resep obat
secara bersamaan. Polifarmasi biasanya mengacu pada penggunaan obat yang
berlebihan atau tidak tepat. Pemberian obat untuk mengobati reaksi terkait obat
sering kali menciptakan lingkaran setan di mana obat tambahan digunakan untuk
mengobati efek samping dari obat. Siklus ini dikenal juga dengan instilah
“medication cascade effect”.11, 12

Gambar 3.1 Medication cascade effect


Dikutip dari kepustakaan no 11

9

Polifarmasi terjadi karena beberapa sebab diantaranya dokter mungkin
mengandalkan terapi obat untuk mencapai tujuan yang dapat dicapai melalui
metode nonfarmakologis. Misalnya pasien yang tidur siang sepanjang hari
mungkin tidak akan mengantuk saat malam hari, namun jauh lebih mudah untuk
meresepkan obat penenang pada pasien daripada memberikan edukasi melakukan
kegiatan yang membuat pasien tetap terjaga di siang hari dan membiarkan tidur di
malam hari secara alami. Pasien mungkin juga berkontribusi terhadap kejadian
polifarmasi, dimana pasien memperoleh resep dari berbagai dokter kemudian
mengumpulkan daftar obat yang dianggap ampuh untuk mengobati gejala yang
dirasakan. Selain itu pada pasien geriatri biasanya menerima obat dari teman atau
anggota keluarga yang ingin berbagi resep obat dengan mereka.11, 12

3.2 Obat Psikotropika


Obat antipsikosis mencakup berbagai agen yang mempengaruhi mood,
perilaku dan aspek fungsi mental lainnya. Obat sedatif-hipnosis digunakan untuk
menenangkan pasien dan mendorong keadaan tidur yang relatif normal. Obat
antiansietas dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan tanpa menghasilkan obat
penenang yang berlebihan. Insomnia dan tidur yang tidak teratur dapat terjadi pada
lansia bersamaan dengan penuaan normal atau respons terhadap masalah medis
dan perubahan gaya hidup yang terjadi pada lasia. Benzodiazepin merupakann
obat utama yang digunakan untuk meningkatkan tidur dan mengurangi kecemasan
pada pasien geriatri. Hal ini terjadi karena benzodiazepin meningkatkan efek
penghambatan sentral dari asam g-aminobutyric acid neurotransmitter (GABA).10,
13

Efek residual atau "hangover" bisa terjadi saat pemberian benzodiazepine


sehingga menghasilkan kantuk dan kelesuan pagi hari. Efek ini tampak sangat
lazim jika benzodiazepin yang bekerja lama, seperti chlordiazepoxide, diazepam,
atau urazepam, diberikan pada pasien geriatri. Efek samping potensial lainnya
termasuk "amnesia anterograde", di mana pasien mengalami penyimpangan
dalam ingatan jangka pendek untuk periode segera sebelum pemberian obat, dan
"insomnia rebound," di mana pasien semakin tidak dapat tidur ketika obat

10

dihentikan secara tiba-tiba. Sebelum meresepkan latihan maka dokter harus sangat
sadar akan kemungkinan efek residual dari obat penenang-hipnosis saat
menjadwalkan pasien geriatri untuk melakukan rehabilitasi terlebih dahulu di pagi
hari.10, 13
Depresi adalah bentuk paling umum penyakit mental pada populasi umum
maupun pasien geriatri. Perasaan kesedihan yang mendalam, keputusasaan dan
gejala lainnya mungkin terjadi pada lansia setelah kejadian tertentu seperti
kehilangan pasangan atau sebagai tanggapan terhadap penurunan bertahap status
kesehatan dan fungsional yang sering dikaitkan dengan penuaan. Terapi dengan
menggunakan obat dapat membantu mengatasi gejala ini bersama dengan metode
nonfarmakologis lainnya seperti konseling dan terapi perilaku.10, 13, 14
Fokus utama dalam merawat depresi pada pasien geriatri adalah pemilihan
obat yang menghasilkan efek terbaik dengan efek samping paling sedikit.
Antidepresan trisiklik sering menjadi obat pilihan meskipun obat ini cenderung
menghasilkan antikolinergik dan dapat menyebabkan mulut kering, konstipasi,
retensi urin, dan gejala sistem saraf pusat (SSP) seperti kebingungan, gangguan
kognitif, dan delirium. Tricyclics juga menyebabkan sedasi dan hipotensi
ortostatik serta menghasilkan efek kardiotoksik yang serius setelah overdosis.
Monoamine oxidase inhibitor juga menghasilkan hipotensi ortostatik dan
cenderung menyebabkan insomnia. Efek sedasi, efek antikolinergik, hipotensi
ortostatik cenderung lebih jarang terjadi pada SSRI namun kecenderungan yang
lebih besar dalam menyebabkan iritasi gastrointestinal dan perdarahan
gastrointestinal bagian atas. 10, 13, 14
Obat generasi kedua seperti uoxetine (Prozac), sertraline (Zoloft), dan
paroxetine (Paxil) telah dianjurkan sebagai obat pilihan pada pasien geriatri karena
umumnya efek sampingnya lebih sedikit daripada antidepresan lainnya. Agen ini
dikenal secara kolektif sebagai penghambat reuptake serotonin selektif (SSRI)
karena mereka cenderung mempengaruhi sinaps CNS yang menggunakan
serotonin sebagai neurotransmitter daripada mempengaruhi sinaps menggunakan
transmiter amina lainnya, seperti norepinefrin atau dopamin. Namun SSRI dan
antidepresan yang optimal untuk pasien geriatri masih dalam penyelidikan. 10, 13, 14

11

3.3 Obat Untuk Gejala Neurologis
Penyakit Parkinson adalah salah satu kelainan yang paling umum orang
tua dengan lebih dari 1% populasi berusia di atas 60 tahun mengalami hal ini.
Penyakit ini disebabkan oleh degenerasi neuron sekresi dopamin yang terletak di
ganglia basal. Kehilangan pengaruh dopaminergik memicu ketidakseimbangan
neurotransmitter lain, termasuk peningkatan pengaruh asetilkolin. Gangguan pada
aktivitas neurotransmiter ini pada akhirnya menghasilkan gejala kekakuan otot
parkinsonian khas, bradikinesia, tremor istirahat, dan ketidakstabilan postural.10, 15
Levodopa merupakan obat sering dipakai untuk menangani penyakit
Parkinson namun obat ini juga memiliki beberapa efek samping gangguan
gastrointestinal (mual, muntah) dan masalah kardiovaskular (aritmia, hipotensi
ortostatik) terutama untuk beberapa hari pertama setelah pemberian obat. Masalah
neuropsikiatrik (kebingungan, depresi, cemas, halusinasi) dan masalah dengan
gerakan tak disengaja (dyskinesia) juga dilaporkan pada pasien terapi levodopa.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah kecenderungan keefektifan levodopa
berkurang setelah 4 atau 5 tahun terus digunakan. Alasan untuk respons yang
berkurang ini tidak sepenuhnya dipahami namun mungkin terkait dengan fakta
bahwa penggantian levodopa tidak dapat secara memadai memulihkan disfungsi
neurotransmitter pada stadium akhir penyakit ini. Artinya, terapi levodopa dapat
membantu melengkapi produksi dopamin endogen pada awal hingga menengah
penyakit Parkinson, namun efek ini akhirnya hilang ketika neuron nigra substantia
degenerasi melampaui titik tertentu.10, 15, 16
Dokter rehabilitasi medik harus berusaha mengkoordinasikan sesi
rehabilitasi dengan efek terapi obat tingkat tinggi bila memungkinkan. Misalnya,
penjadwalan terapi fisik saat levodopa dan obat antiparkinson lainnya mencapai
efek puncak (biasanya 1 jam setelah pemberian oral) akan sering memaksimalkan
kemampuan pasien untuk secara aktif berpartisipasi dalam program latihan dan
latihan fungsional. Selain itu harus berperan serta dalam mendokumentasikan
penurunan atau perubahan dalam efektivitas obat saat bekerja sama dengan pasien
dengan penyakit Parkinson.10, 15, 16

12

Lesi sistem saraf pusat (stroke atau trauma), tumor, penyakit degenerative
pada otak merupakan penyebab kekejangan pada pasien geriatri. Tujuan utama
dari obat kejang adalah untuk menormalisasikan ambang eksitasi neuron yang
menginisiasi kejang. Sedasi adalah efek samping yang paling umum yang harus
diperhatikan saat memberikan latihan pada pasien geriatri menggunakan obat
kejang. Efek samping lainnya adalah gangguan gastrointestinal, sakit kepala,
pusing, inkoordinasi, dan reaksi dermatologis (ruam). Selain memantau efek
samping ini, dokter dapat memainkan peran penting dalam membantu menilai
keefektifan obat antikejang dengan mengamati dan mendokumentasikan setiap
kejang yang mungkin terjadi selama sesi rehabilitasi.10, 17

3.4 Obat Nyeri (Analgesik) dan Inflamasi


Analgesik opioid adalah kelompok obat yang digunakan untuk mengobati
rasa sakit konstan dan parah. Obat ini juga dikenal sebagai narkotika, biasanya
digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada pasien geriatri setelah operasi atau
trauma serta pada situasi yang lebih kronis seperti kanker. Analgesik opioid
mengubah persepsi rasa sakit pasien bukan menghilangkan sensasi sakit
sepenuhnya. Efek ini memungkinkan pasien untuk fokus pada hal-hal lain bukan
pada rangsangan yang menyakitkan.10, 18, 19
Dokter harus menyadari efek analgesik obat opioid cenderung disertai
dengan banyak efek samping yang dapat mempengaruhi partisipasi pasien dalam
rehabilitasi. Efek samping yang merugikan seperti sedasi, perubahan mood
(euforia atau disforia), dan masalah gastrointestinal (mual, muntah, konstipasi)
cukup umum terjadi. Hipotensi ortostatik dan berkurangnya fungsi otot pernafasan
juga merupakan efek samping yang umum, terutama untuk beberapa hari pertama
setelah terapi analgesik opioid dimulai. Aspek kecanduan narkoba, termasuk
toleransi dan ketergantungan fisik harus diwaspadai saat analgesik opioid
digunakan untuk waktu yang lama.10, 18, 19
Pengobatan nyeri ringan sampai sedang sering dilakukan dengan
menggunakan dua jenis agen nonopioid yaitu anti inflamasi non steroid (NSAID)
dan asetaminofen. Penggunaan NSAID pada pasien geriatri cenderung cukup

13

aman bila obat ini digunakan dalam dosis sedang untuk jangka pendek. Efek
samping yang paling umum adalah iritasi gastrointestinal, mulai dari gangguan
perut ringan sampai ulserasi gastrik serius. Toksisitas ginjal dan hati juga dapat
terjadi, terutama jika dosis yang lebih tinggi digunakan untuk waktu yang lama
atau pada pasien dengan penyakit ginjal atau hati yang sudah ada sebelumnya.
Masalah kardiovaskular menjadi perhatian utama obat COX-2, namun NSAID
generasi pertama juga dapat menyebabkan toksisitas kardiovaskular terutama pada
orang dengan hipertensi dan gagal jantung. NSAID dapat merusak penyembuhan
tulang sehingga harus dihindari setelah fraktur dan operasi tertentu seperti fusi
tulang belakang. Masalah lain yang mungkin terjadi pada pasien geriatri termasuk
reaksi alergi (ruam kulit) dan kemungkinan toksisitas sistem saraf pusat.10, 18, 19
Glukokortikoid adalah steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal yang
memiliki sejumlah efek fisiologis, termasuk kemampuan untuk mengurangi
inflamasi. Turunan sintetis glukokortikoid yang diproduksi secara endogen dapat
diberikan secara farmakologi untuk memanfaatkan efek anti inflamasi yang kuat
dari senyawa ini. Obat ini digunakan untuk mengobati rheumatoid arthritis dan
berbagai kelainan lainnya yang memiliki komponen inflamasi. Glukokortikoid
memberikan efek antiinflamasi mereka melalui beberapa mekanisme kompleks,
termasuk kemampuan untuk menekan fungsi leukosit dan untuk menghambat
produksi zat pro inflamasi, seperti sitokinin, prostaglandin dan leukotrien di
tempat peradangan.10, 18, 19
Dokter harus menyadari bahwa obat ini menghasilkan efek katabolik
umum pada jaringan pendukung di seluruh tubuh. Pemecahan tulang, ligamen,
tendon, kulit, dan otot dapat terjadi setelah pemberian glukokortikoid sistemik
yang berkepanjangan. Kerusakan ini bisa memperberat kondisi pasien geriatri
yang sudah memiliki osteoporosis. Glukokortikoid juga menghasilkan efek
samping ainnya termasuk hipertensi, tukak lambung, peningkatan kadar gula pada
diabetes mellitus, glaukoma, peningkatan risiko infeksi, dan penekanan produksi
kortikosteroid normal oleh korteks adrenal.10, 19

14

3.5 Obat Jantung
Kenaikan tekanan darah pada pasien geriatri disebabkan oleh perubahan
fungsi kardiovaskular (misalnya penurunan kepatuhan jaringan vaskular,
penurunan sensitivitas baroreceptor) dan berkurangnya fungsi ginjal (misalnya,
penurunan kemampuan untuk mengeluarkan air dan sodium). Agen diuretik
bekerja pada ginjal untuk meningkatkan ekskresi air dan natrium, sehingga
mengurangi tekanan darah dengan mengurangi volume cairan dalam sistem
vaskular. Agen sympatolitic (betha blocker, alpha blocker) bekerja dengan
berbagai cara untuk memutuskan stimulasi simpatis pada jantung dan pembuluh
darah perifer. Vasodilator mengurangi resistansi vaskular perifer dengan
menyebabkan relaksasi dari otot polos vaskular. Penghambat enzim pengubah
angiotensin (ACE) menghalangi pembentukan angiotensin II yang merupakan
vasokonstriktor kuat. Demikian juga, penghambat reseptor angiotensin mencegah
angiotensin II untuk menjangkau jaringan vaskular, sehingga mengurangi efek
konstriksi pada jantung dan pembuluh darah. Akhirnya, penghambat saluran
kalsium menghambat masuknya kalsium ke sel otot jantung dan sel otot polos
vaskular, sehingga mengurangi kontraktilitas.10, 20
Berbagai obat yang dapat digunakan untuk mengelola hipertensi semuanya
terkait dengan efek samping yang spesifik. Tekanan darah akan berkurang secara
farmakologis sampai pada titik di mana gejala hipotensi menjadi masalah. Dokter
harus selalu menyadari bahwa gejala pusing dan sinkop dapat terjadi sebagai
akibat penurunan tekanan darah saat pasien tidak bergerak dan terutama saat
pasien berdiri (hipotensi ortostatik). Setiap intervensi terapi fisik yang
menyebabkan penurunan tekanan darah tambahan harus digunakan dengan sangat
hati-hati pada pasien geriatri yang memakai obat antihipertensi. Seperti panas
sistemik (whirlpool besar, tangki Hubbard) dan olah raga dengan menggunakan
kelompok otot besar dapat menyebabkan vasodilatasi perifer yang meningkatkan
efek obat antihipertensi.10, 20, 21
Gagal jantung kongestif adalah kelainan yang sering terjadi juga pada
pasien geriatri yang ditandai dengan penurunan kemampuan pemompaan jantung
yang progresif. Seiring kemampuan memompa jantung berkurang, cairan sering

15

terkumpul di paru-paru dan ekstremitas. Pengobatan gangguan ini biasanya terdiri
dari penggunaan obat-obatan yang meningkatkan kemampuan pemompaan
miokard (misalnya digitalis glikosida, betha-blocker) yang dikombinasikan
dengan obat-obatan yang mengurangi volume cairan dan resistensi vaskular
(misalnya diuretik, penghambat ACE, penghambat reseptor angiotensin,
vasodilator).10, 21, 22
Pemberian obat untuk mengobati gagal jantung dikaitkan dengan efek
samping yang spesifik. Diuretik dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit jika terlalu banyak air, natrium, atau potassium diekskresikan oleh
ginjal. Betha-blocker dan nitrat dapat menyebabkan hipotensi, sehingga
menyebabkan pusing dan sinkop. Efek samping ini biasanya terkait dosis, obat
relatif aman pada dosis yang digunakan untuk mengobati gagal jantung pada
pasien geriatri. Demikian juga, penghambat ACE dan penghambat reseptor
angiotensin sering ditoleransi dengan cukup baik pada pasien geriatri, meskipun
hipotensi dan hipotensi ortostatik dapat terjadi saat obat ini pertama kali diberikan
pada orang yang lebih tua. Digoksin dapat terakumulasi dengan cepat di aliran
darah pasien geriatri sehingga mengakibatkan toksisitas digitalis. Toksisitas
digitalis ditandai dengan gejala gastrointestinal (mual, muntah, diare), gangguan
system saraf pusat (kebingungan, penglihatan kabur, sedasi), dan aritmia jantung.
Aritmia bisa sangat parah dan bisa mengakibatkan kematian jantung jika toksisitas
digitalis tidak cepat reda. Saat pasien latihan harus diwaspadai terhadap tanda-
tanda toksisitas digitalis karena pengenalan awal sangat penting untuk mencegah
efek samping yang lebih serius dan berpotensi fatal dari obat ini.20,21
Pasien geriatri juga sering mengalami nyeri dada (angina pectoris) sebagai
gejala penyakit arteri koroner. Nitrat organik seperti nitrogliserin adalah obat
utama yang digunakan untuk mencegah episode angina pektoris. Angina biasanya
terjadi ketika permintaan oksigen miokard melebihi pasokan oksigen miokard.
Nitrogliserin menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan vasodilatasi
pembuluh darah perifer. Efek samping utama yang mungkin mempengaruhi terapi
fisik terkait dengan efek vasodilatasi perifer dari nitrat. Tekanan darah dapat
menurun pada pasien yang memakai nitrogliserin namun dapat terasa pusing pada

16

pasien karena hipotensi yang diakibatkan oleh obat tersebut. Hipotensi ortostatik
dapat terjadi jika pasien berdiri tiba-tiba. Sakit kepala juga bisa terjadi karena
vasodilatasi pembuluh meningeal. Efek samping ini paling sering terjadi segera
setelah pasien memakai dosis sublingual yang cepat.10,22

3.6 Obat Respirasi


Pasien geriatri mungkin menggunakan obat untuk mengobati kondisi
pernapasan terkait dengan batuk, flu dan alergi. Obat-obatan tersebut termasuk
obat batuk (antitusif), dekongestan, antihistamin, dan obat-obatan yang membantu
mengencerkan dan mengeluarkan dahak (mukolitik dan ekspektoran). Obat juga
dapat dikonsumsi untuk masalah kronis seperti penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) dan asma bronkial. Terapi obat untuk asma dan COPD meliputi
bronkodilator seperti agonis b-adrenergik (albuterol, epinefrin), turunan xantin
(aminofilin, teofilin), dan obat antikolinergik (ipratropium, tiotropium).
Kortikosteroid juga dapat diberikan untuk mengobati peradangan pada saluran
pernafasan yang sering terdapat pada masalah pernapasan kronis ini.10, 23
Obat pernafasan ini terkait dengan berbagai efek samping yang dapat
mempengaruhi terapi fisik pada pasien geriatri. Secara khusus pasien geriatri
mungkin lebih rentan terhadap efek samping obat penenang seperti antihistamin
dan supresan batuk. Beberapa obat efek sampingnya sering dikurangi jika obatnya
bisa diantarkan langsung ke jaringan pernafasan dengan cara menghirup. Bentuk
inhalasi obat pernafasan dapat menyebabkan efek samping sistemik, terutama bila
digunakan dalam dosis tinggi atau bila digunakan secara berlebihan. Demikian
juga, bila obat ini diberikan secara sistemik, dosis yang lebih rendah dari
bronkodilator diperlukan pada pasien geriatri. Hal ini terutama terjadi pada pasien
yang lebih tua dengan fungsi hati atau ginjal yang berkurang, karena metabolisme
dan eliminasi bentuk aktif obat akan terganggu.10, 23, 24

17

3.7 Obat Gastrointestinal
Obat-obatan gastroinitestinal seperti antasida dan obat pencahar adalah
obat yang paling banyak digunakan pada pasien geriatri. Antasida biasanya terdiri
dari basa yang menetralisir asam hidroklorida, sehingga membantu meringankan
ketidaknyamanan perut yang disebabkan oleh kelebihan sekresi asam lambung.
Obat lain yang berfungsi menurunkan sekresi asam lambung adalah penghambat
H2 (simetidin, ranitidin), yang bekerja dengan menghalangi reseptor histamin
tertentu (reseptor H2) yang terletak di mukosa lambung, dan penghambat pompa
proton (esomeprazole, omeprazole) yang menurunkan pembentukan asam
hidroklorida di perut dengan menghambat pengangkutan ion H1 melintasi lapisan
lambung. Obat pencahar merangsang evakuasi usus dan buang air besar dengan
sejumlah metode yang berbeda tergantung pada obat yang digunakan. Obat yang
digunakan untuk mengobati diare juga sering dikonsumsi oleh pasien geriatri.
Obat ini terdiri dari agen seperti opioid (diphenoxylate, loperamide) yang
membantu menurunkan motilitas dan produk gastrointestinal seperti absorben
(kaolin, pektin) yang membantu menyerap racun dan iritasi pada saluran
pencernaan yang dapat menyebabkan diare.10, 25
Perhatian utama penggunaan obat gastrointestinal pada pasien geriatric
adalah potensi penggunaan obat ini secara tidak tepat dan berlebihan. Sebagian
besar obat ini tersedia sebagai produk yang dijual bebas. Pasien geriatri mungkin
mengelola sendiri obat ini sejauh aktivitas gastrointestinal normal terganggu.
Misalnya, orang tua yang mengandalkan penggunaan pencahar sehari-hari (atau
mungkin bahkan beberapa obat pencahar setiap hari) mungkin mengalami
penurunan regulasi normal evakuasi usus. Obat juga bisa digunakan sebagai
pengganti kebiasaan makan yang tepat. Antasida, misalnya, dapat diambil secara
rutin untuk menyamarkan efek iritan dari makanan tertentu yang tidak dapat
ditoleransi dengan baik oleh orang dewasa yang lebih tua. Dokter harus
menyarankan pasien geriatri mereka bahwa sebagian besar obat gastrointestinal
dimaksudkan untuk digunakan hanya untuk episode singkat dari gangguan
gastrointestinal. Dokter dapat mencegah penggunaan jangka panjang dari agen
tersebut dan memberi tahu pasien mereka bahwa nutrisi dan kebiasaan makan yang

18

tepat adalah alternatif yang jauh lebih aman dan lebih sehat daripada penggunaan
obat-obatan gastrointestinal yang berkepanjangan.10-26

3.8 Obat Untuk Infeksi


Pasien geriatri sering kali rentan terhadap infeksi terutama jika sistem
kekebalan tubuh mereka telah berkurang karena ada penyakit sebelumnya atau
penggunaan obat imunosupresan yang berkepanjangan seperti glukokortikoid.
Meskipun beberapa bakteri ada di dalam tubuh dalam keadaan yang membantu
atau simbiosis, infiltrasi bakteri patogen dapat menyebabkan infeksi. Jika sistem
kekebalan tubuh tidak mampu menahan atau menghancurkan bakteri ini maka obat
antibakteri harus diberikan. Dokter harus waspada terhadap reaksi yang
mencurigakan pada pasien geriatri yang menggunakan obat antibakteri, terutama
jika fungsi ginjal sudah terganggu. Resisten terhadap obat antibakteri juga menjadi
perhatian utama pada semua kelompok usia, termasuk pasien geriatri. Terlalu
banyak penggunaan dan penggunaan obat ini secara tidak tepat telah
memungkinkan strain bakteri tertentu mengembangkan antidrugs mechanism
sehingga obat ini tidak efektif melawan bakteri. Saat melakukan latihan maka
perlu untuk mencegah penyebaran infeksi bakteri melalui cuci tangan dan tindakan
pencegahan universal lainnya.10, 27

19

BAB IV
PENUTUP

Menjadi tua merupakan proses alami yang sudah pasti akan terjadi,
sehingga yang harus disiasati adalah bagaimana mengatasinya walau umur
semakin tua namun kesehatan tetap terjaga baik kondisi mental maupun fisik.
Proses penuaan yang terjadi bersifat universal berupa kemunduran dari fungsi
biosel, jaringan, organ, bersifat progresif yang terjadi secara bertahap dan
akumulatip. Proses penuaan mengakibatkan terjadinya perubahan pada berbagai
organ di dalam tubuh seperti sistem gastrointestinal, genitourinaria, endokrin,
immunologis, serebrovaskular, sistem saraf pusat dan sebagainya.5, 12
Penyakit pada pasien geriatri sering terjadi pada banyak organ sehingga
pemberian obat sering menjadi polifarmasi. Hal tersebut menjadi lingkaran setan
dimana obat tambahan akan digunakan untuk mengobati efek samping dari obat.
Pemberian obat pada pasien geriatri harus diperhatikan dengan baik karena terjadi
perubahan fisiologi, kondisi patologi, interaksi obat serta efek samping dari obat
tersebut.6, 10

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Pusat Statistik. Statistik Penduduk Lanjut Usia. 2016;52-55.


2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pelayanan dan Peningkatan Kesehatan
Usia Lanjut. 2015 [diunduh 20 November 2017]. Tersedia dari :
http://www.depkes.go.id/article/view/15052700010/pelayanan-dan-peningkatan-
kesehatan-usia-lanjut.html.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2016 Tentang Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lanjut
Usia Tahun 2016-2019. 2016;10-11.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Populasi Lansia Diperkirakan Terus
Meningkat Hingga 2020. 2013. [diunduh 20 November 2017]. Tersedia dari :
http://www.depkes.go.id/article/view/13110002/populasi-lansia-diperkirakan-terus-
meningkat-hingga-tahun-2020.html.
5. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata Laksana Terapi Obat) Untuk Pasien Geriatri. 2016
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 67 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Lanjut Usia Di Pusat Kesehatan Masyarakat. 2015;19-20.
7. Wooten JM. Pharmacotherapy Consideration in Erderly Adults. South Med J.
2012;105(8):437-444.
8. Katzung BG, Zastrow WV, Holford NH. Pharmacokinetics And Pharmacodynamic
Rational Dosing And the Time Course of Drug Action. Dalam: Basic And Clinical
Pharmacology. Edisi ke-12. New York: McGraw-Hill; 2012. hlm. 37-52.
9. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi
Farmakologi. 2016; 16-32.
10. Ciccone DC. Geriatric Pharmacology. Dalam: Geriatric Physical Therapy. Edisi ke-3.
USA: Elsevier; 2012. hlm. 39-63.
11. Maher RL, Hanlon JT, Hajjar ER. Clinical Consequences of Polypharmacy in Elderly.
Expert Opin Drug Saf. 2014;13(1):1-11
12. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di
Indonesia. 2013;27-28.
13. Curkovic M, Dodig K, Eric AP, Kralik K, Pivac N. Psychotropic Medication in Older
Adults : A Review. Psychiatria Danubina. 2016;28(1):13-24.
14. Tveito M. Psychotropic Drugs : Use And Side Effects In Older Psychiatric Patients
[disertasi]. Norwegia: University of Oslo; 2015.
15. Varanese S, Birbaum Z, Rossi R, DiRocco A. Treatment Of Advanced Parkinson’s
Disease. Hindawi. 2010:1-9.
16. Lauretani F, Ticinesi A, Tiziana M, Maggio M. The Key Points For Treatment Of
Parkinsonism In Older Person. Geriatric Care. 2016;2:54-55.
17. Ferlazzo E, Sueri C, Gasparini S, Aguglia U. Challenges In The Pharmacological
Management Of Epilepsy And Its Causes In Elderly. Pharmacological Research.
2016;106:21-26.
18. Cavalieri TA. Managing Pain In Geriatric Patients. J Am Osteopath Assoc.
2007;107:10-16.
19. Kaye AD, Baluch A, Scott JT. Pain Management In The Elderly Population. The
Ochsner J. 2010;10:179-187.
20. Ayan M, Pothineni NV, Siraj A, Metha JL. Cardiac Drug Therapy Consideration In
The Elderly. J Geriatr Cardio. 2016;13:992-997.

21
21. Fleg JL, Aronow WS, Frishman WH. Cardiovascular Drug Therapy In The Elderly :
Benefits And Challenges. Nat Rev Cardio. 2011;8:13-28.
22. Naganathan V. Cardiovascular Drugs In Older People. Aust Prescr. 2013;36(6):109-4.
23. Shaikh S, Nazim S, Shaikh A. Trends In Applications Of Pulmonary Drug Delivery :
A Review. IJPRD.2011;2(12):171-180.
24. Ruth M. Update On Respiratory Drugs. Nurs Gen Practice. 2014;16:13-18.
25. Zarowitz BJ. Pharmacologic Consideration Of Commonly Used Gastrointestinal Drugs
In The Elderly. Gastroenerol Clin North Arm. 2009;38(3):547-62.
26. Singh M, Chaudahary S, Azizi S, Green J. Gastrointestinal Drug Interactions Affecting
The Elderly. Clin Geriatr Med. 2014;30(1):1-15.
27. Beckett CL, Harbarth S, Huttner B. Special Consideration Of Antibiotic Prescription
In The Geriatric Population. Clin Microbial Infect. 2015;21:3-9.

22

Anda mungkin juga menyukai