Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Kandidiasis vulvovaginalis atau kandidosis vulvovaginalis/ kandida vulvovaginitis adalah
infeksi vagina dan atau vulva oleh genus candida1-6, Dengan berbagai manifestasi klinisnya yang
bisa berlangsung akut, kronis atau episodik2.
Kandidosis vulvovaginalis rekuren adalah infeksi vagina dan atau vulva yang berulang,
yang disebabkan oleh organisme yang sama minimal 4 atau lebih episode simtomatik dalam
setahun 4,5,7,.
Kandidiasis vulvovaginalis (KVV) merupakan penyebab terbanyak kedua di Amerika Utara 1.
Infeksi genitalia pada wanita yang sering menimbulkan keluhan atau perasaan tidak nyaman.
Problema ini dapat dialami oleh wanita di seluruh dunia, terutama di daerah yang beriklim tropis.
Diperkirakan lebih dari 75% wanita di sini akan mengalami sedikitnya satu kali episode vaginitis
yang disebabkan oleh kandida, 40-45% mengalami dua atau lebih episode KVV bahkan sebagian
kecil dari wanita yang mengalami infeksi KVV ini (< 5%) akan mengalami rekurensi yang
akhirnya dapat mengurangi kualitas hidupnya 2-4..
Beberapa faktor predisposisi dianggap dapat mempengaruhi rekurensinya 2.
Pemilihan obat per oral atau intravaginal tergantung dari riwayat KVV, gejala klinis,
adanya kekambuhan, efek samping obat antifungi, status kehamilan dan kenyamanan untuk
penderita 2.
Kandidiasis vulvovaginal (KVV) tidak digolongkan dalam infeksi menular seksual
karena jamur Candida merupakan organisme komensal pada traktus genitalia dan intestinal
wanita. Selain itu, pada kenyataannya KVV juga ditemukan pada wanita yang hidup selibat
(biarawati). Akan tetapi, kejadian KVV dapat dikaitkan dengan aktivitas seksual. Frekuensi KVV
meningkat sejak wanita yang bersangkutan mulai melakukan aktivitas seksual.

BAB II
PEMBAHASAN
Epidemiologi
Banyak penelitian epidemiologi infeksi genitalia yang disebabkan karena ragi telah
dilakukan pada berbagai geografis maupun kelompok populasi yang berbeda. Ternyata
didapatkan prevalensi KVV yang simtomatik maupun yang asimtomatik makin meningkat,
sehingga menyebabkan beban biaya pengobatan juga makin meningkat 3.
Kurang lebih 20% candida spp dapat diisolasi dari traktus genitalis wanita usia subur
yang asimtomatik. Proses terjadinya kolonisasi yang asimtomatik pada traktus genitalis wanita
tidak diketahui. Berbagai macam faktor dianggap dapat mempengaruhi meningkatnya prevalensi
kolonisasi candida spp yang asimtomatik maupun simtomatik. Faktor predispoisisi tersebut
termasuk adanya kehamilan, pemakaian kontrasepsi yang mengandung estrogen tinggi, diabetes
melitus yang tak terkontrol, tingginya frekuensi kunjungan ke klinik, PSM. Jarang ditemukannya
candida spp. pada wanita premenarkhe dan rendahnya prevalensi KVV setelah masa menopouse
menunjukkan adanya pengaruh hormonal terhadap timbulnya infeksi 1-3.
Pada wanita dengan HIV seropositif sering ditemukan KVV yang simtomatik. Prevalensi
ini berhubungan dengan status imunologi dari penjamu. Bagi penderita HIV positif KVV lebih
sering relaps dan cenderung ditemukan candida glabrata 3.
Di Skandinavia prevalensi simtomatik KVV ditemukan sebanyak 13,4% di Amerika
merupakan penyebab kedua setelah bakterial vaginosis dan tiga kali lebih besar daripad
trichomonas vaginitis 1,2.
Etiologi
Sebagian besar penyebab KVV adalah candida albicans. Antara 85-90% ragi yang
berhasil diisolasi dari vagina adalah spesies C.albicans sedangkan penyebab yang lainnya dari
jenis candida glabrata (torulopsis glabrata) . Spesies selain C. albicans yang menyebabkan
KVV sering lebih resisten terhadap terapi konvensional 1-,3.

Saat ini jenis kandida yang sering ditemukan adalah candica albicans, c. glabrata, c.
tropicalis dan c. parapsilosis. 80-90% dari jamur yang diisolasi dari vagina adalah c. albicans,
selanjutnya c. glabrata (10%) dan c. tropicalis (5-10%) 1-4,6
Candida sp adalah jamur sel tunggal, berbentuk bulat sampai oval. Jumlahnya sekitar 80
spesies dan 17 diantaranya ditemukan pada manusia. Dari semua spesies yang ditemukan pada
manusia, C.albicans-lah yang paling pathogen. Candida sp memperbanyak diri dengan
membentuk blastospora (budding cell). Blastospora akan saling bersambung dan bertambah
panjang sehingga membentuk pseudohifa. Bentuk pseudohifa lebih virulen dan invasif daripada
spora. Hal itu dikarenakan pseudohifa berukuran lebih besar sehingga lebih sulit difagositosis
oleh makrofag. Selain itu, pseudohifa mempunyai titik-titik blastokonidia multipel pada satu
filamennya sehingga jumlah elemen infeksius yang ada lebih besar.

Faktor virulensi lain pada Candida adalah dinding sel. Dinding sel Candida sp
mengandung turunan mannoprotein yang bersifat imunosupresif sehingga mempertinggi
pertahanan jamur terhadap imunitas pejamu, dan proteinase aspartil yang menyebabkan Candida
sp dapat melakukan penetrasi ke lapisan mukosa.
Dalam

menghadapi

invasi

dari

Candida,

tubuh

mengerahkan

sel

fagosit

untuk

mengeliminasinya. Interferon (IFN)-gamma akan memblok proses transformasi dari bentuk


spora menjadi hifa. Maka bisa disimpulkan, pada seorang wanita dengan defek imunitas
humoral, Candida lebih mudah membentuk diri menjadi hifa yang lebih virulen dan mudah
menimbulkan vaginitis.

.Kandida adalah organisme yang dimorfik yaitu bisa ditemukan dalam 2 fase fenotipe
yang berbeda di dalam tubuh manusia. Pada umumnya blastospora (blastokonidia) adalah
bentuk fenotipe yang bertanggung jawab terhadap penyebaran atau transimisinya termasuk
ketika menyebar mengikuti aliran darah maupun ketika dalam bentuk kolonisasi asimtomatik di
vagina. Sebaliknya ragi yang sedang bertunas dan membentuk miselia adalah bentuk invasif
terhadap jaringan serta sering teridentifikasi pada kondisi yang simtomatik1.

Patogenesis

Patogenesis Candidiasis Vulvovaginal


Kandida di dalam tubuh manusia dapat bersifat 2 macam. Kandida sebagai saprofit terdapat
dalam tubuh manusia tanpa menimbulkan gejala apapun, baik subyektif maupun obyektif. Dapat
dijumpai di kulit, selaput lendir mulut, saluran pencernaan, saluran pernafasan, vagina dan kuku.
Kandida sebagai jamur dapat menimbulkan infeksi primer maupun sekunder dari kelainan yang
telah ada. Beberapa faktor predisposisi dapat mengubah sifat saprofit kandida menjadi patogen
1,3

Akan tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa kandida tidak pernah menjadi komensal
dalam vagina karena dia akan selalu menjadi patogen bila terdapat di sana. Karena itu bila
ditemukan kandida dari isolasi sekret vagina para klinisi harus menganggap itu patogen
walaupun tanpa ada keluhan dari wanita tersebut 1.
Kandida memasuki lumen vagina biasanya datang dari daerah perianal atau kontaminasi
dari traktus gastrointestinal. Kemudian dengan adanya berbagai faktor predisposisi mencetuskan
keadaan yang asimtomatik menjadi simtomatik. Sedang mekanisme

yang pasti perubahan

kolonisasi asimtomatik menjadi simtomatik vaginitis belum diketahui. Diduga lebih dari satu
macam mekanisme yang mempengaruhinya. Invasi hifa ke dalam epitel jaringan akan
menyebabkan terjadinya proses keradangan dan akhirnya merusakkan sel-sel epitel tersebut.
Mungkin enzim protease dan enzim hidrolitik lainnya yang memudahkan penetrasi ke dalam sel.
Akhirnya penetrasi sel dan invasi ke mukossa tidak saja oleh hifa tetapi juga oleh blastospor.
Proses ini menyebabkan reaksi inflamasi pada mukosa yang mengakibatkan pembengkakan,
eritema, dan deskuamasi sel epitel vagina. Selain proses tersebut di atas mungkin kandida
menimbulkan simtom vaginitis karena reaksi hipersensitivitas, khususnya pada wanita yang
mengalami KVV rekuren yang idiopatik 1.
Patogenesis kandidiasis vulvovaginalis rekuren
Kurang lebih 10-20% wanita yang mengalami KVV akut akan berkembang menjadi
KVV rekuren. Definisi KVVR adalah 4 atau lebih episode infeksi kandidiasis selama 12 bulan/1
tahun. KVVR merupakan bentuk dari KVV komplikasi.
KVV rekuren seringkali disebabkan karena pemakaian antibiotika yang menurunkan jumlah
kuman Lactobacilli dan bakteri lainnya yang justru akan meningkatkan kolonisasi jamur 10-30%.

Sedangkan transmisi seksual dari pasangan prianya belum bisa dianggap sebagai
penyebab rekurensi KVV pada wanita. KVV rekuren sering disebabkan karena kambuh, yang
bisa terjadi karena pengobatan sebelumnya yang tidak adekuat. Hasil kultur negatif yang diambil
dari wanita yang sedang dalam interval bebas simtom akan menjadi positif lagi setelah beberapa
minggu. Teori ini dikuatkan dengan adanya fakta hasil pemetaan DNA seringkali menunjukkan
galur yang sama pada wanita dengan KVV rekuren tersebut. Abstinensia seksual selama
pengobatan harus dianjurkan untuk mengurangi iritasi traumatik darihubungan seksual dan juga
untuk mengurangi kemungkinan transmisi jaur dari wanita ke pasangannya. Kolonisasi kandida
pada penis seringkali asimtomatik, hal ini bisa timbul 20% dari pra pasangan wanita yang
mengalami KVV rekuren 1-7.

Faktor- faktor predisposisi


Terdapat bermacam-macam faktor predisposisi yang dapat membuat kondisi vagina
menjadi lingkungan yang mudah untuk tumbuhnya candida spp atau membuat kolonisasi
asimtomatik menjadi simtomatik vaginitis.

Kehamilan
Kondisi vagina selama masa kehamilan menunjukkan kepekaan yang tinggi terhadap

infeksi kandida, hal ini tampak dengan ditemukannya kolonisasi candida spp yang tinggi pada
masa ini sejalan dengan tingginya simtomatik vaginitis. Keluhan ini paling sering timbul pada

usia kehamilan trimester ketiga. Bagaimana mekanisme hormon-hormon reproduksi dapat


meningkatkan kepekaan vagina terhadap infeksi kandida masih belum jelas.

Kontrasepsi oral
Berbagai penelitian menemukan peningkatan kolonisasi candida spp, setelah pemakaian

kontrasepsi oral yang mengandung estrogen yang tinggi. Dalam hal ini mekanismenya juga
belum diketahui, tetapi ternyata juga ditemukan sebaliknya pada pemakaian kontrasepsi oral
yang rendah estrogen tidak ditemukan peningkatan KVV.

Diabetes mellitus
Pada penderita diabetes mellitus juga ditemukan kolonisasi candida spp dalam vagina

mungkin karena peningkatan kadar glukosa dalam darah, jaringan dan urin. Akan tetapi
mekanismenya juga tidak diketahui.

Pemakaian oral antibiotika


Simtomatik KVV seringkali timbul setelah pemakaian oral antibiotika, terutama

antibiotika yang berspektrum luas misalnya tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin dan sefalosporin.
Pemakaian antibiotika di vagina sehingga menekan daya perlindungan yang dibuat oleh flora
normal tersebut dan menyebabkan kandida tumbuh lebih subur. Prevalensi kolonisasi candida
spp meningkat dari 10% sampai 30%.
Perlindungan yang terpenting dari bakteri flora normal adalah dari Lactobacillus yang
memproduksi hidrogen peroksida. Jadi flora normal tersebut dianggap memberikan ketahanan
dan mencegah invasi serta berkembangnya kandida.

Faktor-faktor lain
Pemakaian pakaian dalam yang ketat atau yang terbuat dari nilon meningkatkan

kelembaban yang memudahkan pertumbuhan candida spp. Kontak dengan bahan kimia, alergi
atau reaksi hipersensitivitas mungkin dapat mengubah lingkunga/ekosistem vagina sehingga
memudahkan transformasi kolonisasi yang asimtomatik menjadi simtomatik vaginitis.
Sumber infeksi

Traktus gastrointestinal sampai saat ini masih dianggap sebagai sumber utama kolonisasi
kandida dalam vagina. Walaupun peran traktus gastrointestinal dalam reinfeksi yang terjadi pada
wanita yang mengalami KVV rekuren masih kontroversial, tetapi ternyata sejalan dengan
keberadaan candida spp di dalam usus.
Transmisi seksual juga dianggap mungkin dapat menyebakan kolonisasi/infeksi kandida.

Gambaran klinis
Keluhan yang paling sering pada KVV adalah rasa gatal pada daerah vulva dan adanya
duh tubuh

1-7.

. Sifat duh tubuh bervariasi dari yang cair seperti air sampai tebal dan homogen

dengan noda seperti keju. Kadang-kadang sekret tampak seperti susu yang disertai gumpalangumpalan putih sehingga tampak seperti susu basi/pecah dan tidak berbau. Akan tetapi lebih
sering sekret hanya minimal saja. Keluhan klasik yang lainnya adalah rasa kering pada liang
vagina, rasa terbakar pada vulva, dispareunia dan disuria. Jadi sebenarnya, tidak ada keluhan
yang benar-benar spesifik untuk KVV 1-7.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan eritema dan pembengkakan pada labia dan vulva, juga
dapat ditemukan lesi papulopustular di sekitarnya. Servik tampak normal sedangkan mukosa
vagina tampak kemerahan7.
Bila ditemukan keluhan dan tanda-tanda vaginitis serta pH vagina

< 4,5 dapat diduga

adanya infeksi kandida, sedangkan bila pH vagina > 5 kemungkinan adalah vaginitis karena
bakterial vaginosis, trikhomonas vaginitis atau ada infeksi campuran 2.

Gambar 1. Tampakan kandidiasis vulvovaginal akut


Diagnosis
Diagnosis klinis KVV dibuat berdasarkan keluhan penderita, pemeriksaan klinis,
pemeriksaan laboratorium berupa sediaan basah maupun gram dan pemeriksaan biakan jamur,
selain itu juga pemeriksaan pH cairan vagina 1,2,7.
Biakan jamur dari cairan vagina mempunyai nilai konfirmasi terhadap basil pemeriksaan
mikroskopik yang negatif (false negative cases) yang sering ditemukan pada KVV kronik dan
untuk mengidentifikasi spesies non-candida albicans. Sejak spesies ini sering ditemukan pada
sejumlah KVV kronik dan sering timbul resistensi terhadap flukonazol maka identifikasi jamur
dengan kultur menjadi lebih penting.
Biakan jamur mempunyai nilai kepekaan yang tinggi sampai 90% sedangkan
pemeriksaan sediaan basah dengan KOH 10% kepekaannya hanya 40%. Swab sebaiknya diambil
dari sekret vagina dan dari dinding lateral vagina.
Pemeriksaan gram tidak terlalu sensitif tetapi bisa sangat menolong untuk pemeriksaan
yang cepat. Pseudohifa ragi dan miselia memberi reaksi gram positif. Akan tetapi pemeriksaan
gram dan KOH yang negatif tidaklah menyingkirkan kemungkinan KVV dan perlu dikonfirmasi
dengan kultur.
Kultur dilakukan pada media sabouraud dextrose agar (SDA) dengan antibiotika, candida
spp tidak terpengaruh oleh sikloheksimid yang ditambahkan pada media selektif jamur patogen,
kecuali beberapa galur c. tropicalis, c. krusei dan c. parapsilosis yang tidak tumbuh karena
sensitif terhadap sikloheksimid. Kultur tumbuh dalam waktu 24-72 jam 1,2,7.

Nickerson polisysaccharide trypan blue (Nickerson-Manskowski agar) atau Cornmeal


agar dengan Tween 80, pada suhu 250C digunakan untuk menumbuhkan klamidokonidia, yang
umumnya hanya ada pada c. albicans. Tumbuh dalam waktu 3 hari.

Skema 1. Algoritma penatalaksanaan Candidiasis Vulvovaginalis


Identifikasi c. albicans dapat dengan melihat fenomena Reynolds-Braude, yaitu
memasukkan jamur yang tumbuh pada kultur ke dalam serum/koloid (albumin telur) dan
diinkubasi selama 2 jam, dengan suhi 370C. Di bawah mikroskop akan tampak germ tube
(bentuk seperti kecambah) yang khas pada c. albicans.

Pada infeksi KVV pH vagina normal berkisar antara 4,0-4,5 bila ditemukan pH vagina
lebih tinggi dari 4,5 menunjukkan adanya bakterial vaginosis, trikhomoniasis atau adanya infeksi
campuran.
Perubahan prevalensi spesies jamur mungkin disebabkan tipe obat anti jamur yang ada
dan efek penghambatan selektifnya yang menyebabkan resistensi beberapa spesies terhadap
suatu obat anti jamur dan terhadap regimen terapi jangka pendek.
Terapi
Saat ini telah banyak tersedia obat-obat antimikosis untuk pemakaian secara topikal
maupun oral sistemik untuk terapi KVV akut maupun kronik. Kecenderungan saat ini adalah
pemakaian regimen antimikosis oral maupun lokal jangka pendek dengan dosis tinggi.
Antimikosis untuk pemakaian lokal/topikal tersedia dalam berbagai bentuk, misalnya
krim, lotion, vaginal tablet dan suppositoria. Tidak ada indikasi khusus dalam pemilihan bentuk
obat topikal. Untuk itu perlu ditawarkan dan dibicarakan dengan penderita sebelum memilih
bentuk yang lebih nyaman untuk penderita. Untuk keradangan pada vulva yang ekstensi
mungkin lebih baik dipilih aplikasi lokal bentuk krim.
Regimen untuk terapi KVV
Nama Obat
Polyenes :
Nystatin

Sediaan

Dosis

Lama Pengobatan

Supositoria vagina

100.000 E

12 hari

Amphotericin B

*
Supositoria vagina

50 mg

7-12 hari

100 mg
200 mg
500 mg
100 mg
200 mg
2%
150 mg

6 hari
3 hari
1 hari
7 hari
3 hari
7 hari
2,3 hari

100 mg
600 mg
100 mg
300 mg

7 hari
1 hari
3 hari
1 hari

*
Imidazol :
Klotrimazol
Mikonazol
Ekonazol
Isokonazol
Tiokonazol

Tablet vagina *
Tablet vagina *
Tablet vagina *
Supositoria vagina
Supositoria vagina
Krim vagina *
Supositoria vagina
Krim vagina
Tablet vagina
Supositoria vagina
Tablet vagina
Kapsul vagina

Fentikonazol
Omokonazol
Oxikonazol
Ketokonazol
Triazol :
Flukonazol
Itrakonazol

Kapsul vagina
Kapsul vagina
Supositoria vagina
Supositoria vagina
Supositoria vagina
Tablet vagina
Supositoria vagina
Tablet (oral) *

200 mg
600 mg
150 mg
300 mg
900 mg
600 mg
400 mg
2 x 200 mg

3 hari
1 hari
6 hari
3 hari
1 hari
1 hari
3 hari
5 hari

Kapsul (oral) *
Kapsul (oral) *
Kapsul (oral) *

1 x 50 mg
1 x 50 mg
2 x 100 mg
2 x 200 mg

7 hari
1 hari
2 hari
1 hari

Pengobatan KVV pada kehamilan


Insidensi KVV simtomatik maupun asimtomatik meningkat pada masa kehamilan.
Sebaiknya diberikan pengobatan antimikosis topikal daripada sistemik. Kebanyakan obat
antimikosis topikal terbukti efektif untuk pengobatan KVV selama masa kehamilan, dengan
resiko penyerapan yang minimal (3-10%) pada bulan-bulan pertama masa kehamilan. Wanita
hamil dapat diyakinkan tentang keamanan obat topikal selama trimester kedua dan ketiga
kehamilannya.
Dapat direkomendasikan pemberian dosis tunggal klotrimazol amupun derivat imidazol
yang lainnya, misalnya mikonazol nitrat 2% vaginal krim, butokonazol atau terkonazol (belum
ada di Indonesia) yang umumnya diberikan selama 7 hari.
Sejak terjadi perubahan hormonal pada mukosa vagina pada masa kehamilan angka
kekambuhan setelah pemberian obat antimikosis menjadi lebih tinggi dan penanganannya
menjadi lebih sulit. Oleh karena itu juga dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan regio genital
sebelum persalinan untuk menyakinkan bahwa jalan lahir tersebut telah bersih dari jamur.

Kriteria pemilihan terapi

Pemilihan obat antijamur untuk KVV dipengaruhi beberapa faktor, termasuk gambaran
klinis KVV, anamnesis berapa kali terkena, interval kekembuhannya dan kondisi atau keadaan
penderita saat kambuh.
KVV berat tidak dapat sembuh hanya dengna pengobatan oral dosis tunggal atau
pengobatan topikal dengan waktu yang lama saja. Lamanya dan kronisnya keluhan merupakan
faktor penting dalam memilih pengobatan jangka panjang. Untuk keradangan daerah vulva perlu
pengobatan kombinasi krim topikal dan obat antijamur untuk vagina.
Terapi topikal jangka pendek seringkali gagal bila diberikan pada wanita yang mengalami
KVV rekuren. Pada penderita ini perlu diberikan kesempatan untuk mendiskusikan dan ikut serta
memilih obat mana yang lebih disukai dan lebih nyaman untuknya. Pelaksanaan pemberian
regimen obat oleh dokter akan menjadi lebih baik bila diberikan sesuai dengan yang dibutuhkan
oleh penderita tersebut secara spesifik.
Berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan regimen misalnya
frekuensi pemakaian, jangka waktu pemberian terapi, dosis dan bentuk sediaan, waktu menses,
abstinensia kontak seksual, riwayat adanya efek samping obat, kebiasaan dan pekerjaannya.
Banyak macam sediaan topial untk terapi KVV misalnya : krim, supositoria, lotions,
ointment, tablet. Imidazol dan polyenes pervaginam dipakai dengan memakai aplikator dan harus
dimasukkan dalam-dalam pada liang vagina. Regimen jangka pendek imidazol lebih baik
daripada regimen 7 hari dengna memakai polyenes. Meskipun tidak didaaptkan efek samping
sistemik, tetapi efek samping berupa pruritus, rasa panas dan iritasi juga didapatkan sebesar <
7% pada wanita yang memakai obat topikal. Mikonazol dan tiokonazol lebih sering memberikan
keluhan iritasi lokal, sedangkan terkonazol yang paling rendah efek samping topikalnya.
Studi yang membandingkan pengobatan oral jangka pendek dengan terapi lokal
menunjukkan efektifitas yang sama. Pasien pada umumnya akan memilih terapi oral jangka
pendek daripada pengobatan topikal.
Dosis total pemberian obat antimikosis peroral lebih penting daripada lamanya pemberian
terapi pada penderita KVV. Dosis tunggal itrakonazol yang suboptimal tidak akan memberikan
efek penyembuhan yang baik. Hasil penelitian multisenter pada terapi satu hari dengan memakai
itrakonazl maupun flukonazol menunjukkan penyembuhan mikologi sebesar 70-80%.

Dapat juga diberikan terapi kombinasi antara topikal dan peroral yang bukan sistemik
dengan maksud untuk mengeliminasi kandida intestinal. Penelitian ini memakai nystatin peroral
dan pervagina, nystatin pervagina saja dan klotrimazol pervagina saja. Hasilnya lebih baik yang
kombinasi dan juga angka kekambuhannya lebih rendah pada yang memakai terapi kombinasi.
Strategi pengobatan untuk KVV rekuren
Mengurangi faktor predisposisi
Langkah yang terpenting dalam penanganan KVV yang rekuren adalah mengevaluasi
dengan hati-hati semua faktor predisposisi yang mungkin ada pada penderita KVV tersebut,
kemudian mengendalikan atau menghilangkannya.
Faktor tersebut misalnya : menghentikan pemakaian berulang antibiotika spektrum luas,
menyingkirkan atau mengendalikan gangguan/perubahan hormonal yang mungkin ada,
menghentikan pemakaian kontrasepsi yang emngandung estrogen tinggi, mengendalikan
diabetes mellitus. Selain itu juga menghindari pemakaian pakaian yang ketat, pemakaian obat
pencuci vagina, iritasi oleh karena tisu kebersihan, pemakaian air yang berkadar klorin tinggi
seperti pada kolam renang. Serta jangan lupa mempertimbangkan kemungkinan adanya infeksi
HIV.
Terapi supresif
Terapi atau dosis yang optimal untuk KVV rekuren sampai saat ini belum dapat
ditetapkan. Dari berbagai penelitian telah dicoba berbagai regimen yang dapat direkomendasikan
untuk KVV rekuren. Umumnya terapi inisial dilanjutkan sampai 10-14 hari, selanjutnya
langsung diikuti dengan regimen rumatan paling sedikit 6 bulan.
Pemberian ketokonazol 100 mg (1/2 tablet) peroral perhari selama 6 bulan terbukti efektif
dan terbaik menurunkan frekuensi episoda KVV rekuren. Tetapi oleh karena ketokonazol
mempunhyai efek hepatotoksik perlu seleksi dengan hati-hati penderita yang akan diberi regimen
ini.
Cara lain dapat diberikan 150 mg flukonazol peroral setiap bulan sekali. Setelah simtom
tersupresi selama 3-6 bulan pengobatan dapat dihentikan.

Semua kasus kVV rekuren harus selalu dikonfirmasi dulu dengan kultur sebelum
memulai terapi rumatan.
Penelitian yang lainnya mengatakan bahwa terapi lokal jangka panjang dengan memakai
klotrimazol ternyata lebih efektif daripada terpai peroral. Pemberian klotrimazol 200 mg
intravagina 2 kali perminggu lebih efektif daripada pemberian itrakonazol peroral 2 kali per
minggu selama 6 bulan. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan konsentrasi obat yang
menetap dalam cairan vagina, sedangkan obat peroral tergantung dari penyerapannya yang
mengakibatkan rendahnya obat dalam jaringan.
Penelitian memakai mikonazol 100 mg vaginal pesarium dengan dosis 2 kali perhari
selama seminggu dilanjutkan dengan 2 kali perminggu selama 3 bulan dan selanjutnya 1 kali
perminggu selama 3 bulan juga efektif dan dapat diterima untuk menurunkan episoda rekuren.
Terapi profilaksis supresi jangka panjang dengan obat anti jamur peroral ternyata lebih
disukai daripada pemakaian bentuk krim vagina atau supositoria setiap hari.
Bagaimanapun juga keuntungan terapi supresif jangka panjang peroral yang berhasil
perlu juga dipertimbangkan dengan kemungkinan potensi toksisitas terapi jangka panjang peroral
tersebut.
Kegagalan respon terapi
Definisi resisten secara umum belum dapat ditetapkan. Istilah ini mungkin saja bisa salah
digunakan pada penderita yang secara klinis gagal dalam pengobatan dengan anti jamur atau
untuk menunjukkan konsentrasi hambat minimal (KHM/MIC) obat anti jamur terhadap suatu
galur lebih tinggi daripada galur lainnya.
Catatan yang ada tentang resistensi obat anti jamur hampir selalu melibatkan c. glabrata
atau c. tropicalis dan belum diketahui peranannya dalam kegagalan terapi atau dalam rekurensi
KVV. Beberapa galur mungkin membutuhkan dosis anti jamur yang lebih tinggi. Uji kepekaan
harus dilakukan pada kasus dimana resistensi antimikosis menyebabkan kegagalan terapi.
Pelaksanaan pengobatan yang buruk merupakan penyebab terbanyak dari kurangnya
respon terapi. Penderita haruslah selalu ditanya kemungkinan gejala rekurensi. Kunjungan ulang
dan pemeriksaan mikrobiologi perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi efektivitas terapi
antimikosis dan meningkatkan kepercayaan penderita terhadap regimen yang telah dipilih.

Penggolongan obat antimikotik


Polyenes
Antimikotik golongan polyenes ditemukan pada awal tahun 1950-an. Golongan polyenes
efektif untuk melawan semua spesies ragi karena berikatan dengan membran sel jamur. Efek
pengrusakan membran sel tergantung kuatnya ikatan antara polyenes dengan sterol khususnya
ergosterol yang banyak dikandung oleh dinding sel jamur, sedangkan dinding sel manusia
banyak mengandung kholesterol.
Golongan polyenes yang paling banyak dipakai adalah nystatin yang diberkan secara
topikal, 100.000 U vaginal supositoria selama 12 hari. Obat ini juga aman diberikan pada wanita
hamil. Pemberian peroral tidak dapat diserap oleh usus dan hanya diberikan peroral untuk
mengobati kandidiasis gastrointestinal saja. Dari berbagai penelitian menunjukkan angka
penyembuhan klinis maupun mikrolosis nystatin topikal pada wanita dengan KVV sebesar 7080%.
Golongan polyenes yang lain adalah amphoterisin B 50 mg supositoria vagina, diberikan
selama 7-12 hari.
Golongan polyenes bekerja dengan cara merusak membran sel eukariota dan
menimbulkan efek toksik pada membran jamur. Efek kerusakan membran tersebut karena
polyenes mempunyai daya ikat yang tinggi dengan ergosterol yang membentuk membran sel
jamur.
Azol
Golongan azol dikembangkan sekitar akhir tahun 1960-an dan tersedia dalam bentuk
sediaan topikal dan sistemik.
Imidazol
Imidazol merupakan generasi pertama kelompok azol. Mikonazol adalah imidazol yang
pertama di pasaran, yang lainnya adalah : klotrimazol, ekonazol, ketokonazol, isokonazol,
omokonazol, oksikonazol, fentikonazol dan tiokonazol. Dari semua imidazol hanya ketokonazol
yang mempunyai bentuk oral dan sistemik.
Cara kerja azol termasuk di sini derivat imidazol maupun triazol adalah melakukan
penghambatan 14a-demethylase, suatu enzim dependent cytochrom p 450 yang sangat

diperlukan untuk sintesa ergosterol. Golongan imidazol mempunyai efek penyembuhan klinis
dan mikologis sebesar 85-95%. Pemakaian yang hanya satu kali perhari dan lama pemakaian
hanya 1 sampai 7 hari yang dirasakan lebih nyaman untuk penderita maka banyak dipakai
sehingga menggeser pemakaian nystatin.
Berbagai macam derivat imidazol digunakan secara topikal, berbagai penelitian yang
telah dilakukan tidak membuktikan bahwa obat yang satu lebih superior dari yang lainnya.
Semuanya menunjukkan efektifitas yang sama bila diberikan secara topikal, serta bebas dari efek
samping sistemik.
Sejak imidazol topikal pertama diperkenalkan, klotrimazol 100 mg selama 6 hari,
merupakan terapi jangka panjang. Selanjutnya kecenderungan terapi diarahkan menjadi jangka
pendek, klotrimazol 200 mg diberikan selama 3 hari. Akhir-akhir ini dosis tinggi lokal yang
diberikan hanya 1 kali menjadi lebih disukai (klotrimazol 500 mg) dibandingkan dengan dosis
tunggal peroral dari azol generasi yang berikutnya. Ketokonazol adalah satu-satunya imidazol
yang dapat diberikan peroral dan sekarang mulai digeser pemakaiannya dengan azol yang
lainnya.
Triazol
Azol generasi ketiga adalah goongan triazol yang dikembangkan pada tahun 1980.
Derivat triazol yang pertama adalah itrakonazol, dan yang lainnya adalah flukonazol dan
terkonazol.
Pada penelitian didapatkan angka kesembuhan mikologis 200 mg intrakonazol selama 3
hari sebesar 92% dibandingkan dengan 52 plasebo. Penelitian yang lain membandingkan
pemberian oral itrakonazol dengan topikal klotrimazol selama 3 hari menunjukkan bahwa
pengobatan peroral lebih disukai daripada topikal.
Efek terapi itrakonazol dosis tunggal yang diteliti pada tikus percobaan menunjukkan
dalam waktu 24 jam obat telah mempengaruhi perubahan ultrastruktur dinding sel dan dalam
waktu 3 hari jamur tereradikasi sempurna dari epitel vagina. Penelitian lanjutan terhadap
jaringan vagina manusia menunjukkan 200 mg dosis tunggal itrakonazol peroral memberikan
efek penghambatan dalam waktu 3 hari. Pemanjangan efek itrakonazol diakibatkan karena danya
kemampuan lipofilik obat tersebut. Akhirnya angka penyembuhan klinis dan mikologis tidak
berbeda untuk terapi jangka pendek peroral dari itrakonazol dengan pemakaian topikal golongan

imidazol. Angka penyembuhannya bervariasi antara 70-80% dan menjadi lebih rendah lagi pada
wanita dengan KVV rekuren.
Flukonazol 150 mg dosis tunggal akan mencapai efek terapetik dalam waktu 72 jam
kemudian dan cukup untuk menyembuhan pasien. Konsentrasi yang tinggi flukonazol dalam
plasma dan cairan vagina lebih ditunjukkan dengan 150 mg dosis tunggal daripada regimen 50
mg selama 3 hari.
Efek samping pemberian obat antimikotik golongan azol umumnya adalah rasa tidak
nyaman pada daerah gastrointestinal, dapat terjadi gejala hepatotoksis pada pemberian
ketokonazol (jarang), sedangkan reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi.
Flukonazol secara umum dapat ditoleransi dengan baik walaupun mempunyai efek gastro
intestinal (mual, muntah).
Dari berbagai penelitian perbandingan pemakaian berbagai jenis derivat azol didapatkan
itrakonazol dan klotrimazol lebih efektif daripad aflukonazol pada terapi KVV akut. Penelitian
lain yang membandingkan antara flukonazol, ketokonazol peroral dan klotrimazol topikal
mempunyai daya penyembuhan yang sama sebesar 80%, sedangkan penelitian flukonazol 150
mg dosis tunggal efek penyembuhan mikologis dan klinis sebesar 88-97% setelah 1 minggu dan
penyembuhan mikologis turun menjadi 73% setelah 4-6 minggu.
Kemampuan flukonazol untuk memberantas ragi yang menempel intraseluler lebih baik
daripada golongan imidazol topikal, membuat obat ini sangat berguna untuk wanita yang
menderita KVV rekuren. Efek proteksiflukonazol 150 mg dosis tunggal yang diberikan setiap
bulan akan menurunkan insidensis rekurensi menjadi separuhnya. Dosis juga dapat dimodifikasi
menjadi lebih sering misalnya dengan cara 100-150 mg per minggu.
Itrakonazol dan flukonazol dinyatakan sebagai obat untuk terapi KVV jangka pendek per
oral. Obat ini tidaklah lebih efektif daripada sediaan obat topikal tetapi jelas lebih mahal.
Triazol yang ketiga adalah terkonazol. Terkonazol adalah satu-satunya triazol yang
tersedia dalam bentuk topikal, dengan efektifitas yang sama dengan triazol bentuk oral. Di
Amerika, terkonazol tersedia dalam bentuk krim 0,4 untuk regimen 7 hari dan 0,8% untuk
regimen 3 hari, selain itu tersedia juga bentuk supossitoria vagina 80 mg untuk regimen 3 hari.
Derivat triazol ini mempunyai spektrum aktivitas yang luas, awal kerja yang lebih cepat, lebih
efektif dan lebih kecil efek sampingnya. Pada saat ini terkonazol belum tersedia di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Sobel JD, Faro S, Force WR, Foxman B, Ledger WJ, Nyirjesy PR, et al. Vulvovaginal
Candidiasis : Epidemiologic, Diagnostic, and Therapeutic Considerations. Am J Obstet
Gynecol 1998;178:203-211.

2.

Sobel JD. Vaginitis. N Engl J Med 1997;337:1896-1903.

Central Disease Control. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines 2002. Morb
and Mort Weekly Report 2002;51:RR-6

4.

The CDC 2002 Guidelines For The Treatment Of Sexually Tramsmitted Diseases :
Implication For Womens Health Care. J of Midwifery and Women,s Health 2003;48:96104.

5.

World Health Organization. Guidelines For The Management Of Sexulally Transmitted


Infections 2002.

6.

Csonka GW, Oates JK, editors. Genital Candidiasis in Sexually Transmitted Diseases. A
Textbook Of Genitourinary Medicine. London Philadelpia Toronto Sydney Tokyo. Bailliere
Tindall. W.B. Saunders ;1990.p.293-298

7.

Association For Genitournary Medicine. National Guideline On The Menagement Of


Vulvovaginal Candidiasis 2002.

Anda mungkin juga menyukai