Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

SEPTEMBER 2022

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN ANAK


DENGAN KELAINAN GINJAL

DISUSUN OLEH:
dr.

dr ……….
NIM ……………..

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr.

PPDS …………………….
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
RSUP WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR
2022

i
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama :

NIM :

Telah menyelesaikan Referat dengan judul Penggunaan Kortikosteroid Pada


Pasien Anak dengan Penyakit Ginjal dalam rangka menyelesaikan tugas pada
bagian ………………… Fakultas Kedoketeran Universitas Hasanuddin.

Makassar, September 2022

Supervisor Pembimbing

dr…………..

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................3
2.1 Kortikosteroid......................................................................................................3
2.2 Efek pengunaan kortikosteroid pada anak...........................................................5
2.3 Kelainan Ginjal Pada Anak dan Penggunaan Kortikosteroid..............................7
2.3.1 Sindrom nefrotik...........................................................................................7
2.3.2 Penyakit Ginjal Kronik.................................................................................9
2.3.3 Henoch-Schönlein Purpura (HSP)..............................................................12
BAB III........................................................................................................................14
KESIMPULAN...........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Ginjal merupakan organ penting bagi tubuh manusia karena memiliki fungsi
penting yang dapat membuang zat-zat sisa dan cairan yang berlebihan dari dalam
tubuh. Apabila fungsi ginjal menurun, berbagai penyakit dapat dengan mudah
menyerang dan menyebabkan beberapa masalah pada tubuh manusia, seperti
penumpukan sisa-sisa metabolisme, ketidakseimbangan asam-basa dan penurunan
produksi hormon yang dapat menyebabkan gangguan ginjal. Pada anak, susunan
organ tubuh masih sensitif dibanding orang dewasa karena proses absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi belum bekerja secara maksimal (Farhanditya, et al. 2018).

Masalah yang sering dijumpai pada pasien anak adalah penggunaan obat yang
tidak tepat seperti obat kortikosteroid yang semakin luas digunakan untuk jangka
panjang. Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug. Kortikosteroid
merupakan derivat dari hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal.
Kortikosteroid digunakan sebagai imunosupresan dan antiinflamasi dengan
mengurangi jumlah sel inflamasi termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast dan sel
dendritik. Efek ini dicapai dengan menghambat penarikan dan keberadaan sel
inflamasi (Maudina, 2019).

Dosis penggunaan obat kortikosteroid sistemik atau topikal untuk anak masih

belum diketahui, dosis untuk anak disesuaikan dengan berat badan atau umur. Jika

setelah beberapa hari belum tampak perbaikan, dosis ditingkatkan sampai ada

perbaikan. Pemberian kortikosteroid jangka panjang sekitar lebih dari 1 bulan dengan

dosis kumulatif 290 - 700 mg dan pemberian kortikosteroid yang dihentikan secara

mendadak dapat menimbulkan efek samping samping terhadap penekanan

HyphotalamicPituitary-Adrenal (HPA) aksis, gangguan pengaturan cairan dan

1
elektrolit, hipertensi, hiperglikemi, infeksi, osteoporosis, miopati, gangguan perilaku,

katarak, gangguan pertumbuhan, gangguan distribusi lemak, dan ekimosis (Maudina,

2019).

Penggunaan kortikosteroid pada anak harus dilakukan secara cermat, karena

penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping yang berbahaya. Oleh

karena itu, informasi dosis obat dalam peresepan obat sangatlah penting dalam

memberikan pengobatan pada pasien anak. Penggunaan obat pada pasien anak

bersifat khusus termasuk pada penyakit-penyakit ginjal pada anak karena dapat

mempengaruhi laju perkembangan organ dan kerja sistem dalam tubuh anak yang

masih belum sempurna dalam memetabolisme obat (Ayu and Pambudi, 2021).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat yang mengandung hormon steroid yang berguna

untuk meningkatkan hormon steroid dalam tubuh saat dibutuhkan dan mengurangi

pembengkakan atau peradangan, serta menekan sistem imun yang terlalu aktif

(Kusumah et al., 2022). Kortikosteroid adalah agen terapeutik penting yang

digunakan untuk mengobati gangguan alergi dan inflamasi atau untuk menekan

sistem kekebalan yang tidak diinginkan. Molekul steroid berdifusi melintasi

membran sel dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid, menyebabkan perubahan

konformasi pada reseptor sehingga menghambat faktor transkripsi yang mengontrol

sintesis mediator proinflamasi. Efek penting lainnya adalah penghambatan

fosfolipase A2, yang bertanggung jawab untuk produksi banyak mediator inflamasi

(Amrulloh & Sari, 2022)

Kortikosteroid (CS) adalah hormon steroid yang diproduksi dalam sel dari sterol,

hormon ini disekresikan oleh kelenjar adrenal sebagai respons terhadap sekresi

internal hipofisis yang dikendalikan oleh hormon pelepas kortikotropin hipotalamus.

Steroid membantu dalam pensinyalan kimia di berbagai organisme karena sifatnya

yang lipofilik. Steroid dapat mempengaruhi banyak aspek biologi termasuk

osmoregulasi; metabolisme seluler, diferensiasi seksual, dan fisiologi reproduksi,

3
Sebagian besar steroid yang disintesis disekresikan di ovarium, testis, adrenal, dan

plasenta (Hassanpour & Nikbakht, 2021)

Kortikosteroid dibagi menjadi kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal

tergantung penggunaannya. Kortikosteroid sistemik banyak digunakan dalam

dermatologi dan kortikosteroid dapat sangat membantu dalam berbagai kondisi

kronis (Ayu et al., 2021). Kortikosteroid secara luas dibagi menjadi dua kelompok:

mineralokortikoid dan glukokortikoid. Mineralokortikoid terutama terlibat dalam

pengaturan keseimbangan elektrolit dan air. Glukokortikoid terutama terlibat dalam

metabolisme karbohidrat, lipid dan protein dan memiliki efek vasokonstriktor,

antiproliferatif, antiinflamasi dan imunosupresif. Efek vasokonstriktor,

antiproliferatif, antiinflamasi dan imunomodulator dari glukokortikoid sebagian

besar dihasilkan melalui interaksi dengan reseptor glukokortikoid sitoplasma yang

mempengaruhi transkripsi gen (Almira & Nafianti, 2021).

Kortikosteroid semi-sintetik digunakan untuk terapi penggantian pada penyakit

Addison, hiperplasia adrenal kongenital, antiinflamasi pada rheumatoid arthritis,

peradangan kulit, gangguan vaskular kolagen, asma, pengobatan alergi, percepatan

pematangan paru pada janin, penyakit mata seperti uveitis, konjungtivitis alergi dan

neuritis optik. Kortikosteroid dapat diberikan secara oral, intravena, intramuskular,

intra-artikular, topikal, inhalasi, atau intranasal, dan kemudian diserap secara

sistemik, dan lebih dari 90% kortikosteroid terikat pada globulin atau albumin

pengikat kortikosteroid. Hanya fraksi kortikosteroid yang tidak terikat yang aktif dan

4
dapat masuk ke dalam sel. Kortikosteroid dimetabolisme di hati dan diekskresikan

oleh ginjal (Htun et al., 2021).

2.2 Efek pengunaan kortikosteroid pada anak

Anak-anak tergolong sensitif terhadap obat karena sistem tubuhnya belum siap

untuk merespon dan memetabolisme obat dengan baik. Oleh karena itu, informasi

dosis obat sangat penting dalam pengobatan pasien anak. Penggunaan obat pada

anak menjadi istimewa karena berhubungan langsung dengan laju pertumbuhan

organ, sistem tubuh yang belum sepenuhnya dimetabolisme, dan proses eliminasi

obat pada pasien anak juga berarti penggunaan obat.(Ayu et al., 2021)

Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug karena digunakan hanya

sebagai terapi paliatif yaitu sebagai anti inflamasi yang hanya menghentikan gejala

namun penyebab penyakit masih tetap ada. Kondisi ini mengarah pada fakta bahwa

penggunaan obat kortikosteroid tidak sesuai dengan indikasi, dosis dan lama

pemberian, yang mengarah pada reaksi obat yang tidak diinginkan. Oleh karena itu,

perlu dikaji peresepan sediaan obat kortikosteroid pada anak. (Anggreini et al., 2021)

Penggunaan ciri tertentu sampai jumlah yang yang secara terus menerus dapat

menyebabkan efek yang tidak diinginkan. Pada anak-anak, penggunaan

kortikosteroid dapat menghambat pertumbuhan dan dapat juga memberi pengaruh

terhadap pubertas. Oleh karena itu, penting dalam menggunakan dosis yang efektif

lebih rendah. Untuk pemberian secara berselang sehari dapat membatasi efek

penurunan perkembangan anak. Sedangkan efek dari pemberian kortikosteroid

5
selama masa kehamilan dapat dilihat pada peringatan untuk pemakaian selama

kehamilan dan menyusui (Kusumah et al., 2022).

Kortikosteroid memberikan efek yang luas karena memengaruhi banyak sel di

dalam tubuh. Efeknya berhubungan dengan besarnya dosis. Makin besar dosis,

makin besar efek yang didapat, selain itu ada kaitan antara kortikosteroid dengan

hormone lainnya. Kerjasama ini disebut permissive effects yaitu kortikosteroid

diperlukan supaya timbul efek hormon lain. Mekanismenya diduga melalui pengaruh

steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respons jaringan terhadap

hormon lain. Selain efek metabolik, kortikosteroid juga memiliki efek antiinflamasi,

imunosupresif, antiproliferatif, dan vasokonstriksi.

Dosis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan efek samping yang serius saat

menggunakan kortikosteroid. Efek sampingnya adalah osteoporosis, insufisiensi

adrenal, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, Cushing's Syndrome, tukak

lambung/duodenum, dan lain-lain Kortikosteroid harus digunakan di bawah

pengawasan dokter. Dokter harus mempertimbangkan efek samping dari

kortikosteroid pada tubuh pasien. Namun, hal ini bisa berbahaya karena kurangnya

pengetahuan, pendidikan, dan efek penyembuhan instan dari kortikosteroid. Banyak

orang yang melakukan pengobatan sendiri dan tidak mengetahui efek samping dari

penggunaan obat steroid tanpa dosis yang terkontrol. Karena masyarakat awam

kurang memahami kandungan obat herbal, beberapa herbal pegal linu mengandung

kortikosteroid sehingga efeknya lebih cepat (Nabila et al., 2022).

6
2.3 Kelainan Ginjal Pada Anak dan Penggunaan Kortikosteroid

2.3.1 Sindrom nefrotik

Sindrom nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal yang sering dijumpai pada

anak. Angka kejadian SN pada anak di Indonesia mencapai 6 kasus per tahun per

100.000 anak di bawah usia 14 tahun dengan perbandingan laki-laki dan perempuan.

Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom klinis akibat perubahan selektivitas

permeabilitas dinding kapiler glomerulus, sehingga protein dapat keluar bersama

urin. Sindrom nefrotik terdiri atas proteinuria masif atau proteinuria nefrotik (>40

mg/m2/jam atau >50 mg/kg/24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin

sewaktu >2mg/mg atau dipstik ≥+2), hipoalbuminemia (<2,5 g/dL), edema, dan

hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia (>200 mg/dL) (Pardede and Rahmartani,

2016).

Kortikosteroid merupakan obat lini pertama untuk penyakit ini. Terapi utama
sindrom nefrotik adalah kortikosteroid, yaitu prednison dosis penuh (full dose) 60
mg/m2 LPB/ hari selama 4 minggu dilanjutkan dengan prednison dosis 2/3 nya (40
mg/m2 LPB/hari) tiga hari berturut-turut dalam seminggu (intermitten) atau selang
hari (alternating) selama 4 minggu (Amalia, 2018). Berdasarkan respon terhadap
steroid, SN dibedakan menjadi SN dengan remisi, relaps, kambuh jarang, kambuh
sering, sensitive steroid, dependen steroid, dan resisten steroid (Gambar 1). Sebagian
besar SN memberikan respons terhadap terapi steroid, sedangkan 10% pasien tidak
responsif terhadap steroid. Alur tatalaksana sindrom nefrotik diuraikan pada gambar
2 (Pardede and Rahmartani, 2016).

7
Gambar 1. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan
sindrom nefrotik

Gambar 2. Alur tatalaksana sindrom nefrotik

Sindrom nefrotik resisten steroid memiliki risiko progesivitas yang tinggi untuk
menjadi penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease pada anak dan
dewasa. Selain itu, SNRS memerlukan terapi imunosupresan selain steroid yang

8
dapat menyebabkan berbagai efek samping selain harganya yang relatif mahal.
Sebagian pasien SNRS resisten terhadap satu atau lebih obat imunosupresan,
sedangkan pasien lain responsif tetapi menderita berbagai efek samping. Sampai
saat ini, pengobatan SNRS masih merupakan masalah di bidang nefrologi anak
karena belum ada terapi yang memberikan hasil yang memuaskan dan masih
memerlukan penelitian agar dapat memberikan terapi pilihan bagi anak dengan
SNRS (Pardede and Rahmartani, 2016).

2.3.2 Penyakit Ginjal Kronik

Ginjal memiliki banyak fungsi penting seperti filtrasi, reabsorpsi, regulasi

osmotik, sekresi hormon dan menjaga keseimbangan elektrolit dan asam-basa. Ginjal

mengatur pengeluaran hormon dan enzim seperti adrenalin, eritropoietin, 1-a

hidroksilase, hormon diuretik dan antidiuretik (Mediressia et al., 2021). Penyakit

ginjal kronik (PGK) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kehilangan

fungsi ginjal progresif yang dapat berakhir pada Penyakit Ginjal Tahap Akhir

(PGTA). Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan istilah terbaru yang dikeluarkan

oleh The National Kidney Foundation’s Kidney Disease and Outcome Quality

Initiative (NKF-KDOQI) pada tahun 2002, adalah suatu keadaan dimana terjadi

kerusakan ginjal yang ditandai dengan ada atau tidaknya penurunan laju filtrasi

glomerulus yang terjadi selama minimal 3 bulan (Pambudi, 2015).

Kerusakan ginjal itu sendiri adalah suatu keadaaan abnormal patologis yang

terjadi pada ginjal yang di tandai dengan ditemukannya pertanda atau marker pada

pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah, urin dan juga radiologis.

9
Sedangkan penurununan Laju filtrasi Glomerulus dalam hal ini adalah kurang dari

60ml/menit/1,73m2. Gangguan ginjal stadium akhir atau Chronic Kidney Disease

(CKD) stadium 5 (terminal) menurut Kidney Disease Criteria: Improvement Global

Outcomes (KDIGO) adalah penurunan fungsi ginjal dengan laju filtrasi ginjal kurang

dari 15 mL/menit/1,73 m2 (Pambudi, 2015).

Gambar 3. Klasifikas Penyakit Ginjal Kronik

Penyebab tersering gagal ginjal terminal pada anak adalah kelainan kongenital

pada ginjal dan saluran kemih, terutama pada kelompok anak usia muda, dan focal

segmental glomerulosclerosis (FSGS) pada kelompok anak usia remaja. Beberapa

etiologi primer gagal ginjal terminal memiliki risiko kekambuhan pascatransplantasi

yang relatif lebih tinggi dan meningkatkan risiko kegagalan organ donor di kemudian

hari, seperti FSGS dengan risiko kekambuhan yang mencapai 50-80% dan menjadi

salah satu penyebab kegagalan organ donor atau sindrom hemolitik uremik atipikal

yang memiliki risiko kekambuhan 50-80% dengan risiko kegagalan organ donor

sebesar 90% pada kasus rekuren (Hidayati, 2022).

10
Anak dengan penyakit ginjal stadium akhir harus menjalani terapi pengganti

ginjal, pilihannya biasanya dialisis jangka panjang atau transplantasi ginjal (Hidayati,

2022). Hingga saat ini, transpantasi ginjal merupakan pilihan utama terapi pengganti

ginjal yang dianggap terbaik dari sisi kualitas hidup pasien. Salah satu komponen

penting dalam manajemen pascatransplantasi ginjal adalah obat imunosupresan yang

berfungsi sebagai pengontrol respon imun untuk mencegah penolakan organ

(Hidayati, 2022).

Pemberian imunosupresan secara intensif selama periode perioperatif untuk

mencegah penolakan akut, setidaknya selama tiga bulan pascatransplantasi yang

merupakan periode dengan risiko penolakan akut tertinggi, kemudian diturunkan

bertahap hingga mencapai dosis rumatan dalam 6-12 bulan pascatransplantasi. Pilihan

regimen yang digunakan dalam terapi induksi adalah antibodi poliklonal seperti anti-

thymocyte globulin (ATGAM) atau rATG-thymoglobulin; antibodi monoklonal

seperti alemtuzumab; antibodi terhadap reseptor IL-2 seperti basiliximab; atau agen

nonbiologis (kortikosteroid, penghambat kalsineurin, dan antimetabolit) yang

diberikan dengan dosis lebih tinggi dari dosis rumatan (Hidayati, 2022).

Terapi rumatan merupakan pemberian imunosupresan jangka panjang untuk

mencegah penolakan kronik. Pada fase ini, dosis imunosupresan diturunkan bertahap

hingga dosis optimal terendah untuk mengurangi risiko efek samping, seperti infeksi

atau keganasan. Pemberian kombinasi imunosupresan harus memperhatikan

keseimbangan antara efek imunosupresi untuk mencegah chronic antibody-mediated

11
rejection dengan efek samping yang minimal. Umumnya, pada terapi rumatan

digunakan kombinasi tiga jenis imunosupresan, yaitu penghambat kalsineurin

(takrolimus atau CsA), antimetabolit (MMF atau azatioprin), dan kortikosteroid

(prednison atau metilprednisolon) (Hidayati, 2022).

2.3.3 Henoch-Schönlein Purpura (HSP)

Henoch-Schönlein Purpura (HSP) merupakan vaskulitis yang melibatkan

pembuluh darah kecil pada persendian, ginjal, saluran pencernaan, dan kulit. Penyakit

ini merupakan vaskulitis yang paling umum terjadi pada anak, dengan angka kejadian

10-20 per 100.000 anak per tahun; lebih dari 90% penderitanya berusia di bawah 10

tahun, dengan usia rerata 6 tahun. Pada anak-anak ditemukan rasio laki-laki :

perempuan = 2 : 1; dan pada orang dewasa, rasio laki-laki : perempuan = 1: 1.

Etiologi penyakit ini sampai saat ini belum diketahui. Faktor yang dapat terlibat di

antaranya infeksi saluran pernapasan atas atau gastrointestinal, obatobatan, makanan,

imunisasi, dan bahan kimia yang mengakibatkan kerusakan vaskular lokal atau luas

(Taqiyyah, 2021).

Sebagian besar kasus HSP sembuh sendiri (self-limiting). Tujuan pengobatan

HSP adalah untuk meredakan gejala akut, mencegah morbiditas jangka pendek

(seperti komplikasi abdomen) dan mencegah insufisiensi ginjal kronis. Mengingat

HSP ditandai oleh infiltrasi leukosit pada dinding pembuluh darah bersamaan dengan

deposisi imunoglobulin A, dan karena kortikosteroid menghambat proses inflamasi,

kortikosteroid umum digunakan pada setiap kasus HSP. Namun, hingga saat ini tidak

12
ada konsensus pengobatan HSP dan tata laksana yang paling efektif masih

kontroversial (Taqiyyah, 2021).

Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan Henoch Schonlein Purpura berdasarkan

keterlibatan organ

Pengobatan kortikosteroid dini tidak mencegah perkembangan HSP dan


sebaiknya tidak direkomendasikan secara rutin. Hal ini menyebabkan pilihan
terapeutik HSP menjadi tantangan. Karena selain gejala klinis ginjal yang ringan dan
lesi histologis yang hampir selalu dikaitkan dengan hasil jangka panjang yang baik,
prognosis jangka panjang HSP tidak dapat diprediksi saat onset penyakit. Terlebih
lagi, pedoman terapi HSP masih kurang (Taqiyyah, 2021).

Pengobatan pada HSP membutuhkan waktu yang lama karena menggunakan


kortikosteroid. Tappering off atau penurunan dosis membutuhkan waktu yang lama.
Edukasi kepada orang tua menjadi sangat penting dalam mendampingi proses
pengobatan anak dan mengenai pentingnya mengikuti prosedur pengobatan serta efek
samping dari kortikosteroid jangka panjang ini (Hidayah, et al. 2021)

13
BAB III

KESIMPULAN
Penyakit ginjal merupakan masalah kesehatan pada anak yang banyak memerlukan

perhatian karena prevalensi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan

mortalitas yang juga terus meningkat. Pengobatan penyakit ginjal dengan pemberian

kortikosteroid pada anak harus dilakukan secara cermat, karena anak tergolong

individu yang sangat rentan terhadap obat karena sistem dalam tubuhnya belum

sempurna untuk merespon dan memetabolisme obat secara baik. Penggunaan jangka

panjang termasuk pemberian kortikosteroid dapat menyebabkan efek samping

sehingga informasi dosis dan lama penggunaan obat dalam peresepan sangatlah

penting dalam memberikan terapi pada pasien anak.

14
DAFTAR PUSTAKA

Almira, I. D., & Nafianti, S. (2021). Hubungan Pemberian Kortikosteroid terhadap

Kenaikan Berat Badan pada Anak Penderita Leukemia Limfoblastik Akut Fase

Induksi di RSUP Haji Adam Malik Medan. SCRIPTA SCORE Scientific Medical

Journal, 2(2), 76–83. https://doi.org/10.32734/scripta.v2i2.3409

Amalia, T. Q. (2018) ‘Aspek Klinis, Diagnosis dan Tatalaksana Sindroma Nefrotik

pada Anak’, Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika, 1(2), pp. 81–88.

Amrulloh, F. W., & Sari, R. D. P. (2022). Penggunaan Kortikosteroid Pada Sindrom

Hellp. Jurnal Kesehatan Saintika Meditory, 2(4657), 62–72.

Anggreini, N., Sasangka, D., Eka, A., Aditya, D., & Marlina, D. (2021). Potensi

Inkompatibilitas Terapeutik Penggunaan Kortikosteroid pada Resep Anak

Racikan di Klinik ‘ X ’ Sukoharjo. 1004–1008.

Ayu, R., Pambudi, D. B., & Permadi, Y. W. (2021). Gambaran Karakteristik

Pemakaian Golongan Kortikosteroid Pada Pasien Anak di Puskesmas Kesesi I

Kabupaten Pekalongan. URECOL, 2, 666–669.

http://repository.urecol.org/index.php/proceeding/article/view/1462

Farhanditya, R. A. et al. (2018) ‘Pengaruh Penyuluhan Pada Tingkat Pengetahuan

Masyarakat Tentang Penyakit Ginjal Pada Anak’, Jurnal Pengabdian Kepada

Masyarakat, Vol 2(No 11), pp. 4–6.

Hassanpour, S. H., & Nikbakht, J. (2021). A Comprehensive Review on Covid-19.

Zahedan Journal of Research in Medical Sciences, In Press(In Press), 4219–

4229. https://doi.org/10.5812/zjrms.109853

15
Hidayah, N., Luthfia, R. and Anindhita (2021) ‘Henoch-Schonlein Purpura Pada

Anak : Laporan Kasus’.

Hidayati, E. L. (2022). Luaran Jangka Panjang Transplantasi Ginjal pada Anak. Sari

Pediatri, 23(5), 346. https://doi.org/10.14238/sp23.5.2022.346-52

Htun, Z. T., Schulz, E. V., Desai, R. K., Marasch, J. L., McPherson, C. C.,

Mastrandrea, L. D., Jobe, A. H., & Ryan, R. M. (2021). Postnatal steroid

management in preterm infants with evolving bronchopulmonary dysplasia.

Journal of Perinatology, 41(8), 1783–1796. https://doi.org/10.1038/s41372-021-

01083-w

Kusumah, I. P., Pribadi, F., Basudewo, D. P., Walukow, R. D., Atmadjaja, A., Iring,

A. R., Maskim, D. N., & Nasyira, R. (2022). Pengaruh Penggunaan

Kortikosteroid Pada Pasien Gout: Review LiteratuR. Jurnal Ilmiah Permas:

Jurnal Ilmiah STIKES Kendal, 12(2).

Maudina, R. (2019) ‘Profil Ketepatan Dosis Dan Indikasi Penggunaan Kortikosteroid

Pada Pasien Anak Di Instalasi Rawat Inap Rsud Sultan Syarif Mohamad

Alkadrie Pontianak’, 23(4), pp. 1–16

Mediressia, A. et al. (2021) ‘Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Defisiensi

dan Insufisiensi Vitamin D pada Pasien Anak dengan Penyakit Ginjal Kronis’,

Sari Pediatri, 23(1), p. 36. doi: 10.14238/sp23.1.2021.36-42

Nabila, A. N., Dwiani, G., Tubarad, T., & Azzahra, V. (2022). Descriptive Study :

Attitude and Behaviour Regarding Oral Corticosteroid Use in Bebita Clinic

Cicurug , Sukabumi in 2019. 3(1), 10–18. https://doi.org/10.24853/mmj.3.1.10-

16
18

Nurhasnah, N., Elvina, R., & Lestari, D. (2016). Kejadian Infeksi Pada Pasien

Sindrom Nefrotik Di Rumah Sakit “ X ” Jakarta. 122–131.

Pambudi, Arif Rifqi and Muryawan, M. Heru (2015) Karakteristik Kejadian Penyakit

Ginjal Kronik Pada Sindrom Nefrotik Anak. Undergraduate thesis, Faculty of

Medicine.

Pardede, S. O. and Rahmartani, L. D. (2016) ‘Tata Laksana Sindrom Nefrotik

Resisten Steroid pada anak’, Majalah Kedokteran UKI, XXXII(2), pp. 90–99.

Setiawan, O., Sari, M., & Susiyarti, S. (2021). Gambaran Penggunaan Obat

Kortikosteroid Di Puskesmas Talang Kabupaten Tegal.

Taqiyyah, M. H. (2021) ‘Penggunaan Steroid Sistemik pada Henoch Schonlein

Purpura’, Cermin Dunia Kedokteran, 48(11), p. 377. doi:

10.55175/cdk.v48i11.1562.

17

Anda mungkin juga menyukai