Anda di halaman 1dari 21

Referat

KORTIKOSTEROID SISTEMIK

Oleh:
Anggun Fitri Utami, S.Ked 04054822022012

Pembimbing:
Dr. dr. Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

KSM/BAGIAN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN
Referat

Topik
Kortikosteroid Sistemik

Oleh
Anggun Fitri Utami, S.Ked 04054822022012

Pembimbing
Dr. dr. Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di KSM/Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas
Kedokteran Univesitas Sriwijaya/Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang
Periode 18 Agustus – 2 September 2020.

Palembang, Agustus 2020


Pembimbing

Dr. dr. Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Kortikosteroid
Sistemik”. Referat ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
KSM/Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Univesitas
Sriwijaya/Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Rusmawardiana,
Sp.KK(K), FINSDV, FAADV selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
referat ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan agar laporan ini
dapat memberi manfaat bagi para pembaca.

Palembang, Agustus 2020

Penulis
KORTIKOSTEROID SISTEMIK
Anggun Fitri Utami, S.Ked
Pembimbing : Dr. dr. Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Bagian/Departemen Dermatologi Dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang

PENDAHULUAN
Hormon adrenokortikotropin (ACTH) dan adrenokortikosteroid
(kortikosteroid) merupakan hormon yang berasal dari kelenjar yang berlainan,
tetapi memiliki hubungan dalam fungsi fisiologi dan efek farmakologi. Sekresi
hormon steroid dikendalikan oleh pelepasan kortikotropin (ACTH). Bagian
korteks adrenal mengeluarkan hormon-hormon steroid ke dalam sirkulasi tubuh
yang terbagi atas dua bagian, yaitu glukokortikoid dan mineralkortikoid.
Glukokortikoid terdiri dari hormon kortisol dan kortikosteron yang terdapat di
zona fasikulata yang berperan penting sebagai metabolisme untuk meningkatkan
sistem imun tubuh. Mineralkortikoid atau hormon aldosteron terdapat di zona
glomerulosa yang berperan dalam keseimbangan air dan elektrolit dalam tubuh.1
Kortikosteroid sistemik digunakan sebagai terapi dermatologi karena
mempunyai efek immunosupresan dan anti-inflamasi. Penelitian yang dilakukan
oleh Hench (1949) berhasil membuktikan efek terapi kortison dan ACTH pada
pasien rheumatoid artritis. Kortikostreoid sistemik bekerja dengan mempengaruhi
kecepatan sintesis protein. Efek samping yang timbul pada pemberian
kortikosteroid sistemik dipengaruhi oleh dua penyebab, yaitu penghentian
pemberian secara tiba-tiba dan pemberian terus-menerus dengan dosis tinggi.2,3
Kortikosteroid sistemik sering digunakan untuk penyakit yang
penyembuhannya lama atau penyakit berat yang dapat menyebabkan kematian di
bidang dermatologi.2,4 Penelitian dengan sampel besar dari General Practice
Research Database di Inggris tahun 2000 melaporkan bahwa 0,9% populasi
tersebut menggunakan kortikosteroid oral dan penyakit kulit sebagai indikasi
pemberian menempati urutan kedua setelah penyakit saluran pernapasan.5
Kortikosteroid sering disebut life saving drug karena sebagai obat anti-
inflamasi, kortikosteroid berfungsi sebagai terapi paliatif, yaitu menghambat
gejala saja namun penyebab penyakit masih tetap ada. Hal ini menyebabkan
kortikosteroid banyak digunakan tidak sesuai dengan indikasi, dosis, dan lama
pemberian.1 Oleh karena itu, penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
aspek farmakologi dan penggunaan klinis kortikosteroid sistemik pada kelainan
kulit.

DEFINISI
Kortikosteroid merupakan agen terapeutik penting untuk mengatasi alergi
dan inflamasi dengan cara menekan sistem kekebalan tubuh. Kortikosteroid
adalah hormon steroid yang diproduksi dan disekresikan oleh kelenjar adrenal
sebagai respons terhadap hormon adrenokortikotropin (ACTH) yang diatur oleh
corticotropin releasing hormone (CRH) yang diproduksi di hipotalamus.2,6
Kortikosteroid terbagi atas glukokortikoid yang mengatur metabolisme
penyimpanan glikogen hepar dalam mempertahankan homeostasis dan efek anti-
inflamasi, dengan kortisol (hidrokortison) sebagai prototipenya dan
mineralokortikoid yang mengatur keseimbangan air dan elektrolit dengan
aldosteron sebagai prototipenya.5 Golongan mineralkortikoid tidak pernah
digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya terhadap keseimbangan air
dan elektrolit terlalu besar. Steroid lain yang diproduksi oleh korteks adrenal
adalah dehydroepiandrosterone (DHEA) dan bentuk sulfatnya (DHEAS) yang
merupakan androgen adrenal yang diketahui sebagai sumber utama estrogen pada
menopause dan gangguan fungsi ovarium pada usia muda.1
Kortikosteroid di dalam korteks adrenal tidak disimpan, tetapi harus
disintesis terus-menerus. Jika biosintesis berhenti walau hanya beberapa menit,
jumlah yang tersedia di dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan normal. Oleh karena itu, kecepatan biosintesis harus disesuaikan
dengan kecepatan sekresinya.1,5
Sintesis dan pelepasan kortisol oleh korteks adrenal mengikuti variasi diurnal
(mencapai kadar tertinggi pagi hari lalu menurun sepanjang hari dan kadar
terendah pada malam hari), pengobatan menggunakan kortikosteroid sekali sehari
dilakukan meniru keadaan fisiologis ini, yaitu dengan pemberian obat pada pagi
hari.1,5
Tabel 1. Kecepatan Sekresi dan Kadar Plasma Kortikosteroid Utama pada Manusia1
Kecepatan sekresi dalam Kadar plasma
keadaan optimal (mg/hari) (µg/100 mL)
Jam 08.00 Jam 16.00
Kortisol 20 16 4
Aldosteron 0,125 0,01 -

KLASIFIKASI
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan secara oral dan parenteral (IV, IM,
intrasinovial dan intralesi). Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga
golongan berdasarkan masa kerja dengan aktivitas biologis. Potensi sediaan
ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium, efek glukoneogenesis, dan khasiat
anti-inflamasi.1,4
Tabel 2. Dosis Ekuivalen dan Potensi Relatif Kortikosteroid1,5
Dosis Aktivitas Aktivitas Masa Sediaan
ekuivalen glukokortikoid mineralokortikoid kerja (jam)
(mg) (anti-inflamasi) (retensi natrium)
Mineralokortikoid
Fludrokortison - 10-15 125-150 Oral
Glukokortikoid kerja singkat
Kortison 25 0,8 0,8 8-12 Oral, parenteral
Hidrokortison (kortisol) 20 1 1 8-12 Oral, parenteral,
topikal
Glukokortikoid kerja sedang
Prednison 5 4 0,8 12-36 Oral
Prednisolon 5 4 0,8 12-36 Oral
Metilprednisolon 4 5 Minimal 12-36 Oral, parenteral
Triamsinolon 4 5 0 12-36 Oral, parenteral,
topikal
Glukokortikoid kerja lama
Deksametason 0,75 30 Minimal 36-72 Oral, parenteral,
topikal
Betametason 0,6 30 Diabaikan 36-72 Oral, topikal
Dosis ekuivalen dan potensi relatif kortikosteroid dapat dilihat pada tabel 2.
Hidrokortison lebih aman digunakan untuk anak karena efek supresi yang rendah
terhadap pertumbuhan. Prednison adalah kortikosteroid sistemik yang paling luas
digunakan untuk kondisi kronis karena harganya yang murah dan digunakan
sebagai anti-inflamasi atau imunosupresi karena aktivitas glukokortikoid yang
relatif tinggi dibandingkan mineralkortikoid. Metilprednisolon memiliki aktivitas
mineralkortikoid yang lebih kecil lagi, sehingga disarankan untuk kasus yang efek
mineralkortikoidnya tidak diinginkan. Deksametason juga memiliki aktivitas
mineralkortikoid minimal, tetapi jauh lebih poten dan masa kerja juga lebih
panjang. Pada penyakit berat dan sukar menelan, seperti Sindrom Steven Johnson
dan Toksis Epidermal Nekrolisis biasanya diberikan deksametason IV dosis tinggi
dan jika masa kritis telah diatasi dan penderita sudah dapat menelan maka diganti
dengan prednison oral.2 Pengobatan jangka panjang dengan deksametason dapat
menyebabkan supresi berat korteks adrenal, sehingga disarankan dengan
penggunaan jangka pendek pada kondisi akut dan sangat berat.4,5 Terapi jangka
pendek didefinisikan sebagai terapi dengan waktu kurang dari 3 bulan, jangka
menengah antara 3-6 bulan, serta jangka panjang bila lebih dari 6 bulan. Prednison
lebih dari 20 mg/hari selama lebih dari 3 bulan juga termasuk pemberian dosis
tinggi jangka panjang.7
Efek kortikosteroid berhubungan dengan dosis, yakni makin besar dosis
akan makin besar pula efeknya tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu.
Ada juga keterkaitan kerja dengan hormon lain melalui kerjasama permissive
effects, yaitu pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah
respons jaringan terhadap hormon lain.1 Kortikosteroid diberikan dalam dosis
rendah (setara prednison ≤7,5 mg/hari), dosis menengah (>7,5 mg-30 mg/hari),
dosis tinggi (>30 mg-100 mg/ hari), dan sangat tinggi (>100 mg/hari). Selain
harian, kortikosteroid juga dapat diberikan dalam terapi denyut untuk berbagai
kelainan kulit, yakni pemberian dosis besar dalam waktu singkat dan berselang
agar segera mendapat efek maksimal dan di sisi lain akan mengurangi efek
samping penggunaan jangka panjang.5 Pemberian dosis kortikosteroid bersifat
sangat individual tergantung kondisi penyakit, potensi interaksi, serta respons
terapi. Pada kelainan endokrin, dosisnya mendekati dosis fisiologis, sedangkan
pada gangguan non-endokrin (penyakit kulit) diberikan dosis terapi untuk
menekan inflamasi.1,5 Pada pengobatan dermatosis dengan kortikosteroid sistemik,
bila telah mengalami perbaikan maka dosis diturunkan secara perlahan agar
penyakit tidak mengalami eksaserbasi, tidak terjadi supresi korteks adrenal dan
sindrom putus obat.2

MEKANISME KERJA
Kortikosteroid mempengaruhi kecepatan sintesis protein, dimulai dari
difusi pasif ke dalam sel, bereaksi dengan reseptor protein spesifik sitoplasma
membentuk kompleks steroid-reseptor, mengalami perubahan konformasi dan
bergerak menuju nukleus untuk berikatan dengan kromatin, lalu menstimulasi
transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik untuk mewujudkan efek fisiologis
steroid.1 Berikut ini beberapa efek fisiologi steroid :

1. Efek anti-inflamasi
Kortikosteroid mengeluarkan efek anti-inflamasi dengan cara aktivasi
transkripsi gen anti-inflamasi/represi transkripsi gen proinflamasi. 4
Glukokortikoid menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrien melalui
hambatan fosfolipase A2 dalam melepaskan asam arakhidonat (supresi
perubahan vaskular).8 Efek imunosupresif didapat dengan menekan produksi
dan efek dari faktor humoral dalam respon inflamasi, menghambat migrasi
leukosit ke situs inflamasi, dan mengganggu fungsi sel endotelial, granulosit,
sel mast, dan fibroblas. Beberapa sitokin dipengaruhi secara langsung oleh
kortikosteroid, termasuk IL-1, faktor- α nekrosis tumor, faktor stimulasi
koloni granulosit- makrofag, dan juga IL-8.8,9 Steroid menyebabkan konstriksi
kapiler pada dermis superficial, sehingga dapat mengurangi eritema.
Pemberian agen kortikosteroid untuk vasokontrik juga berkorelasi pada
potensi anti inflamasi.4
2. Efek anti proliferatif
Glukokortikoid menghambat sintesis deoxyribonucleic acid (DNA) dan
turnover sel epidermis.4
3. Efek anti pruritus
Efek anti pruritus dikaitkan dengan penghambatan histamin dan mediator
lainnya.4

INDIKASI
Pada kasus dermatologi berat, kortikosteroid sistemik umumnya
digunakan dalam jangka panjang dan harus diberikan dalam dosis minimal yang
masih efektif. Berikut ini beberapa prinsip terapi yang perlu diperhatikan sebelum
kortikosteroid digunakan:1
 Dosis kortikosteroid ditentukan secara trial and error, dan harus dievaluasi
dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit. Pada keadaan
yang dapat mengancam nyawa pasien, misalnya pemfigus maka dosis awal
harus cukup besar dan jika dalam beberapa hari belum terlihat efeknya,
dosis dapat dilipatgandakan.
 Dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya
 Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa danya kontraindikasi
spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar
 Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis
melebihi dosis subtitusi, insiden efek samping dan efek letal potensial akan
bertambah
 Penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal atau kuratif,
tetapi hanya besifat paliatif karena efek antiinflamasinya.
 Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi kortikosteroid jangka
panjang dengan dosis besar mempunyai risiko tinggi terjadinya insufisiensi
adrenal dan dapat mengancan jiwa pasien
Berikut ini beberapa penyakit dengan indikasi tatalaksana menggunakan
kortikostreroid sistemik:3,11
1. Penyakit lepuh berat (pemfigus, pemfigoid bulosa, pemfigoid sikatrik,
linear IgA dermatosis bulosa, epidermolisis bulosa akuisita, herpes
gestasionis, eritema multiformis, nekrolisis epidermal toksik)
 Pemfigus
Pemfigus merupakan penyakit autoimun bulosa serius yang
menyebabkan akantolisis kulit dan membran mukosa dan sering

menyebabkan kematian apabila tidak diterapi secara adekuat. Terapi lini


pertama ialah glukokortikoid sistemik, dimulai dengan dosis 1
mg/kgBB/hari. Respon klinis yang bagus biasanya tampak setelah 2-3
bulan, kemudian dosis dapat diturunkan menjadi 40mg/hari dan di
tapering of selama 6-9 bulan sampai dosis pemeliharaan 5 mg selang
sehari). Pada klinis yang berat dapat diberikan kortikosteroid terapi denyut
dengan metalprednisolon sodium suksinat IV selama 2-3 jam, 250-1000
mg atau injeksi deksametason/prednisolon IV 1 g/hari selama 4-5 hari.3,11
 Pemfigoid bulosa
Pemfigoid bulosa sering terjadi pada usia tua disertai dengan lesi
urtikaria gatal dan bulla besar. Sebagian kecil pasien mengalami erosi
membrane mukosa pada mulut. Pengobatan kortikosteroid sistemik
menggunakan prednison dengan dosis awal 0,75-1 mg/kg setiap hari.
Komplikasi yang sering timbul akibat kortikosteroid sistemik ialah
osteoporosis, diabetes dan imunosupresi.
 Pemfigoid sikatrik
Pemfigoid sikatrik adalah penyakit autoimun kronis yang jarang
terjadi yang ditandai dengan lesi erosif pada selaput lendir dan kulit.
Pengobatan kortikosteroid dengan prednisone 20-60 mg setaiap pagi hari.
 Dermatosis bulosa igA linear
Dermatosis IgA linear atau chronic bullous disease of childhood
(CBDC) merupakan penyakit bulosa didapat pada kulit dan membran
mukosa yang ditandai secara khas oleh deposisi linear IgA sepanjang zona
membran basalis. Prinsip pengobatan ialah mengurangi pruritus dan
menekan inflamasi. Pengobatan steroid sistemik (prednison 60-80 mg/hari)
disertai dengan steroid sparing agent (azathioprine atau MTX). Dosis
steroid diturunkan secara perlahan untuk mencegah relaps.11
 Epidermolisis bulosa akuisita
Epidermolisis bulosa akuisita (EBA) adalah penyakit bulosa autoimun
sporadis dengan etiologi yang tidak diketahui dan tanpa predisposisi
gender, etnis, atau geografis. Penggunaan kortikosteroid sistemik sering
dianjurkan yaitu prednison dosis 1-1,5 mg/kg.
 Herpes gestasionis
Herpes gestasionis jarang terjadi, gejala yang ditimbulkan seperti
urtikaria yang sangat gatal, ruam selama akhir kehamilan atau periode
postpartum. Pengobatan kortikosteroid sistemik dengan prednisone
(prednisolon) 0,5mg/kg setiap hari.
 Eritema multiformis
Eritema multiformis merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada
kulit dan kadang-kadang pada selaput lendir dengan gambaran khas bentuk
iris (target lesion)berupa vesikel dikelilingi dengan lngkaran yang pucat
dan merah. Pengobatan kortikosteroid biasanya diberikan, yaitu prednisone
3x10 mg/hari.12
 Nekrolisis epidermal toksik
Nekrolisis epidermal toksik (NET), adalah reaksi mukokutaneus yang
mengancam jiwa, ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis
ekstensif. Pengobatan steroid dengan deksametason iv 0,15-0,2
mg/kgBB/hari setelah masa kritis diatasi (2-3 hari) dosis segera diturunan
cepat (5 mg/hari), setelah dosis rendah, dapat diganti dengan peroral
(prednison 2x20 mg/hari).11

2. Penyakit jaringan ikat (dermatomiositis, SLE, eosinofilik fasitis,


polikondritis kambuhan/relapsing)
 Dermatomiositis
Dermatomiositis (DM) adalah penyakit autoimun kronis multifaktorial
dengan perubahan karakteristik kulit dan keterlibatan berbagai sistem
organ termasuk otot, pembuluh darah, persendian, kerongkongan, dan
paru-paru. Kelainan pada kulit yang dapat terjadi ialah poikiloderma,
edema periorbital tanpa perubahan warna kulit dan pembengkakan pada
wajah. Pengobatan kortikosteroid sistemik dengan prednison dosis awal
0,5-1 mg/kg setiap hari.16
 SLE
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun
multisistem di mana organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang
dimediasi oleh autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun.
Manifestasi mukokutan meliputi fotosensitivitas yang dapat dikenali
dengan pembentukan ruam (malar rash), eksaserbasi ruam yang telah ada
sebelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan (exagerrated
sunburn), atau gejala seperti gatal atau parestesis setelah terpajan sinar
matahari atau sumber cahaya buatan. Kortikosteroid sistemik yang dapat
diberikan, yaitu prednison oral dengan dosis awal 1-2mg/kgBB setiap
hari.18
 Eosinofilik fasitis
Eosinofilik fasitis merupakan sindrom sklerodermiform yang jarang
ditemui dengan etiologi yang tidak diketahui. Penyakit ini ditandai dengan
penebalan fasia otot dan jaringan subkutan, dengan infiltrasi eosinofil yang
bervariasi. Pengobatan glukokortikoid dosis tinggi merupakan obat lini
pertama pada eosinofilik fasitis, yaitu dengan prednisone dosis ekuivalen 1
mg/kgBB setiap hari.19
 Poilokondritis kambuhan/relapsing
Poilokondritis relaps merupakan penyakit autoimun multisistem yang
jarang terjadi dengan reaksi autoantibodi maupun imunitas seluler terhadap
protein kartilago yang berbeda. Lesi kulit yang sering timbul ialah nodul,
ulkus dan purpura. Jika gejala serius muncul, dapat diberikan
kortikosteroid sistemik oral 0,3-1 mg/kgBB.
3. Vaskulitis
Vaskulitis adalah inflamasi pada pembuluh darah, sel infiltrat terutama
neutrofil. Pengobatan kortikosteroid dengan dosis ekuivalen prednison 40- 60
mg sehari dosis terbagi.
4. Dermatosis neutrofilik (pioderma gangrenosum, dermatosis neutrofilik
febril akut, Behcet disease)
 Pioderma gangrenosum
Pioderma gangrenosum merupakan penyakit inflamasi yang jarang
terjadi dan etiologi yang tidak diketahui ditandai dengan infiltrasi nutrofil
dari kulit. Lesi kulit yang dapat timbul ialah ulkus, pustul dan bulla.
Pengobatan pioderma gangrenosum direkomendasikan menggunakan
kortikosteroid sistemik.
 Dermatosis neutrofilik febril akut
Dermatosis neutrofilik febril akut (sweet syndrome) ditandai dengan
onset akut demam, neutrofilia, eritematosa, dan nyeri tekan pada lesi kulit
berwarna merah keunguan dan terkadang dijumpai papul, nodul, plak dan
lain-lain. Gejala lain yang dapat timbul ialah sakit kepala, myalgia dan
atralgia. Pengobatan kortikosteroid yang diberikan ialah metilprednisolon
iv.
 Behcet disease
Behcet disease adalah penyakit auto inflamasi yang dipicu oleh infeksi
dan faktor lingkungan pada individu yang memiliki kecenderungan
genetik. Penyakit ini ditandai dengan ulkus aphthous oral dan genital
berulang. Pengobatan dengan kortikosteroid sistemik yaitu
metilprednisolon 40 mg IM setiap 3 pekan.17
5. Sarkoidosis
Sarkoidosis adalah penyakit granulomatosa multisistem yang belum
diketahui penyebabnya dan umumnya sering terjadi pada mata, hati, jantung,
saraf, muskuloskeletal, ginjal, sistem endokrin dan kulit. Lesi kulit
sarkoidosis terdiri atas proses spesifik (makulopapula, nodus, plak, jaringan
parut, dan lupus pernio) dan nonspesifik (eritema nodosum). Terapi lini
pertama pada sarkoidosis ialah kortikosteroid sistemik dengan prednison 30-
40 mg setiap hari.14,15
6. Reaksi kusta tipe I
Reaksi kusta I (reversal) adalah interupsi dengan episode akut pada
perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik dengan bercak kulit
meradang (merah), bengkak, berkilat, hangat dan kadang-kadang hanya pada
sebagian lesi. Pengobatan steroid sistemik dengan prednison 40 mg/hari (1x8
tab) pagi hari pada 2 pekan pertama dan selanjutnya diturunkan bertahap.
7. Hemangioma infantil
Hemangioma infantil adalah tumor jinak pada anak-anak yang terjadi
akibat gangguan pada perkembangan dan pembentukan pembuluh darah di
beberapa organ termasuk kulit. Tatalaksana menggunakan kortikosteroid,
prednison dengan dosis oral 20-30 mg setiap hari selama 2-3 minggu dan
perlahan diturunkan dengan lama pengobatan mencapai 3 bulan.13
8. Panikulitis
Panikulitis adalah peradangan lapisan lemak di bawah kulit yang sering
terjadi pada tangan dan kaki. Bentuk paling umum yang terjadi ialah eritema
nodosum. Penggunaan kortikosteroid (1-2 mg/kg oral atau IV setiap hari).
9. Urtikaria atau angioedema
Urtikaria merupakan suatu kelompok penyakit/kelainan/ kondisi yang
mempunyai kesamaan pola reaksi kulit yang khas yaitu perkembangan lesi
kulit urtikarial yang berakhir 1-24 jam dan/atau angioedema yang berakhir
sampai 72 jam. Prinsip pengobatan dengan mengatasi keadaan akut pada
angioedema yang dapat terjadi obstruksi saluran napas dengan pemberian
kortikosteroid sistemik setara prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari, dosis
diturunkan 5 – 10 mg/hari.
KONTRAINDIKASI
Belum ada kontraindikasi absolut kortikosteroid sampai saat ini, namun
penting untuk diperhatikan antara risiko dan manfaat sebelum obat diberikan.
Pemberian dosis tunggal besar dapat diberikan pada keadaan yang mengancam
jiwa pasien. Bila obat diberikan secara terus-menerus, kontraindikasi relatif
seperti diabetes mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi berat hipertensi dan
gangguan sistem kardiovaskuler perlu diperhatikan.1

EFEK SAMPING
Penggunaan kortikosteroid yang tidak sesuai indikasi dapat menimbulkan
berbagai efek samping. Efek samping kortikosteroid dapat timbul karena
penghentian secara tiba-tiba atau pemberian terus-menerus dengan dosis tinggi.1,5
Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan secara tiba-tiba
dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut. Insufisiensi terjadi akibat kurang
berfungsinyakelenjar adrenal yang telah lama tidak memproduksi kortikosteroid
endogen karena rendahnya mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid eksogen.1
Secara fisiologis, jika steroid dihentikan mendadak, hipotalamus-hipofisis
merangsang produksi kortisol untuk mempertahankan kerja kardiovaskular dan
kontrol glikemik, namun dalam hal ini adrenal tidak merespons lagi karena telah
mengalami atrofi setelah lama tidak digunakan. Gejala supresi adrenal meliputi
demam, malaise, iritabilitas, mual, mialgia, artralgia, hipotensi, namun adakalanya
tidak spesifik dan tidak dikenali sampai terpajan stres fisiologis (trauma, penyakit,
pembedahan), yang dapat menyebabkan krisis adrenal.5
Penggunaan kortikosteroid secara terus-menerus dapat menyebabkan
Sindrom Cushing (hiperkortisolisme) dengan tanda khas seperti moon face,
buffalo hump, timbunan lemak supraklavikular, obesitas sentral, ekstremitas
kurus, striae, akne, ekimosis dan hirsutisme. Sindron Cushing terjadi akibat
tingginya kortisol darah dalam jangka waktu lama dengan asupan kortikosteroid
sebagai penyebab eksogen. Pengaruh hiperglukokortikoid terhadap sel-sel lemak
adalah meningkatkan enzim lipolisis sehingga terjadi hiperlipidemia dan
hiperkolesterolemia. Pada sindrom Cushing ini terjadi redistribusi lemak yang
khas. Lemak terkumpul di dalam dinding abdomen, punggung bagian atas yang
membentuk buffalo hump. Pengaruh mineralkortikoid terhadap sindrom Cushing
terlihat pada gejala moon face yaitu wajah yang bulat akibat retensi natrium. Efek
samping lain akibat pengobatan lama yaitu, gangguan neuropsikiatrik, kelainan
mata (katarak, glaukoma), penyakit kardiovaskular (hipertensi, infark
miokardium, gagal jantung), glikosuria, hiperkoagulabilitas, gangguan
gastrointestinal (tukak peptik), hiperglikemia, gangguan cairan dan elektrolit,
kelainan kulit (atrofi kulit, purpura, striae eritema, erupsi akneiform, dermatitis
perioral, hirsutisme, kerusakan mekanisme penyembuhan luka), lipodistrofi
(gambaran Cushingoid), miopati, osteoporosis, infeksi akibat imunosupresi, serta
supresi korteks adrenal.1,5,10

PENCEGAHAN
Pada pengobatan kortikosteroid jangka pendek umumnya tidak terjadi efek
samping yang berbahaya, tetapi pengobatan jangka panjang (bulan/tahun) perlu
dilakukan beberapa tindakan pencegahan. Berikut ini tindakan pencegahan yang
dapat dilakukan:1,3
 Diet
Diet yang dianjurkan ialah diet rendah kalori, lemak, natrium dan diet
tinggi protein, kalium dan kalsium. Asupan protein penting untuk
mengurangi pemborosan nitrogen yang diinduksi steroid.
 Pemberian antibiotik
Pada pasien dengan tuberkulosis kulit (positif PPD) diberikan terapi
profilaksis dengan isoniazid. Pemberian antibiotic dilakukan pada
pemberian prednisone >40 mg/hari.
 Imunisasi
Imunisasi dengan vaksin hidup dapat dilakukan pada pengobatan jangka
pendek (kurang dari 2 minggu) dengan dosis berapapun.
 Antasida
Tukak peptik kadang terjadi pada pengobatan kortikosteroid. Pemberian
dosis tinggi sebaiknya dilakukan saat lambung terisi, dan di antara waktu
makan diberikan antasid (cimetidin, ranitidin, nizatidin, atau famotidin).

Tabel 3. Screening pencegahan efek samping steroid jangka panjang (≥3 bulan).3,5

Efek Samping Pemeriksaan


Hipertensi Pengukuran tekan darah setiap kunjungan
Peningkatan berat badan Diet rendah kalori dan pengukuran berat badan setiap kunjungan
Reaktivasi infeksi Skrining tuberculosis, hepatitis, infeksi jamur
Profilaksis pneumonia (Pneumocystis carinii)
Abnormalitas metabolik Pemeriksaan profil lipid, kadar glukosa, elektrolit (nilai dasar, ulang
(dislipidemia,hiperglikemia, berkala)
gangguan elektrolit)
Kelainan mata (katarak, Pemeriksan slit lamp (setiap 6-12 bulan)
glaukoma) Pemeriksan TIO (1 bulan pertama, setiap 6-12 bulan)
Gangguan neuropsikiatrik Skrining riwayat psikosis/gangguan afektif berat lain
Tukak Peptik Pasien dengan dua/lebih faktor risiko, profilaksis dengan H2A
(ranitidin) /PPI (Omeprazol)
Osteoporosis Pemeriksaan BMD (nilai dasar, ulang berkala), suplemen vit D dan
kalsium
Supresi korteks adrenal Pemeriksaan kortisol serum pukul 8 pagi sebelum tapering off
dengan prednison <3 mg / hari. Jika <10 g / dL, ulangi setiap 1–2
bulan dan pertahankan dosis prednison rendah sampai kortisol awal
mencukupi

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul akibat penggunaan kortikosteroid jangka
panjang dengan dosis tinggi.3 Berikut ini beberapa kasus komplikasi yang dapat
timbul:1,2,3
 Osteoporosis
Osteoporosis merupakan komplikasi berat yang dapat menyebabkan
fraktur. Hal ini disebabkan karena glukokortikoid menghambat osteoblas,
meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal, menurunkan absorpsi kalsium di
intesitinal dan meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas. Bila terdapat
gejala osteoporosis, pengobatan harus dihentikan. Hal ini perlu
diperhatikan pada wanita menopause yang sedang mendapat pengobatan
kortikosteroid
 Avaskular Nekrosis
AVN dengan gejala nyeri sendi dan sulit digerakkan. Glukokortikoid
menginduksi apoptosis osteoblas yang kemungkinan berkontribusi pada
AVN.
 Aterosklerosis
Penggunaan kortikosteroid dosis besar pada pasien ini harus disertai
pemberian antikoagulan sebagai terapi profilaksis.
 Efek psikiatri
Gangguan psikiatri sering timbul pada pasien yang sebelumnya pernah
mengalami psikosis. Gejala yang dapat timbul seperti nervositas,
insomnia, perubahan mood serta timbulnya tipe psikopati manik depresif
atau skizofrenik. Hal ini disebabkan adanya gangguan keseimbangan
elektrolit di dalam otak sehingga mempengaruhi kepekaan otak. Gangguan
psikiatri ini dapat hilang segera setelah obat dihentikan.

KESIMPULAN
Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang diproduksi dan
disekresikan oleh kelenjar adrenal sebagai respons terhadap hormon
adrenokortikotropin (ACTH). Kortikosteroid terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu
glukokortikoid yang berperan dalam metabolisme glukoneogenesis dan
mineralkortikoid yang berperan dalam keseimbangan air dan elektrolit di dalam
tubuh.
Kortikosteroid sistemik sering digunakan sebagai obat lini pertama pada
kasus dermatologi karena memiliki efek anti-inflamasi dan imunosupresi.
Terdapat beberapa penyakit kulit yang diindikasikan untuk menggunakan
pengobatan kortikosteroid sistemik, antara lain penyakit lepuh berat (pemfigus,
pemfigoid bulosa, pemfigoid sikatrik, linear IgA dermatosis bulosa, epidermolisis
bulosa akuisita, herpes gestasionis, eritema multiformis, nekrolisis epidermal
toksik), penyakit jaringan ikat (dermatomiositis, SLE, eosinofilik fasitis,
polikondritis kambuhan/relapsing), vaskulitis, dermatosis neutrofilik (pioderma
gangrenosum, dermatosis neutrofilik febril akut, Behcet disease), sarkoidosis,
reaksi kusta tipe I, hemangioma infantil, pansolitis, urtikaria dan angioedema.
Pemberian kortikosteroid sistemik dapat dilakukan secara oral, intravena,
intralesi dan intramuskular. Dosis pemberian disesuaikan dengan penyakit dan
kondisi tubuh pasien. Umumnya pada kasus dermatologi berat, kortikosteroid
digunakan dalam dosis yang tinggi karena memiliki efek anti-inflamasi yang kuat.
Efek samping kortikosteroid timbul jika pengobatan diberhentikan secara tiba-tiba
atau pengobatan dilakukan secara terus-menerus dengan dosis yang tinggi, namun
dapat dilakukan pencegahan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan efek
samping yang timbul. Edukasi dan tatalaksana yang tepat (sesuai indikasi, dosis,
pemberian dan kondisi pasien) sangat penting diaplikasikan pada pengobatan
kortikosteroid sistemik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Suherman, SK, Ascobat P. Adenokortikotropin, Adrenokortikosteroid,


Analog-Sintetik dan Antagonisnya. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Edisi
ke-6. Jakarta: Badan penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2016. p. 507-27.
2. Djuanda A. Pengobatan dengan Kortikosteroid dalam Bidang Dermato-
Venereologi. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta:
Badan penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. p. 339-41.
3. Werth Victoria P. Systemic Corticosteroids. Dalam: Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill;
2012. p. 477-9.
4. Liu D, Ahmet A, Ward L, Krishnamoorthy P, Mandelcorn ED, Leigh R, dkk.
A practical guide to the monitoring and management of the complications of
systemic corticosteroid therapy. Allergy Asthma Clin Immunol. 2013;9:1-25.
5. Siagian JN, dkk. Kortikosteroid Sistemik: Aspek Farmakologi dan
Penggunaan Klinis di Bidang Dermatologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. 2018;45(3):165 – 171.
6. Williams Dennis M. Clinical Pharmacology of Corticosteroids. 2018;
63(6):665-68.
7. Caplan A, Fett N, Rosenbach M, Werth VP, Micheletti RG. Prevention and
management of glucocorticoid-induced side effects: a comprehensive review.
J Am Acad Dermatol. 2017;76:1-9.
8. Becker DE. Basic and clinical pharmacology of glucocorticosteroids. Anesth
Prog. 2013;60:25-32.
9. Flammer JR, Rogatsky I. Minireview: glucocorticoids in autoimmunity:
unexpected targets and mechanisms. Mol Endocrinol. 2011;25:1075-86.
10. Eckstein N, Haas B, Hass MD, Pfeifer V. Systemic therapy of cushing’s
syndrome. Orphanet J Rare Diseases. 2014;9:1-16.
11. Panduan layanan klinis dokter spesialis dermatologi dan venereologi.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)
2014.
12. Hamzah M. Eritema multiform. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi ke-6. Jakarta: Badan penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2011. p. 162.
13. Hamzah M. Hemangioma. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
ke-6. Jakarta: Badan penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2011. p. 242-44.
14. Sehgal Virendra N., MD, Najeeba Riyaz, MD., dkk. Sarcoidosis as a
systemic disease. 2014;32:351-363.
15. Halim Lindayani, Rahmatina, Erdina H.D. Pusponegoro, dkk. Sarkosis atau
lupus vulgaris?. 2013;40(3):113-17.
16. Bogdanov, I., Kazandjieva, J., Darlenski, R., & Tsankov, N.
Dermatomyosistis: Current concepts. Clinics in Dermatology. 2018;36(4),
450-58
17. Bulur, I., Onder, M. Behçet disease: New aspects. Clinics in Dermatology.
2017;35(5), 421–434.
18. Maidhof W, Hilas O. Lupus: An Overview of the Disease And Management
Options. P&T. 2012;37(4):242-49.
19. Lamback Elisa B, Thiara Cristina RL. Eosinophilic fasciitis. 2016;91(5 Suppl
1):S57-9.

Anda mungkin juga menyukai