Anda di halaman 1dari 19

edisi Oktober 2019

Penggunaan
Kortikosteroid
pada Penyakit THT
Prof. Dr. Helmi, Sp.THT (K)

Penggunaan
Antihistamin
pada Penyakit THT
Prof. Dr. Helmi, Sp.THT (K)

Mandiri Inhealth
telah terdaftar dan diawasi oleh
Otoritas Jasa Keuangan
edisi Oktober 2019

Penggunaan Kortikosteroid
pada Penyakit THT
Prof. Dr. Helmi, Sp.THT (K)
FROM CEO

K
Iwan Pasila | Direktur Utama PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia ortikosteroid (KS) merupakan salah satu obat yang digunakan luas

G
di ilmu kedokteran, termasuk di bidang THT. Kortikosteroid terbagi
angguan kesehatan pada telinga, hidung, dan tenggorokan selain dapat
menyebabkan pusing serta rasa sakit yang menyiksa, juga menimbulkan menjadi kortikosteroid alam (endogen) yang dihasilkan dari korteks
ketidaknyamanan terutama saat harus beraktivitas setiap hari. Selain itu kelenjar adrenal dan kortikosteroid sintetik (eksogen) bekerja menyerupai
konsumsi obat-obatan yang kurang tepat dapat memicu infeksi dan mempengaruhi kortikosteroid alam. Kortikosteroid sintetik digunakan untuk penyakit
kesehatan.
imunitas dan inflamasi. Berdasarkan jenisnya, kortikosteroid terbagi
Untuk itu, Inhealth Gazette edisi Oktober 2019 ini diterbitkan dengan topik khusus menjadi glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid berperan
yaitu penggunaan kortikosteroid dan antihistamin sebagai salah satu obat yang menekan peradangan dan imunitas, serta membantu metabolisme
paling sering digunakan pada penyakit telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). lemak, karbohidrat, dan protein. Mineralokortikoid berperan mengatur
Diharapkan, dengan pemahaman yang baik dari semua stakeholder terutama
keseimbangan air dan garam tubuh.
mitra Provider Mandiri Inhealth, Peserta Mandiri Inhealth akan terlindungi saat
mendapatkan pelayanan melalui pemanfaatan obat secara bijak dan kewaspadaan Mekanisme Kerja Kortikosteroid
akan efek samping serta interaksi obat yang mungkin timbul dengan pemberian obat
lain. Kortikosteroid bekerja dengan mengaktifkan reseptor glukokortikoid yang
berinteraksi dengan transkripsi faktor-faktor inflamasi sehingga menekan molekul-
Hal ini sebagai bentuk perlindungan kepada peserta karena kesehatan Peserta Mandiri
Inhealth merupakan prioritas utama bagi kami. molekul proinflamasi. Jumlah sel-sel radang seperti eosinofil, limfosit T, sel mast,
dan sel dendritik akan berkurang dengan kortikosteroid. Obat dimetabolisme di
Kiranya Tuhan terus melimpahkan rahmat dan kesehatan bagi kita semua. hati dan diekskresi melalui ginjal.

Prinsip Pengobatan Kortikosteroid

Because We Care Terapi dengan kortikosteroid bertujuan untuk mengurangi gejala hingga ke
tingkat yang dapat ditoleransi oleh pasien. Pemberian dosis tinggi untuk menekan
gejala penyakit secara total dapat menimbulkan efek samping berat sehingga
dokter harus mempertimbangkan penggunaan klinisnya secermat mungkin. 1

2 3
edisi Oktober 2019

Pemilihan Obat intravena, pelarut yang digunakan yaitu sodium fosfat atau sodium suksinat
karena mudah larut dalam air. Pada suntikan intralesi, dapat digunakan pelarut
garam asetat karena lebih sukar larut sehingga bekerja lebih lama.

Indikasi 1 Faktor yang 3 Cara Pemberian


Mempengaruhi Jadwal pemberian harus diperhatikan untuk mengurangi efek samping akibat
Pemilihan Obat penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka panjang. Pemberian
Karakteristik Kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan selama 48-72 jam, kemudian diturunkan bertahap
Obat dan Pasien 2 4 Efek Samping
hingga akhirnya dihentikan. Pemberian dosis tinggi ini berguna untuk
beberapa kasus, seperti polip hidung, alergi, tuli sensorineural mendadak, dan
Kortikosteroid sintetik yang ekuivalen dengan kortikosteroid endogen (kortisol) sebagainya. Dosis harian dapat diberikan pada pagi hari yaitu antara pukul
adalah hidrokortison, sehingga hidrokortison digunakan sebagai perbandingan 06.00 - 09.00 karena dapat merangsang sekresi steroid endogen.
dalam menentukan efek antiinflamasi dan antialergi suatu kortikosteroid yang baru
diproduksi. Kortikosteroid dengan aktivitas antiinflamasi yang kira-kira sebanding Cara pemberian kortikosteroid lainnya yaitu alternate day therapy (ADT) yang
yaitu Hidrokortison 20 mg, Prednison dan Prednisolon 5 mg, Metilprednisolon dan cocok untuk penggunaan jangka panjang. Pasien diberikan dua kali dosis di
Triamsinolon 4 mg, Deksametason 0,75 mg, dan Betametason 0,6 mg. waktu pagi hari dengan frekuensi pemberian 2 hari sekali. Obat kortikosteroid
yang dipilih adalah kortikosteroid dengan aksi menengah, misalnya Prednison,
Lama kerja masing-masing kortikosteroid bervariasi, Betametason dan Prednisolon, dan Metilprednisolon. ADT bermanfaat dalam mengurangi efek
Deksametason selama 48 jam; Metilprednisolon, Prednisolon, Prednison, dan samping, kemungkinan retardasi pertumbuhan anak, dan kerentanan terhadap
Triamsinolon selama 18-36 jam; dan Hidrokortison selama 18 jam. 1 infeksi. Kortikosteroid kerja panjang seperti betametason dan deksametason, tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan supresi korteks adrenal. 2
Supresi aksis HPA (hipotalamus-pituitari-adrenal) dapat terjadi pada penggunaan
Hidrokortison dosis farmakologik (15-20 mg atau ekuivalennya) atau dosis Penggunaan Kortikosteroid di Bidang THT
terapeutik (lebih dari 15-20 mg atau ekuivalennya) selama lebih dari 2 minggu.
Pemulihannya memerlukan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan Bidang kedokteran termasuk THT menggunakan glukokortikoid, misalnya
sehingga pada keadaan stres (demam atau pembedahan) diperlukan penambahan Hidrokortison, Kortison, Betametason, Prednison, Triamsinolon, Deksametason,
kortikosteroid untuk memperbaiki kemampuan respons pasien terhadap stres dan dan Metilprednisolon terutama untuk efek antiinflamasinya. Efek antiinflamasi
mencegah insufisiensi adrenokortikal. berguna pada pengobatan rinitis alergi, rinosinusitis akut, polip nasi, tuli
sensorineural mendadak, croup, Bell’s palsy, neuritis vestibularis, penyakit Meniere,
Cara Pemberian Kortikosteroid dan otitis media efusi kronis.

Pemberian secara lokal lebih dianjurkan karena dapat menekan efek samping Efek lain yang diharapkan adalah imunosupresi dan anti-stres. Obat dapat
sistemik. Di bidang THT pemberian secara lokal terutama untuk pengobatan rinitis. diberikan dalam bentuk sistemik secara oral dan injeksi, atau sebagai obat topikal
Pemberian kortikosteroid sistemik secara oral lebih disarankan jika obat memang (obat semprot dan suntikan intralesi). Obat topikal tetap mempunyai efek sistemik
harus diberikan secara sistemik. Pada pemberian kortikosteroid melalui suntikan dalam jumlah tertentu karena efek terapeutik steroid eksogen membutuhkan dosis

4 5
edisi Oktober 2019

relatif tinggi dibanding dengan kadar normal steroid endogen yang diproduksi Penyerapan dosis secara sistemik tersebut umumnya di bawah limit kuantifikasi alat
oleh kelenjar adrenal. Pengobatan kortikosteroid hanya bersifat paliatif, yaitu assay (50 ng/L). FP, MF, dan FF merupakan SIN yang ideal dari segi farmakokinetik
mengontrol gejala namun tidak menyembuhkan. Gejala yang terkontrol akibat dan farmakodinamiknya karena 1) mempunyai tingkat afinitas, potensi, dan
pemberian kortikosteroid akan meningkatkan kualitas hidup pasien, yaitu dalam spesifisitas tinggi terhadap reseptor glukokortikoid, 2) bioavailabilitas sistemik
hal menjalani aktivitas sehari-hari sehingga kortikosteroid sering digunakan dalam rendah, 3) eliminasi di sistemik cepat, dan 4) pemberian sekali sehari. Efektivitas
jangka panjang dengan efek samping yang juga harus diperhatikan. SIN tinggi dengan efek samping minimal yaitu pada penyakit inflamasi eosinofilik
(rinitis alergi, polip nasi, sinusitis alergi dan jamur) serta penyakit inflamasi
Di bidang THT, steroid topikal yang paling banyak digunakan adalah Steroid neutrofilik (rinosinusitis akut dan kronik).
Intranasal (SIN) dengan tujuan meningkatkan rasio antara konsentrasi SIN lokal di
mukosa hidung dengan kadar sistemik yang berakibat pada meningkatnya efek Penggunaan Kortikosteroid di Bidang Otologi
terapeutik dengan risiko efek samping sistemik yang berkurang (rasio terapeutik).
Steroid intranasal yang berada di mukosa konka sekitar 80% diserap sebagian, Kortikosteroid dipakai luas untuk pengobatan Bell’s palsy karena efek antiinflamasi
sisanya berpindah ke nasofaring, ditelan, dan 10-12% tetap di target selama 1,5 yang dapat mengurangi edema di kanalis fasialis dan efek modulasi imun pada
jam. etiologi virus. Walaupun manfaat sesungguhnya belum dapat dipastikan dari
review Cochrane, beberapa penelitian menyatakan kortikosteroid mempunyai efek
terapeutik terhadap Bell’s palsy tersebut. 4,5,6
Contoh Steroid Intranasal yang mempunyai potensi lokal tinggi namun
kadarnya di plasma (bioavailabilitas sistemik) rendah adalah Triamsinolon Kortikosteroid juga digunakan pada pengobatan tuli mendadak sensorineural
Asetonid (TAA), Mometason Furoat (MF), Flunisolid (FLU), Flutikason Propionat dan penyakit Meniere, walaupun review Cochrane belum dapat memastikannya.
(FP), Flutikason Furoat (FF), Beklometason Dipropionat (BDP), Budesonid (BUD). Kortikosteroid untuk tuli sensorineural akut dapat diberikan secara oral, intravena,
maupun suntikan intratimpanik. Pemberian kortikosteroid intratimpanik berguna
Bioavailabilitas sistemik tercapai melalui absorpsi oleh mukosa hidung dan saluran untuk penyakit yang menetap dengan pengobatan kortikosteroid secara oral
gastrointestinal. Rasio availabilitas sistemik SIN terendah yang diberikan melalui atau parenteral karena dosis kortikosteroid akan lebih tinggi di telinga dalam.
semprot hidung dibandingkan dengan melalui intravena yaitu ada pada MF dan Akibatnya, pasien akan terhindar dari pemberian obat secara sistemik yang dapat
FF. 3 meningkatkan efek samping. Pada 65% pasien tuli sensorineural akan sembuh
spontan, walaupun demikian kortikosteroid sebaiknya tetap diberikan segera dan
Tabel 1. Rasio Availabilitas Sistemik Setelah Pemberian Nasal Spray efeknya akan lebih baik jika diberikan dalam 7 hari pertama. 7,

Obat Dosis (mikrogram) Availabilitas sistemik Efek bermakna pemberian kortikosteroid ditemukan juga pada kasus neuritis
vestibularis yang patofisiologinya menyerupai Bell’s palsy, meskipun tinjauan
Budesonid 100 100
penelitan menyeluruh belum dilakukan. 55
Flunisolid 170 49
Efek jangka pendek dapat dibuktikan dari review Cochrane untuk pengobatan
Flutikason Proprionat 800 1,8 otitis media efusi yang menggunakan kortikosteroid dengan atau tanpa antibiotik.
Mometason Furoat 400 <0,1 Kegunaan kortikosteroid untuk jangka panjang untuk otitis media efusi belum ada
cukup bukti. 9
6 7
edisi Oktober 2019

Penggunaan Kortikosteroid di Bidang Rinologi Komplikasi Jangka Pendek Komplikasi Jangka Panjang

Kortikosteroid intranasal sangat bermanfaat untuk rinitis alergi dan merupakan Kortikosteroid yang dihentikan secara Terutama terjadi pada pasien yang
lini pertama pengobatannya. Kortikosteroid intranasal terbukti lebih unggul dan mendadak dapat menyebabkan krisis mendapat kortikosteroid jangka
lebih efektif dibanding antihistamin. Jangka waktu pemberian kortikosteroid pada adrenal yang membahayakan sehingga panjang, pada pasien autoimun dan
penelitian yang ada berlangsung selama 4-24 minggu, tetapi belum ada konsensus perlu dilakukan tapering sebelum pasca-transplantasi ginjal atau jantung.
pemberian kortikosteroid dihentikan. Komplikasi tersebut misalnya nekrosis
khusus untuk penentuan jangka waktu optimalnya. Pada kasus rinitis alergi yang
Gejala yang timbul pada steroid avaskuler di kapitulum os femur.
berat, dapat diberikan kortikosteroid secara singkat.
withdrawal syndrome, yaitu nyeri sendi,
malaise, pegal dan lelah menyeluruh.
Pada kasus rinosinusitis bakteri, kortikosteroid intranasal yang dikombinasi dengan Sindrom dapat terjadi setelah 2 minggu
antibiotik terbukti lebih efektif dibandingkan dengan pemberian antibiotik saja.10,11, pemberian kortikosteroid.
Pada salah satu penelitian multi-institusional double blind RCT didapatkan bahwa
pemberian semprot hidung mometason dengan dosis dua kali sehari selama 14 hari Supresi aksis hipotalamus-hipofisis- Komplikasi jangka panjang lainnya, yaitu
lebih efektif untuk mengobati rinosinusitis tanpa komplikasi dibandingkan dengan adrenal (HPA) dapat terjadi pada osteoporosis, percepatan aterosklerosis,
pemberian amoksisilin. Bahkan suatu metaanalisis mendukung penggunaan steroid penggunaan prednisolone dosis 5 mg/hari katarak dini, cushingoid, edema tubuh,
intranasal (SIN) sebagai monoterapi atau sebagai adjuvan antibiotik. 12 atau lebih.21,22 Komplikasi kortikosteroid dan hipertensi akibat retensi garam,
jangka pendek yang dapat terjadi, yaitu kurang kalsium, sakit kepala, kelemahan
Pada kasus rinosinusitis kronis tanpa polip, penelitian in vivo dari kultur mukosa keluhan gastrointestinal terutama jika otot, moon face, pertumbuhan rambut
hidung pasien rinitis kronis mendukung penggunaan SIN. Efektivitas penggunaan SIN diberikan bersama antiinflamasi non- berlebihan di tempat abnormal, kulit
untuk pengobatan rinosinusitis kronis didukung oleh sebagian besar penelitian RCT., steroid dan hiperglikemia. Efek yang menipis, penyembuhan luka yang lama,
13, 14 ,15 lebih jarang terjadi yaitu gangguan glaukoma, ulkus lambung, diabetes
psikiatri (dari derajat ringan hingga melitus tidak terkontrol, menstruasi tidak
Pada rinosinusitis kronis dengan poliposis, banyak penelitian yang membuktikan psikosis) yang berbanding lurus dengan teratur, punggung melengkung (buffalo
bahwa pemberian steroid intranasal (SIN) jangka panjang dan kortikosteroid sistemik dosis dan lama pemberian kortikosteroid, hump). 23,24,25
jangka pendek yang disertai kortikosteroid topikal terbukti efektif. Pemberian juga kerentanan pasien.
kortikosteroid sistemik jangka pendek, seperti prednisolon 1 mg/kgBB selama 5 hari
ditambah beklometason topikal setiap hari, menurut suatu penelitian retrospektif
terbukti efektif pada 85% pasien, hanya 15% pasien yang masih membutuhkan bedah Interaksi Kortikosteroid dengan Obat Lain
sinus endoskopik. 16-20
Fenobarbital, Fenitoin, Efedrin, dan Rifampisin yang diberikan bersamaan
dengan kortikosteroid dapat meningkatkan metabolisme kortikosteroid di hati
Komplikasi Pemberian Kortikosteroid sehingga menurunkan kadar kortikosteroid. Sementara pemberian bersama
dengan Eritromisin, Klaritromisin, Ketokonazol, dan Troleandomisin (TAO)
Pemberian kortikosteroid berisiko menimbulkan efek samping sehingga komplikasi
dapat menurunkan kemampuan hati dalam memetabolisme kortikosteroid
jangka pendek maupun jangka panjang perlu diketahui dengan baik.
sehingga kadar kortikosteroid dapat meningkat. Penggunaan estrogen bersama
kortikosteroid dapat meningkatkan efek kortikosteroid dan memengaruhi kerja

8 9
edisi Oktober 2019

warfarin. Penggunaannya bersama dengan obat-obat yang dapat menimbulkan treatment of nasal polyposis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2006;132:179–185.
20. Benitez P, Alobid I, de Haro J, et al. A short course of oral prednisone followed by intranasal budesonide is an
hipokalemia, seperti golongan Diuretik dan Amfoterisin B dapat meningkatkan effective treatment of severe nasal polyps. Laryngoscope 2006; 116:770–775
kemungkinan serangan jantung. 21. LaRochelle GE Jr, LaRochelle AG, Ratner RE, Borenstein DG. Recovery of the hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA)
axis in patients with rheumatic diseases receiving low-dose prednisone. Am J Med 1993;95:258–264. (Dikutip dari
Cope D)
22. Cope D, Bova R. Steroids in Otolaryngology. Laryngoscope 118: September 2008. Pp1556-1560.
23. Hedri H, Cherif M, Zouaghi K, et al. Avascular osteonecrosis after renal transplantation. Transplant Proc 2007;39:
Daftar Kepustakaan 1036–1038.
1. Brophy KM, Scarlett H-Ferguson, Webber KS, Abram AC, Lammon CB, Clinical Drug Therapy for Canadian Practice. 24. Lieberman JR, Roth KM, Elsissy P, Dorey FJ, Kobashigawa JA. Symptomatic osteonecrosis of the hip and knee after
Chapter 23, corticosteroids. Lippincott Williams & Wilkins, 2010. pp 352-372 cardiac transplantation. J Arthroplasty 2008;23:90–96.
2. Cope D, Bova R,. Steroids in Otolaryngology. The Laryngoscope Lippincott Williams & Wilkins. © 2008 The American 25. Nagasawa K, Tada Y, Koarada S, et al. Very early development of steroid-associated osteonecrosis of femoral head
Laryngological, Rhinological and Otological Society, Inc. pp 1556-1560. in systemic lupus erythematosus: prospective study by MRI. Lupus 2005;14:385–390.
3. Szefler SJ. Pharmacokinetic of intranasal corticosteroids. J Allergy Clin Immunol 2001;108:S26-31.
4. Ramsey MJ, DerSimonian R, Holtel MR, Burgess LP. Corticosteroid treatment for idiopathic facial nerve paralysis: a
meta-analysis. Laryngoscope 2000;110:335–341.
5. Salinas RA, Alvarez G, Ferreira J. Corticosteroids for Bell’s palsy (idiopathic facial paralysis). Cochrane Database Syst
6. Sullivan FM, Swan IR, Donnan PT, et al. Early treatment with prednisolone or acyclovir in Bell’s palsy. N Engl J Med
2007;357:1598–1607.
7. Conlin AE, Parnes LS. Treatment of sudden sensorineural hearing loss. I. A systematic review. Arch Otolaryngol
Head Neck Surg 2007;133:573–581.
8. Ohbayashi S, Oda M, Yamamoto M, et al. Recovery of the vestibular function after vestibular neuronitis. Acta
Otolaryngol Suppl 1993;503:31–34.
9. Thomas CL, Simpson S, Butler CC, van der Voort JH. Oral or topical nasal steroids for hearing loss associated with
otitis media with effusion in children. Cochrane Database Syst Rev 2006;3:CD001935.
10. JM, Abramson MJ, Puy RM. Intranasal corticosteroids versus oral H1 receptor antagonists in allergic rhinitis:
systematic review of randomised controlled trials. BMJ 1998;317:1624–1629.
11. Weiner Meltzer EO, Bachert C, Staudinger H. Treating acute rhinosinusitis: comparing efficacy and safety of
mometasone furoate nasal spray, amoxicillin, and placebo. J Allergy Clin Immunol 2005;116:1289–1295.
12. Meltzer EO, Charous BL, Busse WW, Zinreich SJ, Lorber RR, Danzig MR. Added relief in the treatment of acute
recurrent sinusitis with adjunctive mometasone furoate nasal spray. The Nasonex Sinusitis Group. J Allergy Clin
Immunol 2000;106:630–637.
13. Lund VJ, Black JH, Szabo LZ, Schrewelius C, Akerlund A. Efficacy and tolerability of budesonide aqueous nasal spray
in chronic rhinosinusitis patients. Rhinology 2004;42: 57–62.
14. Parikh A, Scadding GK, Darby Y, Baker RC. Topical corticosteroids in chronic rhinosinusitis: a randomized,
doubleblind, placebo-controlled trial using fluticasone propionate aqueous nasal spray. Rhinology 2001;39:75–79.
15. Lavigne F, Cameron L, Renzi PM, Planet JF, Christodoulopoulos P, Lamkioued B, Hamid Q. Intrasinus administration
of topical budesonide to allergic patients with chronic rhinosinusitis following surgery. Laryngoscope. 2002
May;112(5):858-64.
16. Lavigne F, Cameron L, Renzi PM, Planet JF, Christodoulopoulos P, Lamkioued B, Hamid Q. Intrasinus administration
of topical budesonide to allergic patients with chronic rhinosinusitis following surgery. Laryngoscope 2002;112:
858–864.
17. Hissaria P, Smith W, Wormald PJ, Taylor J, Vadas M, Gillis D, Kette F. Short course of systemic corticosteroids in
sinonasal polyposis: a double-blind, randomized, placebocontrolled trial with evaluation of outcome measures. J
Allergy Clin Immunol 2006;118:128–133.
18. Small CB, Hernandez J, Reyes A, et al. Efficacy and safety of mometasone furoate nasal spray in nasal polyposis. J
Allergy Clin Immunol 2005;116:1275–1281.
19. Stjarne P, Mosges R, Jorissen M, et al. A randomized controlled trial of mometasone furoate nasal spray for the

10 11
edisi Oktober 2019

Penggunaan Antihistamin Efek Lain dari Histamin


pada Penyakit THT
1 Kontraksi otot polos bronkus yang dapat memicu sesak napas sehingga
Prof. Dr. Helmi, Sp.THT (K) rentan memicu serangan asma

2 Stimulasi sekresi lambung


Histamin dan Antihistamin
3 Stimulasi sel kromafin di kelenjar adrenal sehingga terjadi sekresi katekolamin
Alergi terjadi karena reaksi hipersensitivitas sistem imun terhadap suatu alergen.
4 Rasa gatal di kulit akibat stimulasi saraf sensorik
Zat yang dapat berperan sebagai alergen diantaranya adalah partikel di udara,
makanan, obat, gigitan serangga, dan sebagainya. Mediator kuat untuk berbagai
reaksi alergi tersebut adalah histamin. Histamin terutama dihasilkan dan Pengobatan alergi dengan pemberian antihistamin akan memblokir aksi histamin
dilepaskan oleh sel mast dan basofil ketika terjadi rangsangan oleh alergen yang di reseptor melalui kompetisi dengan histamin sehingga histamin akan tergeser
terikat kepada imunoglobulin E. Histamin berintegrasi dengan reseptor-reseptor dari reseptor. Antihistamin yang digunakan pada penyakit alergi terutama adalah
di berbagai sel tubuh. antihistamin H1 (disebut antagonis H1), walaupun antihistamin H2 juga berperan.
Antihistamin H1 juga berperan sebagai antiinflamasi karena menekan aktivasi NF-
kB yang merangsang banyak gen pengatur produksi sitokin proinflamasi, adhesi
Reseptor H1 Reseptor H2 molekul, dan kemotaksis. 1,2

• Absorpsi Antihistamin
4 Reseptor Histamin
Antihistamin H1 diserap di dalam sistem pencernaan dan mencapai kadar
puncak di plasma 3 jam setelah ditelan. Kelarutannya yang baik dalam lemak
Reseptor H3 Reseptor H4
akan memudahkan antihistamin menembus membran sel. 3
Penyerapan antihistamin seperti fexofenadine akan terganggu bila dimakan
Reseptor H1 dan H2 banyak diekspresikan oleh sel-sel tubuh. Reseptor yang
bersama dengan obat tertentu seperti Verapamil, Cimetidine, dan Probenecide,
terutama berhubungan dengan peradangan dan alergi yaitu H1 sehingga
atau dengan jus jeruk masam. Hal ini disebabkan karena aktivitas dari
pembahasan selanjutnya terutama mengenai berkaitan dengan reseptor H1.
mekanisme transportasi membran sel dari glikoprotein dan OATP (organic
Pemberian histamin secara topikal akan menimbulkan beberapa tanda, anion transporting polypeptide).
diantaranya hiperemia akibat pelebaran pembuluh darah hingga munculnya
vesikel bening yang dikelilingi area hiperemis. Histamin yang masuk ke aliran
darah melalui suntikan akan menyebabkan tekanan darah menurun, kemerahan
di kulit, meningkatnya suhu kulit, dan sakit kepala.

12 13
edisi Oktober 2019

• Metabolisme Antihistamin • Efek Terapeutik Antihistamin

Metabolisme dan detoksifikasi sebagian besar antihistamin terjadi di hati Antihistamin digunakan pada pengobatan:
oleh sistem sitokrom P450, kecuali Ceitirizine, Desloratadine, Fexofenadine, - Rinitis alergi, yaitu untuk mengurangi rinorea dan gatal di mata serta mukosa hidung
dan Acrivastine. Ekskresi Cetirizine dan Levocetirizine melalui urin, sedangkan - Pilek (common cold), yaitu sebagai terapi paliatif untuk mengeringkan mukosa hidung
Fexofenadine diekskresi melalui feses. 4 sering diberikan bersama dengan dekongestan dan analgetik

Penyesuaian dosis perlu dilakukan jika antihistamin diberikan bersama - Dermatosis alergi, yaitu untuk menghilangkan gatal akibat gigitan serangga.
dengan obat yang menginduksi sitokrom P450 seperti Benzodiazepine karena Antihistamin juga digunakan untuk:
konsentrasinya di plasma dapat menurun. Demikian juga jika diberikan
- Sedasi pra-anestesi dan mencegah mual/muntah (Promethazine)
bersama dengan obat yang menginhibisi sitokrom P450 seperti antibiotik
golongan makrolid, antijamur dan antagonis kalsium, yang menyebabkan efek - Antiemetik (Piridoxine, Bendectin, Doxilamine)
samping antihistamin berpotensi meningkat. - Hipnotik (jarang digunakan)

- Mengurangi tremor dan rigiditas pada pasien Parkinson


Tabel 1. Farmakokinetik Antihistamin pada Kondisi Khusus 5
- Pengobatan migrain

Populasi Yang
Gangguan Gangguan Memerlukan
Obat Geriatrik
Fungsi Hati Fungsi Ginjal Penyesuaian
Klasifikasi Antihistamin H1
Dosis
Antihistamin H1 - Generasi Pertama
Cetirizine Bergantung T1/2 ↑ dari 18,7 T1/2 ↑ ke 20 jam Gangguan
pada fungsi jam ke 27,2 jam fungsi ginjal,
ginjal lansia Antihistamin H1 generasi pertama terutama bekerja pada reseptor H1 perifer dan
dapat melintasi sawar otak. Efek samping antihistamin generasi pertama antara
Fexofenadine Cmax ↑ 68%, Cmax ↑, Cmax ↑, Disfungsi ginjal
T1/2 ↑10,4% T1/2 ↓ sedikit T1/2 ↑ sampai (USA) lain mengantuk berat, disfungsi SSP seperti gangguan psikomotor, penurunan
19-24 jam konsentrasi dan memori. Antikolinergik dapat mengakibatkan gangguan fungsi
kognitif. Efek samping lain yang mungkin terjadi yaitu reaksi alergi (pemberian
Loratadine T1/2 ↑ tanpa T1/2 ↑ tanpa T1/2 ↑ tanpa Disfungsi hepar
relevansi klinik relevansi klinik relevansi klinik dan ginjal topikal), nafsu makan berkurang, mual dan muntah, konstipasi, insomnia, gelisah,
*) T1/2 = waktu paruh eliminasi, Cmax = konsentrasi plasma maksimal setelah dosis tunggal, ↑ = meningkat, ↓ = menurun tremor, stimulasi SSP, kejang, kematian.

Antihistamin generasi pertama dapat terdistribusi melalui air susu ibu dan
menembus plasenta. Beberapa antihistamin bisa merangsang nafsu makan.10 Pada
anak, antihistamin ini efektif untuk pengobatan urtikaria, dermatitis atopik, dan
Diphenhydramine intravena untuk anafilaksis. Rinitis alergi pada anak dan lansia
tidak dianjurkan untuk diobati dengan antihistamin H1 generasi pertama. 11,12

14 15
edisi Oktober 2019

Contoh Antihistamin H1 Generasi Pertama yang Sering Digunakan Contoh Antihistamin H1 Generasi Kedua yang Sering Digunakan
1 Golongan Alkilamin 3 Homochlorcyclizine 1 Terfenadine 3 Fexofenadine
 Chlorpheniramine Maleate (CTM)  Antagonis yang poten terhadap (sudah ditarik dari peredaran karena yaitu antihistamin H1 generasi kedua
bekerja dengan meniadakan kerja histamin, serotonin dan asetikolin, kardiotoksik) yang paling tidak menyebabkan
histamin secara kompetitif dari serta juga menghambat aksi kantuk dan merupakan metabolit
reseptor H1 (AH1) dan bekerja bradikinin dan SRS-A (slow terfenadine yang aman karena tidak
sebagai Serotonin-Norepinephrine reacting in anaphylaxis) sehingga kardiotoksik.
Reuptake Inhibitor (SNRI). CTM Homochlorcyclizine merupakan satu-
memiliki indeks terapeutik (batas satunya antialergi dengan spektrum 2 Desloratadine dan Loratadine 4 Levocetirizine dan Cetirizine
keamanan) cukup besar dengan luas, antihistamin, antiserotonin dan Loratadine bersifat tidak kardiotoksik Cetirizine juga tidak kardiotoksik,
efek samping dan toksisitas relatif antibradikinin. 8,9 dan tidak menyebabkan kantuk. tetapi berpotensi menimbulkan
rendah. 6,7 kantuk hebat.

2 Golongan Etanolamin 4 Golongan Fenotiazin


 Diphenhydramine HCl.  Promethazine HCl yang Interaksi Antihistamin H1 dengan Obat Lain
mempunyai efek antialergi, sedasi
kuat, antiemetik, dan antikolinergik. Bila antihistamin H1 diberikan bersama dengan zat tertentu, misalnya:

Antihistamin H1 - Generasi Kedua


Barbiturat Opiat
Molekul antihistamin H1 generasi kedua relatif besar dan lipofobik sehingga sulit Narkotik Alkohol
menembus sawar otak. Perbedaan mekanisme antihistamin H1 generasi kedua
dengan pertama adalah dalam inhibisi influx ion kalsium melintasi sel mast
sehingga menghambat pelepasan mediator. Efek samping antihistamin generasi Dapat terjadi interaksi obat berupa potensiasi depresan sistem
kedua lebih minimal, dikatakan sebanding dengan plasebo. Demikian juga efek saraf pusat serta efek kolinergik seperti mulut kering, konstipasi
supresi terhadap sistem saraf pusat jauh lebih rendah sehingga efek kantuk, dan penglihatan kabur.
gangguan kinerja kognitif dan psikomotor lebih rendah. Efek antikolinergik juga
hampir tidak ada karena molekulnya yang besar.
Pemberian Terfenadine bersama dengan Ketokonazole, Erythromycin, jus jeruk
Dilihat dari segi efektivitas dan keamanannya, pengobatan alergi pada anak dapat masam dapat menyebabkan aritmia jantung yang fatal sehingga Terfenadine
menggunakan antihistamin H1 generasi kedua, yaitu Cetirizine, Fexofenadine dan telah ditarik dari peredaran pada tahun 1992. Antihistamin generasi pertama
Loratadine. Di antara semua antihistamin generasi kedua, efek sedasi paling nyata lain seperti Promethazine, Brompheniramine, dan Diphenhydramine yang
yaitu pada pemakaian Cetirizine, sedangkan Fexofenadine paling kurang. 13 diberikan dalam dosis besar, juga dapat menyebabkan gangguan jantung
(prolonged QTc dan aritmia jantung). 14

16 17
edisi Oktober 2019

Perbandingan Pengobatan Antihistamin H1 Generasi Pertama Tabel 2. Perbedaan antara antihistamin H1 generasi pertama dengan generasi
dan Kedua kedua.18

Perbedaan signifikan efikasi antihistamin satu dengan lainnya tidak dapat Karakteristik Antihistamin H1 generasi pertama Antihistamin H1 generasi kedua

dibuktikan dari berbagai uji yang ada. Faktor lain yang dipertimbangkan adalah Contoh obat 1. Promethazine 1. Cetirizine dan levocetirizine
perbedaan biaya yang besar antara kedua generasi tersebut. Bender et al. 2. Chlorpheniramine 2. Loratadine
3. Dexchlorpheniramine 3. Ebastine
dari penelitian metaanalisis, efek sedasi antara antihistamin generasi pertama 4. Hydroxyzine 4. Fexofenadine
(Diphenhydramine) dan generasi kedua tidak dapat disimpulkan berbeda jauh 5. Cyclizine 5. Mizolastine
karena efek sedasi juga terjadi pada generasi kedua bila dibandingkan dengan 6. Rupatadine
plasebo. 15,16 Frekuensi Pemberian 3−4 dosis per hari Pemberian sekali sehari
Mekanisme aksi Bloker kuat H1, alfa-1 dan reseptor muskarinik Antagonis selektif reseptor H1
Pertimbangan lainnya pemberian antihistamin generasi kedua pada anak dengan
Sawar otak Menembus sawar otak (lipofilik, molekul kecil, Umumnya tidak menembus sawar otak pada
rinitis seasonal lebih dapat diatasi gejalanya dan lebih cost-effective dalam kurang dikenali oleh p-lipoprotein efflux pump) dosis yang direkomendasikan (lipofobik,
penggunaan jangka panjang untuk mencegah kemungkinan lain seperti asma molekur besar, dikenali oleh p-lipoprotein efflux
bronkial (Blaiss, 2005). pump)
Indikasi 1. Hydroxine, Promethazine dan 1. Fexofenadine mempunyai waktu paruh
Antihistamin generasi kedua seperti Cetirizine, Desloratadine, Fexofenadine, Diphenhydramine dapat dipakai untuk terpendek digolongannya, pada dosis
Levocetirizine, dan Loratadine terbukti aman digunakan dalam jangka panjang sedasi, tetapi masih banyak obat yang lebih terapeutik tidak berpengaruh ke reseptor H1
tepat untuk penatalaksanaan insomnia. susunan saraf pusat.
pada orang dewasa dan anak di atas satu tahun. Efek antiinflamasi pada generasi 2. Cyclizine, Diphenhydramine atau 2. Cetirizine menunjukkan kecenderungan
kedua akan meningkat pada penggunaan secara terus-menerus. Promethazine merupakan contoh obat memengaruhi reseptor H1 SSP sehingga
antiemetik, vertigo. menyebabkan efek mengantuk, meskipun
3. Chlorpheniramine adalah obat antihistamin pada dosis yang lebih tinggi dari dosis yang
Penggunaan antihistamin baik bersifat sementara maupun terus-menerus H1 yang sering dipakai karena efek dianjurkan.
masih menjadi diskusi, sehingga pemilihan antihistamin sebaiknya disesuaikan sedasinya relatif paling rendah di golongan 3. Rupatadine fumarate diakui untuk
dengan kebutuhan pasien dengan mempertimbangkan faktor kualitas hidup antihistamin H1. pengobatan rinitis alergi.

dan biaya pengobatan. 17 Efek samping Berpotensi menyebabkan kantuk, gangguan Tanpa adanya interaksi obat tidak
keseimbangan, hiperaktivitas, sukar tidur, menyebabkan efek samping.
kejang, gangguan kemampuan mengemudikan Desloratadine, Fexofenadine, Cetirizine,
kendaraan serta lelah dan lesu. Levocetirizine, dan Rupatadine mempunyai
efek kardiotoksik ketika kadarnya di sitoplasma
meninggi akibat berinteraksi dengan jus jeruk
masam.
Toksisitas Laporan kasus keracunan obat sering Tidak ada laporan keracunan obat yang serius
dilaporkan.
Percobaan pada Tidak ada uji randomized, double blind, placebo Ada uji randomized, double blind, placebo
anak-anak control pada anak. control pada anak.

18 19
edisi Oktober 2019

Penggunaan Antihistamin H1 pada Kondisi Khusus Penggunaan Penggunaan Cetirizine dan Levocetirizine jangka panjang selama
Jangka Panjang 18 bulan pada anak-anak usia 12-24 bulan lebih cepat dikeluarkan
melalui ginjal. Hal tersebut berpengaruh dalam pengaturan dosis,
Wanita Hamil 1. Antihistamin yang termasuk ke dalam kategori B (FDA, USA) anak sampai umur 6 tahun dianjurkan menggunakan dosis 2 kali
merupakan antihistamin pilihan pertama untuk ibu hamil pada sehari. Efek residual lokal dari antihistamin generasi pertama pada
trimester pertama kehamilan, diantaranya Chlorpheniramine, reseptor H1 masih terdapat hingga 7 hari sehingga kondisi alergi
Dexchlorpheniramine dan Dimenhydrinate. Untuk menghindari kronis akan mendapat keuntungan terapeutik. 22-25
risiko kejang neonatus, antihistamin tersebut harus dihindari
pada trimester ketiga kehamilan.
2. Antihistamin generasi kedua yang dianggap aman yaitu Aplikasi Antihistamin pada Rinitis Alergi, Rinitis Non-Alergi
Loratadine dan Cetirizine. dan Rinosinusitis
3. Antihistamin generasi pertama yang termasuk kategori C
adalah Brompheniramine, Diphenhydramine, Hydroxyzine, Peradangan pada mukosa rongga hidung disebut rinitis. Keluhan pasien rinitis
dan Clemastine, sedangkan dari generasi kedua adalah
Fexofenadine dan Ebastine. 103-106 19-22 diantaranya hidung berair (rinorea), bersin, hidung tersumbat dan gatal di rongga
hidung. Rinitis terbagi menjadi rinitis alergi dan rinitis non-alergi.
Anak di Bawah 2 Pada bulan pertama usia bayi, ibu menyusui tidak boleh
Tahun dan Wanita mengonsumsi antihistamin generasi pertama karena dapat
Menyusui menyebabkan iritabilitas bayi, mengantuk, dan berkurangnya
Rinosinusitis adalah peradangan akibat infeksi di sinus dan di mukosa hidung.
produksi air susu. Ibu menyusui dapat mengonsumsi antihistamin Rinosinusitis terbagi menjadi rinosinusitis bakterial akut dan rinosinusitis kronis.
generasi pertama hanya bila manfaatnya melebihi risikonya Rinosinusitis akut yang disebabkan virus tidak termasuk ke dalam klasifikasi
terhadap bayi. Ibu menyusui lebih aman mendapat antihistamin
tersebut dan harus dapat dikenali secara klinis oleh dokter, biasanya sembuh
generasi kedua (misal Loratadine dan Cetirizine) karena
kandungannya dalam air susu hanya sedikit. 19-21 sendiri (self-limiting) dalam 10 hari dan gejalanya tidak memberat setelah hari
FDA-USA menetapkan Chlorpheniramine dapat digunakan oleh ke-4 sampai 5. Sebenarnya setiap peradangan di rongga hidung mencakup juga
anak usia kurang dari 2 tahun, tetapi tetap berisiko menyebabkan peradangan di sinus atau sebaliknya, karena kedua bagian anatomi tersebut saling
gangguan psikomotor dan sedasi yang dapat berpengaruh pada berhubungan sebagai satu unit. 26
perkembangan pendidikannya. Desloratadine telah ditetapkan
dapat diberikan untuk anak usia 1 tahun atau lebih, sedangkan
Fexofenadine dan Levocetirizine dapat diberikan untuk anak Rinitis Alergi
usia 1-2 tahun dengan dosis 0,25 mg/kg per hari, dalam 2 kali
pemberian. 19-21 Rinitis Alergi (RA) merupakan peradangan selaput lendir rongga hidung yang
Lansia Efek sedasi dan antikolinergik dari antihistamin H1 generasi disebabkan oleh alergi. Penderita rinitis alergi akan mengalami keluhan hidung
pertama lebih rentan terjadi pada lansia. Selain itu pada laki-laki, tersumbat, rinorea, bersin, gatal pada mata dan rongga hidung, edema konjungtiva,
antihistamin generasi pertama dapat menyebabkan retensi urin dan mata berair. Rinitis alergi terjadi karena reaksi yang dimediasi oleh IgE setelah
sehingga generasi kedua lebih disarankan untuk lansia. 21
pasien terpapar oleh alergen. Rinitis alergi sering terjadi bersamaan (komorbid)
dengan asma, poliposis sinonasal dan rinosinusitis kronis (“one airway, one disease”).

20 21
edisi Oktober 2019

Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global, termasuk di Indonesia. • Mekanisme Alergi pada Rinitis Alergi (RA)
Prevalensinya bervariasi pada masing-masing negara, yaitu sekitar 10-20%.
Walaupun bukan penyakit serius, rinitis alergi dapat mengurangi kenyamanan Reaksi alergi yang umum terjadi yaitu rinitis, asma, urtikaria, dan anafilaksis.
dan menurunkan performa individu di sekolah maupun di tempat kerja. Biaya Alergi terjadi karena reaksi hipersensitivitas sistem imun terhadap suatu alergen.
pengobatan untuk RA cukup tinggi, yaitu sekitar 2-4 juta dolar di USA, demikian Zat yang dapat berperan sebagai alergen diantaranya partikel di udara, tungau,
juga kerugian akibat penurunan produktivitas sebesar 2-4 juta dolar, dan dander (sel kulit mati hewan yang terkelupas), makanan, obat, gigitan serangga,
kehilangan hari sekolah sebanyak 800.000 - 2 juta hari. 26 dan sebagainya.

Tabel 3. Sel-Sel yang Berperan terhadap Terjadinya Rinitis Alergi Paparan terhadap alergen akan menyebabkan sel mast melepaskan mediator
inflamasi seperti histamin dan leukotrien. Major Basic Protein (MBP), protein eosinofil
Sel Fungsi yang berhubungan dengan rinitis dimediasi IgE dan biokemikal peradangan lain diproduksi oleh eosinofil yang dikerahkan ke
mukosa hidung. Sitokin-sitokin (misal IL4 dan IL5) yang dilepaskan oleh limfosit
Sel Mast Berperan melepaskan mediator inflamasi seperti histamin dan
leukotrien waktu paparan alergen.
Th2 akan mengundang basofil dan eosinofil ke mukosa hidung. Histamin dan
leukotrien dilepaskan oleh basofil. Histamin akan menyebabkan vasodilatasi dan
Eosinofil Direkrut ke mukosa hidung dan memproduksi major basic protein,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sementara leukotrien menyebabkan
eosinofil protein, dan zat-zat biokimia inflamasi lain.
sumbatan hidung dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Eosinofil dan
Limfosit Th2 Berperan melepaskan sitokin-sitokin yang merekrut eosinofil dan basofil juga dikerahkan oleh kemokin seperti eotaxin, RANTES. 2
basofil ke mukosa hidung.

Basofil Berperan melepaskan histamin dan leukotrien. Proses sensitisasi alergen menghasilkan IgE spesifik alergen yang beredar di
darah tepi dan melekat pada permukaan sel mast dan basofil, termasuk juga yang
Tabel 4. Mediator yang Berperan Sentral pada Rinitis Alergi terdapat di kavum nasi. Proses ini tak lepas dari peran serta limfosit T dan limfosit
B yang bergantung pada paparan alergen lingkungan. Mediator klasik reaksi alergi
Mediator Fungsi yang berhubungan dengan IgE-mediated akan dilepaskan dan menyebabkan gejala akut di hidung. Gejala akut kemudian
rhinitis akan menjadi tenang (indolent).
Histamin Menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah. Fase lambat reaksi alergi ditandai dengan infiltrasi sel-sel seperti eosinofil, basofil,
neutrofil, limfosit T dan monosit. Selanjutnya dapat terjadi hidung menjadi
Leukotrien Menyebabkan sumbatan hidung dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah. hipersensitif terhadap alergen, iritan, perubahan kondisi atmosfir sehingga
bereaksi berlebihan terhadap paparan alergen berikutnya.
Sitokin (misalnya: IL4, IL5) Mengerahkan eosinofil, aktivasi.

Kemokin (misalnya: Mengerahkan eosinofil dan basofil.


eotaksin, RANTES)

Catatan : IL=Interleukin, RANTES=Regulated Upon Activation Normal T cell Expressed and Secreted

22 23
edisi Oktober 2019

Rinitis tidak hanya disebabkan oleh alergi, penyebab lainnya yaitu infeksi, iritan
kimia, obat, hormonal, rangsangan fisik (suhu) dan kimia, asap rokok, makanan
(pedas, alkohol, pewarna baju, bahan pengawet), NARES (Non-Allergic Rhinitis with
Eosinophilia Syndrome), serta rangsangan emosi (stres dan rangsangan seksual).

Diagnosis banding rinitis alergi diantaranya rinitis non-alergi yang ditandai dengan
gejala menyerupai rinitis alergi namun terjadi unilateral. Gejala rinitis non-alergi,
yaitu rinorea posterior mukopurulen (post-nasal drip) dengan atau tanpa rinorea
anterior, nyeri hidung dan anosmia.

Rinitis Alergi digolongkan menjadi:

Rinitis Alergi Intermiten Rinitis Alergi Persisten


Jika gejala berlangsung kurang dari Jika gejala lebih dari 4 hari per
4 hari per minggu atau berlangsung minggu atau berlangsung lebih dari
kurang dari 4 minggu 4 minggu

Berdasarkan derajat gangguannya, rinitis alergi dibagi menjadi:


Ringan Penderita tidak mengalami hambatan dalam aktivitas sehari-hari.
Gambar 1. Mekanisme Reaksi Alergi pada Rinitis Alergi27
Sedang - Berat Penderita mengalami satu atau lebih gejala atau tanda seperti
tidur terganggu, aktivitas di sekolah/tempat kerja terganggu,
• Diagnosis dan Diagnosis Banding Rinitis Alergi (RA) olahraga atau bersantai terganggu, aktivitas sehari-hari
terganggu.
Diagnosis rinitis alergi yang akurat akan menghindarkan dari pemeriksaan yang
tidak perlu dan pemberian obat yang tidak tepat sehingga pengobatan dapat Rinitis alergi dapat terjadi bersamaan dengan asma, konjungtivitis, dan komorbid
berhasil. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala lainnya sehingga perlu melakukan evaluasi kemungkinan tersebut. 28
dan tanda klinis, serta pemeriksaan penunjang seperti tes alergi.

Diagnosis Rinitis Alergi Dapat Ditegakkan Bila Terdapat 2 atau Lebih


Gejala Berikut yang Berlangsung Lebih dari 1 Jam, yaitu:
Bersin-bersin Hidung tersumbat bilateral

Rinorea bilateral anterior yang encer Gatal di rongga hidung bilateral dengan
atau tanpa gatal di mata bilateral

24 25
edisi Oktober 2019

4. Mengatur kelembapan udara di rumah agar terhindar dari jamur.


5. Menggunakan penyedot debu rumah dengan penyaring hepa.

Pengobatan rinitis alergi umumnya berulang dan diberikan dalam jangka


panjang sehingga harus direncanakan dengan baik agar tidak berlebihan serta
diberikan secara bertahap sesuai dengan skema dari ARIA (Allergic Rhinitis and
its Impact on Asthma) guidelines. Pengobatan ditujukan agar penderita dapat
menjalani aktivitas sehari-hari termasuk tidur, berolahraga, bersantai tanpa
gejala rinitis alergi yang mengganggu, serta tanpa atau minimal efek samping
pengobatan.

Terapi Medikamentosa Rinitis Alergi, dapat berupa:

1. Obat Semprot Hidung28,29

Obat semprot hidung yang digunakan berupa steroid intranasal (SIN) dan
semprot hidung dekongestan. SIN digunakan sebagai pencegahan dan bukan
untuk menghilangkan gejala akut rinitis alergi. SIN efektif diberikan untuk
pasien dewasa dengan rinitis alergi berat dan gangguan berkepanjangan
terutama sumbatan hidung yang dominan. Penggunaan SIN pada anak tidak
dianjurkan karena terkait keamanannya. SIN dapat membantu mengatasi
hidung tersumbat, bersin, post-nasal drip, mata dan hidung yang gatal. Efek SIN
Gambar 1. Mekanisme Reaksi Alergi pada Rinitis Alergi27 baru dirasakan setelah beberapa hari, setelah efek yang diinginkan tercapai,
dosis diturunkan secara progresif.
Tata Laksana Rinitis Alergi (RA)
Obat semprot hidung dekongestan berfungsi untuk mengurangi sumbatan
Tata laksana utama rinitis alergi adalah penghindaran alergen yang diduga memicu hidung secara instan, hanya boleh diberikan maksimal 3-5 hari saja.
terjadinya rinitis alergi, misalnya dengan cara: Dekongestan semprot dapat membuka rongga hidung sehingga dapat
1. Mengganti dan mencuci seprei, selimut, sarung bantal pada suhu 600C agar membantu steroid intranasal mencapai mukosa hidung. Pemberian yang
terhindar dari tungau. berkepanjangan dapat menyebabkan pembengkakan mukosa hidung yang
2. Tidak memelihara binatang agar terhindar dari sel kulit mati yang terkelupas akan menambah kebutuhan obat, kondisi ini disebut rinitis yang dipicu obat
(dander). (rinitis medikamentosa), pada akhirnya dapat menjadi rinitis atrofi.
3. Menjaga kebersihan rumah, termasuk membersihkan sisa makanan agar Obat semprot lainnya yaitu berisi antikolinergik yang berfungsi mengurangi
terhindar dari kecoak yang juga dapat mencetuskan rinitis alergi. produksi ingus, saat ini sudah tidak digunakan.

26 27
edisi Oktober 2019

2. Obat Oral28,29 Inhibitor Leukotrien

Antihistamin Berbagai faktor pencetus terjadinya inflamasi, seperti interaksi antigen-


antibodi, stimulus fisik (misalnya dingin), aktivasi reseptor, dan reaksi yang
Lini pertama pengobatan rinitis alergi adalah antihistamin yang bermanfaat
menyebabkan peningkatan kalsium interseluler akan menyebabkan sintesis
untuk mengatasi sumbatan hidung, gatal dan ingus meler. Namun,
leukotrien. Mediator-mediator inflamasi akan menyebabkan hiperresponsivitas
antihistamin kurang efektif dalam mengatasi sumbatan hidung berat.
jalan napas, stimulus sekresi lendir berlebihan dan sebukan eosinofil ke jaringan
Antihistamin mempunyai fleksibilitas tinggi agar dapat digunakan secara
jalan napas, serta hipertrofi otot polos di jalan napas. Inhibitor leukotrien akan
teratur maupun untuk mengantisipasi paparan alergen. Dilihat dari efek sedasi
menghambat proses patologi tersebut.
serta pengeringan mukosa hidung dan tenggorok, antihistamin generasi kedua
lebih aman dibandingkan generasi pertama. Inhibitor leukotrien dapat berupa antagonis reseptor leukotrien atau inhibitor
sintesis leukotrien, misalnya Montelukast, Zafirlukast dan Zileuton. Montelukast
Dekongestan
sudah disetujui oleh US FDA untuk digunakan pada anak usia 2 tahun atau
Dekongestan, seperti Pseudoefedrin dan Fenilefrin berfungsi untuk mengurangi lebih dengan rinitis alergi dan asma bronkial. Montelukast juga relatif aman,
pembengkakan hidung dan mengurangi sekret yang berlebihan. Pasien yang mudah diserap serta tidak mengalami interaksi dengan obat lain. Zafirlukast
menderita hipertrofi prostat, hipertensi, angina, tirotoksikosis dan pasien yang dan Zileuton tidak umum digunakan untuk rinitis alergi.
sedang mengonsumsi antidepresan golongan Monoamine Oxidase Inhibitor
Kombinasi inhibitor leukotrien dengan Loratadin akan sedikit meningkatkan
tidak dianjurkan untuk mengonsumsi dekongestan.
efektivitas dibandingkan penggunaan bentuk tunggal-tunggalnya, tetapi tetap
Obat oral lainnya adalah kombinasi dari antihistamin dan dekongestan yang tidak lebih baik dibandingkan steroid intranasal. Pertimbangan lain adalah
dapat meningkatkan efek terapeutiknya. harga inhibitor leukotrien relatif mahal sehingga tidak cost-effective.111,112, 113,

Kromolin sodium bekerja dengan cara mengurangi pelepasan histamin, Terapi dengan Anti-IgE: Omalizumab
produksi leukotrien dan kandungan granuler. Pada pemakaian jangka pendek,
Terapi anti-IgE efektif untuk rinitis alergi, karena rinitis alergi merupakan
kromolin tidak menyebabkan relaksasi otot bronkus, tetapi pemberian dalam
penyakit yang diperantarai IgE. Efikasi dan keamanannya untuk rinitis alergi
jangka panjang dapat menekan hiperaktivitas bronkus.30 Kromolin sodium
pada anak telah terbukti melalui uji klinis. Kekurangannya adalah harga obat
digunakan untuk pencegahan serangan asma bronkial ringan dan sedang.
ini sangat mahal sehingga tidak cost-effective dan pemberiannya tidak nyaman
Kromolin juga dapat mengurangi pemakaian steroid dan bronkodilator untuk
untuk pasien karena harus diberikan secara suntikan subkutan setiap 2-4
serangan akut terutama setelah pemakaian jangka panjang (2-3 minggu).
minggu.31
Kromolin aman untuk anak-anak dan jarang digunakan untuk rinitis alergi.
Toleransi obat cukup baik dan efek samping minimal terutama akibat inhalasi
serbuknya (perih, batuk, bersin, rasa tidak enak).30

28 29
edisi Oktober 2019

Rinitis Non- Alergi Pengobatan Rinitis Non-Alergi

Gejala rinitis non-alergi sering menyerupai rinitis alergi, tetapi penyebabnya bukan Pengobatan rinitis non-alergi bertujuan kausatif, sesuai dengan penyebabnya,
karena reaksi alergi dan tidak bergantung pada IgE. karena rinitis non-alergi harus dapat dibedakan dengan baik agar pengobatan
tepat dan efektif dari segi biaya dan waktu.
Faktor Pemicu Terjadinya Rinitis Non-Alergi, yaitu:
 Gejala rinorea diatasi dengan antikolinergik. Sediaan topikal dapat berupa obat
1. Asap rokok atau 3. Makanan atau 5. Dekongestan semprot
polutan lain minuman beralkohol hidung yang berlebihan
semprot hidung Ipratropium dan steroid intranasal (SIN). SIN dapat mengurangi
gejala rinorea, edema dalam hidung dan gatal serta SIN dapat digunakan pada
2. Bau menyengat 4. Perubahan suhu 6. Infeksi
NARES karena mempunyai efek antiinflamasi. Pemberian antihistamin untuk
Patofisiologi rinitis non-alergi belum dapat dijelaskan dengan baik. rinitis non-alergi tidak jelas efikasinya.
Rinitis non-alergi terdiri atas berbagai kondisi, yaitu:
 Untuk pengobatan jangka pendek akibat sumbatan hidung karena
1 Rinitis infeksi, terjadi karena inflamasi akibat virus atau bakteri. pembengkakan dapat diberikan obat simpatomimetik misalnya derivat
2 Rinitis vasomotor, terjadi karena stimulasi susunan saraf pusat yang Imidazoline, Pseudoephedrine, dan Phenylpropanolamine baik lokal maupun
menyebabkan inhibisi respons sistem saraf simpatik sehingga reaksi parasimpatik sistemik. Penggunaan obat simpatomimetik lebih dari 5-10 hari berpotensi
meningkat.
menimbulkan rinitis medikamentosa, karena reseptor α-adrenergik menjadi
3 Rinitis hormonal, disebabkan oleh pengaruh hormon estrogen dan progesteron tidak dapat lagi berespons akibat rangsangan yang konstan.32,33
yang menyebabkan relaksasi otot polos dan pengumpulan aliran darah sehingga
terjadi sumbatan hidung.
Antihistamin Sebagai Supresan Vertigo
4 Rinitis non-alergi dengan sindroma eosinofilia (non-allergic rhinitis with
eosinophilic syndrome, NARES), terjadi karena kerusakan mukosa dan penurunan Antihistamin generasi pertama, misalnya Dimenhydrinate dan Diphenhydramine
gerak mukosilier akibat eosinofil.
yang dijual sebagai obat bebas dapat berefek sebagai supresan vertigo. Cara
5 Rinitis karena tempat kerja (iritan) kerjanya yaitu sebagai antagonis reseptor H1 di sentral, meskipun terdapat ahli
6 Rinitis gustatorik lain berpendapat bahwa antihistamin tidak bekerja pada reseptor H1 sebagai
antivertigo, tetapi dengan mekanisme lain yang belum jelas.34
7 Rinitis medikamentosa, disebabkan oleh kerusakan mukosa secara langsung
akibat rangsangan zat alfa-adrenergik secara berulang.
Dimenhydrinate
8 Rinitis akibat refluks gastroesofagus, kehamilan, obat antihamil
• Dimenhydrinate merupakan antihistamin yang digunakan untuk mengatasi motion
9 Rinitis emosional sickness (mabuk perjalanan). Obat ini bekerja dengan menekan labirin yang terstimulasi
10 Rinitis atrofikans, dapat disebabkan infeksi Klebsiella ozaenae atau pasca-operasi berlebihan. Dimenhydrinate juga digunakan untuk mual, muntah dan obat simtomatis
turbinektomi sehingga rongga hidung menjadi terlalu luas. penyakit Meniere (Off the label).
• Efek samping Dimenhydrinate timbul karena efek antikolinergiknya, seperti demam,
menggigil, gejala gangguan mental atau perasaan, wheezing, perdarahan dan sclera
Diagnosis rinitis non-alergi dapat ditegakkan setelah mengeliminasi rinitis alergi
atau kulit ikterik. Namun, efek samping tersebut jarang terjadi. Obat ini disetujui oleh
atau penyebab lain dengan mediasi IgE dan adanya gejala spesifik lain yang dapat
US FDA sejak 1949 dan dijual bebas.
ditemukan.32,33

30 31
edisi Oktober 2019

Diphenhydramine 4 Pasien tidak boleh mengemudi kendaraan saat mengonsumsi Dimenhydrinate.


Konsumsi bersamaan dengan obat depresan saraf otak dan alkohol dapat berefek
• Diphenhydramine diwajibkan untuk diberi label peringatan oleh US FDA karena sering
potensiasi. Sesak napas dapat terjadi pada penggunaan bersama sodium oxybate
disalahgunakan untuk efek euforianya.
(GHB). Efek rasa sempoyongan lebih sensitif pada orang tua. Dimenhydrinate tidak
boleh dikonsumsi bersamaan dengan antihistamin lainnya.

5 Interaksi Dimenhydrinate dengan obat lainnya yang berpotensi membahayakan,


Cinnarizine
yaitu pemberian bersama obat muscle relaxant, antinyeri narkotik (mis. Kodein),
• Cinnarizine merupakan antihistamin lainnya yang sering dipakai dan termasuk antibiotik golongan aminoglikosida (mis. Gentamycin dan Vancomycin),
dalam calcium channel blocker spesifik. Sediaan kombinasi tetap 2 obat untuk antispasmodik (mis. Atropin, Alkaloid Belladonna), obat Parkinson (mis.
vertigo simtomatis karena berbagai sebab yang terdiri dari Cinnarizine 20 mg Benztropine, Trihexyphenidyl, Scopolamine, Amitriptyline, Carbamazepine),
dan Dimenhydrinate 40 mg mempunyai efikasi yang teruji secara prospektif non- Alprazolam, Diazepam, Zolpidem, Klorpromazin, Risperidon, dan Trazodon.
intervensional oleh dokter praktik swasta di Jerman. Uji klinis intervensional, Penggunaan bersama MAO inhibitors (mis. Phenelzine, Isocarboxazid, Linezolid,
randomized, double blind, controlled menyatakan bahwa Cinnarizine terutama bekerja Methylene blue, Tranylcypromine) dapat menyebabkan serangan kejang atau
di sistem vestibuler perifer, sedangkan Dimenhydrinate terutama sistem vestibuler
hipertensi.
sentral.35

Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Penggunaan Antihistamin Dimenhydrinate

1 Antihistamin sebagai supresan vertigo tidak boleh diberikan pada neonatus


(prematur dan berat rendah) karena dapat menyebabkan “gasping syndrome”
akibat kandungan Benzyl Alcohol.

2 Dimenhydrinate tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik yang bersifat


ototoksik seperti aminoglikosida karena gejala ototoksisitas (vertigo) tanpa
disadari dapat tertutupi oleh dimenhydrinate sehingga stadium menjadi menetap.

3 Penggunaan Dimenhydrinate juga harus dihindari pada kondisi klinis yang


diperberat oleh antikolinergik, misalnya aritmia jantung, asma bronkial, penyakit
paru obstruksi, glaukoma sudut tertutup, hipertrofi prostat dan obstruksi
pieloduodenal. Efek antikolinergiknya dapat menyebabkan sumbatan bronkus.

32 33
edisi Oktober 2019

Daftar Kepustakaan
1. Bakker RA, Schoonus SB, Smit MJ, Timmerman H,Leurs R. Histamine H(1)-receptor activation of nuclear factor- 20. Powell RJ, Du Toit GL, Siddique N, Leech SC, Dixon TA, Clark AT, et al; British Society for 104. Allergy and Clinical
kappa B: roles for G beta gamma- and G alpha(q/11)-subunits in constitutive and agonistmediated signaling. Mol Immunology (BSACI). BSACI guidelines for the management of chronic urticaria and angio-oedema.Clin Exp
Pharmacol. 2001;60:1133-42. Dikutip dari: Allergy. 2007;37:631-50.
2. Histamine, histamine receptors and antihistamines: newconcepts Paulo Ricardo Criado 1 Roberta Fachini Jardim 21. Criado PR, Criado RFJ, Maruta CW; d’Apparecida Machado Filho C.Histamine, histamine receptors and
Criado2 Celina W. Maruta 3 Carlos dÅLApparecida Machado Filho4. An Bras Dermatol. 2010;85(2):195-210. antihistamines: new concepts. An Bras Dermatol. 2010;85(2):195-210.
3. Simons FE. Advances in H1-antihistamines. N Engl J Med. 2004;18:2203-17. 22. Diepgen TL. Early Treatment of the Atopic Child Study Group. Long-term treatment with cetirizine of infants with
4. Hoen PA, Bijsterbosch MK, van Berkel TJ, Vermeulen NP, Commandeur JN. Midazolam is a phenobarbital-like atopic dermatitis: a multi-country, double-blind, randomized, placebo-controlled trial (the ETAC trial) over 18
cytochrome p450 inducer in rats. J Pharmacol Exp Ther. 2001; 299:921-7. months. Pediatr Allergy Immunol 2002;13:278–86.(Abstract)
5. A del Cuvillo 1, J Mullol 2, J Bartra 3, I Dávila 4, I Jáuregui 5, J Montoro 6, J Sastre 7, AL Valero 3. Comparative 23. Yanai K, Rogala B, Chugh K, Paraskakis E, Pampura AN, Boev R. Safety considerations in the management of allergic
pharmacology of the H1 antihistamines. J Investig Allergol Clin Immunol 2006; Vol. 16, Supplement 1:3-12 diseases: Focus on antihistamines. Curr Med Res Opin 2012; 28:1–20
6. Carlsson, A.; Linqvist M. (1969). “Central and peripheral monoaminergic membrane-pump blockade by some addictive 24. Canonica GW, Blaiss M. Antihistaminic, anti-inflammatory, and antiallergic properties of the nonsedating second-
analgesics and antihistamines”. Journal of Pharmacy and Pharmacology. 21 (7): 460–464. Diunduh dari https:// generation antihistamine desloratadine: a review of the evidence. World Allergy Organ J 2011;4:47–53. 22
en.wikipedia.org/wiki/Chlorphenamine#cite_note-3 25. M. T. Stevensl MT, A. M. Edwards AM, Howell JBL. Sodium cromoglicate: an ineffective drug or meta-analysis
7. Hellbom, E. (2006). “Chlorpheniramine, selective serotonin-reuptake inhibitors (SSRIs) and over-the- misused? Pharmaceut. Statist. 2007; 6: 123–137
counter (OTC) treatment”. Medical Hypotheses. 66 (4): 689–690. Diunduh dari https://en.wikipedia.org/wiki/ 26. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma
Chlorphenamine#cite_note-3 (ARIA) 2008 update (in collaboration with the World Health Organization, GA(2)LEN and AllerGen). Allergy 2008;63
8. Buck ML, Promethazine: Recommendations for Safe Use in Children. PEDIATRIC PHARMACOTHERAPY. Volume Suppl 86:8-160.
16 Number 3. Diunduh tanggal 12 Juni 2006 dari https://med.virginia.edu/pediatrics/wp-content/uploads/ 27. Canonica W, Blaiss M. Antihistaminic, Anti-Inflammatory, and Antiallergic Properties of the Nonsedating Second-
sites/237/2015/12/201003.pdf Generation Antihistamine Desloratadine: A Review of the Evidence. World allergy organ j 2011;4(2):47-53
9. KIMURA ET, YOUNG PR, RICHARDS RK (1960). “Pharmacologic properties of N-p-chloro-benzhydryl-N’-methyl 28. Seidman MD, et al Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis. Otolaryngology– Head and Neck Surgery 2015:
homopiperazine dihydrochloride (homochlorcyclizine; SA-97), a serotonin antagonist”. The Journal of Allergy. 31: 152(1S) S1–S43
237–47. PMID 14409112.
29. Brożek JL. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2010 Revision. ALLERGIC RHINITIS AND ITS IMPACT
10. Haraguchi K, Ito K, Kotaki H, Sawada Y, Iga T (June 1997). “Prediction of drug-induced catalepsy based on dopamine ON ASTHMA GUIDELINES ● 2010 – V. 9/8/2010. Diunduh tanggal 2 Juli 2015 dari: http://www.whiar.org/docs/
D1, D2, and muscarinic acetylcholine receptor occupancies”. Drug Metabolism and Disposition: the Biological Fate ARIAReport_2010.pdf
of Chemicals. 25 (6): 675–84. PMID 9193868.
30. M. T. Stevensl MT, A. M. Edwards AM, Howell JBL. Sodium cromoglicate: an ineffective drug or meta-analysis
11. Simons FER. H1 antihistamines in children. Clin Allergy Immunol 2002;17:437- 464. misused? Pharmaceut. Statist. 2007; 6: 123–137
12. Semuanya dikutip dari : Verra O. Sausen, PharmD,1 Katherine E. Marks, PharmD,2 Kenneth P. 93. Sausen, PhD,3 and 31. 31. Sausen VO, Marks KE, Sausen KP, PhD, Self TH. Management of Allergic Rhinitis. J Pediatr Pharmacol Ther 2005
Timothy H. Self, PharmD2. Management of Allergic Rhinitis. J Pediatr Pharmacol Ther 2005;10:159-173. Vol. 10 No. 3
13. Ronald D Mann, Gillian L Pearce, Nicholas Dunn, Saad Shakir. Sedation with “non-sedating” antihistamines: four 32. QUILLEN DM., and FELLER DB. Diagnosing Rhinitis: Allergic vs. Nonallergic. University of Florida Family Medicine
prescription-event monitoring studies in general practice. BMJ VOLUME 320 29 APRIL 2000. Pp 1184-1187. Residency Program, Gainesville, Florida. (Am Fam Physician 2006;73:1583-90. Diunduh tanggal 11 Juli 2015 dari
Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC27362/pdf/1184.pdf http://www.aafp.org/afp/2006/0501/p1583.pdf
14. Church MK, Church DS. Pharmacology of antihistamines. World Allergy Organization. 2011. Diunduh tanggal 30 33. Sin B, Togias A. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis. PROCEEDINGS OF THE AMERICAN THORACIC
September 2016 dari: http://e-ijd.org/article.asp?issn=0019-5154;year=2013;volume=58;issue=3;spage=219;epag SOCIETY VOL 8 2011. Diunduh tanggal 11 Juli 2015 dari: http://www.atsjournals.org/doi/pdf/10.1513/pats.201008-
e=224;aulast=Church 057RN
15. Central Nervous System Side Effects of First- and Second-Generation Antihistamines in School Children With 34. Lacour M. Histamine and Betahistine in the Treatment of Vertigo. Journal of Vestibular Research 23 (2013) 139–151
Perennial Allergic Rhinitis: A Randomized, Double-Blind, Placebo-Controlled Comparative Study. J Investig Allergol
35. Arne-Wulf Scholtz • Justus Ilgner • Benjamin Loader • Bernd W. Pritschow • Gerhard Weisshaar. Cinnarizine and
Clin Immunol 2007; Vol. 17, Suppl. 2: 28-40
dimenhydrinate in the treatment of vertigo in medical practice. Wien Klin Wochenschr (2016) 128:341–347
16. 97. Bender BG, Berning S, Dudden R, et al. Sedation and performance impairment of diphenydramine and second-
generation antihistamines: a meta-analysis. J Allergy Clin Immunol 2003;111:770-776.
17. Blaiss M. Antihistamines: Treatment selection criteria for pediatric seasonal allergic rhinitis. Allergy Asthma Proc
2005;26:95-102.(Abstract)
18. Smith N, Schellack N, Makgatho S. Long-term antihistamine therapy revisited. S Afr Pharm J 2015;82(8):12-16
19. Schatz M. H1-antihistamines in pregnancy and lactation. Clin Allergy Immunol. 2002;17:421-36.

34 35
Redaksi

Pengarah/Penasehat : Direksi PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia


Pemimpin Redaksi : Kepala Divisi Managed Care Services
Redaktur : Kepala Departemen Obat dan Alkes
Sekretaris : Staf Departemen Obat dan Alkes
obat@mandiriinhealth.co.id

Kantor Pusat
Menara Palma Lantai 20
Jl. HR. Rasuna Said, Blok X2 Kav. 6, Jakarta Selatan 12950
Telp. (021) 525 0900, Fax. (021) 525 0708
www.mandiriinhealth.co.id

Kantor Operasional
Kantor Operasional Balikpapan Kantor Operasional Medan
Jl. Jend. Achmad Yani No. 1 Rt. 17 Jl. Tengku Amir Hamzah No. 12 A-B Medan 20235
Gunung Sari Ulu Balikpapan Telp. (061) 6626111, 6638111
Telp. (0542) 424 115, 800 6118, 800 77900 Fax. (061) 6618438
Fax. (0542) 734 686
Kantor Operasional Palembang
Kantor Operasional Bandung Jl. Basuki Rahmat No. 886-F 20 Ilir Kemuning
Jl. Bengawan No. 90 Bandung Palembang
Telp. (022) 872 44476 / 706 23149 Telp. (0711) 360 445
Fax. (022) 872 444 67 Fax. (0711) 357 647

Kantor Operasional Denpasar Kantor Operasional Pekanbaru


Jl. Tukad Ganggan No. 3 Denpasar Komp. Perkantoran Sudirman Square City
Telp. (0361) 233 844 Jl. Jend. Sudirman Blok C No. 15 Pekanbaru
Fax. (0361) 241 341 Telp. (0761) 888 817
Fax. (0761) 789 1193
Kantor Operasional Jakarta
Menara Palma Lantai 6 Kantor Operasional Semarang
Jl. HR. Rasuna Said Blok X2 Kav. 06 Jl. S.Parman No. 1a Semarang
Kuningan, Jakarta 12950, Indonesia Telp. (024) 844 5957
Telp. (021) 2251 3500 Fax. (024) 845 6848
Fax. (021) 2251 3939
Kantor Operasional Surabaya
Kantor Operasional Makassar Gedung Graha Pena Ext Lantai 9 Ruangan 902
Gedung Fajar Graha Pena Lantai 17 Jl. A. Yani No. 88 Surabaya
Jl. Urip Sumohardjo No.20 Makassar Telp. (031) 599 4444
Telp. (0411) 436 626 Fax. (031) 599 0595
Fax. (0411) 421 331

Anda mungkin juga menyukai