Anda di halaman 1dari 33

REFERAT Agustus 2023

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID DI BIDANG DERMATOLOGY

Disusun Oleh:

Syifa Humairah N. Kholiq

N 111 22 115

PEMBIMBING KLINIK

dr. Diany Nurdin, Sp.KK., M.Kes, FINSDV

KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2023
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Syifa Humairah N. Kholiq

Stambuk : N 111 22 115

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Judul : Penggunaan Kortikosteroid di Bidang Dermatology

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

RSUD Undata Kota Palu

Program Studi Profesi Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Agustus 2023

PEMBIMBING DOKTER MUDA

dr. Diany Nurdin, Sp.KK., M.Kes., FINSDV Syifa Humairah N. Kholiq

ii
DAFTAR PUSTAKA
SAMPUL...................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................ii
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... v
BAB I ...................................................................................................................... 6
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 6

1.2 Tujuan ....................................................................................................... 6

BAB II ..................................................................................................................... 7
2.1 Definisi ..................................................................................................... 7

2.2 Farmakologi.............................................................................................. 8

2.3 Mekanisme Kerja Kortkosteroid ............................................................ 10

2.4 Penggunaan Kortkosteroid dalam Bidang Dermatology ........................ 16

2.4.1 Sistemik Kortikosteroid ............................................................................ 16

2.4.2 Kortikosteroid Topikal .............................................................................. 17

2.4.3 Kortikosteoid Intralesi .............................................................................. 22

2.4.4 Penggunaan Klinis .................................................................................... 24

2.4.5 Monitor Penggunaan Kortikosteroid ...................................................... 25

2.4.6 Pengurangan Dosis Kortikosteroid (Tapering of Corticosteroid) ............ 26

2.4.7 Efek Samping ........................................................................................... 27

BAB III.................................................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 32

iii
DAFTAR TABEL

Table 1. Dosis ekivalen dan potensi relatif kortikosteroid. ................................... 17


Table 2. Klasifikasi potensi kortikosteroid............................................................ 19
Table 3. Beberapa lesi dan berbagai penyakit kulit yang dapat diobati dengan
injeksi KIL. ........................................................................................................... 23
Table 4. Pedoman penghentian kortikosteroid ...................................................... 27
Table 5. Efek Samping kortikosteroid yang sering terjadi .................................... 27

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme Kerja Kortikosteroid ........................................................ 12


Gambar 2. Telangiktasi pada wajah akibat pemakaian KT ................................... 29
Gambar 3. kulit atrofi akibat pemakain KT .......................................................... 29
Gambar 4. Dermatitis perioral akibat pemakaian KT ........................................... 30

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kortikosteroid (CS) adalah biomolekul alami yang diproduksi di
korteks adrenal dan memiliki banyak peran yang meliputi metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak, peradangan dan pengaturan air, elektrolit
dll. Berdasarkan fungsinya, steroid diklasifikasikan sebagai glukokortikoid
dan/ atau mineralokortikoid, dan hanya yang pertama memiliki sifat anti-
inflamasi(1). Kortikosteroid merupakan derivat hormon kortikosteroid yang
dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini memainkan peran penting
termasuk mengontrol respons inflamasi(2).
Di bidang dermatologi, kortikosteroid sistemik banyak dipakai untuk
penyakit yang penyembuhannya lama atau penyakit berat yang
menyebabkan kematian. Penelitian dengan sampel besar dari General
Practice Research Database di Inggris tahun 2000 melaporkan bahwa 0,9%
populasi tersebut menggunakan kortikosteroid oral dan penyakit kulit
sebagai indikasi pemberian menempati urutan kedua sesudah penyakit
saluran napas. Sebagai antiinflamasi, kortikosteroid dibutuhkan dalam dosis
tinggi, yakni 3-10 kali dosis fisiologis. Beberapa kasus bahkan
membutuhkan terapi jangka panjang untuk memperbaiki keadaan klinis,
misalnya pada reaksi kusta. Hal ini menyulitkan dalam menghindari efek
samping, yang mencakup hampir semua sistem organ karena kortikosteroid
memengaruhi sebagian besar organ tubuh(3).

1.2 Tujuan
Referat ini bertujuan menggali lebih lanjut dan membahas tentang
penggunaan Kortikosteroid dalam bidang Dermatology, sehingga dapat
menambah ilmu pengetahuan tentang penggunaannya.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kortikosteroid adalah agen terapeutik penting yang digunakan
untuk
mengobati gangguan alergi dan peradangan atau untuk menekan tindakan
sistem kekebalan yang tidak diinginkan atau tidak tepat. Istilah
kortikosteroid digunakan secara klinis untuk menggambarkan agen dengan
aktivitas glukokortikoid. Kortisol adalah glukokortikoid endogen, dinamai
berdasarkan efeknya pada metabolisme glukosa tetapi juga memberikan
aksi imunologis lain dari kortikosteroid. Kortisol diproduksi di kelenjar
adrenal melalui metabolisme kolesterol. Berbagai hormon lain, termasuk
mineralokortikoid, aldosteron, dan hormon seks pria dan wanita,
diproduksi melalui jalur umum metabolisme kolesterol. Jalur umum dan
kesamaan struktural di antara hormon ini membantu menjelaskan beberapa
efek samping dan reaksi merugikan yang terkait dengan dosis
farmakologis kortisol dan analog sintetiknya (4).
Di bidang dermatologi, kortikosteroid sistemik banyak dipakai
untuk penyakit yang penyembuhannya lama atau penyakit berat yang
menyebabkan kematian. Penelitian dengan sampel besar dari General
Practice Research Database di Inggris tahun 2000 melaporkan bahwa 0,9%
populasi tersebut menggunakan kortikosteroid oral dan penyakit kulit
sebagai indikasi pemberian menempati urutan kedua sesudah penyakit
saluran napas. Sebagai antiinflamasi, kortikosteroid dibutuhkan dalam
dosis tinggi, yakni 3-10 kali dosis fisiologis(3).

Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh


kelenjar adrenal yang pembuatan bahan sintetik analog telah berkembang
dengan pesat. Penggunaan kortikosteroid bersifat paliatif atau empiris,

7
bukan terapi kausal kecuali untuk substitusi pada kasus defisiensi atau
insufisiensi adrenal. Kortikosteroid digunakan sebagai obat untuk
mengatasi berbagai kondisi yang dikarakterisasi oleh inflamasi,
hiperproliferasi, melibatkan sistem imun, atrophogenic, dan dapat juga
meringankan gejala dari luka bakar serta pruritus. Pada bidang
dermatologi, kortikosteroid untuk mengobati beberapa penyakit kulit
seperti alopesia areata, dermatitis atopik, diskoid lupus, psoriasis, dan
hipersensitivitas akibat gigitan serangga (5).

2.2 Farmakologi

Bioavailabilitas kortikosteroid oral mencapai 80- 90%, berkurang


oleh asam lambung dan metabolisme lintas pertama di hati. Perubahan
struktur kimia memengaruhi kecepatan absorpsi, awitan, dan lama
kerja.9,10 Prednison adalah prodrug yang diubah menjadi prednisolon, yaitu
bentuk aktifnya dalam tubuh, sehingga hanya tersedia secara oral yang
memungkinkannya melewati metabolisme lintas pertama saat absorpsi.4
Pada penyakit hati berat, prednisolon lebih disarankan, karena tidak
membutuhkan hidroksilasi untuk aktif secara biologis. Kortikosteroid
diabsorpsi melalui kulit, sehingga penggunaan jangka panjang untuk daerah
luas menyebabkan efek sistemik. Sebanyak 90% kortisol terikat pada
protein plasma globulin pengikat kortikosteroid (transkortin) dan albumin.
Minimal 70% kortisol dimetabolisme di hati dengan masa paruh eliminasi
2-4 jam, dan metabolitnya merupakan senyawa inaktif/berpotensi rendah (3).

Kortikosteroid adalah agen terapeutik penting yang digunakan untuk


mengobati gangguan alergi dan inflamasi atau untuk menekan tindakan
sistem kekebalan tubuh yang tidak diinginkan atau tidak tepat. Itu istilah
kortikosteroid digunakan secara klinis untuk menggambarkan agen dengan
aktivitas glukokortikoid. Kortisol adalah endogen glukokortikoid, dinamai
berdasarkan efeknya pada metabolisme glukosa tetapi juga memberikan aksi
imunologi lainnya kortikosteroid. Kortisol diproduksi di kelenjar adrenal
8
melalui metabolisme kolesterol. Berbagai hormon lain, termasuk
mineralokortikoid, aldosteron, dan pria dan hormon seks wanita, diproduksi
melalui jalur umum metabolisme kolesterol. Ini umum jalur dan kesamaan
struktural antara hormon membantu menjelaskan beberapa efek samping
dan reaksi merugikan terkait dengan dosis farmakologis kortisol dan analog
sintetiknya(4).

Kortikosteroid yang digunakan secara sistemik diklasifikasikan


menurut potensi, efek mineralokortikoid, dan durasi penekanan aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal. Potensi diekspresikan relatif terhadap
hidrokortison dan berguna dalam menentukan dosis pembanding. aktivitas
mineralokortikoid juga dijelaskan relatif terhadap hidrokortison, dan
struktural modifikasi pada molekul steroid dirancang untuk meningkatkan
potensi serta meminimalkan mineralokortikoid efek ketika agen ini
digunakan dalam dosis farmakologis untuk mencegah atau mengobati reaksi
alergi, peradangan, atau kekebalan tubuh. Meskipun agen yang lebih kuat
menunjukkan lebih sedikit efek min eralokortikoid, dalam dosis yang
biasanya digunakan, samping efek yang umum dengan semua agen yang
tersedia. Akhirnya, ini agen diklasifikasikan sebagai short, medium, atau
long acting based pada durasi penekanan sumbu hipotalamus-hipofisis-
adrenal. Durasi aksi tidak berkorelasi dengan baik durasi efek, mungkin
karena intraseluler mekanisme. Karena mekanisme kortikosteroid adalah
intraseluler, efeknya bertahan bahkan setelah kortikosteroid telah hilang dari
peredaran. Oleh karena itu, durasi kerja kortikosteroid spesifik seringkali
didasarkan pada berapa lama efek pada hipotalamus-hipofisis-adrenal
sumbu bertahan, sedangkan tindakan terapeutik yang sebenarnya lebih lama.
Onset efek kortikosteroid sistemik sering tertunda selama 3-8 jam, terlepas
dari rute administrasi. Ini mungkin terkait dengan intraseluler dan nuklir
efek dari terapi ini. Ketika efek anti-inflamasi terlihat, seringkali dramatis.

9
Untuk kondisi yang mengancam jiwa, penggunaan akut kortikosteroid
sistemik harus dilakukan jangan ditunda(4).

2.3 Mekanisme Kerja Kortkosteroid

10
Sebagian besar mekanisme kerja kortikosteroid diperantarai oleh
reseptor intraselular yang disebut reseptor glukokortikoid. Pada tingkat
molekular, kortikosteroid secara pasif masuk ke dalam sel target dan
berikatan cepat dengan reseptor steroid di sitoplasma intraselular. Setelah
kompleks reseptor steroid teraktivasi, kompleks ini melewati membran inti
dan berikatan langsung dengan deoxiribonucleic acid (DNA) yang dikenal
dengan glucocorticoid response elements (GRE). GRE berfungsi sebagai
transkripsi gen dengan menstimulasi atau menghambat produksi
messenger ribonucleic acid (mRNA), sehingga terjadi perubahan
kecepatan sintesis protein yang ditranslasikan oleh mRNA dan
menimbulkan respons terhadap kortikosteroid (kortikosteroid bekerja
dengan memengaruhi kecepatan sintesis protein)(6).

Kortikosteroid mempengaruhi banyak langkah dalam jalur


inflamasi, yang meningkatkan kegunaannya. Untuk memberikan efek,
molekul steroid berdifusi melintasi membran sel dan berikatan dengan
reseptor glukokortikoid, yang menyebabkan perubahan konformasi pada
reseptor. Kompleks reseptorglukokortikoid dapat berpindah ke dalam inti
sel, di mana ia mengalami dimerisasi dan berikatan dengan elemen
respons glukokortikoid. Elemen respons glukokortikoid dikaitkan dengan
gen yang menekan atau merangsang transkripsi, yang menghasilkan asam
ribonukleat dan protein sintesis; efek ini masing-masing disebut
transrepresi atau transaktivasi. Pada akhirnya, agen-agen ini menghambat
faktor transkripsi yang mengontrol sintesis mediator pro-inflamasi,
termasuk makrofag, eosinofil, limfosit, sel mast, dan sel dendritik. Lain
efek penting lainnya adalah penghambatan fosfolipase A2, yang
bertanggung jawab untuk produksi banyak inflamasi mediator(4).

Kortikosteroid menghambat gen yang bertanggung jawab untuk


ekspresi siklooksigenase-2, sintase oksida nitrat yang dapat diinduksi, dan
sitokin pro-inflamasi, termasuk faktor nekrosis tumor alfa dan berbagai

11
interleukin. Sebaliknya, kortikosteroid memulai peningkatan regulasi
lipokortin dan annexin A1, protein yang mengurangi sintesis prostaglandin
dan leukotrien dan yang juga menghambat aktivitas siklooksigenase-2 dan
mengurangi migrasi neutrofil ke tempat inflamasi. Karena aksi
kortikosteroid terjadi secara intraseluler, efeknya tetap ada, bahkan ketika
deteksi dalam plasma tidak ada(4).

Gambar 1. Mekanisme Kerja Kortikosteroid(4).

• Kortikosteroid sebagai anti-inflamasi


Efek anti-inflamasi dan imunosupresif dari glukokortikoid
bergantung pada dosis, dengan efek imunosupresif kebanyakan
terlihat pada dosis yang lebih tinggi. Efek farmakologis anti-
inflamasi dan imunosupresif glukokortikoid sangat luas dan dapat
terjadi melalui mekanisme genomik atau non-genomik. Sebagian
besar efek glukokortikoid adalah melalui mekanisme genomik,
yang membutuhkan waktu, sedangkan efek langsung melalui
mekanisme non-genomik dapat terjadi dengan glukokortikoid dosis
tinggi (seperti terapi denyut). Secara klinis, tidak mungkin untuk
memisahkan efek ini(7).
12
• Mekanisme Genomik
Zat lipofilik, glukokortikoid siap melewati membran sel
dengan difusi dan memasuki sitoplasma sel target, di mana
sebagian besar tindakan mereka dimediasi dengan mengikat
reseptor glukokortikoid intra-sitoplasma. Reseptor glukokortikoid
memiliki dua isoform, α, dan β. Glukokortikoid berikatan dengan
α-isoform saja. Resistensi glukokortikoid pada beberapa pasien
sebagian dikaitkan dengan kadar β-isoform yang lebih tinggi pada
pasien ini. Pengikatan glukokortikoid ke reseptor glukokortikoid
menghasilkan pelepasan protein kejut panas, yang jika tidak terikat
pada reseptor glukokortikoid, yang menghasilkan pembentukan
kompleks reseptor-glukokortikoid glukokortikoid teraktivasi, yang
dengan mudah mentranslokasi ke nukleus. Dalam nukleus sel
target, kompleks ini secara reversibel berikatan dengan beberapa
situs DNA spesifik yang menghasilkan stimulasi (transaktivasi)
dan penekanan (transrepresi) dari berbagai macam transkripsi gen.
Transpresi faktor transkripsi seperti faktor nuklir-κB [NF-κB],
aktivator protein-1, dan faktor pengatur interferon-3 menghasilkan
penekanan sintesis sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, IL-2, IL-6 ,
IL-8, TNF, IFN-gamma, Cox-2, VEGF, dan prostaglandin.
Transaktivasi faktor transkripsi, termasuk elemen respons
glukokortikoid (GRE), mengarah pada aktivasi sintesis sitokin
antiinflamasi seperti IL-10, penghambat NF-κB, dan lipokortin-
1(7).

• Mekanisme Non-Genomik
Efek langsung glukokortikoid dosis tinggi dimediasi melalui
mekanisme non-genomik. Pada dosis tinggi, glukokortikoid
mengikat reseptor glukokortikoid yang berhubungan dengan
13
membran pada sel target seperti limfosit-T, mengakibatkan
gangguan pensinyalan reseptor dan respon imun limfosit T.
Glukokortikoid dosis tinggi juga berinteraksi dengan siklus
kalsium dan natrium melintasi membran sel yang mengakibatkan
penurunan peradangan secara cepat(7).
Dengan mengubah produksi sitokin melalui mekanisme
genomik dan non-genomik, glukokortikoid menyebabkan
penekanan sistem kekebalan dan penurunan peradangan. Mereka
menargetkan berbagai sel, termasuk limfosit T, makrofag,
fibroblas, neutrofil, eosinofil, dan basofil. Khususnya,
glukokortikoid hampir tidak berpengaruh pada fungsi sel B dan
produksi imunoglobulin. Efek hilir glukokortikoid dirangkum di
bawah ini(7):
▪ Penghambatan adhesi neutrofil ke sel endotel dan
demarginasi neutrofil dari kumpulan marginal pembuluh
darah menyebabkan leukositosis neutrofilik
▪ Penurunan jumlah limfosit, makrofag, monosit, eosinofil,
dan basofil (penurunan myelopoiesis dan pelepasan dari
sumsum tulang, dan peningkatan apoptosis)
▪ Penurunan proliferasi fibroblas
▪ Penurunan ekspresi reseptor MHC-Class II dan Fc pada
makrofag dan monosit
▪ Penurunan fagositosis dan presentasi antigen oleh makrofag
▪ Penurunan produksi sitokin oleh makrofag dan limfosit
▪ Penurunan proliferasi fibroblas.
▪ Pengurangan pembentukan turunan asam arakidonat
dengan mendorong sintesis lipokortin-A yang menghambat
fosfolipase A2

14
▪ Penghambatan kolagenase metaloproteinase dan
stromelysin, yang sebaliknya bertanggung jawab untuk
degradasi tulang rawan

• Efek pada Sumbu Hipotalamus-Pituitary-Adrenal (HPA)


Glukokortikoid mengerahkan efek umpan balik negatif
pada aksis HPA. Mereka secara langsung menekan sekresi hormon
adrenokortikotropik (ACTH) dan hormon pelepas kortikotropin
(CRH). Selain itu, dengan menekan pelepasan sitokin pro-
inflamasi yang merangsang sekresi ACTH dan CRP,
glukokortikoid selanjutnya menekan sekresi ACTH dan CRH
secara tidak langsung pada penyakit inflamasi. Supresi aksis HPA
kronis oleh glukokortikoid menyebabkan atrofi adrenal fungsional
(menghindari korteks adrenal bagian luar penghasil
mineralokortikoid yang secara fungsional tidak bergantung pada
ACTH). Risiko atrofi dan insufisiensi adrenal fungsional ini
menantang untuk diprediksi dan bervariasi dari satu pasien ke
pasien lainnya tetapi sebagian besar bergantung pada dosis dan
durasi terapi glukokortikoid. Fungsi adrenal umumnya pulih
dengan pelan-pelan pengurangan glukokortikoid(7).

• Efek Mineralkortikoid
Kortikosteroid topikal merupakan pilihan pengobatan untuk
mengatasi peradangan dan berbagai gejala pada kulit. Hal penting
yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan kortikosteroid
topikal adalah potensi, bahan pembawa dalam formula, frekuensi
pemberian dan lama penggunaan, berkaitan dengan efektivitas dan
keamanannya sebagai agen antiinflamasi. Kortikosteroid topikal
efektif untuk kondisi yang ditandai dengan hiperproliferasi,
peradangan, dan keterlibatan imunologis serta lesi pruritus(7).
15
2.4 Penggunaan Kortkosteroid dalam Bidang Dermatology

Kortikosteroid menjadi zat anti-inflamasi yang paling penting dalam


pengobatan kulit dan juga berperan dalam mengobati penyakit kulit akibat
kerja.Terapi kortikosteroid pada penyakit kulit dapat diberikan secara
sistemik, topikal ataupun secara injeksi (5).

2.4.1 Sistemik Kortikosteroid


Di bidang dermatologi, kortikosteroid sistemik banyak dipakai
untuk penyakit yang penyembuhannya lama atau penyakit berat yang
menyebabkan kematian. Penelitian dengan sampel besar dari General
Practice Research Database di Inggris tahun 2000 melaporkan bahwa
0,9% populasi tersebut menggunakan kor tikosteroid oral dan penyakit
kulit sebagai indikasi pemberian menempati urutan kedua sesudah
penyakit saluran napas. Sebagai antiinflamasi, kortikosteroid
dibutuhkan dalam dosis tinggi, yakni 3-10 kali dosis fisiologis.
Beberapa kasus bahkan membutuhkan terapi jangka panjang untuk
memperbaiki keadaan klinis, misalnya pada reaksi kusta. Hal ini
menyulitkan dalam menghindari efek samping, yang mencakup hampir
semua sistem organ karena kortikosteroid memengaruhi sebagian besar
organ tubuh Kortikosteroid sistemik sering digunakan untuk mendapat
efek anti-inflamasi dan imunosupresi pada kasus kulit yang berat.
Selain dapat mempersingkat masa penyembuhan, angka kematian
dapat ditekan(8).

Efek kortikosteroid berhubungan dengan dosis, yakni makin besar


dosis akan makin besar pula efeknya. Ada juga keterkaitan kerja
dengan hormon lain melalui kerjasama permissive effects, yaitu
pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah
respons jaringan terhadap hormon lain. Kortikosteroid dibagi atas
sediaan dengan kerja singkat (<12 jam), kerja se- dang (12-36 jam),
dan kerja lama (>36 jam). Potensi relatif dikaitkan dengan afinitas
16
terhadap reseptor, dinilai berdasarkan efek glukoneogenesis, khasiat
antiinflamasi, serta retensi natrium (rasio mineralokortikoid), yang me-
nentukan efikasi. Kortikosteroid diberikan dalam dosis rendah (setara
prednison ≤7,5 mg/hari), dosis menengah (>7,5 mg-30 mg/hari), dosis
tinggi (>30 mg-100 mg/ hari), sangat tinggi (>100 mg/hari), atau dosis
denyut jika prednison ≥250 mg/hari diberikan selama satu atau
beberapa hari. Terapi jangka pendek didefinisikan se bagai terapi
dengan waktu kurang dari 3 bulan, jangka menengah antara 3-6
bulan, serta jangka panjang bila lebih dari 6 bulan. Prednison lebih
dari 20 mg/hari se- lama lebih 3 bulan juga termasuk pemberian dosis
tinggi jangka panjang. Dosis ekivalen dan potensi relatif kor-
tikosteroid dapat dilihat pada tabel dibawah ini(3).
Table 1. Dosis ekivalen dan potensi relatif kortikosteroid(3).

2.4.2 Kortikosteroid Topikal


Kortikosteroid topikal (KT) pertama kali diperkenalkan pada tahun
1952 dan saat ini merupakan salah satu formulasi terapi yang banyak
digunakan dalam praktik dokter sehari-hari(9). Efektivitas KT
bergantung pada potensi/ kekuatan, vehikulum, frekuensi pengolesan,
jumlah/banyaknya, dan lama pemakaian. Selain diagnosis yang tepat,
stadium penyakit, lokasi anatomi, dan faktor usia, kepatuhan pasien
juga ikut mempengaruhi keberhasilan terapi.
17
Penggunaan KT yang tepat pada daerah wajah harus
memperhatikan sejumlah faktor yaitu indikasi, potensi KT, usia pasien,
jumlah aplikasi, lama penggunaan dan frekuensi aplikasi. Kulit wajah
lebih tipis dibandingkan kulit pada area tubuh lain, sehingga dapat
menyebabkan peningkatan absorpsi perkutan obat topikal. Penggunaan
KT pada wajah seharusnya dengan potensi lemah dan durasi terapi
tidak lebih dari dua minggu(9).
Secara farmakologik penulisan resep KT harus rasional, terutama
bila dikombinasikan/dicampur dengan obat lain, serta selalu
mempertimbangkan efek samping yang mungkin terjadi. KT
mempunyai kemampuan menekan inflamasi/peradangan dengan cara
menghambat fosfolipase A dan menekan IL-1α. Sebagai obat
imunosupresan, kortikosteroid dapat menghambat kemotaksis neutrofi
l, menurunkan jumlah sel Langerhans dan menekan pengeluaran
sitokin, menekan reaksi alergi-imunologi, serta menekan
proliferasi/antimitotik. KT juga menyebabkan vasokonstriksi dan efek
ini sejalan dengan daya antiinflamasi(2).
Potensi/kekuatan adalah jumlah obat yang dibutuhkan untuk
menghasilkan efek terapi yang diinginkan. Potensi/kekuatan KT dapat
diukur dengan menghitung daya vasokonstriksi. Daya vasokonstriksi
di kulit orang sehat menjadi dasar klasifi kasi potensi. Efek terapi KT
pada setiap pasien hasilnya bervariasi(2).

18
Table 2. Klasifikasi potensi kortikosteroid (2).

Topical steroid Topical Common


class American steroid class representative Indications
calssification Brithis topical steroids
classification
I I Clobetasol propionate Alopecia areata
Superpotent Very potent 0.05%
corticosteroids cream or ointment
Halobetasol propionate Atopic dermatitis (resistant)
0.05%
cream or ointment
Betamethasone Discoid lupus
dipropionate
0.05% ointment
Betamethasone Hyperkeratotic eczema
dipropionate
0.05% cream
II II Flucinonide 0.05% Lichen planus
Potent corticosteroids Potent ointment
Halcinonide 0.1% cream Lichen sclerosus (skin)
Mometasone furoate 0.1% Lichen simplex chronicus
ointment
Betamethasone Nummular eczema
dipropionate
0.05% lotion
III Fluticasone propionate Psoriasis
Upper mid- 0.005% ointment
strength

19
corticosteroids

Triamcinolone acetonide Severe hand eczema


0.1%
ointment
Halometasone 0.05%
cream
IV Flucinolone acetonide Asteatotic eczema
Mid-strength 0.025%
corticosteroids ointment
Mometasone furoate 0.1% Atopic dermatitis
cream or lotion
V III Betamethasone valerate Lichen sclerosus (vulva)
Lower mid-strength Moderate 0.1% cream
corticosteroids
Flucinolone acetonide Nummular eczema
0.025%
cream
Fluticasone propionate Scabies (after scabicide)
0.05%
cream
Hydrocortisone butyrate Seborrheic dermatitis
0.1%
cream
Severe dermatitis
Severe intertrigo (short-
term)
Statis dermatitis
VI Alclometasone Dermatitis (diaper)
dipropionate
20
Mild corticosteroids 0.05% cream or onintment
Desonide 0.05% cream Dermatitis (eyelids)
Fluocinolone acetonide Dermatitis (face)
0.01%
cream
Triamcinolone acetonide Intertigo
0.025% cream
VII IV Hydrocortisone 1% or Perianal inflammation
Least potent Mild 2.5%
corticosteroids cream, 1% or 2.5% lotion,
1% or
2.5% ointment
Hydrocortisone acetate
(1% or 2.5% cream, 1% or
2.5% lotion,
1% or 2.5% ointment)

Sebagai aturan umum, KT potensi rendah adalah agen paling aman untuk
penggunaan jangka panjang, pada area permukaan besar, pada wajah, atau pada
daerah dengan kulit tipis dan untuk anak-anak. KT yang lebih kuat sangat berguna
untuk penyakit yang parah dan untuk kulit yang lebih tebal di telapak kaki dan
telapak tangan. KT potensi tinggi dan super poten tidak boleh digunakan di
selangkangan, wajah, aksila dan di bawah oklusi, kecuali dalam situasi yang
jarang dan untuk durasi pendek. KT diklasifikasikan menjadi tujuh kelas menurut
sistem Amerika dengan kelas I merupakan super poten dan kelas VII
menunjukkan potensi yang paling rendah(2).

21
2.4.3 Kortikosteoid Intralesi
Sejak diidentifikasi hampir 80 tahun yang lalu, steroid telah memainkan
peran penting dalam pengobatan banyak penyakit.1 Pada tahun 1951, injeksi
kortikosteroid intralesi (KIL) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
praktik klinis dermatologi. Dalam terapi berbagai macam penyakit kulit, KIL
dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau dikombinasi dengan terapi lain.
Tujuannya untuk mencapai konsentrasi obat yang tinggi di lokasi yang sakit
dengan absorpsi sistemik minimal sehingga dapat mencegah berbagai efek
samping yang berkaitan dengan pemberian sistemik. KIL merupakan bahan
antiinflamasi yang poten karena langsung bekerja pada lokasi lesi serta
merupakan modalitas cara terapi yang berguna pada beberapa keadaan, misalnya
kortikosteroid topikal yang tidak sesuai atau tidak dapat diberikan karena
potensinya yang rendah, serta dalam kondisi klinis yang dapat menimbulkan atrofi
epidermis(6).

KIL yang paling banyak dipakai saat ini adalah triamsinolon asetonid,
walaupun telah ada preparat terbaru triamsinolon heksasetonid. Triamsinolon
heksasetonid kurang larut dalam jaringan dibandingkan triamsinolon asetonid.
Triamsinolon asetonid (TA) adalah garam asetonid yang mengalami esterifikasi,
glukokortikoid sintetik dengan masa kerja sedang (intermediate) serta tidak
terdapat aktivitas mineralokortikoid. Penambahan gugus fluorin dalam
molekulnya (C24H31FO6) meningkatkan aktivitas anti-inflamasi lima kali lebih
poten dibandingkan hidrokortison. TA dapat diberikan secara oral, topikal dan
injeksi (intramuskular, intalesi, intraartikular, intra- sinovial, dan intrabursal),
namun tidak untuk injeksi intravena karena preparatnya berupa suspensi.
Kelarutan TA rendah, lambat diabsorpsi, dan katalisis komponen garam
asetonidnya terjadi lebih lambat dibandingkan garam triamsinolon lainnya,
sehingga durasi kerjanya cukup panjang (dapat bertahan sampai beberapa minggu)
serta tidak meningkatkan efek sistemik bila digunakan dalam dosis terapi (6).

22
Terdapat dua sediaan TA, yaitu suspensi 10 mg/ mL (volume 5 mL) dan 40
mg/mL (volume 1 mL). Suspensi 40 mg/ mL dipakai untuk injeksi intramuskular
sedangkan intralesi atau sublesi menggunakan suspensi 10 mg/ mL dengan
syringe tuberkulin agar mudah mengukur dosis yang diberikan. Suspensi 40
mg/mL tidak disarankan untuk injeksi intralesi. Injeksi intra-artikular,
intrasinovial, intrabursal, atau soft tissue lainnya dapat menggunakan suspensi 10
mg/mL atau 40 mg/mL. Sebelum diberikan, dikocok terlebih dahulu untuk
meyakinkan bahwa suspensi tercampur merata. Variasi dosis tergantung dari
lokasi, ukuran, dan derajat inflamasi(6).

Beberapa penyakit kulit yang dapat diobati dengan injeksi KIL disajikan
pada tabel , terbagi menjadi lesi inflamasi, infiltratif, dan penyakit granulomatosa
noninfeksius. Daftar tersebut bukan merupakan keseluruhan penyakit tetapi hanya
perwakilan saja(6).

Table 3. Beberapa lesi dan berbagai penyakit kulit yang dapat diobati dengan
injeksi KIL (6).

Jenis Lesi Contoh Penyakit Kulit


Lesi inflamasi Lesi kistik dan nodul akne vulgaris,
alopesia areata, pemfigoid bulosa,
kondrodermatitis nodularis, dsikoid
lupus eritematosus, eskim
(terlokalisata contohnya : liken
simpleks kronis, prurigo nodularis),
liken planus, infiltrasi limfokistik
Jessner-Kanof, limfositoma kutis,
pemfigus vulgaris, psoriasis, pioderma
gangrenosum.
Lesi infiltratif Kalsinosis kutis, keloid, hipertrofik
skar, mikosis fungiodes, kista miksoid,

23
xantoma diseminatum, prebital
myxoedema
Granuloma Noninfeksius Granuloma anular, nekrobioisis,
lipoidika diabetikum, sarkoidosis,
keilitis granumatosa

2.4.4 Penggunaan Klinis


Penggunaan kortikosteroid bersifat empiris atau paliatif, bukan
terapi kausal kecuali untuk substitusi pada defisiensi atau insufisiensi
adrenal. Obat ini dapat diberikan secara oral, intramuskular atau intravena,
namun absorpsi intramuskular tidak menentu sehingga dosis harian tidak
dapat dikontrol. Kortikosteroid intravena diberikan sebagai dosis tambahan
pada penyakit akut atau akan mengalami pembedahan dengan riwayat
supresi adrenal, serta pada penyakit berat agar cepat terkontrol sehingga
mengurangi kemungkinan terapi steroid oral dosis tinggi jangka panjang (3).

Selain harian, kortikosteroid diberikan dalam terapi intravena untuk


berbagai kelainan kulit, yakni pemberian dosis besar dalam waktu singkat
dan berselang, agar segera mendapat efek maksimal. Di sisi lain akan
mengurangi efek samping penggunaan jangka panjang. Akibat serius terkait
pemberian intravena misalnya pada anafilaktik, kejang, aritmia, serta
kematian mendadak, hal ini dapat dihindari dengan infus lambat selama 2-3
jam.Kortikoteroid sistemik sebagai terapi utama diberikan pada pemfigus,
pemfigoid bulosa, pemfigoid gestasional, dermatomiositis, polikondritis
relaps, pioderma gangrenosum, acute febrile neutrophilic dermatoses, dan
reaksi kusta. Meskipun bukan sebagai terapi utama, obat ini diberikan pada
dermatosis IgA linear, epidermolisis bulosa akuisita, urtikaria, dermatitis
atopik, dan jangka pendek pada fotodermatitis, dermatitis eksfoliatif, serta
eritroderma. Penggunaan kortikosteroid pada erupsi obat alergik termasuk
nekrolisis epidermal, eritema multiforme, eritema nodosum, liken planus,
24
limfoma sel T kutaneus, dan lupus eritematosus kutaneus masih terus
diperdebatkan kontroversi(3).

2.4.5 Monitor Penggunaan Kortikosteroid


Untuk meminimalkan efek samping, evaluasi dasar harus
mencakup riwayat pasien dan riwayat keluarga, dengan perhatian khusus
pada faktor predisposisi seperti diabetes, hipertensi, hiperlipidemia,
glaukoma. Tekanan darah dan berat badan harus diukur. Jika penggunaan
jangka panjang, dilakukan pemeriksaan mata dan uji purified protein
derivate (PPD). Pemeriksaan infeksi lain didasarkan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jika pemberian glukokortikoid jangka panjang,
dilakukan pengukuran kepadatan tulang dengan computed tomography
(CT) kuantitatif, dualphoton absorptiometri, atau dual-energy X-ray
absorptiometry (DEXA)(8).
Efek samping kortikosteroid timbul akibat pemberian terus-
menerus terutama dengan dosis tinggi, atau bila pemberian jangka lama
kemudian dihentikan tiba – tiba. Efek samping kortikosteroid meliputi
gangguan neuropsikiatrik, kelainan mata (katarak, glaukoma), penyakit
kardiovaskular (hipertensi, infark miokardium, gagal jantung),
dislipidemia, hiperkoagulabilitas, gangguan gastrointestinal (tukak peptik),
hiperglikemia, gangguan cairan-elektrolit, kelainan kulit (atrofi kulit,
purpura, striae eritema, erupsi akneiform, dermatitis perioral, hirsutisme,
kerusakan mekanisme penyembuhan luka), lipodistrofi (gambaran
Cushingoid), miopati, osteoporosis-fraktur-osteonekrosis, infeksi akibat
imunosupresi, supresi tumbuh-kembang anak, serta supresi sumbu HPA(3).
Baik efek samping lokal maupun sistemik telah didokumentasikan
dengan penggunaan kortikosteroid topikal. Penggunaan kortikosteroid
pada area permukaan yang luas, oklusi, konsentrasi yang lebih tinggi, atau
turunan yang lebih kuat secara langsung meningkatkan risiko penyerapan
sistemik dan efek samping selanjutnya. Parameter pemantauan khusus

25
efek samping dibahas di bawah ini. Dalam kondisi normal, hingga 99%
dari yang diterapkan kortikosteroid topikal dibersihkan dari kulit, dan
hanya 1% saja yang aktif secara terapeutik. Efek samping pada kulit dapat
diakibatkan oleh persentase kecil kortikosteroid yang diserap secara
perkutan atau juga dapat diakibatkan oleh kehadirannya yang hanya
sementara pada kulit. Penggunaan yang berkelanjutan dari kortikosteroid
topikal juga dapat menyebabkan takifilaksis, seperti yang disebutkan di
atas(3).

2.4.6 Pengurangan Dosis Kortikosteroid (Tapering of Corticosteroid)


Ketika kortikosteroid digunakan secara sistemik sebagai terapi
intensif atau untuk jangka waktu yang lama, strategi tapering
direkomendasikan untuk mencegah tanda dan gejala insufisiensi adrenal
akibat penekanan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal(4). Saat ini belum
ada pedoman berbasis bukti tentang penurunan dosis kortikosteroid secara
bertahap, sehingga diterapkan secara empirik (bagian dari protokol terapi).
Pada prinsipnya jika kortikosteroid dosis tinggi tidak lagi diperlukan,
dapat dikurangi menjadi dosis fisiologis. Beberapa ahli merekomendasikan
hidrokortison dalam minggu terakhir penghentian, namun belum melewati
uji klinis sehingga belum terbukti lebih superior. Salah satu rejimen yang
disarankan adalah menurunkan 20-25% dosis selama 2 minggu/lebih. Jika
sebelumnya diberikan beberapa dosis sehari, dimulai dengan dosis tunggal
pagi hari, lalu diturunkan 20-25% selama 2 minggu/lebih, dilanjutkan
sampai mendekati dosis fisiologis, yakni setara hidrokortison 15-20
mg/hari atau prednison 5-7,5 mg/ hari. Saat mendekati dosis fisiologis,
diganti dengan sediaan kerja singkat (hidrokortison). Hidrokortison
diturunkan lagi 20-25% setiap minggu/lebih, dilanjutkan selang sehari
selama 2 minggu/lebih, kemudian dihentikan. Selama proses ini, harus
diwaspadai tanda insufisiensi/ krisis adrenal. Jika muncul maka dosis
dipertahankan. Fungsi adrenal dinilai dari pemeriksaan kortisol darah atau

26
kortisol bebas spesimen urin 24 jam/tes stimulasi ACTH. Pedoman
penghentian kortikosteroid dapat dilihat pada tabel 3 (3).

Table 4. Pedoman penghentian kortikosteroid(3)

2.4.7 Efek Samping


Glukokortikoid topikal, terutama yang berpotensi tinggi Agen
Kelas 1, dapat menyebabkan penekanan aksis HPA dan, jarang, efek
samping sistemik lainnya. Dokter harus menyadari kemungkinan ini
ketika menggunakan kortikosteroid topikal potensi tinggi atau ketika
pasien melaporkan penggunaan kortikosteroid potensi tinggi yang tidak
tepat(10).Efek samping, baik lokal maupun sistemik, lebih sering terjadi
pada bayi dan anak, pada pemakaian KT jangka panjang, potensi kuat,
dan pada pengolesan lesi yang luas(2).

Table 5. Efek Samping kortikosteroid yang sering terjadi(2)

Topical corticosteroids (adverse effects)

Cutaneous Systemic

27
Striae distensae Milia Hypothalamic-pituitary-adrenal
axis suppression
Cutaneous atrophy Masking fungal
infection (tinea
incognito),
worsening of herpes,
demodex, scabies,
candidiasis
Stellate pseudoscars Cushing's disease
Telangiectasia Femoral head osteonecrosis
Purpura Cataracts
Erythema Granuloma Glaucoma
gluteale infantum
Perioral dermatitis Hypertrichosis Decreased growth rate
Rosacea Photosensitisatio Hyperglycemia
n
Acne Hypopigmentatio Hypertension
n
Rebound erythema Hyperpigmentati Hypocalcemia
on
Steroid addiction Contact dermatitis Peripheral edema
Topical steroid Tachyphylaxis
dependent face

Efek samping topikal


Pemakaian KT jangka panjang atau potensi kuat menginduksi atrofi kulit,
striae, telangiektasi, purpura, hipopigmentasi, akneiformis, dermatitis
perioral, hipertrikosis, dan moonface. Pada pemakaian KT tidak terkontrol

28
dan jarang dilaporkan adalah adiksi KT. Beberapa contoh adikdi KT, yaitu
lesi eritematosa di wajah setelah peeling, kulit skrotum tipis dan merah,
vulvodynia, atrofi perianal, dan dermatitis atopik rekalsitrans (2).

Gambar 2. Telangiktasi pada wajah akibat pemakaian KT(2)

Gambar 3. kulit atrofi akibat pemakain KT(2)

Efek samping sistemik


KT berpotensi kuat dan sangat kuat dapat diabsorbsi dan menimbulkan efek
sistemik, di antaranya sindrom Cushing, supresi kelenjar hypothalamic-
pituitary-adrenal, gangguan metabolik, misalnya hiperglikemi, gangguan
ginjal/elektrolit, contohnya hipertensi, edema hipokalsemi. Pada umumnya efek
samping tersebut bersifat reversibel, membaik setelah obat dihentikan, kecuali
atrophic striae yang lebih sulit diatasi karena telah terjadi kerusakan sawar kulit (2).

29
Reaksi Hipersensitivitas

Dermatitis kontak akibat KT umumnya jarang terjadi. Prevalensi diperikrakan 0,2-


6%, umumnya lebih sering disebabkan oleh KT non-fluorinated. Perlu
diperhatikan respons KT kurang memuaskan bila terdapat infeksi yang
terdiagnosis. Dermatitis kronik sulit diatasi, karena adanya fenomena terhadap
vehikulum atau bahan pengawet; pembuktian dapat dengan uji tempel. Vehikulum
yang berpotensi menyebabkan alergi diantaranya adalah propelin glikol, sorbitan
sesquoleate, lanolin, paraben, formalheid dan pewangi (2).

Gambar 4. Dermatitis perioral akibat pemakaian KT(2)

30
BAB III
KESIMPULAN

Kortikosteroid (CS) adalah biomolekul alami yang diproduksi di korteks


adrenal dan memiliki banyak peran yang meliputi metabolisme karbohidrat,
protein dan lemak, peradangan dan pengaturan air, elektrolit dll. Berdasarkan
fungsinya, steroid diklasifikasikan sebagai glukokortikoid dan/ atau
mineralokortikoid, dan hanya yang pertama memiliki sifat anti-inflamasi.

Dua kelas utama kortikosteroid, glukokortikoid dan mineralokortikoid,


terlibat dalam berbagai proses fisiologis, termasuk response stress, respons imun,
dan regulasi peradangan, metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, kadar
elektrolit darah, dan perilaku.

Kortikoteroid sistemik sebagai terapi utama diberikan pada pemfigus,


pemfigoid bulosa, pemfigoid gestasional, dermatomiositis, polikondritis relaps,
pioderma gangrenosum, acute febrile neutrophilic dermatoses, dan reaksi kusta.

Penggunaan kortikosteroid bersifat empiris atau paliatif, bukan terapi


kausal kecuali untuk substitusi pada defisiensi atau insufisiensi adrenal. Obat ini
dapat diberikan secara oral, intramuskular atau intravena, namun absorpsi
intramuskular tidak menentu sehingga dosis harian tidak dapat dikontrol.

Efek samping kortikosteroid timbul akibat pemberian terus-menerus


terutama dengan dosis tinggi, atau bila pemberian jangka lama kemudian
dihentikan tiba – tiba.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. ADKINS C. CORTICOSTEROIDS AND STEROID THERAPY NEW


RESEARCH. ADKINS C, editor. New York: Nova Science Publishers;
2015.

2. Johan R. Penggunaan Kortikosteroid Topikal yang Tepat. J Cermin Dunia


Kedokt. 2015;42(4):308–12.

3. Joyce Novelyn Siagian SLM, Ascobat P. Kortikosteroid Sistemik: Aspek


Farmakologi dan Penggunaan Klinis di Bidang Dermatologi. J MDVI.
2018;Vol. 45:215–22.

4. Williams DM. Clinical pharmacology of corticosteroids. Respir Care.


2020;63(6):655–70.

5. Haririy MR, Rustam E, Yenny SW. Gambaran Peresepan Kortikosteroid


Tunggal pada Pasien Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil
Padang. J Ilmu Kesehat Indones. 2023;3(4):289–94.

6. Rianyta. Kortikosteroid Intralesi : Aspek Farmakologik dan Penggunaan


Klinis di Bidang Dermatologi. J Mdvi. 2019;46(1):51–7.

7. Yasir M, Goyal A, Sonthalia S. Corticosteroid Adverse Effect [Internet].


StatPearls National Library of Medicine. 2022 [cited 2023 Aug 10].
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK531462/

8. Putri JG, Wisan AB. Efek Samping Terapi Kortikosteroid Sistemik Jangka
Panjang pada Pasien Lupus Erimatosus Sistemik dan Tatalaksana
Dermatologi. Cermin Dunia Kedokt [Internet]. 2020;47(2):127–9.
Available from: http://103.13.36.125/index.php/CDK/article/view/356

9. Febrina D, Hindritiani R, Ruchiatan K. Laporan Kasus: Efek Samping


Kortikosteroid Topikal Jangka Lama pada Wajah. Syifa’ Med.
2018;8(2):68–76.

32
10. Sewon, Kang et al. Fitzpatrick’s Dermatolofy 9th Edition Volume,
Elsevier. New York: McGraw-Hill Education; 2019. 3416 p.

33

Anda mungkin juga menyukai