Disusun Oleh:
N 111 22 115
PEMBIMBING KLINIK
KEPANITERAAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2023
HALAMAN PENGESAHAN
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Tadulako
ii
DAFTAR PUSTAKA
SAMPUL...................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................ii
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... v
BAB I ...................................................................................................................... 6
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 6
BAB II ..................................................................................................................... 7
2.1 Definisi ..................................................................................................... 7
2.2 Farmakologi.............................................................................................. 8
BAB III.................................................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 32
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Referat ini bertujuan menggali lebih lanjut dan membahas tentang
penggunaan Kortikosteroid dalam bidang Dermatology, sehingga dapat
menambah ilmu pengetahuan tentang penggunaannya.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kortikosteroid adalah agen terapeutik penting yang digunakan
untuk
mengobati gangguan alergi dan peradangan atau untuk menekan tindakan
sistem kekebalan yang tidak diinginkan atau tidak tepat. Istilah
kortikosteroid digunakan secara klinis untuk menggambarkan agen dengan
aktivitas glukokortikoid. Kortisol adalah glukokortikoid endogen, dinamai
berdasarkan efeknya pada metabolisme glukosa tetapi juga memberikan
aksi imunologis lain dari kortikosteroid. Kortisol diproduksi di kelenjar
adrenal melalui metabolisme kolesterol. Berbagai hormon lain, termasuk
mineralokortikoid, aldosteron, dan hormon seks pria dan wanita,
diproduksi melalui jalur umum metabolisme kolesterol. Jalur umum dan
kesamaan struktural di antara hormon ini membantu menjelaskan beberapa
efek samping dan reaksi merugikan yang terkait dengan dosis
farmakologis kortisol dan analog sintetiknya (4).
Di bidang dermatologi, kortikosteroid sistemik banyak dipakai
untuk penyakit yang penyembuhannya lama atau penyakit berat yang
menyebabkan kematian. Penelitian dengan sampel besar dari General
Practice Research Database di Inggris tahun 2000 melaporkan bahwa 0,9%
populasi tersebut menggunakan kortikosteroid oral dan penyakit kulit
sebagai indikasi pemberian menempati urutan kedua sesudah penyakit
saluran napas. Sebagai antiinflamasi, kortikosteroid dibutuhkan dalam
dosis tinggi, yakni 3-10 kali dosis fisiologis(3).
7
bukan terapi kausal kecuali untuk substitusi pada kasus defisiensi atau
insufisiensi adrenal. Kortikosteroid digunakan sebagai obat untuk
mengatasi berbagai kondisi yang dikarakterisasi oleh inflamasi,
hiperproliferasi, melibatkan sistem imun, atrophogenic, dan dapat juga
meringankan gejala dari luka bakar serta pruritus. Pada bidang
dermatologi, kortikosteroid untuk mengobati beberapa penyakit kulit
seperti alopesia areata, dermatitis atopik, diskoid lupus, psoriasis, dan
hipersensitivitas akibat gigitan serangga (5).
2.2 Farmakologi
9
Untuk kondisi yang mengancam jiwa, penggunaan akut kortikosteroid
sistemik harus dilakukan jangan ditunda(4).
10
Sebagian besar mekanisme kerja kortikosteroid diperantarai oleh
reseptor intraselular yang disebut reseptor glukokortikoid. Pada tingkat
molekular, kortikosteroid secara pasif masuk ke dalam sel target dan
berikatan cepat dengan reseptor steroid di sitoplasma intraselular. Setelah
kompleks reseptor steroid teraktivasi, kompleks ini melewati membran inti
dan berikatan langsung dengan deoxiribonucleic acid (DNA) yang dikenal
dengan glucocorticoid response elements (GRE). GRE berfungsi sebagai
transkripsi gen dengan menstimulasi atau menghambat produksi
messenger ribonucleic acid (mRNA), sehingga terjadi perubahan
kecepatan sintesis protein yang ditranslasikan oleh mRNA dan
menimbulkan respons terhadap kortikosteroid (kortikosteroid bekerja
dengan memengaruhi kecepatan sintesis protein)(6).
11
interleukin. Sebaliknya, kortikosteroid memulai peningkatan regulasi
lipokortin dan annexin A1, protein yang mengurangi sintesis prostaglandin
dan leukotrien dan yang juga menghambat aktivitas siklooksigenase-2 dan
mengurangi migrasi neutrofil ke tempat inflamasi. Karena aksi
kortikosteroid terjadi secara intraseluler, efeknya tetap ada, bahkan ketika
deteksi dalam plasma tidak ada(4).
• Mekanisme Non-Genomik
Efek langsung glukokortikoid dosis tinggi dimediasi melalui
mekanisme non-genomik. Pada dosis tinggi, glukokortikoid
mengikat reseptor glukokortikoid yang berhubungan dengan
13
membran pada sel target seperti limfosit-T, mengakibatkan
gangguan pensinyalan reseptor dan respon imun limfosit T.
Glukokortikoid dosis tinggi juga berinteraksi dengan siklus
kalsium dan natrium melintasi membran sel yang mengakibatkan
penurunan peradangan secara cepat(7).
Dengan mengubah produksi sitokin melalui mekanisme
genomik dan non-genomik, glukokortikoid menyebabkan
penekanan sistem kekebalan dan penurunan peradangan. Mereka
menargetkan berbagai sel, termasuk limfosit T, makrofag,
fibroblas, neutrofil, eosinofil, dan basofil. Khususnya,
glukokortikoid hampir tidak berpengaruh pada fungsi sel B dan
produksi imunoglobulin. Efek hilir glukokortikoid dirangkum di
bawah ini(7):
▪ Penghambatan adhesi neutrofil ke sel endotel dan
demarginasi neutrofil dari kumpulan marginal pembuluh
darah menyebabkan leukositosis neutrofilik
▪ Penurunan jumlah limfosit, makrofag, monosit, eosinofil,
dan basofil (penurunan myelopoiesis dan pelepasan dari
sumsum tulang, dan peningkatan apoptosis)
▪ Penurunan proliferasi fibroblas
▪ Penurunan ekspresi reseptor MHC-Class II dan Fc pada
makrofag dan monosit
▪ Penurunan fagositosis dan presentasi antigen oleh makrofag
▪ Penurunan produksi sitokin oleh makrofag dan limfosit
▪ Penurunan proliferasi fibroblas.
▪ Pengurangan pembentukan turunan asam arakidonat
dengan mendorong sintesis lipokortin-A yang menghambat
fosfolipase A2
14
▪ Penghambatan kolagenase metaloproteinase dan
stromelysin, yang sebaliknya bertanggung jawab untuk
degradasi tulang rawan
• Efek Mineralkortikoid
Kortikosteroid topikal merupakan pilihan pengobatan untuk
mengatasi peradangan dan berbagai gejala pada kulit. Hal penting
yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan kortikosteroid
topikal adalah potensi, bahan pembawa dalam formula, frekuensi
pemberian dan lama penggunaan, berkaitan dengan efektivitas dan
keamanannya sebagai agen antiinflamasi. Kortikosteroid topikal
efektif untuk kondisi yang ditandai dengan hiperproliferasi,
peradangan, dan keterlibatan imunologis serta lesi pruritus(7).
15
2.4 Penggunaan Kortkosteroid dalam Bidang Dermatology
18
Table 2. Klasifikasi potensi kortikosteroid (2).
19
corticosteroids
Sebagai aturan umum, KT potensi rendah adalah agen paling aman untuk
penggunaan jangka panjang, pada area permukaan besar, pada wajah, atau pada
daerah dengan kulit tipis dan untuk anak-anak. KT yang lebih kuat sangat berguna
untuk penyakit yang parah dan untuk kulit yang lebih tebal di telapak kaki dan
telapak tangan. KT potensi tinggi dan super poten tidak boleh digunakan di
selangkangan, wajah, aksila dan di bawah oklusi, kecuali dalam situasi yang
jarang dan untuk durasi pendek. KT diklasifikasikan menjadi tujuh kelas menurut
sistem Amerika dengan kelas I merupakan super poten dan kelas VII
menunjukkan potensi yang paling rendah(2).
21
2.4.3 Kortikosteoid Intralesi
Sejak diidentifikasi hampir 80 tahun yang lalu, steroid telah memainkan
peran penting dalam pengobatan banyak penyakit.1 Pada tahun 1951, injeksi
kortikosteroid intralesi (KIL) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
praktik klinis dermatologi. Dalam terapi berbagai macam penyakit kulit, KIL
dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau dikombinasi dengan terapi lain.
Tujuannya untuk mencapai konsentrasi obat yang tinggi di lokasi yang sakit
dengan absorpsi sistemik minimal sehingga dapat mencegah berbagai efek
samping yang berkaitan dengan pemberian sistemik. KIL merupakan bahan
antiinflamasi yang poten karena langsung bekerja pada lokasi lesi serta
merupakan modalitas cara terapi yang berguna pada beberapa keadaan, misalnya
kortikosteroid topikal yang tidak sesuai atau tidak dapat diberikan karena
potensinya yang rendah, serta dalam kondisi klinis yang dapat menimbulkan atrofi
epidermis(6).
KIL yang paling banyak dipakai saat ini adalah triamsinolon asetonid,
walaupun telah ada preparat terbaru triamsinolon heksasetonid. Triamsinolon
heksasetonid kurang larut dalam jaringan dibandingkan triamsinolon asetonid.
Triamsinolon asetonid (TA) adalah garam asetonid yang mengalami esterifikasi,
glukokortikoid sintetik dengan masa kerja sedang (intermediate) serta tidak
terdapat aktivitas mineralokortikoid. Penambahan gugus fluorin dalam
molekulnya (C24H31FO6) meningkatkan aktivitas anti-inflamasi lima kali lebih
poten dibandingkan hidrokortison. TA dapat diberikan secara oral, topikal dan
injeksi (intramuskular, intalesi, intraartikular, intra- sinovial, dan intrabursal),
namun tidak untuk injeksi intravena karena preparatnya berupa suspensi.
Kelarutan TA rendah, lambat diabsorpsi, dan katalisis komponen garam
asetonidnya terjadi lebih lambat dibandingkan garam triamsinolon lainnya,
sehingga durasi kerjanya cukup panjang (dapat bertahan sampai beberapa minggu)
serta tidak meningkatkan efek sistemik bila digunakan dalam dosis terapi (6).
22
Terdapat dua sediaan TA, yaitu suspensi 10 mg/ mL (volume 5 mL) dan 40
mg/mL (volume 1 mL). Suspensi 40 mg/ mL dipakai untuk injeksi intramuskular
sedangkan intralesi atau sublesi menggunakan suspensi 10 mg/ mL dengan
syringe tuberkulin agar mudah mengukur dosis yang diberikan. Suspensi 40
mg/mL tidak disarankan untuk injeksi intralesi. Injeksi intra-artikular,
intrasinovial, intrabursal, atau soft tissue lainnya dapat menggunakan suspensi 10
mg/mL atau 40 mg/mL. Sebelum diberikan, dikocok terlebih dahulu untuk
meyakinkan bahwa suspensi tercampur merata. Variasi dosis tergantung dari
lokasi, ukuran, dan derajat inflamasi(6).
Beberapa penyakit kulit yang dapat diobati dengan injeksi KIL disajikan
pada tabel , terbagi menjadi lesi inflamasi, infiltratif, dan penyakit granulomatosa
noninfeksius. Daftar tersebut bukan merupakan keseluruhan penyakit tetapi hanya
perwakilan saja(6).
Table 3. Beberapa lesi dan berbagai penyakit kulit yang dapat diobati dengan
injeksi KIL (6).
23
xantoma diseminatum, prebital
myxoedema
Granuloma Noninfeksius Granuloma anular, nekrobioisis,
lipoidika diabetikum, sarkoidosis,
keilitis granumatosa
25
efek samping dibahas di bawah ini. Dalam kondisi normal, hingga 99%
dari yang diterapkan kortikosteroid topikal dibersihkan dari kulit, dan
hanya 1% saja yang aktif secara terapeutik. Efek samping pada kulit dapat
diakibatkan oleh persentase kecil kortikosteroid yang diserap secara
perkutan atau juga dapat diakibatkan oleh kehadirannya yang hanya
sementara pada kulit. Penggunaan yang berkelanjutan dari kortikosteroid
topikal juga dapat menyebabkan takifilaksis, seperti yang disebutkan di
atas(3).
26
kortisol bebas spesimen urin 24 jam/tes stimulasi ACTH. Pedoman
penghentian kortikosteroid dapat dilihat pada tabel 3 (3).
Cutaneous Systemic
27
Striae distensae Milia Hypothalamic-pituitary-adrenal
axis suppression
Cutaneous atrophy Masking fungal
infection (tinea
incognito),
worsening of herpes,
demodex, scabies,
candidiasis
Stellate pseudoscars Cushing's disease
Telangiectasia Femoral head osteonecrosis
Purpura Cataracts
Erythema Granuloma Glaucoma
gluteale infantum
Perioral dermatitis Hypertrichosis Decreased growth rate
Rosacea Photosensitisatio Hyperglycemia
n
Acne Hypopigmentatio Hypertension
n
Rebound erythema Hyperpigmentati Hypocalcemia
on
Steroid addiction Contact dermatitis Peripheral edema
Topical steroid Tachyphylaxis
dependent face
28
dan jarang dilaporkan adalah adiksi KT. Beberapa contoh adikdi KT, yaitu
lesi eritematosa di wajah setelah peeling, kulit skrotum tipis dan merah,
vulvodynia, atrofi perianal, dan dermatitis atopik rekalsitrans (2).
29
Reaksi Hipersensitivitas
30
BAB III
KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
8. Putri JG, Wisan AB. Efek Samping Terapi Kortikosteroid Sistemik Jangka
Panjang pada Pasien Lupus Erimatosus Sistemik dan Tatalaksana
Dermatologi. Cermin Dunia Kedokt [Internet]. 2020;47(2):127–9.
Available from: http://103.13.36.125/index.php/CDK/article/view/356
32
10. Sewon, Kang et al. Fitzpatrick’s Dermatolofy 9th Edition Volume,
Elsevier. New York: McGraw-Hill Education; 2019. 3416 p.
33