Anda di halaman 1dari 23

Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam REFERAT

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Kortikosteroid

Oleh :
Hadyan Marta Dyaksa 2210017077

Pembimbing:
dr. Nono Mattarungan, Sp.PD

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam
Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan
kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan
judul “Kortikosteroid”.Tulisan ini disusun sebagai tugas kepaniteraan klinik bagian
Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Nono Mattarungan, Sp.PD, atas ilmu dan bimbingan yang
diberikan selama menjalani kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan ini. Namun,
penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi proses pembelajaran
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Penyakit Dalam.

Samarinda, November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan.............................................................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan...........................................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................3
2.1 Definisi............................................................................................................................................3
2.2Mechanism of Action.......................................................................................................................5
2.3 Klasifikasi.......................................................................................................................................8
2.4 Indikasi............................................................................................................................................9
2.5 Kontraindikasi...............................................................................................................................16
2.6 Efek Samping................................................................................................................................16
BAB 3 KESIMPULAN...........................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................20

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar
adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol respon inflamasi.
Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki efek penting pada metabolisme
karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan mineralokortikoid memiliki efek kuat
terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit (Hodgens & Sharman,, 2023).
Kortikosteroid banyak digunakan dalam pengobatan karena efek yang kuat
dan reaksi antiinflamasi yang cepat. Kortikosteroid banyak digunakan untuk
tatalaksana penyakit inflamasi seperti reumathoid arthritis (RA) dan systemic lupus
erythematosus (SLE). Kortikosteroid juga diresepkan dalam berbagai pengobatan
seperti replacement therapy pada penderita insufisiensi adrenal, supresor sekresi
androgen pada congenital adrenal hyperplasia (CAH), dan terapi kelainan-kelainan
non endokrin seperti penyakit ginjal, infeksi, reaksi transplantasi, alergi, dan lain-lain.
Kortikosteroid juga banyak diresepkan untuk penyakit kulit, baik itu penggunaan
topikal maupun sistemik (Hodgens & Sharman,, 2023).
Penggunaan yang luas dan manfaat yang banyak, membuat kortikosteroid
menjadi obat yang digemari. Selain memiliki manfaat yang banyak, kortikoseteroid
memiliki banyak efek samping, yaitu sekitar sembilan puluh lima efek samping
pengobatan. Kortikosteroid sering disebut life saving drug karena dalam
penggunaanya sebagai antiinflamasi, kortikosteroid berfungsi sebagai terapi paliatif,
yaitu menghambat gejala saja sedangkan penyebab penyakit masih tetap ada. Hal ini
akhirnya menyebabkan kortikosteroid banyak digunakan tidak sesuai indikasi, dosis,
dan lama pemberian (Neilsen & Kaye, 2014).
Penggunaan yang terus menerus menyebabkan efek samping yang serius dan
bersifat merugikan. Efek samping yang ditimbulkan oleh kortikosteroid akan menjadi
semakin buruk apabila digunakan tidak sesuai dengan aturan pakainya, baik itu dosis

1
maupun lama pemakaian. Diantara efek samping dari kortikosteroid yaitu
osteoporosis, fraktur dan osteonekrosis, supresi kelenjar adrenal, cushing syndrome,
diabetes dan hiperglikemia (Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023).
Maka mengingat segala efek samping dan risiko penggunaan kortikosteroid
yang irasional, maka penulis merasa perlu membuat refrat tentang kortikosteroid
untuk mengetahui jenis-jenis kortikosteroid, indikasi penggunaan, kontra indikasi
penggunaan, dan efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan kortikosteroid.
1.2 Tujuan Penulisan
Referat ini disusun dalam rangka memahami obat-obatan steroid, dari definisi,
mekanisme kerja, klasifikasi, indikasi, kontraindikasi dan efek samping yang dapat
ditimbulkan.
1.3 Manfaat Penulisan
Memahami definisi, mekanisme kerja, klasifikasi, indikasi, kontraindikasi dan
efek samping yang dapat ditimbulkan, serta dapat mempertimbangkannya dalam
praktik klinis.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di
bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik
(ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak
sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem
kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan
protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku (Sulistia, 2008).
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla,
sedangkan bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan
glomerulosa. Zona fasikulata mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan zona
glomerulosa. Zona fasikulata menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek
utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti-inflamasinya nyata,
sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak berarti.
Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan
glukokortikoid alam. Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon,
triamsinolon, dan betametason (Sulistia, 2008).
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K,
sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Oleh
karena itu mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Prototip dari golongan
ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat
anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol, meskipun demikian sediaan ini
tidak pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada
keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar. Berdasarkan cara penggunaannya
kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid
topikal (Sulistia, 2008).

3
2.2 Mechanism of Action
Kortikosteroid menghasilkan efeknya melalui berbagai jalur. Secara umum,
kortikosteroid menghasilkan efek antiinflamasi dan imunosupresif, efek metabolisme
protein dan karbohidrat, efek air dan elektrolit, efek sistem saraf pusat, dan efek sel
darah. Kortikosteroid memiliki mekanisme kerja genomik dan nongenomik.
Mekanisme kerja genomik dimediasi melalui reseptor glukokortikoid, yang mengarah
ke sebagian besar efek antiinflamasi dan imunosupresif (Williams, 2018).

Gambar 1. Kortikosteroid Mechanism of Action. GRE : Glucoid Response Element


(Williams, 2018)
Reseptor glukokortikoid terletak di dalam sel dalam sitoplasma dan, setelah
mengikat, segera translokasi ke nukleus, di mana ia mempengaruhi transkripsi gen
dan menyebabkan penghambatan ekspresi dan translasi gen untuk leukosit inflamasi
dan sel struktural seperti epitel. Untuk memberikan efek, molekul steroid berdifusi
melintasi membran sel dan mengikat reseptor glukokortikoid, yang menyebabkan
perubahan konformasi pada reseptor. Kompleks reseptor-glukokortikoid dapat
bergerak ke dalam nukleus sel, di mana ia berdimerisasi dan mengikat elemen respon
glukokortikoid (Gambar 1). Elemen respon glukokortikoid dikaitkan dengan gen
yang menekan atau menstimulasi transkripsi, yang menghasilkan ribonucleic acid dan

4
sintesis protein; efek ini disebut transrepresi atau transaktivasi, masing-masing. Pada
akhirnya, agen-agen ini menghambat faktor-faktor transkripsi yang mengontrol
sintesis mediator pro-inflamasi, termasuk makrofag, eosinofil, limfosit, sel mast, dan
sel dendritik. Efek penting lainnya adalah penghambatan fosfolipase A2, yang
bertanggung jawab atas produksi banyak mediator inflamasi. Kortikosteroid
menghambat gen yang bertanggung jawab untuk ekspresi siklooksigenase-2,
inducible nitric oxide synthase, dan sitokin pro-inflamasi, termasuk tumor necrosis
factor alpha dan berbagai interleukin. Sebaliknya, kortikosteroid memulai upregulasi
lipocortin dan annexin A1, protein yang mengurangi sintesis prostaglandin dan
leukotriene dan juga menghambat aktivitas siklooksigenase-2 dan mengurangi
migrasi neutrofil ke tempat peradangan. Karena aksi kortikosteroid terjadi di dalam
sel, efeknya tetap ada, bahkan ketika deteksi dalam plasma tidak ada (Williams,
2018).
Mekanisme nongenomik terjadi lebih cepat dan dimediasi melalui interaksi
antara reseptor glukokortikoid intraseluler atau reseptor glukokortikoid terikat
membran. Dalam hitungan detik hingga menit setelah aktivasi reseptor, serangkaian
efek dipicu, termasuk penghambatan fosfolipase A2, yang penting untuk
memproduksi sitokin inflamasi, mengganggu pelepasan asam arakidonat, dan
pengaturan apoptosis pada timosit. Efek langsung dari glukokortikoid dosis tinggi
dimediasi melalui mekanisme non-genomik. Pada dosis tinggi, glukokortikoid
mengikat reseptor glukokortikoid yang terikat membran pada sel target seperti
limfosit T, yang mengakibatkan gangguan pensinyalan reseptor dan respons imun
limfosit T. Glukokortikoid dosis tinggi juga berinteraksi dengan siklus kalsium dan
natrium melintasi membran sel yang mengakibatkan penurunan peradangan yang
cepat (Williams, 2018).
Dengan mengubah produksi sitokin melalui mekanisme genomik dan non-
genomik, glukokortikoid menyebabkan penekanan sistem kekebalan dan mengurangi
peradangan. Mereka menargetkan berbagai sel, termasuk limfosit T, makrofag,
fibroblas, neutrofil, eosinofil, dan basofil. Khususnya, glukokortikoid hampir tidak

5
memiliki efek pada fungsi sel B dan produksi imunoglobulin (Hodgens & Sharman,,
2023).
Efek supresi glukokortikoid dirangkum di bawah ini (Hodgens & Sharman,,
2023):
 Penghambatan adhesi neutrofil ke sel endotel dan demarginasi neutrofil dari
kolam marjinal pembuluh darah yang menyebabkan leukositosis neutrofil
 Penurunan jumlah limfosit, makrofag, monosit, eosinofil, dan basofil
(penurunan mielopoiesis dan pelepasan dari sumsum tulang, dan peningkatan
apoptosis)
 Penurunan proliferasi fibroblas
 Penurunan ekspresi MHC-Class II dan reseptor Fc pada makrofag dan
monosit
 Penurunan fagositosis dan presentasi antigen oleh makrofag
 Penurunan produksi sitokin oleh makrofag dan limfosit
 Penurunan proliferasi fibroblas
 Pengurangan pembentukan turunan asam arakidonat dengan mempromosikan
sintesis lipocortin-A yang menghambat fosfolipase A2
 Penghambatan metaloproteinase kolagenase dan stromelysin, yang
bertanggung jawab atas degradasi tulang rawan
Glukokortikoid memberikan efek umpan balik negatif pada sumbu HPA.
Mereka secara langsung menekan sekresi hormon adrenokortikotropik (ACTH) dan
hormon pelepas kortikotropin (CRH). Selain itu, dengan menekan pelepasan sitokin
pro-inflamasi yang merangsang sekresi ACTH dan CRP, glukokortikoid lebih lanjut
menekan sekresi ACTH dan CRH secara tidak langsung pada penyakit inflamasi.
Penekanan sumbu HPA kronis oleh glukokortikoid menyebabkan atrofi adrenal
fungsional (mempertahankan korteks adrenal luar penghasil mineralokortikoid yang
secara fungsional independen dari ACTH). Risiko atrofi dan insufisiensi adrenal
fungsional ini sulit diprediksi dan bervariasi dari pasien ke pasien tetapi sangat
tergantung pada dosis dan durasi terapi glukokortikoid. Fungsi adrenal umumnya

6
pulih dengan peng tapering glukokortikoid yang lambat (Hodgens & Sharman,,
2023).
Glukokortikoid juga mengikat reseptor mineralokortikoid (MRs) dan
menghasilkan efek mineralokortikoidnya (yaitu, meningkatkan natrium dan
menurunkan kalium), tetapi hanya jika digunakan dalam dosis tinggi dan untuk waktu
yang lama (Hodgens & Sharman,, 2023).
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami.
Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk
regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas.
Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat
sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi
dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg
kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protein
dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-a2
(CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat
lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar
plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas
bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexametason terikat dengan
albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG (Hodgens & Sharman,, 2023).
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu
paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan
dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati.
Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urin sebagai kortisol bebas, sekitar
20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor
mineralokortikoid sebelum mencapai hati. Perubahan struktur kimia sangat
mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi
afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan
cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh (Hodgens &
Sharman,, 2023).

7
2.3 Klasifikasi Kortikosteroid
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik,
umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya
efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-
inflamasinya. Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan
berdasarkan masa kerjanya, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi
mineralokortikoid (Samue, Nguyen & Choi, 2017).
Tabel 1. Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan
kortikosteroid (Samue, Nguyen & Choi, 2017)
Potensi Lama Dosis
Kortikosteroid kerja ekuivalen
Mineralkortikoid Glukokortikoid
(mg)*
Glukokortikoid
Kortisol 1 1 S 20

Kortison 0,8 0,8 S 25


6-α-metilprednisolon 0,5 5 I 4
Prednisone 0,8 4 I 5
Prednisolon 0,8 4 I 5
Triamsinolon 0 5 I 4
Parametason 0 10 L 2
Betametason 0 25 L 0,75
Deksametason 0 25 L 0,75
Mineralokortikoid
Aldosteron 300 0.3 S -
Fluorokortison 150 15.0 I 2.0
Desoksikortikosteron 20 0.0 - -

Keterangan:
* : hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.

8
S : kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam)
I : intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam)
L : kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)
Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan
deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan
kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut
kekuatan (potensi) dari yang paling lemah sampai yang paling kuat. Parametason,
betametason, dan deksametason mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh
36-72 jam. Sedangkan kortison dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling
singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat semakin kuat potensinya semakin
besar efek samping yang terjadi (Samue, Nguyen & Choi, 2017).
Efektifitas kortiksteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu vasokonstriksi,
antiproliferatif, immunosupresif dan antiinflamasi. Steroid topikal menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah di bagian superfisial dermis, yang akan mengurangi
eritema. Kemampuan untuk menyebabkan vasokontriksi ini biasanya berhubungan
dengan potensi anti-inflamasi, dan biasanya vasokontriksi ini digunakan sebagai
suatu tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen (Samue, Nguyen &
Choi, 2017).
2.4 Indikasi
Sejak penemuannya, kortikosteroid telah digunakan di hampir semua bidang
kedokteran dan melalui hampir semua rute. Kortikosteroid adalah analog sintetis dari
hormon steroid alami yang diproduksi oleh korteks adrenal dan termasuk
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Hormon sintetis memiliki berbagai tingkat
sifat glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid terutama terlibat dalam
metabolisme dan memiliki efek imunosupresif, antiinflamasi, dan vasokonstriktif.
Sementara mineralokortikoid mengatur elektrolit dan keseimbangan air dengan
mempengaruhi transpor ion di sel epitel tubulus ginjal (Hodgens & Sharman,, 2023).
Namun, istilah kortikosteroid dalam praktiknya umumnya digunakan untuk
merujuk pada efek glukokortikoid. Glukokortikoid adalah hormon stres primer yang
mengatur berbagai proses fisiologis dan penting untuk kehidupan. Kortikosteroid

9
adalah salah satu kelas obat yang paling banyak diresepkan di seluruh dunia, dengan
perkiraan pasar lebih dari 10 miliar USD per tahun. Diperkirakan satu persen dari
total populasi orang dewasa di Inggris menerima glukokortikoid oral pada waktu
tertentu. Indikasi untuk terapi kortikosteroid mencakup ratusan kondisi. Indikasi ini
secara umum dapat dikelompokkan menjadi gangguan infeksi dan inflamasi, penyakit
alergi dan autoimun, syok, penurunan hiperkalsemia, peningkatan ekskresi air,
pengobatan hipoglikemia patologis, penekanan sekresi adrenokortikal berlebih,
pencegahan penolakan cangkok, gangguan neurologis, gangguan hematologi,
gangguan kulit, dan terapi penggantian kortikosteroid (Hodgens & Sharman,, 2023).
Kortikosteroid memiliki indikasi endokrin dan nonendokrin. Peran
endokrinnya seringkali dalam diagnosis sindrom Cushing atau manajemen
insufisiensi adrenal dan hiperplasia adrenal kongenital. Peran nonendokrinnya secara
teratur memanfaatkan efek antiinflamasi dan imunosupresifnya yang kuat untuk
mengobati pasien dengan berbagai gangguan imunologi dan inflamasi. Kortikosteroid
digunakan pada dosis fisiologis sebagai terapi pengganti pada kasus insufisiensi
adrenal dan dosis suprafisiologis dalam pengobatan untuk efek antiinflamasi dan
imunosupresif (Hodgens & Sharman,, 2023).
Indikasi umum untuk kortikosteroid, menurut bidang, meliputi (Hodgens &
Sharman,, 2023) :
 Alergi dan Pulmonologi: eksaserbasi asma, eksaserbasi PPOK, anafilaksis,
urtikaria dan angioedema, rinitis, pneumonitis, sarkoidosis, penyakit paru-
paru interstisial.
 Dermatologi: dermatitis kontak, pemphigus vulgaris.
 Endokrinologi: insufisiensi adrenal, hiperplasia adrenal kongenital.
 Gastroenterologi: penyakit radang usus, hepatitis autoimun.
 Hematologi: anemia hemolitik, leukemia, limfoma, purpura trombositopenia
idiopatik.
 Rheumatologi: rheumatoid arthritis, lupus eritematosus sistemik, polimiositis,
dermatomiositis, polimialgia reumatika.
 Oftalmologi: uveitis, keratokonjungtivitis.

10
 Lainnya: transplantasi organ, pematangan paru-paru antenatal, sindrom
nefrotik, edema serebral, multiple sclerosis.
Jika dibagi menjadi perannya dalam terapi, kortikosteroid diindikasikan
sebagai (Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023):
 Sebagai Terapi Pengganti
- Insufisiensi adrenokortikal (penyakit Addison)
- Hiperplasia adrenal kongenital (CAH)
- Pengobatan Simtomatik Sistemik
 Akut
- Reaksi alergi dan syok anafilaksis (efek vasokonstriktif)
- Asma (efek bronkodilatasi)
- Pengobatan antiemetik, misalnya, mual akibat kemoterapi)
- Edema paru toksik
- Eksaserbasi akut penyakit autoimun seperti multiple sclerosis, vitiligo,
uveitis, rheumatoid arthritis, SLE, dll.
- Eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
- Edema serebral: Hanya disarankan dalam kondisi tertentu seperti tekanan
intrakranial yang meningkat akibat neoplasma atau infeksi sistem saraf
pusat (SSP); umumnya dihindari pada cedera otak sedang hingga berat
 Jangka Panjang
- Penyakit inflamasi kronis (asma, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit
radang usus)
- Penyakit reumatik (sarkoidosis, sindrom Sjogren, SLE)
- Oftalmopati Graves
- Pengobatan simtomatik lokal: uveitis anterior, dermatosis responsif steroid
(SRD), tenosinovitis, dan osteoarthritis atau juvenile idiopathic arthritis
 Profilaksis
- Transplantasi organ (mencegah penolakan karena aksi imunosupresifnya)
- Persalinan prematur (untuk memungkinkan kematangan paru-paru janin)

11
 Mineralokortikoid terutama terlibat dalam pengaturan keseimbangan elektrolit
dan air dengan memodulasi transpor ion di sel epitel tubulus kolektor ginjal.
Penggunaan obat mineralokortikoid terbatas pada terapi penggantinya pada
krisis adrenal akut dan penyakit Addison.
2.5 Kontraindikasi
Kontraindikasi umum termasuk hipersensitivitas. Kontraindikasi untuk
penggunaan kortikosteroid sistemik diantaranya (Hodgens & Sharman,, 2023):
 Infeksi jamur sistemik
 Pemberian intratekal
 Malaria serebral
 Vaksinasi virus hidup atau virus hidup yang dilemahkan secara bersamaan
(jika menggunakan glukokortikoid dalam dosis imunosupresif)
 Purpura trombositopenia idiopatik (pemberian IM)
 Penggunaan pada bayi prematur (formulasi yang mengandung benzil alkohol)
Adapun kontraindikasi penggunaan kortikosteroid topikal diantaranya :
 Dermatologis: Infeksi bakteri, virus, atau jamur pada mulut atau tenggorokan
(triamcinolone)
 Oftalmik: Infeksi mata purulen akut yang tidak diobati, infeksi mata jamur
atau mikobakteri, konjungtivitis virus, atau keratitis
Dokter tetap dapat memberikan vaksin virus hidup kepada pasien yang
menggunakan (Hodgens & Sharman,, 2023):
 Prednisone atau setaranya dalam dosis kurang dari 20 mg per hari selama 14
hari atau kurang
 Glukokortikoid yang digunakan untuk penggantian fisiologis jangka panjang
 Glukokortikoid yang diberikan secara topikal, aerosol, atau injeksi intra-
artikular atau bursae, asalkan tidak ada bukti klinis atau laboratorium
imunosupresi
2.6 Efek samping
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efek Samping Glukokortikoid

12
Mengingat keragaman mekanisme kerja glukokortikoid, mereka dapat
menyebabkan berbagai efek samping mulai dari ringan hingga berat, beberapa di
antaranya tidak dapat dihindari. Dari semua faktor yang mempengaruhi efek samping
glukokortikoid, dosis dan durasi terapi adalah faktor risiko independen dan
terdokumentasi dengan baik yang paling penting. Biasanya pada dosis pemberian
glukokortikoid "supra-fisiologis" di mana efek samping glukokortikoid yang multipel
dan terutama parah terjadi, mulai dari penekanan ringan sumbu hipotalamus-hipofisis
hingga infeksi berat yang mengancam jiwa. Namun, penggunaan glukokortikoid
jangka panjang dalam dosis rendah hingga sedang juga dapat menyebabkan beberapa
efek samping serius. Efek samping kortikosteroid tergantung pada dosis dan waktu
(Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023).
Beberapa efek samping mengikuti pola respons dosis linier di mana kejadian
meningkat dengan peningkatan dosis (ekimosis, fitur cushingoid, kulit seperti
perkamen, edema kaki, dan gangguan tidur). Efek samping lain mungkin mengikuti
pola respons dosis ambang dengan peningkatan frekuensi kejadian melampaui nilai
ambang batas tertentu (kenaikan berat badan dan epistaksis pada dosis prednison
lebih besar dari 5 mg setiap hari, glaukoma, depresi, hipertensi pada dosis prednison
lebih besar dari 7,5 mg setiap hari, dll.) (Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023).
Beberapa faktor lain dapat mempengaruhi efek samping glukokortikoid. Usia
tua, kondisi komorbid (seperti diabetes mellitus), penggunaan bersamaan agen
imunosupresif lainnya, tingkat keparahan dan sifat penyakit yang mendasari, dan
status gizi yang buruk semuanya dapat mempengaruhi kejadian dan besarnya efek
samping (Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023).
Efek Samping Muskuloskeletal
Osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid adalah salah satu efek samping
yang diketahui dan menghancurkan dari penggunaan glukokortikoid jangka panjang.
Hingga 40% pasien yang menggunakan glukokortikoid jangka panjang mengalami
kehilangan tulang yang mengarah ke patah tulang. Beberapa mekanisme berperan,
termasuk aktivasi osteoklas dengan mendorong RANK-ligand serta penurunan fungsi
dan jumlah osteoblas dan osteosit. Tulang trabekula awalnya terkena, dengan

13
kehilangan tulang kortikal terlihat dengan penggunaan jangka panjang. Kehilangan
tulang trabekula dapat terjadi dalam 6 hingga 12 bulan pertama terapi (Yasir, Goyal
& Sonthalia, 2023).
Miopati akibat steroid, yang merupakan miopati reversibel tanpa rasa sakit
dan merupakan akibat langsung dari kerusakan otot, dapat terjadi di ekstremitas atas
dan bawah, biasanya dengan penggunaan glukokortikoid dosis tinggi jangka panjang.
Enzim otot (CK dan Aldolase) biasanya normal, dan temuan pada elektromiografi
tidak spesifik. Biopsi otot menunjukkan atrofi serat Tipe-II tanpa peradangan.
Penarikan glukokortikoid dan latihan biasanya menghasilkan resolusi miopati.
"Critical illness myopathy" juga dapat berkembang pada pasien yang dirawat di unit
perawatan intensif (ICU) yang membutuhkan glukokortikoid IV dosis besar dan agen
pemblokir neuromuskuler. Ini secara khas muncul dengan kelemahan proksimal dan
distal yang parah, difus, dan berkembang selama beberapa hari. Meskipun biasanya
reversibel, miopati akibat penyakit kritis dapat menyebabkan rawat inap ICU yang
lama, peningkatan lama tinggal di rumah sakit, miopati nekrotik berat, dan
peningkatan mortalitas (Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023).
Osteonekrosis dapat terlihat terutama dengan penggunaan prednison jangka
panjang lebih dari 20 mg setiap hari. Pasien dengan SLE dan anak-anak berisiko lebih
tinggi. Pinggul dan lutut adalah sendi yang paling sering terlibat dengan keterlibatan
bahu dan pergelangan kaki yang lebih jarang. Nyeri adalah fitur awal, yang akhirnya
bisa menjadi parah dan melemahkan. Pencitraan resonansi magnetik adalah tes yang
paling sensitif, terutama untuk deteksi dini. Rontgen polos mungkin negatif pada
awalnya tetapi dapat berguna untuk tindak lanjut. Pengobatan awalnya dengan
mengurangi beban berat badan dan imobilisasi, tetapi pembedahan dan/atau
penggantian sendi mungkin diperlukan jika parah (Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023).
Efek Samping Metabolik dan Endokrin
Glukokortikoid sistemik menyebabkan peningkatan kadar glukosa puasa yang
bergantung pada dosis dan peningkatan yang lebih signifikan pada nilai postprandial
pada pasien tanpa diabetes mellitus yang sudah ada sebelumnya, tetapi perkembangan
diabetes baru pada pasien dengan toleransi glukosa yang awalnya normal tidak

14
umum. Faktor risiko hiperglikemia onset baru selama terapi glukokortikoid
tampaknya sama dengan faktor risiko pasien lain. Namun, pasien dengan diabetes
mellitus atau intoleransi glukosa menunjukkan kadar glukosa darah yang lebih tinggi
saat menggunakan glukokortikoid, yang menyebabkan peningkatan kesulitan dalam
pengendalian glikemik (Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023).
Perkembangan fitur cushingoid (redistribusi lemak tubuh dengan obesitas
batang tubuh, buffalo hump, dan moon face) dan penambahan berat badan bergantung
pada dosis dan durasi dan dapat berkembang lebih awal. Fitur cushingoid
menunjukkan peningkatan frekuensi linier dengan dosis. Terapi glukokortikoid
adalah penyebab paling umum sindrom Cushing. Presentasi klinis pada populasi
pediatrik serupa dengan pada orang dewasa dan termasuk obesitas batang tubuh,
perubahan kulit, dan hipertensi. Pada anak-anak, perlambatan pertumbuhan juga
merupakan salah satu fitur (Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023).
Pemberian glukokortikoid dapat menekan sumbu hipotalamus-pituitari-
adrenal (HPA) dengan menurunkan hormon pelepas kortikotropin (CRH) dari
hipotalamus, hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari kelenjar pituitari anterior, dan
kortisol endogen. Penekanan ACTH yang berkepanjangan menyebabkan atrofi
kelenjar adrenal, dan penghentian mendadak atau penarikan glukokortikoid secara
cepat pada pasien tersebut dapat menyebabkan gejala insufisiensi adrenal. Presentasi
klinis supresi adrenal bervariasi. Banyak dari tanda dan gejala yang tidak spesifik dan
dapat disalahartikan sebagai gejala penyakit interkuren atau kondisi yang mendasari
yang sedang menerima pengobatan (kelemahan/kelelahan, malaise, mual, muntah,
diare, sakit perut, sakit kepala biasanya di pagi hari, demam, anoreksia/penurunan
berat badan, mialgia, artralgia, gejala psikiatri, pertumbuhan dan penambahan berat
badan yang buruk pada anak-anak). Supresi adrenal adalah penyebab paling umum
insufisiensi adrenal pada anak-anak dan dikaitkan dengan mortalitas yang lebih tinggi
pada populasi pediatrik. Pada orang dewasa, gejala supresi adrenal tidak spesifik;
oleh karena itu, kondisinya mungkin tidak dikenali sampai terpapar stres fisiologis
(penyakit, pembedahan, atau cedera), yang mengakibatkan krisis adrenal. Anak-anak
dengan krisis adrenal sekunder akibat supresi adrenal dapat muncul dengan hipotensi,

15
syok, penurunan kesadaran, kelesuan, hipoglikemia yang tidak dapat dijelaskan,
kejang, dan bahkan kematian (Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023).
Gangguan pertumbuhan pada anak kecil dan penundaan pubertas biasanya
terjadi pada anak-anak yang menerima glukokortikoid untuk penyakit kronis seperti
sindrom nefrotik dan asma. Efeknya paling terasa dengan terapi harian dan kurang
nyata dengan rejimen hari-harian dan juga dapat terjadi dengan glukokortikoid
inhalasi. Meskipun gangguan pertumbuhan dapat merupakan efek samping
independen dari terapi kortikosteroid, hal itu juga dapat merupakan tanda supresi
adrenal (Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023).
Infeksi
Penggunaan glukokortikoid dosis sedang hingga tinggi menimbulkan risiko
infeksi yang signifikan, termasuk infeksi ringan yang umum serta infeksi serius yang
mengancam jiwa. Ada peningkatan linier dalam risiko dengan dosis dan durasi terapi,
terutama dengan patogen bakteri, virus, dan jamur yang umum. Penggunaan
bersamaan agen imunosupresif lain dan usia lanjut semakin meningkatkan risiko
infeksi. Dosis prednisone kurang dari 10 mg per hari memiliki risiko infeksi minimal
atau tidak sama sekali. Pasien yang menggunakan glukokortikoid mungkin tidak
menunjukkan tanda dan gejala umum infeksi dengan jelas, karena penghambatan
pelepasan sitokin dan penurunan respons inflamasi dan demam yang terkait, yang
menyebabkan kegagalan dalam deteksi dini infeksi (Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023).
Efek Samping Kardiovaskular
Efek mineralokortikoid, terutama seperti yang terlihat dengan kortisol dan
kortison, dapat menyebabkan retensi cairan, edema, penambahan berat badan,
hipertensi, dan aritmia dengan meningkatkan ekskresi kalium, kalsium, dan fosfat
ginjal. Hipertensi biasanya hanya terjadi dengan dosis yang lebih tinggi. Penggunaan
glukokortikoid dosis sedang-tinggi jangka panjang memiliki implikasi pada
aterosklerosis dini dalam pola yang tergantung dosis (Yasir, Goyal & Sonthalia,
2023).
Efek Samping Dermatologis

16
Beberapa efek samping kulit dapat terjadi bahkan pada penggunaan
glukokortikoid dosis rendah, meskipun risikonya meningkat secara linier dengan
peningkatan dosis dan durasi terapi glukokortikoid. Meskipun efek samping kulit
tampaknya signifikan secara klinis bagi dokter, mereka biasanya paling
mengkhawatirkan pasien. Efek samping ini termasuk ekimosis, penipisan dan atrofi
kulit, jerawat, hirsutisme ringan, eritema wajah, striae, gangguan penyembuhan luka,
penipisan rambut, dan dermatitis perioral (Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023).
Efek Samping Oftalmologis
Risiko katarak secara signifikan tinggi pada pasien yang menggunakan
prednisone lebih dari 10 mg per hari selama lebih dari satu tahun, dengan
ketergantungan dosis secara linier. Namun, peningkatan risiko katarak telah
dilaporkan bahkan dengan glukokortikoid dosis rendah. Katarak biasanya bilateral
dan berkembang perlahan. Peningkatan tekanan intraokular, terutama pada pasien
dengan riwayat keluarga glaukoma sudut terbuka, terlihat pada pasien yang menerima
glukokortikoid intraokular dan glukokortikoid sistemik dosis tinggi. Glaukoma
seringkali tidak menimbulkan rasa sakit dan dapat menyebabkan hilangnya bidang
pandang, cupping diskus optikus, dan atrofi saraf optik. Setelah menghentikan terapi
sistemik, peningkatan tekanan intraokular biasanya akan pulih dalam beberapa
minggu, tetapi kerusakan saraf optik seringkali permanen. Efek samping yang jarang
terjadi dari penggunaan glukokortikoid sistemik atau bahkan topikal adalah
korioretinopati serosa sentral; ini menyebabkan pembentukan cairan subretinal di
daerah makula, yang menyebabkan pemisahan retina dari fotoreseptor di bawahnya.
Kondisi ini bermanifestasi sebagai penglihatan kabur sentral dan penurunan
ketajaman visual (Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023).
Efek Samping Gastrointestinal (GI)
Glukokortikoid meningkatkan risiko efek samping GI, seperti gastritis,
pembentukan ulkus lambung, dan perdarahan GI. Penggunaan NSAID dan
glukokortikoid dikaitkan dengan peningkatan risiko efek samping GI 4 kali lipat
dibandingkan dengan penggunaan salah satu obat saja. Komplikasi lain yang terkait
dengan penggunaan glukokortikoid termasuk pankreatitis, perforasi viseral, dan

17
steatosis hepatik (perlemakan hepar) yang jarang dapat menyebabkan emboli lemak
sistemik atau sirosis (Yasir, Goyal & Sonthalia, 2023).
Efek Samping Neuropsychiatric
Pasien yang menerima glukokortikoid sering mengalami peningkatan rasa
kesejahteraan dalam beberapa hari setelah memulai pengobatan; euforia atau
kecemasan ringan juga dapat terjadi. Reaksi hipomanik dan keadaan aktif lebih
umum pada awal terapi daripada depresi, tetapi prevalensi depresi lebih besar pada
pasien dengan terapi yang lebih lama. Psikosis dapat terjadi tetapi hampir secara
eksklusif pada dosis prednison di atas 20 mg per hari yang diberikan untuk jangka
waktu yang lama. Gangguan tidur dilaporkan, terutama dengan dosis terpisah yang
dapat mengganggu pola normal produksi kortisol diurnal. Akatisia (kegelisahan
motorik) adalah efek samping glukokortikoid yang umum. Risiko mengembangkan
gangguan neuropsychiatric tertentu setelah terapi glukokortikoid dapat meningkat
pada pasien dengan riwayat kondisi tersebut. Kasus pseudotumor cerebri yang jarang
juga berkorelasi dengan penggunaan glukokortikoid (Yasir, Goyal & Sonthalia,
2023).
Ada dokumentasi spesifik tentang efek samping neuropsychiatric dengan
terapi glukokortikoid pada anak-anak dengan leukemia limfoblastik akut (ALL) yang
menerima deksametason atau prednison untuk induksi dan pemeliharaan pengobatan.
Risikonya lebih tinggi pada anak-anak prasekolah, dan gejalanya biasanya muncul
selama minggu pertama terapi glukokortikoid. Gangguan neuropsychiatrik akut
akibat glukokortikoid dapat muncul dengan berbagai macam gejala perilaku,
termasuk euforia, agresi, insomnia, fluktuasi suasana hati, depresi, perilaku manik,
dan bahkan psikosis nyata. Meskipun gangguan psikiatri ini cenderung berkurang
seiring waktu setelah penghentian terapi glukokortikoid, sebagian kecil pasien
mungkin mengalami gejala yang persisten bahkan setelah menghentikan obat (Yasir,
Goyal & Sonthalia, 2023).

18
BAB 3
KESIMPULAN

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di


bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik
(ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Kortikosteroid menghasilkan
efeknya melalui berbagai jalur. Secara umum, kortikosteroid menghasilkan efek
antiinflamasi dan imunosupresif, efek metabolisme protein dan karbohidrat, efek air
dan elektrolit, efek sistem saraf pusat, dan efek sel darah. Kortikosteroid memiliki
mekanisme kerja genomik dan nongenomik. Mekanisme kerja genomik dimediasi
melalui reseptor glukokortikoid, yang mengarah ke sebagian besar efek antiinflamasi
dan imunosupresif.
Kortikosteroid dapat menyebabkan berbagai efek samping mulai dari ringan
hingga berat, beberapa di antaranya tidak dapat dihindari. Dari semua faktor yang
mempengaruhi efek samping glukokortikoid, dosis dan durasi terapi merupakan
faktor risiko yang terdokumemntasi yang paling baik.

19
DAFTAR PUSTAKA

Hodgens, A., & Sharman, T. (2023). Corticosteroid. National Library of Medicine :


Statpearl[Internet]; avaible from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554612/

Neilsen, E.W., & Kaye, A.D. (2014). Steroids: pharmacology, complications, and practice
delivery issues. Ochsner J;14(2):203-7.

Samuel, S., Nguyen, T., & Choi, H.A. (2017). Pharmmacologic Characteristics of
Corticosteroids. J Neurocrit Care;10(2):53-59.

Sulistia, G.G. (2008). Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Balai penerbit FKUI.

Williams, D.M. (2018). Clinical Pharmacology of Corticosteroids. Respiratory


Care;63(6).

Yasir, M., Goyal, A., & Sonthalia, S. (2023). Corticosteroid Adverse Effects. National
Library of Medicine : Statpearl[Internet]; avaible from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK531462/

20

Anda mungkin juga menyukai