Anda di halaman 1dari 69

Referat

Efek Saamping Penggunaan Steroid


Jangka Panjang pada Anak

Oleh

Firstari Vashti 1740312413


Resti Syafitri 1740312096
Desi Kurnia Sari 1740312123
Rahmi Trisna Y 1740312285
Aryf Kurniawan 1740312286
Retno Putri Hafid 1740312256
Nafitra Windri 1740312257
Nadia Puspita D 1740312289
Gangeswari A/P 1740312606

Pembimbing
Dr. Eka Agustia Rini, SpA (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil’aalamiin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT
penulis ucapkan atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan ilmu, akal,
pikiran, dan waktu, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Efek Samping Penggunaan Steroid Jangka Panjang pada Anak“.
Referat ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan tahap
kepaniteraan klinik ilmu kesehatan anak di Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas atau Rumah Sakit DR. M. Djamil Padang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Eka Agustia Rini, SpA K,
selaku pembimbing yang telah membimbing kami dalam penulisan makalah
ini. Tidak juga lupa kami berterima kasih kepada dr. Nova Linda dan dr. Farid
yang telah meluangkan waktunya dan ilmunya dalam penyusunan referat ini.
Tentunya penulisan referat ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Padang. November 2018

Penulis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DEPAN 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
DAFTAR TABEL 4
DAFTAR GAMBAR 5

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penulisan 5
1.4 Metode Penulisan 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Steroid 7
2.2 Klasifikasi Steroid 8
2.3 Biosintesis, Pengaturan Sekresi dan Fisiologi Kerja Steroid 8
2.4 Penggunaan Klinis Steroid 9
2.5 Evaluasi Penggunaan Steroid 10
2.6 Steroid Withdrawal Planning
2.7 Efek Samping Penggunaan Steroid 30

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan 32
3.2 Saran 34

DAFTAR PUSTAKA 63

DAFTAR TABEL

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


TABEL 2.1 Contoh Steroid beserta Contoh 15

TABEL 2.2 Indikasi Terapeutik Glukokortikoid pada Penyakit

Non Adrenal 19

TABEL 2.3 Evaluasi Penggunaan Steroid 25

TABEL 2.4 Gejala Insufisiensi Adrenal 32

TABEL 2.5 Pemeriksaan Aksis HPA 34

TABEL 2.6 Tanda dan Gejala Sindrom Chusing 39

DAFTAR GAMBAR

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


Gambar 2.1 Proses Pembentukan dan Feedback negatif Sistem Endokrin 10

Gambar 2.2 Struktur Kimia Steroid 12

Gambar 2.3 Struktur Kimia Glukokortikoid 13

Gambar 2.4 Diagram Pertumbuhan Anak Sindrom Chusing 40

Gambar 2.5 Algoritma Diagnosis Sindrom Chusing 43

Gambar 2.6 Mekanisme Supresi Pertumbuhan oleh Kortikosteroid 45

Gambar 2.7 Efek Kortikosteroid pada Tulang 49

Gambar 2.8 Efek Kortikosteroid pada Tulang 50

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


Steroid merupakan substansi hormonal yang diproduksi secara alami di

dalam   tubuh   oleh   kelenjar   adrenal   dan   organ   reproduksi.  Steroid   memiliki

beberapa  jenis  dan berbagai macam  efek yang berbeda pada tubuh. Steroid

terbagi atas steroid endogen (alami) dan steroid eksogen (sintetis) berdasarkan

asal   pembentukannya.   Steroid   alami   maupun   sintetis   digunakan   untuk

diagnosis dan pengobatan gangguan fungsi adrenal, selain itu juga digunakan

untuk mengatasi kondisi radang dan gangguan imunologi.1
Steroid   yang   sering   kita   kenal   adalah   kortikosteroid.   Hormon   ini

memiliki  peranan penting  seperti  mengontrol  respon inflamasi,  metabolisme

lemak, karbohidrat, dan protein. Berdasarkan peranannya, steroid terbagi atas

glukokortikoid  dan   mineralokortikoid.   Glukortikoid   memiliki   peran   dalam

metabolisme   karbohidrat,   lemak,   dan   protein,   sedangkan   mineralokortikoid

memiliki peran dalam keseimbangan elektrolit.  Beberapa contoh  glukortikoid

yang banyak digunakan adalah hidrokortison, prednison, dan prednisolon.2,3 
Penggunaan steroid lebih banyak bersifat empiris. Steroid merupakan

salah satu obat yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, akan

tetapi steroid juga harus digunakan dengan hati-hati karena memiliki berbagai

macam efek samping terutama pada pasien dengan ulkus peptik, penyakit

jantung atau hipertensi dengan gagal jantung, penyakit infeksi tertentu seperti

varisela dan tuberkulosis, psikosis, diabetes, osteoporosis atau glaukoma.1

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


Pemberian kortikosteroid pada anak untuk terapi telah lama digunakan,

namun munculnya reaksi obat yang merugikan masih dapat ditemukan,

bergantung pada dosis pemakaian, rute pemberian, dan lama penggunaan obat.4

Durasi pemberian kortikosteroid bergantung pada kebutuhan pasien.

Penggunaan kortikosteroid jangka pendek didefinisikan sebagai penggunaan

selama 7-14 hari.4

Berbagai efek samping terhadap penggunaan kortikosteroid jangka

pendek yang dapat terjadi adalah infeksi, krisis adrenal akut yang diinduksi

oleh stress, muntah, emosi yang labil, gangguan tidur, dan lain-lain. Sementara

itu, penggunaan kortikosteroid dosis tinggi jangka panjang dapat menyebabkan

supresi aksis hipotalamus-hipofis-adrenal (HPA). Keadaan tersebut dapat

meningkatkan risiko anak untuk mengalami infeksi, baik infeksi virus, bakteri

maupun jamur.4
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menjelaskan efek samping

pemakaian steroid jangka panjang pada anak dan tatalaksana serta evaluasi

dalam penggunaan steroid pada anak.


1.2. Batasan Masalah
Makalah ini membahas mengenai definisi, jenis-jenis, fisiologi,

farmakokinetik, farmakodinamik steroid, indikasi, kontraindikasi dan pengaruh

steroid jangka pendek dan panjang pada anak, serta evaluasi dan tatalaksana

dari dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh steroid.


1.3. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan

pemahaman tentang definisi, jenis-jenis, fisiologi, farmakokinetik,

farmakodinamik steroid, indikasi, kontraindikasi dan pengaruh steroid jangka

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


pendek dan lama pada anak, serta evaluasi dan tatalaksana dari dampak jangka

lama yang ditimbulkan oleh steroid.

1.4. Metode Penulisan


Penulisan makalah ini merujuk dari berbagai kepustakaan dan

literatur.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Steroid

Steroid merupakan sekelompok lipid yang mengandung sistem cincin

cyclopentanoperhydrophenanthrene  terhidrogenasi.   Zat­zat   yang   termasuk

dalam   kelompok   ini   adalah   progesteron,   hormon­hormon   adrenokortikal,

hormon­hormon gonad, asam empedu, sterol (seperti kolesterol), saponin dan

beberapa   hidrokarbon   karsinogenik.   Steroid     merupakan   substansi   hormonal

yang diproduksi secara alami di dalam tubuh oleh kelenjar adrenal (tepat di atas

masing­masing ginjal) dan oleh organ reproduksi.2

2.2 Klasifikasi Steroid

Beberapa   jenis   steroid   yang   terdapat   di   dalam   tubuh  memiliki   efek

yang   berbeda.   Steroid   yang   sering   dikenal   adalah   kortikosteroid.1  Hormon

steroid   dibagi   menjadi   2   golongan   besar,   yaitu   glukokortikoid   dan

mineralokortikoid.   Glukokortikoid   memiliki   efek   penting   pada   metabolisme

karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan mineralokortikoid memiliki efek kuat

terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit.5,6

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


2.3 Biosintesis,   Pengaturan   Sekresi     Hormon   Steroid,   dan   Fisiologi

Kerja Steroid

Adrenocorticotropic   hormone  adalah   protein   yang   disekresikan   dari

pituitari   anterior   dan   merupakan   derivat   dari   pecahan   enzim  pro­hormone

convertase. ACTH disekresikan dari  corticotroph  yang menyusun 15­20% sel

di  pituitari anterior. Corticotropin Releasing Hormone (CRH) adalah regulator

hipotalamus utama yang berperan dalam pelepasan ACTH yang disintesis di

parvoselular   hipotalamus   dan   magnoseluler   dari   nukleus   paraventrikuler

(NPV). CRH dan neuron NPV akan menerima sinyal dari aferen adrenergik

yang   berasa   dari   nukleus   traktur   solitarius,  locus   coeruleus,   dan   medula

ventrolaiteral   dan   kemudian   disekresikan   ke   dalam   sirkulasi   hipofisis   dan

mengikat   diri   pada   reseptor   CRH­1   di   hipofisis   anterior   untuk   merangsang

transkripsi pro­opiomelanocortin.8,9 

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


Gambar 2. 1 Proses pembentukan dan feedback negatif di dalam endokrin

Aksis hipothalamus­hipofisis adrenal juga diatur oleh irama biologis

yang   dihasilkan   oleh  interaksi  dari  irama  sirkardian  dan  lingkungan.  ACTH

disekresikan secara pulsatil dengan irama sirkardian yang menyebabkan kadar

tertinggi  ACTH  terjadi  pada  saat  bangun pagi,  menurun sepanjang  hari  dan

mencapai   titik   terendah   pada   saat   malam   hari.   pengatur   lain   dari  HPA   axis

adalah   stress   yang   akan   merangsang   hambatan   aktivitas  HPA   axis  akibat

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


feedback  negatif   dari   pelepasan   glukokortikoid.  Feedback  negatif   yang

dihasilkan tersebut menghambat ekspresi basal dari CRH, sintesis, dan sekresi

AVP mRNA di hipothalamus. 8,9

2.3.1. Glukokortikoid 
Glukokortikoid  merupakan   salah   satu   steroid   yang   diproduksi   dan

disekresikan secara ketat oleh sistem saraf pusat dan juga bergantung kepada

jumlah glukokortikoid yang beredar di dalam tubuh. Hormon tersebut berperan

dalam   pengaturan   banyak   proses   metabolisme,   seperti   pembentukan   glukosa

dari protein dan lemak, penyimpanan glikogen dalam hati dan membantu untuk

menjaga   tekanan   darah   tetap   normal   serta   memiliki   efek   anti­inflamasi   dan

imunosupresif. 1,3,5,6 

Gambar 2.2 Beberapa struktur kimia steroid3

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


Glukokortikoid terdiri dari kortisol, kortikosteron, dan kortison. Kortisol

merupakan jenis glukokortikoid yang paling banyak berada di dalam tubuh dan

disekresikan sebanyak 15­20 mg setiap harinya di dalam tubuh orang dewasa

dengan   jumlah   sekresi   mengikuti   irama   sirkardian   yang   bergantung   dengan

kadar  adrenocorticotrophin hormone (ACTH), seperti peningkatan kortisol di

jam awal-awal pagi hari dan setelah makan. Kortisol diikat oleh cortisol-

binding globulin (CBG) di dalam plasma yang kemudian dimetabolisme di

dalam hati sebanyak 90% dan sisanya beredar bebas di dalam tubuh. Kortisol

yang dikeluarkan sebagai kortisol bebas dari dalam tubuh melalui urin hanya

1%, sedangkan sebanyak 20% kortisol diubah menjadi kortison oleh 11-

hydroxysteroid dehydrogenase sebelum mencapai hati Kortisol memiliki waktu

paruh sekitar 60-90 menit di dalam tubuh dan dapat meningkat bila pemakaian

hidrokortison dalam jumlah yang banyak, stress, hipotiroid atau penyakit

hati.1,3,5,6,7

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


Gambar 2.3 Struktur kimia beberapa glukokortikoid3

Glukokortikoid memiliki efek yang luas sehingga dapat mempengaruhi

sebagian besar sel di seluruh sistem organ dalam tubuh. Hormon tersebut dapat

meningkatkan kadar gula darah dan peningkatan asam lemak serta gliserol di

dalam tubuh dengan merangsang pelepasan insulin, memicu lipolisis melalui

rangsangan hormon lipase. Selain itu, hormon ini memiliki efek katabolik pada

tulang sehingga mengurangi massa tulang yang mengakibatkan terjadinya

osteoporosis pada sindroma Cushing yang berdampak pada terhambatnya

pertumbuhan pada anak-anak.1,3,7,9


Glukokortikoid dapat menurunkan manifestasi inflamasi akibat adanya

efek yang besar dalam jumlah, distribusi, fungsi leukosit perifer dan efek

penekanan pada sitokin inflamasi dan kemokin serta mediator inflamasi

lainnya. Efek pemberian glukokortikoid short-acting dapat menyebabkan kadar

neutrofil di dalam sirkulasi meningkat, sedangkan limfosit, monosit, eosinofil,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


dan basofil menurun dan menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel antigen

lainnya, seperti fagositosis dan membunuh mikrooganisme serta menurunkan

TNFα, IL-1, metalloproteinase, aktivator plasminogen, serta mengurangi

kemampuan sel dalam merespon antigen. Efek penting lainnya terjadi pada

sistem saraf. Insufisiensi adrenal menyebabkan perlambatan ritme alfa pada

EEG yang biasanya disertai dengan adanya depresi. Peningkatan jumlah

glukokortikoid sering menghasilkan gangguan perilaku pada manusia yang

diawali dengan insomnia dan euforia serta depresi subsekuen. Dosis

glukokortikoid yang besar dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Selain itu,

pemberian glukokortikoid dalam jumlah yang besar akan memperberat ulkus

peptikum akibat penurunan respon imun dalam melawan H. pylori,

meningkatkan penyimpanan lemak dalam tubuh dengan meningkatkan lemak

supraklavikular, nuchal, wajah, dan viseral serta menghambat efek vitamin D

dalam mengabsorpsi kalsium.1,3,7,8,9

Tabel 2.1 Beberapa contoh steroid yang umum digunakan beserta dosis oral penyetaraannya3

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


Agen Aktivitas Dosis Oral Sediaan
Anti Topikal Retensi Penyetaraan
inflamasi Natrium (mg)
Short-acting dan medium-
acting glukokortikoid
 Hidrokortison 1 1 1 20 Oral, injeksi,
(kortisol) 0,8 0 0,8 25 topikal
 Kortison 4 0 0,3 5 Oral
 Prednison 5 4 0,3 5 Oral
 Prednisolon 5 5 0,25 4 Oral, injeksi
 Metilprednisolon 5 0 4 Oral, injeksi
 Meprednisone Oral, injeksi
Intermediate-acting
glukokortikoid 5 55 0 4 Oral, injeksi,
 Triamsinolon 10 0 2 topikal
 Parametason 15 7 0 1.5 Oral, injeksi
 Fluprednisolon Oral
Long-acting glukokortikoid
 Betametason 25-40 10 0 0,6 Oral, injeksi,
 Dexametason 30 10 0 0,75 topikal
Oral, injeksi,
topikal
Long-acting
mineralokortikoid 10 0 250 2 Oral
 Fludrokortison 0 0 20 Injeksi, pellets
 Desoksikortikosteron
asetat

2.3.2. Mineralokortikoid 
Mineralokortikoid   memainkan   peran   penting   dalam   pemeliharaan

keseimbangan   cairan   dan   elektrolit.   Aldosteron   merupakan  salah   satu

mineralokortikoid  yang paling banyak di tubuh.  Aldosteron disintesis di zona

glomerulus korteks adrenal dan jumlah sekresinya bergantung pada hormon

ACTH. Aldosteron disekresikan sebesar 100-200 mcg/dl dengan intake diet

garam yang sedang. Waktu paruh aldosteron sekitar 15-20 menit. Metabolisme

aldosteron mirip dengan kortisol yaitu sekitar 50 mcg/24 jam tampak di urin

sebagai tetrahidroaldosteron terkonjugasi dan sekitar 5-15 mcg/24 jam

dikeluarkan bebas atau sebagai 3-oxoglukoronat. Hormon ini akan membuat

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


ginjal   menyerap   kembali   natrium,   kalium   dan   membuang   zat­zat   yang

diperlukan melalui urin serta membantu dalam mengatur tekanan darah.1,3,7
Aldosteron dapat memperluas reabsorpsi natrium dari bagian distal

tubulus renal dan dari korteks tubulus kolektivus, setidaknya sejumlah ekskresi

kalium dan ion hidrogen. Reabsorpsi natrium di kelenjar keringat dan minyak,

mukosa pencernaan, dan membran sel pada umumnya meningkat. Peningjatan

kadar aldosteron terjadi karena tumor atau dosis yang berlebihan dengan

mineralokortikoid sintetis akan memicu terjadinya hipokalemia, alkalosis

metabolik, peningkatan volume plasma, dan hipertensi.3,7,8


2.4. Penggunaan Klinis Steroid
Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam

dunia kedokteran. Begitu luasnya penggunaan kortikosteroid ini bahkan banyak

yang digunakan tidak sesuai dengan indikasi maupun dosis dan lama

pemberian,seperti pada penggunaan kortikosteroid sebagai obat untuk

menambah nafsu makan dalam waktu yang lama dan berulang sehingga bias

memberikan efek yang tidak diinginkan. Untuk menghindari hal tersebut

diperlukan pemahaman yang mendalam dan benar tentang kortikosteroid baik

farmakokinetik,physiologi didalam tubuh maupun akibat-akibat yang bisa

terjadi bila menggunakan obat tersebut.


Kortokosteroid pertamakali dipakai untuk pengobatan pada tahun 1949

oleh Hence et al untuk pengobatan rheumatoid arthritis. Sejak saat tersebut

kortikosteroid semakin luas dipakai dan dikembangkan usaha-usaha untuk

membuat senyawa-senyawa glukokorticoid sintetik untuk mendapatkan efek

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


glukokortikoid yang lebih besar dengan efek mineralokortikoid lebih kecil serta

serendah mungkin efek samping. 1


Kelenjar adrenal mengeluarkan dua klas steroid yaitu Corticosteroid

( glukokortikoid dan mineralo kortikoid ) dan sex hormon. Mineralokortikoid

banyak berperan dalam pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit,sedang

glukokortikoid berperan dalam metabolisme karbohidrat.2 Glukokorticoid

dikeluarkan oleh korteks kelenjar adrenal yang dikeluarkan kedalam sirkulasi

secara circadian sebagai respon terhadap stress.Cortisol merupakan

glukokortikoid utama didalam tubuh manusia.2

2.4.1 Indikasi

Kortikosteroid merupakan obat yang dapat digunakan untuk mengurangi

inflamasi, serta dapat juga digunakan sebagai terapi pengganti pasien dengan

insufisiensi adrenal. Selain untuk terapi substitusi pada defisiensi, penggunaan

kortikosteroid lebih banyak bersifat empiris.10

2.4.1.1 Penyakit adrenal

A. Penyakit insufisiensi adrenal

1. Akut

Ketika dicurigai terjadinya insufisiensi adrenokortikal akut, pengobatan

harus segera dilakukan. Terapi terdiri dari sejumlah besar hidrokortison

parenteral di samping koreksi cairan dan kelainan elektrolit dan pengobatan

faktor pencetus.1

2. Kronik : Addison’s disease

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


Sekitar 20-30 mg hidrokortison harus diberikan setiap harinya pada

insufisiensi adrenal primer, dengan jumlah yang meningkat selama periode

stres. Meskipun hidrokortison memiliki beberapa aktivitas mineralokortikoid,

tetap harus dilengkapi dengan jumlah yang tepat dari hormon penahan garam

seperti fludrokortison. Glukokortikoid sintetis yang beraktivitas panjang dan

tanpa aktivitas penahanan garam tidak boleh diberikan pada pasien ini.1

B. Hipofungsi dan hiperfungsi adrenokortikal

1. Hiperplasia adrenal kongenital (HAK)

Glukokortikoid yang digunakan pada HAK sebagai terapi substitusi

dapat berupa hidrokortison, kortison asetat, prednison, prednisolon,

dexametason, atau kombinasi. Hidrokortison lebih disukai daripada kortison

asetat karena kortison harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi kortisol

aktif di hati dan karena hidrokortison memiliki efek supresi pertumbuhan yang

paling kecil.11

2. Sindrom Cushing

Sindrom Cushing merupakan hasil dari hiperplasia adrenal bilateral

sekunder akibat ACTH yang dikeluarkan oleh adenoma hipofisis (penyakit

cushing) tetapi kadang-kadang disebabkan oleh tumor atau hiperplasia nodular

dari kelenjar adrenal atau produksi ACTH ektopik oleh tumor lain. Gangguan

ini diterapi dengan operasi pengangkatan tumor yang menghasilkan ACTH atau

kortisol, radiasi tumor hipofisis, atau reseksi satu atau kedua adrenal. Pasien-

pasien ini harus menerima dosis besar kortisol selama dan setelah prosedur

pembedahan.11

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


2.2.1.2 Penyakit Nonadrenal

Penyakit yang menggunakan kortikosteroid sebagai pengobatan dapat

dilihat pada tabel 2.2 berikut :

Tabel 2.2 Beberapa indikasi terapeutik penggunaan glukokortikoid pada


penyakit nonadrenal
1
Penyakit Contoh
Reaksi alergi Edema angioneurotik, asma, dermatitis kontak, reaksi

obat, rinitis alergi, urtikaria


Penyakit kolagen- Arteritis sel giant, lupus eritematosus, poliomiositis,

vaskular polimialgia reumatik, artritis reumatik


Mata Uveitis akut, konjungtivitis alergi, koroiditis, optik

neuritis
Gastrointestinal Inflammatory bowel disease (IBS), nekrosis hepatik

subakut
Hematologi Anemia hemolitik didapat, purpura alergi akut, leukemia,

limfoma, purpura trombositopenia idiopatik, multiple

mieloma
Inflamasi sistemik ARDS (Acute respiratory distress syndrome)
Infeksi ARDS, sepsis
Inflamasi tulang Artritis, bursitis, tenosinovitis

dan sendi
Neurologi Edema serebral, multiple skelrosis
Paru Pneumonia aspirasi, asma bronkial, sarkoidosis
Ginjal Sindrom nefrotik
Kulit Dermatitis atopi, liken simpleks kronik, psoriasis,

dematitis seboroik, xerosis


Tiroid Eksoftalmus malignant, tiroiditis subakut

2.4.2 Kontraindikasi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


Glukokortikoid harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan

ulkus peptikum, penyakit jantung atau hipertensi dengan gagal jantung,

penyakit infeksi tertentu seperti varisela dan tuberkulosis, psikosis, diabetes,

osteoporosis, atau glaukoma.1

2.4.3 Cara Pemeberian

A. Pemberian Sistemik

Pemberian sistemik yaitu cara yang mengharapkan suatu efek

sistemmik,bisa diberikan secara intravena, intramuskular atau pemberian per

oral. Pada kasus-kasus yang berat glukokortikoid diberikan secara intravena.

Pemberian secara topical lebih disukai karena efek sistemiknya sangat kecil

sehingga kemungkinan efek sampingnya minimal.44

B. Penggunaan Topikal

a. Pada kulit : Sangat efektif dan nontoksik bila diberikan dalam waktu singkat.

Biasanya diberikan dalam bentuk salep,krim atau lotion,jarang diperlukan

suntikan pada lesi dikulit seperti pada keloid,kista acne atau prurigo nodularis .

Pada pemberian yang lama dapat memberikan efek sistemik terutama pada jenis

fluorinated steroid ( dexamethasone, triamcinolone acetonide, beclomethasone

dan beta methasone ). Komplikasi penggunaan topical biasanya local seperti

atropi epidermal, hipopigmentasi, teleangiectasi,acne dan follikulitis, jarang

terjadi komplikasi sistemik.44

b. Pada mata : Pemberian topical dalam bentuk salep atau tetes mata Sering

dipakai pada penyakit autoimmune atau inflamasi segment anterior yang tidak

diketahui sebabnya ( iritis, uveitis ), juga pada penderita postoperasi atau

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


trauma untuk mencegah udem sehingga tidak terjadi kerusakan yang makin

luas.Pada kelainan-kelainan bola mata posterior glukokortikoid diberikan secara

sistemik . Pemakaian lama dapat menyebabkan kataract dan glaucoma. Tidak

boleh diberikan pada keratitis herpes simplex karena dapat menyebabkan

terjadinya penyebaran infeksi yang luas. 44

c. Inhalasi : Sekarang banyak digunakan dan sangat bermanfaat digunakan pada

asthma bronchiale Walaupun jarang efek siatemik bisa juga terjadi pada

pemakaian yang lama dengan dosis yang lebih besar atau terjadi idiosinkrasi

karena perubahan metabolisme steroid atau meningkatnya absorbsi atau

sensitivitas jaringan . 44

d. Intranasal : Penggunaan intranasal yang terlalu sering sebaiknya dihindari

karena bahaya komplikasi lokal dan sistemik . 44

e. Intraartikular : Penggunaan intraartikular bisa diberikan secara selektif pada

penderita-penderita tertentu dan harus dilakukan dengan cara aseptik dan tidak

boleh dilakukan berulang-ulang .44

2.5 Evaluasi Penggunaan Steroid

Penggunaan kortikosteroid topikal tidak dibenarkan untuk digunakan

dalam jangka waktu yang lama karena dapat menimbulkan efek yang

merugikan berupa atrofi, talangiektasia, dan striae pada kulit. Pada anak dengan

dermatitis atopik atau rosasea dengan penggunaan kortikosteroid topikal dalam

jangka panjang lalu dihentikan secara tiba-tiba, maka akan beresiko untuk

mengalami dermatitis pustular dan eritematoedematosa pada wajah yang

merupakan efek withdrawal yang biasanya terjadi dalam minggu pertama

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


penghentian. Maka sebaiknya dilakukan tapering off selama 2 minggu sebelum

penghentian penggunaan obat steroid.12

Sebelum terapi kortikosteroid sistemik jangka panjang, riwayat dan

pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk menilai faktor risiko yang berpotensi

diperburuk oleh terapi steroid, seperti diabetes, dislipidemia, penyakit

kardiovaskular, gangguan saluran pencernaan, gangguan afektif, dan

osteoporosis. Pemeriksaan fisik yang minimal dilakukan ialah pengukuran berat

badan, tinggi badan, Bone Mineral Density (BMD), dan tekanan darah, bersama

dengan pemeriksaan laboratorium yang mencakup hitung darah lengkap, nilai

glukosa darah, dan profil lipid. Khusus pada anak, harus dilakukan pemeriksaan

status gizi dan pubertas.13

Gejala infeksi harus dinilai sebagai kontraindikasi penggunaan

kortikosteroid yang pada pasien dengan infeksi sistemik yang tidak diobati.

Pasien tanpa riwayat cacar disarankan untuk menghindari kontak dekat dengan

penderita cacar air atau ruam saraf, dan untuk mencari solusi medis jika tertular.

Penggunaan kortikosteroid bersamaan dengan obat lain juga harus dinilai

sebelum memulai terapi karena mempertimbangkan interaksi obat. Wanita usia

subur juga harus ditanyai tentang kemungkinan kehamilan. Penggunaan

glukokortikoid pada kehamilan dapat meningkatkan risiko palatolabioskizis

pada anak, meskipun risiko absolutnya rendah.13

Parameter tersebut harus dipantau secara teratur. Rekomendasi khusus

untuk penilaian dan pemantauan BMD dan risiko fraktur, diabetes, risiko

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


kardiovaskuler dan dislipidemia, supresi adrenal, pertumbuhan, dan penyakit

mata.

2.5.1 BMD dan risiko fraktur pada anak-anak

Pada orang dewasa, penilaian BMD tunggal dapat memprediksi resiko fraktur

akibat osteoporosis terkait usia. Bukti yang kuat untuk osteoporosis yang

diinduksi oleh glukokortikoid pada anak-anak belum ditemukan, sehingga

direkomendasikan untuk dilakukan BMD serial pada anak-anak berisiko serta

pada anak-anak dengan kegagalan pertumbuhan. Hasil pemeiksaan BMD perlu

diinterpretasikan secara komperhensif karena kaitannya dengan jenis kelamin,

usia, tinggi, dan berat badan anak, serta penyakit dasar yang memerlukan terapi

glukokortikoid dengan merujuk ke spesialis untuk penilaian perubahan BMD.

Dengan demikian, perlu pemantauan kondisi tulang pada penggunaan

glukokortikoid kronis pada pediatrik yang mencakup evaluasi asupan kalsium

dan vitamin D, nyeri punggung, aktivitas fisik, dan faktor risiko terkait penyakit

akibat penumpukan mineral tulang, dan tulang yang hilang (seperti peradangan

kronis). Foto radiografi tulang belakang harus dipertimbangkan untuk

dilakukan pada anak-anak berisiko dengan riwayat fraktur tulang belakang

sebelumnya, nyeri punggung, paparan glukokortikoid kronis (> 3 bulan),

penyakit radang yang tidak terkontrol, mobilitas yang terganggu secara

signifikan, atau pengurangan densitas tulang belakang berdasarkan BMD Z-

skor pada pengukuran serial.13

2.5.2. Osteonekrosis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


Diagnosis dini dan intervensi yang tepat dapat mencegah atau menunda

perkembangan osteonekrosis dan joint replacement, maka digunakan terapi

glukokortikoid dosis tinggi atau glukokortikoid jangka panjang harus dievaluasi

nyeri sendi dan penurunan Range of Movement (ROM) pada setiap kunjungan

serta dipertimbangkan pemeriksaan MRI pada anak dengan tanda atau gejala

ini.13

2.5.3. Adrenal suppression (AS)

Pasien yang menerima dosis glukokortikoid dosis tinggi berisiko menderita AS.

Risiko AS rendah pada pasien dengan terapi glukokortikoid < 1 minggu.

Namun setelah program pengobatan glukokortikoid jangka panjang, AS dapat

dihasilkan dari beberapa program singkat terapi dosis tinggi. (“Terapi

glukokortikoid dosis tinggi dalam jangka waktu yang singkat juga beresiko

menderita AS.”) Berdasarkan hal ini, para ahli merekomendasikan bahwa

dokter menyadari risiko AS pada pasien yang menerima glukokortikoid dosis

tinggi selama > 2 minggu, pasien yang menerima program steroid oral dengan

total > 3 minggu dalam 6 bulan terakhir, atau pada pasien yang datang dengan

gejala AS (termasuk gagal tumbuh pada anak-anak).13

Tabel 2.3 Evaluasi Penggunaan Steroid Jangka Lama

Kapan diskrining?

• Pasien yang telah menerima kortikosteroid sistemik: rutin > 2 minggu atau

kumulatif >3 minggu dalam 6 bulan terakhir.

 Pasien yang memiliki gejala persisten supresi adrenal: - Kelemahan /

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


kelelahan, malaise, mual, muntah, diare, sakit perut, sakit kepala

(biasanya di pagi hari), kenaikan berat badan dan / atau pertumbuhan

yang abnormal pada anak-anak, mialgia, artralgia, gejala psikiatri,

hipotensi * , hipoglikemia *
Bagaimana Cara Skrining?

 Ukur kortisol pagi ‡

 Dosis glukokortikoid disesuaikan ke dosis fisiologis sebelum tes

 Tidak ada glukokortikoid oral pada malam dan pagi hari sebelum tes †

 Harus selesai jam 8 pagi atau lebih awal

 Tidak perlu dipuasakan.

 Jika kortisol pagi normal tetapi pasien memiliki gejala AS, lakukan tes

stimulasi ACTH dosis rendah untuk memastikan diagnosis: ‡

 1 μg cosyntropin; kadar kortisol diambil pada 0, 15-20 dan 30 menit**

 Puncak kortisol <500 nmol / L = AS (puncak> 500 nmol / L normal)


Dimodifikasi oleh Ahmet dkk pada 2011. AS supresi adrenal,

adrenocorticotropic hormone (ACTH), GCs glucocorticoids.

* Gejala krisis adrenal membutuhkan penanganan yang baru.

† Pasien harus dialihkan ke hidrokortison agar hal ini bisa diterapkan. Jika

pasien menggunakan GC dengan waktu paruh lebih lama (misalnya,

dexametason), maka kortisol pagi akan tetap ditekan karena obat 24 jam

setelah pemberian dosis.

** Idealnya, penggunaan GC harus dihentikan sebelum tes ini untuk

menghindari penekanan HPA berkelanjutan atau peningkatan kadar kortisol

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


yang bias dalam kasus GC yang terdeteksi oleh uji kortisol. Pada pasien yang

diyakini berisiko tinggi mengalami krisis adrenal tanpa pengobatan GC,

dexametason dapat digunakan. Dexamethasone akan dikaitkan dengan

penekanan kadar optimal kortisol, tetapi tingkat kortisol dari stimulasi ACTH

harus mencerminkan produksi endogen karena dexametason biasanya tidak

bereaksi silang dengan tes kortisol.

‡ Terapi estrogen eksogen meningkatkan serum kortisol; oleh karena itu, kadar

kortisol tidak akan dapat diandalkan dalam pengaturan penggunaan estrogen.

2.6 Steroid Withdrawal Planning

Metode tapering off kortikosteroid bersifat empiris dengan tingkat

keberhasilan ditentukan oleh lama dan cara terapi, serta respon dari tubuh yang

bersifat individualis.

Rekomendasi pengurangan dosis pada terapi dengan kortikosteroid

jangka panjang ialah dengan pengurangan dosis sebesar 25% dari dosis

sebelumnya setiap minggu. Setiap 1 m2 luas tubuh, memiliki kecepatan sekresi

kortisol ± 9mg/hari yang setara dengan pemberian kortisol asetat oral 20

mg/hari. Pada pasien yang luas tubuhnya setara dengan pemberian kortisol

asetat oral 100 mg/hari, maka tapering off dilakukan dalam 8-10 minggu

dengan rincian: pada minggu pertama diberikan 75 mg/hari, pada minggu kedua

diberikan 56 mg/hari, pada minggu selanjutnya 42 mg; 31,5 mg; 24 mg; 18 mg;

13,5 mg; 10 mg; 7,5 mg; 5,5 mg/hari dan selanjutnya obat dihentikan.10

2.7 Efek Samping Penggunaan Steroid

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


2.7.1 Efek Jangka Pendek

Pemberian kortikosteroid pada anak untuk terapi dan diagnostik telah

lama digunakan, namun munculnya reaksi obat yang merugikan tetap dapat

muncul, bergantung pada dosis pemakaian, rute pemberian, dan lama

penggunaan obat.4

Durasi pemberian kortikosteroid bergantung pada kebutuhan pasien.

Penggunaan kortikosteroid jangka pendek didefinisikan sebagai penggunaan

kortikosteroid selama 3-7 hari, namun dalam literatur lain disebutkan bahwa

penggunaan kortikosteroid jangka pendek adalah penggunaan selama 7-14

hari.4

Efek samping penggunaan kortikosteroid jangka pendek yang dapat

terjadi adalah:

1. Infeksi merupakan salah satu efek samping penggunaan jangka pendek

penggunaan kortikosteroid pada anak yang paling serius terkait aksi

imunosupresi kortikosteroid terhadap tubuh. Dilaporkan bahwa insiden

anak yang terinfeksi selama pengobatan mencapai 0.9%.

2. Stress terinduksi krisis adrenal akut. Dalam suatu penelitian serial

didapatakan bahwa 3 dari 11 anak yang mengkonsumsi kortikosteroid

oral selama 5 hari mengalami supresi axis-HPA dan kadar sekresi

kortisol kembali normal setelah penghentian kortikosterooid selama 10-

12 hari.

3. Muntah merupakan efek samping tersering yang ditemukan pada

penggunaan kortikosteroid jangka pendek

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


4. Mood swing dan gangguan kepribadian dengan insiden 4.7%, banyak

terjadi pada penggunaan dosis yang lebih tinggi, yaitu 2 mg/kgbb/ hari

atau 60 mg/m2/hari. Ditemukan kecenderungan munculnya gangguan

psikiatrik berupa psikosis, labilitas emosional dan gejala gangguan

obsesif kompulsive lainnya pada 1 minggu pertama pengobatan dengan

glukokortikoid. Dalam penelitian lain disebutkan bahwa efek samping

psikosis dapat muncul pada penggunaan dexamethason selama 7 hari

pada anak usia 16 tahun.

5. Gangguan tidur.

Penelitian yang dilakukan oleh Drozdowicz menyebutkan bahwa salah satu

efek samping penggunaan kortikosteroid inhalasi adalah gangguan tidur

yang akan menghilang setelah 48 jam penghentian kortikosteroid . 4,15

2.7.2 Efek Jangka Panjang

A. Efek pada Sistem Endokrin

Kortikosteroid digunakan secara luas sebagai imunosupresan dan anti-

inflamasi. Penggunaannya dapat dilakukan tunggal maupun kombinasi dengan

obat lainnya dalam jangka waktu yang pendek maupun panjang. Meskipun

telah digunakan secara luas, penggunaan kortikosteroid dapat memberikan efek

samping yang tidak diinginkan. 4

Penggunaan steroid dalam dosis tinggi akan menyebabkan supresi aksis

hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA axis) yang menyebabkan kelenjar adrenal

tidak dapat menghasilkan kortisol dalam jumlah cukup jika penggunaannya

dihentikan secara tiba-tiba. Selain terjadinya supresi adrenal, resistensi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29


glukokortikoid juga merupakan kekurangan lainnya dari pengobatan dengan
31
glukokortikoid. Gejala lain yang sering timbul akibat penggunaan steroid

jangka panjang yaitu gejala Cushingoid, perubahan perilaku, peningkatan nafsu

makan, peningkatan berat badan, gangguan pertumbuhan dan masih banyak

gejala lainnya.4

1. Insufisiensi Adrenal Iatrogenik

Insufisiensi adrenal iatrogenik paling sering disebabkan oleh pemberian

glukokortikoid dosis tinggi jangka panjang. Secara fisiologis, hipotalamus

menyekresikan corticotrophin releasing hormone (CRH) untuk menstimulasi

pelepasan adenocorticotrophin hormone (ACTH) dari kelenjar hipofisis

anterior. ACTH kemudian menyebabkan pelepasan kortisol dari zona

fasciculata di kelenjar adrenal, yang kemudian akan memberikan feedback

negatif terhadap pelepasan CRH dan ACTH.31

Pemberian kortikosteroid eksogen akan menyebabkan supresi aksis HPA

melalui penurunan sintesis dan sekresi CRH, serta penghambatan efek CRH

pada kelenjar hipofisis. Keadaan tersebut menyebabkan supresi sintesis pro-

opiomelanocortin (POMC), ACTH dan peptida turunan POMC lainnya dan jika

keadaan terus berlanjut akan menyebabkan atrofi sel kortikotropin di hipofisis

anterior. Dengan tidak adanya ACTH, korteks adrenal kemudian akan

kehilangan kemampuan untuk memproduksi kortisol.31

Supresi aksis HPA biasanya muncul pada pemberian dosis

glukokortikoid farmakologis selama lebih dari 2-3 minggu. Supresi tersebut

dapat bersifat subklinis sampai sangat berat hingga menyebabkan krisis adrenal

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30


akut. Meskipun kortikosteroid eksogen merupakan penyebab utama dari

insufisiensi adrenal iatrogenik, terdapat berbagai medikasi lainnya yang bisa

menyebabkan insufisiensi adrenal seperti megestrol asetat, ketokonazol,

etomidate dan mitotane. Insufisiensi adrenal iatrogenik digolongkan ke dalam

insufisiensi adrenal sekunder. 33

Jika pemberian steroid eksogen dihentikan secara tiba-tiba, insufisiensi

adrenal biasanya akan muncul pada 48 jam pertama setelah penghentian.

Beratnya gejala bergantung kepada jenis steroid yang diberikan, waktu

pemberian dan durasi pemberian. Regimen dengan efek supresif paling rendah

adalah dosis glukokortikoid yang lebih rendah dibandingkan dnegan dosis

penggantinya yang diberikan sekali sehari di pagi hari selama kurang dari 2

minggu. Sedangkan pemberian glukokortikoid dosis suprafisiologis (dosis

tinggi) dibagi dalam beberapa dosis dan diberikan sehari penuh dalam jangka

waktu yang lama akan menyebabkan munculnya gejala awal dari sindrom

Cushing. Pada kasus tersebut insufisiensi adrenal pasti akan terjadi dengan

durasi mencapai lebih dari 1 tahun.34

Pemberian kortikosteroid topikal jarang namun tetap dapat

menyebabkan supresi adrenal, jika diberikan pada dosis tinggi seperti pada

kasus karsinoma payudara. Insufisiensi adrenal juga dapat terjadi pada pasien

asma yang mendapatkan glukokortikoid inhalasi potensi tinggi dosis tinggi .34

Gejala insufisiensi adrenal sekunder sama dengan gejala insufisiensi adrenal

primer. Gejala klinis insufisensi adrenal yang telah dijelaskan oleh Addison,

antara lain anemia, lemah lesu, gangguan jantung, gejala gastrointestinal dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 31


perubahan warna kulit. Perbedaan insufisieni adrenal primer dan sekunder

terletak pada defisiensi kortikoid yang terjadi antara kedua kondisi tersebut.

Defisiensi glukokortikoid dan meniralkortikoid terjadi pada insufisensi adrenal

primer, sedangkan pada insufisiensi adrenal sekunder fungsi mineralkortikoid

masih dapat dipertahankan.34

Tabel 2.4 Gejala insufisiensi adrenal33

Defisiensi Defisiensi Defisiensi

Gluko- Mineralo- Androgen

kortikoid kortikoid Adrenal


Gejala

Lelah, lesu + +

Anoreksia, penuruhan berat badan +

Mual muntah + +

Nyeri abdomen + +

Arthralgia, yalgia +

Lapar garam +

Pusing +

Kulit kering (pada perempuan) +

Penurunan Libido +
Tanda

Hiperpigmentasi kulit +

Demam +

Hipotensi +

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 32


Dehidrasi +

Rambut aksilla/pubis berkurang +


Pemeriksaam Biokimia

Hiponatremia + +

Hiperkalemia +

Asidosis metabolic +

Hipoglikemia, peningkatan sensitivitas insulin +

Peningkatan tirotropin +

Peningkatan kreatinin serum +

Hiperkalsemia +

Gejala klinis dari insufisiensi adrenal dapat berupa gejala yang ringan

dan tidak spesifik seperti rasa lelah dan lemah hingga gejala yang berat seperti

syok hipovolemik akibat kolapsnya pembuluh darah sistemik. Pada neonatus

dan bayi, gejala yang muncul dapat berupa muntah, peningkatan berat badan,

hipoglikemi, hipotensi akut dan munculnya masa abdomen akibat perdarah

adrenal bilateral. Spektrum gejala dari insufisiensi adrenal dapat diilihat dalam

Tabel 1. Tampilan klinis pasien dengan insufisiensi adrenal sekunder dan tersier

lebih ringan dibandingkan pada pasien dengan insufisiensi adrenal primer dan

tanpa adanya gejala salt wasting karena sebagian besar dari produksi dan

sekresi aldesteron diregulasi oleh sistem renin-aldosteron dan hanya sebagian

kecil yang bergantung kepada ACTH .33

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 33


Keluhan pasien biasanya berupa rasa letih, lesu, berkurangnya nafsu

makan dan penurunan berat badan. Keluhan gastrointestinal yang paling sering

disampaikan antara lain mual, muntah, diare, konstipasi dan nyeri abdomen

yang biasanya disebabkan oleh menurunnya motiitas usus. Hipernaterima juga

dapat ditemukan pada insufisiensi adrenal iatrogenik dan disebabkan oleh

deifisensi kortisol, peningkatan sekresi vasopressin dan retensi cairan.

Hiperpigmentasi tidak ditemukan pada insufisiensi adrenal sekunder .34

Tabel 2.5 Pemeriksaan aksis HPA dinamis3

Pemeriksaan Prosedur Mekanisme Interpretasi Keterangan


Kortikotropi Mengukur kadar ACTH Kortisol Undtuk

n (ACTH) kortisol plasma menginduksi plasma diagnosis

standar (250 pada 30 dan 60 peningkatan puncak insufisiensi

µg/m2) menit setelah sekresi kortisol >500-550 adrenal

pemberian 250 µg dari adrenal mmol/L primer.

ACTH intravena (18-20 Tidak boleh

µg/dL), digunakan

atau untuk kasus

peningkata insufisiensi

n absolut adrenal

dari sekunder

kortisol

sebesar

193

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 34


nmol/L (7

µg/dL)

diharapkan

terjadi
ACTH dosis Mengukur kadar Seperti diatas Kadar Tidak dapat

rendah (1 µg kortisol plasma kortisol membedaka

atau 0,5 pada 30 dan 60 plasma n

µg/m2) menit setelah puncak insufisiensi

pemberian 1 µg >500-550 adrenal

ACTH intravena nmol/L primer dan

(18-20 sekunder

µg/dL)

diharapkan

tercapai
Metyrapone Mengukur ACTH, Metyrapone 11-DOC Dapat

kortisol dan 11- menghambat plasma menyebabka

deoksikortikostero 11β- >210 n krisis

n (11-DOC) pada hidroksilase. nmol/L (7 adrenal pada

puku 08.00 Penurunan ng/dL) pasien

setelah pemberian kortisol diharapkan berisiko

30 mg/kg (max 3 menyebabkan tercapai

g) metyrapone peningkatan

tengah malam kadar ACTH

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 35


dan CRH
Hipoglikemi Mengukur kadar Hipoglikemia Hasil Dianggap

a Insulin glukosa dan mengaktivasi normal: sebagai

kortisol baseline aksis kortisol “standar

dan q15 menit hipotalamus- plasma emas” bagi

hingga 90-120 hipofisis dan puncak beberapa

menit setelah menginduksi >500-550 ahli.

pemberian insulin sekresi CRH, nmol/L

intravena (0,05- ACTH dan (18-20

0,15 U/kgBB) kortisol µg/dL)


Glukagon Mengukur ACTH Glukagon Hasil Pilihan lebih

dan kortisol menstimulai normal: aman dari

baseline dan q30 sekresi ACTH kortisol pemeriksaan

menit hingga 180 dan kortisol plasma hipoglikemi

menit setelah puncak a insulin

pemberian 0,1 >500-550

mg/kg (max 1 nmol/L

mg) glukagon (18-20

intramuskuler µg/dL)
CRH Mengukur ACTH CRH Hasil

dan kortisol menginduksi normal:

baseline dan q15 hipofisis untuk peningkata

pada 60-120 menyekeresika n ACTH

menit setelah n ACTH dan >34% dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 36


injeksi CRH (1 kortisol peningkata

µg/kg, max 100 n kortisol

µg) >20%

Hasil pengukuran kadar ACTH tidak sensitif untuk menentukan adanya

supresi aksis HPA pada anak karena nilai ACTH pagi normal pada anak lebih

rendah dibangkan dewasa (5-20 pg/mL vs 20-80 pg/mL). Kadar kortisol serum

pagi basal <83-138 nmol/L (3-5 µg/dL) menunjukan kemungkinan insufisiensi

adrenal dan nilai >550 nmol/L (20 µg/dL) menunjukkan fungsi adrenal yang

normal. Jika hasil yang ditemukan tidak sesuai dengan kriteria yang disebutkan,

maka pemeriksaan fungsi HPA dinamis perlu dilakukan.33

Penghentian terapi glukokortikoid harus dilakukan setidaknya 24-48

jam sebelum pemeriksaan kortisal, kecuali pada penggunaan deksametason.

Pemeriksaan CRH dapat dilakukan jika penghentian terapi glukokortikoid tidak

dapat dilakukan. Selain itu, pemeriksaan CRH juga dapat digunakan untuk

mendeteksi supresi aksis HPA pada neonatus prematur yang terpapar

deksametason in utero .33

Diagnosis insufisiensi adrenal pada neonatus menggunakan parameter

biokimiawi yang berbeda dengan nilai cut-off yang berbeda. Kadar kortisol

basal >414 nmol/L (15 µg/dL), respon kortisol puncak terhadap uji ACTH dosis

rendah >500 nmol/L (18 µg/dL), atau perbedaan kadar kortisol basal dan

puncak sebesar >248 nmol/L (9 µg/dL) atau >12% merupakan parameter yang

digunakan untuk mengeluarkan kemungkinan diagnosis insufisiensi adrenal

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 37


pada neonates. Meskipun demikian, korelasi antara parameter diatas dengan

diagnosis klinis masih perlu diteliti lebih dalam. Gangguan hemodinamis,

peningkatan kebutuhan perbaikan elektrolit atau hipotensi yang tidak membaik

dengan pemberian vasopressor secara klinis menunjukkan insufisiensi adrenal

pada neonates .33

Meskipun belum terdapat konsensus mengenai cara penghentian terapi

glukokortikoid, pengobatan tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba. Jika tanda

dan gejala insufisiensi adrenal muncul saat menurunkan dosis glukokortikoid,

dosis yang sedang digunakan harus segera dinaikkan atau dipertahankan dalam

waktu yang lebih panjang. Penurunan dosis yang ideal harus dilakukan 20-15%

setiap 2-4 hari hingga dosis fisiologis tercapai (8-10 mg/m 2 hidrokortison per

hari). Setelah mencapai dosis fisiologis, kadar ACTH dan kortisol serum pagi

harus diukur setiap bulan hingga hasilnya mencapai nilai normal. Selain itu,

pemeriksaan ACTH dosis rendah juga dilakukan hingga nilai kortisol pasca

kortikotropin melebihi 500-550 nmol/L (18-20 µg/dL) .33

2. Sindrom Cushing Iatrogenik

Sindrom Cushing merupakan sebuah gangguan multisistem yang

disebabkan oleh paparan glukokortikoid berkepanjangan. Penyakit ini dicirikan

dengan tampilan klinis seperti obesitas trunkal, keterlambatan pertumbuhan,

striae, hipertensi dan hirsutism. Sindrom Cushing pada anak-anak paling sering

disebabkan oleh pemakaian glukokortikoid eksogen, sedangkan sindrom

Cushing endogen sangat jarang ditemukan. 45

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 38


Tabel. 2.6 Tanda dan Gejala Sindrom Cushing pada Anak(6)

Kulit Plethora wajah, jerawat, akantosis nigrikan, penumpukan

lemak supraklavikular dan subratemporal, moon face, infeksi

jamur, hirsutisme, striae violaceosa (jarang pada anak <7

tahun), rambut halus


Saraf Nyeri kepala
Kardiovaskuler Hipertensi, koagulopati
Tumbuh Perlambatan pertumbuhan disertai peningkatan berat badan,

Kembang obesitas sentral


Gonad Amenorrhea, virilisasi, ginekomastia
Psikologis Depresi, ansietas, mood swing, iritabilitas
Lainnya Nefrolitiasis, fraktur tulang, toleransi glukosa terganggu,

diabetes tipe 2

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 39


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 40
Gambar.2.4 Grafik pertumbuhan anak normal dan anak dengan sindrom

Cushing46

Anamnesis dan pemeriksaan klinis, terutama evaluasi grafik

pertumbuhan, merupakan langkah pertama dalam mendiagnosis sindrom

Cushing. Gejala yang paling sering ditemukan pada anak-anak adalah

peningkatan berat badan. Kejadian peningkatan berat badan ini terjadi

bersamaan dengan terjadinya perlambatan pertumbuhan tinggi badan anak.

Contoh grafik pertumbuhan anak dengan sindrom Cushing dapat dilihat pada

Gambar. Tanda dan gejala sindrom Cushing lainnya yang biasa muncul pada

anak-anak dapat dilihat dalam Tabel 2.6.47


Tabel 2.7. Perbandingan gejala sindrom Cushing endogen dan eksogen47

Manifestasi Klinis Sindrom Cushing Sindrom Cushing


Endogen Iatrogenik
Riwayat pemakaian Tidak ada Ada
steroid eksogen
Awitan dan Lambat Tiba-tiba
perkembangan penyakit
Gejala psikologis Lebih ringan Lebih berat
Hipertensi Lebih sering Lebih jarang
Gejala hirsutisme, Lebih sering Lebih jarang
virilisasi
Menstruasi ireguler Lebih sering Lebih jarang
Gejala okuler, glaukoma Lebih jarang Lebih sering
Nekrosis avaskuler Lebih jarang Lebih sering
Hipertensi intrakranial Lebih jarang Lebih sering
benigna
Pankreatitis Lebih jarang Lebih sering
Osteoporosis Lebih jarang Lebih sering
Lipomatosis epidural Jarang Sangat jarang
spinal
Kortisol serum Meningkat Terhambat
ACTH Meningkat/menurun Terhambat
Supresi adrenal Tidak ada Ada

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 41


Tampilan klinis seperti peningkaan tekanan intraokuler, hipertensi

intrakranial benigna, karatak, osteoporosis, nekrosis aseptik dari kaput femur,

pankreatitis merupakan tampilan yang lebih sering ditemukan pada sindrom

Cushing iatrogenik dibandingkan sindrom Cushing endogen. Hipertensi,

hirsutisme dan oligomenorrhea/amenoerrhea lebih jarang ditemukan pada

sindrom Cushing iatrogenik. Manifestasi klinis sindrom Cushing iatrogenik

muncul lebih jelas dibandinkan engan sindrom Cushing endogen yang

manifestasi klinisnya muncul secara bertahap. Perbandingan manifestasi klinis

antara sindrom Cushing endogen dan sindrom Cushing iatrogenik dapat dilihat

dalam Tabel 2.7. 47

Pemeriksaan laboratorium pada sindrom Cushing akan menunjukkan

hiperkortisolisme melalui peningkatan kortisol serum basal, ekskresi kortiosol

bebas di urin 24 jam, kortiol saliva atau kortisol serum tengah malam dan

temuan keadaan non-supresibilitas setelah pemeriksaan supresi deksametason

malam. Pemeriksaan kadar ACTH plasma dilakukan setelah hiperkortisolisme

dipastikan untuk melihan jenis sindrom Cushing yang terjadi (dependen atau

independen terhadap ACTH).47

Meskipun telah tersedia berbagai pemerikaan, evaluasi pasien yang

dicurigai menderita sindrom Cushing iatrogenic jauh lebih sulit. Hal tersebut

disebabkan karena pemeriksaan endokrin pada sindrom Cushing iatrogenik

menunjukkan kortisol urin 24 jam yang rendah, kadar kortisol serum yangs

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 42


angat rendah dan supresi kadar ACTH plasma. Pemeriksaan yang paling

penting untuk mendiagnosis sindrom Cushing iatrogenik adalah dengan

mendeteksi glukokortikoid sintetis dalam urin melalui pmeriksaan kromatografi

cairan tekanan tinggi (high-pressure liquid chromatography). Algoritma untuk

diagnosis sindrom Cushing dapat dilihat pada Gambar.47

Gambar. 2.5 Algoritma diagnosis Sindrom Cushing 47

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 43


Tatalaksana pada sindrom Cushing iatrogenik adalah dengan

mengurangi dosis kortikosteroid secara perlahan atau disebut dengan

tappering-off. Semakin lama terapi kortikosteroid dilakukan, semakin tinggi

dosis yang diberikan dan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk

melakukan tappering-off. Pada beberapa kasus, regenerasi aksis HPA

membutuhkan waktu lebih dari 1 tahun. Penurunan dosis kortikosteroid harus

dilakukan dengan sangat hati-hati karena waktu yang dibutuhkan oleh setiap

individu untuk regenerasi aksis HPA sangat bervariasi. Reaktivitas hipotalamus

dan hipofisis biasanya lebih cepat dibandingkan dengan reaktivitas korteks

adrenal. Pemeriksaan fisik dan laboratorium harus dilakukan untuk menilai

proses regenerasi, terutama pemeriksaan aksis HPA dinamis. 48

3. Gangguan Pertumbuhan

Pemberian glukokortikoid jangka panjang pada anak akan mengganggu

pertumbuhan longitudinal. Keadaan tersebut disebabkan oleh efek

glukokortikoid yang menghambat pertumbuhan melalui banyak faktor, seperti

inhibisi sekresi hormone pertumbuhan (GH) dan ekspresi insulin-like growth

factor-1 (IGF-1), penurunan pembentukan kolagen dan tulang, mineralisasi

tulang, dan vaskularisasi.31

Penggunaan kortikosteroid inhalasi juga diketahui memiliki potensi

untuk menekan pertumbuhan. Penggunaan kortikosteroid inhalasi yang sangat

luas, terutama pada anak penderita asma, membuat efek samping ini semakin

dipertimbangkan. Kortikosteroid inhalasi secara perifer menurunkan ekspresi

reseptor GH pada lempeng pertumbuhan dan hepar, serta menurunkan produksi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 44


dan bioaktivitas dari secondary messenger, seperti IGF-1. Tanpa pengaruh dari

GH/IGF-1 yang normal, proliferasi lempeng pertumbuhan dari kondrosit,

produksi matriks kartilago, dan aktivitas osteoblast akan menghilang dan

apoptosis kondrosit akan meningkat. 35

Gambar:2.6 Mekanisma supresi pertumbuhan oleh glukokortikoid35

Efek penggunaan glukokortikoid terhadap pertumbuhan linear anak

akan terlihat semakin jelas jika pemberian glukokortikoid oral dilakukan setiap

hari, dibandingkan dengan pemberian berselang hari. Dalam sebuah penelitian

disebutkan bahwa gangguan pertumbuhan tersebut persisten meskipun

pemberian glukokortikoid telah dihentikan.31

Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa waktu dan frekuensi

pemberian kortikosteroid inhalasi berpengaruh besar terhadap efek samping

kortikosteroid terhadap pertumbuhan. Pulsasi GH mencapai amplitude tertinggi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 45


segera setalah tidur dan akan menurun di pagi hari. Sedangkan aktivitas kortisol

berada pada titik tertinggi di pagi hari dan terendah di malam hari. Perbedaan

tersebut menunjukkan adanya efek “antagonis” dari masing-masing hormon,

sehingga kandungan glukokortikoid eksogen yang berasal dari pemberian

kortikosteroid inhalasi di malam hari akan memberikan efeksi supresi

pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan kortikoteroid

inhalasi dosis pagi. Meskipun demikian, pemberian kortikosteroid inhalasi di

pagi hari akan tetap memberikan efek supresi terhadap pertumbuhan . 35

Pemberian kortikosteroid inhalasi bersamaan dengan pengobatan

stimulan untuk ADHD akan meningkatkan risiko inhibisi pertumbuhan.

Penurunan sekresi GH dan perlambatan pertumbuhan juga telah ditemukan

pada penggunaan SSRI. Peningkatan kadar dopamine dan noradrenalin akibat

penggunaan stimulan menyebabkan inhibisi sekresi GH, prolactin, tiroid,

hormon seks dan insulin sehingga menekan pertumbuhan pada anak dan

remaja. 35

Gangguan pertumbuhan akibat penggunaan kortikosteroid inhalasi dapat

diminimalisir dengan penggunaan dosis minimum efektif, penurunan

availibilitas sistemik dari obat melalui pemilihan alat dan teknik inhalasi yang

tepat, penggunaan bersamaan dengan agen anti-inflamasi alternatif dan

pemilihan obat kortikosteroid inhalasi dengan efek samping terendah. 36

Monitor pertumbuhan yang teratur (setiap 4 bulan) dan akurat dapat

menedeteksi gangguan pertumbuhan lebih dini. Jika gangguan pertumbuhan

ditemukan, segera pertimbangkan untuk menurunkan dosis jika status asma

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 46


pasien terkontrol. Jika gangguan pertumbuhan masih menetap meskipun dengan

menurunkan dosis kortikosteroid inhalasi ke dosis minimum efektif, segera

rujuk pasien ke konsultan tumbuh kembang untuk mengevaluasi penyebab lain

dari gangguan pertumbuhan tersebut, misalnya supresi aksis adrenal.37

B. Efek pada Sistem Muskuloskeletal

Osteoporosis merupakan salah satu efek samping tersering pada

penggunaan kortikosteroid jangka panjang, namun masih sedikit mendapat

perhatian. Kortikosteroid dapat menginduksi osteoporosis dalam 6-12 bulan

pertama pemakaian melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung.

Osteoporosis harus selalu dipikirkan pada anak yang menggunakan

kortikosteroid jangka panjang dengan fraktur setelah trauma minimal atau tanpa

trauma, nyeri tulang kronik, dan gambaran radiografi menunjukkan penipisan

tulang.3,16,17

a. Pengaruh dan mekanisme kortikosteroid terhadap masa tulang.

Kortikosteroid disekresi oleh zona fasikulata korteks kelenjar adrenal.

Fungsi utama menjaga homeostasis, yaitu mempertahankan diri terhadap

perubahan lingkungan, antara lain mengatur metabolisme karbohidrat dan

protein, keseimbangan cairan dan elektrolit, dan anti inflamasi. 18 Kortikosteroid

mempengaruhi masa tulang melalui beberapa mekanisme seperti tertera pada

Gambar 2.4. Pengaruh langsung terjadi karena terdapat reseptor glukokortikoid

pada osteoblast dan osteoklast yang apabila terinduksi akan menyebabkan

penurunan replikasi dan proliferasi osteoblast, memperpendek waktu

remodelling, meningkatkan resorpsi osteoklast, dan menurunkan sintesis IGF-1,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 47


prostaglandin E (PGE2), dan IGF-binding protein. Pengaruh tidak langsung

adalah mengurangi absorbsi kalsium di saluran cerna dan meningkatan ekskresi

kalsium melalui ginjal, hiperparatiroidisme sekunder, dan defisiensi hormon

anabolik akibat berkurangnya sintesis hormon gonadal dan adrenal, mengurangi

respon sel terhadap hormon dan faktor pertumbuhan, dan mengurangi IGF-

binding protein. Hiperkalsiuria sudah terjadi pada hari kelima pemakaian

kortikosteroid. Kadar kalsium darah yang rendah menyebabkan peningkatan

hormon paratiroid sekunder dan efek hormon tersebut pada tulang sehingga

resorpsi tulang meningkat. Mekanisme lain adalah kortikosteroid meningkatkan

ekspresi RANK dan menurunkan ekspresi osteoprotegerin. Kortikosteroid juga

meningkatkan ekspresi colonystimulating factor-1 (CSF-1) yang bila ada

bersama RANK akan menginduksi osteoklastogenesis. Selain itu kortikosteroid

mempengaruhi aktivitas proliferasi dan metabolik sel tulang dengan inhibisi

ekspresi gen bone morphogenetic protein-2 (BMP-2) sehingga

osteoblastogenesis menurun dan meningkatkan apoptosis sehingga lama hidup

osteoblast menurun. Jumlah osteosit yang menurun menyebabkan penurunan

kualitas tulang sehingga lebih mudah mengalami fraktur.19-23

Estrogen meningkatkan absorbsi kalsium dan inhibisi sintesis

osteoblast. Kortikosteroid menekan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal

sehingga menekan sekresi hormon gonadotropin dari kelenjar hipofisis

sehingga kadar estrogen dan testosteron rendah. Jumlah osteoklast meningkat

dan resorbsi tulang juga meningkat akibat pembentukan prekursor osteoklast

yang meningkat. Mekanisme ini menyebabkan keterlambatan masa pubertas

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 48


pada anak yang menggunakan kortikosteroid jangka panjang. 4,5,8,12 Kehilangan

masa tulang terjadi dalam 6-12 bulan setelah pemberian kortikosteroid,

terutama di trabekula tulang, tanpa memandang berapa dosis yang diberikan,

usia, jenis kelamin, dan penyakit dasar. Kehilangan masa tulang terjadi dengan

cepat (10%-15%) akibat resorpsi tulang masif pada fase awal. Kehilangan masa

tulang terjadi lebih lambat (2%-5% per tahun) tetapi progresif akibat gangguan

pembentukan tulang pada fase selanjutnya. 24,25 Kortikosteroid menginduksi

osteoporosis hingga delapan kali lebih berat bila dibandingkan dengan

osteoporosis akibat penyakit dasarnya.19

Gambar 2.7 efek kortikosteroid pada Tulang

b. Pengaruh kortikosteroid inhalasi pada metabolisme tulang

Kortikosteroid inhalasi seperti juga kortikosteroid lainnya dapat

menyebabkan pengurangan massa tulang dan osteopenia melalui beberapa

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 49


mekanisme yang berbeda.20,23,26,27 Efek langsung yaitu pada formasi dan resorbsi

tulang. Efek tidak langsung melalui kerja pada poros hipofisis-gonadal dan

hipofisis-adrenal, absorbsi kalsium usus, reabsorbsi kalsium tubulus ginjal, dan

hiperparatiroid sekunder (Gambar2).3,20,26 Kortikosteroid menekan proses

osteoblastogenesis pada sumsum tulang dan memacu proses apoptosis osteoblas

dan osteoklas yang akan menurunkan proses pem-bentukan tulang secara

keseluruhan.24

Gambar 2.8 Efek kortikosteroid pada metabolisme tulang.

c. Pengaruh kortikosteroid inhalasi pada densitas tulang

Peningkatan densitas mineral tulang berlangsung cepat selama 3 tahun

pertama kehidupan, kemudian melambat selama masa anak-anak dan

meningkat cepat lagi selama pubertas.18 Penurunan densitas tulang pada pasien

asma yang diterapi dengan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi selama 6 bulan

telah ditunjukkan dalam penelitian retrospektif. Namun penelitian retrospektif

lainnya menyatakan tidak terdapat perbedaan bermakna pada densitas tulang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 50


antara pasien asma yang mendapatkan dan tidak mendapatkan steroid inhalasi,

walaupun dosis steroid inhalasi kumulatif berhubungan dengan reduksi yang

kecil terhadap densitas tulang belakang lumbal.26

C. Neuropsikiatri

Kortikosteroid merupakan obat yang biasa digunakan pada praktik

klinis. Obat ini dapat digunakan pada terapi subtitusi pada insufisiensi adrenal

atau untuk supresi sekresi androgen pada penyakit akibat peningkatan sekresi

androgen seperti adrenal hiperplasia. Selain itu steroid juga sering digunakan

pada kasus-kasus gastrointestinal, sistem respirasi, sistem saraf, autoimun,

kelainan kolagen, ginjal, hematologi dan neoplasia. Agen yang digunakan

adalah glukokortikoid kortison dan kortisol (hidrokortison) atau turunan

sintetiknya.28

Tujuan terapi kortikosteroid adalah untuk mendapatkan manfaat klinis

maksimal dengan efek samping yang minimal. Sementara cortisone dan hydro-

cortisone memiliki aktivitas mineralo-corticoid yang signifikan, kortikosteroid

sintetis yang paling kuat seperti dexamethasone dan methyl prednisolone

hampir tanpa aktivitas mineralokortikoid (kecuali fluodrokortison, yang

terutama digunakan sebagai mineralokortikoid). Prednisone dan prednisolon

memiliki beberapa aktivitas mineralokortikoid. Dengan demikian, efek samping

sistemik dari kortikosteroid terutama yang terkait dengan kelebihan

glukokortikoid, atau penekanan fungsi hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA).28

Efek berupa gangguan emosional dan gangguan psikologi pada anak-

anak tidak sebanak pada orang dewasa. Kadang-kadang, perubahan dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 51


aktivitas sekolah dapat diamati. Psikosis Frank jarang terjadi pada anak-anak.

Steroid juga diketahui menyebabkan gangguan skizoafektif, gangguan tidur,

bulimia dan komplikasi lain seperti pseudotumor cerebri.28

Insiden gangguan mental pada anak secara umum adalah adalah 13%,

gangguan mood sebanyak 4%, dan gangguan kecemasan sebanyak 1%.

Gangguan psikiatri ditemukan pada 6% anak yang menggunakan terapi

kortikosteroid, gangguan mood terjadi pada 36 % anak dengan terapi

kortikosteroid dengan gambaran depresif lebih dominan pada anak perempuan

dan gangguan manik lebih dominan pada anak laki-laki.27

Etiologi dan patogenesis gangguan pskiatri yang disebabkan karena

steroid tidak sepenuhnya dimengerti. Penelitian menunjukan bahwa kadar

steroid tinggi dapat meningkatkan kadar dopamin dan menurunkan kadar

serotonin perifer dan sentral. Saraf aferen serotonergik merupakan inhibitor

langsung saraf dopaminergik dalam menghasilkan dopamin. Implikasi dari

kedua mekanisme ini menyebabkan peningkatan kadar dopamin dalam tubuh.

Kortikosteroid juga terkait dengan perubahan lobus temporal, dideteksi secara

struktural, fungsional, dan pencitraan spektroskopi.28

Kelainan neuropsikiatri akibat kortikosteroid bersifat kompleks, tidak

dapat diprediksi dan sering berat. Tanda-tanda klinis umumnya terdiri dari

visual dan halusinasi pendengaran, pemikiran delusional, paranoid, gangguan

afektif (depresi, apatis, hipomania, panik), depersonalisasi, gangguan motorik

(over activity, imobilitas), perilaku agresif dan penurunan nilai kognitif.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 52


Banyak penelitian yang mengatakan adanya gejala-gejala gangguan depresi

(40%) dan diikuti oleh mania (25%) . 28

Pada dewasa terdapat hubungan yang jelas antara dosis kortikosteroid

dengan beratnya gejala, namun tidak ada hubungan antara dosis kortikosteroid

yang digunakan dengan beratnya gejala pada anak. 27 Reaksi psikiatri terjadi

pada sebagian orang dewasa di awal pengobatan kortikosteroid, yaitu minggu

pertama atau kedua pengobatan. Tidak terdapat laporan mengenai waktu rata-

rata munculnya gejala psikosis akibat kortikosteroid pada anak. Sebagian

laporan kasus terlihat kecenderungan gejala terjadi selama minggu pertama

terapi glukokortikoid. Laporan lainnya setuju, mendokumentasikan gejala onset

baik segera atau beberapa hari setelah pengobatan dimulai.27

Anak- anak dengan gangguan psikiatri akibat kortikosteroid dapat

diobati dengan penggunaan antipsikotik atau benzodiazepin, tunggal atau dalam

kombinasi. Belum terdapat konsesus mengenai farnakoterapi terbaik untuk

gangguan psiatri akibat kortikosteroid. Namun, ada satu perbedaan penting

dalam pendekatan, adalah penggunaan mood stabilizer berupa lithium pada

orang dewasanamun belum ada penelitian yang mengatakan terapi lithium juga

dapat diberikan pada anak. Pendekatan pengobatan yang paling sederhana

untuk kedua kelompok adalah penghentian kortikosteroid, yang mungkin cukup

memadai untuk menyelesaikan gejala.Pengurangan atau penghentian dosis

dilakukan saat kejadian kejiwaan akut. Jika penghentian tidak dimungkinkan

atau tidak efektif,pemberian obat antipsikotik atau benzodiazepin merupakan

pilihan pengobatan.28

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 53


Hipertensi intrakranial idiopatik atau pseudotumor serebri adalah

diagnosis eksklusi yang didefinisikan dengan adanya peningkatan tekanan

intrakranial tanpa adanya bukti lesi massa atau hidrosefalus. Sakit kepala,

mual, muntah, dan papiledema adalah karakteristiknya tanda dan gejala kondisi

ini. Sering terjadi pada wanita gemuk usia reproduktif tetapi juga diketahui

terjadi pada anak-anak. Selain obesitas, diketahui penyebab hipertensi

intrakranial idiopatik termasuk gangguan vitamin, antibiotik tertentu,

kortikosteroid, dan gangguan autoimun. Gangguan endokrin tertentu, yaitu

penyakit Cushing dan penyakit Addison, juga dikaitkan dengan intrakranial

idiopatik hipertensi.29

Pseudotumor atau hipertensi intrakranial idiopatik telah dilaporkan

berhubungan dengan beberapa gangguan endokrin. Ini termasuk insufisiensi

adrenal primer, dan penyakit Cushing, serta penggunaan kortikosteroid oral.

Namun, sangat sedikit kasus yang telah dilaporkan menggambarkan hipertensi

intrakranial idiopatik yang disebabkan kafrena efek penghentian pemberian

kortikosteroid inhalasi. Mekanisme dimana insufisiensi adrenal menginduksi

peningkatan tekanan intrakranial saat ini tidak dipahami dengan baik.Telah

didalilkan, bagaimanapun, bahwa pengehentian kortikosteroid menginduksi

penurunan penyerapan CSF dan meningkatkan resistensi terhadap aliran CSF.29

Penatalaksanaan pada pasien ini dapat dilakukan dengan lumbal pungsi

dan mengeluarkan sebagian LCS sampai pada tekanan normal. Selain itu pada

praktik klinis kasus pseudotumor juga dapat diobati dengan pemberian diueretik

seperti azetazolamid.29

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 54


D. Efek pada Keseimbangan Elektrolit

Kortikosteroid dapat mempengaruhi keseimbangan elektrolit.

Mineralokortikoid bekerja pada tubulus distal dan tubulus kolektif,

menyebabkan penurunan reabsosrpsi dari kalium dan terjadi kehilangan kalium

yang cukup banyak pada pasien. Kortikosteroid juga mempengaruhi transport

ion natrium dan bikarbonat, sehingga terjadi retensi cairan.

Mekanisme kerja kortikosteroid terhadap ginjal, menyebabkan terjadinya

ketidakseimbangan elektrolit berupa hipokalemia pada pasien, dan peningkatan

tekanan darah.3 Pasien akan kehilangan banyak kalium, sehingga hipokalemi

alkalosis dapat terjadi pada pasien. Efek samping tersebut dapat dikurangi

dengan menganjurkan pasien untuk diet rendah garam dan diet tinggi kalium,

yang banyak terdapat pada buah-buahan, sayur terutama brokoli, ikan dan

unggas, namun dalam beberapa kasus diperlukan pemberian suplemen kalium

tambahan pada pasien.39,40 Peningkatan tekanan darah yang terjadi akibat retensi

cairan, dapat diterapi dengan pemberian thiazide, yang berfungsi selain sebagai

terapi antihipertensi juga berguna untuk mengurangi kehilangan kalsium dan

mencegah osteoporosis.40

E. Efek pada Kardiovaskuler

Pada keadaan hiperglukokortikoid dapat terjadi hipertensi, namun

penyebabnya belum diketahui dengan jelas. Hipertensi dapat disebabkan oleh

peningkatan sekresi angiotensinogen akibat kerja langsung glukokortikoid pada

arteriol atau akibat kerja glukokortikoid yang mirip mineralokortikoid sehingga

menyebabkan peningkatan resistensi air dan natrium, serta ekskresi kalium.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 55


Retensi air ini juga akan menyebabkan wajah yang bulat menjadi tampak

pletorik.11

Efek yang paling mencolok dari kortikosteroid pada sistem

kardiovaskular adalah perubahan yang diinduksi oleh mineralokortikoid pada

retensi Na+ ginjal. Aktivasi mineralokortikoid memiliki efek langsung pada

dinding jantung dan pembuluh darah; aldosteron menginduksi hipertensi dan

fibrosis jantung interstitial pada model hewan. Peningkatan fibrosis jantung

tampaknya merupakan hasil dari aksi langsung mineralokortikoid di jantung.

Kerja utama kedua dari kortikosteroid pada sistem kardiovaskular adalah untuk

meningkatkan reaktivitas vaskular terhadap zat vasoaktif lainnya.

Hipoadrenalisme berhubungan dengan berkurangnya respon terhadap

vasokonstriktor seperti norepinefrin dan angiotensin II, mungkin karena

penurunan ekspresi reseptor adrenergik di dinding pembuluh darah. Sebaliknya,

hipertensi terlihat pada pasien dengan sekresi glukokortikoid yang berlebihan,

terjadi pada sebagian besar pasien dengan sindrom Cushing dan pada subset

pasien yang diobati dengan glukokortikoid sintetis.3

Tekanan darah sistolik dan diastolik meningkat signifikan setelah 4

minggu pemakaian steroid (prednison oral). Namun, tekanan darah akan

kembali normal setelah 2 minggu penghentian steroid.39

F. Efek pada Gastrointestinal

Kortikosteroid berpotensi menimbulkan ulserogenik terutama pada

peptic ulcer disease (PUD) yang diobati dengan pemakaian steroid dan juga

dapat terjadi stress ulcer selama periode pemakaian kortikosteroid endogen

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 56


yang tinggi. Secara eksperimental, kortikosteroid telah terbukti meningkatkan

sekresi asam lambung, mengurangi lendir lambung, dan menyebabkan

hiperplasia sel parietal gastrin pada hewan percobaan. Kortikosteroid juga telah

terbukti menunda penyembuhan dan memperbesar ulkus. Secara klinis

kortikosteroid tidak menimbulkan gejala gastrointestinal, kecuali jika telah

terjadi perforasi.39

Piper dkk menemukan bahwa pada 1.415 pasien yang dirawat di rumah

sakit dengan PUD tidak ada peningkatan insidensi pada mereka yang memakai

kortikosteroid saja tetapi ada peningkatan risiko pada mereka yang

menggunakan obat anti-inflamasi nonsteroid dan peningkatan risiko yang pada

mereka yang memakai keduanya. Selain itu, ketika pasien diberikan pengobatan

kortikosteroid, mereka yang memiliki faktor risiko untuk PUD seperti riwayat

PUD di masa lalu; merokok; asupan alkohol yang tinggi; atau menerima obat

ulserogenik harus diberikan agen profilaksis seperti ranitidin. Setiap adanya

kecurigaan terhadap PUD harus segera diselidiki dengan gastroduodenoskopi.39

F. Efek pada Sistem Respirasi

Asma adalah penyakit kronis pada saluran pernapasan bawah yang

diakibatkan oleh peradangan, hiperresponsif jalan nafas, dan obstruksi lendir di

saluran napas. Ini mencerminkan remodelling saluran udara oleh hiperplasia sel

goblet, hipersekresi lendir, hiperplasia otot polos, proliferasi fibroblas,

angiogenesis dan peningkatan endapan kolagen.40

Glukokortikoid oral dan inhalasi adalah terapi utama pada asma akut

dan kronis. Glukokortikoid, seperti prednison dan flutikason, biasanya

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 57


digunakan karena kemampuan potensinya untuk memodulasi peradangan yang

menyebabkan gejala eksaserbasi akut pada asma. Peradangan asma

menyebabkan remodelling jaringan patologis, pengobatan anti-inflamasi dengan

glukokortikoid akan mengurangi percepatan hilangnya fungsi paru-paru dari

waktu ke waktu pada individu dengan asma. Program manajemen asma pada

anak mempelajari fungsi paru-paru berusia 5-12 tahun dengan asma ringan

sampai sedang yang diobati dengan budesonide atau plasebo. Meskipun

kelompok budesonide menunjukkan awal peningkatan fungsi paru-paru,

perbedaan ini menghilang oleh adanya penelitian selama periode 4 tahun. Para

peneliti menunjukkan adanya penghilangan fungsi paru yang sama dari

glukokortikoid yang dihirup (budesonide) pada anak-anak dan orang dewasa

setelah periode 5 tahun. Selanjutnya, ketebalan lapisan retikular bronkial pada

pasien asma yang diobati dengan glukokortikoid yang dihirup tidak berkurang

kecuali dengan dosis tinggi.40

Sintesis glukokortikoid, seperti prednison, adalah obat yang paling

banyak diresepkan pada kondisi peradangan akut dan kronis. Penggunaan

prednison pada kondisi kronis dikaitkan dengan efek samping. Glukokortikoid

memiliki efek anti-inflamasi secara luas melalui penghambatan faktor nuklir kB

(NF-kB) dan NF-kB target inflamasi. Glukokortikoid memiliki efek jangka

pendek pada sinyal protein-protein yang terjadi dalam hitungan menit dan efek

yang lebih lama pada tanskripsi RNA melalui reseptor glukokortikoid yang

mengikat target promotor. Peradangan disebabkan oleh penurunan remodelling

dari jaringan patologis.40

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 58


G. Efek pada Mata

Kortikosteroid banyak diberikan pada mata sebagai terapi untuk uveitis,

konjungtivitis alergi dan inflamasi paska operasi dengan berbagai preparat baik

salep maupun tetes, namun disisi lain penggunaan kortikosteroid juga dapat

memberikan efek samping pada mata, tidak hanya pada penggunaan topikal

pada mata tapi juga pada penggunaan inhalasi dan sistemik.41

Kortikosteroid dapat menyebabkan terjadinya glaukoma pada pasien

dengan meningkatkan tekanan intraokular tanpa menimbulkan rasa nyeri

melalui peningkatan produksi glikosaminoglikan, elastin dan fibronektin yang

menyebabkan penurunan dari outflow cairan pada mata. Peningkatan tekanan

intraokular menyebabkan optic disc cupping, atrofi nervus optikus dan

hilangnya lapang pandang. 41

Penghentian penggunaan kortikosteroid, dapat menurunkan peningkatan

tekanan intraokular namun kerusakan yang telah terjadi akan permanen. Untuk

mengurangi angka kejadian glaukoma terinduksi obat, maka sebaiknya

dilakukan screening pada pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami

glaukoma, yaitu pada pasien dengan riwayat glaukoma pada keluarga, diabetes,

miopia tinggi atau riwayat artritis. Terapi yang akan diberikan pada pasien

dengan glaukoma terinduksi obat yaitu dengan trabekulektomi atau dengan

pemberian mitomycin C. Jika didapatkan pasien yang memiliki risiko tinggi

mengalami glaukoma, maka pasien sebaiknya dirujuk ke spesialis mata terlebih

dahulu untuk pemeriksaan mata yang lebih lanjut.41,42

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 59


Penggunaan kortikosteroid juga dihubungkan dengan munculnya

katarak subkapsular posterior. Katarak terinduksi obat terjadi karena steroid

yang masuk kedalam sel fiber dari lensa kristalin bereaksi dengan asam amino

spesifik dalam lensa. Perubahan ikatan disulfid pada protein sulfhydryl

menyebabkan terjadinya agregasi protein dan opasifikasi lensa.42,43

Kejadian katarak akibat penggunaan kortikosteroid bervariasi antar individu,

dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa onset katarak sekurang-kurangnya 1

tahun penggunaan kortikosteroid (prednison oral) dengan dosis ≥10 mg/ hari.42

Korioretinopati juga dikaitkan dengan penggunaan kortikosteroid sistemik,

yang terjadi akibat pembentukan cairan subretina pada daerah makula sehingga

terjadi pemisahan antara retina dengan lapisan fotoreseptor. Korioretinopati

akan bermanifestasi sebagai penglihatan yang kabur pada bagian tengah dan

penurunan tajam penglihatan.42

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 60


BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Steroid merupakan substansi hormonal yang diproduksi secara alami di

dalam tubuh oleh kelenjar adrenal dan organ reproduksi. Steroid yang sering

dikenal   adalah   kortikosteroid.1  Hormon   steroid   dibagi   menjadi   2   golongan

besar,   yaitu   glukokortikoid   dan   mineralokortikoid.   Glukokortikoid   memiliki

efek   penting   pada   metabolisme   karbohidrat   dan   fungsi   imun,   sedangkan

mineralokortikoid   memiliki   efek   kuat   terhadap   keseimbangan   cairan   dan

elektrolit. 

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 61


Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai

dalam dunia kedokteran. Kortikosteroid merupakan obat yang biasa digunakan

pada praktik klinis. Obat ini dapat digunakan pada terapi subtitusi pada

insufisiensi adrenal atau untuk supresi sekresi androgen pada penyakit akibat

peningkatan sekresi androgen seperti adrenal hiperplasia. Selain itu steroid juga

sering digunakan pada kasus-kasus gastrointestinal, sistem respirasi, sistem

saraf, autoimun, kelainan kolagen, ginjal, hematologi dan neoplasia. Agen yang

digunakan adalah glukokortikoid kortison dan kortisol (hidrokortison) atau

turunan sintetiknya.

Begitu luasnya penggunaan kortikosteroid ini bahkan banyak yang

digunakan tidak sesuai dengan indikasi. Oleh karena itu dalam penggunaanya

steroid harus selalu dilakukan evaluasi terhadap penggunanya untuk

menghindari efek samping yang dapat terjadi. Efek samping dapat terjadi pada

sistem endokrin, muskuloskeletal, neuropsikiatri, kardiovaskular,

gastrointestinal, respirasi, dan mata.

3.2 Saran

Penulisan referat ini didasarkan pada studi kepustakaan merujuk dari

berbagai literatur. Literatur yang digunakan sebagian besar membahas

bagaimana efek steroid pada anak. Anak dan dewasa merupakan individu yang

berbeda dalam diagnosis dan penatalaksanaan penyakit, saran untuk peelitian

sebelumnya agara dapat dibandingkan antara penatalaksanaan pada anak dan

dewasa.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 62


DAFTAR PUSTAKA

1. Chrousos G. Adrenocorticosteroids and adrenocortical antagonist.

Dalam: Katzung, GB, Master BS, Trevor AJ (ed). Basic and Clinical

Pharmacology. Edisi keempat belas. The McGraw-Hill Companies

2018: 697-709.

2. Stephenson C. Short-term Steroid Treatment for Children. East Sussex

Healthcare NHS Trust. 2017; 1-3.

3. Schimmer BP, Parker KL. Adrenocorticotropic hormone,

adrenocortical steroids and their synthetic analogs; inhibitors of the

synthesis and actions of adrenocortical hormones. Dalam : Brunton

LL, Dandan RH, Knollman BC (ed). Goodman & Gilman's : The

pharmacological basis of therapeutics. McGraw-Hill 2017: 1587 - 610.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 63


4. Aljebab F, Choonara I, Conroy S. Systematic review of the toxicity of

short-course oral corticosteroids in children. Arch Dis Child. 2016; 1-

6.

5. Gupta P, Bhatia V. Corticosteroid Physiology and Principles of

Therapy. Indian Journal of Pediatrics. 2008; 75: 1039-44.

6. Humes H D. Drugs Affecting the Endocrine System: Corticosteroids.

2005; 352-72.

7. Whalen K. Adrenal hormones. Dalam: Whalen K, Finkel R, Panavelil

TA (ed). Pharmacology. Edisi keenam. Wolters Kluwer 2015: 365-71.

8. Hall JE. Guyton and Hall: Textbook of medical physiology. Edisi

ketiga belas. Elsevier 2016: 965-81.

9. Sherwood. Human physiology from cells to systems. Edisi kesembilan.

Cengage Learning 2015: 698-705.

10. Pulungan AB, Batubara JR. Pemakaian kortikosteroid dalam

pengobatan. Dalam: Batubara JR, Tridjaja B, Pulungan AB. Buku Ajar

Endokrinologi Anak. Edisi ke 2. Jakarta Pusat: IDAI, 2018: 596.

11. Batubara JR, Tridjaja B, Pulungan AB. Korteks adrenal dan

gangguannya. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi ke 1. Jakarta:

Badan Penerbit IDAI, 2010: 251-67.

12. Dhossche , J., Simpson, E., Hajar, T., et al. Topical corticosteroid

withdrawal in a pediatric patient. JAAD Case Reports. 2017;3:420-1.

13. Liu, D., Ahmet A., Ward L., et al. A practical guide to the monitoring

and management of the complications of systemic corticosteroid

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 64


therapy. Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2013, 9:30.

14. Graham EM, Stanbury RM. Systemic Corticosteroid Therapy Side

Effects and Their Management. http://bjo.bmj.com/ on February 25,

2015.

15. Drozdowicz LB, Bostwick M. Review: Psychiatric adverse effects of

pediatric corticosteroid use. Mayo Foundation for Medical Education

and Research. 2014; 89(6):817-834.

16. Chrousus GP. Glucocorticoid therapy and withdrawal. Best practice of

medicine.http:// Merck.Praxis.nd/bpm/bpm.asp?page:cpm02EN313

17. Orth DN, Kovacs WJ. The Adrenal Cortex. In Kovacs WJ ed. Williams

Texbook of Endocrinology, 9 th ed. WB

Saunders,Philadelphia:2016;517 –629 4. Lippi C, Chrousus GP.

Glucocorticoids.In Yaffe SJ, Aranda JV eds.Pediatric Pharmacology,

Theurapeutic Principles in Practice.WB Saunders, Philadelphia: 2012;

466 – 75

18. Suherman SK. Adrenokortikotropin, adrenokortikosteroid, analog-

sintetik dan antagonisnya. Dalam: Ganiswarna SG, penyunting.

Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. Jakarta: Gaya Baru; 2016.h.482-

500.

19. McIlwain HH. Glucocorticoid-induced osteoporosis: pathogenesis,

diagnosis and management. Preventive Medicine 2013;36:243-9. 3.

20. Cohen D, Adachi JD. The treatment of glucocorticoidinduced

corticosteroid. J Steroid Biochemi and Mol Biol 2014;88:337-49.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 65


21. Holick MF. Resurrection of vitamin d deficiency and rickets. The

Journal of Clinical Investigation 2016; 116:2062-72.

22. Bianchi ML. Glucocorticoids and bone: some general remarks and

some special observations in pediatric patients. Calcified Tissue

Internat 2012;70:384-90.

23. Singh RF, Muskelly CC. Inhaled corticosteroidinduced bone loss and

preventive strategy. JAOA 2016; 10:S14-7.

24. Garnett SP, Hogler W, Blades B, Baur La. Relation between hormones

and body composition, including bone, in prepubertal children. Am J

of Clin Nutrition 2014;80:966-72.

25. Valsamis HA, Arora SK, Labban B, MacFarlane SI. Antiepileptic drugs

and bone metabolism. Nutrition and Metabolism 2016;3:36-47.

26. Adachi JD, Papaioannou A. In whom and how to prevent

glucocorticoid-induced osteoporosis. Best Practice and Research

Clinical Rheumatology 2015;19:1039-64.

27. Efthimiou J, Barnes PJ. Effects of inhaled corticosteroids on bones and

growth. Eur Respir J 2016;11:1167-77.

28. Bharathan V et al. Steroid Psychiatric: A case series of three patients. Indian

Journal of Pharmacy practice vol 11 issue 1. 2018.

29. B, Linda, J michael bostwick. Psychiatri Adverse Effect of pediatric

Corticosteroid Use. Mayo Clinic Proc. 2014.

30. Sheunonda Sandra et al. Idhiopathic Intracranial hypertension as a presnting

sign of adrenal isufficiency. SAGE Open Med Vol 6 1-3.2017.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 66


31. Nicolaides NC, Pavlaki AN, Alexandra MAM, Chrouss GP.

Glucocorticoid Therapy and Adrenal Suppression.

32. Juszczak A, Morris DG, Grossman AB, Nieman LK. Cushing’s

Syndrome. In Endocrinology: Adult & Pediatric. Philadelphia:

Elsevier. 2016: 227-255.e10.

33. Ucar A, Bas F, Saka N. Diagnosis and management of pediatric

adrenal insuffiency. World J Pediatr. 2016; 12(3): 261-274.

34. Barthel A, Willenberg HS, Gruber M, Bornstein SR. Adrenal

Insufficiency. In Endocrinology: Adult & Pediatric. Philadelphia:

Elsevier. 2016: 1763-1774.e4.

35. Wolfgram PM, Allen DB. Factors influencing growth effects of ihaled

corticosteroids in children. J Allergy Clin Immunol. 2015; 136(6):

1711-1712.e2.

36. Philip J. The effects of inhaled corticosteroids on growth in children.

Open Respir Med J. 2014; 8: 6-73.

37. Allen DB. Inhaled corticosteroids and growth: still and issue after all

these years. J Peds. 2015; 166(2): 463-469.

38. CLore JN, Thurby-Hay L. Glucocorticoid-Induced Hyperglycemia.

Endocr Pract. 2009; 15 (5): 469-474.

39. Stanburry R, Graham E. 1998. Systemic Corticosteroid Therapy-side

Effect and Their Management. BMJ.704-708.

40. Freishtat RJ, dkk. Glucocorticoid Efficacy in Asthma: Is Improved

Tissue Remodeling Upstream of Anti-Inflammation. Journal of

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 67


Investigative Medicine. 2010;58(1).

41. Lai CHY, Fan DSP, Chan JCH. Corticosteroid-induced Glaucoma in

Children. HKJ Ophtalmology. 2011. 18: 14-18.

42. Liu D, Ahmer A, Ward L, dkk. A Practical Guide to the Monitoring and

Management of the Complications of Systemic Corticosteroid

Therapy. Allergy Asthma & Clinical Immunology Journal. 2013. 9:30.

43. Olonan LR, Pangilinan CAG, Yatco MM. Steroid-induced Cataract and

Glaucoma in Pediatric Patients with Nephrotic Syndrome. Philipine

Journal of Ophtalmology. 2009. 34(2) : 59-62.

44. Latif Abdul Aziz. Penggunaan Kortikosteroid di Klinis. Surabaya.

RSUP Dr. Soetomo, Fk Unair.

45. Lodish M. Cushing’s syndrome in children: updates on genetics,

treatment and outcomes. Curr Opin Endocrinol Diabetes Obes. 2015;

22(1): 48-54.

46. Lodish MD, Keil MF. Stratakis CA. Cushing’s syndrome in pediatrics:

An update. Endocrinol Metab Clin N Am. 2018; 47: 451-462.

47. Raveendram AV. Inhalational steroids and iatrogenic Cushing’s

Syndrome. The Open Respiratory Medicine Journal. 2014; 8 (Suppl 1:

M4): 74-84.

48. Igaz P, Racz K, Toth M, Glaz E, Tulassay Z. Treatment of iatrogenic

Cushing’s syndrome: Questions of glucocorticoid withdrawal.

Hungarian Medical Journal. 2007, 1(1): 63-72.

49.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 68


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 69

Anda mungkin juga menyukai