Penggunaannya dapat dilakukan tunggal maupun kombinasi dengan obat lainnya dalam jangka
waktu yang pendek maupun panjang. Meskipun telah digunakan secara luas, penggunaan
Penggunaan steroid dalam dosis tinggi akan menyebabkan supresi aksis hipotalamus-hipofisis-
adrenal (HPA axis) yang menyebabkan kelenjar adrenal tidak dapat menghasilkan kortisol dalam
jumlah cukup jika penggunaannya dihentikan secara tiba-tiba. Selain terjadinya supresi adrenal,
glukokortikoid (2). Gejala lain yang sering timbul akibat penggunaan steroid jangka panjang yaitu
gejala Cushingoid, perubahan perilaku, peningkatan nafsu makan, peningkatan berat badan,
Insufisiensi adrenal iatrogenik paling sering disebabkan oleh pemberian glukokortikoid dosis
kelenjar hipofisis anterior. ACTH kemudian menyebabkan pelepasan kortisol dari zona fasciculata
di kelenjar adrenal, yang kemudian akan memberikan feedback negatif terhadap pelepasan CRH
dan ACTH. Pemberian kortikosteroid eksogen akan menyebabkan supresi aksis HPA melalui
penurunan sintesis dan sekresi CRH, serta penghambatan efek CRH pada kelenjar hipofisis.
peptide turunan POMC lainnya dan jika keadaan terus berlanjut nantinya akan menyebabkan atrofi
sel kortikotropin di hipofisis anterior. Dengan tidak adanya ACTH, korteks adrenal kemudian akan
Supresi aksis HPA biasanya muncul pada pemberian dosis glukokortikoid farmakologis
selama lebih dari 2-3 minggu. Supresi tersebut dapat bersifat subklinis sampai sangat berat hingga
menyebabkan krisis adrenal akut. Meskipun kortikosteroid eksogen merupakan penyebab utama
dari insufisiensi adrenal iatrogenik, terdapat berbagai medikasi lainnya yang bisa menyebabkan
insufisiensi adrenal seperti megestrol asetat, ketokonazol, etomidate dan mitotane. Insufisiensi
Jika pemberian steroid eksogen dihentikan secara tiba-tiba, insufisiensi adrenal biasanya akan
muncul pada 48 jam pertama setelah penghentian. Beratnya gejala bergantung kepada jenis steroid
yang diberikan, waktu pemberian dan durasi pemberian. Regimen dengan efek supresif paling
rendah adalah dosis glukokortikoid yang lebih rendah dibandingkan dnegan dosis penggantinya
yang diberikan sekali sehari di pagi hari selama kurang dari 2 minggu. Sedangkan pemberian
glukokortikoid dosis suprafisiologis (dosis tinggi) dibagi dalam beberapa dosis dan diberikan
sehari penuh dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan munculnya gejala awal dari
sindrom Cushing. Pada kasus tersebut insufisiensi adrenal pasti akan terjadi dengan durasi
mencapai lebih dari 1 tahun. Pemberian kortikosteroid topical jarang namun tetap dapat
menyebabkan supresi adrenal, jika diberikan pada dosis tinggi seperti pada kasus karsinoma
payudara. Insufisiensi adrenal juga dapat terjadi pada pasien asma yang mendapatkan
Gejala insufisiensi adrenal sekunder sama dengan gejala insufisiensi adrenal primer. Gejala
klinis insufisensi adrenal yang telah dijelaskan oleh Addison, antara lain anemia, lemah lesu,
gangguan jantung, gejala gastrointestinal dan perubahan warna kulit. Perbedaan insufisieni adrenal
primer dan sekunder terletak pada defisiensi kortikoid yang terjadi antara kedua kondisi tersebut.
Defisiensi glukokortikoid dan meniralkortikoid terjadi pada insufisensi adrenal primer, sedangkan
pada insufisiensi adrenal sekunder fungsi mineralkortikoid masih dapat dipertahankan. (4)
Gejala klinis dari insufisiensi adrenal dapat berupa gejala yang ringan dan tidak spesifik seperti
rasa lelah dan lemah hingga gejala yang berat seperti syok hipovolemik akibat kolapsnya
pembuluh darah sistemik. Pada neonatus dan bayi, gejala yang muncul dapat berupa muntah,
peningkatan berat badan, hipoglikemi, hipotensi akut dan munculnya masa abdomen akibat
perdarah adrenal bilateral. Spektrum gejala dari insufisiensi adrenal dapat diilihat dalam Tabel 1.
Tampilan klinis pasien dengan insufisiensi adrenal sekunder dan tersier lebih ringan dibandingkan
pada pasien dengan insufisiensi adrenal primer dan tanpa adanya gejala salt wasting karena
sebagian besar dari produksi dan sekresi aldesteron diregulasi oleh sistem renin-aldosteron dan
Keluhan pasien biasanya berupa rasa letih, lesu, berkurangnya nafsu makan dan penurunan
berat badan. Keluhan gastrointestinal yang paling sering disampaikan antara lain mual, muntah,
diare, konstipasi dan nyeri abdomen yang biasanya disebabkan oleh menurunnya motiitas usus.
Hipernaterima juga dapat ditemukan pada insufisiensi adrenal iatrogenik dan disebabkan oleh
deifisensi kortisol, peningkatan sekresi vasopressin dan retensi cairan. Hiperpigmentasi tidak
Hasil pengukuran kadar ACTH tidak sensitif untuk menentukan adanya supresi aksis HPA
pada anak karena nilai ACTH pagi normal pada anak lebih rendah dibangkan dewasa (5-20 pg/mL
vs 20-80 pg/mL). Kadar kortisol serum pagi basal <83-138 nmol/L (3-5 ug/dL) menunjukan
kemungkinan insufisiensi adrenal dan nilai >550 nmol/L (20 ug/dL) menunjukkan fungsi adrenal
yang normal. Jika hasil yang ditemukan tidak sesuai dengan kriteria yang disebutkan, maka
pemeriksaan fungsi HPA dinamis perlu dilakukan. Penghentian terapi glukokortikoid harus
dilakukan setidaknya 24-48 jam sebelum pemeriksaan kortisal, kecuali pada penggunaan
deksametason. Pemeriksaan CRH dapat dilakukan jika penghentian terapi glukokortikoid tidak
dapat dilakukan. Selain itu, pemeriksaan CRH juga dapat digunakan untuk mendeteksi supresi
aksis HPA pada neonatus prematur yang terpapar deksametason in utero (3).
berbeda dengan nilai cut-off yang berbeda. Kadar kortisol basal >414 nmol/L (15 ug/dL), respon
kortisol puncak terhadap uji ACTH dosis rendah >500 nmol/L (18 ug/dL), atau perbedaan kadar
kortisol basal dan puncak sebesar >248 nmol/L (9 ug/dL) atau >12% merupakan parameter yang
Meskipun demikian, korelasi antara parameter diatas dengan diagnosis klinis masih perlu diteliti
lebih dalam. Gangguan hemodinamis, peningkatan kebutuhan perbaikan elektrolit atau hipotensi
yang tidak membaik dengan pemberian vasopressor secara klinis menunjukkan insufisiensi
pengobatan tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba. Jika tanda dan gejala insufisiensi adrenal
muncul saat menurunkan dosis glukokortikoid, dosis yang sedang digunakan harus segera
dinaikkan atau dipertahankan dalam waktu yang lebih panjang. Penurunan dosis yang ideal harus
dilakukan 20-15% setiap 2-4 hari hingga dosis fisiologis tercapai (8-10 mg/m2 hidrokortison per
hari). Setelah mencapai dosis fisiologis, kadar ACTH dan kortisol serum pagi harus diukur setiap
bulan hingga hasilnya mencapai nilai normal. Selain itu, pemeriksaan ACTH dosis rendah juga
dilakukan hingga nilai kortisol pasca kortikotropin melebihi 500-550 nmol/L (18-20 ug/dL) (3).
Sindrom Cushing merupakan sebuah gangguan multisystem yang disebabkan oleh paparan
glukokortikoid berkepanjangan. Penyakit ini dicirikan dengan tampilan klinis seperti obesitas
trunkal, keterlambatan pertumbuhan, striae, hipertensi dan hirsutism. Sindrom Cushing pada anak-
anak paling sering disebabkan oleh pemakaian glukokortikoid eksogen, sedangkan sindrom
Gejala sindrom Cushing pada anak-anak biasanya muncul secara perlahan. Gejala yang paling
sering ditemukan pada anak-anak adalah peningkatan berat badan. Kejadian peningkatan berat
badan ini terjadi bersamaan dengan terjadinya perlambatan pertumbuhan tinggi badan anak.
Contoh grafik pertumbuhan anak dengan sindrom Cushing dapat dilihat pada Gambar. Tanda dan
gejala sindrom Cushing lainnya yang biasa muncul pada anak-anak dapat dilihat dalam Tabel. (+2)
Gambar.(+2)
Anamnesis dan pemeriksaan klinis, terutama evaluasi grafik pertumbuhan, merupakan langkah
pertama dalam mendiagnosis sindrom Cushing. (+2) Anamnesis mengenai riwayat penggunaan
glukokortikoid dosis tinggi suprafisiologis menyebabkan tampilan klinis dari sindrom Cushing
iatrogenic cenderung berat. Tampilan klinis berupa hipertensi sering ditemukan, namun
hypokalemia jarang terjadi karena glukokortikoid memiliki aktivitas mineralokortikoid yang lebih
rendah dibandingkan kortisol endogen. Virilisasi dan hirsutisme juga jarang ditemukan pada
kondisi iatrogenic, karena steroid eksogen akan menghentikan produksi androgen adrenal dengan
menghambat sekresi ACTH endogen. Komplikasi oftalmologi seperti glaukomsa dan katarak
subcapsular posterior disertai dengan nekrosis tulang avaskuler dam hipertensi intracranial
benigna lebih sering terjadi pada sindrom Cushing iatrogenic dibandingkan bentuk sindrom
Diagnosis sindrom Cushing baru dapat ditegakkan jika gejala klinis dan abnormalitas biokimia
Gejala sindrom Cushing antara lain obesitas, hipertensi dan siklus menstruasi yang tidak
teratur. Meskipun tidak seluruh pasien sindrom Cushing menunjukkan tampilan yang sama,
perubahan seperti obesitas truncal, ekimosis, plethora, striae keunguan, moon face, kelemahan otot
proksimal, osteoporosis dan osteopenia merupakan gejala dan tampilan klinis yang
Obesitas yang disebabkan oleh sindrom Cushing akan menunjukkan tanda katabolisme
protein, seperti kelemahan otot proksimal, striae ungu-kemerahan, lebam, atrofi kutikuler dan
osteoporosis. Intoleransi glukosa dan diabetes mellitus juga ditemukan pada sepertiga kasus.
Gluokortikoid meningkatkan luaran glukosa hepar dengan mengaktivasi karboksinase
fosfoenolpiruvat yang merupakan enzim gluconeogenesis utama. Hipertensi ditemukan pada 75%
kasus dan disebabkan oleh peningkatan curah jantung, aktivasi sistem renin-angiotensin dan
penurunan sintesis vasodilator nitrit oksida. Tampilan klinis seperti katarak, peningkatan tekanan
intraokuler, hipertensi intrakranal benigna, nekrosis aseptic dari kaput femur, osteoporosis dan
pankreatitis sering ditemukan pada sindrom Cushing iatrogenic, sedangkan hipertensi, hirsutisme
dan gangguan siklus menstruasi lebih jarang ditemukan. Tampilan klinis sindrom Cushing yang
paling sering ditemukan pada anak antara lain gangguan pertumbuhan, obesitas dan keterlambatan
pubertas. Tampilan yang lebih jarang muncul antara lain kelemahan otot dan perilaku rajin yang
kompulsif (+1).
3. Gangguan Pertumbuhan
pertumbuhan melalui banyak faktor, seperti inhibisi sekresi hormone pertumbuhan (GH) dan
ekspresi insulin-like growth factor-1 (IGF-1), penurunan pembentukan kolagen dan tulang,
pertumbuhan. Penggunaan kortikosteroid inhalasi yang sangat luas, terutama pada anak penderita
asma, membuat efek samping ini semakin dipertimbangkan. Kortikosteroid inhalasi secara perifer
menurunkan ekspresi reseptor GH pada lempeng pertumbuhan dan hepar, serta menurunkan
produksi dan bioaktivitas dari secondary messenger, seperti IGF-1. Tanpa pengaruh dari GH/IGF-
1 yang normal, proliferasi lempeng pertumbuhan dari kondrosit, produksi matriks kartilago, dan
aktivitas osteoblast akan menghilang dan apoptosis kondrosit akan meningkat. (6)
Efek penggunaan glukokortikoid terhadap pertumbuhan linear anak akan terlihat semakin jelas
jika pemberian glukokortikoid oral dilakukan setiap hari, dibandingkan dengan pemberian
berselang hari. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa gangguan pertumbuhan tersebut
Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa waktu dan frekuensi pemberian kortikosteroid
inhalasi berpengaruh besar terhadap efek samping kortikosteroid terhadap pertumbuhan. Pulsasi
GH mencapai amplitude tertinggi segera setalah tidur dan akan menurun di pagi hari. Sedangkan
aktivitas kortisol berada pada titik tertinggi di pagi hari dan terendah di malam hari. Perbedaan
tersebut menunjukkan adanya efek “antagonis” dari masing-masing hormon, sehingga kandungan
glukokortikoid eksogen yang berasal dari pemberian kortikosteroid inhalasi di malam hari akan
memberikan efeksi supresi pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan
kortikoteroid inhalasi dosis pagi. Meskipun demikian, pemberian kortikosteroid inhalasi di pagi
Pemberian kortikosteroid inhalasi bersamaan dengan pengobatan stimulan untuk ADHD akan
juga telah ditemukan pada penggunaan SSRI. Peningkatan kadar dopamine dan noradrenalin
akibat penggunaan stimulan menyebabkan inhibisi sekresi GH, prolactin, tiroid, hormon seks dan
penggunaan dosis minimum efektif, penurunan availibilitas sistemik dari obat melalui pemilihan
alat dan teknik inhalasi yang tepat, penggunaan bersamaan dengan agen anti-inflamasi alternatif
dan pemilihan obat kortikosteroid inhalasi dengan efek samping terendah (7). Monitor
pertumbuhan yang teratur (setiap 4 bulan) dan akurat dapat menedeteksi gangguan pertumbuhan
lebih dini. Jika gangguan pertumbuhan ditemukan, segera pertimbangkan untuk menurunkan dosis
jika status asma pasien terkontrol. Jika gangguan pertumbuhan masih menetap meskipun dengan
menurunkan dosis kortikosteroid inhalasi ke dosis minimum efektif, segera rujuk pasien ke
konsultan tumbuh kembang untuk mengevaluasi penyebab lain dari gangguan pertumbuhan
mellitus onset baru (new-onset diabetes mellitus/NODM) pada pasien yang tidak dikenal memiliki
hiperglikemia sebelum terapi kortikosteroid. Mekanisme penyebab dari kondisi tersebut dicuirgai
akibat dari penurunan sensitivitas insulin akibat dari pemberian glukokortikoid. (?)
Daftar Pustaka
(1) Aljebab F, Choonara I, Conroy S. Systematic Review of the Toxicity of Long-Course Oral
(2) Nicolaides NC, Pavlaki AN, Alexandra MAM, Chrouss GP. Glucocorticoid Therapy and
Adrenal Suppression.
(3) Ucar A, Bas F, Saka N. Diagnosis and management of pediatric adrenal insufficiency. World
(4) Barthel A, Willenberg HS, Gruber M, Bornstein SR. Adrenal Insufficiency. In Endocrinology:
(5) Juszczak A, Morris DG, Grossman AB, Nieman LK. Cushing’s Syndrome. In Endocrinology:
(6) Wolfgram PM, Allen DB. Factors influencing growth effects of inhaled corticosteroids in
(7) Philip J. The effects of inhaled corticosteroids on growth in children. Open Respir Med J. 2014;
8: 6-73.
(8) Allen DB. Inhaled corticosteroids and growth: still and issue after all these years. J Peds.
(+) Lodish M. Cushing’s syndrome in children: updates on genetics, treatment and outcomes. Curr
(+1) Rajput R. Cushing’s syndrome – an update in diagnosis and management. JIACM. 2013;
14(3-4): 235-241.
(+2) Lodish MD, Keil MF. Stratakis CA. Cushing’s syndrome in pediatrics: An update. Endocrinol
(+3)
(?) CLore JN, Thurby-Hay L. Glucocorticoid-Induced Hyperglycemia. Endocr Pract. 2009; 15 (5):
469-474.