Anda di halaman 1dari 15

PENGGUNAAN STEROID JANGKA LAMA PADA SISTEM ENDOKRIN

Kortikosteroid digunakan secara luas sebagai imunosupresan dan anti-inflamasi.

Penggunaannya dapat dilakukan tunggal maupun kombinasi dengan obat lainnya dalam jangka

waktu yang pendek maupun panjang. Meskipun telah digunakan secara luas, penggunaan

kortikosteroid dapat memberikan efek samping yang tidak diinginkan. (1)

Penggunaan steroid dalam dosis tinggi akan menyebabkan supresi aksis hipotalamus-hipofisis-

adrenal (HPA axis) yang menyebabkan kelenjar adrenal tidak dapat menghasilkan kortisol dalam

jumlah cukup jika penggunaannya dihentikan secara tiba-tiba. Selain terjadinya supresi adrenal,

resistensi glukokortikoid juga merupakan kekurangan lainnya dari pengobatan dengan

glukokortikoid (2). Gejala lain yang sering timbul akibat penggunaan steroid jangka panjang yaitu

gejala Cushingoid, perubahan perilaku, peningkatan nafsu makan, peningkatan berat badan,

gangguan pertumbuhan dan masih banyak gejala lainnya (1).

1. Insufisiensi Adrenal Iatrogenik

Insufisiensi adrenal iatrogenik paling sering disebabkan oleh pemberian glukokortikoid dosis

tinggi jangka panjang. Secara fisiologis, hipotalamus mengsekresikan corticotrophin releasing

hormone (CRH) untuk menstimulasi pelepasan adenocorticotrophin hormone (ACTH) dari

kelenjar hipofisis anterior. ACTH kemudian menyebabkan pelepasan kortisol dari zona fasciculata

di kelenjar adrenal, yang kemudian akan memberikan feedback negatif terhadap pelepasan CRH

dan ACTH. Pemberian kortikosteroid eksogen akan menyebabkan supresi aksis HPA melalui

penurunan sintesis dan sekresi CRH, serta penghambatan efek CRH pada kelenjar hipofisis.

Keadaan tersebut menyebabkan supresi sintesis pro-opiomelanocortin (POMC), ACTH dan

peptide turunan POMC lainnya dan jika keadaan terus berlanjut nantinya akan menyebabkan atrofi
sel kortikotropin di hipofisis anterior. Dengan tidak adanya ACTH, korteks adrenal kemudian akan

kehilangan kemampuan untuk memproduksi kortisol. (2)

Supresi aksis HPA biasanya muncul pada pemberian dosis glukokortikoid farmakologis

selama lebih dari 2-3 minggu. Supresi tersebut dapat bersifat subklinis sampai sangat berat hingga

menyebabkan krisis adrenal akut. Meskipun kortikosteroid eksogen merupakan penyebab utama

dari insufisiensi adrenal iatrogenik, terdapat berbagai medikasi lainnya yang bisa menyebabkan

insufisiensi adrenal seperti megestrol asetat, ketokonazol, etomidate dan mitotane. Insufisiensi

adrenal iatrogenik digolongkan ke dalam insufisiensi adrenal sekunder. (3)

Jika pemberian steroid eksogen dihentikan secara tiba-tiba, insufisiensi adrenal biasanya akan

muncul pada 48 jam pertama setelah penghentian. Beratnya gejala bergantung kepada jenis steroid

yang diberikan, waktu pemberian dan durasi pemberian. Regimen dengan efek supresif paling

rendah adalah dosis glukokortikoid yang lebih rendah dibandingkan dnegan dosis penggantinya

yang diberikan sekali sehari di pagi hari selama kurang dari 2 minggu. Sedangkan pemberian

glukokortikoid dosis suprafisiologis (dosis tinggi) dibagi dalam beberapa dosis dan diberikan

sehari penuh dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan munculnya gejala awal dari

sindrom Cushing. Pada kasus tersebut insufisiensi adrenal pasti akan terjadi dengan durasi

mencapai lebih dari 1 tahun. Pemberian kortikosteroid topical jarang namun tetap dapat

menyebabkan supresi adrenal, jika diberikan pada dosis tinggi seperti pada kasus karsinoma

payudara. Insufisiensi adrenal juga dapat terjadi pada pasien asma yang mendapatkan

glukokortikoid inhalasi potensi tinggi dosis tinggi (4).

Gejala insufisiensi adrenal sekunder sama dengan gejala insufisiensi adrenal primer. Gejala

klinis insufisensi adrenal yang telah dijelaskan oleh Addison, antara lain anemia, lemah lesu,
gangguan jantung, gejala gastrointestinal dan perubahan warna kulit. Perbedaan insufisieni adrenal

primer dan sekunder terletak pada defisiensi kortikoid yang terjadi antara kedua kondisi tersebut.

Defisiensi glukokortikoid dan meniralkortikoid terjadi pada insufisensi adrenal primer, sedangkan

pada insufisiensi adrenal sekunder fungsi mineralkortikoid masih dapat dipertahankan. (4)

Tabel 1. Gejala insufisiensi adrenal3

Gejala klinis dari insufisiensi adrenal dapat berupa gejala yang ringan dan tidak spesifik seperti

rasa lelah dan lemah hingga gejala yang berat seperti syok hipovolemik akibat kolapsnya

pembuluh darah sistemik. Pada neonatus dan bayi, gejala yang muncul dapat berupa muntah,

peningkatan berat badan, hipoglikemi, hipotensi akut dan munculnya masa abdomen akibat

perdarah adrenal bilateral. Spektrum gejala dari insufisiensi adrenal dapat diilihat dalam Tabel 1.
Tampilan klinis pasien dengan insufisiensi adrenal sekunder dan tersier lebih ringan dibandingkan

pada pasien dengan insufisiensi adrenal primer dan tanpa adanya gejala salt wasting karena

sebagian besar dari produksi dan sekresi aldesteron diregulasi oleh sistem renin-aldosteron dan

hanya sebagian kecil yang bergantung kepada ACTH (3).

Keluhan pasien biasanya berupa rasa letih, lesu, berkurangnya nafsu makan dan penurunan

berat badan. Keluhan gastrointestinal yang paling sering disampaikan antara lain mual, muntah,

diare, konstipasi dan nyeri abdomen yang biasanya disebabkan oleh menurunnya motiitas usus.

Hipernaterima juga dapat ditemukan pada insufisiensi adrenal iatrogenik dan disebabkan oleh

deifisensi kortisol, peningkatan sekresi vasopressin dan retensi cairan. Hiperpigmentasi tidak

ditemukan pada insufisiensi adrenal sekunder (4).

Tabel 2. Pemeriksaan aksis HPA dinamis3

Hasil pengukuran kadar ACTH tidak sensitif untuk menentukan adanya supresi aksis HPA

pada anak karena nilai ACTH pagi normal pada anak lebih rendah dibangkan dewasa (5-20 pg/mL

vs 20-80 pg/mL). Kadar kortisol serum pagi basal <83-138 nmol/L (3-5 ug/dL) menunjukan
kemungkinan insufisiensi adrenal dan nilai >550 nmol/L (20 ug/dL) menunjukkan fungsi adrenal

yang normal. Jika hasil yang ditemukan tidak sesuai dengan kriteria yang disebutkan, maka

pemeriksaan fungsi HPA dinamis perlu dilakukan. Penghentian terapi glukokortikoid harus

dilakukan setidaknya 24-48 jam sebelum pemeriksaan kortisal, kecuali pada penggunaan

deksametason. Pemeriksaan CRH dapat dilakukan jika penghentian terapi glukokortikoid tidak

dapat dilakukan. Selain itu, pemeriksaan CRH juga dapat digunakan untuk mendeteksi supresi

aksis HPA pada neonatus prematur yang terpapar deksametason in utero (3).

Diagnosis insufisiensi adrenal pada neonatus menggunakan parameter biokimiawi yang

berbeda dengan nilai cut-off yang berbeda. Kadar kortisol basal >414 nmol/L (15 ug/dL), respon

kortisol puncak terhadap uji ACTH dosis rendah >500 nmol/L (18 ug/dL), atau perbedaan kadar

kortisol basal dan puncak sebesar >248 nmol/L (9 ug/dL) atau >12% merupakan parameter yang

digunakan untuk mengeluarkan kemungkinan diagnosis insufisiensi adrenal pada neonates.

Meskipun demikian, korelasi antara parameter diatas dengan diagnosis klinis masih perlu diteliti

lebih dalam. Gangguan hemodinamis, peningkatan kebutuhan perbaikan elektrolit atau hipotensi

yang tidak membaik dengan pemberian vasopressor secara klinis menunjukkan insufisiensi

adrenal pada neonates (3).

Meskipun belum terdapat konsensus mengenai cara penghentian terapi glukokortikoid,

pengobatan tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba. Jika tanda dan gejala insufisiensi adrenal

muncul saat menurunkan dosis glukokortikoid, dosis yang sedang digunakan harus segera

dinaikkan atau dipertahankan dalam waktu yang lebih panjang. Penurunan dosis yang ideal harus

dilakukan 20-15% setiap 2-4 hari hingga dosis fisiologis tercapai (8-10 mg/m2 hidrokortison per

hari). Setelah mencapai dosis fisiologis, kadar ACTH dan kortisol serum pagi harus diukur setiap
bulan hingga hasilnya mencapai nilai normal. Selain itu, pemeriksaan ACTH dosis rendah juga

dilakukan hingga nilai kortisol pasca kortikotropin melebihi 500-550 nmol/L (18-20 ug/dL) (3).

2. Sindrom Cushing Iatrogenik

Sindrom Cushing merupakan sebuah gangguan multisystem yang disebabkan oleh paparan

glukokortikoid berkepanjangan. Penyakit ini dicirikan dengan tampilan klinis seperti obesitas

trunkal, keterlambatan pertumbuhan, striae, hipertensi dan hirsutism. Sindrom Cushing pada anak-

anak paling sering disebabkan oleh pemakaian glukokortikoid eksogen, sedangkan sindrom

Cushing endogen sangat jarang ditemukan. (+)

Tabel. Tanda dan Gejala(+2)

Gejala sindrom Cushing pada anak-anak biasanya muncul secara perlahan. Gejala yang paling

sering ditemukan pada anak-anak adalah peningkatan berat badan. Kejadian peningkatan berat

badan ini terjadi bersamaan dengan terjadinya perlambatan pertumbuhan tinggi badan anak.

Contoh grafik pertumbuhan anak dengan sindrom Cushing dapat dilihat pada Gambar. Tanda dan

gejala sindrom Cushing lainnya yang biasa muncul pada anak-anak dapat dilihat dalam Tabel. (+2)
Gambar.(+2)

Anamnesis dan pemeriksaan klinis, terutama evaluasi grafik pertumbuhan, merupakan langkah

pertama dalam mendiagnosis sindrom Cushing. (+2) Anamnesis mengenai riwayat penggunaan

glukokortikoid merupakan kunci dari diagnosis sindrom Cushing iatrogenik. Penggunaan

glukokortikoid dosis tinggi suprafisiologis menyebabkan tampilan klinis dari sindrom Cushing

iatrogenic cenderung berat. Tampilan klinis berupa hipertensi sering ditemukan, namun

hypokalemia jarang terjadi karena glukokortikoid memiliki aktivitas mineralokortikoid yang lebih

rendah dibandingkan kortisol endogen. Virilisasi dan hirsutisme juga jarang ditemukan pada

kondisi iatrogenic, karena steroid eksogen akan menghentikan produksi androgen adrenal dengan

menghambat sekresi ACTH endogen. Komplikasi oftalmologi seperti glaukomsa dan katarak

subcapsular posterior disertai dengan nekrosis tulang avaskuler dam hipertensi intracranial
benigna lebih sering terjadi pada sindrom Cushing iatrogenic dibandingkan bentuk sindrom

Cushing lainnya. (+2)

Diagnosis sindrom Cushing baru dapat ditegakkan jika gejala klinis dan abnormalitas biokimia

telah ditemukan. (5)

Gejala sindrom Cushing antara lain obesitas, hipertensi dan siklus menstruasi yang tidak

teratur. Meskipun tidak seluruh pasien sindrom Cushing menunjukkan tampilan yang sama,

perubahan seperti obesitas truncal, ekimosis, plethora, striae keunguan, moon face, kelemahan otot

proksimal, osteoporosis dan osteopenia merupakan gejala dan tampilan klinis yang

mengindikasikan sindrom Cushing. (5)

Obesitas yang disebabkan oleh sindrom Cushing akan menunjukkan tanda katabolisme

protein, seperti kelemahan otot proksimal, striae ungu-kemerahan, lebam, atrofi kutikuler dan

osteoporosis. Intoleransi glukosa dan diabetes mellitus juga ditemukan pada sepertiga kasus.
Gluokortikoid meningkatkan luaran glukosa hepar dengan mengaktivasi karboksinase

fosfoenolpiruvat yang merupakan enzim gluconeogenesis utama. Hipertensi ditemukan pada 75%

kasus dan disebabkan oleh peningkatan curah jantung, aktivasi sistem renin-angiotensin dan

penurunan sintesis vasodilator nitrit oksida. Tampilan klinis seperti katarak, peningkatan tekanan

intraokuler, hipertensi intrakranal benigna, nekrosis aseptic dari kaput femur, osteoporosis dan

pankreatitis sering ditemukan pada sindrom Cushing iatrogenic, sedangkan hipertensi, hirsutisme

dan gangguan siklus menstruasi lebih jarang ditemukan. Tampilan klinis sindrom Cushing yang

paling sering ditemukan pada anak antara lain gangguan pertumbuhan, obesitas dan keterlambatan

pubertas. Tampilan yang lebih jarang muncul antara lain kelemahan otot dan perilaku rajin yang

kompulsif (+1).
3. Gangguan Pertumbuhan

Pemberian glukokortikoid jangka panjang pada anak akan mengganggu pertumbuhan

longitudinal. Keadaan tersebut disebabkan oleh efek glukokortikoid yang menghambat

pertumbuhan melalui banyak faktor, seperti inhibisi sekresi hormone pertumbuhan (GH) dan

ekspresi insulin-like growth factor-1 (IGF-1), penurunan pembentukan kolagen dan tulang,

mineralisasi tulang, dan vaskularisasi. (2)


Gambar: Mekanisma supresi pertumbuhan oleh glukokortikoid6

Penggunaan kortikosteroid inhalasi juga diketahui memiliki potensi untuk menekan

pertumbuhan. Penggunaan kortikosteroid inhalasi yang sangat luas, terutama pada anak penderita

asma, membuat efek samping ini semakin dipertimbangkan. Kortikosteroid inhalasi secara perifer

menurunkan ekspresi reseptor GH pada lempeng pertumbuhan dan hepar, serta menurunkan

produksi dan bioaktivitas dari secondary messenger, seperti IGF-1. Tanpa pengaruh dari GH/IGF-

1 yang normal, proliferasi lempeng pertumbuhan dari kondrosit, produksi matriks kartilago, dan

aktivitas osteoblast akan menghilang dan apoptosis kondrosit akan meningkat. (6)

Efek penggunaan glukokortikoid terhadap pertumbuhan linear anak akan terlihat semakin jelas

jika pemberian glukokortikoid oral dilakukan setiap hari, dibandingkan dengan pemberian

berselang hari. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa gangguan pertumbuhan tersebut

persisten meskipun pemberian glukokortikoid telah dihentikan. (2)

Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa waktu dan frekuensi pemberian kortikosteroid

inhalasi berpengaruh besar terhadap efek samping kortikosteroid terhadap pertumbuhan. Pulsasi

GH mencapai amplitude tertinggi segera setalah tidur dan akan menurun di pagi hari. Sedangkan
aktivitas kortisol berada pada titik tertinggi di pagi hari dan terendah di malam hari. Perbedaan

tersebut menunjukkan adanya efek “antagonis” dari masing-masing hormon, sehingga kandungan

glukokortikoid eksogen yang berasal dari pemberian kortikosteroid inhalasi di malam hari akan

memberikan efeksi supresi pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan

kortikoteroid inhalasi dosis pagi. Meskipun demikian, pemberian kortikosteroid inhalasi di pagi

hari akan tetap memberikan efek supresi terhadap pertumbuhan (6).

Pemberian kortikosteroid inhalasi bersamaan dengan pengobatan stimulan untuk ADHD akan

meningkatkan risiko inhibisi pertumbuhan. Penurunan sekresi GH dan perlambatan pertumbuhan

juga telah ditemukan pada penggunaan SSRI. Peningkatan kadar dopamine dan noradrenalin

akibat penggunaan stimulan menyebabkan inhibisi sekresi GH, prolactin, tiroid, hormon seks dan

insulin sehingga menekan pertumbuhan pada anak dan remaja (6).

Gangguan pertumbuhan akibat penggunaan kortikosteroid inhalasi dapat diminimalisir dengan

penggunaan dosis minimum efektif, penurunan availibilitas sistemik dari obat melalui pemilihan

alat dan teknik inhalasi yang tepat, penggunaan bersamaan dengan agen anti-inflamasi alternatif

dan pemilihan obat kortikosteroid inhalasi dengan efek samping terendah (7). Monitor

pertumbuhan yang teratur (setiap 4 bulan) dan akurat dapat menedeteksi gangguan pertumbuhan

lebih dini. Jika gangguan pertumbuhan ditemukan, segera pertimbangkan untuk menurunkan dosis

jika status asma pasien terkontrol. Jika gangguan pertumbuhan masih menetap meskipun dengan

menurunkan dosis kortikosteroid inhalasi ke dosis minimum efektif, segera rujuk pasien ke

konsultan tumbuh kembang untuk mengevaluasi penyebab lain dari gangguan pertumbuhan

tersebut, misalnya supresi aksis adrenal (8).

4. Hiperglikemia Akibat Glukokortikoid


Pada pasien yang telah dikenal dengan diabetes mellitus menunjukkan eksaserbasi

hiperglikemia ketika mendapatkan pengobatan glukokortikoid. Namun, telah ditemukan diabetes

mellitus onset baru (new-onset diabetes mellitus/NODM) pada pasien yang tidak dikenal memiliki

hiperglikemia sebelum terapi kortikosteroid. Mekanisme penyebab dari kondisi tersebut dicuirgai

akibat dari penurunan sensitivitas insulin akibat dari pemberian glukokortikoid. (?)

Daftar Pustaka

(1) Aljebab F, Choonara I, Conroy S. Systematic Review of the Toxicity of Long-Course Oral

Corticosteroids In Children. PLoS ONE. 2017; 12(7): 1-18.

(2) Nicolaides NC, Pavlaki AN, Alexandra MAM, Chrouss GP. Glucocorticoid Therapy and

Adrenal Suppression.

(3) Ucar A, Bas F, Saka N. Diagnosis and management of pediatric adrenal insufficiency. World

J Pediatr. 2016; 12(3): 261-274.

(4) Barthel A, Willenberg HS, Gruber M, Bornstein SR. Adrenal Insufficiency. In Endocrinology:

Adult & Pediatric. Philadelphia: Elsevier. 2016: 1763-1774.e4.

(5) Juszczak A, Morris DG, Grossman AB, Nieman LK. Cushing’s Syndrome. In Endocrinology:

Adult & Pediatric. Philadelphia: Elsevier. 2016: 227-255.e10.

(6) Wolfgram PM, Allen DB. Factors influencing growth effects of inhaled corticosteroids in

children. J Allergy Clin Immunol. 2015; 136(6): 1711-1712.e2.

(7) Philip J. The effects of inhaled corticosteroids on growth in children. Open Respir Med J. 2014;

8: 6-73.
(8) Allen DB. Inhaled corticosteroids and growth: still and issue after all these years. J Peds.

2015; 166(2): 463-469.

(+) Lodish M. Cushing’s syndrome in children: updates on genetics, treatment and outcomes. Curr

Opin Endocrinol Diabetes Obes. 2015; 22(1): 48-54.

(+1) Rajput R. Cushing’s syndrome – an update in diagnosis and management. JIACM. 2013;

14(3-4): 235-241.

(+2) Lodish MD, Keil MF. Stratakis CA. Cushing’s syndrome in pediatrics: An update. Endocrinol

Metab Clin N Am. 2018; 47: 451-462.

(+3)

(?) CLore JN, Thurby-Hay L. Glucocorticoid-Induced Hyperglycemia. Endocr Pract. 2009; 15 (5):

469-474.

Anda mungkin juga menyukai