Anda di halaman 1dari 28

Clinical Science Session

HIPERTIROID

Oleh

Adiatma Arli 2040312011


Kirana 1940312136

Preseptor :
dr. Arnelis, Sp.PD-KGEH

BAGIAN IMU PENYAKIT DALAM RSUP DR M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas nikmat Allah SWT karena berkat rahmat
dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penulisan tinjauan
kepustakaan dengan judul “Hipertiroid”.
Penulisan tinjauan kepustakaan ini merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND
RSUP DR M. Djamil Padang. Penulis menyadari bahwa penulisan tinjauan
kepustakaan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan tinjauan
kepustakaan ini.
Akhirnya izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh
staf pengajar di bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND RSUP DR M. Djamil
Padang, khususnya Ibu dr.Arnelis, Sp.PD-KGEH yang telah memberikan
bimbingan dalam menyelesaikan tinjauan kepustakaan ini. Semoga amalan dan
kebaikan beliau dapat balasan dari Allah SWT.

Padang, November 2020

Penulis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas ii


DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Sampul Dalam i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Daftar Tabel iv
Daftar Gambar v
Daftar Singkatan vi
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 2
1.3 Batasan Masalah 2
1.4 Metode Penulisan 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid 3
2.2 Fisiologi 4
2.2.1 Fisiologi Pembentukan Hormon Tiroid 5
2.3 Pengaturan Sekresi Hormon Tiroid 6
2.4 Efek Hormon Tiroid Pada Tubuh 8
2.5 Definisi Hipertiroid 9
2.6 Epidemiologi 9
2.7 Etiologi 10
2.8 Patofisiologi 11
2.9 Manifestasi Klinis 12
2.10 Diagnosis 14
2.11 Tatalaksana 17
2.12 Komplikasi 19
2.13 Prognosis 19
BAB 3 PENUTUP 21
DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas iii


DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Indeks Wayne 15

Tabel 2.2 New Castle Index 16

Tabel 2.3 Pilihan Obat Beta-Blocker untuk Pasien Hipertiroid 19

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas iv


DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid 3

Gambar 2.2 Sintesis Hormon Tiroid 5

Gambar 2.3 Mekanisme Regulasi Hormon Tiroid 7

Gambar 2.4 Efek Hormone Tiroid pada Jaringan Tubuh 8

Gambar 2.5 Etiologi dan Patogenesis dari Hipertiorid 10

Gambar 2.6 Patofisiologi Hipertiroid 12

Gambar 2.7 Tanda dan Gejala Hipertiroid 13

Gambar 2.8 Alur Diagnosis Pasien Hipertiroid 15

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas v


DAFTAR SINGKATAN

DIT : Diiodotirosin

GD : Grave Disease

MIT : Monoiodotirosin

NHANES : National Health and Nutrition Examination Survey

TSH : Thyroid Stimulating Hormone

TSI : Thyroid Stimulatig Immunoglobulin

T3 : Triiodotironin

T4 : Tiroksin

TBG : Thyroid Binding Globulin

TBPA : Thyroxine Binding Prealbumine

TRH : Tirotropin Releasing Hormone

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas vi


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertiroidisme merupakan salah satu penyakit gangguan kelenjar endokrin yang


disebabkan karena peningkatan produksi hormone tiroid secara berlebihan oleh kelenjar
tiroid. Kelebihan hormone tiroid menyebabkan proses metabolik dalam tubuh berlangsung
lebih cepat. Kelenjar tiroid menghasilkan hormone tiroid yaitu tiroksin (T4) dan
triiodotironin (T3). Pembentukan hormone tiroid dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik
yang melibatkan hormone Thyroid Stimulating Hormon (TSH). Bila produksi hormone tiroid
meningkat maka produksi TSH menurun dan sebaliknya jika produksi hormone tiroid tidak
mencukupi kebutuhan maka produksi TSH meningkat.1,2
Hormon tiroid mempunyai peran yang sangat penting dalam berbagai proses metabolisme
(metabolisme protein, karbohidrat, lemak) dan aktivitas fisiologik pada hampir semua sistem
organ tubuh manusia, kekurangan maupun kelebihan hormone tiroid akan mengganggu
berbagai proses metabolisme dan aktivitas fisiologi serta mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan berbagai jaringan termasuk sistem saraf dan otak. 1,2
Prevalensi insiden hipertiroidisme di Indonesia menurut riskesdas 2007 12,8% laki-laki
dan 14,7% perempuan memiliki kadar TSH rendah yang menunjukkan kecurigaan adanya
hipertiroid. Penyakit ini ditemukan pada 2% wanita dan 0,2% pria diseluruh populasi. Hasil
rikesdas tahun 2013 terdapat 0,4% penduduk Indonesia yang berusia 5 tahun atau lebih yang
terdiagnosis hipertiroidisme, sekitar 700.000 orang dimana Sumatra Barat memiliki
prevalensi 0,3% dengan jumlah 10.283 penduduk terdiagnosis hipetiroidisme.1,2
Berbagai manifestasi klinik yang muncul akibat penyakit ini dapat mengganggu aktivitas
pasien sehari-hari. Manifestasi klinik yang dirasakan pasien berupa gangguan organ susunan
saraf seperti rasa cemas berlebihan dan emosi yang mudah berubah, gangguan organ mata
seperti pandangan ganda, melotot. Gangguan saluran pencernaan berupa diare, berat badan
menurun, sering haus, hingga gangguan kardiovaskular berupa takikardi dan rasa berdebar-
1,2
debar. Penegakan diagnosis gangguan titoid selain berdasarkan tanda dan gejala, juga
memerlukan pemeriksaan laboratorium yaitu kadar TSH, hormon triiodotironin (T3) dan
tiroksin (T4). Pada kasus hipertiroidisme di dapatkan hasil T3 dan T4 meningkat dan TSH
menurun.2

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


Pada pasien hipertiroidisme, terapi yang diberikan dapat berupa terapi konservatif
dengan pemberian obat anti tiroid maupun terapi pengurangan atau ablasi kelenjar tiroid
dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi (pengangkatan kelenjar tiroid) yang disesuaikan
dengan etiologi penyakit dan pilihan pasien. Dari ketiga pilihan terapi tersebut, terapi obat
anti tiroid merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan. Oabt anti tiroid yang
digunakan secara luas sebagai lini pertama adalah golongan thionamide, yang terdiri dari
propylthiouracil dan methimazole.1
Obat anti tiroid umumnya digunakan selama lebih dari enam bulan hingga pasien
mencapai remisi dan pengobatan dapat dihentikan. Selama menggunakan oba anti tiroid
pasien dapat mengalami efek samping berupa munculnya ruam kulit, gangguan hepar dan
agronulositosis.1 Berdasarkan hal tersebut, diketahui pentingnya diagnosis dan pengobatan
hipertiroidisme, maka penulis menyusun makalah mengenai hipertiroidisme ini.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan clinical science session ini adalah untuk menambah pengetahuan
tentang etiologi, epidemiologi, pathogenesis, gejala klinik, diagnosis, diagnosis banding,
tatalaksana, dan prognosis dari hipertiroid.

1.3 Batasan Masalah


Batasan masalah CSS ini yaitu definisi, etiologi, epidemiologi, pathogenesis, gejala
klinik, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, dan prognosis dari hipertiroid.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan CSS ini menggunakan metode penulisan tinjauan kepustakaan merujuk pada
berbagai literatur.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar,
dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai
tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada permukaan
belakang.3
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin
trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga
pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat
ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan
dengan kelenjar tyroid atau tidak.3

Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid terdiri dari folikel-folikel tertutup yang berisi koloid. Koloid ini
memiliki diameter antar 100-300 mikrometer yang dipenuhi oleh bahan sektretorik dan
dibatasi oleh epitel kuboid berguna untuk mengeluarkan hormonnya ke bagian folikel
tersebut. Unsur utama dari koloid adalah glikoprotein tiroglobulin besar, yang mengandung
hormon tiroid di dalam molekul-molekulnya. Begitu hormon yang disekresikan sudah masuk
ke dalam folikel, hormon tersebut harus diabsorbsi kembali melalui epitel folikel ke dalam
darah sebelum dapat berfungsi dalam tubuh.4

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a. Karotis
Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel lymfoid diselubungi
oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus
perifolikular.1 Terdapat dua macam saraf yang mensarafi laring dengan pita suara (plica
vocalis) yaitu nervus rekurens dan cabang dari nervus laringeus superior.3
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis yang
kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan nl.
Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke
duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan.5

2.2 Fisiologi
Sel folikel menghasilkan dua hormone yang mengandung iodium yang berasal dari
asam amino tirosin, yaitu tetraiodotironin (T4 atau tiroksin) dan triiodotironin (T3). Kedua
hormone, yang secara kolektif disebut hormone tiroid, adalah regulator penting laju
metabolic basal (BMR) keseluruhan.6
Iodium nonorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon
tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga mempunyai afinitas yang
sangat tinggi di dalam jaringan tiroid. T3 dan T4 yang dihasilkan ini kemudian akan disimpan
dalam bentuk koloid di dalam tiroid. Sebagian besar T4 kemudian akan dilepaskan ke
sirkulasi sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami daur ulang. Di
sirkulasi, hormon tiroid akan terikat oleh protein yaitu globulin pengikat tiroid Thyroid
Binding Globulin (TBG) atau prealbumin pengikat albumin Thyroxine Binding Prealbumine
(TBPA). Hormon stimulator tiroid Thyroid Stimulating Hormone (TSH) memegang peranan
terpenting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus anterior
kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal sebagai umpan balik negatif sangat penting dalam
proses pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat adanya sel
parafolikular yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur metabolisme
kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang.3
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid yaitu
Thyroid Stimulating Hormone (TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis. Kelenjar
ini secara langsung dipengaruhi dan diatur aktifitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam
sirkulasi yang bertindak sebagai umpan balik negatif terhadap lobus anterior hipofisis dan
terhadap sekresi hor mon pelepas tirotropin yaitu Thyrotropin Releasing Hormone (TRH)
dari hipotalamus.5

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


2.2.1 Fisiologi Pembentukan Hormon Tiroid
Bahan dasar untuk sintesis hormone tiroid adalah tirosin dan iodium. Tirosin, suatu
asam amino, dibentuk dalam jumlah memadai oleh tubuh sehingga bukan zat essensial dalam
makanan. Sebaliknya, iodium yang dibutuhkan untuk sintesis hormone tiroid harus diperoleh
dari makanan. Pembentukan, penyempitan, dan sekresi hormone tiroid melibatkan langkah-
langkah tersebut.4

Gambar 2.2 Sintesis Hormone Tiroid


Semua tahap pembentukan hormone tiroid berlangsung di molekul tiroglobulin di
dalam koloid. Tiroglobulin diproduksi oleh kompleks golgi / reticulum endoplasma sel
folikel tiroid. Asam amino tirosin masuk ke dalam molekul tiroglobulin. Setelah terbentuk,
tiroglobulin yang sudah mengandung tirosin di ekspor dari sel folikel ke dalam koloid
melalui proses eksositosis.

Tiroid menangkap iodium dari darah dan memindahkannya ke dalam koloid melalui
pompa iodium. Hampir semua iodium di tubuh dipindahkan melawan gradien konsentrasi
untuk disimpan di tiroid untuk membentuk hormone tiroid. Iodium tidak memiliki fungsi lain
di tubuh.5

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


Di dalam koloid, iodium cepat dilekatkan ke tirosin di dalam molekul tiroglobulin.
Perlekatan satu iodium ke tirosin menghasilkan monoiodotirosin (MIT). Perlekatan dua
iodium ke tirosin menghasilkan diiodotirosin (DIT).

Kemudian, terjadi proses penggabungan antara molekul-molekul tirosin yang telah


beriodium untuk membentuk hormone tiroid. Penggabungan MIT dengan satu DIT akan
menghasilkan triiodotironin (T3). Penggabungan dua DIT menghasilkan tetraiodotironin (T4
atau tiroksin). Antara dua molekul MIT tidak terjadi penggabungan. 6

Semua produk ini tetap melekat ke tiroglobulin. Hormone tiroid tetap tersimpan dalam
bentuk ini di koloid sampai terurai dan disekresikan. Jumlah hormone tiroid yang tersimpan
umumnya dapat memenuhi kebutuhan tubuh untuk beberapa bulan.3

Pada perangsangan yang sesuai, sel folikel tiroid menelan sebagian dari koloid yang
mengandung tiroglobulin melalui proses fagositosis. Lisosom menyerang vesikel yang
ditelah tersebut dan memisahkan produk-produk beriodium tiroglobulin. Hormone tiroid
karena sangat lipofilik, mudah melewati membrane luar sel folikel dan masuk ke dalam
sirkulasi. MIT dan DIT mengalami deiodinasi, dan iodium yang bebas didaur ulang untuk
membentuk hormone baru. Setelah hormone tiroid dikeluarkan ke dalam sirkulasi, molekul-
molekul hormone tiroid yang sangat lipofilik berikatan dengan protein plasma. Sebagian
besar T3 dan T4 diangkut oleh thyroxine-binding globulin, yang secara selektif berikatan
hanya dengan hormone tiroid. Kurang dari 0.1% T4 dan kurang dari 1% T3 tetap berada
dalam bentuk bebas (tak terikat). Hanya bentuk bebas dari keseluruhan hormone tiroid yang
memiliki akses ke reseptor sel sasaran dan menimbulkan efek.6

2.3 Pengaturan Sekresi Hormon Tiroid


Untuk menjaga agar tingkat aktivitas metabolisme dalam tubuh tetap normal, maka
hormon tiroid harus disekresikan dengan tepat pada setiap saat. Agar hal ini dapat tercapai
ada mekanisme umpan balik spesifik yang bekerja melalui hipotalamus dan kelenjar hipofisis
anterior untuk mengatur kecepatan sekresi tiroid. Mekanismenya sebagai berikut:

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


Gambar 2.3 Mekanisme Regulasi Hormon Tiroid
TSH atau dikenal sebagai tirotropin yang merupakan hormon kelenjar hipofisis
anterior adalah suatu glikoprotein yang berguna untuk meningkatkan sekresi tiroksin dan
triiodotironin oleh kelenjar tiroid. Efeknya pada kelenjar tiroid antara lain: meningkatkan
proteolisis tiroglobulin, meningkatkan aktivitas pompa iodium, meningkatkan iodinasi
tirosin, meningkatkan ukuran dan aktivitas sekretorik sel-sel tiroid serta meningkatkan
jumlah sel-sel tiroid.4
Sekresi TSH oleh hipofisis antreior diatur oleh satu hormon hipotalamus yakni
Hormon Pelepas Tirotropin (TRH). TRH secara langsung mempengaruhi sel-sel kelenjar
hipofisi anterior untuk meningkatkan pengeluaran TSH. Bila darah sistem porta yang dimulai
dari hipotalamus ke kelenjar hipofisis anterior seluruhnya dihambat, maka kecepatan sekresi
TSH oleh kelenjar hipofisis anterior akan sangat menurun namun tidak sampai nol.4
Meningkatnya hormon tiroid di dalam cairan tubuh akan menurunkan sekresi TSH
oleh hipofisis anterior. Mekanisme umpan balik ini dipakai untuk menjaga agar konsentrasi
hormon tiroid bebas dalam sirkulasi darah tetap berada pada konsentrasi yang hampir
normal.4
Satu-satunya faktor yang diketahui yang meningkatkan sekresi TRH (dan, karenanya,
TSH dan sekresi hormon tiroid) adalah paparan dingin pada bayi baru lahir, mekanisme yang
sangat adaptif. Peningkatan dramatis dalam sekresi hormon tiroid yang menghasilkan panas

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


membantu menjaga suhu tubuh selama penurunan tiba-tiba suhu di sekitarnya saat bayi
melewati tubuh hangat ibu ke udara lingkungan yang lebih dingin. Respon TSH akut yang
sama terhadap paparan dingin tidak terjadi pada orang dewasa.
Berbagai jenis stres, termasuk stres fisik, kelaparan, dan infeksi, menghambat TSH
dan sekresi hormon tiroid, mungkin melalui pengaruh saraf pada hipotalamus3,6

2.4 Efek Hormon Tiroid pada Tubuh


Hormon tiroid meningkatkan transkripsi sejumlah besar gen, efek yang umum dari
hormon ini adalah untuk mengaktifkan transkripsi inti sejumlah besar gen. Oleh karena itu
sesungguhnya di semua sel tubuh, sejumlah besar enzim protein, protein struktural, protein
transpor, dan zat lainnya akan disintesis. Hasil akhirnya adalah peningkatan menyeluruh
aktivitas fungsional diseluruh tubuh.3
Hormon tiroid meingkatkan aktivitas metabolik selular hampir diseluruh jaringan
tubuh. Kecepatan metabolisme basal meningkat sampai setinggi 60 sampai 100 persen diatas
nilai normal. Kecepatan penggunaan makanan sebagai energi juga sangat meningkat. Pada
orang muda kecepatan pertumbuhan sangat dipercepat. Proses mental menjadi tereksitasi dan
aktivitas kelenjar endokrin lainnya ikut meningkat.3 Efek pada mekanisme tubuh yang
spesifik, antara lain sebagai berikut:

Gambar 2.4 Efek Hormone Tiroid pada Jaringan Tubuh

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


2.5 Definisi Hipertiroid
Hipertiroidisme ditandai dengan tingginya kadar serum tiroksin (T4), tingkat serum
triiodothyronine (T3) yang tinggi, atau keduanya, dan rendahnya tingkat hormon perangsang
tiroid (TSH, juga dikenal sebagai tirotropin). Hipertiroidisme subklinis ditandai oleh
penurunan kadar TSH (kurang dari 0,1 mU / L) tetapi dengan tingkat T4 dan T3 dalam
kisaran normal (total T4: 60-140 nmol / L; total T3: 1,0-2,5 nmol / L, tergantung pada jenis
pengujian). Istilah hipertiroidisme dan tirotoksikosis sering digunakan secara sinonim;
Namun, mereka merujuk pada kondisi yang sedikit berbeda. Hipertiroidisme mengacu pada
aktivitas kelenjar tiroid yang berlebihan yang menyebabkan produksi berlebihan hormon
tiroid. Tirotoksikosis merujuk pada efek klinis hormon tiroid yang tidak terikat, apakah
kelenjar tiroid merupakan sumber utama atau tidak. Hipertiroidisme dapat disebabkan oleh
penyakit Graves (kelenjar tiroid yang membesar secara difus pada palpasi, ophthalmopathy,
dan dermopathy), goitre multinodular toksik (tirotoksikosis dan peningkatan serapan
radioiodine dengan goitre multinodular pada palpasi), atau adenoma beracun (neoplasma
tiroid hyperfunctioning jinak yang muncul sebagai soliter nodul tiroid).4
Perlu dibedakan antara pengertian tirotoksikosis dengan hipertiroidisme. Tirotoksikosis
adalah manifestasi klinis kelebihan hormone tiroid yang beredar dalam sirkulasi.
Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang disebabkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif.
Namun manifestasinya sama, hal ini disebabkan oleh ikatan T3 dengan reseptor T3-inti
semakin penuh.8
Selain itu, penting juga untuk mengetahui definisi krisis hipertiroid. Krisis hipertiroid
adalah tirotoksikosis yang amat membahayakan. Pada keadaan ini dijumpai dekompensasi
satu atau lebih system organ.9

2.6 Epidemiologi
Berdasarkan Riset kesehatan RI (Riskesdas,2013) prevalensi penyakit hipertiroid di
Indonesia sebanyak 0,6% pada wanita dan 0,2% pada pria dengan rincian pada usia 15-24
tahun 0,4%, usia 25-34 tahun 0,3%, dan sama/diatas 35 tahun 0,5%.10

Penyakit Graves (GD) menetap sebagai etiologi hipertiroidisme yang paling sering
ditemui yang menyebabkan sekitar 60-80% dari semua kasus tirotoksikosis di seluruh dunia.
Hal ini juga lebih sering ditemukan pada wanita dengan rasio perempuan-laki-laki 8: 1 dan
tampaknya bermanifestasi pada dekade ketiga dan keempat kehidupan.11

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


2.7 Etiologi
Hipertiroidisme ditandai oleh tingginya kadar serum tiroksin dan triiodothyronine, dan
rendahnya kadar TSH. Tirotoksikosis adalah efek klinis kadar hormon tiroid yang tinggi,
apakah kelenjar tiroid merupakan sumber utama atau tidak. Penyebab utama hipertiroidisme
adalah penyakit Graves, goitre multinodular beracun, dan adenoma beracun. Sekitar 20 kali
lebih banyak wanita daripada pria memiliki hipertiroidisme.6
Penyebab endogen yang umum dari hipertiroidisme adalah penyakit Graves, goiter
multinodular beracun, adenoma beracun, dan tiroiditis yang tidak nyeri. Penyakit Graves,
penyebab paling umum hipertiroidisme di Amerika Serikat, adalah gangguan autoimun di
mana antibodi menstimulasi tiroid mengaktivasi reseptor thyroid stimulating hormone (TSH),
yang memicu sintesis hormon tiroid. Faktor risiko untuk penyakit Graves termasuk jenis
kelamin perempuan dan riwayat pribadi atau keluarga dari gangguan autoimun.12

Gambar 2.5 Etiologi dan Patogenesis Hipertiroid

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


2.8 Patofisiologi
Penyebab hipertiroidisme biasanya adalah penyakit graves, goiter toksika. Pada
kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai tiga kali dari
ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-lipatan sel-sel folikel ke
dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat beberapa kali dibandingkan
dengan pembesaran kelenjar. Juga, setiap sel meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa
kali lipat dengan kecepatan 5-15 kali lebih besar daripada normal.4

Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu yang
“menyerupai” TSH, Biasanya bahan – bahan ini adalah antibodi immunoglobulin yang
disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), yang berikatan dengan reseptor membran
yang sama dengan reseptor yang mengikat TSH. Bahan – bahan tersebut merangsang aktivasi
cAMP dalam sel, dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme. Karena itu pada pasien
hipertiroidisme kosentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat. Bahan ini
mempunyai efek perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam,
berbeda dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam. Tingginya sekresi hormon tiroid
yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan pembentukan TSH oleh kelenjar
hipofisis anterior.4

Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa” mensekresikan hormon hingga diluar


batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretori kelenjar tiroid membesar.
Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin termasuk akibat dari sifat
hormon tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas
normal. Bahkan akibat proses metabolisme yang menyimpang ini, terkadang penderita
hipertiroidisme mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan sinaps saraf yang
mengandung tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya
tremor otot yang halus dengan frekuensi 10-15 kali perdetik, sehingga penderita mengalami
gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang takikardi atau diatas normal juga merupakan salah
satu efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler. Eksopthalmus yang terjadi merupakan
reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-
otot ekstraokuler, akibatnya bola mata terdesak keluar.4

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


Gambar 2.6 Patofisiologi Hipertiroid

2.9 Manifestasi klinis


Tanda-tanda dan gejala hipertiroidisme beragam dan sebagian besar ditentukan oleh
usia subjek dan adanya gangguan organ sebelumnya. Pasien muda biasanya mengeluhkan
gejala saraf simpatik yang berlebihan, seperti kecemasan, hiperaktif, dan tremor, sedangkan
lansia umumnya mengeluhkan gejala kardiovaskular (kardiomiopati, aritmia) dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan.12

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


Gambar 2.7 Tanda dan Gejala Hipertiroid

Tanda-tanda yang bersifat patognomonik untuk penyakit Graves termasuk


orbitopathy, myxedema pretibial (tiroid tiroid), dan acropachy thyroid, yang terjadi pada
25%, 1,5%, dan 0,3% pasien, masing-masing. Goiters yang berkembang pada penyakit
Graves biasanya halus dan mungkin memiliki sensasi pada palpasi atau bruit pada auskultasi.
Nodul tunggal atau multipel pada palpasi meningkatkan kecurigaan untuk adenoma beracun
atau gondok multinodular beracun, meskipun nodul tiroid yang tidak berfungsi dapat hidup
berdampingan dengan gondok pada penyakit Graves.12
Graves orbitopathy bermanifestasi sebagai exophthalmos atau edema periorbital, dan
dapat memicu fotofobia, lakrimasi yang berlebihan, peningkatan sensitivitas mata terhadap
angin atau asap, atau sensasi benda asing di mata. Dalam kasus yang parah, penglihatan
kabur, diplopia, atau persepsi warna yang berkurang dapat berkembang. 16 Merokok
meningkatkan risiko mengembangkan orbitopathy Graves.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


Myxedema pretibial, temuan yang kurang umum, berkembang dari aktivasi fibroblast
dan bermanifestasi sebagai pembengkakan atas tibia dengan kulit dengan asumsi peau
d'orange (kulit jeruk) appearance.18 acropachy tiroid, tanda yang tidak umum, adalah
clubbing jari tangan dan kaki dengan pembengkakan jaringan lunak pada tangan dan kaki.
Manifestasi kulit lain dari penyakit Graves termasuk hiperpigmentasi tambal sulam dan
vitiligo.12

2.10 Diagnosis
Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan oleh peningkatan serum total atau kadar hormon
T4 atau T3 bebas, penurunan kadar TSH, dan serapan radioiodin yang tinggi di kelenjar tiroid
bersama dengan fitur tirotoksikosis. Gejala yang umum adalah iritabilitas, intoleransi panas
dan keringat berlebih, palpitasi, penurunan berat badan dengan peningkatan nafsu makan,
peningkatan frekuensi usus, dan oligomenorrhoea. Orang dengan hipertiroidisme juga sering
memiliki takikardia, tremor halus, kulit hangat dan lembab, kelemahan otot, dan kelopak
mata atau kelambanan kelopak mata.11
Kecurigaan klinis hipertiroidisme harus segera dilakukan pengujian laboratorium.
Beberapa dokter terlebih dahulu memilih tes TSH, yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas
tertinggi untuk hipertiroidisme, dan kemudian memperoleh kadar tiroksin bebas (T4) dan
total triiodothyronine (T3) (tes T3 bebas tidak divalidasi dengan baik) jika tingkat TSH
rendah. Banyak laboratorium melakukan pengujian T4 bebas, jika TSH ditekan. Tingkat
serum imunoglobulin menstimulasi tiroid atau antibodi reseptor TSH membantu
membedakan penyakit Graves dari penyebab lain hipertiroidisme pada pasien yang tidak
memiliki tanda patognomonik penyakit Graves dan memiliki kontraindikasi terhadap
pengambilan dan pemindaian iodin radioaktif.3

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


Gambar 2.8 Alur Diagnosis Pasien Hipertiroid
Bila tak dapat menentukan TSHs, dapat dengan indeks wayne/new castle

Tabel 2.1 Indeks Wayne

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


Interpretasi Indeks Wayne :

 < 11= eutiroid


 11-18 = normal
 >19 = hipertiroid
Tabel 2.2 New Castle Index

Item Grade Score


Age of onset (year) 15-24 0
25-34 +4
35-44 +8
45-54 +12
>55 +16
Psychological precipitant Present -5
Absent 0
Frequent cheking Present -3
Absent 0
Severe anticipatory anxiety Present -3
absent 0
Increased appetite Present +5
absent 0
Goiter Present +3
Absent 0
Thyroid bruit Present +18
Absent 0
Exophthalmos Present +9
Absent 0
Lid retraction Present +2
Absent 0
Hyperkinesis Present +4
Absent 0
Fine finger tremor Present +7
Absent 0
Pulse rate > 90/min +16
80-90 > min +8
< 80/min 0

Interpretasi Indeks Newcastle :

 (-11) – (+23) = eutiroid


 (24) – (39) = Probable hipertiroid
 (40)- (80) = Definitif hipertiroid

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


2.11 Tatalaksana
Manajemen hipertiroidisme melibatkan 3 aspek yang saling terkait:4,5
1. Penghambatan sintesis hormon tiroid dan sekresi (Anti-Thyroid Drug (ATD))
2. Penghancuran atau pengurangan massa jaringan tiroid (terapi yodium
radioaktif atau operasi)
3. Meminimalkan efek hormon tiroid pada jaringan perifer (terapi beta-blocker)
Blokade beta-adrenergik direkomendasikan pada semua pasien dengan
tirotoksikosis simtomatik, terutama pasien usia lanjut dan pasien tirotoksik
dengan denyut jantung istirahat lebih dari 90 denyut per menit atau disertai
penyakit kardiovaskular.
Pengambilan keputusan yang bijaksana dalam memilih terapi yang paling sesuai
tergantung pada beberapa faktor, seperti tingkat keparahan hipertiroidisme, usia, ukuran
struma dan adanya komorbiditas.
Manajemen spesifik untuk Penyakit Graves Disease (GD) Ada 3 modalitas pengobatan
yang dapat digunakan: obat antitiroid (ATD), terapi yodium radioaktif dan tiroidektomi.
1. Obat anti tiroid / Anti-Thyroid Drug ATD
Ada 2 kelas ATD yang tersedia: thiouracil (propylthiouracil (PTU)) dan
imidazole (methimazole (MMI), carbimazole dan thiamazole). Dosis awal PTU
tinggi, dimulai dengan 100-200 mg tiga kali sehari, tergantung pada tingkat
keparahan hipertiroidisme. Ketika temuan klinis dan tes fungsi tiroid kembali
normal, pengurangan ke dosis PTU perawatan 50 mg dua atau tiga kali sehari,
bahkan sekali sehari biasanya dimungkinkan sebagai dosis pemeliharaan.
Seperti PTU, pada awal terapi MMI, dosis yang lebih tinggi disarankan (10-20
mg setiap hari) untuk mengembalikan euthyroidism, setelah itu dosis dapat dititrasi
ke tingkat pemeliharaan (umumnya 5-10 mg setiap hari). MMI memiliki manfaat
administrasi satu hari dan mengurangi risiko efek samping utama dibandingkan
dengan PTU.
Penilaian serum T4 bebas harus diperoleh sekitar 4 minggu setelah memulai
terapi, sampai tingkat euthyroid dicapai dengan dosis minimal obat. Setelah pasien
mengalami eutiroid, pengujian biokimia dan evaluasi klinis dapat dilakukan dengan
interval 2–3 bulan
2. Terapi Yodium Radioaktif
Pasien dengan GD yang berisiko tinggi mengalami komplikasi karena
perburukan hipertiroidisme (yaitu, mereka yang sangat simtomatik atau memiliki

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


perkiraan T4 bebas 2-3 kali dari batas atas normal) harus diobati dengan blokade
beta-adrenergik dan / atau ATD sebelum terapi yodium radioaktif.
Jika diberikan sebagai pretreatment, MMI harus dihentikan 3-5 hari sebelum
pemberian yodium radioaktif, dimulai kembali 3-7 hari kemudian, dapat di tapering
off selama 4-6 minggu saat fungsi tiroid normal.
Tindak lanjut dalam 1-3 bulan pertama setelah terapi yodium radioaktif untuk
GD harus mencakup penilaian T4 bebas dan total T3. Jika setelah 3 bulan follow-up,
pasien tetap tirotoksik, dosis kedua terapi iodin radioaktif harus dipertimbangkan.
Hipotiroidisme transien mengikuti terapi yodium radioaktif jarang dapat terjadi
selama 6 bulan setelah terapi yodium, dengan pemulihan fungsi tiroid yang lengkap
berikutnya. Oleh karena itu, hipotiroidisme yang terjadi selama 6 bulan pertama
tidak memerlukan terapi pengganti hormon tiroid.
3. Terapi pembedahan
Kapanpun memungkinkan, pasien dengan GD menjalani tiroidektomi harus
dalam keadaan euthyroid. Dalam keadaan, tertentu, ketika tidak mungkin untuk
membuat pasien dengan GD euthyroid sebelum tiroidektomi, kebutuhan untuk
tiroidektomi sangat mendesak, atau ketika pasien alergi terhadap obat antitiroid,
pasien harus diberikan terapi secara adekuat dengan beta-blokade dan kalium iodida.
Pada periode pra operasi.
Komplikasi bedah setelah tiroidektomi pada pasien GD relatif langka, yaitu,
hipoparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara. Peningkatan hasil pasien, khususnya
tingkat komplikasi, telah terbukti secara independen terkait dengan volume bedah
tiroidektomi yang tinggi.
4. Beta blocker
 Mekanisme kerjanya adalah dengan menginhibisi efek adrenergic.
 Indikasi penggunaan ialah untuk mengontrol symptoms, merupakan terapi
pilihan pada tiroiditis, merupakan 1st line terapi sebelum tindakan
pembedahan, iodine radioaktif, dan obat anti tiroid, serta dapat digunakan
sebagai terapi jangka pendek dalam kehamilan.
 Kontraindikasi dan komplikasi: amati penggunaan pada pasien lansia dan
pasien dengan riwayat penyakit jantung, PPOK, atau asma.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


Tabel 3.3 Pilihan Obat Beta-Blocker untuk Pasien Hipertiroid

2.12 Komplikasi
Komplikasi hipertiroidisme yang dapat mengancam nyawa adalah krisis tirotoksik.
Hal ini dapat berkernbang secara spontan pada pasien hipertiroid yang menjalani terapi,
selama pembedahan kelenjar tiroid, atau terjadi pada pasien hipertiroid yang tidak
terdiagnosis. Akibatnya adalah pelepasan TH dalam jumlah yang sangat besar yang
menyebabkan takikardia, agitasi, tremor, hipertermia (sampai 106 oF), dan, apabila tidak
diobati, kematian Penyakit jantung Hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati Graves,
infeksi.
Hipertiroid yang menyebabkan komplikasi terhadap jantung, termasuk fibrilasi atrium
dan kelainan ventrikel akan sulit terkontrol. Pada orang Asia dapat terjadi episode paralisis
yang diinduksi oleh kegiatan fisik atau masukan karbohidrat dan adanya hipokalemia dapat
terjadi sebagai komplikasi. Hiperkalsemia dan nefrokalsinosis dapat terjadi. Pria dengan
hipertiroid dapat mengalami penurunan libido, impotensi, berkurangnya jumlah sperma, dan
ginekomastia13.

2.13 Prognosis
Tingkat remisi di kalangan orang dewasa lebih tinggi daripada anak-anak. ATD dapat
menyebabkan remisi permanen dalam 30-50% kasus. Jika kambuh terjadi pada pasien GD
yang diobati dengan ATD, maka terapi destruktif lebih mungkin menjadi pilihan yang lebih
tepat. Setelah 12-18 bulan pemberian ATD, sekitar lebih dari 50% pasien akan mengalami
kekambuhan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa tingkat TSH-R Ab yang tinggi sebelum
penghentian terapi diduga terkait dengan tingkat relaps yang tinggi.
Rasio T3 / T4 lebih dari 20 terkait dengan lebih dari 80% risiko kambuh. Tingkat
TSH rendah 4 minggu setelah penghentian ATD telah berkorelasi dengan kejadian

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


kekambuhan pada 70% kasus. Ada korelasi antara volume tiroid dan aliran darah, di mana
temuan ini memperkuat korelasi yang diketahui sebelumnya antara struma besar dan risiko
tinggi untuk kambuh. Aliran darah arteri tiroid superior juga telah dikenal sebagai salah satu
prediktor risiko kambuh.
Semua pasien harus dipantau secara ketat untuk kejadian kambuh setelah penghentian
ATD. Sekitar 75% kejadian kambuh terjadi dalam 3 bulan pertama setelah penghentian. Jika
kambuh terjadi, administrasi ATDs lebih lanjut dalam jangka waktu yang lebih lama harus
diresepkan atau terapi destruktif kemungkinan akan dipertimbangkan.5

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


BAB 3

KESIMPULAN

Penyakit kelenjar tiroid dapat mengganggu proses metabolik di tubuh, karena hormon
tiroid mempunyai peran yang sangat penting dalam berbagai proses metabolisme
(metabolisme protein, karbohidrat, lemak) dan aktivitas fisiologik pada hampir semua sistem
organ tubuh manusia, kekurangan maupun kelebihan hormone tiroid akan mengganggu
berbagai proses metabolisme dan aktivitas fisiologi serta mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan berbagai jaringan termasuk sistem saraf dan otak.

Hipertiroidisme merupakan penyakit kelebihan produksi hormo tiroid, yang


menyebabkan proses metabolism ditubuh menjadi lebih cepat. Penyakit ini di tandai dengan
gejala tremor, emosi yang labil, gangguan pencernaan, takikardi, rasa berdebar-debar, mata
melotot, pandangan ganda, dan ganguan organ lain. Selain itu, di buktikan dengan hasil
pemeriksaan laboratorium yang didapatkan terjadinya peningkatan hormone T3 dan T4,
sedangakan hormone TSH menurun.

Manajemen hipertiroidisme mencakup 3 aspek yaitu penghambatan sistem hormone


tiroid dan sekresi dengan pemberian obat ani tiroid, penghancuran atau pengurangan massa
jaringan tiroid (terapi yodium radioaktif atau operasi), dan meminimalkan efek hormone
tiroid pada jaringan perifer (terapi beta bloker) Blokade beta-adrenergik direkomendasikan
pada semua pasien dengan tirotoksikosis simtomatik, terutama pada usia lanjut dan pasien
tirotoksik dengan denyut jantung istirahat lebih dari 90 denyut per menit atau disertai
penyakit kardiovaskular.

Presentasi kesembuhan pada hipertiroidisme pada kalangan orang dewasa tingkat


remisi lebih tinggi daripada anak-anak. Obat anti tiroid menyebabkan remisi permanen
dalam30-50% kasus.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


DAFTAR PUSTAKA

1. Infodatin Kementrian Kesehatan RI (2015). Situasi dan Analisis Penyakit Tiroid.


http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-
tiroid.pdf - Diakses Juni 2019.

2. Krinamurti Deni. Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tiroid pada Pasien Hipertiroidisme
Rawat Jalan di RSUD DR. Soetomo Surabaya Periode 2007-2012. Universitas Gadjah
Mada ; 2013. p. 1-2.

3. Sjamsuhidajat R, De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. Jakarta: EGC; 2010

4. Guyton&hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC

5. Ross D.S, Burch et all. 2016 American Thyroid Association Guidelines for Diagnosis
and Management of Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis. Mary Ann
Liebert Endocr Pract. 2016 May-Jun;17(3):456-520.

6. Sherwood, lauralee. 2009. Human physiology from cells to system 6th Ed. Jakarta :
EGC.

7. Nygaard, B. 2008. Hyperthyroidism (primary). BMJ Clinical Evidence, 2008, 0611.

8. R. Djoko Moejianto. 2009. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III h.1993-2009. Jakarta : Interna
Publishing.

9. Price,Syaliva A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis proses-Proses Penyakit. Edisi 6.


Jakarta : EGC.

10. Taylor, Peter N et all. Global epidemiology of hyperthyroidism and hypothyroidism.


Nature Reviews Endocrinology. 2018:p5029-5037.

11. The Indonesian Society of Endocrinology Task Force on Thyroid Diseases. 2012.
Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism. JAFES. 2012 May:
27(1).

12. Igor kravets, MD, Stony Brook University School of Medicine, Stony Brook, New
YorkAm Fam Physician. 2016 Mar 1;93(5):363-370.

13. National Endocrine and Metabolic Diseases Information Service. Hyperthyroidsme.


2007; 573-582

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Anda mungkin juga menyukai