Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA GRAVES’ DISEASE

DISUSUN OLEH:

TOBI ARNA DALIMUNTHE 2110221089

PEMBIMBING:

dr. INGGRID WIDYAWATI, SP.PD

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN


NASIONAL VETERAN JAKARTA

RSPAD GATOT SOEBROTO

PERIODE 07 JUNI 2021 – 14 AGUSTUS 2021


i

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA GRAVES’ DISEASE

DISUSUN OLEH:

TOBI ARNA DALIMUNTHE 2110221089

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik

Di SMF Penyakit Dalam

RSPAD Gatot Soebroto

Telah disetujui dan dipresentasikan pada

Tanggal, …………………. 2021

Jakarta, …...............2021

Pembimbing

dr. Inggrid Widyawati, Sp.PD


ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang maha Esa

yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan Referat ini guna memenuhi persyaratan kepaniteraan

Klinik bagian Penyakit Dalam di RSPAD Gatot Soebroto dengan judul

”Diagnosis dan Tatalaksana Graves’ Disease”.

Referat ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam

teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di

bagian Penyakit Dalam kemudian mengaplikasikannya untuk kepentingan

klinis kepada pasien. Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada

dr. Inggrid Widyawati, Sp.PD yang telah membimbing penulis dalam

referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih memiliki

kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang

membangun dari semua pihak yang membaca referat ini. Harapan penulis

semoga refarat ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang

membacanya.
iii

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................2
2.1. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid.................................................2
2.2. Fisiologi Kelenjar Tiroid.......................................................................4
2.3. Definisi Graves’ Disease.....................................................................9
2.4. Epidemiologi Graves’ Disease............................................................10
2.5. Etiologi Graves’ Disease.....................................................................10
2.6. Faktor Resiko Graves’ Disease..........................................................10
2.7. Gejala Klinis Graves’ Disease.............................................................11
2.8. Patogenesis Graves’ Disease.............................................................13
2.9. Diagnosis Graves’ Disease.................................................................15
2.10. Tatalaksana Graves’ Disease...........................................................17
BAB III KESIMPULAN...............................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................21
1

BAB I

PENDAHULUAN

Graves’ disease adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan

hipertiroidisme karena adanya autoantibodi yang beredar di sirkulasi 1.

Hipertiroid adalah suatu keadaan hiperaktivitas kelenjar tiroid yang

mensekresikan hormone T3 dan T4 secara berlebihan dan menimbulkan

suatu manifestasi yang dikenal sebagai tirotoksikosis 2. Manifestasi yang

sering terjadi peningkatan detak jantung, tremor pada tangan, penurunan

berat badan, otot yang lemah dan oftalmopati Graves’ disease atau

inflamasi dan pembengkakan jaringan disekitar bagian mata 3.

Menurut Indonesian society of Endocrinology task force on thyroid,

Graves’ disease merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan

hipertiroid dengan prevalensi sebesar 60-80% dari seluruh penderita

hipertiroid di dunia4. Graves’ disease adalah penyebab hipertiroidism yang

paling umum terjadi, di United States (US) terdapat sekitar 30 kasus per

100.000 orang per tahunnya1. Prevalensi kasus hipertiroid di Amerika

mencapai 1,95% dan di Eropa berkisar 1-2% 5. Di Indonesia, terdapat lebih

dari 700.000 orang yang terdiagnosis hipertiroid dengan penyakit Graves’

adalah tipe utama dari hipertiroid, dengan mayoritas perempuan sebesar

14,7% yang menderita Graves’ Disease di Seluruh Indonesia daripada

Pria berjumlah 12,8% di Indonesia 6. Provinsi DKI Jakarta merupakan

wilayah terbanyak kedua setelah Yogyakarta yang memiliki kasus Graves’

Disease penyebab hipertiroid terbanyak di Indonesia 5.


2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Histologi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus jaringan endokrin yang

dihubungkan di tengah oleh suatu bagian sempit kelenjar disebut ismus,

sehingga organ ini tampak seperti dasi kupu-kupu. Kelenjar berada di

leher di atas trakea tepat di bawah laring. Kelenjar tiroid sering

digambarkan dengan bentuk yang menyerupai kupu-kupu 7.

Gambar 2.1. Anatomi Kelenjar Tiroid7

Sel-sel sekretorik utama tiroid adalah sel folikel, sel folikel tersusun

membentuk bola-bola berongga, yang masing-masing membentuk satu

unit fungsional yang dinamai folikel. Folikel tampak sebagai cincin yang

terdiri dari satu lapisan sel-sel folikel yang mengelilingi suatu lumen di
3

bagian dalam yang terisi oleh koloid, koloid suatu bahan yang berfungsi

sebagai tempat penyimpanan ekstrasel untuk hormone tiroid 7.

Konstituen utama koloid adalah suatu molekul glikoprotein besar

yang dikenal sebagai tiroglobulin (Tg) yang di dalamnya terikat hormon-

hormon tiroid dalam berbagai stadium sintesis. Sel folikel menghasilkan

dua hormon yang mengandung iodium yang berasal dari asam amino

tirosin: tetraiodotironin (T4, atau tiroksin) dan tri-iodotironin (T3). Awalan

tetra dan tri serta huruf bawah 4 dan 3 menunjukkan jumlah atom iodium

yang terdapat di masing-masing hormone ini. Kedua hormon, yang secara

kolektif disebut horrnon tiroid7.

Hormone tiroid adalah regulator penting laju metabolik basal (LMB)

keseluruhan. Di ruang interstisium di antara folikel-folikel terselip sel

sekretorik lain, sel C, yang mengeluarkan hormon peptide kalsitonin.

Kalsitonin berperan dalam metabolisme kalsium namun tidak berkaitan

dengan T4 dan T37.

Gambar 2.2. Histologi Kelenjar Tiroid7


4

2.2. Fisiologi Kelenjar Tiroid

Campuran baku untuk sintesis hormon tiroid adalah tirosin dan

iodium, keduanya harus diserap dari darah oleh sel folikel. Tirosin

merupakan suatu asam amino, dibentuk dalam jumlah memadai oleh

tubuh sehingga bukan suatu zat esensial dalam makanan. Namun, iodium

yang dibutuhkan untuk sintesis hormon tiroid harus diperoleh dari

makanan. lodium (I) dalam makanan direduksi menjadi iodida (I-) sebelum

diserap oleh usus halus7.

Asam amino tirosin masuk ke dalam molekul tiroglobulin yang jauh

lebih besar sewaktu tiroglobulin sedang diproduksi. Setelah terbentuk,

tiroglobulin yang sudah mengandung tirosin diekspor dalam vesikel dari

sel folikel ke dalam koloid melalui proses eksositosis. Tiroid menangkap

iodida dari darah dan memindahkannya ke dalam koloid melalui pompa-

iodide, pompa iodide merupakan protein-protein pengangkut yang kuat

dan memerlukan energi di membran luar sel folikel yang dijalankan oleh

gradien konsentrasi Na+ yang diciptakan oleh pompa Na+-K+ pada

membran basolateral (membran luar sel folikular yang berkontak dengan

cairan interstisial). Pompa iodida mengangkut Na+ menuju sel folikular

menuruni gradien konsentrasinya dan I- ke dalam sel melawan gradien

konsentrasinya. Hampir semua iodida di tubuh dipindahkan rnelawan

gradien konsentrasi untuk disimpan di tiroid untuk membentuk hormon

tiroid. Iodida biasanya 30 kali lebih terkonsentrasi dalam sel folikular tiroid

daripada di dalam darah. Iodida tidak memiliki fungsi lain di tubuh 7.


5

Di dalam sel folikular, iodida dioksidasi menjadi iodida "aktif" oleh

enzim terikat membran, tiroperoksidase (TPO) ysng terletak pada

membran luminal, membran sel folikel yang berkontak dengan koloid.

Iodida aktif ini keluar melewati saluran di membran luminal untuk

memasuki koloid7

Di dalam koloid, TPO, tetap terikat membran, dengan cepat

melekatkan iodida ke tirosin di dalam molekul tiroglobulin. Perlekatan satu

iodida ke tirosin menghasilkan monoiodotirosin (MIT). Perlekatan dua

iodida ke tirosin menghasilkan di-iodotirosin (DIT). Setelah MIT dan DIT

terbentuk, terjadilah proses penggabungan di dalam molekul tiroglobulin

antara molekul-molekul tirosin yang telah beriodium untuk membentuk

hormon tiroid. Penggabungan satu MIT (dengan satu iodida) dan satu DIT

(dengan dua iodida) menghasilkan tri-iodotironin, atau T3 (dengan tiga

iodida). Penggabungan dua DIT (masing-masing mengandung dua atom

iodida) menghasilkan tetraiodotironin (T4 atau tiroksin), yaitu bentuk

hormon tiroid dengan empat iodide. Antara dua molekul MIT tidak terjadi

penggabungan. Semua produk ini tetap melekat ke tirogobulin melalui

ikatan peptida. Hormon tiroid tetap tersimpan di koloid hingga terurai dan

diskresikan. Jumlah hormon tiroid yang tersimpan normalnya dapat

memenuhi kebutuhan tubuh untuk beberapa bulan 7.

Dalam sekresi hormon tiroid, sel-sel folikel menginternalisasi

sebagian kompleks tiroglobulin-hormon dengan memfagosit sepotong

koloid. Di dalam sel, butir-butir koloid yang terbungkus membran menyatu

dengan lisosom, yang enzim enzimnya memisahkan hormon-hormon tiroid


6

yang aktif secara biologis, T3 dan T4, serta MIT dan DIT yang inaktif.

Hormon tiroid, karena sangat lipofilik, mudah melewati membran luar sel

folikel dan masuk ke dalam darah. Sementara MIT dan DIT tidak memiliki

fungsi endokrin. Sel-sel folikel mengandung suatu enzim, iodinase, yang

secara cepat mengeluarkan iodida dari MIT dan DIT sehingga iodida yang

telah bebas ini dapat didaur-ulang untuk membentuk lebih banyak

hormone. Enzim yang sangat spesifik ini akan mengeluarkan iodida hanya

dari MIT dan DIT, bukan dari T3 atau T4. Setelah dikeluarkan ke dalam

darah, molekul-molekul hormone tiroid yang sangat lipofilik (dan

karenanya tak-larut air) cepat berikatan dengan beberapa protein plasma.

Sebagian besar T3 dan T4 diangkut oleh thyroxine-binding globulin, suatu

protein plasma yang secara selektif berikatan hanya dengan hormon

tiroid. Kurang dari 0,1% T4 dan kurang dari 1% T3 berada dalam bentuk

bebas (takterikat). Hanya bentuk bebas hormon dari keseluruhan hormon

tiroid yang memiliki akses ke reseptor sel sasaran dan menimbulkan efek.

Sekitar 90% produk sekretorik yang dibebaskan dari kelenjar tiroidadalah

dalam bentuk T4, tetapi T3 memiliki aktivitas biologik yang empat kali lebih

kuat. Sebagian besar T4 yang disekresikan diubah menjadi T3, atau

diaktifkan, dengan ditinggalkannya satu iodida di luar kelenjar tiroid,

terutama di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari T4

yang telah mengalami proses "penanggalan" di perifer. Karena itu, T3

adalah bentuk hormon tiroid utama yang aktif secara biologis di tingkat

sel, meskipun kelenjar terutama mengeluarkan T4.7.


7

Gambar 2.2. Fisiologi Kelenjar Tiroid7

Hormon tiroid diatur oleh aksis hipotalamus-hipofisi-tiroid, Thyroid

Stimulating Hormon (TSH) yang berasal dari hipofisis anterior merupakan

regulator penting dalam sekresi hormon tiroid, TSH berguna sebagai 2

fungsi yaitu untuk meningkatan sekresi hormon tiroid dan untuk

mempertahankan integritas structural kelenjar tiroid, apabila TSH

berkurang maka terjadi atrofi kelenjar tiroid, dan kelenjar akan hipertrofi

dan hyperplasia jika TSH berlebihan7.

Hormon tiroid memiliki beberapa efek yaitu hormon tiroid dapat

meningkatkan laju metabolic basal, hormon tiroid memiliki efek kalorigenik

yaitu menyebabkan peningkatan produksi panas, dan juga memiliki efek


8

simpatomimetik (menyerupai simpatis), hormon tiorid meningkatkan

responsivitas sel terhadap katekolamin (epinefrin dan norepinefrin),

hormon tiroid berefek pada sistem kardiovaskular seperti meningkatkan

kecpatan dan kekuatan kontraksi jantung sehingga curah jantung

meningkat, efek pada pertumbuhan dan sistem saraf seperti hormon tiroid

merangsang sekresi Growth Hormon (GH) dan IGF-1 sehingga

mendorong pertumbuhan tulang pada anak. Berikut adalah skema dari

regulasi sekresi hormon tiroid7.

Gambar 2.3. Regulasi Sekresi Hormon Tiroid 7


9

Penyebab tersering hipertiroidisme adalah penyakit Graves. Ini

adalah suatu penyakit autoimun ketika tubuh secara salah menghasilkan

thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) yang juga dikenal dengan long-

acting thyroid stimulator (LATS), suatu antibodi yang sasarannya adalah

reseptor TSH di sel Tiroid. Penyakit autoimun adalah kondisi ketika sistem

imun menghasilkan antibodi bagi salah satu jaringan tubuh sendiri.TSI

merangsang sekresi dan pertumbuhan tiroid mirip dengan yang dilakukan

oleh TSH. Namun, tidak seperti TSH, TSI tidak dipengaruhi inhibisi

umpan-balik negatif hormon tiroid sehingga sekresi dan pertumbuhan

tiroid berlanjut tanpa kendali7

Tabel 2.1. Jenis-Jenis Kelainan Tiroid 7

2.3. Definisi Graves’ Disease

Graves’ disease adalah Penyakit graves merupakan penyakit

autoimun yang lebih luas daripada penyakit tiroid, Graves’ disease

menyebabkan disfungsi banyak organ ditandai dengan adanya thyroid

stimulationg hormone receptor antibody (TRAb) yang menimbulkan anda

dan gejala seperti goiter, palpitasi (takikardi) dan eksoftalmus 8.


10

2.4. Epidemiologi Graves’ Disease

Prevalensi Graves’ disease lebih tinggi dibandingan dengan

penyebab hipertioridisme lainnya. Graves’ disease merupakan penyakit

paling sering terjadi pada kasus hipertiroidism, sekitar 60-80% kasus

Graves’ disease yang terutama dikarenakan asupan yodium yang kurang.

Graves’ disease lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Graves’

disease sering terjadi pada wanita muda berumur 20-40 tahun.

2.5. Etiologi Graves Disease

Penyebab Graves’ disease sama seperti penyakit autoimun,

Graves’ disease lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat keluarga

yang mempunyai penyakit Graves’ disease, penyakit ini lebih sering terjadi

pada kembar monozigot daripada kembar dizigotik. Graves’ disease

terjadi karena autoantibodi disirkulasi darah, Thyroid Stimulating

Immunoglobulins (TSIs) berikatan dengan thyrotropin receptor dan

mengaktivasi thyrotropin reseptor sehingga menyebabkan kelenjar tiroid

tumbuh dan folikel tiroid mensintesis hormone tiroid yang sangat banyak.

2.6. Faktor Resiko Graves’ Disease

Penyakit Graves’ disease dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor

lingkungan seperti stress, merokok, infeksi, pajanan iodine dan

postpartum.

2.7. Gejala Klinis Graves’ Disease


11

Terdapat tanda dan gejala yang ditemukan pada Graves’ disease yang

diorganisasikan berdasarkan region anatomi yaitu:

1. general : peningkatan basal metabolic rate, penurunan berat badan

walaupun nafsu makan meningkat atau nafsu makan sama seperti

biasanya

2. kulit : hangat, keringat meningkat, vitiligo, alopecia, pretibial

myxedema, tumbuh rambut halus

3. kepala, mata, telinga, hidung, tenggorokan : chemosis, iritasi

konjugtiva, pelebaran fisura palpebral, lid lag, lid retraksi, proptosis,

kegagalan pergerakan extrocular, hilangnya pengelihatan pada

nervus optic yang sangat rusak, periorbital edema

4. leher : kelenjar tiroid membesar secara difus dan halus, tiroid bruits,

nodul tiroid kadang teraba

5. dada : ginekomastia, takipneu, takikardi, murmur, hiperdinamik

precordium, suara s3 dan s4 jantung, irregular heart rate dan ritme

6. abdomen : hiperaktif suara bising usus

7. extremitas : edema, acropachy dan onkilosis

8. neurologi : tangan tremor biasanya bilateral, hiperaktif reflex tendon

9. muskuoskletal : kifosis, lordosis, hilangnya tinggi, lemah otot

proksimal

10. pskiatrik : anxietas, iritabilitas, insomnia, depresi, restlessness


12

Gambar 2.5. Gambar Gejala Klinis Eksoftalmus7

Pasien hipertiroid mengalami peningkatan LMB. Peningkatan

produksi panas yang terjadi menyebabkan keringat berlebihan dan

intoleransi panas. Berat tubuh biasanya turun karena tubuh menggunakan

emergi dengan kecepatan abnormal cepat. Terjadi penguraian neto

simpanan karbohidrat, lemak, dan protein. Berkurangnya protein otot yang

terjadi menyebabkan kelemahan. Berbagai kelainan kardiovaskular

berkaitan dengan hipertiroidisme, baik oleh efek langsung hormon tiroid

maupun oleh interaksinya dengan katekolamin.

Kecepatan denyut dan kekuatan kontraksi dapat meningkat

sedemikian besar sehingga individu mengalami palpitasi (jantung

berdebar-debar). Efek pada SSP ditandai oleh peningkatan berlebihan

kewaspadaan mental hingga ke titik ketika pasien mudah tersinggung,

tegang, cemas, dan sangat emosional.

Gambaran mencolok pada penyakit Graves, tetapi tidak dijumpai

pada hipertiroidisme jenis lain adalah eksoftalmus. Inflamasi dan


13

pembengkakan otot mata dan lemak di belakang mata di dalam orbita

(rongga mata di tulang tengkorak) mendorong bola mata ke depan

sehingga mereka menonjol dari tulang orbita, terkadang hingga ke titik

ketika kelopak mata tidak dapat tertutup sepenuhnya.

Pada penyakit Graves, terjadi goiter dengan hipersekresi karena

TSI mendorong pertumbuhan tiroid sekaligus meningkatkan sekresi

hormon tiroid. Karena kadar T3 dan T4 yang tinggi menghambat hipofisis

anterior, sekresi TSH itu sendiri menjadi rendah. Gejala Graves’ disease

adalah gejala-gejala hipertiroid pada tabel dibawah berikut.

Tabel 2.2. Gejala-Gejala Hipertiroid7

2.8. Patogenesis Graves’ Disease

Graves’ disease disebabkan oleh Thyroid Stimulating

Immunoglobulin (TSI) atau yang dikenal sebagai thyroid stimulating

antibody (TSAb). Limfosit B primer mensintesis TSI didalam sel tiroid,

tetapi TSI dapat juga disintesis di nodus limfe dan sumsum tulang.

Limfosit B distimulasi oleh limfosit T yang disensitiasi oleh antigen di

kelenjar tiroid. TSI berikatan dengan reseptor thyroid stimulating hormone


14

(TSH) di membrane sel tiroid dan menstimulasi aksi dari TSH, ikatan

tersebut menstimulasi 2 hal yaitu mensintesis hormone tiroid dan

menumbuhkan kelenjar tiorid sehingga menyebabkan hipertiroidism dan

tiromegaly 8

Beberapa faktor lingkungan termasuk kehamilan terutama post

partum, kelebihan iodine, infeksi, stress emosional, merokok, interferon

alfa yang terpacu respon imun dapat menyebabkan graves disease.

Graves’ orbitopathy (oftalmopati) disebabkan inflamasi, proliferasi

seluler dan peningkatan pertumbuhan otot extraocular dan jaringan ikat

retroorbital dan jaringan adiposa karena aksi dari tiroid stimulating

antibody dan sitokin yang dikeluarkan oleh limfosit T sitotoksik (killer

cells). Sitokin dan thyroid stimulating antibody mengaktivasi fibroblast

periorbital dan preadiposit yang menyebabkan sintesis hydrophilic

glycosaminoglycans (GAG) yang berlebih dan pertumbuhan lemak

retroorbital. Glycosaminoglycans menyebabkan otot membengkak karena

terjebaknya air, perubahan tersebut menyebabkan munculnya kejadian

proptosis, diplopia, kongesti dan edema periorbital, jika tidak ditatalaksana

dengan baik maka dapat terjadi fibrosis otot yang tidak dapat kembali

membaik.

Pathogenesis dari manifestasi klinis Graves’ disease yang jarang

seperti pretibial myxedema dan acropahcy thyroid yang diduga karena

adanya sitokin yang memediasi stimulasi fibroblast, beberapa gejala

hipertiroidism seperti takikardi, berkeringat, tremor, lid lag dan mata yang

berkedip.
15
16

Gambar 2.7. Mekanisme Terjadi Graves Disease 10

2.9. Diagnosis Graves’ Disease

Dalam mendiagnosis Graves’ Disease dibuat berdasarkan tanda,

gejala (sign and symptomps) dan hasil dari pemeriksaan laboratorium.

Manifestasi klinis dari Graves’ disease adalaah trias Merseburger yang

terdiri dari tirotoksikosis, diffuse goiter dan oftalmopati (orbitopati).

Manifestasi klinis Graves’ disease beraneka ragam mulai dari gejala

ringan sampai dengan berat. Manifestasi paling sering terjadi terdapat

dalam tabel dibawah ini.

Tabel 2.3. Tanda dan Gejala Graves’ Disease8

Tanda Gejala
Hiperaktivitas Palpitasi

Takikardi Agitasi

Atrial fibrilasi Fatigue

Hipertensi sistolik Intoleransi jantung

Kulit hangat dan lembab Tremor

Hiperefleksia Peningkatan rasa lapar

Kelemahan otot Berat badan menurun

Kelainan menstruasi

Meskipun diagnosis bisa dibedakan, pengobatan bisa diberikan

berdasarkan hasil tes laboratorium (TSH dan T4 bebas) untuk

mengkonfirmasi diagnosis dan sebagai dasar evaluasi pengobatan.

Berdasarkan rendahnya konsentrasi TSH dan tinggi konsentrasi fT4,

diagnosis Graves’ disease bisa dibedakan, pada Graves’ disease


17

didapatkan pemeriksaan Laboratorium TSH rendah, T4 atau fT4 tinggi, T3

tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lain pada Graves’ disease

seperti kadar leukosit jika timbul infeksi pada awal pemberian obat

antitiroid, EKG, Foto Toraks7.

Pemeriksaan T3 dibutuhkan jika pada pemeriksaan fisik sudah

mengarah ke Graves’ Disease namun hasil laboratorium menunjukkan

kosentrasi TSH rendah dengan nilai fT4 normal. Jika ada keraguan

dengan tanda dan gejala tirotoksikosis seperti tidak ada pembesaran

kelenjar tiroid yang terlihat maka dapat dilakukan skintigrafi (pemindaian

nuklir tiroid/ thyroid nuclear scan), ketika masih belum bisa juga

mendiagnosis Graves’ Disease maka direkomendasikan tes TRAb,

konsentrasi TRAb dapat digunakan untuk tujuan diagnostic dan

mengevaluasi pengobatan dan remisi8.


18

Gambar 2.8. Pendekatan Diagnosis Graves Disease 9


19

Jika tidak dapat melakukan Laboratorium, dalam mendiagnosa

Graves Disease dapat melakukan penilaian dengan Indeks Wayne,

Apabila Skor Indeks Wayne >20 maka dapat dikatakan Graves Disease.

Gambar 2.9. Indeks Wayne8

2.10. Tatalaksana Graves’ Disease

Pencapaian tatalaksana Graves’ Disease adalah untuk

mengkontrol dan memperaiki kondisi dari penyakit Graves’ disease yang

dikarenakan adanya reaksi antigen antibodi di kelenjar tiroid.

Glucocorticoid dapat menurunkan perubahan dari T4 menjadi T3 dan

menurunkan hormone tiroid dengan mekanisme yang tidak diketahui,

namun glukokortikoid tidak digunakan untuk pengobatan lini pertama

karena penggunaan glukokortikoid jangka lama lebih banyak memberikan

efek yang merugikan10.


20

Modalitas dari pengobatan Graves’ disease adalah dengan

pemberian obat antitiroid, surgery/pembedahan dan pengobatan radioaktif

iodin dengan iodium-131 (131I). pemilihan pengobatan bergantung dari

beberapa faktor, keparahan tirotoksikosis, umum, ukuran goiter,

ketersediaan modalitas, respon pengobatan dan penyakit komorbid

lainnya10.

1. obat antitiroid

Obat antitiroid adalah pengobatan lini pertama dalam mengobati

Graves’ Disease. Terdapat 2 jenis obat antitiroid yaitu propylthiouracil

(PTU) dan methimazole, PTU bekerja dengan menghambat

organifikasi iodide dan proses coupling, sementara methimazole

menghambat oksidasi iodin di kelenjar tiroid. Jika salah satu terapi

digunakan sebagai pengobatan primer, maka obat tersebut harus

diberikan setidaknya selama 12-18 bulan dan akan diberhentikan

ketika konsentrasi TSH dan TRAb mencapai normal, penggunaan

obat antitiroid jangka panjang aman dan efektif terutama pada

dewasa. PTU diberikan dosis awal 300-600 mg/hari dengan dosis

maksimal 2000 mg/hari, Metimazol diberikan dosis awal 20-30

mg/hari8.

Indikasi dari obat antitiorid oral adalah pasien dengan kemungkinan

remisi yang tinggi (wanita, manifestasi klinis ringan, goiter ringan,

TRAb negatif atau rendah), kemudian indikasi obat antitiroid oral

lainnya seperti wanita hamil, lansia atau komorbiditas dengan penyakit

lain. PTU menghalangi proses hormogenesis intratiroid, mengurangi


21

disregulasi imun intratiroid serta konversi perifer dari T4 menjadi T3, bersifat

immunosupresif dengan menekan produksi TSAb melalui kerjanya

mempengaruhi aktivitas sel T limfosit kelenjar tiroid. Mekanisme kerja

obat antitiroid bekerja dengan dua efek yaitu efek intratiroid dan

ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid adalah dengan menghambat

oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosis,

mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis

tiroglobulin sehingga mencegah atau mengurangi biosintesis hormon

tiroid T3 dan T4. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yaitu dengan

menghambat konversi T4 menjadi T3 di jaringan perifer. 8

Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu, setelah

eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan sekali untuk memantau gejala

dan tanda klinis serta lab fT4, T3 dan TSH. Setelah tercapai eutrioid,

obat antitoroid dikurangi dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil

yang masih memberikan keadaan eutiroid selama 12-24 bulan,

kemudian pengobatan dihentikan dan dinilai apakah terjadi remisi,

dikatakan remisi jika setelah 1 tahun obat antitiroidd dihentikan,

pasien masih dalam keadaan eutiroid walaupun kemudian hari tetap

ada eutiroid atau terjadi relaps8.


22

Gambar 2.10. Penggunaan Obat Antitiroid11


23

2. Penyekat adrenegrik Beta

Pada awal terapi dapat diberikan penyekat beta adrenergik dalam

menunggu pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian

antitiroid, dapat diberikan propranolol. penggunaan propanolol

bertujuan untuk menurunkan gejala-gejala hipertiroidisme yang

diakibatkan peningkatan kerja dari β- adrenergic. Propanolol juga

dikatakan dapat menurunkan perubahan T4 ke T3 di sirkulasi

sehingga dapat menurunkan jumlah hormon yang dalam bentuk aktif 8.

Tabel 2.4. Dosis Pengguaan Penyekat Adenergik Beta 11

3. pembedahan/surgery

Pembedahan yang dilakukan dalam kasus hipertiroidism adalah

jenis total tiroidektomi dan subtotal tiroidektomi. Indikasi dilakukannya

pembedahan adalah wanita yang berencana hamil kurang dari 6

bulan, pembesaran goiter yang menekan organ sekitar kelenjar tiroid,

rendahnya scanning tiroid, keganasan atau ketidakpastian dalam

pemeriksaan sitology, nodul tiroid yang lebih besar dari 4 cm atau

tidak berfungsi atau menurunnya fungsi pada scanning tiroid,


24

hiperparatiroidisme, tingginya level TRAb (susdah disembuhkan

dengan obat antitiroid), oftalmophaty Graves’ disease aktif yang

sedang atau parah. Resiko dari pembedahan tiroidektomi adalah

perdarahan, paralisis pada pita suara dan hipokalsemia 12.

4. Radioaktif Iodin Terapi (RAI)

RAI bisa digunakan pada pasien dengan resiko dari efek samping

obat antitiroid dan pasien dengan komorbid, indikasi dari terapi RAI

adalah wanita yang berencana hamil lebih dari 6 bulan setelah terapi

RAI, komorbiditas yang bisa meningkatkan resiko pembedahan,

riwayat pembedahan atau radiasi leher bagian luar, kontraindikasi

dengan obat antitiroid atau gagalnya mencapai eutiroidisme dengan

obat, pasien dengan periode tirotoksikosis hypokalemia paralisis,

gagal jantung kanan dikarenakan hipertensi pulmonary atau

congestive heart failure8.

2.11. Prognosis Graves’ Disease

Prognosis dari Graves’ Disease adalah dubia ad bonam, karena

Graves’ disease merupakan penyakit autoimun yang dapat relapse,

mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat sekitar 10-15% 7.


25

BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa cara diagnosis Graves’

Disease dengan cara mengetahui hasil anamnesis yang mengarah ke

gejala Graves’ disease yaitu gejala gejala hipertiroidisme yakni palpitasi,

penurunan berat badan, pembesaran kelenjar tiroid dan gejala khas pada

graves disease berupa eksoftalmus dan dalam memperkuat diagnosis

Graves’ disease harus disertai hasil Lab T4 dan T3 meningkat serta TSH

menurun. Adapun tatalaksana Graves’ disease dengan memberikan obat

antitiroid berupa PTU dan Methimazole, apabila kelenjar tiroid

mengganggu organ lain dapat dilakukan pembedahan

tiroidektomi dan dapat dilakukan Radioaktif Iodin Terapi (RAI).


26

DAFTAR PUSTAKA

1. Yeung S-CJ. Graves Disease [Internet]. Medscape. 2020 [cited


2020 Jun 22]. p. 1–3. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/120619-overview#a1
2. National Institute of Health. Graves’ Disease [Internet]. National
Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. 2017 [cited
2021 Jun 22]. p. 2. Available from: https://www.niddk.nih.gov/health-
information/endocrine-diseases/graves-disease
3. American Thyroid Association. Graves Disease [Internet]. American
Thyroid Association. 2020 [cited 2021 Jun 22]. p. 1. Available from:
https://www.thyroid.org/graves-disease/
4. Thyroid IS of ETF on. Indonesian Clinical Practice Guidelines for
Hyperthyroidism [Internet]. Vol. 27, Journal of the ASEAN
Federation of Endocrine Society. 2012 [cited 2021 Jun 22]. Available
from: http://asean-
endocrinejournal.org/index.php/JAFES/article/view/10/16
5. Rama E. PERBANDINGAN EFEKTIVITAS OBAT ANTITIROID
ANTARA TIAMAZOL DENGAN PROPILTIOURASIL TERHADAP
PASIEN HIPERTIROID YANG DISEBABKAN GRAVES’ DISEASE
DI RSUD CENGKARENG PERIODE 2017 [Internet]. Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Jakarta; 2017. Available from:
https://repository.upnvj.ac.id/5651/
6. Balitbang Kemenkes Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar
[Internet]. 2013 [cited 2021 Jun 22]. Available from:
http://www.litbang.kemkes.go.id/page/8/?
s=penyakit+tidak+menular&et_pb_
%0Asearchform_submit=et_search_proccess&et_pb_include_posts
=yes&et_pb_in%0Aclude_pages=yes
7. Sherwood L. Introduction to Human Physiology. 8th ed. United
States of America: Yolanda Cossio; 2013. 982 p.
8. Subekti I, Pramono LA. Current Diagnosis and Management of
Graves’ Disease. Acta Med Indones. 2018;50(2):177–82.
9. Burch HB, Cooper DS, Ross DS, Greenlee MC, Laurberg P, Maia
AL, et al. 2016 American Thyroid Association Guidelines for
Diagnosis and Management of Hyperthyroidism and Other Causes
of Thyrotoxicosis. 2016;26(10).
10. DS R, HB B, Cooper D. American Thyroid Association guidelines for
diagnosis and management of hyperthyroidism and other causes of
thyrotoxicosis. Am Thyroid Assoc. 2016;20:1343–421.
11. Ginsberg J. Diagnosis and management of Graves’ disease. 2013;
27

12. GA R, TK S, TM V, PP P, JC F, JI L. Postoperative outcomes in


Graves’ disease patients: results from the nationwide inpatient
sample database. Am Thyroid Assoc. 2016;21–5.

Anda mungkin juga menyukai