Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

HIPOTIROID KONGENITAL

Murry Agusthin Tehusyarana

2165050102

Pembimbing:

dr. Gorga Udjung, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

PERIODE 30 MEI 2021 – 06 AGUSTUS 2022

RUMAH SAKIT UMUM UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA
DAFTAR ISI

Daftar Isi..................................................................................................................i

Daftar Gambar.......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................2

II. 1 Definisi Hipotiroid Kongenital...............................................................3

II. 2 Fisiologi Kelenjar Tiroid.........................................................................3

II. 3 Etiologi Hipotiroid Kongenital...............................................................5

II. 4 Patofisiologi Hipotiroid Kongenital........................................................7

II. 5 Diagnosis Hipotiroid Kongenital.............................................................8

II. 6 Tatalaksana Hipotiroid Kongenital.......................................................10

II. 7 Prognosis...............................................................................................13

BAB III KESIMPULAN........................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................15

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sintesis Kelenjar Tiroid........................................................................4

Gambar 2.Mekanisme Umpan balik negatif kelenjar tiroid...................................5

Gambar 3. Patofisiologi Hipotiroid........................................................................7

Gambar 4. Manifestasi Klinis Hipotiroid Kongenital............................................9

Gambar 5. Algoritma Diagnostik Hipotiroid Kongenital.....................................10

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Dosis L-tiroksin Klinis Hipotiroid Kongenital........................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Insiden hipotiroid kongenital pada negara Irlandia berdasarkan hasil skrining bayi yang pada
bulan Juli 1979 dan Desember 2016 sebanyak 2.361.174, dimana terdapat sebanyak 662 adalah
anak perempuan.1 Hipotiroid kongenital merupakan gangguan endokrin pada neonatus yang
mempengaruhi 1:3000 bayi baru lahir diseluruh dunia dan merupakan salah satu penyebab
gangguan motorik dan kognitif.2 Pada penelitian yang dilakukan oleh Universitas Ilmu
Kedokteran Anak, Arak, Iran menujukan bahwa lebih dari 55,88% mengalami hipotiroid
sementara dan sisanya mengalami hipotiroid permanen.3

Terdapat 1.200 bayi cukup bulan dengan berat badan lahir lebih dari 2500 gram yang
diskrining menggunakan cord blood thyroid stimulating hormone (cTSH) dimana 5,8% hasilnya
positif dengan nilai C20 IU/L, dengan persentase terhadap jenis kelamin bayi baru lahir yang
diskrining adalah 50,7% laki-laki dan 49,3% perempuan.4 Pada skrining konsentrasi TSH pada
penelitian yang dilakukan oleh Matejek N dkk, kadar TSH cenderung lebih rendah pada
neonatus dengan transient congenital hypothyroidism (TCH) dibandingkan dengan permanent
congenital hypothyroidism (PCH).5

Pada penelitian yang dilakukan di Italia, 6% pasien dengan diagnosis hipotiroid


kongenital yang dikonfirmasi adalah neonatus prematur, dimana usia kehamilan berkisar antara
26 - 34 minggu dan berat badan lahir berkisar antara 800 - 1500 gram . Diagnosis hipotiroid
kongenital dikonfirmasi pada 182 bayi (0,21%) dan sejumlah 20,7% terkonfirmasi memiliki
kadar TSH tinggi ≥.6 - < 7 mU/L.6

Penelitian yang dilakukan oleh Abbasi F,dkk melibatkan total 680 peserta termasuk 340
neonatus dengan hipotiroid kongenital dalam kelompok kasus, yang terdiri dari 136 neonatus
dengan permanent congenital hypothyroidism (PCH) dan 204 neonatus dengan transient
congenital hypothyroidism (TCH), dan 340 neonatus sehat.7
Pada penelitian kualitas hidup pediatri hipotiroid kongenital di Indonesia yaitu 85%
pasien mengalami hipotiroid kongenital sentral dan 15% mengalami hipotiroid kongenital

1
perifer.8 Pada evaluasi rekam medis di Indonesia tepatnya di RS Cipto Mangunkusumo dan RS
Sadikin menunjukan lebih dari 70% kasus hipotiroid kongenital dengan usia lebih dari 1 tahun
terdiagnosis mengalami defisit mental permanen, serta 2,3% kasus hipotiroid kongenital yang
berusia kurang dari 3 bulang terdiagnosis memiliki gangguan tumbuh kembang.9

Berdasarkan latar belakang yang telah dibuat diatas dibuatlah karya penulisan referat
yang berjudul “Hipotiroid Kongenital” dengan tujuan pengambilan judul ini untuk mengentahui
tentang penyakit defines, manifestasi klinis serta tatalaksana penanganan hipotiroid kongenital.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Definisi Hipotiroid Kongenital


Menurut PMK RI nomor 78 tahun 2014 hipotiroid kongenital adalah keadaan menurun
atau tidak berfungsinya kelenjar tiroid yang didapat sejak bayi baru lahir. Hal ini terjadi karena
kelainan anatomi atau gangguan metabolisme pembentukan hormon tiroid atau defisiensi
iodium.10
Hipotiroid kongenital adalah istilah umum untuk defisiensi hormon tiroid akibat disfungsi
kelenjar tiroid atau kelainan morfologi kelenjar tiroid yang berkembang selama tahap janin atau
perinatal.11 Hipotiroid kongenital mengacu pada rendahnya kadar hormon tiroid didalam
sirkulasi darah, sehingga tidak adekuat dalam fungsi metabolik dan neurologis.12

II. 2 Fisiologi Kelenjar Tiroid


Hormon utama yang disekresikan oleh kelenjar tiroid adalah tiroksi (T4) dan triiodotionin
(T3). T3 memiliki aktivitas biologi yang lebih besar dibandingkan dengan T4, pada jaringan
perifer T3 dibentuk melalui deiodinasi T4. Kelenjar tiroid dapat menyekresikan 80 pg T4, 4 µg
T3, dan 2 pg RT3 perhari, dimana monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT) tidak
disekresikan. 13

3
Gambar 1. Sintesis Hormon Tiroid

Kelenjar tiroid janin berasal dari tonjolan media endoderm dasar faring primitif dan
benjolan lateral kantong faring. Pada hari ke 50 bagian medial dan lateral bersatu di anterior
leher, sehingga pada hari ke 70 kelenjar tiroid didapatkan konsentrasi iodium dan reseptor TSH
serta peroksidase. T4 didapati pada jaringan janin sebelum tiroid janin berfungsi, pada usia 18-20
minggu kadar TSH didapati rendah dan kemudian meningkat 7-10 mU/L pada kehamilan aterm.
Pada saat usia kehamilan 30 minggu kadar dari T3 janin rendah dikarenakan rendahnya
aktifitas iodotironin monodeiodenase tipe 1 yang mengubah T4 menjadi T3. Dalam beberapa jam
pasca lahir, terjadi kenaikan TSH mendadak yang menyebabkan kadar dari T3 dan T4 meningkat
dan mencapai puncak pada hari ke 2.14

4
Gambar 2. Mekanisme umpan balik negatif

II. 3 Etiologi Hipotiroid Kongenital


Hipotiroid kongenital merupakan suatu kelainan pada kelenjar tiroid yang diakibatkan
oleh penurunan atau tidak adanya aksi hormon tiroid. Hipotiroid kongenita dapat menetap
seumur hidup (permanen) atau sementara (transien) yang kemudian dapat dibagi menjadi etiologi
primer, sekunder, dan perifer.15 Hipotiroid kongenital sering disebabkan oleh gangguan
perkembangan kelenjar tiroid (disgenisis) atau kelainan biosintesis hormon tiroid
(dishormogenesis) ini merupakan kelainan kelenjar tiroid dan dapat diklasifikasikan sebagai
hipotiroid kongenital primer. Hipotiroid kongenital dengan kelainan pada hipofisis diklasifikasin
sebagai hipotiroid kongenital sekunder dan hipotiroid kongenital dengan kelainan pada
hipotalamus diklasifikasikan sebagai hipotiroid kongenital tersier serta jika terjadi kelainan pada
hipofisis dan hipotamus dapat diklasifikasikan sebagai hipotiroid kongenital sentral. 14,16
 Hipotiroid Kongenital Primer
 Hipotiroid permanen non sindromik
 Digenesis tiroid : Kelainan organogenesis tiroid yang terjadi pada saat
embriogenesis menyebabkan kelainan perkembangan kelenjar tiroid. Disgenesis

5
tiroid merupakan 2/3 kelainan hipotiroid kongenital permanen non sindromik,
biasanya sporadik.
 Dishormogenesis tiroid : Merupakan kelainan pada proses sintesis hormone
dengan ikatan TSH dengan reseptornya difolikel dan mengaaktifasi cAMP.
Proses biosintesis hipotiroid kongenital yang distimulasi di cAMP meliputi :
ambilan dan transport iodium melalui membrane sel, sintesis tiroglobulin,
oksidasi dan organifikasi iodium, pembentukan MIT,DIT,T4, dan T3.
 Ibu dengan pengobatan iodium radioaktif.
 Hipotiroid sindromik : Salah satu hipotiroid sindromik adalah sindrom pandred
yang tandai dengan trias, hipotiroid, goiter, dan tuli. Sindrom ini disebabkan oleh
defek genetik dari protein transmembrane yang disebut suatu multifunctional anion
exchanger.
 Hipotiroid primer transien : Thyrotropin Receptor-Blocking Antibodies (TRBA)
merupakan antibody yang memblok reseptor tirotropin dari ibu, menembus sawar
otak.
 Hipotiroid kongenital sekunder/tersier atau sentral
 Keadaan menetap/permanen :
- Kelainan kongenital perkembangan otak tengah
- Mutase gen yang mengatur perkembangan kelenjar hipofisis
- Idiopatik
 Transien : Bayi dengan kadar T4 total, FT4, dan TSH normal rendah masih
mungkin mengalami hipotiroid sementara, keadaan ini sering dijumpai pada bayi
prematur karena imaturitas organ dianggap sebagai dasar kelainan ini yaitu
imaturitas aksis hipotalamus -hipofisis.
 Hipotiroid kongenital perifer
- Resisten terhadap hormone tiroid
- Defek transport membran
- Kelainan metabolisme hormone tiroid

6
Tabel. lima penyebab genetik hipotiroidisme kongenital sentral terisolasi 24

II. 4 Patofisiologi Hipotiroid Kongenital


Pada bayi dengan hipotiroid kongenital terjadi penurunan fungsi dari kelenjar tiroid serta
membuat kadar T3 dan T4 menjadi rendah dan terjadi peningkatan kadar TSH dan TRH karena
mekanisme umpan balik ke hipofisis dan hipotalamus. Pada hipotiroid yang subklinis T4 serum
normal dan TSH meningkat, sedangkan pada hipotiroid sentral didapatkan T4 rendah dan dengan
kadar TSH didapatkan rendah atau bisa didapatkan normal.17

7
Gambar 3. Patofisiologi Hipotiroid

II. 5 Diagnosis Hipotiroid Kongenital


 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda umumnya timbul pada hipotiroid kongenital antara lain adalah
anak tidur berlebih, berkurangnya tonus otot, konstipasi, ikterik, letargi, kesulitan
makan, hipotermia, hernia umbilical, makroglosia, dan low/hoarse cry.18 Risiko
gangguan pendengaran, kelainan jantung anomali, gangguan pada ginjal, gangguan
sistem endokrin, gangguan kerangka, dan gangguan sistem gastrointestinal meningkat
pada bayi dengan hipotiroid kongenital. Bayi dengan hipotiroidisme kongenital berisiko
lebih tinggi mengalami obesitas selama masa kanak-kanak, sindrom metabolik dan
penyakit kardiovaskular selama masa dewasa.12
Pada bayi prematur terutama pada usia kehamilan 24-27 minggu memiliki kadar
TSH dan FT4 yang lebih rendah dibandingkan bayi cukup bulan. Hal ini disebabkan

8
aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid yang belum berfungsi dengan baik. Pemeriksaan TSH
dengan menggunakan kertas filter cutoff adalah sekitar 30mU/L dalam beberapa hari
pertama kehidupan, kadar TSH yang tinggi diakibatkan oleh lonjakan TSH yang terjadi
segera setelah kelahiran. Kadar hormon meningkat pada usia 1–4 hari, dan mulai turun
pada usia 2–4 minggu.16
Tanpa pengobatan dini hipotiroid kongenital akan semakin terlihat gejalanya
seperti makroglosia, suara serak, hipotoni, perut buncit, tangan dan kaki teraba dingin,
disertasi miksedema. 14

Gambar 4. Manifestasi klinis hipotiroid kongenital


https://www.researchgate.net/publication/

339201940_Penanganan_Hipotiroid_pada_Anak_dengan_Sindrom_Nefrotik

 Skrining Neonatal
Melakukan skrining dengan menggunakan pemeriksaan TSH merupakan
pemeriksaan yang paling sensitif untuk mendeteksi hipotiroid kongenital primer.
Skrining hipotiroid kongenital primer efektif pada usia setelah 24 jam, meskipun waktu
yang terbaik untuk pemeriksaan adalah 48 jam sampai dengan 72 jam setelah lahir.
Pemeriksaan yang dilakukan sebelum usia 48 jam meningkatkan angka positif-palsu
karena adanya TSH surge pada bayi baru lahir.19 Skrining ulang untuk hipotiroidisme

9
kongenital pada bayi prematur diperlukan untuk menghindari kasus yang hilang dengan
peningkatan TSH yang tertunda. Peningkatan TSH yang tertunda sering terjadi pada
kelompok ini dan terlihat pada setengah dari bayi prematur dengan hipotiroidisme
kongenital. Skrining ulang sekali pada 2 minggu kehidupan akan kehilangan sejumlah
besar bayi dengan peningkatan TSH tertunda dan hipotiroidisme kongenital permanen
dekompensasi dan skrining ulang hanya pada 4 minggu akan menunda diagnosis
hipotiroidisme dekompensasi dalam 2 minggu pertama. 25

Gambar 5. Algoritma diagnostik hipotiroid kongenital


https://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Panduan-Praktik-Klinis-
Diagnosis-dan-Tata-Laksana-Hipotiroid-Kongenital.pdf

 Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan FT4, T4 total, dan TSH
- Pemeriksaan kadar TBG (thyroid binding globulin) dan T3 resin uptake
- Pemeriksaan serum tiroglobulin
- Pemeriksaan TRB-Ab serum

II. 6 Tatalaksana Hipotiroid Kongenital


Pengobatan hipotiroid kongenital direkomendasikan menggunakan LT4 10-15
mg/kg/hari, dosis rendah untuk penyakit dengan gejala ringan dan dosis tinggi dengan gejala
berat. 20
Panduan praktik klinis ikatan dokter anak Indonesia merekomendasikan 19 :

10
1. Jenis obat L-T4 (levotiroksin) yang merupakan obat satu-satunya untuk hipotiroid
kongenital diberikan dengan segera setelah diagnosis ditegakan, terapi terbaik dimulai
sebelum bayi berusia 2 minggu.
2. Dosis awal L-T4 adalah 10-15 µg/kgBB/hari dan dosis selanjutnya disesuaikan dengan
hasil pemeriksaan TSH dan FT4 berkala dengan dosis disesuaikan dengan umur. . Dosis
levothyroxine disesuaikan dengan hasil TFT tindak lanjut. Percobaan penghentian
dilakukan antara usia 2,5 dan 3 tahun, tetapi beberapa orang tua menghentikan
pengobatan tanpa disarankan untuk melakukannya 22.

Tabel 1. Dosis L-tiroksin untuk anak

3. Cara pemberian levotiroksin secara oral, table dapat dihancurkan dan dicampurkan
dengan air minum, diperlukan edukasi untuk orang tua cara pemberian levotriksin dan
ketaatan pemberiannya. Pemberian levotiroksin dapat diberikan pada pagi hari maupun
malam sebelum makan maupun bersamaan dengan makan asalkan diberikan pada waktu
dan cara yang sama. Pemberian levotiroksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan
susu kedelai, tablet zinc, dan kalsium.
4. Pengambilan keputusan terapi, hasil skring menggunakan kertas saring yang positif (TSH
≥ 20 mU/L) dan harus dikonfirmasi dengan darah serum sebelum dilakukan terapi.
Pengobatan harus dimulai Ketika kadar FT4 rendah, jika kadar TSH tinggi dan FT4
rendah harus segara dirujuk ke dokter spesialis endokrinologi anak atau PPK III.

11
5. Penanganan lebih lanjut dilakukan oleh dokter spesialis konsultan endokrinologi anak
tergantung dari kondisi klinis anak, hasil laboratorium dan pemantauan selanjutnya.
 Kriteria Pengobatan 23
- Bayi baru lahir dengan hasil skrining neonatal abnormal harus dirujuk ke pusat ahli (1/+
+0).
- Hasil skrining abnormal harus diikuti dengan tes konfirmasi yang terdiri dari pengukuran
serum fT4 dan TSH (1/++0).
- Jika konsentrasi fT4 serum di bawah dan TSH jelas di atas interval referensi spesifik usia,
maka pengobatan levothyroxine (LT4) harus segera dimulai (1/+++).
- Jika konsentrasi TSH serum >20 mU/L pada uji konfirmasi (kira-kira pada minggu kedua
kehidupan), pengobatan harus dimulai, bahkan jika fT4 normal (ambang batas sewenang-
wenang, pendapat ahli) (2/+00).
- Jika konsentrasi serum TSH adalah 6-20 mU/L setelah usia 21 hari pada neonatus sehat
dengan konsentrasi fT4 dalam interval referensi spesifik usia, kami menyarankan untuk
segera memulai pengobatan LT4 dan menguji ulang, di luar pengobatan, pada tahap
selanjutnya, atau untuk menahan pengobatan tetapi tes ulang 1 sampai 2 minggu
kemudian dan untuk mengevaluasi kembali kebutuhan pengobatan (kurangnya bukti yang
mendukung atau menentang pengobatan, ini adalah bidang penyelidikan lebih lanjut) (2/+
+0).
- Di negara atau wilayah di mana tes fungsi tiroid tidak tersedia, pengobatan LT4 harus
dimulai jika konsentrasi TSH kertas saring >40 mU/L (pada saat skrining neonatal;
ambang batas sewenangwenang, pendapat ahli) (2/+00).
- Jika serum fT4 rendah, dan TSH rendah, normal atau sedikit meningkat, diagnosis CH
sentral harus dipertimbangkan (1/++0).
- Pada neonatus dengan CH sentral, kami merekomendasikan untuk memulai pengobatan
LT4 hanya setelah bukti fungsi adrenal utuh; jika insufisiensi adrenal sentral yang
menyertai tidak dapat dikesampingkan, pengobatan LT4 harus didahului dengan
pengobatan glukokortikoid untuk mencegah kemungkinan induksi krisis adrenal (2/+00)

12
II. 7 Prognosis

Secara umum, hasil perkembangan saraf pada hipotiroidisme kongenital sangat baik.
Inisiasi terapi dini dan memadai, sebelum minggu ke-2 kehidupan, akan menghasilkan
kecerdasan global yang sesuai. Namun, defisit ringan atau halus dalam keterampilan verbal,
perhatian, memori, atau perkembangan motorik dapat diamati, terutama pada mereka dengan
hipotiroid kongenital berat.

13
BAB 3

KESIMPULAN

Hipotiroid kongenital merupakan gangguan endokrin pada neonatus yang mempengaruhi


1:3000 bayi baru lahir diseluruh dunia. Pada penelitian di Iran terdapat 55,88% pasien anak
terdiagnosis mengalami hipotiroid sementara. Di Indonesia lebih dari 70% pasien terkena
hipotiroid kongenital dengan defisit mental.

Hipotiroid kongenital adalah kelenjar tiroid yang diakibatkan oleh penurunan atau tidak
adanya aksi hormon tiroid, dimana mengacu pada rendahnya kadar hormon tiroid didalam
sirkulasi darah. Penyakit ini mempengaruhi hampir seluruh neonatus didunia , hipotiroid
kongenital lebih sering terjadi pada bayi yang lahir prematur karena kadar TSH dan FT4 lebih
rendah dibanding bayi cukup bulan, Sehingga diperlukan skrining awal dengan pemeriksaan
TSH. Hipotiroid kongenital dengan kelainan pada hipofisis diklasifikasin sebagai hipotiroid
kongenital sekunder dan hipotiroid kongenital dengan kelainan pada hipotalamus
diklasifikasikan sebagai hipotiroid kongenital tersier serta jika terjadi kelainan pada hipofisis dan
hipotamus dapat diklasifikasikan sebagai hipotiroid kongenital sentral.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Mcgrath N, Hawkes CP, Mcdonnell CM, Cody D, O’connell SM, Mayne PD, et al. Incidence of
Congenital Hypothyroidism Over 37 Years in Ireland [Internet]. Available from:
http://publications.aap.org/pediatrics/article-pdf/142/4/e20181199/1065844/peds_20181199.pdf

2. Stoupa A, Kariyawasam D, Muzza M, de Filippis T, Fugazzola L, Polak M, et al. New genetics


in congenital hypothyroidism. Vol. 71, Endocrine. Springer; 2021. p. 696–705.

3. Nazari J, Jafari K, Chegini M, Maleki A, MirShafiei P, Alimohammadi A, et al. Physical and


mental growth and development in children with congenital hypothyroidism: a case–control
study. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2021 Dec 1;16(1).

4. Nasheeda CM, Philip P, Shenoy RD, Shetty S. Diagnostic Utility of Cord Blood Thyroid
Stimulating Hormone in Congenital Hypothyroidism in the Era of Expanded Newborn
Screening. Indian Journal of Clinical Biochemistry. 2018 Oct 1;33(4):461–6.

5. Matejek N, Tittel SR, Haberland H, Rohrer T, Busemann E-M, Jorch N, et al. Predictors of
transient congenital primary hypothyroidism: data from the German registry for congenital
hypothyroidism (AQUAPE “HypoDok”). Available from: https://doi.org/10.1007/s00431-021-
04031-0

6. Maggio MC, Ragusa SS, Aronica TS, Granata OM, Gucciardino E, Corsello G. Neonatal
screening for congenital hypothyroidism in an Italian Centre: a 5-years real-life retrospective
study. Italian Journal of Pediatrics. 2021 Dec 1;47(1).

7. Abbasi F, Janani L, Talebi M, Azizi H, Hagiri L, Rimaz S. Risk factors for transient and
permanent congenital hypothyroidism: a population-based case-control study. Thyroid Research.
2021 Dec 1;14(1).

15
8. Rochmah N, Faizi M, Dewanti C, Suryawan A. Pediatric Quality of Life in Congenital
Hypothyroidism: an Indonesian Study. International Journal of Thyroidology. 2020 Nov
30;13(2):150–4.

9. Kurniawan LB. Congenital Hypothyroidism: Incidence, Etiology and Laboratory Screening


[Internet]. Available from: www.indonesianjournalofclinicalpathology.org

10. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN


2014 TENTANG SKRINNING HIPOTIROID KONGENITAL.

11. Kurniawan LB. Congenital Hypothyroidism: Incidence, Etiology and Laboratory Screening
[Internet]. Available from: www.indonesianjournalofclinicalpathology.org

12. Leung AKC, Leung AAC. Evaluation and management of the child with hypothyroidism. Vol.
15, World Journal of Pediatrics. Institute of Pediatrics of Zhejiang University; 2019. p. 124–34.

13. Ganong WF. . Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta. Jakarta: EGC; 2012.

14. Batubara JRTBAPAB. Buku Ajar Endokrinologi Anak . Edisi Kedua. 2018. 261–267 p.

15. Praktik Klinis P. IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA 2017 Diagnosis dan Tata Laksana
Hipotiroid Kongenital.

16. Al-Qahtani M. Congenital Hypothyroidism. Journal of Maternal-Fetal and Neonatal Medicine.


Taylor and Francis Ltd.; 2020.

17. Sasigarn A. Bowden MG. Congenital Hypothyroidism. The Ohio State University: StatPearls
Publishing, Treasure Island (FL); 2021.

18. WELCOME MESSAGE.

19. Anggraini R, Yudha Patria S, Julia M, Ilmu Kesehatan Masyarakat M, Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran UGM D, Sardjito R. Ketepatan Waktu Pelayanan Skrining Hipotiroidism
Kongenital di Yogyakarta. Vol. 18. 2017.

20. I Ministry of Health Malaysia Malaysia Endocrine & Metabolic Society SCREENING,
DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF CONGENITAL HYPOTHYROIDISM IN
MALAYSIA.

21. HORMON TIROID Dr. MUTIARA INDAH SARI NIP: 132 296 973 2007 Mutiara Indah Sari :
Hormon Tiroid, 2007

22. Yoon, Ju Young. Yoon, Ju Young. Factors associated with permanent hypothyroidism in infants
with congenital hypothyroidism. BMC Pediatric. 2019

16
23. Lauffer P, Zwaveling-Soonawal N, Naafs J, at all. Diagnosis and Management of Central
Congenital Hypothyroidism. Frontiers in Endocrinology, (2021).

24. McGrath N, Hawkes C, Mayne P, Murphy N. Optimal Timing of Repeat Newborn Screening for
Congenital Hypothyroidism in Preterm Infants to Detect Delayed Thyroid-Stimulating Hormone
Elevation. Journal of Pediatrics, (2019), 77-82, 205

25. Bowden SA, Goldis M. book Congenital Hypothyroidism. 2 Agustus 2021.

17
Apa yang menyebabkan infertilitas?
Infertilitas dapat disebabkan oleh sejumlah faktor yang berbeda, baik pada
sistem reproduksi pria atau wanita. Namun, terkadang tidak mungkin untuk
menjelaskan penyebab infertilitas.

Pada sistem reproduksi wanita, infertilitas dapat disebabkan oleh:

gangguan tuba seperti saluran tuba tersumbat, yang pada gilirannya


disebabkan oleh infeksi menular seksual (IMS) yang tidak diobati atau
komplikasi aborsi yang tidak aman, sepsis pascapersalinan atau operasi
perut/panggul;
kelainan rahim yang dapat bersifat inflamasi (seperti endometriosis), bawaan
(seperti rahim bersepta), atau jinak (seperti fibroid);
gangguan ovarium, seperti sindrom ovarium polikistik dan gangguan folikel
lainnya;
gangguan pada sistem endokrin yang menyebabkan ketidakseimbangan
hormon reproduksi. Sistem endokrin meliputi hipotalamus dan kelenjar
pituitari. Contoh gangguan umum yang mempengaruhi sistem ini termasuk
kanker hipofisis dan hipopituitarisme.

Kepentingan relatif dari penyebab infertilitas wanita ini mungkin berbeda


dari satu negara ke negara lain, misalnya karena perbedaan latar belakang
prevalensi IMS, atau perbedaan usia populasi yang diteliti.4

Pada sistem reproduksi pria, infertilitas dapat disebabkan oleh:

obstruksi saluran reproduksi menyebabkan disfungsi dalam ejeksi air mani.


Penyumbatan ini dapat terjadi pada saluran yang membawa air mani (seperti
saluran ejakulasi dan vesikula seminalis). Penyumbatan biasanya disebabkan
oleh cedera atau infeksi pada saluran genital.
gangguan hormonal yang menyebabkan kelainan pada hormon yang
dihasilkan oleh kelenjar hipofisis, hipotalamus dan testis. Hormon seperti
testosteron mengatur produksi sperma. Contoh gangguan yang
mengakibatkan ketidakseimbangan hormon termasuk kanker hipofisis atau
testis.
kegagalan testis untuk menghasilkan sperma, misalnya karena varikokel atau
perawatan medis yang merusak sel penghasil sperma (seperti kemoterapi).
fungsi dan kualitas sperma yang tidak normal. Kondisi atau situasi yang
menyebabkan bentuk (morfologi) dan pergerakan (motilitas) sperma yang
tidak normal berdampak negatif terhadap kesuburan. Misalnya, penggunaan
steroid anabolik dapat menyebabkan parameter semen abnormal seperti
jumlah dan bentuk sperma
Faktor lingkungan dan gaya hidup seperti merokok, asupan alkohol yang berlebihan
dan obesitas dapat mempengaruhi kesuburan. Selain itu, paparan polutan dan racun

18
lingkungan dapat secara langsung menjadi racun bagi gamet (telur dan sperma),
yang mengakibatkan penurunan jumlah dan kualitas gamet, yang menyebabkan
infertilitas.5 6

Mengapa mengatasi infertilitas itu penting?


Setiap manusia berhak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental
yang tertinggi yang dapat dicapai. Individu dan pasangan memiliki hak untuk
memutuskan jumlah, waktu dan jarak kelahiran anak-anak mereka.
Infertilitas dapat meniadakan realisasi hak asasi manusia yang esensial ini.
Oleh karena itu, mengatasi ketidaksuburan merupakan bagian penting dari
mewujudkan hak individu dan pasangan untuk menemukan keluarga

Berbagai macam orang, termasuk pasangan heteroseksual, pasangan sesama


jenis, orang tua, individu yang tidak melakukan hubungan seksual dan
mereka yang memiliki kondisi medis tertentu, seperti beberapa pasangan sero-
diskordan HIV dan penderita kanker, mungkin memerlukan manajemen
infertilitas dan kesuburan. layanan perawatan. Ketidaksetaraan dan
kesenjangan dalam akses ke layanan perawatan kesuburan berdampak buruk
pada penduduk miskin, tidak menikah, tidak berpendidikan, menganggur,
dan populasi terpinggirkan lainnya.

Mengatasi infertilitas juga dapat mengurangi ketidaksetaraan gender.


Meskipun baik wanita maupun pria dapat mengalami kemandulan, namun
wanita yang menjalin hubungan dengan pria seringkali dianggap menderita
infertilitas, terlepas dari apakah mereka infertil atau tidak. Infertilitas
memiliki dampak sosial negatif yang signifikan pada kehidupan pasangan
infertil dan khususnya wanita, yang sering mengalami kekerasan, perceraian,
stigma sosial, stres emosional, depresi, kecemasan dan harga diri rendah.

Di beberapa tempat, ketakutan akan ketidaksuburan dapat menghalangi


wanita dan pria untuk menggunakan kontrasepsi jika mereka merasa
tertekan secara sosial untuk membuktikan kesuburan mereka pada usia dini
karena nilai sosial yang tinggi dari melahirkan. Dalam situasi seperti itu,
pendidikan dan intervensi peningkatan kesadaran untuk mengatasi
pemahaman tentang prevalensi dan faktor penentu kesuburan dan infertilitas
sangat penting.

Mengatasi tantangan
Ketersediaan, akses, dan kualitas intervensi untuk mengatasi infertilitas tetap
menjadi tantangan di sebagian besar negara. Diagnosis dan pengobatan
infertilitas seringkali tidak diprioritaskan dalam kebijakan kependudukan
dan pembangunan nasional serta strategi kesehatan reproduksi dan jarang
tercakup melalui pembiayaan kesehatan masyarakat. Selain itu, kurangnya
personel terlatih serta peralatan dan infrastruktur yang diperlukan, serta
tingginya biaya pengobatan saat ini, merupakan hambatan utama bahkan

19
bagi negara-negara yang secara aktif menangani kebutuhan orang-orang
dengan infertilitas.

Sementara teknologi reproduksi yang dibantu (ART) telah tersedia selama


lebih dari tiga dekade, dengan lebih dari 5 juta anak lahir di seluruh dunia
dari intervensi ART seperti fertilisasi in vitro (IVF), teknologi ini sebagian
besar masih tidak tersedia, tidak dapat diakses dan tidak terjangkau di
banyak bagian negara. dunia, khususnya di negara-negara berpenghasilan
rendah dan menengah (LMIC).

Kebijakan pemerintah dapat mengurangi banyak ketidakadilan dalam akses


ke perawatan kesuburan yang aman dan efektif. Untuk mengatasi infertilitas
secara efektif, kebijakan kesehatan perlu mengakui bahwa infertilitas adalah
penyakit yang sering dapat dicegah, sehingga mengurangi kebutuhan akan
perawatan yang mahal dan sulit diakses. Memasukkan kesadaran kesuburan
dalam program pendidikan seksualitas komprehensif nasional,
mempromosikan gaya hidup sehat untuk mengurangi risiko perilaku,
termasuk pencegahan, diagnosis dan pengobatan dini IMS, mencegah
komplikasi aborsi yang tidak aman, sepsis pascapersalinan dan operasi
perut/panggul, dan mengatasi racun lingkungan yang terkait dengan
infertilitas, adalah intervensi kebijakan dan program yang dapat diterapkan
oleh semua pemerintah.

Selain itu, undang-undang dan kebijakan yang memungkinkan yang


mengatur reproduksi pihak ketiga dan ART sangat penting untuk
memastikan akses universal tanpa diskriminasi dan untuk melindungi dan
mempromosikan hak asasi manusia dari semua pihak yang terlibat. Setelah
kebijakan fertilitas diterapkan, penting untuk memastikan bahwa
implementasinya dipantau, dan kualitas layanan terus ditingkatkan.

Tanggapan WHO
WHO mengakui bahwa penyediaan layanan berkualitas tinggi untuk keluarga
berencana, termasuk layanan perawatan kesuburan, adalah salah satu elemen
inti kesehatan reproduksi. Menyadari pentingnya dan dampak infertilitas
pada kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, WHO berkomitmen
untuk menangani infertilitas dan perawatan kesuburan dengan:

Berkolaborasi dengan mitra untuk melakukan penelitian epidemiologi dan


etiologi global ke dalam infertilitas.
Melibatkan dan memfasilitasi dialog kebijakan dengan negara-negara di
seluruh dunia untuk membingkai ketidaksuburan dalam lingkungan hukum
dan kebijakan yang memungkinkan.
Mendukung pembuatan data tentang beban infertilitas untuk
menginformasikan alokasi sumber daya dan penyediaan layanan.

20
Mengembangkan pedoman tentang pencegahan, diagnosis dan pengobatan
infertilitas pria dan wanita, sebagai bagian dari norma-norma global dan
standar kualitas perawatan yang terkait dengan perawatan kesuburan.
Terus merevisi dan memperbarui produk normatif lainnya, termasuk manual
laboratorium WHO untuk pemeriksaan dan pengolahan air mani manusia.
Berkolaborasi dengan pemangku kepentingan terkait termasuk pusat
akademik, kementerian kesehatan, PBB lainnya organisasi, aktor non-negara
(NSA) dan mitra lainnya untuk memperkuat komitmen politik, ketersediaan
dan kapasitas sistem kesehatan untuk memberikan perawatan kesuburan
secara global.
Memberikan dukungan teknis tingkat negara kepada negara-negara anggota untuk
mengembangkan atau memperkuat implementasi kebijakan dan layanan kesuburan
nasional.

Patofisiologi infertilitas terkait endometriosis

1. Disfungsi tuba ovarium

• Distorsi anatomi ovarium dan tabung

• Kegagalan ovulasi

21
• Hiperprolaktinemia

• LUF (folikel luteinized un-ruptured)

• Perkembangan folikel yang tidak normal

• Berkurangnya perkembangan folikel

• Penurunan produksi estrogen

• Peningkatan apoptosis granulosa sel

2. Gangguan imunologis

Antibodi anti endometrium

3. Peritoneum abnormal

Lingkungan Peningkatan cairan peritoneum dan tinggi konsentrasi sitokin Makrofag yang
diaktifkan

4. Endometrium yang tidak teratur fungsi

22

Anda mungkin juga menyukai