Anda di halaman 1dari 26

Hipotiroid Kongenital

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI... 1
BAB I. PENDAHULUAN.. 2
BAB II. ISI... 3
A. Anatomi kelenjar tiroid.... 3
B. Fisiologi kelenjar tiroid............... 3
C. Definisi............. 5
D. Epidemiologi..... 6
E. Etiologi.. 6
F. Patofisiologi.. 8
G. Tipe Hipotiroidisme.. 10
H. Manifestasi Klnik. 11
I. Diagnosis..... 13
J. Diagnosis Banding...19
K. Penatalaksanaan 19
L. Prognosis... ...21
BAB III. PENUTUP.. 22
DAFTAR PUSTAKA 23

BAB I
Pendahuluan
Hipotiroid kongenital adalah kelainan bawaan dengan kadar hormon tiroid (T3 danT4) di
sirkulasi darah yang kurang dengan kadar TSH yang meningkat. Kelainan ini diketahui sebagai
penyebab terjadinya keterbelakangan mental dan kecacatan fisik pada anak- anak. Produksi
hormon tiroid yang berkurang disebabkan karena berbagai hal antara lain: kelainan pada kelenjar
pituitari, hipotalamus atau tiroid, yang menyebabkan proses metabolism karbohidrat di dalam
tubuh mengalami keterlambatan. Telah diketahui bahwa hormon tiroid merupakan salah satu
hormon yang sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme yang bcrperan pada pertumbuhan
dan perkembangan, termasuk perkembangan otak dan kematangan organ seks. Kebutuhan
hormon tiroid pada segala tingkat usia sangat diperlukan, terutama sangat berperan pada masa
bayi dan anak- anak yaitu masa dimana tumbuh kernbang sedang terjadi pada diri seseorang.4
Hipotiroid kongenital di dapat 1: 2500 sampai 4000 bayi baru lahir dan merupakan salah satu
penyebab gangguan pertumbuhan fisik maupun psikis dan bila tidak diobati secara dini akan
menjadi kelainan yang menetap. Kelainan ini dapat berupa kretinism atau cebol yang disertai
dengan gangguan keterbelakangan mental. Pengobatan dini pada kasus hipotiroid kongenital,
sampai usia bayi mencapai 3 bulan, dapat meningkatkan nilai IQ diatas 85% pada saat anak
sudah mencapai dewasa.4
Prevalensi rata-rata hipotiroid kongenital di Asia adalah 1 diantara 2.720 bayi di daerah non
endemis iodium (hipotiroid kongenital sporadik) dan 1 : 1000 hipotiroid kongenital endemis di
daerah defisiensi iodium. Penelitian di daerah Yogyakarta menunjukkan angka kejadian 1 : 1500
hipotiroid kongenital sporadik dan 1 : 1300 bayi menderita hipotiroid transien karena kekurangan
iodium (endemis). Kekurangan hormon tiroid atau hipotiroid pada awal masa kehidupan anak,
baik permanen maupun transien akan mngakibatkan hambatan pertumbuhan dan retardasi
mental. Angka kejadian hipotiroid kongenital di Indonesia belum diketahui, namun apabila
mengacu pada angka kejadian di Asia dan di Yogyakarta, maka di Indonesia, dengan angka
kelahiran sekitar 5 juta per tahun, diperkirakan sebanyak 1.765 sampai 3200 bayi dengan
hipotiroid kongenital dan 966 sampai 3.200 bayi dengan hipotiroid kongenital transien karena
kekurangan iodium, lahir setiap tahunnya.3
BAB II
ISI
A. Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terletak di leher, antara fasia koli media dan fasia prevertebralis. Di dalam
ruang yang sama terletak trakea, esofagus, pembuluh darah besar, dan saraf. Kelenjar tiroid
melekat pada trakea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Arteri
karotis komunis, arteri jugularis interna, dan nervus vagus terletak bersama di dalam sarung
tertutup do laterodorsal tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring.
Nervus frenikus dan trunkus simpatikus tidak masuk ke dalam ruang antara fasia media dan
prevertebralis.

B. Fisiologi Kelenjar Tiroid


Biosintesis hormone tiroid merupakan suatu urutan langkah-langkah proses yang diatur oleh
enzim-enzim tertentu. Langkah-langkah terbut adalah:
1. Penangkapan yodida
2. Oksidasi yodida menjadi yodium
3. Organifikasi yodium menjadi monoyodotirosin dan diyodotirosin
4. Proses penggabungan prekusor yang teryodinasi
5. Penyimpanan
6. Pelepasan hormon
Penangkapan yodida oleh sel-sel foikel tiroid merupakan suatu proses aktif dan
membutuhkan energi. Energi ini didapatkan dari metabolisme oksidatif dalam kelenjar. Yodida
yang teredia untuk tiroid berasal dari yodida dalam makanan atau air, atau yang dilepaskan pada
deyodinasi hormone tiroid atau bahan-bahan yang mengalami yodinasi. Tiroid mengambil dan
mengonsentrasikan yodida 20 hingga 30 kali kadarnya dalam plasma. Yodiada diubah menjadi
yodium, dikatalis oleh enzim yodida peroksida. Yodium kemudian digambungkan dengan
molekul tirosin, yaiitu proses yang disebut organifikasi yodium. Proses ini terjadi pada interfase
sel-koloid. Senyawa yang terbentuk, monoyodotirosin dan diyodotirosin, kemudian digabungkan
sebagai berikut: dua molekul diyodotirosin membentuk tiroksin (T4), satu molekul diyodotirosin
dan satu molekul monoyodotirosin membentuk triyodotirosin (T3). Penggabungan senyawa-
senyawa ini dan penyimpanan hormone yang dihasilkan berlangsung dalam tiroglobulin.
Pelepasan hormone dari tempat penyimpanan terjadi dengan masuknya tetes-tetes koloid ke
dalam sel-sel folikel dengan proses yang disebut pinositosis. Didalam sel-sel ini tiroglobulin
dihidrolisis dan hormone dilepaskan ke dalam sirkulasi. Berbagai langkah yang dijelaskan
tersebut dirangsang oleh tirotropin (thyroid stimulating hormone [TSH]).11
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin. Bentuk aktif hormon ini
adalah triiodotironin yang sebagian besar berasal dari konversi hormon tiroksin di perifer, dan
sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh
kadar hormon perangsang tiroid (Thyroid Stimulating Hormon) yang dihasilkan oleh lobus
anterior kelenjar hipofisis. Kelenjar ini secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh
kadar hormon tiroid dalam sirkulasi, yang bertindak sebagai umpan balik negatif terhadap lobus
anterior hipofisis dan terhadap sekresi hormon pelepas tirotropin dari hipothalamus. Hormon
tiroid mempunyai pangaruh yang bermacam-macam terhadap jaringan tubuh yang berhubungan
dengan metabolisme sel.
Kelenjar tiroid juga mengeluarkan kalsitonin dari sel parafolikuler. Kalsitonin adalah
polipeptida yang menurunkan kadar kalsium serum, mungkin melalui pengaruhnya terhadap
tulang.
Hormon tiroid memang suatu hormon yang dibutuhkan oleh hampir semua proses tubuh
termasuk proses metabolisme, sehingga perubahan hiper atau hipotiroidisme berpengaruh atas
berbagai peristiwa. Efek metaboliknya antara lain adalah termoregulasi, metabolisme protein,
metabolisme karbohidrat, metabolisme lemak, dan vitamin A.
Status tiroid seseorang ditentukan oleh kecukupan sel atas hormon tiroid dan bukan kadar
normal hormon tiroid dalam darah. Ada beberapa prinsip faal dasar yang perlu diingat kembali.
Pertama bahwa hormon yang aktif adalah free-hormon. Kedua bahwa metabolisme sel
didasarkan adanya free T3 bukan free T4. ketiga bahwa distribusi enzim deyodinasi I, II, dan III
(DI, DII, DIII) di berbagai organ tubuh berbeda, dimana DI banyak ditemukan di hepar, ginjal,
dan tiroid. DII utamanya di otak, hipofisis dan DIII hampir seluruhnya di jaringan fetal (otak,
plasenta). Hanya DI yang direm oleh PTU.1
TSH adalah hormon yang terdiri dari glikoprotein yang diproduksi oleh kelenjar hipofise
anterior, dan merupakan hormon primer yang bertanggung jawab untuk menstimulasi sintesa dan
sekresi hormon- hormon tiroid antara lain T3 dan T4. Sekresi hormon TSH dipengaruhi oleh
hormon Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) yang diproduksi oleh kelenjar hipotalamus.
Hormon TRH, TSH, T3 maupun T4 bekerja dalam suatu mekanisme umpan balik pada kelenjar
hipotalamus, hipofise anterior dan kelenjar tiroid. Pada keadaan kadar honnon T3 dan T4 yang
meningkat maka akan terjadi mekanisme umpan balik secara negatif terhadap kelenjar
hipotalamus dan hipofise sehingga akan menurunkan produksi dari hormon TRH dan TSH. Hal
ini akan terjadi pada keadaan sebaliknya dimana kadar T3 dan T4 rendah maka akan terjadi
mekanisme umpan balik positif terhadap kelenjar hipotalamus dan hipofise sehingga akan
menaikan produksi hormon TRH dan TSH.4
Fungsi dari hormon-hormon tiroid antara lain adalah:
1. Mengatur laju metabolisme tubuh. Baik T3 dan T4 kedua-duanya meningkatkan metabolisme karena
peningkatan komsumsi oksigen dan produksi panas. Efek ini pengecualian untuk otak, lien, paru-paru
dan testes.
2. Kedua hormon ini tidak berbeda dalam fungsi namun berbeda dalam intensitas dan cepatnya reaksi.
T3 lebih cepat dan lebih kuat reaksinya tetapi waktunya lebih singkat dibanding dengan T4. T3 lebih
sedikit jumlahnya dalam darah. T4 dapat dirubah menjadi T3 setelah dilepaskan dari folikel kelenjar.
3. Memegang peranan penting dalam pertumbuhan fetus khususnya pertumbuhan saraf dan tulang.
4. Mempertahankan sekresi GH dan gonadotropin
5. Efek kronotropik dan Inotropik terhadap jantung yaitu menambah kekuatan kontraksi otot dan
menambah irama jantung.
6. Merangsang pembentukan sel darah merah
7. Mempengaruhi kekuatan dan ritme pernapasan sebagai kompensasi tubuh terhadap kebutuhan
oksigen akibat metabolism
8. Bereaksi sebagai antagonis insulinTirokalsitonin mempunyai jaringan sasaran tulang dengan fungsi
utama menurunkan kadar kalsium serum dengan menghambat reabsorpsi kalsium di tulang. Faktor
utama yang mempengaruhi sekresi kalsitonin adalah kadar kalsium serum. Kadar kalsium serum
yang rendah akan menekan pengeluaran tirokalsitonin dan sebaliknya peningkatan kalsium serum
akan merangsang pengeluaran tirokalsitonin. Faktor tambahan adalah diet kalsium dan sekresi gastrin
di lambung.16

C. Definisi
Hipotiroid Kongenital adalah penyakit bawaan akibat kekurangan hormon tiroid. Hormon
tiroid adalah hormon yang dihasilkan kelenjar tiroid yang mempunyai peran penting dalam
pertumbuhan, metabolisme, dan pengaturan cairan tubuh.2

D. Epidemiologi
Hipotiroid kongenital merupakan kelainan endokrin kongenital yang paling sering, dapat
terjadi pada 1 dari 3000 sampai 4000 bayi baru lahir.7,8,9 Penyakit ini dapat terjadi secara
transient, namun lebih sering terjadi secara permanen.9 Hipotiroid, termasuk yang kongenital,
paling sering terjadi karena defisiensi iodine.9 Hipotiroid neonatal disebabkan oleh disgenesis
pada 80-85%, karena dishormogenesis pada 10-15%, dan antibodi TSH-R pada 5% populasi.
Kelainan ini terjadi dua kali lebih sering pada anak perempuan.9 Hipotiroid kongenital biasanya
bersifat sporadik, namun sampai 2% dari disgenesis tiroid bersifat familial, dan hipotiroid
kongenital yang disebabkan oleh defek organifikasi biasanya diturunkan resesif.10 Mutasi yang
menyebabkan hipotiroid kongenital semakin banyak ditemukan, namun penyebab dari sebagian
besar populasi masih tidak diketahui.9
E. Etiologi
Beberapa defek genetik dikaitkan dengan terjadinya hipotiroid kongenital yang permanen.
Diketahui bahwa faktor imunologik, lingkungan, dan iatrogenik (tapi bukan genetik) dapat
menyebabkan hipotiroid kongenital yang transient, yang dapat sembuh secara spontan dalam
bulan pertama kehidupan.7
Penyebab dari hipotiroid kongenital dihubungkan dengan terjadainya defek pada protein-
protein yang berperan dalam sistesis hormon tiroid dan defek pada faktor transkripsi yang
berperan dalam pembentukan/perkembangan kelenjar tiroid. Namun, kasus yang demikian hanya
terjadi pada persentasi yang kecil dari populasi hipotiroid kogenital, penyebab dari sebagian
besar populasinya masih tidak diketahui.5,7
Hipotiroid kongenital yang transient dapat disebabkan oleh defisiensi iodine, paparan
terhadap iodine yang berlebih pada saat periode perinatal, atau paparan pada fetus oleh thyriod-
blocking antibodies yang diperoleh secara maternal atau obat antitiroid yang dikonsumsi oleh
wanita hamil dengan penyakit tiroid autoimun. Disfungsi tiroid kongenital dapat juga merupakan
akibat dari lahir yang prematur, dishormogenesis tiroid ringan, atau kehilangan protein karena
nefrosis (pada kasus yang jarang).5,7
Dosis OAT (Obat Anti Tiroid) berlebihan menyebabkan hipotiroidisme. Dapat juga terjadi
pada pemberian litium karbonat pada pasien psikosis. Hati-hatilah menggunakan fenitoin dan
fenobarbital sebab meningkatkan metabolisme tiroksin di hepar. Kelompok kolestiramin dan
kolestipol dapat mengikat hormon tiroid di usus. Defisiensi yodium berat serta kelebihan yodium
kronis menyebabkan hipotiroidisme dan gondok, tetapi sebaliknya kelebihan akut menyebabkan
IIT (iodine induced thyrotoxcisos). Bahan farmakologis yang menghambat sintesis hormon tiroid
yaitu tionamid (MTU, PTU, karbimazol), perklorat, sulfonamid, yodida dan yang meningkatkan
katabolisme atau penghancuran hormon tiroid yaitu fenitoin, fenobarbital, yang menghambat
jalur enterohepatik hormon tiroid yaitu kolestipol dan kolestiramin.
Obat anti tiroid yang dianjurkan ialah golongan tionamid yaitu propilthiourasil (PTU) dan
carbamizole (Neo Mercazole) . Yodida merupakan kontraindikasi untuk diberikan karena dapat
langsung melewati sawar plasenta dan dengan demikian mudah menimbulkan keadaan hipotiroid
janin. Wanita hamil dapat mentolerir keadaan hipertiroid yang tidak terlalu berat sehingga lebih
baik memberikan dosis OAT yang kurang dari pada berlebih. Bioavilibilitas carbamizole pada
janin 4 kali lebih tinggi dari pada PTU sehingga lebih mudah menyebabkan keadaan
hipotiroid. Melihat hal-hal tersebut maka pada kehamilan PTU lebih terpilih. PTU mula-mula
diberikan 100-150 mg tiap 8 jam. Setelah keadaan eutiroid tercapai (biasanya 4-6 minggu setelah
pengobatan dimulai), diturunkan menjadi 50 mg tiap 6 jam dan bila masih tetap eutiroid dosisnya
diturunkan dan dipertahankan menjadi 2 kali 50 mg/hari. Idealnya hormon tiroid bebas dipantau
setiap bulan. Kadar T4 dipertahankan pada batas normal dengan dosis PTU 100 mg/hari. Bila
tirotoksikosis timbul lagi, biasanya pasca persalinan, PTU dinaikkan sampai 300 mg/hari. Efek
OAT terhadap janin dapat menghambat sintesa hormon tiroid. Selanjutnya hal tersebut dapat
menyebabkan hipotiroidisme sesaat dan struma pada bayi, walaupun hal ini jarang terjadi. Pada
ibu yang menyusui yang mendapat OAT, OAT dapat keluar bersama ASI namun jumlah PTU
kurang dibandingkan carbamizole dan bahaya pengaruhnya kepada bayi sangat kecil, meskipun
demikian perlu dilakukan pemantauan pada bayi seketat mungkin.
Kelenjar tiroid bekerja di bawah pengaruh kelenjar hipofisis, tempat diproduksi hormon
tirotropik. Hormon ini mengatur produksi hormon tiroid yaitu tiroksin dan tri-iodotironin. Kedua
hormon tersebut dibentuk dari monoiodo-tirosin dan diiodo-tirosin. Untuk ini diperlukan
yodium. T3 dan T4 diperlukan dalam proses metabolik di dalam badan, lebih-lebih pada
pemakaian oksigen. Selain itu ia merangsang sintesis protein dan mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, lemak dan vitamin. Hormon ini juga diperlukan untuk mengolah karoten menjadi
vitamin A. Untuk pertumbuhan badan, hormon ini sangat dibutuhkan, tetapi harus bekerja sama
dengan growth hormon.15
Berdasarkan pada kelainan heterogenous genetiknya terdapat dua kelompok utama kelainan:
yang menyebabkan disgenesis kelenjar tiroid, dan yang menyebabkan dishormogenesis. Gen
yang terkait dengan disgenesis kelenjar tiroid antara lain adalah reseptor TSH pada hipotiroid
kongenital tanpa gejala, dan GS serta faktor transkripsi tiroid (TTF-1, TTF-2, dan Pax-8). Yang
menyebabkan dishormogenesis antara lain adalah defek pada gen thyroid peroxidase dan gen
thyroglobulin, PDS (pendred syndrome), NIS (sodium iodine symporter), dan THOX2 (thyroid
oxidase 2). Ada pula bukti awal yang mengarahkan pada kelompok ketiga dari hipotiroid
kongenital yang terkait dengan defek pada transposter iodothyronine yang terkait dengan
gangguan neurologik berat.6,8 Sedangkan menurut Genetics Home Reference bahwa Mutasi di
DUOX2 , PAX8 , SLC5A5 , TG , TPO , TSHB , dan TSHR gen menyebabkan hipotiroidisme
kongenital. mutasi gen menyebabkan hilangnya fungsi tiroid dalam salah satu dari dua cara.
Mutasi pada gen PAX8 dan beberapa mutasi pada gen TSHR mencegah atau mengganggu
perkembangan normal dari kelenjar tiroid sebelum kelahiran. Mutasi di DUOX2, SLC5A5, TG,
TPO, dan gen TSHB mencegah atau mengurangi produksi hormon tiroid, meskipun kelenjar
tiroid hadir. Mutasi pada gen lain yang belum juga ditandai juga dapat menyebabkan
hipotiroidisme congenital.12

F. Patofisiologi
Patofisiologi hipotiroidisme didasarkan atas masing-masing penyebab yang dapat
menyebabkan hipotiroidisme, yaitu :
1. Hipotiroidisme sentral (HS)
Apabila gangguan faal tiroid terjadi karena adanya kegagalan hipofisis, maka disebut
hipotiroidisme sekunder, sedangkan apabila kegagalan terletak di hipothalamus disebut
hipotiroidisme tertier. 50% HS terjadi karena tumor hipofisis. Keluhan klinis tidak hanya karena
desakan tumor, gangguan visus, sakit kepala, tetapi juga karena produksi hormon yang berlebih
(ACTH penyakit Cushing, hormon pertumbuhan akromegali, prolaktin galaktorea pada wanita
dan impotensi pada pria). Urutan kegagalan hormon akibat desakan tumor hipofisis lobus
anterior adalah gonadotropin, ACTH, hormon hipofisis lain, dan TSH.
2. Hipotiroidisme Primer (HP)
Hipogenesis atau agenesis kelenjar tiroid. Hormon berkurang akibat anatomi kelenjar. Jarang
ditemukan, tetapi merupakan etiologi terbanyak dari hipotiroidisme kongenital di negara barat.
Umumnya ditemukan pada program skrining massal. Kerusakan tiroid dapat terjadi karena:
1) Pascaoperasi
Strumektomi dapat parsial (hemistrumektomi atau lebih kecil), subtotal atau total. Tanpa
kelainan lain, strumektomi parsial jarang menyebabkan hipotiroidisme. Strumektomi subtotal M.
Graves sering menjadi hipotiroidisme dan 40% mengalaminya dalam 10 tahun, baik karena
jumlah jaringan dibuang tetapi juga akibat proses autoimun yang mendasarinya.
2) Pascaradiasi
Pemberian RAI (Radioactive iodine) pada hipertiroidisme menyebabkan lebih dari 40-50%
pasien menjadi hipotiroidisme dalam 10 tahun. Tetapi pemberian RAI pada nodus toksik hanya
menyebabkan hipotiroidisme sebesar <5%. Juga dapat terjadi pada radiasi eksternal di usia <20
tahun : 52% 20 tahun dan 67% 26 tahun pascaradiasi, namun tergantung juga dari dosis radiasi.
3) Tiroiditis autoimun.
Disini terjadi inflamasi akibat proses autoimun, di mana berperan antibodi antitiroid, yaitu
antibodi terhadap fraksi tiroglobulin (antibodi-antitiroglobulin, Atg-Ab). Kerusakan yang luas
dapat menyebabkan hipotiroidisme. Faktor predisposisi meliputi toksin, yodium, hormon
(estrogen meningkatkan respon imun, androgen dan supresi kortikosteroid), stres mengubah
interaksi sistem imun dengan neuroendokrin. Pada kasus tiroiditis-atrofis gejala klinisnya
mencolok. Hipotiroidisme yang terjadi akibat tiroiditis Hashimoto tidak permanen.
4) Tiroiditis Subakut.
(De Quervain) Nyeri di kelenjar/sekitar, demam, menggigil. Etiologi yaitu virus. Akibat nekrosis
jaringan, hormon merembes masuk sirkulasi dan terjadi tirotoksikosis (bukan hipertiroidisme).
Penyembuhan didahului dengan hipotiroidisme sepintas.
5) Dishormogenesis
Ada defek pada enzim yang berperan pada langkah-langkah proses hormogenesis. Keadaan ini
diturunkan, bersifat resesif. Apabila defek berat maka kasus sudah dapat ditemukan pada
skrining hipotiroidisme neonatal, namun pada defek ringan, baru pada usia lanjut.
6)
Karsinoma.
Kerusakan tiroid karena karsinoma primer atau sekunder, amat jarang.
3. Hipotiroidisme sepintas.
Hipotiroidisme sepintas (transient) adalah keadaan hipotiroidisme yang cepat menghilang.
Kasus ini sering dijumpai. Misalnya pasca pengobatan RAI, pasca tiroidektomi subtotalis. Pada
tahun pertama pasca operasi morbus Graves, 40% kasus mengalami hipotiroidisme ringan
dengan TSH naik sedikit. Sesudah setahun banyak kasus pulih kembali, sehingga jangan tergesa-
gesa memberi substitusi. Pada neonatus di daerah dengan defisiensi yodium keadaan ini banyak
ditemukan, dan mereka beresiko mengalami gangguan perkembangan saraf.

G. Tipe Hipotiroidism
Hipotiroidisme kongenital terdiri dari hipotiroidisme kongental primer dan sekunder. Untuk
hipotiroidisme kongenital primer, kerusakan terjadi pada bagian tiroid. Untuk kondisi ini kita
dapat membagi pasien dengan hipotiroidisme kongenital primer ke dalam 4 kelompok. 6 sebagai
berikut:
1. Tidak Adanya Kelenjar Tiroid (Athyrosis)
Pada kelompok ini, kelenjar tiroid gagal terbentuk sebelum kelahiran. Kelenjar tersebut absen
dan tidak akan pernah dapat berkembang, sehingga sebagai konsekuensinya tidak ada hormon
tiroksin yang diproduksi. Kondisi ini disebut Agenesis Tiroid atau Atirosis. Kondisi ini lebih
sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki, sekitar 2:1. Kondisi ini ditemukan
pada 1 dari 10.000 bayi lahir, dan merupakan 35% kasus yang ditemukan pada Newborn
Screening. Alasan mengapa hormon tiroid gagal berkembang belum diketahui. Namun, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa salah satu kaskade pada gen yang berperan dalam pembentukan
kelenjar tiroid tidak teraktivasi tepat pada waktunya.6

2. Kelenjar Tiroid Ektopik


Pada bayi dengan kondisi ini, kelenjar tiroid berukuran kecil dan tidak terletak secar normal
pada posisinya di depan trakea. Seringkali kelenjar tiroid ditemukan di bawah lidah di dekat
lokasi di mana kelenjar pertama kali terbentuk pada embrio. Tiroid ektopik memiliki derajat
fungsi yang berbeda-beda. Terkadang ukurannya sangat kecil dan tidak aktif, namun pada
kondisi tertentu masih dapat menghasilkan hormon tiroid yang jumlahnya hampir mencapai
normal, oleh karena itu ada derajat keparahan pada kondisi ini. Setelah kelahiran, kelenjar tiroid
ektopik tidak akan bertambah besar dan turun pada posisi normalnya. Fungsinya pun akan
semakin menurun seiring perjalanan waktu.
Kelenjar tiroid ektopik juga dua kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Kondisi
tersebut merupakan 50% dari yang terdeteksi pada Newborn Screening dan sedikit lebih sering
terjadi dibandingkan atirosis. Penyebab pastinya juga tidak diketahui, namun penyebab yang
sama seperti pada atirosis dapat menimbulkan kondisi ini.6
3. Malformasi Kelenjar Tiroid pada Posisi Normal (Hypoplasia)
Kondisi ini terkadang disebut sebagai Hipoplasia Thyroid dan hanya terjadi dengan
persentase yang sangat kecil pada total seluruh kasus. Pada hipoplasia tiroid, kelenjar berukuran
kecil, tidak terbentuk secara optimal dan terkadang hanya memiliki satu lobus.6
4. Kelenjar Tiroid Tumbuh dengan Normal Namun Tidak Dapat Berfungsi Optimal
(Dysmorphogenesis)
Kondisi ini merupakan 15% dari kasus yang ditemukan pada Neonatal Screening.
Dismorfogenesis seringkali terjadi akibat defek enzim tertentu, yang dapat bersifat transien
maupun permanen. Pada bayi dengan dismorfogenesis, ukuran kelenjar tiroid mengalami
pembesaran dan dapat dilihat atau diraba pada bagian depan.6

H. Manifestasi Klinis
Pada neonatus, gejala khas hipotiroidisme seringkali tidak tampak dalam beberapa minggu
pertama kehidupan. Hanya 10-15% bayi baru lahir hipotiroidisme yang datang dengan
manifestasi klinik mencurigakan, yang membuat dokter waspada akan kemungkinan
hipotiroidisme.4,5,8 Salah satu tanda yang paling khas dari hipotiroidisme kongenital pada bayi
baru lahir adalah fontanela posterior terbuka dengan sutura cranial yang terbuka lebar akibat
keterlambatan maturasi skeletal prenatal. Kelambatan maturasi tulang, dapat dinilai dengan
pemeriksaan radiologik pada daerah femoral distal lutut, tidak hanya untuk kepentingan
diagnostik, tetapi juga menggambarkan berat serta lamanya penyakit in utero. Gejala berikutnya
yang paling sering adalah hernia umbilikalis, namun kurang spesifik. Sebagian besar pasien
memiliki berat lahir besar untuk kehamilan (di atas 3,5 kg dengan periode kehamilan lebih dari
40 minggu). Kurang dari separuh pasien didapatkan ikterus berkepanjangan pada awal
kehidupannya. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin untuk terjadinya hipotiroidisme
kongenital. Tanda dan gejala lain yang jarang terlihat adalah konstipasi (Riwayat BAB pertama >
20 jam setelah lahir dan sembelit ), hipotonia, suara tangis serak, kesulitan makan atau menyusui,
bradikardi dan kulit kering dan kasar. Selain itu, bayi dengan hipotiroidisme kongenital memiliki
insiden anomaly kongenital lain lebih tinggi, namun kemaknaannya tidak jelas. Berbagai
anomali congenital pada bayi hipotiroidisme kongenital yang diidentifikasi melalui program
skrining hipotiroidisme, antara lain penyakit jantung bawaan, penyimpangan kromosom,
kelainan tulang, dan sindrom rambut terbelah.4,8,9,10

Signs and Symptoms of Hypothyroidism (Descending Order of Frequency)


Symptoms Signs
Tiredness, weakness Dry coarse skin; cool peripheral
Dry skin extremities
Feeling cold Puffy face, hands, and feet (myxedema)
Hair loss Diffuse alopecia
Difficulty concentrating and poor memory Bradycardia
Constipation Peripheral edema
Weight gain with poor appetite Delayed tendon reflex relaxation
Dyspnea Carpal tunnel syndrome
Hoarse voice Serous cavity effusions
Menorrhagia (later oligomenorrhea or
amenorrhea)
Paresthesia
Impaired hearing
Sumber: Harrison 17th edition

Apabila keadaan hipothyroid ini tidak ditangani selama masa neonatus dan bayi, maka akan
dapat menyebabkan kelainan yang lebih berat berupa:
1. Keterlambatan Pertumbuhan
Walaupun tiroksin tampaknya tidak begitu diperlukan untuk pertembuhan sebelum kelahiran,
namun sangat esensial untuk pertumbuhan normal setelah kelahiran. Jika seorang bayi memilki
defisiensi tiroid yang tidak ditangani, ia akan memiliki postur yang kecil pada masa bayi maupun
kanak-kanak dan berujung pada postur yang sangat pendek. Keterlambatan pertumbuhan ini
mempengaruhi seluruh bagian tubuh termasuk tulang.6
2. Keterlambatan Perkembangan Mental
Retardasi intelektual dapat terjadi pada kondisi kekurangan tiroksin. Derajat retardasi
bergantung pada keparahan defisiensi hormon tiroid. Jika hanya ada kekurangan parsial tiroksin,
kelainan mental minimal dapat terjadi.4,5 Ketika tiroksin sepenuhnya tidak ada dan bayi tidak
mendapatkan penanganan, retardasi mental yang parah mungkin dapat terjadi. Namun, kondisi
ini tidak akan terjadi jika penatalaksanaan dilakukan sejak awal.5,8,10
3. Jaundice Persisten
Secara normal, kondisi jaundice adalah kondisi yang fisiologis yang dapat terjadi pada
neonatus yang berlangsung selama 1-2 minggu. Namun pada kondisi hipotiroidisme yang tidak
ditangani (untreated hypothiroidism), jaundice dapat berlangsung lebih dari waktu yang
normal.4,5,10
Enzim glukoronil teransferase merupakan enzim yang mengkatatalisis proses konjugasi
bilirubin di dalam hepatosit. Pada hipotiroid aktivitas enzim ini menurun sehingga terjadi
penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dari hepatosit ke dalam usus. Hal ini menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi. Peningkatan rasio klesterol-fosfolipid pada
membran hepatosit dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada proses pengambilan bilirubin
tak terkonjugasi oleh hepatosit. Gangguan karena penningkatan rasio kolesterol fosfolipid ini
mengganggu kelarutan bahanbahan yang akan memasuki sel hepatosit, salah satunya adalah
bilirubin tak terkonjugasi yang berasal dari siklus enterohepatik. Selain itu tejadi juga gangguan
kerja dari enzim Na+, K+-ATPase yang merupkan enzim yang berperan dalam proses up take
bilirubin oleh hati yang terjadi melalui suatu proses transport aktif.

I. Diagnosis
1. Anamnesis
Tanpa adanya skrining pada bayi baru lahir, pasien sering datang terlambat dengan keluhan
retardasi perkembangan disertai dengan gagal tumbuh atau perawakan pendek. Pada beberapa
kasus pasien datang dengan keluhan pucat. Pada bayi baru lahir sampai usia 8 minggu keluhan
tidak spesifik. Perlu ditanya riwayat gangguan tiroid dalam keluarga, penyakit ibu saat hamil,
obat anti tiorid yang sedang diminum dan terapi sinar.14
Dari anamnesis dapat digali berbagai gejala yang mengarah kepada hipotiroid kongenital
seperti ikterus lama, letargi, konstipasi, nafsu makan menurun dan kulit teraba dingin. Selain itu,
didapat pertumbuhan anak kerdil, ekstremitas pendek, fontanel anterior dan posterior terbuka
lebih lebar, mata tampak berjauhan dan hidung pesek. Mulut terbuka, lidah yang tebal dan besar
menonjol keluar, gigi terlambat tumbuh. Leher pendek dan tebal, tangan besar dan jari-jari
pendek, kulit kering, miksedema dan hernia umbilikalis.perkembangan terganggu, otot hipotonik
kadang dapat ditemukan hipertrofi otot generalisata sehingga menghasilkan tampakan tubuh
berotot. Perlu pula digali adanya riwayat keluarga dengan hipothyroidisme, terutama kedua
orang tua. Penting juga mengevaluasi riwayat kehamilan untuk mengetahui pengobatan yang
mungkin didapat ibu selama hamil, terutama yang bekerja mempengaruhi sintesis dan kerja
hormon thyroid atau kelainan lainnya.5,8,9,10
2. Gejala Klinis
Indeks hipotiroidisme kongenital merupakan ringkasan tanda dan gejala yang paling sering
terlihat pada hipotiroidisme kongenital. Dicurigai adanya hipotiroid bila skor indeks hipothyroid
kongenital > 5. Tetapi, tidak adanya gejala atau tanda yang tampak tidak menyingkirkan
kemungkinan hipotiroid kongenital.

Tabel : Skoring hipotiroid kongenital

Gejala Klinis
Hernia umbilicalis 2
Kromosom Y tidak ada (wanita) 1
Pucat, dingin, hipotermi 1
Tipe wajah khas edematus 2
Makroglosi 1
Hipotoni 1
Ikterus lebih dari 3 hari 1
Kulit kasar, kering 1
Fontanella posterior terbuka (>3cm) 1
Konstipasi 1
Berat badan lahir > 3,5 kg 1
Kehamilan > 40 minggu 1
Total 15

3. Laboratorium
Penyakit hipotiroid kongenital dapat dideteksi dengan tes skrining, yang dilakukan dengan
pemeriksaan darah pada bayi baru lahir atau berumur 3 hari atau minimal 36 jam atau 24 jam
setelah kelahiran. Tes skrining dilakukan melalui pemeriksaan darah bayi. Darah bayi akan
diambil sebelum ibu dan bayi meninggalkan rumah sakit bersalin. Jika bayi dilahirkan di rumah,
bayi diharapkan dibawa ke rumah sakit / dokter sebelum usia 7 hari untuk dilakukan
pemeriksaan ini. Darah diambil melalui tusukan kecil pada salah satu tumit bayi, lalu diteteskan
beberapa kali pada suatu kertas saring (kertas Guthrie) dan setelah mengering dikirim ke
laboratorium.4,5 Adapun pemeriksaannya ada tiga cara, yaitu:
a) Pemeriksaan primer TSH.
b) Pemeriksaan T4 ditambah dengan pemeriksaan TSH dari sampel darah yang sama, bila hasil T4
rendah.
c) Pemeriksaan TSH dan T4 sekaligus pada satu sampel darah.
Nilai cut-off adalah 25 mU/ml. Bila nilai TSH < 25 >50 mU/ml dianggap abnormal dan perlu
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan TSH dan T4 plasma. Bila kadar TSH tinggi > 40 mU/ml
dan T4 rendah, Bayi dengan kadar TSH diantara 25-50 mmU/ml, dilakukan pemeriksaan ulang
2-3 minggu kemudian.4

Pemeriksaan penunjang lainnya yang penting dilakukan, antara lain:


a) Darah, air kemih, tinja, kolesterol serum.
b) T3, T4, TSH.
c) Radiologis :
1) USG atau CT scan tiroid.
2) Tiroid scintigrafi.
3) Umur tulang (bone age).
4) X-foto tengkorak .
Selain untuk mendiagnosis keadaan hipothyroid, perlu juga dilakukan evaluasi tambahan guna
menentukan etiologi dasar penyakit. Hal ini perlu dilakukan untuk menentukan apakah HK
bersifat permanent atau transient sehingga dapat diperkirakan lama terapi dan prognosis.
1. Pengukuran kadar hormon kelenjar gondok
Thyroxine total (T4). Cara pemeriksaan T4 yang umum dilakukan ialah cara competitive
protein binding assay (CPBA), radioimmuno assay (RIA) dan enzyme immuno assay (EIA).
Cara CPBA dikembangkan oleh Murphy dan Pattee (1964) dimana digunakan T4 J125 dan
thyroxine binding globulin (TBG) untuk mengukur kadar T4 serum. Saat ini yang lebih sering
digunakan adalah cara RIA dimana digunakan antibodi spesifik terhadap T4 (antiT4). T4
terlebih dulu dilepaskan dari ikatannya dengan TBG dengan penambahan zat tertentu. T4 yang
telah dibebaskan bersaing dengan T4 J125 dalam berikatan dengan anti T4. Ikatan T4-anti
T4 kemudian dipisahkan dari T4 bebas dan salah satu fraksi diukur radioaktivitasnya. Ukuran
radioaktivitas ini digunakan untuk mendapatkan kadar T4, dengan membandingkan dengan satu
seri standard yang dikerjakan bersama bahan pemeriksaan dari pasien.
Prinsip EIA sama seperti prinsip RIA, hanya disini digunakan label ensim sebagai pengganti
label zat radioaktif. T3 UPTAKE (T3U). Pemeriksaan T3U bukanlah pemeriksaan mengukur
kadar hormon T3. Penamaan T 3 U disini hanyalah karena reagens yang dipakai adalah T3
J125. T 3 U dipakai untuk menilai "unsaturated thyroxine binding protein". T 3 J 125
berlebihan ditambahkan kedalam serum dimana ia akan mengisi unsaturated TBP. Sisa T3
J125 diikat oleh pengikat kedua yaitu resin atau arang. Yang dimaksud dengan T 3 U adalah
persentase radioaktivitas yang diikat oleh pengikat kedua.

Gambar 2. Prinsip pemeriksaan T3U

Selain cara diatas, dapat pula dilaporkan sebagai thyrobinding index (TBI) yaitu persentase
radioaktivitas yang diikat oleh unsaturated TBP. Kadar TBG dapat pula diukur secara langsung
dengan cara RIA.
T4 bebas
Kadar T4 bebas dapat diperkirakan dengan menghitung Free Thyroxine Index (FTI) dengan
rumus : FTI = T4 x T3U atau FTI = T4/TBG. T4 bebas (Free T4 = FT4)Idapat pula diulcur
langsung. Cara yang klasik adalah dengan cars dialysis ekuilibrium. Cara ini sulit dan tidak
praktis untuk digunakan secara rutin, sehingga seisms ini perkiraan T4 bebas dengan menghitung
FTI yang lebih banyak digunakan. Akhir-akhir ini telah dibuat suatu tehnik pemenksaan FT4
yang lebih sederhana. Dasar dari cara ini adalah penggunaan antibody spesifilc terhadap T4 yang
dibuat sedemikian sehingga hanya bereaksi dengan T4 bebas.
Triiodothyronine (T3)
T3 dapat diukur dengan cars RIA dengan menggunakan T3-J'25 dan antibodi spesifik terhadap
T3. Prinsip pemeriksaan ini sama seperti pemeriksaan T4 dengan cara RIA. Seperti halnya T4
total, kadar T3 juga dipengaruhi kadar protein pengikatnya dalam darah. Untuk mendapatkan
gambaran kadar T3 bebas dalam darah dapat pula diitung Free T3 Index (FT3I) dengan rumus l
FT3I = T3 (ng/dl) x T3U (%)/ 1000
Disamping pemeriksaan T3 dapat pula diperiksa kadar neversed T3 (rT3) yang juga
menggunakan carai RIA. Selain pemeriksaan-pemeriksaan hormon kelenjar gondok diatas,
dilcenal pula pemeriksaan Protein bound iodine (PBI) dan Butanol extractable iodine (BEI), akan
tetapi pemeriksaan ini telah ditinggalkanehingga tidak dibicarakan dalam tulisan ini.
2. Penlaian jalur hipotalamus hipofisis - kelenjar gondok Thyroid Stimulating
Hormone (TSH).
TSH adalah suatu glikoprotein yang disekresi oleh kelenjar hipofisis pars anterior. Dulu kadar
TSH diperiksa dengan cant bioassay, sekarang telah dapat digunakan cara RIA yang sensitif
untuk mengukurnya. Kadar normal TSH adalah mulai dari tidak terdeteksi sampai 10uU/ml. Tes
TRH. Pengukuran kadar TSH dilakukan sebelum, 20 menit sesudah penyuntikan S00ug TRH
intravena.
3. Pemeriksaan tidak langsung.
Pemeriksaan basal metabolic rate (BMR) dan lemak darah dapat digunakan untuk menilai faal
kelenjar gondok secara tidak langsung. Padahipotiroidisme seringkali dijumpai adanya
hiperlipidemia.
4. Pemeriksaan terhadap etiologi
Autoantibodi terhadap kelenjar gondok. Pada keadaan-keadaan tertentu mungkin dijumpai
adanya antibodi terhadap komponen- komponen kelenjar gondok seperti thyroglobulin,
komponen koloid, mikrosom dan komponen nukleus dari sal folikuler. Antibodi ini dapat
diperiksa dengan cara imunologis seperti hemaglutinasi, presipitasi, fiksasi komplemen dan
imunofluoresens. Penyakit yang dihubungkan dengan adanya autoantibodi ini antara lain
thyroiditis Hashimoto dan penyakit Grave. Long acting thyroid stimulator (LATS). LATS adalah
IgG yang bersifat antibodi terhadap komponen kelenjar gondok yang mampu merangsang fungsi
kelenjar gondok. Sekarang ini dikenal beberapa macam thyroid stimulating immunoglobulins
(TSI). Zat-zat ini dapat diukur dengan cara bioassay, akan tetapi cara ini sulit dilakukan.
Penggunaan dan Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium
Karena hampir seluruh T4 dalam sirkulasi darah terikat TBP, terutama TBG, pengukuran
kadar T4 total dipengaruhi oleh juinlah T4 yang dibuat oleh kelenjar gondok dan kadar TBG. 14
bebas merupakan bentuk hormon yang dapat mendifusi kedalam sel dan mempengaruhi
metabolisme, karena itu pengukuran FT4 lebih menggambarkan fungsi kelenjar gondok.
Kadar T4 total dan T3U dipengaruhi oleh kadar TBG seperti dapat dilihat pada gambar
dibawah.

Gambar 3. Kadar T4 dan T 3U pada berbagai keadaan


Penyebab perubahan kapasitas TBG
Peningkatan Penurunan
keham~ilan sindroma nefrotik
penggunaan estrogen - obat psaggunaan androgen
kontrasepsi oral keganasan dengan metastasis
kongenital kongenital
hambatan oleh obat misalnya
salisilat dan diphenylhydanta
in
EUTIROID
PENI
Pada hipertiroidisme, baik kadar T4 total maupun T3U akan bersama-sama meningkat.
Demikian pula pada hipotiroidisme, hasil kedua pemeriksaan menurun. Pada perubahan kadar
TBG, perubahan kadar T4 total dan T3 U terjadi dalam arah yang berlawanan, sedangkan nilai
FTI akan tetap normal.
Nilai FTI yang rendah sesuai dengan keadaan hipotiroid. sebaliknya nilai FTI yang tinggi
sesuai dengan hipertiroid. (lihat gambar 41 Nilai FTI yang jelas meninggi dijumpai pada
penyakit Grave, struma toksik, pengobatan hormon tiroid yang berlebihan dan fase awal
thyroiditis subakut.
Apabila nilai FTI meragukan (normal tinggi), sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar T3
serum. Kadar T3 yang tinggi menunjukkan keadaan hipertiroid. Bila kadar T3 juga meragukan
(normal tinggi), status kelenjar gondok dapat dinilai lebih lanjut dengan tes TRH. Kadar T3 yang
normal atau rendah menunjukkan keadaan eutiroid. Adanya sedikit peningkatan FTI memang
sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit- penyakit sistemik akut maupun kronik
seperti keganasan
Nilai FTI normal sesuai dengan keadaan eutiroid, akan tetapi apabila gambaran klinis jelas
hipertiroid sebaiknya diperiksa kadar T3. Sebagian kecil (35%) keadaanhipertiroid disebabkan
oleh peningkatan kadar T3 tanpa peningkatan kadar T4, keadaan ini disebut toksikosis T3.
Begitu pula apabila gambaran klinis hipotiroid, sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar TSH.
Apabila didapat nilai FTI yang rendah, sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar TSH.
Peningkatan kadar TSH yang nyata dijumpai pada hipotiroidisme primer yaitu hipotiroidisme
yang disebabkan oleh kegagalan kelenjar gondok sendiri. Kurangnya sintesis hormon kelenjar
gondok menyebabkan berkurangnya umpan balik yang menghambat pelepasan TSH.
Peningkatan kadar TSH sangat sensitif untuk keadaan ini dan bahkan sudah terjadi pada keadaan
"prehipotiroid" dimana sintesis hormone kelenjar gondok masih dapat dipertahankan normal oleh
adanya kadar TSH yang tinggi.
Akan tetapi hipotiroidisme tidak selalu disebabkan oleh gangguan kelenjar gondok itu sendiri.
Hipofungsi kelenjar gondok mungkin pula disebabkan oleh gangguan hipofisis atau hipotalamus.
Pada keadaan-keadaan ini kadar TSH rendah atau tidak terdeteksi. Umumnya pasien akan
memperlihatkan gejala kegagalan hipofisis lain seperti gangguan fungsi kelenjar adrenal dan
gonad. Tes TRH dapat membedakan kedua sebab hipotiroidisme sekunder ini.
Pemberian TRH sintetik akan meningkatkan kadar TSH serum pada kelainan hipotalamus,
sedangkan respons negatif dijumpai pada kelainan hipofisis.

J. Diagnosis Banding
- Sindrome Down
Sering disertai hipotiroid kongenital, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan faal tiroid secara
rutin. Gejala lainnya pada penyakit mongolisme ini antara lain epikantus (+), makroglosi (+),
miksedema (-), retardasi motorik dan mental, Kariotyping (trisomi 21).

K. Penatalaksanaan
Begitu diagnosis hipothyroid kongenital ditegakkan, dapat dilakukan pemeriksaan tambahan
untuk menetukan etiologi dasar penyakit. Bila hal ini tidak memungkinkan, tretment awal
dengan L-thyroxine harus segera dilaksanakan. Dosis awal pengobatan dengan L-thyroxine
adalah 10-15 g/kgBB/hr yang bertujuan segera mencapai kadar hormon tiroksin yang adekuat.
Pada pasien dengan derajat hipothyroidisme yang berat, ditandai dengan terbukanya fontanela
mayor, harus diberikan dosis yang lebih besar, yaitu lebih besar dari 15g/kgBB/hr.4,5,11
Selanjutnya, diikuti dengan terapi maintenence dimana besar dosis mentenence disesuaikan
kondisi pasien. Tujuan terapi adalah untuk mempertahankan kadar hormon tiroksin dan free T4
dalam batas normal, yaitu 10-16 g/dL untuk hormon tiroksin dan 1.4 - 2.3 ng/dl untuk free T4.4
Untuk hipothyroidisme kongenital, satu-satunya terapi adalah dengan replacment hormon.
Dalam tatalaksananya, yang paling penting adalah follow up dan montoring terapi untuk
memepertahankan kadar TSH dan T4 plasma dalam ambang normal.4,8 Untuk itu, perlu
dilakukan follow up kadar TSH dan hormon T4 dlam waktu-waktu yang ditentukan, yaitu:

Usia pasien Jadwal follow up

0-6 bulan Tiap 6 minggu

6 bln-3thn Tiap 3 bln

>3thn Tiap 6 bln

Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring 6-8 minggu setiap pergantian dosis. Hal ini guna
mengantisipasi terjadinya overtreatment yang dapat menyebabkan efek samping seperti
penutupan sutura yang premature, dan masalah temperament dan perilaku.4,8
Umur Dosis kg/kg BB/hari
0-3 bulan 10-15
3-6 bulan 8-10
6-12 bulan 6-8
1-5 tahun 5-6
2-12 tahun 4-5
> 12 tahun 2-3

Kadar T4 dipertahankan di atas pertengahan nilai normal.


Bila fasilitas untuk mengukur faal tiroid tidak ada, dapat dilakukan therapeutic trial sampai
usia 3 tahun dimulai dengan dosis rendah dalam 2-3 minggu; bila ada perbaikan klinis, dosis
dapat ditingkatkan bertahap atau dengan dosis pemberian + 100 g/m2/hari.
Penyesuaian dosis tiroksin berdasarkan respon klinik dari uji fungsi tiroid T3, T4, dan TSH
yang dapat berbeda tergantung dari etiologi hipotiroid.
L. Prognosis
Prognosis meningkat secara dramatis dengan adanya neonatal screening program. Diagnosis
yang cepat dan pengobatan yang adekuat dari minggu pertama kehidupan dapat memberikan
pertumbuhan yang normal termasuk intelegensi dibandingkan dengan lainnya yang tidak
mendapatkannya.8 Sebelum berkembangnya skrining bayi baru lahir, suatu penelitian di RS
Anak Pittsburgh melaporkan bayi-bayi yang diobati > 7 bulan IQ rata-rata 54.2. Prognosis juga
bergantung pada etiologi yang pasti.4,10 Infant yang megalami keadaan kadar T4 yang rendah
dengan retardasi pematangan skeletal, mengalami penurunan IQ 5-10m point, dan kelainan
neuropskikologis misalnya, inkoordinasi, hypotonic atau hypertonis, kurang perhatian, dan
kesulitan bicara. Pada 20% kasus terjadi kesulitan mendengar. Tanpa pengobatan, infant yang
mengalamianya akan ditemukan defisensi mental dan retardasi pertumbuhan. Hormone thyroid
sangat penting untuk pertumbuhan otak, maka diperlukan diagnosis biokimia untuk mengetahuai
apakah ada kelainan atau tidak agar dapat segera di tatalaksana untuk mencegah kerusaka otak
yang irreversible. Keterlambatan diagnosis, kegagalan untuk menangani hypertyroxemia secara
cepat, pengobatanya yang tidak adekuat, dan pemenuhan yang kurang pada 2-3 tahun pertama
kehidupan dapat menghasilkan derajat kerusakan otak yang bervariasi.8
BAB III
PENUTUP

Hipotiroid kongenital adalah kelainan bawaan dengan kadar hormon tiroid (T3 danT4) di
sirkulasi darah yang kurang dengan kadar TSH yang meningkat. Kelainan ini diketahui sebagai
penyebab terjadinya keterbelakangan mental dan kecacatan fisik pada anak- anak.
Prevalensi rata-rata hipotiroid kongenital di Asia adalah 1 diantara 2.720 bayi di daerah non
endemis iodium (hipotiroid kongenital sporadik) dan 1 : 1000 hipotiroid kongenital endemis di
daerah defisiensi iodium. Penelitian di daerah Yogyakarta menunjukkan angka kejadian 1 : 1500
hipotiroid kongenital sporadik dan 1 : 1300 bayi menderita hipotiroid transien karena kekurangan
iodium (endemis). Angka kejadian hipotiroid kongenital di Indonesia belum diketahui, namun
apabila mengacu pada angka kejadian di Asia dan di Yogyakarta, maka di Indonesia, dengan
angka kelahiran sekitar 5 juta per tahun, diperkirakan sebanyak 1.765 sampai 3200 bayi dengan
hipotiroid kongenital dan 966 sampai 3.200 bayi dengan hipotiroid kongenital transien karena
kekurangan iodium, lahir setiap tahunnya.
Begitu diagnosis hipothyroid kongenital ditegakkan, dapat dilakukan pemeriksaan tambahan
untuk menetukan etiologi dasar penyakit. Bila hal ini tidak memungkinkan, tretment awal
dengan L-thyroxine harus segera dilaksanakan. Dosis awal pengobatan dengan L-thyroxine
adalah 10-15 g/kgBB/hr yang bertujuan segera mencapai kadar hormon tiroksin yang adekuat.
Pada pasien dengan derajat hipothyroidisme yang berat, ditandai dengan terbukanya fontanela
mayor, harus diberikan dosis yang lebih besar, yaitu lebih besar dari 15g/kgBB/hr

Daftar Pustaka
1. Snell, Ricard S. 2006. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran, Edisi 6. EGC, Jakarta.
Bagian: Leher.
2. Faizal, Frans. 2009. Brosur Prodia Laboratorium Klinik : Selamatkan Bayi Anda Sebelum
Terlambat Dengan Melakukan Skrining Neonatus.
3. Crisostomacleo. 2008. Hipotiroidisme Kongenital: penyebab hambatan pertumbuhan dan retrdasi
mental pada anak

4. Agarwal, Ramesh, Vandana Jain, Ashok Deorari, dan Vinod Paul. 2008. Congenital
Hypothyroidism. Department of Pediatric: All India Institute of Medical Sciences
(AIIMS). NICU: New Delhi India Downloaded from: www.newbornwhocc.org
5. Coakley, John C., dan John Connelly. 2007. Congenital Hypothyroidism: An Information
Guide For Parents. Education Research Center of Royal Childrens Hospital: Victoria -
Australia
6. Moreno JC, et al. Inactivating mutations in the gene for thyroid oxidase 2 (Thox2) and
congenital hypothyroidism, N Engl J Med 2002; 347(2): 95-102.
7. Park SM, Chatterjee VKK. Genetics of congenital hypothyroidism, J Med Genet 2005;
42: 379-389.
8. Jameson, J Larry. Disorders of the Thyroid Glands. In: Braunwald, TR. et al. 2008,
Harrisons Principles of Internal Medicine, Seventeenth Edition, McGraw Hill, New
York.
9. LaFranci, Stpehen. Bherman, RE, Kliegman, RM, Jneson, HB (eds)2009. Nelson
Testbook of Pediatry, 18thed. WB Saunders, Philadelphia. Chapter 24: Endocrine System
10. Juliaty, Aidah dan Satriono. 2005. Laporan Kasus: Hipotiroidisme Kongenital pada Dua
Saudara Kandung. SMF Anak FK UNHAS: Makassar
11. Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit, edisi 6.
EGC, Jakarta. Bagian 10 : Gangguan Sistem Endokrin dan Metabolik
12. Anonim, 2006. Hipotiroidisme Kongenital. www.genetics home reference.com
13. Silman, Erwin. Kusnandar Simon. Pemeriksaan Laboratorium untuk Menilai Faal
Kelenjar Gondok, CDK 1983; 30: 46-48.
14. IDI, 2004. Standar Pelayanan Medik, Edisi 1. IDI, Jakarta. Bagian : Endokrinologi.
15. Haqiqi, Himan S. 2008 Biosintesis Hormon Tiroid dan Paratiroid. Fakultas Peternakan
UNIBRAW: Malang.

Anda mungkin juga menyukai