Febby farihindarto
102011246
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana 2012
Jalan Arjuna Utara Nomor 6 Kebon Jeruk-Jakarta Barat 15510
Email: febbyfarihindarto@yahoo.co.id
I. Pendahuluan
Trombosis vena dalam atau Deep Vein Thrombosis ( DVT ) adalah bekuan darah di
dalam pembuluh darah. Bekuan darah terjadi ketika darah mengental dan menggumpal
bersama-sama. DVT banyak terjadi pada kaki bagian bawah atau paha, juga dapat terjadi di
bagian lain dari tubuh. Sebuah bekuan darah di vena dalam dapat pecah dan berjalan dalam
aliran darah, bekuan darah tersebut disebut embolus. Ketika embolus tersebut berjalan ke
paru-paru dan aliran darah diblok akan terjadi emboli paru atau Pullmonary Emboli atau PE.
PE dapat merusak paru-paru dan organ lain dalam tubuh dan menyebabkan kematian.
1.2 Skenario
Seorang laki-laki berusia 65 tahun yang sedang dirawat di ruang rawat inap
dikonsulkan dengan keluhan betis kirinya sakit disertai bengkak dan kemerahan sejak 4 jam
yang lalu. Pasien tersebut sudah 2 hari dirawat setelah menjalani operasi penggantian sendi
panggul kiri 2 hari yang lalu.
Anamnesis adalah suatu wawancara medis yang merupakan tahap awal dari suatu
rangkaian pemeriksaan terhadap pasien. Baik bersangkutan dengan pasien maupun dengan
relasi terdekatnya. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan lengkap karena
sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan diagnosis. Yang perlu
dilakukan pada anamnesis adalah sebagai berikut:1
Bagan anamnesis terdiri atas:1
a. Menanyakan identitas pasien
Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, umur, suku agama, alamat.
Pada kasus ini, pasien laki laki usia 65 tahun.
b. Menanyakan keluhan utama
Yaitu gangguan atau keluhan yang dirasakan penderita sehingga mendorong ia untuk
datang berobat dan memerlukan pertolongan serta menjelaskan tentang lamanya
keluhan tersebut. Keluhan utamanya adalah betis kiri sakit, bengkak dan kemerahan
sejak 4 jam yang lalu.
c. Menanyakan riwayat penyakit sekarang
Riwayat perjalanan penyakit merupakan rangkaian kejadian yang kronologis, terinci.
d. Menanyakan riwayat penyakit dahulu :
Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara
penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang. Pada skenario, pasien
sudah 2 hari dirawat setelah operasi penggantian sendi panggul kiri 2 hari yang lalu.
e. Menanyakan riwayat penyakit dalam keluarga
Segala hal yang berhubungan dengan peranan herediter dan kontak antar anggota
keluarga mengenai penyakit yang dialami pasien.
f. Menanyakan riwayat pribadi
Meliputi data sosial, ekonomi, pendidikan, kebiasaan, pekerjaan, riwayat
perkawinan.
Dari anamnesis diketahui pasien seorang laki laki usia 65 tahun mengeluh
betis kirinya sakit, bengkak dan kemerahan sejak 4 jam yang lalu dan ia telah
menjalani operasi penggantian sendi panggul kiri 2 hari yang lalu.
b. Feel (palpasi)
Pada waktu mau meraba, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki agar dimulai
dari posisi netral atau posisi anatomi. Pada dasarnya, ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun pasien yang diperiksa; karena itu
perlu selalu diperhatikan wajah pasien atau menanyakan perasaan pasien.2
Yang dicatat dalam pemeriksaan palpasi ini adalah :2
- Perubahan suhu terhadap sekitarnya serta kelembaban kulit
- Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau hanya oedema, terutama
daerah persendian
- Nyeri tekan (tenderness), krepitasi
- Pada otot : tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi; benjolan yang terdapat di
permukaan tulang atau melekat pada tulang . Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan
perlu ditentukan permukaannya, konsistensinya dan pergerakan terhadap permukaan atau
dasar, nyeri atau tidak dan ukurannya.
c. Move (gerak)
Setelah pemeriksaan palpasi, pemeriksaan diteruskan dengan menggerakkan anggota
gerak dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Krepitasi dan gerakan
abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat
menggerakan sendi sendi. Gerakan sendi dengan ukuran derajat gerakan dari tiap arah
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus DVT antara lain :3
1. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis DVT.
Pada DVT pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah venografi dan flebografi
pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan paling standart untuk DVT baik pada betis, paha,
maupun system ileofemoral lainnya. Teknik ini menginjeksikan suatu kontras iodinated pada
vena kaki bagian dorsal untuk masuk ke sistem vena bagian dalam ekstermitas bawah. DVT
didiagnosis bila terdapat filling defect. Venografi dikontraindikasikan pada pasien dengan
renal insufficiency atau alergi terhadap kontras. Venografi juga mempunyai kekurangan,
sekitar 20 % venografi tidak dapat menampilkan visualisasi yang adekuat. Oleh karena
keterbatasan diatas maka venography bukan merupakan prosedur yang rutin dikerjakan untuk
mendiagnosis DVT. Bagaimanapun venografi merupakan prosedur standar untuk
mendiagnosis DVT, terutama bila prosedur lain gagal untuk mendiagnosis DVT. Dapat pula
dilakukan Ultrasonografi (USG) Doppler maupun Ultrasonografi kompresi,
pemeriksaan USG Doppler adalah pemeriksaan USG yang dilakukan secara duplex dan
mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi untuk DVT proksimal. Ketepatan
pemeriksaan USG Doppler untuk DVT proksimal yang simtomatik adalah 94% dibandingkan
dengan venografi. Sedangkan USG kompresi mempunyai sensitivitas 89% dan spesifisitas
97% ada DVT proksimal yang simtomatik sedangkan DVT pada daerah betis mempunyai
hasil negative palsu 50%. Selain itu dapat pula dilakukan MRI, biasanya MRI dapat
digunakan untuk memvisualisasikan vena pelvis, mendeteksi adanya ekstensi trombus pada
vena iliaka dan pada vena cava inferior. MRI vena mempunyai sensitivitas 96 % dan
spesivisitas 93 % dalam mendiagnosis DVT simptomatis, sedangkan untuk DVT bagian
2. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium menggunakan tes D-dimer adalah tes darah yang
dapat digunakan sebagai tes penyaringan (screening) untuk menentukan apakah ada bekuan
darah. Tes digunakan sebagai indikator positif atau negatif. Jika hasilnya negatif, maka tidak
ada bekuan darah. Jika tes D-dimer positif,menunjukan adanya deep vein thrombosis karena
banyak situasi-situasi akan mempunyai hasil positif yang diharapkan (contohnya, dari
operasi, jatuh, atau kehamilan). Untuk sebab itu, pengujian D-dimer harus digunakan secara
selektif.3
Gambar 3. D-dimer
a. Working diagnosis
Trombosis vena dalam adalah suatu bekuan darah (trombus) pada vena dalam.
Trombus dapat terjadi pada vena-vena profunda pada tungkai. Trombosis vena dalam hanya
menyebabkan suatu peradangan yang minimal. Peradangan yang terjadi disekitar trombus,
disertai dengan perlengketan trombus terhadap dinding vena yang lama kelamaan terlepas
dan menjadi embolus, berjalan melalui aliran darah dan berakhir pada suatu aliran darah yang
sempit sehingga menyebabkan blockade terhadap aliran darah. Trombosis vena dalam dapat
menyebabkan komplikasi seperti sindrom postphlebitis, embolisme paru dan kematian.
Trombosis vena dalam sering terjadi pada vena di betis namun dapat juga terjadi pada vena-
vena yang letaknya lebih proksimal yaitu poplitea, femoralis dan iliac.3
b. Differential Diagnosis
Superfiscial tromboflebitis
Tromboflebitis adalah peradangan dan pembekuan dalam pembuluh darah.
Tromboflebitis berarti bahwa gumpalan darah telah terbentuk dalam vena dekat dengan kulit.
Mungkin juga ada infeksi pada pembuluh darah. Tromboflebitis biasanya terdapat di vena
kaki atau lengan. Dengan hati-hati, masalah ini harus diselesaikan sampai dalam waktu 2
sampai 3 minggu. Tromboflebitis paling sering mempengaruhi vena superfisial di kaki, tetapi
Gambar 6. Limfedema
Vaskulitis
Gambar 8. Vaskulitis
Selain itu ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya trombosis vena
dalam seperti pada umur lanjut, obesitas, infeksi, immobilisasi, penggunaan kontrasepsi,
tembakau, dan perjalanan dengan pesawat terbang serta riwayat trauma.3
2.6 Epidemiologi
Trombosis vena dalam terjadi kira-kira 1 per 1000 orang per tahun. Trombosis vena
dalam sangat sedikit dijumpai pada anak-anak. Rasio laki-laki dan perempuan yaitu 1:1,2.
Kira-kira 1-5% menyebabkan kematian akibat komplikasi. Trombosis vena dalam biasanya
terjadi pada umur lebih dari 40 tahun.3
2.7 Patofisiologi
Menurut Rudolph Virchow pada tahun 1859, patofisiologi vena trombosis akut /
DVT akut meliputi kombinasi dari tiga faktor (yang kemudian dikenal dengan Trias Vircow)
Stasis aliran darah (penurunan aliran darah vena) akan menyebabkan terjadinya
interaksi yang berlebihan yang akan menyebabkan ketidakseimbangan antara faktor koagulan
dan faktor anti koagulan, Immobilisasi yang lama seperti pada pasien post operatif, paralisis
dan orang yang menjalani perjalanan jauh dengan menggunakan pesawat (economy class
syndrome) akan menyebabkana darah yang lambat terutama saat melewati katup vena akan
menyebabkan adesi leukosit dan hipoksia lokal juga memicu jejas endotel dan faktor
hiperkoagulabilitas. Hal ini akan menyebabkan peningkatkan terjadinya tombosis.
Setiap trauma baik minor maupun mayor yang menyebabkan kerusakan pembuluh
darah akan menyebabkan iritasi dan inflamasi yang akan meningkatkan faktor pembekuan
darah. Pada keadaan normal platelet tidak akan terikat pada endothelium karena endothelium
yang tidak terstimulasi tidak mempunyai receptor untuk mengikat platelet dan juga
endothelium mempunyai kemampuan memproduksi Nitric oxide dan prostacyclin untuk
mempertahankan platelet dalam keadaan tidak aktif dan mempengaruhi ikatannya. Ketika
lapisan endothelium telah hilang maka platelet akan terpapar dengan subendothelium yang
mempunyai receptor. Ikatan antara platelet dengan subendothelium ini dimediasi oleh
glycoprotein (GP) Ib-IX-V yang terikat melalui faktor von Willebrand. Perlekatan platelet
terhadap endotel vaskuler akan mengaktivasi platelet dan menyebabkan sintesis dan
pelepasan (degranulasi) berbagai mediator agregasi platelet, termasuk thromboxane A2
(TxA2), adenosine diphospate (ADP) dan 5-hydroxytryptamine (5HT atau serotonin).
Mediator ini meningkatkan ekspresi glycoprotein IIb/IIIa receptor yang berikatan dengan
fibrinogen dan menyebabkan agregasi platelet. Dari penelitian yang dilakukan oleh Brill
menunjukkan bahwa faktor Von Willebrand berperan penting terhadap terjadinya adesi
platelet pada trombosis vena. Defisiensi faktor Von Willebrand akan mencegah terjadinya
trombosis.
2.10 Penatalaksanaan
Medica Mentosa
Terapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya. Latihan
dan compression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta mengurangi insiden terjadinya
post thrombotic syndrome (PTS). Penggunaan compression stockings selama kurang lebih 2
tahun dimulai 2-3 minggu ketika diagnosa DVT ditegakkan menurunkan resiko timbulnya
PTS. Peranan compression stockings atau intermitten pneumatic compression (IPC) dalam
mencegah PTS belum sepenuhnya dimengerti, namun penggunaannya telah digunakan secara
luas. Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan
mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek.3
2.11 Komplikasi
1. Embolisasi pulmonalis
Adalah proses dengan bekuan darah dalam system vena profunda, terlepas dari
dinding pembuluh dan masuk ke sirkulasi pulmonalis. Sebagian besar emboli berasal dari
system profunda atau vena pelvis dan mengganggu fungsi oksigenasi paru-paru atau fungsi
PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 15
jantung, bila emboli menyumbat sebagian besar (lebih dari 60%) sirkulasi pulmonalis.
Emboli arteri dari daerah thrombosis pada arteria aterosklerotik dapat menimbulkan cedera
jaringan yang serius dan disfungsi organ, tergantung pada besar dan letak emboli. 3
suatu komplikasi thrombosis vena profunda yang serius. Sindroma ini merupakan
akibat langsung kerusakan katup vena oleh thrombus. Ia menimbulkan peningkatan tekanan
hidrostatik yang normalnya mengalirkan darah dari vena superfisialis ke system vena
profunda. Bila katup perforantes rusak, maka aliran darah terdorong ke system superfisialis
selama kontrasi otot betis bawah. Kenaikan aliran darah merangsang timbulnya edema dan
mengganggu fungsi jaringan subkutis. Sehingga menimbulkan perubahan warna dan ulserasi
kulit yang serius. 5
2.12 Pencegahan
Resiko terjadinya trombosis vena dalam dapat diturunkan dan dicegah dengan
melakukan gaya hidup yang aktif dan berolahraga secara teratur - setiap hari jika
memungkinkan, seperti berjalan, berenang, dan bersepeda, mengatur berat badan dengan
menyeimbangkan antara olahraga dengan makan makanan yang sehat, berhenti merokok,
menghindari konsumsi alkohol, memeriksa tekanan darah secara teratur, berkonsultasi
kepada dokter jika anda atau keluarga ada yang mengalami masalah pembekuan darah, jika
melakukan perjalanan udara atau duduk selama lebih dari 4 jam, berjalan atau lakukan
peregangan kaki dan tetaplah terhidrasi dengan baik, menggunakan stocking bisa membantu
untuk mencegah pembekuan darah. Untuk pencegahan trombosis vena dalam pasca
pembedahan atau akibat bedrest yang lama bisa dengan memberikan antikoagulan sebelum
atau segera sesudah pembedahan, menggunakan alat semacam stocking untuk mengompres
kaki dan menjaga agar darah tetap mengalir di pembuluh darah, meninggikan kaki saat di
tempat tidur, bangun dan bergeraklah sesegera mungkin, dan konsumsilah obat pereda nyeri
untuk memudahkan proses pergerakan.5
2.13 Prognosis
Semua pasien dengan trombosis vena dalam pada masa yang lama mempunyai
resiko terjadinya insufisiensi vena kronik. Kira-kira 20% pasien dengan DVT yang tidak
III. Penutup
Kesimpulan
Seorang laki-laki berusia 65 tahun yang sedang dirawat di ruang rawat inap
dikonsulkan dengan keluhan betis kirinya sakit disertai bengkak dan kemerahan sejak 4 jam
yang lalu. Pasien tersebut sudah 2 hari dirawat setelah menjalani operasi penggantian sendi
panggul kiri 2 hari yang lalu menderita trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis.
Hipotesis diterima.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Internal Publishing; 2009. h. 23-5.
2. Frans D. David P. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2009.
3. Sudoyo AW, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid 2. Edisi 5. Jakarta: Internal Publishing; 2009. h. 1354-8.
4. Baughman DC, Hackley JC. Medikal-bedah. Jakarta : EGC; 2005. h. 184-8.
5. Sabiston. Buku ajar bedah. Jilid 1. Jakarta: EGC; 2005. h. 114-5.
6. Browns RG, Burns T. Dermatology. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.h.167.
7. Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Seri asuhan keperawatan klien gangguan
kardiovaskuler. Jakarta: EGC, 2008.h.68.