Anda di halaman 1dari 17

Trombosis Vena Dalam

Febby farihindarto
102011246
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana 2012
Jalan Arjuna Utara Nomor 6 Kebon Jeruk-Jakarta Barat 15510
Email: febbyfarihindarto@yahoo.co.id

I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Trombosis vena dalam atau Deep Vein Thrombosis ( DVT ) adalah bekuan darah di
dalam pembuluh darah. Bekuan darah terjadi ketika darah mengental dan menggumpal
bersama-sama. DVT banyak terjadi pada kaki bagian bawah atau paha, juga dapat terjadi di
bagian lain dari tubuh. Sebuah bekuan darah di vena dalam dapat pecah dan berjalan dalam
aliran darah, bekuan darah tersebut disebut embolus. Ketika embolus tersebut berjalan ke
paru-paru dan aliran darah diblok akan terjadi emboli paru atau Pullmonary Emboli atau PE.
PE dapat merusak paru-paru dan organ lain dalam tubuh dan menyebabkan kematian.

1.2 Skenario
Seorang laki-laki berusia 65 tahun yang sedang dirawat di ruang rawat inap
dikonsulkan dengan keluhan betis kirinya sakit disertai bengkak dan kemerahan sejak 4 jam
yang lalu. Pasien tersebut sudah 2 hari dirawat setelah menjalani operasi penggantian sendi
panggul kiri 2 hari yang lalu.

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 1


II. Pembahasan
2.1 Anamnesis

Anamnesis adalah suatu wawancara medis yang merupakan tahap awal dari suatu
rangkaian pemeriksaan terhadap pasien. Baik bersangkutan dengan pasien maupun dengan
relasi terdekatnya. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan lengkap karena
sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan diagnosis. Yang perlu
dilakukan pada anamnesis adalah sebagai berikut:1
Bagan anamnesis terdiri atas:1
a. Menanyakan identitas pasien
Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, umur, suku agama, alamat.
Pada kasus ini, pasien laki laki usia 65 tahun.
b. Menanyakan keluhan utama
Yaitu gangguan atau keluhan yang dirasakan penderita sehingga mendorong ia untuk
datang berobat dan memerlukan pertolongan serta menjelaskan tentang lamanya
keluhan tersebut. Keluhan utamanya adalah betis kiri sakit, bengkak dan kemerahan
sejak 4 jam yang lalu.
c. Menanyakan riwayat penyakit sekarang
Riwayat perjalanan penyakit merupakan rangkaian kejadian yang kronologis, terinci.
d. Menanyakan riwayat penyakit dahulu :
Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara
penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang. Pada skenario, pasien
sudah 2 hari dirawat setelah operasi penggantian sendi panggul kiri 2 hari yang lalu.
e. Menanyakan riwayat penyakit dalam keluarga
Segala hal yang berhubungan dengan peranan herediter dan kontak antar anggota
keluarga mengenai penyakit yang dialami pasien.
f. Menanyakan riwayat pribadi
Meliputi data sosial, ekonomi, pendidikan, kebiasaan, pekerjaan, riwayat
perkawinan.
Dari anamnesis diketahui pasien seorang laki laki usia 65 tahun mengeluh
betis kirinya sakit, bengkak dan kemerahan sejak 4 jam yang lalu dan ia telah
menjalani operasi penggantian sendi panggul kiri 2 hari yang lalu.

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 2


2.2 Pemeriksaan Fisik

Setelah anamnesis selesai dilakukan, maka pemeriksaan fisik biasanya dimulai


dengan pemeriksaan objektif yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu dan tingkat
kesadaran, serta look, feel, move.2
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat, antara lain :2
- Cicatrix (jaringan parut baik yang alamiah maupun yang buatan-bekas pembedahan)
- Fistulae
- Warna kemerahan/ kebiruan (livide) atau hiperpigmentasi
- Benjol/ pembengkakan/ cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
- Posisi serta bentuk dari extremitas (deformitas)
- Jalannya waktu masuk kamar periksa

b. Feel (palpasi)

Pada waktu mau meraba, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki agar dimulai
dari posisi netral atau posisi anatomi. Pada dasarnya, ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun pasien yang diperiksa; karena itu
perlu selalu diperhatikan wajah pasien atau menanyakan perasaan pasien.2
Yang dicatat dalam pemeriksaan palpasi ini adalah :2
- Perubahan suhu terhadap sekitarnya serta kelembaban kulit
- Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau hanya oedema, terutama
daerah persendian
- Nyeri tekan (tenderness), krepitasi
- Pada otot : tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi; benjolan yang terdapat di
permukaan tulang atau melekat pada tulang . Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan
perlu ditentukan permukaannya, konsistensinya dan pergerakan terhadap permukaan atau
dasar, nyeri atau tidak dan ukurannya.

c. Move (gerak)
Setelah pemeriksaan palpasi, pemeriksaan diteruskan dengan menggerakkan anggota
gerak dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Krepitasi dan gerakan
abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat
menggerakan sendi sendi. Gerakan sendi dengan ukuran derajat gerakan dari tiap arah

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 3


pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dengan ukuran metrik. Pencatatan ini penting
untuk mengetahui apakah ada gangguan gerak. Pergerakan yang perlu dilihat adalah gerakan
aktif (apabila penderita sendiri bisa menggerakkan) dan gerakan pasif (dilakukan pemeriksa).
Selain pencatatan pemeriksaan, penting untuk mengetahui gangguan gerak, hal ini juga
penting untuk melihat kemajuan/ kemunduran pengobatan.2
Biasanya pada DVT akan ditemukan tanda-tanda klinis yaitu edema tungkai yang
unilateral, eritema, hangat, nyeri dan dapat pula diraba pembuluh darah superficial. Pada
pasien tersebut ditemukan kemerahan dan bengkak pada betis kiri nya.

2.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus DVT antara lain :3
1. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis DVT.
Pada DVT pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah venografi dan flebografi
pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan paling standart untuk DVT baik pada betis, paha,
maupun system ileofemoral lainnya. Teknik ini menginjeksikan suatu kontras iodinated pada
vena kaki bagian dorsal untuk masuk ke sistem vena bagian dalam ekstermitas bawah. DVT
didiagnosis bila terdapat filling defect. Venografi dikontraindikasikan pada pasien dengan
renal insufficiency atau alergi terhadap kontras. Venografi juga mempunyai kekurangan,
sekitar 20 % venografi tidak dapat menampilkan visualisasi yang adekuat. Oleh karena
keterbatasan diatas maka venography bukan merupakan prosedur yang rutin dikerjakan untuk
mendiagnosis DVT. Bagaimanapun venografi merupakan prosedur standar untuk
mendiagnosis DVT, terutama bila prosedur lain gagal untuk mendiagnosis DVT. Dapat pula
dilakukan Ultrasonografi (USG) Doppler maupun Ultrasonografi kompresi,
pemeriksaan USG Doppler adalah pemeriksaan USG yang dilakukan secara duplex dan
mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi untuk DVT proksimal. Ketepatan
pemeriksaan USG Doppler untuk DVT proksimal yang simtomatik adalah 94% dibandingkan
dengan venografi. Sedangkan USG kompresi mempunyai sensitivitas 89% dan spesifisitas
97% ada DVT proksimal yang simtomatik sedangkan DVT pada daerah betis mempunyai
hasil negative palsu 50%. Selain itu dapat pula dilakukan MRI, biasanya MRI dapat
digunakan untuk memvisualisasikan vena pelvis, mendeteksi adanya ekstensi trombus pada
vena iliaka dan pada vena cava inferior. MRI vena mempunyai sensitivitas 96 % dan
spesivisitas 93 % dalam mendiagnosis DVT simptomatis, sedangkan untuk DVT bagian

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 4


distal MRI hanya mempunyai sensitivitas sebesar 62 %.MRI vena dapat dikerjakan dengan
atau tanpa kontras.3

2. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium menggunakan tes D-dimer adalah tes darah yang
dapat digunakan sebagai tes penyaringan (screening) untuk menentukan apakah ada bekuan
darah. Tes digunakan sebagai indikator positif atau negatif. Jika hasilnya negatif, maka tidak
ada bekuan darah. Jika tes D-dimer positif,menunjukan adanya deep vein thrombosis karena
banyak situasi-situasi akan mempunyai hasil positif yang diharapkan (contohnya, dari
operasi, jatuh, atau kehamilan). Untuk sebab itu, pengujian D-dimer harus digunakan secara
selektif.3

Gambar 1. Contoh dari hasil venografi Gambar 2. USG Doppler

Gambar 3. D-dimer

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 5


2.4 Diagnosis

a. Working diagnosis

Trombosis vena dalam adalah suatu bekuan darah (trombus) pada vena dalam.
Trombus dapat terjadi pada vena-vena profunda pada tungkai. Trombosis vena dalam hanya
menyebabkan suatu peradangan yang minimal. Peradangan yang terjadi disekitar trombus,
disertai dengan perlengketan trombus terhadap dinding vena yang lama kelamaan terlepas
dan menjadi embolus, berjalan melalui aliran darah dan berakhir pada suatu aliran darah yang
sempit sehingga menyebabkan blockade terhadap aliran darah. Trombosis vena dalam dapat
menyebabkan komplikasi seperti sindrom postphlebitis, embolisme paru dan kematian.
Trombosis vena dalam sering terjadi pada vena di betis namun dapat juga terjadi pada vena-
vena yang letaknya lebih proksimal yaitu poplitea, femoralis dan iliac.3

Gambar 4. Trombosis vena dalam

b. Differential Diagnosis

Superfiscial tromboflebitis
Tromboflebitis adalah peradangan dan pembekuan dalam pembuluh darah.
Tromboflebitis berarti bahwa gumpalan darah telah terbentuk dalam vena dekat dengan kulit.
Mungkin juga ada infeksi pada pembuluh darah. Tromboflebitis biasanya terdapat di vena
kaki atau lengan. Dengan hati-hati, masalah ini harus diselesaikan sampai dalam waktu 2
sampai 3 minggu. Tromboflebitis paling sering mempengaruhi vena superfisial di kaki, tetapi

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 6


dapat juga mempengaruhi vena superfisial di paha. Sering kali, tromboflebitis terjadi pada
orang dengan varises tetapi tidak semua penderita varises menderita tromboflebitis.
Tromboflebitis superfisialis menyebabkan reaksi peradangan akut yang menyebabkan
trombus melekat dengan kuat ke dinding vena dan jarang pecah dan terlepas. Vena
permukaan tidak memiliki otot di sekitarnya yang bisa menekan dan membebaskan suatu
trombus. 4

Gambar 5. Superficial tromboflebitis


Lymphedema
Limfedema adalah kondisi medis yang ditandai dengan pembengkakan pada salah
satu lengan atau tungkai. Adakalanya, kedua anggota gerak dapat membengkak. Hal ini
disebabkan karena tersumbatnya sistem getah bening, bagian dari sistem kekebalan tubuh dan
sistem peredaran darah. Sistem getah bening terbentuk dari pembuluh-pembuluh getah
bening dan kelenjar-kelenjar getah bening. Cairan getah bening yang kaya akan protein dari
aliran darah berpindah ke dalam sistem getah bening dan mengangkut bakteri-bakteri, virus-
virus dan produk-produk sisa ke kelenjar getah bening, dimana patogen-patogen ini
dihancurkan oleh sel-sel kekebalan tubuh.4
Cairan getah bening yang telah disaring kemudian dikembalikan ke aliran darah.
Ketika sistem getah bening tersumbat, cairan tidak dapat bergerak secara bebas dan tidak
dapat diserap kembali ke dalam aliran darah. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi
cairan getah bening dan menyebabkan pembengkakan. Terdapat dua tipe limfedema,
Limfedema Diturunkan dan Limfedema Didapat. Limfedema diturunkan disebabkan karena
cacat kongenital dari sistem getah bening, seperti penyakit Milroy (malformasi pada kelenjar
getah bening) atau penyakit Meige (malformasi pada pembuluh getah bening). Limfedema
Didapat biasanya disebabkan oleh jejas pada sistem getah bening, seperti sewaktu operasi
atau terapi radiasi. Meskipun tidak ada penyembuhan untuk limfedema, penanganan yang
tersedia untuk mengendalikan gejala dan mencegah terjadinya komplikasi, seperti infeksi
pada anggota gerak yang terkena.

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 7


Tanda dan gejala Limfedema yang mungkin timbul:4

Infeksi berulang pada daerah yang terkena


Jangkauan gerak yang terbatas pada lengan atau kaki
Pembengkakan pada lengan
Pembengkakan pada tungkai kaki
Penebalan kulit yang keras pada daerah yang terkena
Sakit pada kaki
Sakit pada lengan
Suatu perasaan berat pada daerah yang terkena

Gambar 6. Limfedema

Peripheral artery disease


Penyakit arteri perifer atau peripheral artery disease (PAD) merupakan suatu kondisi
adanya lesi yang menyebabkan aliran darah dalam arteri yang mensuplai darah ke ekstremitas
menjadi terbatas. Aterosklerosis merupakan penyebab tersering dari penyakit ini pada usia
>40 tahun. Penyebab lainnya adalah thrombosis, emboli, vaskulitis, trauma. Prevalensi
tertinggi timbulnya penyakit ini pada usia dekade keenam dan ketujuh. Rokok telah diketahui
sebagai faktor risiko dari timbulnya penyakit arteri perifer, selain faktor lainnya seperti
diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, dan hipertensi.5
Manifestasi klinis tersering dari penyakit arteri perifer adalah adanya klaudikasio
intermiten, suatu rasa nyeri, keram, baal, atau letih pada otot yang muncul dalam penggunaan
otot untuk aktivitas, dan membaik saat keadaan istirahat, biasanya setelah 2-5 menit. Gejala
ini muncul pada daerah distal dari lokasi lesi oklusif, misalnya klaudikasio pada betis akibat
PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 8
adanya kelainan pada arteri femoral-poplitea. Karena lebih tingginya insidensi obstruksi pada
pembuluh darah bagian inferior tubuh, maka gejala klaudikasio intermiten ini lebih banyak
didapatkan pada otot-otot ekstremitas bawah.

Gambar 7 .Penyakit arteri perifer

Vaskulitis

Vaskulitis ada peradangan pada dinding pembuluh darah. Pemicu terjadinya


vaskulitis antara lain adalah sistem imun, infeksi bakteri dan virus, serta obat-obatan.
Kerusakan akibat panas dan dingin bisa juga menyebabkan terjadinya kelainan vaskular.
Secara klinis, vaskulitis dapat timbul dalam bentuk seperti urtikaria, livedo retikularis, papula
purpurik, nodul, bulla hemoragik atau ulkus. 6

Gambar 8. Vaskulitis

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 9


2.5 Etiologi

1. Kerusakan sel endotel


Lupus eritematous
Penyakit Burgers
Giant cell arteritis
Penyakit Takayasu
2. Hiperkoagulasi
Resistensi aktif protein C
Sindrom antifosfolipid
Defisiensi Antitrombin III
Defisiensi Protein C dan S
Disfibrogenemia
3. Stasis
Gagal jantung kongestif
Hiperviskositas
Tirah baring yang terlalu lama
Gangguan neurologik dengan hilangnya mekanisme pompa otot

Selain itu ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya trombosis vena
dalam seperti pada umur lanjut, obesitas, infeksi, immobilisasi, penggunaan kontrasepsi,
tembakau, dan perjalanan dengan pesawat terbang serta riwayat trauma.3

2.6 Epidemiologi

Trombosis vena dalam terjadi kira-kira 1 per 1000 orang per tahun. Trombosis vena
dalam sangat sedikit dijumpai pada anak-anak. Rasio laki-laki dan perempuan yaitu 1:1,2.
Kira-kira 1-5% menyebabkan kematian akibat komplikasi. Trombosis vena dalam biasanya
terjadi pada umur lebih dari 40 tahun.3

2.7 Patofisiologi

Menurut Rudolph Virchow pada tahun 1859, patofisiologi vena trombosis akut /
DVT akut meliputi kombinasi dari tiga faktor (yang kemudian dikenal dengan Trias Vircow)

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 10


yaitu adanya stasis aliran darah, jejas pada endotel pembuluh darah vena dan keadaan
hiperkoagulabilitas.

Stasis aliran darah (penurunan aliran darah vena) akan menyebabkan terjadinya
interaksi yang berlebihan yang akan menyebabkan ketidakseimbangan antara faktor koagulan
dan faktor anti koagulan, Immobilisasi yang lama seperti pada pasien post operatif, paralisis
dan orang yang menjalani perjalanan jauh dengan menggunakan pesawat (economy class
syndrome) akan menyebabkana darah yang lambat terutama saat melewati katup vena akan
menyebabkan adesi leukosit dan hipoksia lokal juga memicu jejas endotel dan faktor
hiperkoagulabilitas. Hal ini akan menyebabkan peningkatkan terjadinya tombosis.

Setiap trauma baik minor maupun mayor yang menyebabkan kerusakan pembuluh
darah akan menyebabkan iritasi dan inflamasi yang akan meningkatkan faktor pembekuan
darah. Pada keadaan normal platelet tidak akan terikat pada endothelium karena endothelium
yang tidak terstimulasi tidak mempunyai receptor untuk mengikat platelet dan juga
endothelium mempunyai kemampuan memproduksi Nitric oxide dan prostacyclin untuk
mempertahankan platelet dalam keadaan tidak aktif dan mempengaruhi ikatannya. Ketika
lapisan endothelium telah hilang maka platelet akan terpapar dengan subendothelium yang
mempunyai receptor. Ikatan antara platelet dengan subendothelium ini dimediasi oleh
glycoprotein (GP) Ib-IX-V yang terikat melalui faktor von Willebrand. Perlekatan platelet
terhadap endotel vaskuler akan mengaktivasi platelet dan menyebabkan sintesis dan
pelepasan (degranulasi) berbagai mediator agregasi platelet, termasuk thromboxane A2
(TxA2), adenosine diphospate (ADP) dan 5-hydroxytryptamine (5HT atau serotonin).
Mediator ini meningkatkan ekspresi glycoprotein IIb/IIIa receptor yang berikatan dengan
fibrinogen dan menyebabkan agregasi platelet. Dari penelitian yang dilakukan oleh Brill
menunjukkan bahwa faktor Von Willebrand berperan penting terhadap terjadinya adesi
platelet pada trombosis vena. Defisiensi faktor Von Willebrand akan mencegah terjadinya
trombosis.

Keadaan hiperkoagulabilitas disebabkan berkurangnya fibrinolisis dan meningkatnya


prokoagulan. Hiperkoagulabilitas biasa terjadi pada kondisi post operasi, trauma, keganasan,
kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral dan desifiensi protein C dan S. Pemakaian
kontrasepsi hormonal (estrogen) yang lama dapat menurunkan antitrombin III dan protein S,
meningkatkan aktivasi faktor VII dan X. Juga menurunkan thrombomodulin dan menurunkan
aktivasi protein C. Keganasan seperti adenocarcinoma pada kanker paru (sindrom Trousseau)

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 11


dapat menyebabkan keadaan hiperkoagulabilitas melalui interaksi sel tumor dan produknya
dengan sel inang. Interaksi tersebut menghilangkan mekanisme protektif yang mencegah
terbentuknya trombus. Sel tumor merangsang faktor prokoagulan dengan mensekresi
tromboplastin jaringan yang merupakan kofaktor dengan faktor VIIa yang mengaktifkan
faktor X. Selain itu sel tumor juga melepaskan protease yang merangsang faktor pembekuan.
Pada keganasan terjadi peningkatan faktor V, VIII, IX, X .

2.8 Gejala Klinis

Gelaja klinis pada pasien DVT dapat terlihat yaitu :7


a. 50% dari semua pasien tidak menunjukan gejala
b. Obstruksi vena profunda dari tungkai menghasilkan edema dan pembengkakan
ekstremitas
c. Kulit pada tungkai yang terkena dapat teraba hangat; vena superficial dapat lebih
menonjol
d. Pembengkakan bilateral mungkin sulit untu dideteksi.
e. Nyeri tekan terjadi kemudian; terdeteksi dengan palpasi ringan pada tungkai
f. Tanda human ( nyeri pada betis setelah dorsoflesi tajam kaki), tidak spesifik untuk
thrombosis vena profunda karena nyeri ini dapar didatangkan olehsetiap kondisi yang
menyakitkan pada betis
g. Pada beberapa kasus, tanda embolus pulmonal merupakan indikasi pertama adanya
thrombosis vena profunda
h. Thrombus vena superficial menyebabkan nyeri terkan, kemerahan dan rasa hangat pada
daerah yang terkena.

Gambar 9. Trombosis vena dalam

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 12


2.9 Faktor resiko

Faktor resiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :4


1. Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi
dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah. Pada operasi di
daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan pada operasi di daerah
abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%. Beberapa faktor yang mempermudah
timbulnya trombosis vena pada tindakan operatif, adalah sebagai berikut :
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma pada waktu di
operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode pre operatif, operatif dan post
operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di daerah
tersebut.
2. Kehamilan dan persalinan
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis vena
karena bendungan. Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang
menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi
peningkatkan koagulasi darah.
3. Infark miokard
Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan
yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan adanya statis
aliran darah karena istirahat total.
4. Payah jantung
Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah sebagai akibat statis
aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan dan proses immobilisasi pada pengobatan
payah jantung. Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang
mempermudah timbulnya trombosis vena.
5. Obat-obatan konstraseptis oral
Hormon estrogen yang ada dalam pil kontraseptis menimbulkan dilatasi vena,
menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya faktor
pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis vena.

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 13


6. Proses keganasan
Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi
ke dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi terhadap
penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan penderita
biasa.
7. Obesitas dan varices
Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan aktifitas
fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.4

2.10 Penatalaksanaan

Medica Mentosa

Tujuan penatalaksanaan DVT pada fase akut adalah: 3


1. Menghentikan bertambahnya thrombus
2. Membatasi bengkak yang progesif pada tungkai
3. Melisiskan atau membuang bekuan darah (trombektomi) dan mencegah disfungsi vena
atau sindrom pasca thrombosis di kemudian hari
4. Mencegah emboli
Antikoagulan, Unfractionated heparin (UFH) merupakan antikoagulan yang sudah
lama digunakan untuk penatalaksanaan DVT pada saat awal mekanisme kerja utama heparin
adalah meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor dan melepaskan tissue factor
pathway inhibitor dari dinding pembuluh darah. Terapi ini diberikan dengan bolus 80
IU/kgbb/jam dengan pemantauan nilai Activated Partial Tromboplastin Time (APTT) sekitar
6 jam setelah bolus untuk mencapai target APTT 1,5-2,5 kali nilai control dan kemudian
dipantau sedikitnya setiap hari. Sebelum memulai terapi heparin, APTT, masa protombin
(protombin time) dan jumlah trombosit harus diperiksa, terutama pada pasien dengan risiko
pendarahan yang tinggi atau dengan gangguan hati atau ginjal.3
Heparin berat molekul rendah (Low Molecular Weight Heparin/LMWH) dapat
diberikan 1 atau 2 kali sehari secara subkutan dan mempunyai efikasi yang baik,
keuntungannya adalah risiko pendarahan mayor yang lebih kecil, dan tidak membutuhkan
pemantauan labolatorium yang sering dibandingkan dengan UFH, kecuali pada pasien-pasien
tertentu seperti gagal ginjal atau sangat gemuk.
Pemberian antikoagulan UFH atau LMWH ini dilanjutkan dengan antikoagulan oral
yang bekerja menghambat faktor pembekuan yang memerlukan vit K. antikoagulan oral yang

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 14


sering digunakan warfarin atau coumarin/ derivatnya. Obat ini diberikan bersama-sama saat
awal tetapi heparin dengan pemantauan INR. Heparin diberikan selama minimal 5 hari dan
dapat dihentikan bila antikoagualan oral ini mencapi target INR yaitu 2,0-3,0 selama 2 hari
berturut-turut. Lama pemberian antikoagulan masih bervariasi, tetapi pada umumnya
bergantung pada faktor risiko DVT tersebut. Pasien yang mengalami DVT harus
mendapatkan antikoagulan selama 6 minggu hingga 3 bulan jika mempunyai faktor risiko
yang reversible atau sedikitnya 6 bulan jika faktor risikonya tidak diketahui (idiopatik),
sedangkan pada pasien yang mempunyai faktor risiko molecular yang diturunkan seperti
defisiensi antitrombin III, protein C, protein S, lupus anticoagulant atau antibody cardiolipin,
antikoagulan oral diberikan lebih lama bahkan dapat seumur hidup. Pemberian antikoagulan
seumur hidup ini juga diindikasikan pada pasien yang mengalami lebih dari dua kali episode
thrombosis vena atau satu kali trombosispada kanker yang aktiv.
Terapi trombolitik, terapi ini bertujuan untuk melisiskan thrombus secra cepat
dengan cara mengaktifkn plasminogen menjadi plasmis. Terapi ini umumnya hanya efektif
pada fase awal dan penggunaannya benar-benar harus dipertimbangkan secara baik karena
mempunyai faktor risiko perdarahan 3 kali lipat dibandingkan dengan terapi antikoagulan
saja pada umunya terapi ini hanya dilakukan pada DVT dengan occlusi total terutama pada
ileofemoral.3

Non medica mentosa

Terapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya. Latihan
dan compression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta mengurangi insiden terjadinya
post thrombotic syndrome (PTS). Penggunaan compression stockings selama kurang lebih 2
tahun dimulai 2-3 minggu ketika diagnosa DVT ditegakkan menurunkan resiko timbulnya
PTS. Peranan compression stockings atau intermitten pneumatic compression (IPC) dalam
mencegah PTS belum sepenuhnya dimengerti, namun penggunaannya telah digunakan secara
luas. Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan
mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek.3

2.11 Komplikasi

1. Embolisasi pulmonalis
Adalah proses dengan bekuan darah dalam system vena profunda, terlepas dari
dinding pembuluh dan masuk ke sirkulasi pulmonalis. Sebagian besar emboli berasal dari
system profunda atau vena pelvis dan mengganggu fungsi oksigenasi paru-paru atau fungsi
PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 15
jantung, bila emboli menyumbat sebagian besar (lebih dari 60%) sirkulasi pulmonalis.
Emboli arteri dari daerah thrombosis pada arteria aterosklerotik dapat menimbulkan cedera
jaringan yang serius dan disfungsi organ, tergantung pada besar dan letak emboli. 3

2. Sindroma pasca phlebitis

suatu komplikasi thrombosis vena profunda yang serius. Sindroma ini merupakan
akibat langsung kerusakan katup vena oleh thrombus. Ia menimbulkan peningkatan tekanan
hidrostatik yang normalnya mengalirkan darah dari vena superfisialis ke system vena
profunda. Bila katup perforantes rusak, maka aliran darah terdorong ke system superfisialis
selama kontrasi otot betis bawah. Kenaikan aliran darah merangsang timbulnya edema dan
mengganggu fungsi jaringan subkutis. Sehingga menimbulkan perubahan warna dan ulserasi
kulit yang serius. 5

2.12 Pencegahan

Resiko terjadinya trombosis vena dalam dapat diturunkan dan dicegah dengan
melakukan gaya hidup yang aktif dan berolahraga secara teratur - setiap hari jika
memungkinkan, seperti berjalan, berenang, dan bersepeda, mengatur berat badan dengan
menyeimbangkan antara olahraga dengan makan makanan yang sehat, berhenti merokok,
menghindari konsumsi alkohol, memeriksa tekanan darah secara teratur, berkonsultasi
kepada dokter jika anda atau keluarga ada yang mengalami masalah pembekuan darah, jika
melakukan perjalanan udara atau duduk selama lebih dari 4 jam, berjalan atau lakukan
peregangan kaki dan tetaplah terhidrasi dengan baik, menggunakan stocking bisa membantu
untuk mencegah pembekuan darah. Untuk pencegahan trombosis vena dalam pasca
pembedahan atau akibat bedrest yang lama bisa dengan memberikan antikoagulan sebelum
atau segera sesudah pembedahan, menggunakan alat semacam stocking untuk mengompres
kaki dan menjaga agar darah tetap mengalir di pembuluh darah, meninggikan kaki saat di
tempat tidur, bangun dan bergeraklah sesegera mungkin, dan konsumsilah obat pereda nyeri
untuk memudahkan proses pergerakan.5

2.13 Prognosis

Semua pasien dengan trombosis vena dalam pada masa yang lama mempunyai
resiko terjadinya insufisiensi vena kronik. Kira-kira 20% pasien dengan DVT yang tidak

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 16


ditangani dapat berkembang menjadi emboli paru, dan 10-20% dapat menyebabkan kematian.
Dengan antikoagulan terapi angka kematian dapat menurun hingga 5 sampai 10 kali.3

III. Penutup

Kesimpulan

Seorang laki-laki berusia 65 tahun yang sedang dirawat di ruang rawat inap
dikonsulkan dengan keluhan betis kirinya sakit disertai bengkak dan kemerahan sejak 4 jam
yang lalu. Pasien tersebut sudah 2 hari dirawat setelah menjalani operasi penggantian sendi
panggul kiri 2 hari yang lalu menderita trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis.
Hipotesis diterima.

Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Internal Publishing; 2009. h. 23-5.
2. Frans D. David P. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2009.
3. Sudoyo AW, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid 2. Edisi 5. Jakarta: Internal Publishing; 2009. h. 1354-8.
4. Baughman DC, Hackley JC. Medikal-bedah. Jakarta : EGC; 2005. h. 184-8.
5. Sabiston. Buku ajar bedah. Jilid 1. Jakarta: EGC; 2005. h. 114-5.
6. Browns RG, Burns T. Dermatology. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.h.167.
7. Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Seri asuhan keperawatan klien gangguan
kardiovaskuler. Jakarta: EGC, 2008.h.68.

PBL Blok 19- Fina Otta Apelia 17

Anda mungkin juga menyukai