Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tiroiditis merupakan istilah yang mencakup segolongan kelainan yang

ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya keadaan yang

timbul mendadak dengan disertai rasa sakit yang hebat pada tiroid. Tiroiditis dapat

dibagi berdasar atas etiologi, patologi, atau penampilan klinisnya. Penampilan

klinis dilihat dari perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit pada tiroid (1).

Berdasarkan penampilan klinis tersebut, maka tiroidis dibagi atas tiroiditis

akut, subakut, dan kronis. Tiroiditis akut contohnya tiroiditis infeksiosa akut,

tiroiditis karena radiasi, dan tiroiditis traumatika. Tiroiditis subakut dibagi menjadi

yang disertai rasa sakit seperti tiroiditis de Quervain, sedangkan yang tidak disertai

rasa sakit seperti tiroiditis limfositik subakut, post partum, dan oleh karena obat-

obatan. Tiroiditis kronis meliputi tiroiditis Hashimoto, Riedel, dan infeksiosa kronis

(1).

Tiroiditis Hashimoto merupakan salah satu penyakit tiroid autoimun yang

paling umum dan bersifat organ-specific. Ditemukan oleh Hakaru Hashimoto pada

tahun 1912, dengan istilah lain struma limfomatosa. Disebut pula sebagai tiroiditis

autoimun kronis dan merupakan penyebab utama hipotiroid di daerah yang

iodiumnya cukup. Penyakit ini sering mengenai wanita berumur antara 30-50

tahun. Hampir semua pasien mempunyai titer antibodi tiroid yang tinggi, infiltrasi
limfositik termasuk sel B dan T, dan apoptosis sel folikel tiroid. Penyebabnya

sendiri diduga kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan (1,2,3).

Tiroiditis Hashimoto ini ditandai oleh munculnya antibodi terhadap

tiroglobulin dalam darah. Pada tahun 1956, Roitt dkk untuk pertama kalinya

menemukan antibodi terhadap tirogobulin, yang bertindak sebagai autoantigen,

dalam serum penderita penyakit Hashimoto sehingga terjadi inflamasi akibat

autoimun. Perjalanan penyakitnya sendiri pada awalnya mungkin dapat terjadi

hipertiroid oleh adanya proses inflamasi, tetapi kemudian kerusakan dan penurunan

fungsi tiroid yang luas dapat menyebabkan hipotiroidisme. Kelenjar tiroidnya bisa

membesar membentuk nodul goiter. Sekali mulai timbul hipotiroid maka gejala ini

akan menetap sehingga diperlukan terapi hormon tiroid yang bertujuan mengatasi

defisiensi tiroid serta memperkecil ukuran goiter (1,4,5).

Mengingat pentingnya pengetahuan tentang penyakit Tiroiditis Hashimoto

ini, maka penulis mencoba memaparkan mengenai aspek patofisiologi, gejala

klinis, diagnosis, dan pengobatan dari Tiroiditis Hashimoto ini.

I.2 Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui aspek

patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, dan pengobatan dari penyakit Tiroiditis

Hashimoto.

2
I.3 Manfaat

Pada penulisan referat ini penulis berharap dapat memberikan pengetahuan

pada pembaca mengenai Tiroiditis Hashimoto secara lebih mendalam.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kelenjar Tiroid

II.1.1 Struktur Kelenjar tiroid

Kelenjar tiroid terletak pada leher bagian depan, tepat di bawah kartilago

krikoid, disamping kiri dan kanan trakhea. Pada orang dewasa beratnya lebih

kurang 18 gram. Kelenjar ini terdiri atas dua lobus yaitu lobus kiri kanan yang

dipisahkan oleh isthmus. Masing-masing lobus kelenjar ini mempunyai ketebalan

lebih kurang 2 cm, lebar 2,5 cm dan panjangnya 4 cm. Tiap-tiap lobus mempunyai

lobuli yang di masing-masing lobuli terdapat folikel dan parafolikuler. Di dalam

folikel ini terdapat rongga yang berisi koloid dimana hormon-hormon disintesa

(1,6,7).

Gambar 2.1. Anatomi Tiroid

4
Kelenjar tiroid mendapat sirkulasi darah dari arteri tiroidea superior dan

arteri tiroidea inferior. Arteri tiroidea superior merupakan percabangan arteri

karotis eksternal dan arteri tiroidea inferior merupakan percabangan dari arteri

subklavia. Lobus kanan kelenjar tiroid mendapat suplai darah yang lebih besar

dibandingkan dengan lobus kiri. Dipersarafi oleh saraf adrenergik dan kolinergik.

Saraf adrenergik berasal dari ganglia servikalis dan kolinergik berasal dari nervus

vagus (6,7).

Unit struktural daripada tiroid adalah folikel, yang tersusun rapat, berupa

ruangan bentuk bulat yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk gepeng, kubus sampai

kolumnar. Konfigurasi dan besarnya sel-sel folikel tiroid ini dipengaruhi oleh aktivitas

fungsional daripada kelenjar tiroid itu sendiri. Bila kelenjar dalam keadaan inaktif, sel-

sel folikel menjadi gepeng dan akan menjadi kubus atau kolumnar bila kelenjar dalam

keadaan aktif. Pada keadaan hipertiroidism, sel-sel folikel menjadi kolumnar dan

sitoplasmanya terdiri dari vakuol-vakuol yang mengandung koloid (7,8) .

Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen eosinofilik.

Variasi densiti dan warna daripada koloid ini juga memberikan gambaran fungsional

yang signifikan; koloid eosinofilik yang tipis berhubungan dengan aktivitas fungsional,

sedangkan koloid eosinofilik yang tebal dan banyak dijumpai pada folikel dalam

keadaan inaktif dan beberapa kasus keganasan. Pada keadaan yang belum jelas

diketahui penyebabnya, sel-sel folikel ini akan berubah menjadi sel-sel yang besar

dengan sitoplasma banyak dan eosinofilik, kadang-kadang dengan inti hiperkromatik,

yang dikenal sebagai oncocytes (bulky cells) atau Hürthle cells (7,8 ).

5
Gambar.2.2 Histologi kelenjar tiroid normal

Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yaitu T3, T4 dan sedikit

kalsitonin. Hormon ini diangkut oleh protein pengangkut, protein pengangkut itu

adalah TBG (thyroxine binding globulin), TBPA (thyroxine binding prealbumin),

T3U (T3 resin uptake) dan TBI (thyroxine binding index). Peningkatan protein

pengangkut TBG menyebabkan peningkatan hormon T4 dan penurunan protein

pengangkut T3U. Peningkatan TBG disebabkan oleh pengobatan estrogen,

perfenazin, kehamilan, bayi baru lahir, hepatitis infeksiosa dan peningkatan sintesis

herediter. Sedangkan penurunan kadar TBG dipengaruhi oleh pengobatan steroid

anabolik dan androgen, sakit berat atau pembedahan, sindroma nefrotik dan

defisiensi kongenital (6,7,8).

Tubuh memiliki mekanisme yang rumit untuk menyesuaikan kadar hormon

tiroid. Mekanisme pengaturan sekresi hormone tiroid tersebut dapat dilihat pada

6
gambar 2.2. Hipotalamus (terletak tepat di atas kelenjar hipofisa di otak)

menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH), yang menyebabkan kelenjar

hipofisa mengeluarkan thyroid-stimulating hormone (TSH). Sesuai dengan

namanya, TSH ini merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid.

Jika jumlah hormon tiroid dalam darah mencapai kadar tertentu, maka kelenjar

hipofisa menghasilkan TSH dalam jumlah yang lebih sedikit, sebaliknya jika kadar

hormon tiroid dalam darah berkurang, maka kelenjar hipofisa mengeluarkan lebih

banyak TSH. Hal ini disebut mekanisme umpan balik (7,8).

Gambar 2.3. Pengaturan sekresi hormon tiroid.

7
II.1.2 Proses Pembentukan Hormon Tiroid

Hormon T3 dan T4 dihasilkan oleh folikel sedangkan kalsitonin dihasilkan

oleh parafolikuler. Bahan dasar pembentukan hormon-hormon ini adalah yodium

yang diperoleh dari makanan dan minuman. Yodium yang dikomsumsi akan diubah

menjadi ion yodium (yodida) yang masuk secara aktif ke dalam sel kelenjar dan

dibutuhkan ATP sebagai sumber energi. Proses ini disebut pompa iodida, yang

dapat dihambat oleh ATP-ase, ion klorat dan ion sianat. Sel folikel membentuk

molekul glikoprotein yang disebut tiroglobulin yang kemudian mengalami

penguraian menjadi monoiodotironin (MIT) dan diiodotironin (DIT). Selanjutnya

terjadi reaksi penggabungan antara MIT dan DIT yang akan membentuk

triiodotironin atau T3 dan DIT dengan DIT akan membentuk tetraiodotironin atau

tiroksin (T4). Proses penggabungan ini dirangsang oleh TSH namun dapat dihambat

oleh tiourea, tiourasil, sulfonamid, dan metil kaptoimidazol. Hormon T3 dan T4

berikatan dengan protein plasma dalam bentuk PBI (protein binding iodine)

(1,7,8,9).

Gambar 2.4. Sintesis hormon tiroid pada folikel tiroid

8
II.1.3 Fungsi Kelenjar Tiroid

Fungsi dari hormon-hormon tiroid antara lain adalah (1,7,8,9) :

a. Mengatur laju metabolisme tubuh. Baik T3 dan T4 kedua-duanya meningkatkan

metabolisme karena peningkatan komsumsi oksigen dan produksi panas. Efek

ini pengecualian untuk otak, lien, paru-paru dan testis.

b. T3 lebih cepat dan lebih kuat reaksinya tetapi waktunya lebih singkat dibanding

dengan T4. T3 lebih sedikit jumlahnya dalam darah. T4 dapat dirubah menjadi

T3 setelah dilepaskan dari folikel kelenjar.

c. Memegang peranan penting dalam pertumbuhan fetus khususnya pertumbuhan

saraf dan tulang.

d. Mempertahankan sekresi GH dan gonadotropin.

e. Efek kronotropik dan inotropik terhadap jantung yaitu menambah kekuatan

kontraksi otot dan menambah irama jantung.

f. Merangsang pembentukan sel darah merah.

g. Mempengaruhi kekuatan dan ritme pernapasan sebagai kompensasi tubuh

terhadap kebutuhan oksigen akibat metabolisme.

h. Bereaksi sebagai antagonis insulin.

i. Tirokalsitonin mempunyai jaringan sasaran tulang dengan fungsi utama

menurunkan kadar kalsium serum dengan menghambat reabsorpsi kalsium di

tulang. Faktor utama yang mempengaruhi sekresi kalsitonin adalah kadar kalsium

serum. Kadar kalsium serum yang rendah akan menekan pengeluaran tirokalsitonin

dan sebaliknya peningkatan kalsium serum akan merangsang pengeluaran

tirokalsitonin. Faktor tambahan adalah diet kalsium dan sekresi gastrin di lambung.

9
II.2 Definisi Tiroiditis Hashimoto

Tiroiditis berasal dari kata tiroid yaitu kelenjar tiroid sedangkan –itis

menandakan adanya proses peradangan (inflamasi) dengan beragam penyebab.

Bila dilihat dari aspek waktu kejadian maka tiroiditis dibagi menjadi tiroiditis akut

(muncul mendadak atau durasi penyakit singkat), tiroiditis subakut (antara akut dan

kronik) dan tiroiditis kronik (durasi penyakit lama) (1,10).

Berdasarkan penyebabnya, tiroiditis dibagi menjadi tiroiditis karena infeksi,

tiroiditis autoimun, tiroiditis pasca persalinan, tiroiditis karena obat-obatan dan

tiroiditis Riedel. Berdasarkan ada atau tidaknya nyeri, dibagi menjadi tiroiditis

dengan nyeri dan tiroiditis tanpa nyeri. Tiroiditis yang paling sering ditemukan

adalah tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis postpartum (timbul setelah melahirkan)

(1,10).

Tiroiditis Hashimoto adalah tiroiditis yang disebabkan oleh proses

autoimun dan berdasarkan waktu kejadian termasuk tiroiditis kronik. Jika jaringan

tiroid yang mengalami tiroiditis diperiksa dibawah mikroskop maka akan tampak

gambaran peradangan berupa infiltrasi sel-sel limfosit (1,5,10).

Tiroiditis autoimun yang terserang terutama wanita berusia antara 30 – 50

tahun dan dicirikan dengan adanya kelenjar tiroid yang keras, membesar difus, tak

nyeri. Pasien biasanya eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Hipotiroid

terjadi jika hormon tiroid yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan tubuh.

Kelenjar tiroid juga bisa membesar membentuk goiter (4,5).

10
II.3 Patofisiologi Tiroiditis Hashimoto

Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan

faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan

faktor pemicu lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen

tiroid (2).

Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui,

berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan

dalam patogenesis PTAI. Selanjutnya diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan

seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler

yang bekerja secara bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T

tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan

dengan membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi.

Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang

bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang

bertindak sebagai autoantigen (2,11).

Gambar 2.4 memperlihatkan secara skematik mekanisme terjadinya PTAI,

diawali paparan faktor pemicu lingkungan pada individu yang memiliki gen

suseptibel. Interaksi antara sel-sel imun dengan autoantigen tiroid menimbulkan

tiroiditis Hashimoto atau penyakit Graves atau pembentukan antibodi antitiroid

tanpa gejala klinik (asymptomatic autoimmune thyroid disease).

11
Gambar 2.5. Gambar skematik mekanisme terjadinya PTAI.
Auto-Ag’s: Thyroid Autoantigens; Tab’s : Thyroid antibodies

Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat

dari faktor genetik dan lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen

dan autoantibodi tiroid, ditambah adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis

yang diperkirakan terjadi pada proses penyakit ini.

a. Faktor genetik

Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon

imun seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta

antibodi, dan gen yang mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti

tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase), transporter iodium, TSHR (TSH

Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru enam gen yang dapat

diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4), CD40, HLA-

DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin, dan TSHR (2,12).

12
Gambar 2.6 Aktivasi sel T oleh Antigen Presenting Cell (APC). APC
memunculkan antigen peptid yang terikat molekul HLA kelas II, dan
peptid ini dikenal oleh reseptor sel T.

Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul

kostimulator yang terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells

(APC). APC akan mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptide antigen

yang terikat protein HLA kelas II pada permukaan reseptor sel T. Sinyal

kostimulator berasal dari beberapa protein yang diekspresikan pada PC (seperti

B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan berinteraksi dengan reseptor (CD28, CTLA-4, dan

CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi antigen (2).

CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang

dapat meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain.

CTLA-4 berasosiasi dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis

Hashimoto, penyakit Graves, dan pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan

penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1, penyakit Addison, dan myasthenia

gravis (2).

13
Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas.

Hal ini menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering

kontroversial. Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya

ditemukan antibodi antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan

fungsi (asymptomatic autoimmune thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar

tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik dengan kegagalan fungsi tiroid. Beberapa

peneliti melaporkan asosiasi antara tiroidits Hashimoto dengan HLA-DR3 dan

HLA-DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-Kaukasus dilaporkan asosiasi antara

tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan dengan

HLA-DR9 pada bangsa Cina (2).

b. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai

penyebab penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah,

kelebihan dan kekurangan iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat

kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi

musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus

dan bakteri (11).

Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-α,

amiodarone dan Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid.

Pada Tabel 2.1 disajikan beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi PTAI,

berikut ringkasan mekanisme dan fenotipenya.

Tabel 2.1 Faktor lingkungan yang terlibat dalam patologi tiroiditis autoimun

14
Faktor Lingkungan Mekanisme Fenotipe
Berat lahir rendah Maturasi thymik tidak Antibodi TPO
sempurna
Ekses iodium Tidak terjadi escape effect HT
Wolff-Chaikoff; Jod-
Basedow GD
Defisiensi selenium Tidak diketahui; viral? HT
Jarak proses Efek estradiol HT
reproduktif yang
panjang
Kontraseptif oral Protektif Antibdi TPO
Mikrokhimerisme fetal Sel laki-laki di sel tiroid HT dan GD
menimbulkan efek antitiroid
Stress Upregulasi sumbu HPA GD
Alergi Tidak diketahui; kadar IgE GD
tinggi
Rokok Hipoksia?; Kadar IgE tinggi GD; terutama GO
Infeksi Yersinia Mimikri molekuler GD
enterocolitica
Keterangan : HT : Hashimoto thyroiditis
GD : Graves’ disease
GO : Graves’ ophthalmopathy

Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit

tertentu seperti penyakit jantung kronik. Kekurangan makanan selama

kehamilan dapat menyebabkan intoleransi glukosa pada kehidupan dewasa, serta

rendahnya berat thymus dan limpa mengakibatkan menurunnya sel T supresor.

Mungkin ada faktor intrauterin tertentu yang menghambat pertumbuhan janin,

yang merupakan faktor risiko lingkungan pertama yang terpapar pada janin

untuk terjadinya PTAI di kemudian hari (11).

Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid.

Hipotiroid lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan

daerah kurang iodium, dan prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang

iodium. Hipertiroidi Graves lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan

15
antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman kegagalan tiroid lebih sering

ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium berlebihan dapat

menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai latar belakang

penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat menyebabkan hipotiroid

dan/ atau goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila

sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional atau bentuk subklinik penyakit

Graves, asupan iodium berlebihan akan menginduksi terjadinya hipertiroid (efek

Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar

tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang pada gilirannya akan

menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya merupakan

pula faktor risiko terjadinya PTAI (11).

Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis

selenocysteine, yang juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium

mempengaruhi sistem imun. Defisiensi selenium akan menyebabkan individu

lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus Coxsackie, mungkin karena

limfosit T memerlukan selenium (13).

Di samping itu, selenium merupakan suatu antioksidan dan mengurangi

pembentukan radikal bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon

tiroid, karena dua enzim yaitu selenoprotein deiodinase dan gluthatione

peroxidase, berperan dalam produksi hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat

meningkatkan angka keguguran dan kematian akibat kanker (cancer mortality

rate). Kadar selenium rendah di dalam darah akan meningkatkan volume tiroid

dan hipoekogenisitas, suatu petanda adanya infiltrasi limfosit. Dari suatu

16
penelitian dilaporkan pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti lain

memberikan 200 ug selenium methionine) pada penderita hipotiroid subklinik

akan menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas

hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid (11).

Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat

stress sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi,

menimbulkan efek imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai

pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan sistem imun

menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan memfasilitasi

keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas humoral

meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu

seringkali didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit

Graves. Belum diketahui apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan faktor

stress (11).

Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam patogenesis

PTAI. Ada tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi bertindak sebagai faktor

pencetus PTAI seperti yang digambarkan pada Gambar 2.7 (14).

17
Agen Infeksi
(virus, bakteri)

A B C

Proses APC Infeksi langsung Stimulasi Induksi Gen-V


klasik pada sel tiroid langsung pada Sel-T restriksi
sel-T

Pelepasan sitokin

Mimikri
molekuler Induksi Gen-V
dengan Sel-T restriksi
Ekspresi HLA-
autoantigen DR pada sel
tiroid

Induksi reaksi Induksi reaksi Stimulasi


antibodi silang sel-T silang Sel-T sebagai poliklonal pada
APC’S sel-T autoreaktif

Presentasi
autoantigen

Penyakit Tiroid Autoimun

Gambar 2.7. Tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi sebagai pencetus


PTAI.
A. Mimikri molekuler antara epitop antigenik dengan reseptor TSH;
B. Induksi molekul MHC kelas II untuk mempresentasikan autoantigen oleh
tirosit pada sel T;
C. Molekul superantigen yang dibentuk oleh agen infeksi menginduksi sel T
autoreaktif.

18
Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru,

juga mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi

poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga

menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan meningkatkan risiko kekambuhan

penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah pengobatan dengan

iodium radioaktif (12).

c. Autoantigen dan autoantibodi tiroid

Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan

perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler.Kerusakan

seluler terjadi saat limfosit T yang tersensitisasi (sensitized) dan/atau

autoantibodi berikatan dengan membran sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi

inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja autoantibodi yang bersifat

stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga autoantigen

spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin,

dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai ”thyroid

microsomal antigen”, merupakan enzim utama yang berperan dalam

hormogenesis tiroid (15).

Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells

merupakan penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak

menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut

berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai petanda (marker) penyakit

dan tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroid. Di lain pihak beberapa

studi menduga antibodi anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik terhadap tiroid;

19
antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang menyertai

hipotiroid pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik (15,16).

Aktivasi proses
autoimun
Elevasi TPOAb

TSH sedikit
meningkat
Faktor (subklinik)
lingkungan Hipotiroidisme

Kehilangan FT4
Over
Hipotiroidisme
Predisposisi
genetik 5% pertahun

Umur

Gambar 2.8. Perubahan kadar antibodi anti-TPO dan terjadinya disfungsi tiroid
pada PTAI.

Pada gambar 2.8 di atas diperlihatkan perubahan kadar antibodi anti-TPO

yang mendahului terjadinya disfungsi tiroid pada individu dengan predisposisi

genetik yang dipicu faktor lingkungan, sejalan dengan bertambahnya waktu

(umur) (16).

Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup iodium,

penentuan antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap penentuan kadar Tg,

karena bila ada antibodi anti-Tg akan menganggu metode penentuan kadar Tg.

Sedangkan di daerah kurang iodium, penentuan kadar antibodi anti-Tg berguna

20
untuk mendeteksi PTAI pada penderita struma nodusa dan pemantauan hasil

terapi iodida pada struma endemik (15,16).

Dalam kepustakaan, terdapat beragam nomenklatur antibodi antitiroid,

khususnya terhadap TSHR (Thyroid Stimulating Hormon Receptor). Misalnya

dikenal istilah LATS = Long Acting Thyroid Stimulator; LATS-P = Long Acting

Thyroid Stimulator-Protector; TSI=Thyrotropin Stimulating Immunoglobulin;

TBII = Thyrotropin Binding Inhibitor Immunoglobulin; TSBAb = Thyroid

Stimulating Blocking Antibody; dan TRAb=Thyrotropin Receptor Antibody).

Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR dikelompokkan menjadi (17, 18) :

1. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon

tiroid;

2. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam

merangsang sintesis hormon tiroid;

3. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang pertumbuhan

sel folikel;

4. TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang

pertumbuhan seluler (misalnya pada miksedema).

Aktivitas berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan terjadinya

diskrepansi antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada penderita

dengan kelenjar tiroid besar tetapi fungsinya normal atau rendah, atau sebaliknya

(18).

Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap koloid

kedua (second colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel selain reseptor

21
TSH, antibodi terhadap hormon tiroid T3 dan T4, serta antibodi terhadap antigen

membran otot mata (disebut sebagai ophthalmic immunoglobulin) (19).

Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi

hipo-tiroidi, keadaan yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity.

Contohnya konversi menjadi hipertiroid Graves pada penderita yang sebelumnya

menderita hipotiroid karena penyakit Hashimoto, dan konversi dari

tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada penderita Graves; beberapa

mekanisme mungkin berperan (17).

d. Mekanisme apoptosis

Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam

PTAI – tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+), CD25(+)

T regulatory cells akan merusak (breaks) toleransi host dan menginduksi

produksi abnormal sitokin yang akan menfasilitasi apoptosis. Terdapat

perbedaan mekanisme yang memediasi proses apoptosis pada HT dan GD, yaitu

pada HT akan terjadi destruksi tirosit sedangkan apoptosis pada GD akan

mengakibatkan kerusakan thyroid infiltrating lymphocytes. Perbedaan

mekanisme apoptotik tersebut akan mengakibatkan dua bentuk respons

autotimun berbeda yang akhirnya akan menimbulkan manifestasi tiroiditis

Hashimoto dan penyakit Graves (20).

e. Peran sitokin

Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin

dapat bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper

terdiri dari sel Th1, terutama memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-

22
2 (IL-2), yang menimbulkan respon imun langsung pada sel (cellmediated

immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan terutama IL-4, IL-5, dan IL-13

yang akan mempromosikan respons imun humoral. Sel Th3 menghasilkan

terutama TGFβ yang mempunyai peranan protektif dan pemulihan dari penyakit

autoimun (21).

Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B

intratiroid dan menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid termasuk

upregulasi MHC kelas I dan II, serta ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga

merangsang sel folikel tiroid untuk menghasilkan sitokin, Nitric Oxide (NO) dan

Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan meningkatkan reaksi inflamasi dan

destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi pertumbuhan dan fungsi sel

folikel tiroid, yang secara langsung akan berimplikasi terhadap disfungsi tiroid

(21).

Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama

thyroid-associated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan

retrobulbar pada penderita dengan TAO; sel T tersebut akan diaktivasi dan

menghasilkan sitokin, yang akan memperluas proses inflamasi melalui beberapa

mekanisme termasuk peningkatan MHC kelas II, Heat Shock Protein (HSP),

molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di jaringan retrobulbar. Sitokin akan

meningkatkan proliferasi fibroblast secara lokal dan membantu pembentukan

sel-sel radang baru, meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga meningkatkan

akumulasi matriks ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek stimulatorik pada

glycosaminoglycan (GAG) dan produksi inhibitor metalloproteinase oleh

23
fibroblast retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di atas, memodulasi produksi sitokin

atau menghambat kerja sitokin di jaringan retrobulbar dapat dipertimbangkan

untuk menangani oftalmopati yang sampai saat ini sukar diobati (21).

II.4 Gejala Klinis Tiroiditis Hashimoto

Penyakit Hashimoto tidak memiliki tanda-tanda dan gejala selama

bertahun-tahun dan tidak terdiagnosis sampai ditemukannya pembesaran kelanjar

tiriod atau hasil pemeriksaan darah yang abnormal pada pemeriksaan kesehatan

rutin. Gejala yang berkembang berhubungan dengan efek tekanan lokal pada leher

yang disebabkan pembesaran kelenjar tiroid tersebut, atau akibat penurunan kadar

hormon tiroid dalam darah. Tanda pertama penyakit ini mungkin berupa bengkak

tidak nyeri pada leher depan bagian bawah. Efek tekanan lokal akibat pembesaran

kelenjar tiroid dapat menambah gejala seperti kesulitan menelan (1,5).

Tanda-tanda dan gejala hipotiroidisme sangat bervariasi, tergantung pada

tingkat keparahan kekurangan hormon. Gambaran klinis awalnya didahului dengan

gejala-gejala hipertiroid (kadar hormon tiroid meningkat) lalu normal (eutoroid)

dan akhirnya berubah menjadi hipotiroid (kadar hormon menurun) berkepanjangan.

Pada awalnya, mungkin gejala jarang terlihat, seperti kelelahan dan kelesuan, atau

tanda-tanda menua. Tetapi semakin lama penyakit berlangsung, gejala dan tanda

makin jelas (1,4).

Pasien tiroiditis Hashimoto yang berkembang mengalami hipotiroid

biasanya menunjukkan tanda dan gejala meliputi kelelahan dan kelesuan, sering

mengantuk, jadi pelupa, kesulitan belajar, kulit kering dan gatal, rambut dan kuku

24
yang rapuh, wajah bengkak, konstipasi, nyeri otot, penambahan berat badan,

peningkatan sensitivitas terhadap banyak pengobatan, menstruasi yang banyak,

peningkatan frekuensi keguguran pada wanita yang hamil (1,5).

II.5 Penegakan Diagnosis

Pada tiroiditis Hashimoto, pemeriksaan goiter yang terbentuk dapat

diidentifikasi melalui pemeriksaan fisik, dan keadaan hipotiroid diketahui dengan

identifikasi gejala dan tanda fisik yang khas, serta melalui hasil pemeriksaan

laboratorium (1,5).

Peningkatan antibodi antitiroid merupakan bukti laboratorik paling spesifik

pada tiroiditis Hashimoto, namun tidak semuanya dijumpai pada kasus.

Pemeriksaan hormon tiroid biasanya diperiksa kadar TSH dan FT4. Dikatakan

hipotiroid apabila peningkatan kadar TSH disertai penurunan FT4 (5).

Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan secara histopatologis melalui

biopsi. Kelainan histopatologisnya dapat bermacam – macam yaitu antara lain

infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi folikel tiroid, dan fibrosis. Aspirasi jarum

halus biasanya tidak dibutuhkan pada penderita tiroiditis ini, namun dapat dijadikan

langkah terbaik untuk diagnosis pada kasus yang sulit dan merupakan prosedur

yang dibutuhkan jika nodul tiroid terbentuk (1,4,5,10).

Makna klinis penentuan antibodi antitiroid

Tiga antibodi yang paling sering ditentukan kadarnya di klinik adalah TRAb

(Thyrotropin Receptor Antibody), TPOAb (anti TPO antibody), TgAb (ATA: anti

Tg antibody), dan penentuan berbagai antibodi lainnya lebih bersifat minat

25
akademik. Perlu diketahui bahwa autoantibodi tiroid tidak selalu ditemukan dalam

serum penderita PTAI, antara lain disebabkan oleh sensitivitas metoda assay (16).

TRAb ditemukan pada sebagian besar penderita yang pernah atau sedang

menderita penyakit Graves. Selama kehamilan, karena dapat melewati sawar

plasenta, TRAb merupakan faktor resiko disfungsi tiroid fetal maupun neonatal.

Prevalensi antibodi antitiroid meningkat pada penderita penyakit autoimun organ

specific lain seperti DM tipe 1 dan anemia pernisiosa, serta juga dengan

bertambahnya umur (prevalensi PTAI meningkat seiring dengan bertambahnya

umur) (16).

Antibodi anti-TPO merupakan faktor resiko disfungsi tiroid, termasuk

tiroiditis postpartum dan penyulit autoimun akibat penggunaan obat-obat tertentu.

Antibodi anti-TPO merupakan kelainan yang pertama ditemukan pada hipotiroidi

akibat tiroiditis Hashimoto. Lebih dari 95% penderita tiroiditis Hashimoto dan

sekitar 85% penderita penyakit Graves mempunyai antibodi anti-TPO (16).

Pada tabel 2.2 tercantum indikasi penentuan kadar antibodi anti-TPO

menurut rekomendasi National Academy of Clinical Biochemistry tahun 2003 (16).

Tabel 2.2 Indikasi penentuan antibodi anti-TPO


Diagnosis PTAI
Faktor risiko untuk PTAI
Faktor risiko untuk hipotiroid pada pengobatan dengan Interferon α, IL-2 & lithium
Faktor risiko disfungsi tiroid pada pengobatan Amiodarone
Faktor risiko hipotiroid pada penderita Sindrom Down
Faktor risiko disfungsi tiroid selama kehamilan dan tiroiditis post-partum
Faktor risiko untuk keguguran dan kegagalan fertilisasi in-vitro

26
Penentuan antibodi anti-tiroglobulin terutama dilakukan sebagai pelengkap

penentuan kadar Tg serum pada pemantauan hasil pengobatan karsinoma tiroid

berdiferensiasi pascaablasi; antibodi anti-Tg yang positif akan menganggu

penentuan kadar tiroglobulin. Antibodi anti-Tg positif pada penderita karsinoma

tiroid berdiferensiasi yang telah dinyatakan sembuh akan menjadi negatif dalam

waktu 1-4 tahun, sedangkan peningkatan kadarnya dapat digunakan sebagai

petunjuk awal rekurensi (16).

II.6 Penatalaksanaan

Jika penyakit Hashimoto dengan goiter tiroid, atau menyebabkan

kekurangan hormon tiroid, penderita memerlukan terapi penggantian hormon tiroid

yang bertujuan mengatasi defisiensi tiroid serta mengecilkan ukuran nodul goiter.

Pengobatan dengan penggunaan sehari-hari dari hormon tiroid sintetis sepertii

levotiroksin (levothroid, Levoxyl, Synthroid). Levotiroksin sintetis identik dengan

tiroksin, versi alami hormon ini dibuat oleh kelenjar tiroid (5).

Kadang tidak diperlukan pengobatan karena strumanya kecil dan

asimtomatik. Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin diperlukan tindakan

pengangkatan, sebaiknya operasi ini ditunda karena kelenjar tiroid tersebut dapat

mengecil sejalan dengan waktu. Pemberian tiroksin dapat mempercepat hal

tersebut. Disamping itu tiroksin juga dapat diberikan pada keadaan hipotiroidisme

(1,4).

Pada pasien usia tua, dosis dimulai dengan yang rendah dan ditingkatkan

secara bertahap. Pasa pasien usia muda, dapat langsung dimulai dengan dosis besar.

27
Aksi hormon tiroid sangat lambat pada tubuh, sehingga pengobatan memerlukan

waktu beberapa bulan sambil melihat perkembangan gejala atau ukuran goiter.

Karena secara umum gejala hipotiroid pada penyakit ini bersifat menetap, maka

kadang dibutuhkan pengobatan seumur hidup dengan dosis yang disesuaikan dari

waktu ke waktu sesuai keadaan individual pasien (5).

Dosis yang tidak adekuat dapat mengakibatkan bertambah besarnya goiter,

dan gejala hipotiroid terus-menerus. Kondisi ini dihubungkan pula dengan

peningkatan kolesterol serum, peningkatan resiko atherosklerosis dan penyakit

jantung. Sedangkan apabila dosis berlebihan, dapat menimbulkan gejala

hipertiroid, mengakibatkan kerja jantung yang berlebihan dan meningkatkan resiko

osteoporosis (5).

Bila terjadi hipertiroidisme dapat diberikan obat antitiroid. Pemberian

glukokortikoid dapat menyebabkan regresi struma dan mengurangi titer antibodi.

Tetapi mengingat efek samping dan kenyataan bahwa aktivitas penyakit dapat

kambuh kembali sesudah pengobatan dihentikan, maka pemakaian obat golongan

ini tidak dianjurkan pada keadaan biasa (1,10).

28
BAB III

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Tiroiditis Hashimoto merupakan penyakit autoimun kronik organ specific,

dengan penyebab multifaktorial, terjadi pada individu yang mempunyai

predisposisi genetik dengan pemicu faktor lingkungan. Pada tiroiditis Hashimoto

antibody anti-TPO merupakan petanda utama. Manifestasi klinis awalnya mungkin

saja hipertiroid akibat proses inflamasi hingga akhirnya terjadi kerusakan yang luas

pada kelenjar tiroid menyebabkan hipotiroid yang menetap. Pengobatan Hashimoto

dengan obat antitiroid dan pemberian l-tiroksin bukan bersifat kuratif, artinya tidak

mengubah patogenesis penyakitnya. Diharapkan di masa datang dengan

perkembangan dalam bidang biomolekuler dan pemahaman yang lebih mendalam

tentang respons imun dari antigen spesifik, penanganan penyakit tiroiditis autoimun

akan lebih mendasar dan bersifat kausal.

III.2. Saran

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas maka kita sebagai praktisi

klinis diharapkan dapat memahami memahami penyebab terjadinya, patofisiologi,

serta bagaimana mendiagnosis Tiroiditis Hashimoto dan bagaimana

penanganannya sehingga diharapkan nantinya bila kita menemukan kasus ini kita

dapat memberikan penanganan yang tepat kepada penderita.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Tim Penyusun. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta : FKUI.
2. Tomer Y, Davies TF. Searching for the autoimmune disease susceptibility
genes : from gene mapping to gene function. Endocrine Rev.2003;24(5):694-
717.
3. Chen HI, Akpolat I, et al. Restricted κ/λ ight chain ratio by flow cytometry in
germinal center b cells in hashimoto thyroiditis. Am J Clin Pathol. 2006;125:42-
48
4. Campbell PN, Doniach D, Hudson RV, Roitt IM. Autoantibodies in Hashimoto’
s disease (lymphadenoid goiter). Lancet 1956;271(6947):820-821.
5. Hashimoto’s Thyroiditis. www.thyroidawareness.com
6. http://elisa.ugm.ac.id/files/ariana/KFNunveC/35.%20Kelenjar%20Tiroid.pdf
7. Barrett, E.J. The thyroid gland. In Boron WF, Boulpaep EL. Medical
physiology.A cellular and molecular approach. Ist Edition. Saunders.
Philadelphia. 2003 : 1035- 1048.
8. Magner JA : Thyroid stimulating hormone: biosynthesis, cell biology and
bioactivity. Endocr Rev 1990; 11:354
9. Glinoer D. Regulation of maternal thyroid during pregnancy. J Clin Endocrinol
Metab 1990;71: 276
10. Wall JR. Autoimmune thyroid disease. Endocrinol Metab Clin North Am
1987;229:1
11. Prummel MF, Strieder T, Wiersinga WM. The environment and autoimmune
thyroid diseases.Eur J Endocrinol 2004;150:605-618.
12. Jacobson EM, Tomer Y. The CD40, CTLA-4, thyroglobulin, TSH receptor, and
PTPN22 gene quintet and its contribution to thyroid autoimmunity : back to the
future. J Autoimmun 2007;28:85-98.
13. Ridgway EC, Tomer Y, McLachlan SM. Update in Thyroidology. J Clin
Endocrinol Metab 2007;92:3755-3761.
14. Tomer Y, Davies TF. Infection, Thyroid Disease, and Autoimmunity.
Endocrine Rev. 1993;14(1):107-120.
15. Rapoport B, McLachlan SM. Thyroid autoimmunity. J Clin Invest
2001;108:1253-1259.
16. The National Academy of Clinical Biochemistry. Laboratory Medicine Practice
Guidelines; Laboratory Support for the Diagnosis and Monitoring of Thyroid
Disease. Thyroid 2003;13(1):45-56.
17. Ludgate M, Emerson CH. Metamorphic thyroid autoimmunity. Thyroid
2008;18(10):1035- 1037.
18. Van Ouwerkerk BM, Krening EP, Docter R, Benner R, Hennemann G.
Autoimmunity of thyroid disease. With emphasis on Graves’ disease. Neth J
Med 1985;28:
19. Amino N. Autoimmunity and hypothyroidism. Clin Endocrinol Metab
1988;2(3):591-617.
20. Wang SH, Baker JR. The role of apoptosis in thyroid autoimmunity.Thyroid
2007;17(10):975-9.

30
21. Weetman AP, Ajjan RA. Cytokines and autoimmune thyroid disease. Hot
Thyroidology. www. hotthyroidology.com. June 1, 2002.
22. Perros P, McCrimmon R, Shaw G, Frier B. Frequency of thyroid dysfunction in
diabetic patients ; value of annual screening. Diabet Med 1995;7:622-627
23. Wu P. Thyroid disease and diabetes. Clinical Diabetes 2000;18(1):38-39.
24. Gerstein HC. Incidence of postpartum thyroid dysfunction in patients with Type
1 diabetes mellitus. Ann Intern Med 1993;118(6):419-423.
25. Carella C, Maziotti G, Morisco F, Manganella G, Rotondi M, Tuccillo C, et al.
Long-Term outcome of interferon-alfa- induced thyroid autoimmunity and
prognostic influence of thyroid autoantibody pattern at the end of treatment. J
Clin Endocrinol Metab 2001;86;1925-1929.
26. Jenkins RC, Weetman AP. Disease associations with autoimmune thyroid
disease. Thyroid 2002;12(11):977-988.

31

Anda mungkin juga menyukai