Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea 2 dan
3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap
gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini
digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan
dengan kelenjar tyroid atau tidak
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari Arteri {a.} Tiroidea Superior (cabang dari a.Karotis
Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel lymfoid diselubungi
oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus
perifolikular. Nodus Lymfatikus {nl} tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke
nl.Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada
yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran
keganasan
Fisiologi
Kelenjar tiroid berperan mempertahankan derajat metabolisme dalam jaringan pada
titik optimal. Hormon tiroid merangsang penggunaan O2 pada kebanyakan sel tubuh,
membantu mengatur metabolisme lemak dan hidrat arang, dan sangat diperlukan untuk
pertumbuhan serta maturasi normal. Apabila tidak terdapat kelenjar tiroid, orang tidak akan
tahan dingin, akan timbul kelambanan mental dan fisik, dan pada anak-anak terjadi retardasi
mental dan dwarfisme. Sebaliknya, sekresi tiroid yang berlebihan meninbulkan penyusutan
tubuh, gugup, takikardi, tremor, dan terjadi produksi panas yang berlebihan.
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang kemudian
berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3). Iodium nonorganik yang diserap
dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi
30-40 kali sehingga mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam jaringan tiroid. T3 dan T4
yang dihasilkan ini kemudian akan disimpan dalam bentuk koloid di dalam tiroid. Sebagian
besar T4 kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar
yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormon tiroid akan terikat oleh protein
yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat
albumin (thyroxine binding prealbumine, TBPA).
Hormon stimulator tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) memegang peranan
terpenting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus anterior
kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal sebagai negative feedback sangat penting dalam proses
pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi. Dengan demikian, sekresi tiroid dapat mengadakan
penyesuaian terhadap perubahan-perubahan di dalam maupun di luar tubuh. Juga dijumpai
adanya sel parafolikuler yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur
metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang.
Pengukuran TSH menjadi hasil test yang jelas dari fungsi tiroid pada banyak keadaan.
Nilai TSH berkisar antara rentang luar mayor dari kasus primer penyakit tiroid. Jika TSH tidak
normal, lihat nilai dari T4 bebas/ free T4 (fT4). Ketika ada faktor resiko, lihat free T3 (fT3)
ketika fT4 normal dan diduga ada tirotoksikosis.
Histologi
Unit struktural daripada tiroid adalah folikel, yang tersusun rapat, berupa ruangan bentuk bulat
yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk gepeng, kubus sampai kolumnar. Konfigurasi dan
besarnya sel-sel folikel tiroid ini dipengaruhi oleh aktivitas fungsional daripada kelenjar tiroid
itu sendiri. Bila kelenjar dalam keadaan inaktif, sel-sel folikel menjadi gepeng dan akan
menjadi kubus atau kolumnar bila kelenjar dalam keadaan aktif. Pada keadaan hipertiroidism,
sel-sel folikel menjadi kolumnar dan sitoplasmanya terdiri dari vakuol-vakuol yang
mengandung koloid.
Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen eosinofilik. Variasi densiti
dan warna daripada koloid ini juga memberikan gambaran fungsional yang signifikan; koloid
eosinofilik yang tipis berhubungan dengan aktivitas fungsional, sedangkan koloid eosinofilik
yang tebal dan banyak dijumpai pada folikel dalam keadaan inaktif dan beberapa kasus
keganasan. Pada keadaan yang belum jelas diketahui penyebabnya, sel-sel folikel ini akan
berubah menjadi sel-sel yang besar dengan sitoplasma banyak dan eosinofilik, kadang-kadang
dengan inti hiperkromatik, yang dikenal sebagai oncocytes (bulky cells) atau Hürthle cells.
repository.usu.ac.id
HIPOTIROIDISME
Hipotiroid adalah suatu penyakit akibat penurunan fungsi hormon tiroid yang dikikuti tanda
dan gejala yang mempengaruhi sistem metabolisme tubuh. Faktor penyebabnya akibat
penurunan fungsi kelanjar tiroid, yang dapat terjadi kongenital atau seiring perkembangan usia.
Pada kondisi hipotiroid ini dilihat dari adanya penurunan konsentrasi hormon tiroid dalam
darah disebabkan peningkatan kadar TSH (Tyroid Stimulating Hormon).
Hipotiroidisme dapat terjadi
(1) karena kegagalan primer kelenjar tiroid itu sendiri;
(2) sekunder karena defisiensi TRH, TSH, atau keduanya; atau
(3) karena kurangnya asupan iodium dari makanan.
HIPERTIROIDISME
Hipertiroid adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan jumlah produksi jumlah hormon
tiroid dalam tubuh.dengan katalain kelenjar tiroid bekerja lebih aktif,dinamakan dengan
thyrotoksikosis,dimana berarti terjadi peningkatan level hormon tiroid yang ekstrim dalam
darah.
Penyebab tersering hipertiroidisme adalah penyakit Graves. Ini adalah suatu penyakit
autoimun ketika tubuh secara salah menghasilkan thyroid stimulating immunoglobulin
(TSI) yang juga dikenal dengan long-acting thyroid stimulator (LATS), suatu antibodi yang
sasarannya adalah reseptor TSH di sel tiroid. (Penyakit autoimun adalah kondisi ketika sistem
imun menghasilkan antibodi bagi salah satu jaringan tubuh sendiri.) TSI merangsang sekresi
dan pertumbuhan tiroid mirip dengan yang dilakukan oleh TSH. Namun, tidak seperti TSH,
TSI tidak dipengaruhiinhibisi umpan-balik negatif hormon tiroid sehingga sekresi dan
pertumbuhan tiroid berlanjut tanpa kendali
diperkirakan, pasien hipertiroid mengalami peningkatanLMB. Peningkatan produksi panas
yang terjadi menyebabkan keringat berlebihan dan intoleransi panas. Berattubuh biasanya
turun karena tubuh menggunakan bahan bakar dengan kecepatan abnormal cepat. Terjadi
penguraian neto simpanan karbohidrat, lemak, dan protein. Berkurangnya protein otot yang
terjadi menyebabkan kelemahan. Berbagai kelainan kardiovaskular berkaitan dengan hip
ertiroidisme, baik oleh efek langsung hormon tiroid maupun oleh interaksinya dengan
katekolamin. Kecepatan denyut dan kekuatan kontraksi dapat meningkat sedemikian besars
ehingga individu mengalami palpitasi (jantung berdebar-debar). Efek pada SSP ditandai oleh
peningkatan berlebihan kewaspadaan mental hingga ke titik ketika pasien mudah tersinggung,
tegang, cemas, dan sangat emosional.
Manifestasi Klinis
Pada stadium yang ringan sering tanpa keluhan. Demikian pula pada orang usia lanjut, lebih
dari 70 tahun, gejala yang khas juga sering tidak tampak. Tergantung pada beratnya hipertiroid,
maka keluhan bisa ringan sampai berat. Keluhan yang sering timbul antara lain adalah :
d.Penurunan berat badan (tampak kurus), peningkatan rasa lapar (nafsu makan baik)
g.Gangguan reproduksi
i. Cepat letih
j. Tanda bruit
Definisi
Tiroiditis Hashimoto adalah penyakit autoimun yang spesifik menyerang kelenjar tiroid
(Autoimmune Thyroid Disease = AITD; Penyakit Tiroid Autoimun = PTAI). Secara histologis
dicirikan dengan adanya infiltrasi limfosit pada kelenjar tiroid. Pada awal perjalanan penyakit
mungkin hanya terjadi hiperplasia kelenjar tiroid, yang kemudian diikuti oleh infiltrasi limfosit
dan sel plasma di antara sel folikel dan selanjutnya atrofi folikel. Pembentukan folikel limfoid
dengan sentrum germinativum hampir selalu ditemukan, derajat atrofi dan fibrosis folikel
bervariasi mulai dari ringan sampai sedang
Etiologi
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan penyebab
multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu lingkungan,
yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.Meskipun etiologi pasti respon imun
tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor
genetik sangat berperan dalam patogenesis PTAI. Selain itu, beberapa faktor lingkungan telah
dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat
badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan
obat kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim,
alergi, rokok, kerusakan kelenjar tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteria
PATOGENESIS
Tiroiditis Hashimoto disebabkan oleh gangguan toleransi diri (self-tolerance)terhadap
autoantigen tiroid, sehingga terdapat antibodi terhadap antigen tiroid yang beredar pada
sebagian besar pasien yang menunjukkan deplesi progresif sel epitel tiroid (tirosit), yang
digantikan oleh infiltrasi sel mononukleus
dan fibrosis. Keadaan yang memicu terjadinya gangguan toleransi diri belum sepenuhnya
dipahami, namun telah diidentifikasi sejumlah mekanisme imunologis yang dapat berperan
padakerusakan tirosit, meliputi:
• Kematian sel yang dimediasi oleh selT sitotoksik CD8+: Sel T sitotoksik CD8+: dapat
menyebabkan kerusakan tirosit.
• Kematian sel yang dimediasi oleh sitokin: Aktivasi selT yang berlebihan menyebabkan
diproduksi sitokin inflamasi seperti interferon-γ pada kelenjar tiroid, dengan akibat tertarik dan
aktivasinya makrofag serta kerusakan folikel.
Peranan penting unsur genetik pada patogenesis tiroiditis Hashimoto didukung oleh penemuan
penyakit ini pada 40% kembar monozigot, selain adanya antibodi antitiroid yang beredar pada
sekitar 50% saudara kandung pasien, yang tak bergejala (asimptomatik). Meningkatnya
kerentanan terhadap tiroiditis Hashimoto berhubungan dengan polimorfisme pada berbagai gen
yang terkait dengan pengaturan sistem imun, terutama yang berhubungan dengan gen cytotoxic
T lymphocyteassociated antigen-4 (CTLA4) yang mengkode regulator negatif fungsi sel T
MORFOLOGI
Tiroid biasanya membesar secara difus dan simetris, walaupun kadang-kadang pembesaran
kelenjar dapat lokal. Penampang tiroid tampak pucat dan coklat kelabu, kenyal dan agak rapuh.
Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan infiltrasi parenkim secara luas oleh infiltrat radang
mononuklear yang mengandungi sel limfosit kecil, sel plasma dan sentrum germinativum yang
berkembang baik. Folikel tiroid tampak atrofik, dan di banyak tempat, dilapisi oleh sel epitel
yang berbeda, dengan ciri sitoplasma banyak, granuler, dan eosinofilik, disebut sel Hurthle atau
sel oksifil. Perubahan ini merupakan respons metaplastik epitel kubik rendah folikel normal
yang mengalami jejas; pada pemeriksaan ultrastruktur, sel Hrth1e ditandai oleh banyak
mitokondria. Jaringan ikat interstisial meningkat dan bisa sangat banyak. Kadang-kadang,
kelenjar tiroid kecil dan atrofik sebagai akibat fibrosis yang lebih luas (varian fibrosis). Fibrosis
tidak meluas melampaui simpai kelenjar, tidak seperti halnya pada tiroiditis Reidel
Gambaran Klinis
Secara klinis tiroiditis Hashimoto menunjukkan menimbulkan kecurigaan akan suatu
neoplasma. Secara klinis hipotiroidisme biasanya berkembang bertahap. Namun, pada
beberapa kasus dapat diawali oleh tirotoksikosis semeniara (transient) yang disebabkan oleh
kerusakan folikel tiroid serta pelepasan hormon tiroid (hashitoksikosis) yang sekunder. Selama
fase ini, kadar T4 dan T3 bebas meningkat, TSH berkurang dan uptake yodium radioaktif
menurun. Saat terjadi hipotiroidisme, kadar T4 dan T3 berkurang secara progresif, diikuti oleh
peningkatan TSH kompensatorik. Pasien tiroiditis Hashimoto sering menderita penyakit
autoimun lainnya dan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk berkembang menjadi limfoma
non-Hodgkin sel B, yang secara khas terjadi di dalam kelenjar tiroid. Hubungan antara penyakit
Hashimoto dan kanker epitelial tiroid masih tetap kontroversial. Beberapa penelitian molekuler
dan morfologik menghubungkannya dengan predisposisi menjadi karsinoma
papiler.pembesaran tiroid tanpa nyeri, biasanya berhubungan dengan hipotiroidisme, pada
wanita usia menengah. Pembesaran kelenjar biasanya simetris dan difus, namun kadang-
kadang dapat terbatas sehingga
Manifestasi Klinis
Gejala yang biasanya ditemukan adalah struma difus dan retardasi pertumbuhan. Struma bisa
muncul secara perlahan-lahan, bervariasi dalam ukuran, kecil sampai besar. Kebanyakan
kelenjar tiroid membesar secara difus, kenyal, dan tidak sakit. Kebanyakan pasien tidak
mengalami gejala (eutiroid) dan beberapa kasus mengeluh adanya tekanan di leher. Beberapa
anak menunjukkan gejala klinis hipotiroid, tetapi pada kasus lainnya secara klinis tampak
eutiroid ternyata pada pemeriksaan fungsi tiroid didapatkan hasil sesuai dengan hipotiroid.
Sebagian kecil kasus memperlihatkan gejala hipertiroid seperti gelisah, lekas marah,
berkeringat banyak, atau hiperaktivitas pada fase awal akibat T4 dan T3 yang keluar dari
kelenjar yang rusak atau dapat juga karena stimulasi tiroid oleh TSH-receptor stimulatory
antibodies. Peristiwa ini disebut dengan hashitoksikosis.
Awitan hipotiroid biasanya timbul secara perlahan-lahan. Gejala pertama yang dikenali biasanya adalah
terhambatnya pertumbuhan yang biasanya sudah terjadi bertahun-tahun sebelum diagnosis. Anak
menjadi pendek dan relatif gemuk. Jika hipotiroidnya cukup berat dan berlangsung lama maka dapat
ditemukan proporsi tubuh yang imatur (rasio segmen atas dan bawah tubuh meningkat), maturasi tulang
dan gigi juga dapat terlambat. Pasien juga dapat menunjukkan gejala klasik hipotiroid seperti letargi,
tidak tahan dingin, konstipasi, kulit kering, meskipun tidak jarang juga pasien tidak mengalami gejala
ini. Prestasi di sekolah biasanya tidak terganggu. Pubertas pada pasien hipotiroid biasanya terlambat,
meskipun dapat ditemukan pubertas prekoks pada pasien dengan hipotiroid berat dan lama. Terkadang
ditemukan galaktorea akibat hiperprolaktinemia.1
Perjalanan klinis tiroiditis limfositik kronik sangat bervariasi. Struma dapat mengecil atau
menghilang secara spontan, atau dapat menetap selama bertahun-tahun sementara pasien tetap
dalam kondisi eutiroid. Beberapa pasien yang semula eutiroid dapat menjadi hipotiroid secara
perlahan-lahan dalam waktu yang lama bahkan sampai butuh waktu beberapa tahun sampai
gejala klinis hipotiroid tampak jelas. Tiroiditis atrofi merupakan penyebab terbanyak hipotiroid
didapat yang disertai struma
Penegakan Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan jika terdapat peningkatan kadar TPOAbs dan atau antibodi
tiroglobulin. Hasil pemeriksaan antibodi tiroid yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis
tiroiditis hasimoto. Hipotiroid ditegakkan dengan pemeriksaan fungsi tiroid yaitu dengan
mengukur T4 bebas dan TSH. Kadar T4 bebas normal dengan kadar TSH meningkat
menunjukkan adanya hipotiroid subklinis.
Penatalaksanaan
Pada pasien dengan hipotiroid perlu segera diberikan terapi substitusi dengan LT4. Biasanya ukuran
struma berkurang, tetapi dapat pula menetap selama bertahun-tahun. Kadar antibodi berfluktuasi baik
pada pasien yang diobati maupun yang tidak diobati dan dapat menetap selama bertahun-tahun. Karena
penyakit ini bersifat self limited pada beberapa kasus, maka perlunya pengobatan yang berkelanjutan
memerlukan re-evaluasi secara periodik. Pasien yang tidak diobati harus diobati harus dipantau secara
berkala. Pasien dengan nodul tiroid yang menetap, meskipun diberikan terapi supresif, harus dilakukan
pemeriksaan histologi karena karsinoma tiroid dapat terjadi pada pasien tiroiditis hasimoto.1
Prognosis
Struma yang disertai dengan hipotiroid dapat mengganggu tumbuh kembang anak baik secara fisik
maupun mental. Pada hasitoksikosis dapat terjadi krisis tiroid yang dapat berlanjut menjadi delirium,
koma, dan berakhir dengan kematian. Dengan terapi yang adekuat maka prognosis pasien tiroiditis
hasimoto cukup baik. Pada anak konsekuensi yang paling berat adalah letardasi pertumbuhan, berbeda
dengan hipotiroid congenital yang menyebabkan retardasi mental. Konsekuensi ini dapat diatasi dengan
pemberian hormon tiroid
Etiologi
Etiologi dari penyakit ini belum pasti, yang berperan khususnya untuk terjadi well differentiated
(papiler dan folikuler) adalah radiasi dan goiter endemis, dan untuk jenis meduler adalah faktor genetik.
Belum diketahui suatu karsinoma yang berperan untuk kanker anaplastik dan meduler. Diperkirakan
kanker jenis anaplastik berasal dari perubahan kanker tiroid berdiferensia baik (papiler dan folikuler),
dengan kemungkinan jenis folikuler dua kali lebih besar.
Radiasi merupakan salah satu faktor etiologi kanker tiroid. Banyak kasus kanker pada anak-anak
sebelumnya mendapat radiasi pada kepala dan leher karena penyakit lain. Biasanya efek radiasi timbul
setelah 5-25 tahun, tetapi rata-rata 9-10 tahun. Stimulasi TSH yang lama juga merupakan salah satu
faktor etiologi kanker tiroid. Faktor resiko lainnya adalah adanya riwayat keluarga yang menderita
kanker tiroid dan gondok menahun.
D. Patofisiologi
Adenokarsinoma papiler biasanya bersifat multisentrik dan 50% penderita dengan ada sarang ganas
dilobus homolateral dan lobus kontralateral. Metastasis mula-mula ke kelenjar limfe regional, dan
akhirnya terjadi metastasis hematogen. Umumnya adenokarsinoma follikuler bersifat unifokal, dengan
metastasis juga ke kelenjar limfe leher, tetapi kurang sering dan kurang banyak, namun lebih sering
metastasisnya secara hematogen. Adenokarsinoma meduller berasal dari sel C sehingga kadang
mengeluarkan kalsitonin (sel APUD). Pada tahap dini terjadi metastasis ke kelenjar limfe regional.
Adenokarsinoma anaplastik yang jarang ditemukan, merupakan tumor yang tumbuh agresif, bertumbuh
cepat dan mengakibatkan penyusupan kejaringan sekitarnya terutama trakea sehingga terjadi stenosis
yang menyebabkan kesulitan bernafas. Tahap dini terjadi penyebaran hematogen. Dan penyembuhan
jarang tercapai. Penyusupan karsinoma tiroid dapat ditemukan di trakea, faring, esophagus, N.rekurens,
pembuluh darah karotis, struktur lain dalam darah dan kulit. Sedangkan metastasis hematogen
ditemukan terutama di paru, tulang, otak dan hati.
2. 1Etiologi
Hipotiroidisme dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau hipotalamus.
Apabila disebabkan oleh malfungsi kelenjar tiroid, maka kadar HT yang rendah akan disertai
oleh peningkatan kadar TSH dan TRH karena tidak adanya umpan balik negative oleh HT pada
hipofisis anterior dan hipotalamus. Apabila hipotiroidisme terjadi akibat malfungsi hipofisis,
maka kadar HT yang rendah disebabkan oleh rendahnya kadar TSH. TRH dari hipotalamus
tinggi karena. tidak adanya umpan balik negatif baik dari TSH maupun HT. Hipotiroidisme
yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus akan menyebabkan rendahnya kadar HT, TSH,
dan TRH.
Graves disease
Definisi
Graves disease adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisem (produksi
berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazim
juga disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar gondok.
Gondok atau goites adalah suatu pembengkakan atau pembesaran kelanjar tiroid yang
abnormal yang penyebabnya bisa bermacam-macam. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada
orang muda usia 20 –40 tahun terutama wanita, tetapi penyakit ini dapat terjadi pada segala
umur . Kelenjar tiroid dalam keadaan normal tidak tampak, merupakan suatu kelanjar yang
terletak di leher bagian depan, di bawah jakun. Kelenjar tiroid ini berfungsi untuk memproduksi
hormon tiroid yang berfungsi untuk mengontrol metabolisme tubuh sehingga tercapai
pertumbuhan dan perkembangan yang normal.
Epidemiologi
Pada tahun 1835, Robert Graves melaporkan pengamatannya pada suatu penyakit yang
dirandai dengan “palpitasi yang lama dan hebat pada perempuan” disertai dengan pembesaran
kelenjar tiroid. Penyakit Graves adalah penyebab tersering hipertiroidisme endogen, kira-
kira60-85%(tergantungdaerahnya).
Penyakit ini terdapat terutama pada orang dewasa muda, insiden puncak pada usia 20-40 tahun,
juga terjadi pada usia lanjut dan jarang sebelum usia remaja . Perempuan terkena tujuh kali
lebih sering daripada laki-laki
Etiologi
Lebih dari 95% kasus hipertiroid disebabkan oleh penyakit graves, suatu penyakit tiroid
autoimun yang antibodinya merangsang sel-sel untuk menghasilkan hormon yang berlebihan
Patogenesis
Penyakit Graves adalah hipertiroidisme autoimun. Kombinasi dari faktor genetik, termasuk HLA-DR
dan polimorfosme CTLA-4, dan faktor lingkungan berkontribusi terhadap kejadian penyakit Graves.
Concordance penyakit Graves ditemukan pada kembar monozigotik (20-30%), sedangkan <5% pada
kembar monozigotik. Stress merupakan faktor lingkungan yang penting, diperkirakan efek
neuroendokrin pada sistem imun. Merokok adalah faktor risiko minor untuk penyakit Graves dan
faktor risiko mayor untukperkembangan oftalmopati.
Penyakit Graves adalah suatu gangguan autoimun, pada gangguan tersebut terdapat beragam
autoantibodi dalam serum. Antibodi ini mencakup antibodi terhadap reseptor TSH, peroksisom tiroid,
dan tiroglobulin. Dari ketiganya, reseptor TSH adalah autoantigen terpenting yang menyebabkan
terbentuknya antibodi. Efek antibodi yang dibentuk berbeda-beda, bergantung pada epitop reseptor
TSH mana yang menjadi sasarannya:
Dalam prosesnya, sebagian bentuk TBII bekerja mirip TSH sehingga terjadi stimulasi aktivitas sel
tiroid, sementara bentuk yang lain menghambat fungsi sel tiroid. Dapat ditemukan bersamaan
imunoglobulin yang merangsang dan menghambat dalam serum pasien yang sama, sehingga sebagian
pasien dengan penyakit Graves dapat mengalami episode hipotirodisme.
Kemungkinan besar autoantibodi terhadap reseptor TSH juga berperan dalam timbulnya oftalmopati
infiltratif yang khas untuk penyakit Graves. Dipostulasikan bahwa jaringan tertentu di luar tiroid
(misalnya fibroblas orbita) mengekspresikan reseptor TSH di permukaannya. Sebagai respons
terhadap autoantibodi TSH di darah, fibroblas ini mengalami diferensiasi menuju adiposit matang dan
juga mengeluarkan glikosaminoglikan hidrofilik ke dalam intertisium; kedua hal tersebut
menyebabkan penonjolan orbita (eksoftalmos) pada oftalmopati Graves. Mekanisme serupa
diperkirakan bekerja pada dermopati Graves, dengan fibroblas pratibia yang mengandung reseptor
TSH mengeluarkan glikosaminoglikan sebagai respons terhadap stimulasi autoantibodi
Patologi Anatomi
Pada kasus penyakit Graves yang tipikal, kelenjar tiroid membesar secara difus akibat
adanya hipertrofi dan hiperplasi difus sel epitel folikel tiroid. Kelenjar biasanya lunak dan
licin, dan kapsulnya utuh. Secara mikroskopis, sel epitel folikel pada kasus yang tidak diobati
tampak tinggi dan kolumnar serta lebih ramai dari biasanya. Meningkatnya jumlah sel ini
menyebabkan terbentuknya papila kecil yang menonjol ke dalam lumen folikular (gambar).
Papila ini tidak memiliki inti fibrovaskular, berbeda dengan yang ditemukan pada karsinoma
papilar.
Kelainan di jaringan ekstratiroid adalah hiperplasia limfoid generalisata. Pada pasien dengan
oftalmopati, jaringan orbita tampak edematosa akibat adanya glikosaminoglikan hidrofilik,
serta ada infiltrasi limfosit. Jika terdapat dermopati, terlihat dermis menebal akibat
pengendapan glikosaminoglikan dan infiltrasi limfosit.
1.Tirotoksikosis akibat pembesaran difus tiroid yang hiperfungsional, terjadi pada semua
kasus
Kelenjar gondok
Walaupun kelenjar gondok biasanya membesar, namun keadaan tersebut bukan syarat adanya
hipertiroidisme, di mana gondok yang kecil dapat memproduksi hormon yang berlebih, dan juga
struma retrosternal sering luput dari perhatian. Pada penyakit Graves, gondok biasanya membesar
simetris dan difus, konsistensinya mulai lebih lunak dari normal, kenyal, hingga keras.
Permukaannya umumnya halus tetapi bisa ditemukan pembesaran kelanjar tiroid yang
nodular.Sekitar 25% kasus penyakit Graves tanpa pembesaran gondok. Tanda-tanda peradangan
jelas yang ditemukan menunjukkan suatu tiroiditis akut. Gondok multinodular toksik cenderung
sangat besar dan asimetris. Pada adenoma toksik gondok umumnya tanpa disertai terabanya
jaringan tiroid sekitarnya.
Sistem kardiovaskular
Hormon tiroid mempunyai efek terhadap sistem kardiovaskuler, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Efek langsung merupakan akibat dari kebutuhan oksigen yang meningkat karena
adanya metabolisme perifer yang meningkat. Baik isi semenit maupun volume darah ditemukan
meningkat.Palpitasi atau takikardi saat istirahat merupakan gejala yang sering ditemukan. Secara
langsung hormon tiroid mempengaruhi nodus sinoatrial dan juga meningkatkan sensitivitas
terhadap katekolamin. Gejala-gejala yang muncul dapat berupa takikardi, fibrilasi atrium, atau
yang lebih jarang takikardia atrium paroksismal dan payah jantung. Fibrilasi atrium mungkin
merupakan gejala tersendiri pada hipertiroidisme. Aritmia jantung pada tirotoksikosis biasanya
supraventrikular. Aritmia jantung terjadi sekitar 10% penderita dengan tirotoksikosis. Tekanan
nadi meningkat dan mungkin juga ditemukan hipertensi sistolik. Pada pemeriksaan ditemukan
denyutan jantung meningkat, suara jantung mendetak, murmur sistolik ejeksi, dan kadang-kadang
terjadi pembesaran jantung. Selain adanya gangguan irama, pada elektrokardiografi bisa
ditemukan kelainan gelombang ST dan T yang tidak spesifik.
Sistem respirasi
Kelainan-kelainan fungsi paru yang ditemukan pada hipertiroidisme meliputi penurunan kapasitas
vital, penurunan pulmonary compliance, dan peningkatan minute ventilation. Respon ventilasi
terhadap hipoksemia atau hiperkapnea meningkat. Sesak nafas saat latihan sering ditemukan,
yang disebabkan oleh kelelahan otot pernafasan.
Sistem gastrointestinal
Nafsu makan dan asupan makanan meningkat, namun berat badan penderita menurun. Motilitas
yang meningkat merupakan efek tersering pada sistem gastrointestinal dengan gejala diare.
Kelainan hati biasanya terjadi pada penderita tirotoksikosis yang berat, tes fungsi hati mengalami
kelainan, seperti peningkatan alkalin fosfatase, bilirubin, dan transaminase dengan etiologi yang
belum jelas. Penyakit Graves dihubungkan dengan hepatitis autoimun dengan mekanisme yang
belum jelas.
Fungsi ginjal
Polidipsi dan poliuri sering terjadi. Keseimbangan elektrolit masih tetap dipertahankan normal
walaupun terjadi peningkatan aliran darah ginjal, glomerular filtration rate, reabsorbsi tubulus,
dan kapasitas sekresi
Sistem neuromuskular
Dasar fisiologis pada kelainan sistem saraf penderita tirotoksikosis belum dimengerti dengan
jelas. Hal ini mungkin disebabkan meningkatnya aktivitas adrenergik karena terjadi perbaikan
gejala pada pengobatan dengan antagonis adrenergik. Luasnya reseptor hormon tiroid pada
jaringan otak menyebabkan meningkatnya metabolisme otak pada tirotoksikosis, namun tidak
terjadi peningkatan kebutuhan konsumsi oksigen otak.Tremor, hiperaktivitas, labilitas emosional,
gelisah, dan distraktibilitas merupakan keadaan-keadaan yang sering ditemukan. Tremor halus
selain ditemukan pada jari, juga ditemukan pada lidah dan kepala. Kelemahan otot (miopati)
terutama mengenai otot-otot proksimal, kadang-kadang terjadi kelemahan otot-otot bulber dan
pernafasan. Paralisis periodik dapat terjadi terutama pada suku bangsa Cina dan Jepang.
Metabolisme intermedier
Konsekuensi utama dari hipertiroidisme adalah terjadinya peningkatan kehilangan energi. Berat
badan biasanya menurun walaupun nafsu makan meningkat, karena adanya katabolisme yang
meningkat. Peningkatan produksi panas yang terjadi menyebabkan berkeringat, tidak toleran
terhadap panas, dan vasodilatasi. Kelelahan dan kelesuan sering ditemukan. Kadar gula darah
biasanya normal, sepertiga penderita menunjukkan gangguan toleransi glukosa.Sintesis dan
bersihan kolesterol dan trigliserida meningkat, namun efek bersihannya lebih dominan sehingga
terjadi penurunan kadar kolesterol dan trigliserida.
Sistem endokrin
Hipertiroidisme meningkatkan degradasi kortisol, dengan akibat meningkatnya sekresi ACTH,
episode sekresi kortisol, dan secretory rate, namun kadar kortisol serum dapat dipertahankan
normal.Walaupun ada tanda-tanda hiperaktivitas sistem saraf simpatis, namun kadar katekolamin
dan dopamin beta hidroksilase menurun. Ginekomastia dapat terjadi pada laki-laki, di mana
sebagian karena meningkatnya konversi androgen menjadi estrogen di hati, sebagian karena
meningkatnya sex hormone binding globulin. Hal ini menyebabkan testosteron menjadi relatif
lebih rendah dari estradiol. Pada wanita kadar estradiol dan estrone bebas dapat dipertahankan
sebatas normal sampai rendah. Kadang-kadang pada wanita ditemukan oligomenore atau
amenore.
Kalsium dan sistem skeletal
Penyakit Graves menyebabkan akropaci tiroid, dengan jari tabuh dan pembentukan tulang baru di
periosteal yang terutama mengenai bagian distal tulang panjang.Hormon tiroid secara langsung
mempengaruhi tulang, yaitu merangsang resorbsi tulang lebih banyak daripada meningkatkan
aktivitas osteoblas, sehingga terjadi hiperkalsemia ringan. Meningkatnya kadar kalsium
menyebabkan penekanan kadar hormon paratiroid dan 1,25-dihidroksi kolekalsiferol. Osteopeni
dapat dideteksi pada pemeriksaan sidik jari tulang atau radiografi.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit Graves adalah:
Tiroksin (T4)
Kadar tiroksin serum total (TT4) dan T4 bebas (FT4) meningkat pada semua penderita dengan
tirotoksikosis.Kadar T4 dan T3 (Triiodotironin) dalam darah sangat dipengaruhi oleh protein
pengangkut seperti TBG (Thyroxine Binding Globulin) dan TBPA (Thyroxine Binding
Prealbumin). Untuk mengoreksi pengaruh protein pengangkut, dilakukan pengukuran terhadap
kadar T4 bebas.Kadar normal dari TT4 adalah sebesar 5-12 μg/dl, sedangkan FT4 normal sebesar
2 ng/dl.
Triiodotironin (T3)
T3 meningkat pada semua penderita dengan tirotoksikosis kecuali penderita tersebut sakit akut
atau kronis, malnutrisi atau menggunakan obat-obatan (Propylthiouracil) yang bekerja dengan
menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer. T3 sedikit meningkat pada obesitas dan asupan
berlebih. Kadar T3 lebih tinggi pada balita dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Anak
dengan resistensi pituitari terhadap hormon tiroid juga mengalami peningkatan kadar T3 dalam
serum.9 Klirens T3 dalam darah lebih cepat dibandingkan dengan T4 sehingga penentuan kadar
T3 yang dihasilkan kelenjar tiroid tidak begitu penting artinya dalam menilai fungsi.11 Kadar T3
serum total normalnya sekitar 80-200 ng/dl dan FT3 normal sebesar 0,4 ng/dl.
Autoantibodi Tiroid
Yang termasuk autoantibodi adalah (1) thyroglobulin antibody (Tg Ab), (2) thyroperoxidase
antibody (TPO Ab), dan (3) TSH receptor antibody, baik yang stimulating (TSH-R Ab [stim])
atau blocking (TSH-R Ab [block]). Tg Ab dan TPO dengan Ab menggunakan teknik
radoimmunoassay (RIA) ditemukan pada 97% penderita penyakit Graves dan tiroiditis
Hashimoto. Tg Ab tinggi pada awal terjadinya tiroiditis Hashimoto dan kemudian menurun. TPO
Ag biasanya terdeteksi seumur hidup penderita. Titer kedua antibodi tersebut akan menurun jika
diberikan terapi T4 pada tiroiditis Hashimoto atau terapi antitiroid pada penyakit Graves. Hasil
yang positif pada pemeriksaan kedua antibodi tersebut merupakan indikasi kuat adanya penyakit
autoimun tiroid tapi tidak spesifik untuk tipe penyakitnya, seperti hipertiroid, hipotiroid, atau
goiter. TSH-R Ab [stim] diukur dengan teknik bioassay menggunakan sel tiroid manusia atau
menggunakan sel ovarium hamster yang sudah dikenalkan dengan gen reseptor TSH manusia
sebagai media kultur. Pada media kultur tersebut kemudian diinkubasikan serum atau IgG
penderita penyakit Graves. Kemudian diukur peningkatan cAMP pada media kultur tersebut. Tes
ini positif pada 80% sampai 100% penderita dengan penyakit Graves yang belum mendapat terapi
dan tidak terdeteksi pada manusia sehat atau penderita tiroiditis Hashimoto (tanpa oftalmopati),
nontoksik goiter, atau goiter nodular toksik. Tes ini sangat berguna untuk mendiagnosis penyakit
Graves pada penderita dengan eutiroid oftalmopati atau untuk memprediksi penyakit Graves pada
neonatus dari ibu dengan riwayat penyakit Graves atau yang masih aktif menderita penyakit
Graves. Pemeriksaan TSH-R Ab dengan bioassay termasuk mahal dan tidak tersedia secara luas.
Thyroid scanning
Isotop yang sering digunakan untuk imaging tiroid adalah 131I, 99mTc, dan 123I. Pada penilaian
awal digunakan untuk mengevaluasi nodul goiter yang asimetrik, hipertrofi lobus yang
menyebabkan tampaknya suatu nodul atau massa, dan menilai massa substernal. Scan tiroid juga
digunakan untuk penilaian lanjutan pada penderita dengan penurunan TSH.Scan tiroid
memberikan informasi tentang ukuran tiroid, dan distribusi geografik dari aktifitas fungsional
kelenjar tiroid. Nodul tiroid yang berfungsi melebihi jaringan tiroid yang normal disebut dengan
hot nodule dan yang tidak berfungsi disebut cold nodule. Warm nodule memiliki fungsi yang
sama dengan jaringan tiroid normal.Tidak semua penderita dengan nodul tiroid memerlukan scan
tiroid, FNAB dapat digunakan untuk evaluasi awal suatu nodul tiroid.Indikasi scan tiroid adalah:
(1) evaluasi morfologik fungsional nodul tiroid soliter,
(2) evaluasi massa di mediastinum bagian atas,
(3) membedakan penyakit Plummer dari penyakit Graves dengan komponen nodosa,
(4) mendeteksi jaringan fungsional yang tersisa pasca tiroidektomi,
(5) mendeteksi sisa jaringan tiroid atau metastase karsinoma tiroid berdiferensiasi baik,
(6) evaluasi penyebab hipertiroidisme neonatal,
(7) evaluasi massa di daerah leher atau jaringan tiroid ektopik.
Ultrasonografi (USG)
Dalam tirodologi kegunaan utama USG adalah untuk menentukan volume, besar, ukuran
kelenjar, dan untuk membedakan apakah suatu nodul kistik atau padat. Suatu nodul yang secara
klinis soliter, mungkin ditemukan multipel pada USG. USG dengan resolusi tinggi dan real time
imaging, dapat pula divisualisasikan aliran vaskuler ke dan dari kelenjar tiroid. USG tidak dapat
menentukan apakah suatu lesi tiroid jinak atau ganas.14
Computed Tomografi (CT) Scan dan Magnectic Resonance Imaging (MRI)
CT Scan biasanya dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya oftalmopati. Jika oftalmopati
sudah jelas maka CT Scan digunakan untuk evaluasi pengobatan oftalmopati. 9 CT scan mampu
memvisualisasikan dengan baik hubungan kelenjar tiroid dengan organ sekitar, ukuran kelenjar,
volume, serta kepadatan jaringan kelenjar tiroid. Manfaat MRI dalam tirodologi hampir sama
dengan CT scan, namun MRI dapat mendeteksi kekambuhan karsinoma dan membedakannya
dengan fibrosis. MRI dan CT scan juga tidak dapat membedakan apakah suatu lesi bersifat ganas
atau tidak.
Analisis Diagnosis Penderita
Diagnosis penyakit Graves dapat ditegakkan pada penderita dengan tirotoksikosis yang telah
dibuktikan secara biokimiawi, goiter yang difus pada palpasi, oftalmopati, TPO Ab positif, dan
adanya riwayat pribadi atau keluarga terhadap adanya kelainan autoimun.Alur pemeriksaan
laboratorium.
Sesuai dengan gambar tersebut, dilakukan pemeriksaan kadar FT4 dan TSH penderita.
Hasilnya, ditemukan adanya kadar FT4 yang meningkat (>70 pMol/L) dan TSH yang menurun
(<0,5 μIU/ml). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan penderita mengalami hipertiroidisme.
Juga ditemukan gejala dan tanda klinis pada mata (oftalmopati), dan dari pemeriksaan fisik
didapatkan adanya goiter pada penderita. Pada palpasi leher kanan dan kiri teraba nodul ukuran
5 cm x 4 cm, konsistensi kenyal, permukaan rata, terfiksir, ikut bergerak saat menelan, bruit (-
). Kemudian sesuai dengan gambar seharusnya dilakukan pemeriksaan 123I, namun
pemeriksaan tersebut tidak ada di laboratorium RSUP Sanglah maupun tempat-tempat
pemeriksaan laboratorium swasta di Bali. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis penderita ini adalah pemeriksaan TPO Ab, namun pemeriksaan ini tidak
ada di laboratorium RSUP Sanglah dan laboratorium swasta di Bali.
Secara klinis juga dapat dihitung indeks Wayne untuk membuktikan apakah seseorang
termasuk hipertiroid atau eutiroid.10 Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan
indeks Wayne penderita adalah 29 (angka bercetak tebal pada tabel 2). Karena indeks Wayne
penderita lebih besar dari 20 maka secara klinis penderita mengalami hipertiroidisme.
Pengobatan
Sasaran terapi hipertiroidisme adalah :
(1) menghambat sintesis hormon tiroid
(2) menghambat sekresi hormon tiroid
(3) menekan konversi T4 menjadi T3 di perifer
(4) mengurangi massa kelenjar tiroid.
Saat ini pilihan terapi untuk penyakit Graves adalah:
(1) obat antitiroid,
(2) iodin radioaktif,
(3) pembedahan.
Pengobatan yang ideal untuk penyakit Graves bertujuan untuk menangani respon autoimun pada
kelenjar tiroid dan orbita, namun belum ada pengobatan yang spesifik untuk mengatasi respon
autoimun tersebut, sehingga tidak memungkinkan untuk menormalkan fungsi kelenjar tiroid dan
menghilangkan oftalmopati
Obat Antitiroid
Tujuan pemberian obat antitiroid adalah:
(1) sebagai terapi yang berusaha memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang menetap
pada penderita muda dengan struma ringan sampai sedang dan tirotoksikosis,
(2) sebagai obat untuk kontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau sesudah
pengobatan pada penderita yang mendapat yodium radioaktif,
(3) sebagai persiapan untuk tiroidektomi,
(4) untuk pengobatan penderita hamil dan lanjut umur, dan
(5) penderita dengan krisis tiroid.
Obat antitiroid yang sering digunakan untuk menangani penyakit Graves adalah golongan
thionamide yang bekerja dengan menghambat oksidasi dan pengikatan iodida sehingga
mengakibatkan defisiensi iodin intratiroid. Propylthiouracil (PTU) dapat menekan konversi T4
menjadi T3 pada jaringan perifer.
Berikut obat golongan thionamide yang digunakan untuk terapi penyakit Graves
1. Methimazole
Merupakan obat pilihan kecuali pada krisis tiroid dan pengobatan pada wanita hamil.
Tidak menghambat konversi perifer dari T4 menjadi T3
Tidak memiliki efek segera.
Waktu paruh lebih lama dibandingkan PTU, maka dari itu obat ini dapat diberikan dua kali
sehari.
Tidak berhubungan dengan hepatitis
Memiliki hubungan yang lemah dengan aplasia kutis pada neonatal setelah terjadi paparan in
utero.
Dosis dewasa: dosis awal 10-15 mg per oral dua kali sehari kemudian dilakukan titrasi cepat
sampai setengah dosis awal setelah tercapai keadaan eutiroid.
Dosis anak-anak: dosis awal 15-20 mg/m2/hari per oral dibagi dalam dua kali pemberian per hari
kemudian dilakukan titrasi sampai tercapai dosis efektif terendah untuk mempertahankan keadaan
eutiroid.
Kontraindikasi pada hipersensitivitas, neutropenia, penyakit hati, kehamilan, wanita menyusui,
dan badai tiroid.
Interaksi: mempunyai aktivitas antivitamin K dan mungkin meningkatkan aktivitas obat
antikoagulan oral.
Monitor dengan melakukan pemeriksaan darah rutin, hitung jenis, dan tes fungsi hati. Juga perlu
dilakukan tes fungsi tiroid agar dapat dilakukan penyesuaian dosis.
Efek samping berupa terjadinya rash pada kulit, artritis, artralgia, kolestatik jaundice,
neutropenia, dan agranulositosis.
2. Propylthiouracil (PTU)
Merupakan obat pilihan pada keadaan krisis tiroid karena dapat menghambat konversi perifer T4
menjadi T3, serta pada laktasi dan kehamilan karena tidak melewati plasenta.
Tidak dihubungkan dengan aplasia kutis pada fetus.
Dosis dewasa: dosis awal 100-150 mg per oral tiga kali sehari kemudian dilakukan titrasi sampai
tercapai dosis efektif terendah untuk mempertahankan keadaan eutiroid.
Dosis anak-anak: dosis awal 5-7 mg/kgBB/hari per oral dibagi menjadi tiga kali pemberian
kemudian dilakukan titrasi sampai tercapai dosis efektif terendah untuk mempertahankan keadaan
eutiroid.
Kontraindikasi pada hipersensitivitas, neutropeni, dan penyakit hati
Interaksi: mempunyai aktivitas antivitamin K sehingga dapat meningkatkan aktivitas
antikoagulan oral.
Monitor dengan melakukan pemeriksaan darah rutin, hitung jenis, dan tes fungsi hati. Juga perlu
dilakukan tes fungsi tiroid agar dapat dilakukan penyesuaian dosis.
Efek samping: terjadinya rash pada kulit, artritis, artralgia, hepatitis, neutropenia, dan
agranulositosis.
Untuk pemantauan pemberian obat pada penderita rawat jalan, perlu dilakukan pemeriksaan tes
fungsi tiroid, tes fungsi hati, dan pemeriksaan darah lengkap dalam interval waktu tiap 6 minggu
sampai 3 bulan. Juga perlu dicari apakah ada efek samping obat yang potensial dapat timbul
dengan mencari riwayat penyakit sebelumnya. Perbaikan klinis tergantung pada jumlah hormon
tiroid yang tersimpan dalam kelenjar dan kecepatan sekresi kelenjar. Perbaikan ini biasanya
terjadi dalam 3 minggu dan eutiroidisme dapat tercapai dalam 6-8 minggu
adioaktif Iodin
Cara kerja obat ini adalah dengan mengonsentrasikan radioaktif iodin pada kelenjar tiroid
sehingga menyebabkan kerusakan kelenjar tiroid tanpa membahayakan jaringan lain. Indikasi
pengobatan dengan yodium radioaktif adalah:
(1) penderita usia 35 tahun atau lebih,
(2) hipertiroidisme yang kambuh sesudah dioperasi,
(3) gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid,
(4) tidak mampu atau tidak mau pengobatan antitiroid,
(5) adenoma toksik dan goiter multinodular toksik.
Pengobatan dengan yodium radioaktif ini dapat mengakibatkan terjadinya keadaan
hipotiroidisme. Yang biasa digunakan adalah 131I dengan dosis 5-12 mCi per oral. Dosis ini dapat
mengendalikan tirotoksikosis dalam 3 bulan, namun kira-kira sepertiga dari penderita akan
menjadi hipotiroid dalam tahun pertama. Efek samping lain yang mungkin timbul adalah
eksaserbasi hipertiroidisme dan tiroiditis.
Terapi Pembedahan
Tindakan pembedahan dapat dipilih apabila:
(1) gondok sangat besar dengan/atau tanpa tirotoksikosis yang berat;
(2) menunjukkan gejala penekanan, terutama gondok retrosternal;
(3) tidak berhasil dengan obat antitiroid;
(4) penderita tidak kooperatif meminum obat antitiroid;
(5) ada reaksi dengan obat antitiroid;
(6) karena keadaan geografi dan sosial ekonomi tidak memungkinkan dipantau secara teratur oleh
dokter;
(7) gondok nodular toksik terutama pada penderita muda.
Subtotal tiroidektomi apabila terdapat multinodular goiter atau ukuran kelenjar yang besar. Pada
subtotal tiroidektomi, jika terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan maka akan terjadi
relaps. Biasanya ahli bedah meninggalkan 2-3 g jaringan tiroid pada leher kanan dan kiri.
Penyebab lain terjadinya kekambuhan adalah iodine uptake dan aktivitas imunologi penderita.
Tiroidektomi total dilakukan apabila terdapat progresifitas yang cepat dari oftalmopati.
Sebelum operasi penderita disiapkan dengan pemberian obat antitiroid sampai tercapai keadaan
eutiroid (kurang lebih selama 6 minggu). Biasanya penderita diberi cairan kalium iodida 100-200
mg/hari atau cairan lugol 10-15 tetes per hari selama 10 hari sebelum dioperasi untuk mengurangi
vaskularisasi pada kelenjar tiroid.