Anda di halaman 1dari 17

FARMAKOTERAPI HIPERTIROIDISME

1. Pendahuluan
Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada
akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring
antara brachial pouch pertama dan kedua. Kelenjar tiroid terletak di bagian
bawah leher, terdiri dari 2 lobus berbentuk lonjong berukuran 2,5-4 cm, lebar
1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm, yang dihubungkan oleh ismus yang menutupi
cincin trakea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia
pratrakea sehingga pada setiap gerkan menelan selalu diikuti terangkatnya
kelenjar kearah kranial, yang merupakan ciri khas kelenjar tiroid. Sifat inilah
yang digunakan di klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan dileher
berhubungan dengan kelenjar tiroid atau tidak.1

Gambar 1 Anatomi Kelenjar Tiroid

1
Histologi Kelenjar Tiroid

Dengan mikroskop terlihat kelenjar tiroid terdiri atas folikel dengan


berbagai ukuran 50-500 mm. Dinding sel terdiri atas selapos sel tunggal
denngan puncak meghadap ke arah lumen, sedangkan basisnya menghadap ke
membran basalis. Folikel mengandung bahan yang jika diwarnai dengan
hematoksilin-eosin berwarna merah muda yang disebut koloid dan dikelilingi
selapis epitel tiroid. Ternyata setiap folikel merupakan kumpulan dari klon sel
tersendiri. Sel ini berbentuk kolumnar apabila dirangsang oleh TSH dan pipih
apabila dalam keadaan tidak terangsang/istirahat.1

Gambar 2 Histologi Kelenjar Tiroid

Fisiologi Kelenjar Tiroid

Tiroid menghasilkan hormon utama yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin


(T3) tersimpan dalam koloid sebagai bagian dari molekul tiroglobulin. Hormon
ini hanya akan dibebaskan apabila ikatan dengan tiroglobulin ini dipecahkan
oleh enzim khusus. Dalam keadaan normal hormon tiroid berpengaruh
terhadap metabolisme jaringan, proses oksidasi jaringan, proses pertumbuhan
dan sintesa protein.

2
a. Metabolisme iodida
Iodida merupakan unsur pokok dalam pembentukan hormon tiroid,
maka harus tersedia iodium yang cukup dan berkesinambungan.1 Iodida,
yang masuk dari makanan, air, atau obat, cepat diserap dan masuk ke
kompartemen cairan ekstrasel. Kelenjar tiroid menyerao sekitar 75 mcg
sehari dari kompertemen ini untuk membentuk hormon, dan sisanya
dieksresikan diurin. Jika asupan iodida meningkat, penyerapan iodida
fraksional oleh tiroid berkurang.5
b. Biosintesis Hormon Tiroid
Transpor iodida ke dalam kelenjar tiroid oleh suatu protein intrinsik
membran basal sel folikel yang disebut pengangkut natrium/iodida (NIS)
oleh enzim yang disebut pendrin. pendrin juga ditemukan di koklea teling
dalam. Jika pedrin mengalami defisiensi atau tidak ada, muncul sindrom
herediter gondok dan tuli yang disebut sindrom pendred. Di membran sel
apikal iodida dioksidasi oleh peroksidase tiroid menjadi iodium, dan bahan
ini cepat mengiodinasi bahan residu tirosin didalam molekul tiroglobulin
untuk membentuk monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT).
Proses ini disebut organifikasi iodida. Peroksidase tiroid dihambat secara
transien oleh iodida intratiroid kadar tinggi dan dihambat secara lebih
menetap oleh obat-obat tioamid.5
Dua molekul DIT di dalam molekul tiroglobulin untuk
membentukL-tiroksin (T4). Satu molekul MIT dan satu molekul DIT
menyatu membentuk T3. DIT dan MIT kemudian mengalami Deiodinasi
di dalam kelenjar dan iodium dipakai kembali. Rasio T4 terhadap T3 di
dalam tiroglobulin adalah sekitar 5:1 sehingga sebagian besar hormon
yang dikeluarkan adalah tiroksin.5

c. Transpor Hormon Tiroid


T4 dan T3 dalam plasma terikat secara reversibel ke protein, terutama
globulin pengikat tiroid (thyroxine-binding globulin, TBG). Hanya skitar
0.04% dari T4 total dam 0,4% dari T3 ada dalam bentuk bebas. Banyak

3
keadaan fisiologik dan patologik serta obat yang mempengaruhi T4, T3,
dan tranpor tiroid. Namun, kadar sebenarnya dari hormon bebas umunya
tetap normal.5
2. Hipertiroidisme
Hipertiroidi (penyakit Graves, PG) atau juga disebut tirotoksikosis adalah
suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi berlebihan dari hormon
tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Didapatkan pula peningkatan
produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konversi tiroksin (T4)
di jaringan perifer.1,2,3

Dengan meningkatnya kadar hormon ini maka metabolisme jaringan,


sintesa protein dan lain-lain akan terpengaruh, keadaan ini secara klinis akan
terlihat dengan adanya palpitasi, takikardi, fibrilasi atrium, kelemahan, banyak
keringat, nafsu makan yang meningkat, berat badan yang menurun. Kadang-
kadang gejala klinis yang ada hanya berupa penurunan berat badan, payah
jantung, kelemahan otot serta sering buang air besar yang tidak diketahui
sebabnya.2,3

Gambar 3 Patofisiologi Hipertiroid

4
Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang
sulit dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam
jiwa penderita karena timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps.
Keluhan utama biasanya berupa salah satu dari meningkatnya nervositas,
berdebar-debar atau kelelahan. Dari penelitian pada sekelompok penderita
didapatkan 10 geiala yang menonjol yaitu:1,2

- Nervositas
- Kelelahan atau kelemahan otot-otot
- Penurunan berat badan sedang nafsu makan baik
- Diare atau sering buang air besar
- Intoleransi terhadap udara panas
- Keringat berlebihan
- Perubahan pola menstruasi
- Tremor
- Berdebar-debar
- Penonjolan mata dan leher

Gejala-gejala hipertiroid ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai


beberapa tahun sebelum penderita berobat ke dokter, bahkan sering seorang
penderita tidak menyadari penyakitnya.2

3. Farmakoterapi
HORMON TIROID
a. Kimia
Rumus struktur tiroksin dan triiodotironin serta reverse
triiodothyronine (T3) Semua molekul alami ini adalah isomer levo (L).
Isomer dekstro (D) sintetik tiroksin, dekstrotiroksin, memiliki aktivitas
biologik sekitar 4% dibandingkan dengan isomer L berdasarkan
kemampuannya menekan sekresi TSH dan memperbaiki hipotiroidisme.

5
Gambar 4 Metabolisme Hormon Tiroid di jaringan perifer

Tiroksin paling baik diserap di duodenum dan ileum; penyerapan


dipengaruhi oleh faktor intralumen seperti makanan, obat, keasaman
lambung, dan flora usus. T3 hampir diserap secara total (95%). Penyerapan
T4 dan T3 tampaknya tidak dipengaruhi oleh hipotiroidisme ringan, tetapi
mungkin terganggu pada miksedema berat dengan ileus. Faktor-faktor ini
penting dalam mengganti dari terapi oral ke terapi parenteral. Untuk
pemakaian parenteral, rute intravena dianjurkan untuk kedua hormone.
Walaupun klirens mengalami perubahan, pada sebagian besar pasien
eutiroid konsentrasi hormone normal dipertahankan karena hiperfungsi
kompensatorik kelenjar tiroid. Namun, pasien yang bergantung pada terapi
sulih T4 mungkin memerlukan peningkatan dosis untuk mempertahankan
efektivitas klinis. Kompensasi serupa terjadi jika tempat-tempat
pengikatan mengalami perubahan. Jika tempat TBG meningkat karena
kehamilan, estrogen, atau kontrasepsi oral, awalnya terjadi pergeseran
hormon dari keadaan bebas ke keadaan terikat dan penurunan laju
eliminasinya sampai konsentrasi hormon bebas normal dipulihkan. Karena
itu, konsentrasi hormon total dan terikat bertambah, tetapi konsentrasi

6
hormon bebas dan eliminasi steady-state akan tetap normal. Hal yang
sebaliknya dapat terjadi jika tempat pengikatan tiroid berkurang.5
b. Mekanisme Kerja
Di dalam sel, T4 diubah menjadi T3 oleh 5'- deiodinase, dan T3
masuk ke nukleus, tempat hormon ini mengikat protein reseptor T3
spesifik, suatu anggota dari family onkogen c-erb (Famili ini juga
mencakup reseptor hormon steroid dan reseptor untuk vitamin A dan D).
Reseptor T3 terdapat dalam 2 bentuk, α dan β. Variasi efek T3 diberbagai
jaringan mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam konsentrasi bentuk-
bentuk reseptor ini di jaringan-jaringan tersebut. Sebagian besar efek tiroid
pada proses-proses metabolism tampaknya diperantarai oleh pengaktifan
reseptor-reseptor nucleus yang menyebabkan peningkatan pembentukan
RNA dan sintesis protein, Hal ini konsisten dengan pengamatan bahwa
efek tiroid bermanifestasi in vivo setelah jeda waktu beberapa jam atau
hari setelah pemberiannya. Di kebanyakan jaringan peka-hormon
(hipofisis, hati, ginjal, jantung, otot rangka, paru, dan usus) ditemukan
sejumlah besar reseptor hormon tiroid, sementara di jaringan yang kurang
peka terhadap hormon (limpa, testis) hanya terdapat sedikit reseptor. Otak,
yang tidak memiliki respons anabolik terhadap T3 mengandung jumlah
reseptor sedang. Sesuai dengan potensi biologiknya, afinitas reseptor
terhadap T4 adalah sekitar sepuluh kali lebih rendah daripada terhadap T3.
Pada beberapa keadaan, jumlah reseptor di nukleus dapat berubah untuk
mempertahankan homeostasis tubuh. Misalnya, kelaparan menurunkan
hormon T3 dalam darah dan reseptor T3 di sel.5

7
Gambar 5 Sumbu hipotalamus hipofisis-tiroid
c. Efek Hermon Tiroid
Hormon tiroid bertanggung jawab untuk pertumbuhan yang optimal,
pengembangan, fungsi, dan pemeliharaan seluruh jaringan tubuh. jumlah
kelebihan atau tidak memadai mengakibatkan tanda-tanda dan gejala
hipertiroidisme atau hipotiroidisme, masing-masing. Efeknya bergantung
pada sintesis protein serta penguatan sekresi dan kerja hormon
pertumbuhan. Kekurangan tiroid pada awal masa kehidupan menyebabkan
retardasi mental ireversibel dan kecebolan-khas kretinisme kongenital.
Efek pada pertumbuhan dan kalorigenesis disertai oleh pengaruh pada
metabolisme obat serta karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin.
Sebaliknya, laju sekresi dan penguraian hampir semua hormon lain,
termasuk katekolamin, kortisol, estrogen, testosteron, dan insulin,

8
dipengaruhi oleh status tiroid. Banyak dari manifestasi hiperaktivitas tiroid
mirip dengan peningkatan berlebihan aktivitas sistem saraf simpatis
(khususnya di sistem kardiovaskular), meskipun kadar katekolamin tidak
meningkat. Gejala klinis lain yang mirip dengan aktivitas berlebihan
epinefrin (dan secara parsial diredakan oleh antagonis adrenoseptor)
adalah retraksi dan terbukanya kelopak mata, tremor, berkeringat
berlebihan, cemas, dan gelisah. Kumpulan gejala yang berlawanan
dijumpai pada hipotiroidisme.5

Gambar 6 Model interaksi T3 dengan reseptor T3.


d. Preparat Tiroid
Untuk mengetahui daftar preparat yang tersedia. Berbagai preparat
ini mungkin sintetik (levotiroksin, liotironin, liotriks) atau berawal dari
hewan (desiccated thyroid). Hormon tiroid tidak efektif dan dapat
membahayakan dalam penatalaksanaan obesitas, perdarahan vagina
abnormal, atau depresi jika kadar hormon tiroid normal. Sebuah studi
terkontrol tidak dapat mengonfirmasi laporan-laporan anekdotal tentang
manfaat T3 yang diberikan bersama antidepresan. Levotiroksin sintetik
adalah sediaan pilihan untuk terapi sulih tiroid dan terapi supresi karena
stabilitas, keseragaman isi, biaya yang rendah, tidak adanya protein asing

9
alergenik, kemudahan pengukuran kadar serum, dan waktu-paruhnya yang
lama (7 hari), sehingga dapat diberikan sekali sehari. Selain itu, T4 diubah
menjadi T3 di dalam sel; karena itu, pemberian T4 menghasilkan kedua
hormon. Preparat levotiroksin generik memiliki efikasi setara dan lebih
cost-effective dibandingkan dengan sediaan bermerek. sehingga perlu
diberikan beberapa kali sehari; biayanya yang lebih tinggi; dan sulitnya
memantau keadekuatannya dalam terapi sulih dengan tes-tes laboratorium
konvensional. Selain itu, karena lebih tingginya aktivitas hormon dan,
akibatnya, meningkatnya risiko kardiotoksisitas, T3 seyogianya dihindari
pada pasien dengan penyakit jantung. Obat ini paling baik digunakan
untuk supresi TSH jangka-pendek. Karena pemberian oral T3 tidak
diperlukan, pemakaian campuran tiroksin dan liotironin (liotriks) yang
lebih mahal, dan bukan levotiroksin, tidak disarankan. laboratorium
melebihi Dosis ekui-efektif adalah 100 mg desiccated thyroid, 100 mcg
levotiroksin, dan 37,5 mcg liotironin. Meskipun liotironin (T3) tiga sampai
empat kali lebih paten daripada levotiroksin, obat ini tidak
direkomendasikan untuk terapi sulih rutin karena waktu-paruhnya yang
lebih singkat (24 jam). Usia simpan preparat hormon sintetik adalah sekitar
2 tahun, terutama jika disimpan dalam botol gelap untuk meminimalkan.5
OBAT ANTITIROID
Obat-obat antitiroid digunakan sebagai penanganan definitif
hiperthoidisme, untuk mengatur gangguan dalam antisipasi remisi spontan
pada penyakit Grave, sementara menunggu efek radiasi, dan pada persiapan
untuk operasitiroid.4
Pengurangan aktivitas tiroid dan efek hormon-hormonnya dapat dicapai
dengan obat yang mengganggu produksi hormon tiroid, dengan obat yang
memodifikasi respons jaringan terhadap hormon tiroid, dan dengan destruksi
kelenjar oleh radiasi atau pembedahan. Goitrogen adalah bahan-bahan yang
menekan sekresi T3 dan T4 ke kadar sub-normal dan karenanya meningkatkan
TSH, yang pada gilirannya menyebabkan pembesaran kelenjar (goiter,
gondok). Senyawa antitiroid yang digunakan secara klinis adalah tioamid,

10
iodida, dan iodium radioaktif. Hipoprotrombinemia, dermatitis eksfoliativa,
poliserositis, dan artralgia akut. Peningkatan risiko hepatitis berat, kadang
menyebabkan kematian, pernah dilaporkan dengan propiltiourasil (peringatan
kotak hitam), sehingga obat ini sebaiknya dihindari pada anak dan dewasa,
kecuali jika tidak terdapat pilihan lain. Ikterus kolestatik lebih sering terjadi
pada pemberian metimazol daripada propiltiourasil.5
Peningkatan asim-tomatik kadar transaminase juga dapat terjadi. Penyulit
paling berbahaya adalah agranulositosis (hitung granulosit < 500 sel/mm3),
suatu reaksi samping yang jarang, tetapi berpotensi mematikan. Efek ini terjadi
pada 0,1-0,5% pasien yang mendapat tioamid, tetapi risiko mungkin meningkat
pada pasien yang lebih tua dan pada mereka yang mendapat metimazol lebih
dari 40 mg/hari. Reaksi biasanya cepat pulih jika obat dihentikan, tetapi
mungkin diperlukan terapi antibiotik spektrum luas untuk penyulit infeksi.
Colony stimulating factors (mis. G-CSF; lihat Bab 33) dapat mempercepat
pemulihan dari granulositosis. Sensitivitas-silang antara propiltiourasil dan
metimazol adalah sekitar 50%; karena itu, mengganti obat pada pasien dengan
reaksi hebat tidak dianjurkan.5
a. TIOAMID5,6
Tioamid metimazol dan propiltiourasil adalah obat utama untuk
mengobati tirotoksikosis. Di Inggris, karbimazol, yang diubah menjadi
metimazol in vivo, digunakan secara luas. Metimazol adalah sekitar
sepuluh kali lebih poten daripada propiltiourasil dan merupakan obat
pilihan pada dewasa dan anak. Karena adanya peringatan kotak hitam
tentang hepatitis berat, propiltiourasil seyogianya dicadangkan untuk
digunakan pada trimester pertama kehamilan, pada thyroid storm, dan bagi
mereka yang mengalami reaksi samping terhadap metimazol (selain
agranulositosis ataue hepatitis).

11
Gambar 7. Struktur thiomida

 Farmakokinetika
Metimazol diserap secara sempurna, tetapi dengan kecepatan
bervariasi. Obat ini cepat terakumulasi di kelenjar tiroid dan memiliki
distribusi volume serupa dengan yang dijumpai pada propiltiourasil.
Ekskresi lebih lambat dibandingkan propiltiourasil; 65-70% dari dosis
dapat ditemukan di urin dalam 48 jam. Sebaliknya, propiltiourasil
cepat diserap, mencapai puncak kadar serum setelah 1 jam.
Ketersediaan-hayati 50- 80% mungkin disebabkan oleh penyerapan
yang tidak sempurna atau efek first-pass yang besar di hati. Volume
distribusi mendekati air tubuh total disertai akumulasi di kelenjar
tiroid. Sebagian besar dari propiltiourasil yang ditelan diekskresikan
oleh ginjal sebagai glukuronida inaktif dalam 24 jam. Waktu-paruh
plasma yang singkat dari obat-obat ini (1,5 jam untuk propiltiourasil
dan 6 jam untuk metimazol) tidak banyak berpengaruh pada durasi
efek antitiroid atau interval pemberian obat karena kedua obat

12
terakumulasi di kelenjar tiroid. Untuk propiltiourasil, memberikan
obat setiap 6-8 jam dapat diterima karena satu dosis 100 mg dapat
menghambat organifikasi iodida sebanyak 60% selama 7 jam. Karena
dosis tunggal 30 mg metimazol menghasilkan efek antitiroid yang
lebih lama daripada 24 jam, dosis harian tunggal sudah efektif dalam
mengatasi hipertiroidisme ringan sampai berat. Kedua tioamid
menembus sawar plasenta dan terkonsentrasi di tiroid janin sehingga
pemakaiannya pada wanita hamil perlu berhati-hati. Karena risiko
hipotiroidisme ja11in, oleh Food and Drug Administration kedua
tioamid diklasifikasikan ke dalam kategori D kehamilan (bukti risiko
pada janin manusia berdasarkan data reaksi simpang dari penelitian
atau laporan pascapemasaran, lihat Bab 59). Dari keduanya,
propiltiourasil lebih dianjurkan selama trimester pertama kehamilan
karena terikat lebih kuat ke protein dan, karenanya, lebih sulit
menembus plasenta. Selain itu, metimazol pernah, meskipun jarang,
dilaporkan berkaitan dengan malformasi kongenital. Kedua tioamid
disekresikan dalam konsentrasi rendah di ASI tetapi dianggap aman
bagi bayi yang menyusui.
 Farmakodinamika
Tioamida bekerja melalui banyak mekanisme. Efek utama adalah
mencegah pembentukan hormon dengan menghambat reaksi-reaksi
yang dikatalisis oleh tiroid peroksidase dan menghambat organifikasi
iodium. Selain itu, mereka menghambat penggabungan iodotirosin.
Obat golongan ini tidak menghambat penyerapan iodide oleh kelenjar.
Propiltiourasil dan (dengan derajat yang jauh lebih rendah) metimazol
menghambat deiodinasi perifer T4 dan T3. Karena yang lebih
terpengaruh adalah sintesis dan bukan pelepasan hormon, awitan obat-
obat ini lambat, sering memerlukan waktu 3-4 minggu sebelum
simpanan T4 terkuras.
 Toksisitas

13
Reaksi samping terhadap tioamid terjadi pada 3-12% pasien yang
diterapi. Kebanyakan reaksi muncul secara dini, khususnya mual dan
distres saluran cerna. Pada pemberian metimazol dapat terjadi
perubahan sensasi kecap atau bau. Efek samping tersering adalah
ruam gatal makulopapular (4-6%), kadang disertai oleh gejala
sistemik seperti demam. Efek samping yang jarang antara lain adalah
ruam urtikaria, vaskulitis, reaksi mirip-lupus, limfa-denopati

b. INHIBITOR ANION5,6
Anion monovalen seperti perklorat (CI04-), perteknetat (Tc04-), dan
tiosianat (SCN-) dapat menghambat penyerapan iodida oleh kelenjar
melalui mekanisme inhibisi kompetitif mekanisme pengangkut iodida.
Karena efek ini dapat dikalahkan oleh iodida dalam dosis besar, efektivitas
obat-obat ini agak sulit diduga. Pemakaian klinis utama untuk kalium
perklorat adalah untuk menghambat penyerapan ulang I- pada pasien
dengan hipertiroidisme imbas-iodida (mis. hipertiroidisme imbas-
amiodaron). Namun, kalium perklorat jarang digunakan secara klinis
karena dilaporkan berkaitan dengan anemia aplastik.
c. IODIDA5,6
Sebelum diperkenalkannya tioamid pada tahun 1940-an, iodida
adalah obat antitiroid utama; saat ini obat golongan ini jarang digunakan
sebagai terapi tunggal.
 Farmakodinamika
Iodida memiliki beberapa efek pada tiroid. Mereka menghambat
organifikasi dan pelepasan hormon serta mengurangi ukuran dan
vaskularitas kelenjar hiperplastik. Pada orang yang rentan, iodide
dapat memicu hipertiroidisme (fenomena Jod-Basedow) atau memicu
hipotiroidisme. Dalam dosis farmakologik (>6 mg/hari), efek utama
iodida adalah menghambat pelepasan hormon, mungkin melalui
inhibisi proteolisis tiroglobulin. Perbaikan gejala tirotoksik
berlangsung cepat-dalam 2-7 hari-karenanya terapi iodida bermanfaat

14
pada thyroid storm . Selain itu, iodida mengurangi vaskularitas,
ukuran, dan fragilitas kelenjar hiperplastik, menyebabkan obat ini
bermanfaat sebagai persiapan praoperasi untuk pembedahan.
 Pemakaian Klinis lodida
Kekurangan terapi iodida mencakup meningkatnya simpanan
iodium intraglandular, yang dapat menunda awitan terapi tioamid atau
mencegah pemakaian terapi iodium radioaktif selama beberapa
minggu. Karena itu, iodida seyogianya dimulai setelah awitan terapi
tioamid dan dihindari jika akan direncanakan terapi dengan iodium
radioaktif. Iodida jangan digunakan sendirian, karena dalam 2-8
minggu kelenjar akan lolos dari blokade iodida dan penghentiannya
dapat memicu kekambuhan tirotoksikosis parah pada kelenjar yang
kini banyak mengandung iodium. Pemakaian kronik iodida pada
kehamilan sebaiknya dihindari karena obat golongan ini menembus
plasenta dan dapat menyebabkan gondok pada janin. Pada kedaruratan
radiasi yang melibatkan pelepasan isotop-isotop iodium radioaktif,
efek kalium iodida dalam menghambat tiroid dapat melindungi
kelenjar dari kerusakan selanjutnya jika diberikan sebelum pajanan
radiasi.
 Toksisitas
Reaksi samping terhadap iodium (iodisme) jarang terjadi dan
pada sebagian besar kasus bersifat reversibel jika obat dihentikan.
Reaksi ini berupa ruam akneformis (serupa dengan yang terjadi pada
bromisme), pembengkakan kelenjar liur, ulserasi membran mukosa,
konjungtivitis, rinorea, demam obat, rasa logam, gangguan
perdarahan, dan, meskipun jarang, reaksi anafilaktoid.
d. IODIUM RADIOAKTIF5,6
131
1 adalah satu-satunya isotop yang digunakan untuk mengobati
tirotoksikosis (yang lain digunakan dalam diagnosis). 1311 yang diberikan
131
per oral dalam larutan sebagai natrium 1, diserap cepat, terkonsentrasi
di kelenjar tiroid, dan terserap ke dalam folikel penyimpanan. Efek

15
terapeutiknya bergantung pada emisi berkas sinar β dengan waktu-paruh
efektif 5 hari dan rentang penetrasi 400-2000 μm. Dalam beberapa minggu
setelah pemberian, terlihat kerusakan parenkim tiroid berupa
pembengkakan dan nekrosis epitel, kerusakan folikel, edema, dan infiltrasi
leukosit. Keunggulan radio-iodium mencakup pemberian yang mudah,
efektivitas, biaya rendah, dan tidak menyebabkan nyeri. Takut akan
kerusakan genetik imbas-radiasi, leukemia, dan neoplasia belum pernah
terbukti setelah lebih dari 50 tahun pengalaman klinis dengan terapi
iodium radioaktif untuk hipertiroidisme. Iodium radioaktif seyogianya
tidak diberikan kepada wanita hamil atau menyusui, karena obat ini
menembus plasenta untuk merusak kelenjar tiroid janin dan diekskresikan
di ASI.
e. OBAT PENGHAMBAT ADRENOSEPTOR5,6
Penghambat beta tanpa aktivitas simpatomimetik intrinsik (mis.
metoprolol, propranolol, atenolol) adalah adjuvan terapeutikyang efektif
dalam penatalaksanaan tirotoksikosis karena banyak dari gejala penyakit
ini mirip dengan yang disebabkan oleh stimulasi simpatis. Propranolol
adalah penghambat β yang paling luas diteliti dan digunakan dalam terapi
tirotoksikosis. Penghambat beta menyebabkan perbaikan klinis gejala
hipertiroid, tetapi biasanya tidak mengubah kadar hormon tiroid.
Propranolol dalam dosis lebih dari 160 mg/hari juga dapat mengurangi
kadar T3 sekitar 20% dengan menghambat perubahan T4 menjadi T3 di
jaringan perifer.

16
DAFTAR PUSTAKA
1. Aru W Sudoyo. Bambang Setiyohadi. Idrus Alwi. Marcellus Simadibrata K.
Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-V. Jilid 3. Jakarta;2009.
Hal: 1993-2008
2. Herman, guntur. Pengelolaan dan Pengobatan Hipertiroid. Surakarta; 1990.
Universitas sebelas maret. Vol 63
3. Yeo PPB. Hyperthyroidism Treatment and Prediction of Relapse. Med. Progr
1984; 11: 16.
4. Goodman & Gilman. Manual Farmokologi dan Terapi. 2010. Jakarta: EGC
5. Katzung B, Masters S, Trevor A. Katzung Basic and Clinically Pharmacology.
12 th Edition. 2012. New York: McGraw Hill.
6. MIMS Edisi Bahasa Indonesia. 2015. MIMS, Referensi Obat, Informasi
Ringkas Produk Obat Bahasa, Volume 16. IJakarta: Bhuana Ilmu Populer

17

Anda mungkin juga menyukai