Anda di halaman 1dari 50

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A219094/ Juni 2020


** Pembimbing / dr. Elfiani, Sp.PD., FINASIM

CHF NYHA III/IV et causa ASHD coroner insufisiensi Inferoanterior

Oleh:
Khory Aurora Berty, S.ked
NIM. G1A219094

Pembimbing: dr. Elfiani, Sp.PD., FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)
CHF NYHA III/IV et causa ASHD coroner insufisiensi Inferoanterior

Disusun Oleh :
Khory Aurora Berty, S.Ked
G1A1219094

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Prov. Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Juni 2020

Pembimbing

dr. Elfiani, Sp.PD., FINASIM

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat Case Report Session (CRS) yang berjudul “CHF
NYHA III/IV et causa ASHD coroner insufisiensi Inferoanterior ” sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Elfiani, Sp.PD., FINASIM yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah
Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan
kasus ini. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan pembaca.

Jambi, Juni 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.......................................................................................................... i
Halaman Pengesahan .............................................................................................. ii
Kata Pengantar ....................................................................................................... iii
Daftar Isi................................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II STATUS PASIEN .................................................................................... 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 29
BAB IV ANALISIS KASUS ............................................................................... 31
BAB V KESIMPULAN....................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 30

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat memompa
darah yang mencukupi untuk kebutuhan tubuh. Gagal jantung kongestif adalah gagal
jantung kanan dan kiri. Gagal jantung kanan terjadi kelainan yang melemahkan pada
ventrikel kanan seperti hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru
kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer,
hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Sedangkan pada gagal jantung kiri terjadi
akibat kelemahan pada ventrikel kiri, meningkatkan tekanan vena pulmonal dan paru
menyebabkan pasien sesak nafas dan ortopnea.1
Saat ini, congestive heart failure (CHF) atau yang biasa disebut gagal jantung
kongestif merupakan satu-satunya penyakit kardiovaskuler yang insiden dan angka
kejadiannya (prevalensinya) terus meningkat. Risiko kematian akibat gagal jantung
berkisar antara 5-10% pertahun pada kasus gagal jantung ringan, yang akan
meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat. Selain itu, gagal jantung
merupakan penyakit yang paling sering memerlukan perawatan ulang dirumah sakit
(readmission), meskipun pengobatan rawat jalan telah diberikan secara optimal. 2

1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Umur : 50 Tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Alamat : Jambi
Pekerjaan : Manager perusahaan
MRS : 2 Juni 2020

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis)


Keluhan Utama :
Pasien laki-laki datang diantar oleh istrinya dengan keluhan sesak nafas sejak 2
hari yang lalu

Riwayat penyakit sekarang :


1. Bagaimana awal terjadinya sesak?
2. Apakah dirasakan hilang timbul atau terus menerus ?
3. Apakah pasien merasa sesak pada saat beraktivitas atau saat istirahat?
Seberapa berat aktivitas yang dapat menimbulkan rasa sesak?
4. Apakah pasien dapat tidur terlentang tanpa merasakan sesak? Jika tidak,
biasanya berapa bantal yang digunakan pada saat tidur?
5. Apakah pasien pernah terbangun pada malam hari karena sesak? Apakah
disertai mengi atau batuk?
6. Apakah pasien pernah pingsan atau gelap mata saat beraktivitas?
7. Apakah pasien merasakan lelah yang berarti saat beraktivitas biasa?
Apakah saat beristirahat juga tersasa lelah?

2
8. Apakah pasien merasakan nyeri atau rasa tidak nyaman pada bagian dada?
jika ada bagaimana nyeri yang dirasakan?
9. Apakah nyerinya berhubungan dengan aktivitas? Aktivitas seperti apa
yang memicu nyeri?
10. Seberapa intens nyeri yang dirasakan jika diberi penilaian 1-10?
11. Apakah nyeri menjalar ke leher, bahu, punggung atau turun ke tangan?
12. Berapa lama nyeri dirasakan?
13. Dapatkah pasien menunjukkan lokasi nyerinya?
14. Apa yang biasanya dilakukan untuk membuat rasa nyerinya berkurang?
15. Apakah pasien merasakan jantung berdebar-debar? Jika ada apakah
dimulai dan berhenti secara tiba-tiba atau bertahap?
16. Apakah pasien ada batuk ? jika ada sejak kapan batuknya dan sudah
berapa lama?
17. Apakah batuk kering atau berdahak? Jika berdahak, apa warnanya?
Apakah disertai darah?
18. Apakah batuk membuat sesak bertambah berat?
19. Kapan batuk terasa lebih berat? Kapan terasa lebih ringan?
20. Apakah pasien mengalami demam? Jika ada sejak kapan demam
berlangsung?
21. Apakah demam terus menerus atau naik turun?
22. Kapan demam dirasakan semakin meningkat? Kapan dirasakan semakin
menurun?
23. Apakah terdapat bengkak pada pergelangan kaki?
24. Jika ada, sejak kapan bengkak tersebut muncul? Apakah memburuk saat
pagi atau malam hari? Apakah anda memakai sepatu terlalu sempit?
25. Apakah bengkak pada mata pada saat bangun tidur? Apakah merasakan
perut yang membesar?
26. Apakah ada mual muntah?
27. Apakah ada gangguan nafsu makan?

3
28. Apakah mengalami penurunan BB?
29. Apakah pasien minum obat untuk mengatasi gejalanya? Jika iya, apa obat
yang diminum pasien?
30. Apakah pasien merasakan keluhan lain selain keluhan diatas?

Riwayat Penyakit Dahulu :


1. Apakah pasien pernah mersakan keluhan yang serupa?
2. Apakah pasien pernah dirawat karena penyakit jantung?
3. Apakah pasien memiliki riwayat hipertensi?
4. Apakah pasien memiliki riwayat kolesterol yang tinggi?
5. Jika pernah, bagaimana riwayat pengobatan pasien?
6. Riwayat penyakit paru? Seperti ASMA atau PPOK?
7. Adakah riwayat DM?

Riwayat Penyakit Keluarga :


1. Riwayat keluhan yang sama  ayah pasien penyakit jantung koroner
2. Riwayat sakit jantung (-)
3. Riwayat hipertensi (-)
4. Riwayat DM (-)

Riwayat Sosial dan Ekonomi :


1. Pasien merupakan manager disebuah perusahaan
2. Apakah pasien merokok? Berapa batang perhari ? sudah sejak kapan
merokok?
3. Apakah pasien rajin berolahraga?
4. Apasaja makanan yang sering dikonsumsi pasien?

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien congestive heart failure kelas III/IV :

4
Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis GCS: E4M6V5
Vital Sign :
- TD : 160/90 mmHg ( Hipertensi )
- HR : >100x/menit (takikardi)
- RR : >24x/menit (Takipneu)
- Suhu : 36,6 C (Biasanya normal)
- SpO2 :-
Kepala
 Bentuk Kepala : Normocephal
Mata
 Konjungtiva : Konjungtiva anemis (-)
 Sklera : Sklera Ikterik (-/+)
 Pupil : Isokor
Leher
 JVP : terjadi peningkatan > 8 cmH2O
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS VI linea axillaris anterior sinistra (ictus
cordis bergeser ke lateral, normalnya teraba pada ICS V linea
midcalvicularis sinistra)
Perkusi : Batas kanan Atas : ICS II Linea parasternal dextra
Batas Kiri Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas kanan bawah : ICS V Linea parasternalis dextra
Batas kiri bawah : ICS VI linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur sistolik (+), Gallop S3

5
Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, spider naevi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi :Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki basah halus (+/+), Wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi : cembung, asites (+/-), tidak simetris
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan (-), hepatomegali (-/+)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (+)
Auskultasi : Bising usus (+)

Ekstremitas
Superior : akral hangat/dingin, CRT <2/>2 detik, Edema (-), clubing finger (-)
Inferior : akral hangat/dingin, CRT <2/>2 detik, Edema (+)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
1. Darah Rutin
WBC : 12,71 x109/L
RBC : 4 x 1012/L
HGB : 11,3 g/dL
HCT : 37,8 %
PLT : 196 109/L
GDS : 104 mg/dL
Col : > 200 mg/dl

2. Elektrolit
Na : 138,16 mmol/L

6
K : 4,10 mmol/L
Cl : 109,74 mmol/L
Ca : 1,11 mmol/L
3. Analisis gas darah
pO2, pCO2
4. Faal Ginjal
Ureum : 62 mg/dl
Kreatinin : 4,5 mg/dl
5. Faal hati
SGOT/SGPT :
6. Faal Jantung
BNP : > 100 pg/mL
Troponin :

2. Ekokardiografi
- Penting untuk mengevaluasi kelainan fungsional dan structural jantung.
3. EKG

ST segmen : ST Elevasi I, II, aVF,V3,V4,V5,V6


Kesimpulan : Infark inferolateral

7
4. Ro. Thoraks

Cor:
• Identitas sesuai
• Penanda (+)
• Penetrasi baik, Inspirasi cukup
• CTR : 60%
• Segmen Aorta : Kalsifikasi (+), Elongasi (+)
• Segmen Pulmonal : Dilatasi (-)
• Pinggang jantung mendatar
• Apeks jantung tertanam
• Sudut costofrenicus kiri tumpul, kanan lancip
• Dilatasi Mediastinum (-)
Pulmo:
 Corakan bronkovaskular kedua paru meningkat ringan di sentral dengan
gambaran kranialisasi DD/ awal edema paru
Kesan : Cor : Kardiomegali dengan aorta elongasi dan kalsifikasi
Pulmo : DD/ awal edema paru, efusi pleura kiri

8
2.5 Diagnosa Banding
- infark miokard
- Kor pulmonal
- PPOK
- kardiomiopati

2.6 Diagnosis Kerja


CHF NYHA III/IV et causa ASHD coroner insufisiensi Inferoanterior

2.6 Tatalaksana CHF NYHA GRADE III/IV


Farmakologis:
O2 3 L/menit nasal kanul
IVFD RL 500 cc 10 tpm
ACE inhibitor +ARB  captopril 2 x 12,5 mg + candesartan 1 x 8 mg
Beta bloker  bisoprolol 1 x 2,5 mg
Antagonis aldosterone  spironolactone 1 x 25 mg
Simptomatik :
Diuretic furosemide 1x40mg
Digitalis  digoksin 1 x 0,25 mg
Antitrombotik: acetilsalycilat acid 1x 75 mg
PO asam folat 2x1 tablet

Non Farmakologis:
- Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengeanl
serta upaya bila timbul keluhan dan dasar pengobatan
- Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas seksual, serta
rehabilitasi
- Edukasi pola diet, control asupan garam, air dan kebiasaan alcohol

9
- Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-
tiba
- Mengurangi berat badan pada pasien obesitas
- Hentikan kebiaaan merokok
- Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan
humiditas memerlukan perhatian khusus,
- Konseling mengenai obat, efek samping, dan menghindari obat-obat
tertentu seperti NSAID, anti aritmia kelas I, verapamil, diltiazem,
dihidropiridin efek cepat, antidepresan trisiklik, steroid.

2.8 Prognosis
 Quo Vitam : Dubia ad malam
 Quo Functionam : Dubia ad malam
 Quo Sanationam : Dubia ad malam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Gagal Jantung
3.1.1 Definisi
Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, di mana terdapat kegagalan
jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Keadaan dimana
jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi metabolisme jaringan atau
hanya bisa melakukannya dengan tekanan pengisian yang tinggi secara tidak normal.
Penting untuk mengetahui dasar penyakit jantung dan faktor-faktor yang
mencetuskan gagal jantung kongestif akut.1

3.1.2 Etiologi
Gagal Jantung Kongestif dapat disebabkan oleh :2,3,4
1. Kelainan Otot Jantung
Gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, yang
berdampak pada menurunnya kontraktilitas jantung.Kondisi yang mendasari
penyebab kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi
atterial, dan penyakit otot degenerative atau inflamasi.
2. Aterosklerosis Koroner
Kelainan ini mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran
darah ke otot jantung.Terjadinya hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam
laktat).Infark miokardium biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal
jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
3. Hipertensi Sistemik atau Hipertensi Pulmonal
Gangguan ini menyebabkan meningkatnya beban kerja jantung dan pada
giliriannya juga turut mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut

11
dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi, karena akan meningkatkan
kontraktilitas jantung.
4. Peradangan dan Penyakit Miokardium Degeneratif
Gangguan kesehatan ini berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini
secara langsung dapat merusak serabut jantung dan menyebabkan kontraktilitas
menurun.
5. Penyakit Jantung yang Lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya,
yang secara langsung mempengaruhi organ jantung. Mekanisme yang biasanya
terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung ( stenosis katup
semiluner) serta ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah
(misalnya temponade pericardium, perikarditas, konstriktif, atau stenosis katup
siensi katup AV).
6. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya
gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam), hipoksia dan
anemia diperlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan
oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke
jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektronik dapat
menurunkan kontraktilitas jantung.

3.1.3 Klasifikasi
The New York Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4
kelas, berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha yang
dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut:1
1. Kelas I : Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas
fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak napas.

12
2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan dari
kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.
4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan
kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat
beristirahat.
Tabel 3.2 Klasifikasi Gagal Jantung1

3.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari gagal jantung dapat dibagi menjadi beberapa bagian. antara lain:2,3,4
a. Mekanisme Dasar

13
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada
gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan
pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang
menurun mengurangi volume sekuncup, dan meningkatkan volume residu
ventrikel. Dengan meningkatnya EDV (volume akhir diastolik) ventrikel,
terjadi peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Derajat
peningkatan tekanan bergantung pada kelenturan ventrikel. Dengan
meningkatnya LVDEP, terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri (LAP)
karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastol.
Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke dalam pembuluh darah paru-
paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru. Apabila tekanan
hidrostatik anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik pembuluh
darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial. Peningkatan
tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli
dan terjadilah edema paru. Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat
peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan
tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serangkaian kejadian seperti yang
terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan yang akhirnya
akan menyebabkan edema dan kongesti paru. Perkembangan dari edema dan
kongesti sistemik atau paru dapat diperberat oleh regurgitasi fungsional dari
katup-katup trikuspidalis atau mitralis secara bergantian. Regurgitasi
fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi anulus katup atroventrikularis, atau
perubahan orientasi otot papilaris dan korda tendinae akibat dilatasi ruang.

14
Gambar.1 Edema Paru pada Gagal Jantung Kiri
b. Respons Kompensatorik
Sebagai respons terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer
yang dapat dilihat: (1) meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, (2)
meningkatnya beban awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron,
dan (3) hipertrofi ventrikel. Ketiga respons kompensatorik ini mencerminkan
usaha untuk mempertahankan curah jantung. Mekanisme ini mungkin
memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau
hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan
istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung
biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung,
kompensasi menjadi semakin kurang efektif.

c. Peningkatan Aktivitas Adrenergik Simpatis


Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan
membangkitkan respons simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas
adrenergik simpatik merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf
adrenergik jantung dan medula adrenal. Denyut jantung dan kekuatan
kontraksi akan meningkat untuk menambah curah jantung. Selain itu juga
terjadi vasokonstriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan

15
redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ
yang metabolismenya rendah (misal, kulit dan ginjal) untuk mempertahankan
perfusi ke jantung dan otak. Venokonstriksi akan meningkatkan aliran balik
vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi
sesuai dengan hukum Starling. Seperti yang diharapkan, kadar katekolamin
dalam darah akan meningkat pada gagal jantung, terutama selama latihan.
Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam
darah untuk mempertahankan kerja ventrikel.
Namun pada akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan
simpatis akan menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap
kerja ventrikel. Perubahan ini paling tepat dengan melihat kurva fungsi
ventrikel. Dalam keadaan normal, katekolamin menghasilkan efek inotropik
positif pada ventrikel sehingga menggeser kurva ke atas dan ke kiri.
Berkurangnya respons ventrikel yang gagal terhadap rangsangan katekolamin
menyebabkan berkurangnya derajat pergeseran akibat rangsangan ini.
Perubahan ini mungkin berkaitan dengan observasi yang menunjukkan bahwa
cadangan norepinefrin pada miokardium menjadi berkurang pada gagal
jantung kronis.

d. Peningkatan Beban Awal Melalui Aktivasi Sistem Renin-Angiotensin-


Aldosteron
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi
natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel dan regangan
serabut. Peningkatan beban awal ini akan menambah kontraktilitas
miokardium sesuai dengan hukum Starling. Mekanisme pasti yang
mengakibatkan aktivasi system renin-angiotensin-aldosteron pada gagal
jantung masih belum jelas. Namun, diperkirakan terdapat sejumlah faktor
seperti rangsangan simpatis adrenergic pada reseptor beta di dalam aparatus
jukstaglomerulus, respons reseptor macula densa terhadap perubahan

16
pelepasan natrium ke tubulus distal, dan respons baroreseptor terhadap
perubahan volume dan tekanan darah sirkulasi. Apapun mekanisme pastinya,
penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian
peristiwa berikut: (1) penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi
glomerulus, (2) pelepasan renin dari aparatus jukstaglomerulus, (3) interaksi
renin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I,
(4) konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, (5) rangsangan sekresi
aldosteron dari kelenjar adrenal, dan (6) retensi natrium dan air pada tubulus
distal dan duktus pengumpul. Angiotensin II juga menghasilkan efek
vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah. Pada gagal jantung berat,
kombinasi antara kongesti vena sistemik dan menurunnya perfusi hati akan
mengganggu metabolisme aldosteron di hati, sehingga kadar aldosteron dalam
darah meningkat. Kadar hormon antidiuretik akan meningkat pada gagal
jantung berat, yang selanjutnya akan meningkatkan absorpsi air pada duktus
pengumpul.

e. Hipertrofi Ventrikel
Respons kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi
miokardium atau bertambahnya tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan
jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium; sarkomer dapat bertambah secara
paralel atau serial bergantung pada jenis beban hemodinamik yang
mengakibatkan gagal jantung. Sebagai contoh, suatu beban tekanan yang
ditimbulkan stenosis aorta akan disertai dengan meningkatnya ketebalan
dinding tanpa penambahan ukuran ruang dalam. Respons miokardium
terhadap beban volume, seperti pada regurgitasi aorta, ditandai dengan dilatasi
dan bertambahnya ketebalan dinding. Kombinasi ini diduga terjadi akibat
bertambahnya jumlah sarkomer yang tersusun secara serial. Kedua pola
hipertrofi ini disebut hipertrofi konsentris dan hipertrofi eksentris. Apapun

17
susunan pasti sarkomernya, hipertrofi miokardium akan meningkatkan
kekuatan kontraksi ventrikel.

f. Mekanisme Kompensatorik Lainnya


Mekanisme lain bekerja pada tingkat jaringan untuk meningkatkan
hantaran oksigen ke jaringan. Kadar 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) plasma
meningkat sehingga mengurangi afinitas hemoglobin dengan oksigen.
Akibatnya, kurva disosiasi oksigen-hemoglobin bergeser ke kanan,
mempercepat pelepasan dan ambilan oksigen oleh jaringan. Ekstraksi oksigen
dari darah ditingkatkan untuk mempertahankan suplai oksigen ke jaringan
pada saat curah jantung rendah.

g. Efek Negatif Respons Kompensatorik


Awalnya, respons kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang
menguntungkan; namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat
menimbulkan gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat
gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan
kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan
sistemik. Vasokonstriksi arteri dan redistribusi aliran darah mengganggu
perfusi jaringan pada anyaman vascular yang terkena, serta menimbulkan
gejala dan tanda (misal, berkurangnya jumlah keluaran urine dan kelemahan
tubuh). Vasokonstriksi arteri juga meningkatkan beban akhir dengan
memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat
karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan
oksigen miokardium (MVO2) juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan
rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan kebutuhan MVO2. Jika
peningkatan MVO2 ini tidak dapat dipenuhi dengan meningkatkan suplai
oksigen miokardium, akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan

18
miokardium lainnya. Hasil akhir peristiwa yang saling berkaitan ini adalah
meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.

19
3.1.5 Manifestasi Klinis Gagal Jantung
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang
pasien harus memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung (nafas pendek yang
tipikal saat istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau tidak kelelahan), tanda
retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki), adanya bukti objektif
dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat. 1
Tabel 3.1 Tanda dan Gejala Gagal Jantung1

Manifestasi klinis gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap


derajat latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas
gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik; tetapi, dengan bertambah beratnya gagal
jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih
awal dengan aktivitas yang lebih ringan. Dispnea, atau perasaan sulit bernafas, adalah
manifestasi gagal jantung yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh peningkatan
kerja pernafasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.
Meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea. Batuk nonproduktif
juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi berbaring.1
Gejala lain dari gagal jantung adalah edema perifer. Biasanya, keluhan dari
penderita adalah pada saat bangun tidur di pagi hari, kaki masih tampak normal.
Namun, semakin siang, kaki dan pergelangan kaki membengkak dan apabila ia
membuka sepatu, maka ia tidak akan dapat lagi mengenakannya. Penderita juga akan
mengeluh tentang perasaan berat di kaki. Di sepanjang hari itu, berat badan dapat

20
bertambah sampai 2 kg. Kita juga akan dengan mudah menekan satu sumuran di
dalam edema, sehingga sering disebut edema sumuran (pitting edema). Pada beberapa
penderita gagal jantung kronis yang selalu berada di tempat tidur, edema akan
berpindah ke bagian yang paling rendah dari tubuhnya. Hal inilah yang menyebabkan
timbulnya edema presakral. Umumnya edema di kaki kanan akan diangkut dan
dibuang melalui urin pada malam hari. Itulah sebabnya mengapa pada malam hari,
penderita selalu mengeluarkan kencing yang banyak (paling sedikit 3 kali) dan sering
disebut nokturia.6,7
Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial.
Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada
malam hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi
cairan. Nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu
berbaring, dan juga berkurangnya vasokonstriksi ginjal pada waktu istirahat. Gagal
jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka (edema tubuh
generalisata). Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena
sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi
paling dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan
daripada gagal jantung kanan yang nyata. Semua manifestasi yang dijelaskan di sini
secara khas diawali dengan bertambahnya berat badan, yang jelas mencerminkan
adanya retensi natrium dan air.5
Kulit pucat dan dingin disebabkan oleh vasokonstriksi perifer; makin
berkurangnya curah jantung dan meningkatnya kadar hemoglobin tereduksi
menyebabkan terjadinya sianosis. Vasokonstriksi kulit menghambat kemampuan
tubuh untuk melepaskan panas; oleh karena itu dapat ditemukan demam ringan dan
keringat yang berlebihan. Kurangnya perfusi pada otot rangka menyebabkan
kelemahan dan keletihan. Gejala dapat diperberat oleh ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit atau anoreksia. Makin menurunnya curah jantung dapat disertai insomnia,
kegelisahan, atau kebingungan. Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat terjadi
kehilangan berat badan yang progresif atau kakeksia jantung.5

21
Pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung memperlihatkan denyut yang
cepat dan lemah. Denyut jantung yang cepat (atau takikardia) mencerminkan respons
terhadap rangsangan saraf simpatis. Sangat menurunnya volume sekuncup dan
adanya vasokonstriksi perifer mengurangi tekanan nadi (perbedaan antara tekanan
sistolik dan diastolik), menghasilkan denyut yang lemah (thready pulse). Hipotensi
sistolik ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat. Selain itu, pada gagal
ventrikel kiri yang berat dapat timbul pulsus alternans, yaitu berubahnya kekuatan
denyut arteri.5,6
Pulsus alternans menunjukkan disfungsi mekanis yang berat dengan
berulangnya variasi denyut ke denyut pada volume sekuncup. Pada auskultasi dada
lazim ditemukan ronki (seperti yang telah dikemukakan di atas) dan gallop ventrikel
atau bunyi jantung ketiga (S3). Terdengarnya S3 pada auskultasi merupakan ciri khas
gagal ventrikel kiri. Gallop ventrikel terjadi selama diastolik awal dan disebabkan
oleh pengisian cepat pada ventrikel yang tidak lentur atau terdistensi. Kuat angkat
substernal (atau terangkatnya sternum sewaktu sistolik) dapat disebabkan oleh
pembesaran ventrikel kanan. Terjadi perubahan-perubahan khas pada kimia darah.
Misalnya, perubahan cairan dan kadar elektrolit terlihat dari kadarnya dalam serum.
Yang khas adalah adanya hiponatremia pengenceran; kadar kalium dapat normal atau
menurun akibat terapi diuretik. Hiperkalemia dapat terjadi pada tahap lanjut dari
gagal jantung karena gangguan ginjal.5,6,7
Manifestasi klinis dari gagal ventrikel kiri berupa sesak napas, ortopnea,
dispnea nokturnal paroksismal, rasa lelah, kebingungan nokturia, dan nyeri dada.
Manifestasi klinis dari gagal ventrikel kanan berupa sesak napas, peningkatan tekanan
vena jugularis, anasarka, asites, edema kaki, refluks hepatojugular, dan nyeri
abdomen.7

22
3.1.6 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan penilaian
klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, biomarker,
dan ekokardiografi Doppler.1,2
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara
luas.Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan minimal 2 kriteria mayor atau
satu kriteriamayor disertai 2 kriteria minor. Kriteria minor tersebut dapat diterima jika
kriteria minortersebut tidak berhubungan dengan penyakit seperti hipertensi
pulmonal, ppok, sirosis hatiatau sindroma nefrotik.1,2

Tabel 3.3 Kriteria Framingham2

Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda
sepertisesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema
tungkai.8,9
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya
gagal jantungantara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan
darah, pemeriksaanradionuklide, angiografi dan tes fungsi paru.1,8,9
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung
(cardio thoraxic ratio> 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona

23
ataspada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul
gambarancairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudutkostofrenikus.
Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru
yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi
pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian
kanan.8,9
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir
seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai
pada 10% kasus.Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q,
abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi
atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang
normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat
kecil kemungkinannya.10
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada
gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai
struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah :
semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan
murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan
risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau
aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi
diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli. 8,9
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai
penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta
komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya
hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum
kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga
mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin
setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi.

24
Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada
pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring.
Hiperkalemiatimbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsiginjal,
penggunaan ACE-inhibitorserta obat potassium sparring. Pada gagal jantung
kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena
kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albuminserum fungsi tiroid dianjurkan sesuai
kebutuhan.Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung
dengan kadarBNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml. 1,8,9

3.1.7 Diagnosis Banding


(1) Kor Pulmonale
Kor pulmonale merupakan pembesaran jantung kanan akibat
penyakit paru primer, akan menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan
akhirnya menjadi gagal ventrikel kanan. Kor pulmonal juga dapat
diartikan sebagai hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi
pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh
darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri.
Untuk menetapkan adanya kor pulmonal secara klinis pada pasien
gagal napas diperlukan tanda pada pemeriksaan fisis yakni edema. Kor
pulmonal akut adalah peregangan atau pembebanan akibat hipertensi
pulmonal akut, sering disebabkan oleh emboli paru masif, sedangkan kor
pulmonal kronis adalah hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan akibat
hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan penyakit paru obstruktif
atau restriktif.4
Etiologi meliputi:
 Penyakit parenkim paru atau jalan napas. Penyakit paru obstruksi
kronis (PPOK), penyakit paru interstisial, bronkiektasi, fibrosis
kistik.

25
 Penyakit vaskular paru. Emboli paru berulang, hipertensi paru
primer (PHT),vaskulitis, anemia sel sabit.
 Ventilasi mekanik yang adekuat. Kifoskoliosis, kelainan
neuromuskular, obesitas nyata, sleep apnea.3
Penyakit paru kronis akan mengakibatkan: (1) berkurangnya “vascular
bed” paru, dapat disebabkan oleh semakin terdesaknya pembuluh darah oleh
paru yang mengembang atau kerusakan paru; (2) asidosis dan hiperkapnia; (3)
hipoksia alveolar, yang akan merangsang vasokonstriksi pembuluh paru; (4)
polisitemia dan hiperviskositas darah. Keempat kelainan ini akan
menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonal (perjalanan lambat). Dalam
jangka panjang akan mengakibatkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan
dan kemudian akan berlanjut menjadi gagal jantung kanan. Tingkat klinis kor
pulmonal dimulai PPOK kemudian PPOK dengan hipertensi pulmonal dan
akhirnya menjadi PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal jantung
kanan.4
Gejala dari kor pulmonale tergantung pada penyebab yang
mendasarinya tetapi meliputi sesak napas, batuk kelelahan dan produksi
sputum (pada penyakit parenkim). Pada pemeriksaan fisik terhadap pasien
yang menderita kor pulmonale akan ditemukan napas cepat, sianosis, jari
tabuh. Impuls RV (Right Ventricel) sepanjang tepi sternal kiri, P2 keras, S4
sisi kanan. Jika berkembang gagal RV, tekanan vena jugularis meningkat,
hepatomegali dengan asites, edema kaki. Dapat terdengar bising dari
regurgitasi trikuspid.4
Pada hasil EKG untuk kor pulmonale, akan didapatkan hipertrofi RV
dan pembesaran RA (Right Atrium), sering takiaritmia. Foto toraks
memperlihatkan RV dan arteri pulmonalis membesar; jika ada PHT, ikuti
percabangan arteri pulmonalis. CT dada untuk melihat emfisema, penyakit
paru interstisial dan emboli paru akut. V/Q scan lebih dapat dipercaya untuk

26
diagnosis tromboemboli kronis. Tes fungsi paru dan analisis gas darah
mencirikan penyakit paru intrinsik. Pada hasil ekokardiogram, hipertrofi
ventrikel kanan (RV); fungsi ventrikel kiri normal. Tekanan sistolik RV dapat
diperkirakan dari pengukuran Doppler aliran regurgitasi trikuspid. Jika
pencitraan sulit karena udara dalam paru yang meregang, volume RV dan
ketebalan dinding dapat dinilai dengan MRI.5,6
Penatalaksanaan untuk kor pulmonale ditujukan pada penyakit paru
yang mendasarinya dan meliputi bronkodilator, antibiotika dan pemberian
oksigen. Jika ada gagal RV, obati seperti CHF, diet rendah natrium dan
diuretik; digoksin harus diberikan secara hati-hati (toksisitas meningkat
karena hipoksemia, hiperkapnia, asidosis). Diuretik lengkung Henle juga
harus digunakan dengan hati-hati untuk mencegah alkalosis metabolik yang
berat yang mengganggu usaha pernapasan. Takiaritmia supraventrikular
sering terjadi dan obati dengan digoksin atau verapamil (sebaiknya
menghindari penggunaan beta blocker). Antikoagulasi kronis dengan warfarin
diindikasikan ketika hipertensi pulmonal diikuti dengan gagal RV.4,5,6
(2) Kardiomiopati
Adalah kelainan dari otot jantung yang tidak ada kaitanya dengan
penyakit perikardium, hipertensi, koroner, kelainan katup. Berdasarkan
patofisiologi kardiomiopati dibagi atas kardiomiopati dilatasi, hipertrofi,
restriktif. Penyakit ini kebanyakan mengenai usia pertengahan dan lebih
sering ditemukan pada pria dibanding wanita. Penyebab dari kardiomiopai
dilatasi sendiri tidak diketahui dngan pasti, kemungkinan kelainan ini
merupakan hasil akhir dari kerusakan miokard akibat toksin, infeksi dan zat
metabolik. Pemeriksaan enzim konversi angiotensin genetic diagnosis pasti
kardiomiopati. Gejaala klinis hampir sama dengan gagal jantung secara
umum. Pada pemeriksaan dengan ekokardiografi dan ventrikulografi radio
nuklir didapatkan gambaran menunjukan dilatasi ventrikel dengan sedikit
penebalan dinding jantung. Pada kardiomiopati dilatasi pertama kali

27
abnormalitas yang ditemukan adalah perbesaran ventrikel dari disfungsi
kontratilitas sitolok dengan tanda gagal jantung kongestif yang timbul
kemudian. Penanganan penyakit ini sama dengan penyakit gagal jantung
kongestif.4,5,6

Upaya Pencegahan Gagal Jantung


Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi objektif primer terutama pada
kelompok dengan risiko tinggi. Pencegahan-pencegahan yang dapat dilakukan yaitu
(1) obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor risiko jantung
koroner,
(2) pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark ulangan,
(3) pengobatan hipertensi yang agresif,
(4) koreksi kelainan kongenital serta penyakit jantung katup, memerlukan
pembahasan khusus, dan
(5) bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang
mendasari, selain modulasi progresi dari disfungsi asimtomatik menjadi gagal
jantung.9

3.1.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penatalaksanaan
secara nonfarmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan karena akan
saling melengkapiuntuk penatalaksaan paripurna penderita gagal jantung.
Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut dan kronik ditujukan untuk memperbaiki
gejala dan progosis, meskipunpenatalaksanaan secara individual tergantung dari
etiologi serta beratnya kondisi. Sehinggasemakin cepat kita mengetahui penyebab
gagal jantung akan semakin baik prognosisnya.1
 Upaya pencegahan2,11

28
Pencegahan gagal jantung harus selalu menjadi objektif primer terutama pada
kelompok dengan risiko tinggi.
a. Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor risiko jantung
koroner
b. Pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark ulangan
c. Pengobatan hipertensi yang agresif
d. Koreksi kelainan kongenital serta penyakit jantung katup
e. Memerlukan pembahasan khusus
f. Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang
mendasari, selain modulasi progresi dan disfungsi asimptomatik menjadi
gagal jantung

 NonFarmakologi1,2,11
a. Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal serta
upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan.
b. Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, serta rehabilitasi
c. Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol.
d. Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba
e. Hentikan kebiasaan merokok
f. Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas
memerlukan perhatian khusus
g. Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan menghindari obat-obatan
tertentu seperti NSAID, antiaritmia klas I, verapamil, diltiazem, dihidropridin,
efek cepat, antidperesan trisiklik, Steroid.

 Farmakologi1,2,11
a. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)

29
ACEI dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa
keluhan diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Harus diberikan sebagai terapi awal bila tidak
ditemui retensi cairan. Bila disertai retensi cairan harus diberikan bersama
diuretik. ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
perawatan rumah sakit karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan
angka kelangsungan hidup
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh
sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan
kadar kalium normal.
Kontraindikasi pemberian ACEI, Riwayat angioedema, Stenosis renal
bilateral, Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L, Serum kreatinin > 2,5 mg/dL,
Stenosis aorta berat. Harus ditirasi sampai dosis yang dianggap bermanfaat
sesuai dengan bukti klinis, bukan berdasarkan perbaikan gejala. Periksa
kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah terapi
ACEIPertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di rumah sakit. Jika tidak
ada masalah, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis maksimal yang
dapat di toleransi, Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan
setelah mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap
6 bulan sekali.

b. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari
pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan

30
hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai
kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit. Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong,
sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid
karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang
resisten.
Diuretik dimulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan
gejala dan tanda kongesti, dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai
berat badan kering (tanpa retensi cairan),untuk mencegah risiko gangguan
ginjal dan dehidrasi. Tujuan terapi adalah mempertahankan berat badan kering
dengan dosis diuretik minimal
Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur
dosis diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian
dan tanda-tanda klinis dari retensi cairan.
c. Penyekat β
penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Kontraindikasi pemberian penyekat β adalah asma, blok AV
(atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit). Penyekat β dapat dimulai
sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien dekompensasi secara hati-hati.
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau
bradikardi (nadi < 50 x/menit). Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis
penyekat β sampai dosis target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi

31
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β:
Hipotensi simtomatik, Perburukan gagal jantung, Bradikardia.
d. Antagonis Aldosteron
Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal
jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa
hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup.
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron adalah konsentrasi serum
kalium > 5,0 mmol/L, serum kreatinin> 2,5 mg/dL, bersamaan dengan
diuretik hemat kalium atau suplemen kalium, kombinasi ACEI dan ARB
e. Angiotensin Receptor Blokers (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan
ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis
aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas
hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI.
Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular.
Kontraindikasi pemberian ARB adalah sama seperti ACEI, kecuali
angioedema, pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan,
monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI

3.1.9 Komplikasi Gagal Jantung


Gagal jantung yang tidak ditangani dengan baik, dapat menimbulkan
komplikasi. Beberapa komplikasi yang terjadi akibat gagal jantung yaitu:1,2

32
(1) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri yang
mengakibatkan gangguan fungsi ventrikel kiri yaitu mengakibatkan gangguan
berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan yang khas
pada syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokardium akut adalah
hilangnya 40 % atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri dan nekrosis vocal
di seluruh ventrikel karena ketidakseimbangan antara kebutuhan dan supply
oksigen miokardium.
(2) Tromboemboli
Risiko terjadinya bekuan vena (trombosis vena dalam atau DVT dan
emboli paru, dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa
diturunkan dengan pemberian warfarin.
(3) Fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF, yang bisa menyebabkan perburukan
dramatis. Hal tersebut merupakan indikasi pemantauan denyut jantung(dengan
pemberian digoksin/ beta blocker) dan pemberian warfarin.
(4) Aritmia ventrikel sering dijumpai bisa menyebabkan sinkop atau kematian
Jantung mendadak (25-50% kematian pada CHF)

3.10 Prognosis
Sejumlah factor yang berkaitan dengan prognosis pada gagal jantung :1,2
1. Klinis
Semakin buruk gejala pasien, kapasitas aktivitas dan gambaran klinis,
semakin buruk prognosis. Berkaitan dengan gungsional class NYHA.
2. Hemodinamik.
Semakin rendah indeks jantung, isi sekuncup dan fraksi ejeksi, semakin buruk
prognosis.
3. Biokimia.

33
Terdapat hubungan terbalik yang kuat antara norepinefrin, renin, vasopresin,
dan peptide natriuretic plasma. Hiponatremia dikaitkan dengan prognosis
yang lebih buruk.
4. Aritmia.
Fokus ektopik ventrikel yang sering atau takikardia ventrikel pada
pengawasan EKG ambulatory menandakan prognosis yang buruk. Tidak jelas
apakah aritmia ventrikel hanya merupakan penanda prognosis yang buruk
apakah aritmia merupakan penyebab kematian

3.2 Aterosklerosis Heart Disease (ASHD)


3.2.1 Definisi
Atherosklerotis: kelainan dimana arteri kehilangan kemampuan
elastisitasnya. Atheroskerosis dapat terjadi pada arteri dengan rentang diameter
dari aorta sampai kurang lebih 3 mm. Arteri yang paling sering terkait: aorta,
koroner, karotis, serebral, dan femoral.12

3.2.2 Faktor risiko:12


1. Usia: penyakit yang serius jarang sebelum usia 40 tahun.
2. Jenis kelamin: wanita relatif terlindung sampai setelah menopause (akibat efek
perlindungan estrogen)
3. Riwayat keluarga: dapat akibat kelainan genetik (gangguan lipid familial) atau
lingkungan (gaya hidup)
4. Ras: Amerika-Afrika lebih rentan dibandingkan kulit putih.
5. Peningkatan lipid serum
6. Hipertensi: mempercepat atherogenesis dengan meningkatkan sheer stress
(robekan), meningkatkan pembentukan hidogen peroksida dan radikal bebas,
mengurangi pembentukan nitrit oksida oleh endotelium dan meningkatkan
adhesi leukosit.

34
7. Merokok: tergantung jumlah rokok yang diisap perhari (bukan pada lamanya),
mereka yang merokok satu pak rokok 2x lebih rentan dibandingkan dengan
yang tidak merokok. Asap rokok dapat menyebabkan pembentukan oxidatively
modified LDL.
8. Gangguan toleransi glukosa: penderita diabetes cenderung memiliki prevalensi
lebih tinggi, mekanismenya belum pasti tapi mungkin akibat kelainan
metabolisme lemak atau predisposisi degenerasi vaskular berkaitan dengan
gangguan toleransi glukosa. Hiperglisemia dapat memacu glukosilasi non
enzimatik dari LDL yang menginisiasi terjadinya atherosklerosis dengan cara
yang sama dengan oxidatively modified LDL.
9. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori
10. Obesitas: meningkatkan beban kerja jantung dam kebutuhan akan oksigen
11. Gaya hidup kurang bergerak
12. Stres psikologik
13. Tipe kepribadian: tipe A (mencerminkan persaingan kuat, agresif, merasa
diburu waktu) mempercepat atherogenesis.

3.2.3 Patofisiologi
Arterosklerosis merupakan sekumpulan kompleks yang melibatkan darah dan
kandungan materi didalamnya, endotel vaskular dan vasa vasorum. Daerah yang
sering terjadi yaitu di daerah aorta dan arteri koronaria. 13
Prosesnya diawali dengan perubahan kolestrol LDLyang mengalami oksidasi
menjadi LDL yang teroksidasi (Ox LDL). Kemudian hal tersebut akan semakin
beresiko jika pada pembuluh darah terdapat kemungkinan kerusakan dari nitrogen
monoksida (NO) yang berfunsi untuk melindungi dinding endotel pembuluh darah
dari bahan-bahan yang beresiko menempel dan membentuk trombus seperti Ox LDL,
trombosit dan monosit yang berubah menjadi makrofag. Jika terdapat kerusakan,
maka endotel dapat menjadi aktif dan mengalami gangguan fungsi kemudian dapat
terjadideendotelisasi dengan atau tanpa disertai proses adesi trombosit. Berdasarkan

35
ukuran dan konsentrasinya, molekul plasma dan molekul lain lipoprotein bisa
melakukan ekstravasasi melalui endotel yang rusak dan masuk melalui ruang sub
endotelial. Ox LDL yangtertahan akan berubah menjadi bersifat sitotoksik,
proinflamasi, khemotaktik dan proaterogenik. Karena keadaan tersebut, endotel sulit
untuk menghasilkan NO sebagai pelindung serta fungsi dilatasi pun berkurang. NO
yang berkurang juga mengakibatkan keluarnya sel-sel adesi (Vascular Cell Adhesion
Molecule-1, Intercelular Adhesion Molecule-1, E selectin, P selectin) dan menangkap
monosit dan sel T. kemudian monosit tersebut melewati endotel memasuki lapisan
intima dinding pembuluh dan berdiferensiasi menjadi makrofag yang selanjutnya
mencerna tumpukan Ox LDL dan berubah menjadi sel busa (foam cell). Foam cell
macrophage kemudian menjadi satu pada pembuluh darah dan membentuk fatty
streak yang nampak. Jika dibiarkan terus menerus, fatty streak akanbertambah besar
seiring berjalannya waktu bersamaan dengan berproliferasinya jaringan ikat fibrosa
dan jaringan otot polos disekitarnya sehingga membentuk plak yang makin lama
makin membesar. Plak yang membesar menunjol kearah dalam lumen arteri sehingga
mengurangi aliran darah menyebabkan timbunan sejumlah besar jaringan ikat padat
dan arteri pun menjadi lebih kaku dan tidak lentur. Selanjutnya, garam kalsium
seringkali mengendap bersamaan dengan kolesterol dan lipid yang lain sehingga
menyebabkan arterimengeras akibat kalsifikasi13
Dinding plak akan mengalami degenerasi sehingga mudah sekali untuk robek.
Pada robekan tersebut memungkinkan untuk trombosit menempel pada permukaan
tersebut sehingga dapat membentuk suatu bekuan darah dan sewaktu-waktu dapat
menyumbat aliran darah sehingga aliran darah dapat terhenti secara tiba-tiba.13

36
Gambar 3.2 perkembangan plak aterosklerosis13

3.2.4 Pathogenesis
Lesi yang paling awal: lapisan/plaque lemak pada tunika intima (terdiri dari foam
cells (makrofag yang menelan lemak dan sel limfosit T) yang akan meluas ke tunika
media (terdiri dari foam cells dan otot polos). Kemudian lesi ini akan diselubungi
oleh fibrous cap. Plaque lalu akan akan mengalami vaskularisasi (dari vasa vasorum
arteri), yang akan memberi akses kepada sel-sel inflamasi dan menyebabkan
perdarahan intraplaque yang akan melemahkan plaque tersebut. Plaque yang robek
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan dan thrombosis. 3,12
Pada fase awal pembentukan plaque, arteri masih dapat berkompensasi dengan
meningkatkan diameternya, sehingga tidak ada gangguan aliran (koroner normal
dapat melebar dan meningkatkan aliran darah 5-6 kali di atas tingkat istirahat). Ketika
plaque menutupi > 40% lumen, arteri tidak bisa berkompensasi lagi dan aliran darah

37
ke organ akan terganggu menyebabkan iskemia (keadaan kekurangan oksigen,
sementara dan reversibel) (gejala: stable angina). Iskemia > 30-45 menit dapat
menyebabkan kerusakan seluler yang irreversibel.3
Jika terjadi erosi superfisial pada plaque (ditambah dengan trombosis yang
terbatas), meskipun tidak ada hambatan pada aliran, dapat menyebabkan terjadinya
unstable angina atau myocard infarction. Ruptur dalam dari plaque dengan
penyumbatan total arteri koroner dapat menyebabkan myocard infaction.
Atherosklerosis pada arteri yang telah lemah akibat proses penuaan menyebabkan
aneurisma dan ruptur dapat terjadi.13

3.2.5 Manifestasi klinis


Iskemia: terjadi bila kebutuhan oksigen melebihi supply yang ada. Fungsi
ventrikel kiri dapat terganggu akibat: gabungan efek hipoksia, berkurangnya energi
yang tersedia akibat penurunan pembentukan fosfat berenergi, asidosis yang cepat
akibat hasil akhir metabolism anaerob (asam laktat). Pada EKG gambaran yang
tampak: gelombang T terbalik dan depresi segmen ST. Angina pektoris: nyeri dada
yang menyertai iskemia miokardium. Mekanismenya belum jelas, sepertinya karena
reseptor saraf nyeri terangsang oleh metabolit yang tertimbun atau oleh suatu zat
kimia antara yang belum diketahui, atau oleh stres mekanik lokal akibat kontraksi
miokardium yang abnormal. 13
Gambaran khasnya: tekanan substernal, kadang-kadang menyebar turun ke sisi
medial lengan kiri (banyak penderita dengan nyeri yang tidak khas). Umumnya
angina dipicu oleh aktivitas ayang meningkatkan kebutuhan akan oksigen dan akan
menghilang dengan beristirahat atau dengan nitrogliserin. Angina Prinzmetal lebih
serig pada waktu istirahat akibat spasme setempat dari arteri epikardium (mekanisme
penyebabnya belum jelas).12

38
Infark yang klasik meliputi trias berikut:12
1. Klinis khas: nyeri dada yang lama dan hebat, biasanya disertai mual,
muntah, keringat dingin. Sekitar 20-60% dapat asimptomatik/tidak fatal.
2. Meningkatnya kadar enzim-enzim jantung yang dilepaskan oleh sel-sel
miokardium yang nekrosis: kretinin fosfokinase (CK/CPK), glutamat
oksaloasetat transaminase (SGOT/GOT) dan laktat dehidrogenase (LDH).
Yang paling spesifik: isoenzim MB-CK.
3. EKG: Q wave nyata, elevasi segmen ST,dan T wave terbalik.

3.2.6 Komplikasi:12
1. CHF
2. Syok kardiogenik
3. Disfungsi otot papilaris
4. VSD
5. Ruptura jantung
6. Aneurisma ventrikel
7. Tromboembolisme
8. Perikarditis
9. Sindrom Dressler
10. Aritmia: merupakan komplikasi paling sering (90%) pada miokard infark.
Aritmia timbul akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium.
Gambaran aritimia bisa dilihat dari EKG.

3.2.7 Pencegahan dan Penatalaksanaan Aterosklerosis


Sebelum menjadi penyakit vaskular yang serius, ada beberapa tindakan
penting yang dapat dilakukanuntuk mencegah terjadinya aterosklerosis. Hal tersebut
ialah:(1).bertahan dengan berat badan yang ideal, beraktivitas fisik secara aktif,
konsumsi bahan makanan yang mengandung lemak takjenuh dan sedikit kolesterol,
(2) mengontrol hipertensi dengan melakukan diet yang sehat serta akktivitas fisik

39
yang rutin bila perlu ditambah dengan obat-obatan anti hipertensi, (3) mengontrol
kadar gula darah dengan cara yang sama4.menghindari rokok. 13
Pada dasarnya penatalaksanaan aterosklerosis dapat dibagi menjadi 2 yaitu
terapi secara non medikamentosa dan terapi secara medikamentosa. Terapi secara non
medika mentosa bertumpu pada perubahan gaya hidup serta ditambah dengan diet
yang mengandung tinggi antioksidan. Hal tersebut bertujuan untuk menahan
terbentuknya radikal bebas yang berlebihan didalam tubuh.12
Untuk terapi medikamentosa ada dua cara yang dapat digunakan yaitu dengan
menurunkan kadar kolesterol LDL dan dengan memberikanobat-obatan anti
inflamasi. Ada beberapa obat yang dapat diberikan berkaitan dengan mekanismenya
untuk menghambat terbentuknya kolesterol LDL yaitu:12
1. Statin. Merupakan obat pilihan utama untuk menurunkan kadar kolesterol
LDL. Statin dapat menurunkan kadarLDL lebih dari 55% dan trigliserida
(TG) lebih dari 30%, dengan demikian diharapkan dapat menaikkan kadar
HDL lebih dari 15%. Target terapi harus sudah tercapai dalam 6 minggu.
Dapat terjadi efek samping pada liver namun jarang terjadi, sebaiknya
tetap dikontrol fungsi liver pada pasien.
2. Fibrat merupakan obat kombinasi yang paling efektif untuk menurunkan
kadar TG yang terlampau tinggi. Obat ini bisa sebagai obat tambahan jika
setelah penggunaan statin TG masih tetap tinggi. Efek samping yang
sering munculyaitu pada gastrointestinal serta batu empedu. Obat ini
mudah berinteraksi dengan obat lain sehingga penggunaannya dapat
diganti dengan fenofibrat yang cenderung lebih kecil interaksi dengan obat
lain
3. Niasin (asam nikotinat) adalah salah satu pilihan laindari obat penurun
kolesterol. Niasin dapat menurunkan TG maupun LDL lebih dari 25%.
Niasin dapat diminum tunggal ataupun sebagai kombinasi dengan statin
untuk pasien dengan dislipidemia aterogenik. Efek samping berupa
kemerahan dimuka (flushing) dan dibadan, juga terdapat efek samping

40
gastrointestinal. Dengan meningkatkan dosis secara perlahan akan
mengurani efek samping tersebut.
4. Bile acid squestrant bekerja di intestinum meningkatkan asam empedu
dan tidak di absorbsi. Obat ini aman untuk anak-anak, wanita hamil dan
menyusui. Obat ini tidak dianjurkan untuk pasien yang memiliki kadar TG
yang tinggi dikarenakan obat ini menurunkan kadar LDL namun dapat
meningkatkan kadar TG. Obat yang biasa digunakan yaitu Ezetemibi
dapat digunakan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan statin. Obat
ini sangat baik untuk menurunkan kadar LDL bila dikombinasikan dengan
statin. Selain itu obat ini memiiki efek samping yang minimal.
Aterogenesis dapat berlajut disebabkan oleh karena adanya proses inflamasi
vaskular. Ada yang menyebutkan bahwa proses inflamasi berkaitan dengan kadar
kolesterol yang tinggi, namun bisa juga disebabkan oleh karena kuman. Dari
penelitian telah dibuktikan bahwa penyakit aterosklerosis penyakit inflamasi yang
disebabkan oleh reaksi imun (immune-mediated inflammatory disease). Dengan
demikian, pemberian obat-obatan anti inflamasi di harapkan sangat berperan penting
untuk menghambat menjadi proses lebih lanjut. Beberapa obat yang dapat digunakan
antara lain :
1. Statin. Memiliki efek utama yaitu menurunkan kadar kolesterol darah.
Namun statin juga memiliki efek anti oksidan sistemik yang kuat, anti
inflamasi dan anti proliferatif. Hal tersebut menjadikan statin menjadi obat
yang dapat mengurangi kejadian kardiovaskular.
2. Angiotensine Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) dan Angiotensin
Receptor Bloker (ARB). Memiliki mekanisme kerja anti-oksidan, anti-
inflamasi dan anti-proliferatif yang bekerja secara langsung.3.Aspirin. Bekerja
dengan menurunkan aktifitas trombosit. Selain itu dapat jugamenurunkan
aktifitas mediator inflamasi (misalnya:CRP, TNF, IL-6 dan I-CAM) dan
menghambat proliferasi sel otot polos vaskular.4.Agonist Peroxisome
Proliferator Activated Receptor-ɣ(Agonist PPAR-ɣ). Bekerja dengan

41
menurunkan IL-4, IL-5 dan IL-13 serta menurunkan ekspresi gen
proinflamatori.
3. Suplemen anti-oksidan. Diyakini pemakaiannya dapat menurunkan radikal
bebas yang ada di dalam tubuh. Namun antioksidan yang ada selama ini
dosisnya masih kecil sehingga manfaatnya belum jelas.

42
BAB IV
ANALISIS KASUS

Tn.S, usia 50 Tahun pasien datang diantar oleh istrinya dengan keluhan sesak
napas ± 2 hari SMRS. Sesak dirasakan tiba tiba dan terus menerus. Bila sesak, pasien
lebih nyaman dalam posisi duduk atau berbaring dengan 2-3 bantal. Sesak sudah
sering dirasakan hilang timbul selama ± 1 bulan. Sesak sering dirasakan pada malam
hari sehingga pasien sulit tidur ataupun terkadang terbangun tiba-tiba pada malam
hari. Pasien juga mengeluhkan sering berkeringat dingin, dan cepat merasa lelah saat
beraktivitas. Keluhan lain yang menyertai adalah pasien mengeluhkan batuk kering
sejak 1 bulan ini, batuk lebih sering pada malam hari, dan 3 hari smrs batuk menjadi
berdahak, dahak warna putih, darah (-), bila batuk sesak bertambah berat. Dari hasil
anamnesis, maka keluhan pasien sesuai dengan teori, dimana pasien dengan gagal
jantung dapat datang dengan keluhan adanya sesak nafas, cepat merasa lelah dan
sesak yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai/ tidak kelelahan,
juga terdapat batuk pada malam hari.
Pasien mengakui sudah lama kolesterol tinggi, pernah dirawat karena sakit
jantung sebelumnya. Orang tua pasien memiliki riwayar penyakit jantung. Pasien
merupakan perokok, pasien juga jarang berolahraga.
Dari hasil pemeriksaan fisik adanya peningkatan JVP dan pelebaran batas
jantung menunjukkan kemungkinan adanya pembesaran ruangan jantung dan
peningkatan tekanan intravaskular akibat adanya tahanan. Terdengarnya ronki di
kedua basal paru dapat menandakan adanya edema paru, efusi pleura paru. Dari hasil
pembacaan EKG didapatkan Sinus takikardi, Infark inferolateral. Dari hasil x-ray
dapat dikonfirmasi adanya pembesaran ruang jantung pasien, dan edema paru, efusi
pleura kiri pasien.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka
dapat ditegakkan diagnosa pasien didiagnosa dengan CHF NYHA III/IV. Untuk
terapi yang diberikan kepada pasien meliputi O2 3 L/menit nasal kanul, IVFD RL 500

43
cc 10 tpm ,captopril 2 x 12,5 mg + candesartan 1 x 8 mg, bisoprolol 1 x 2,5 mg,
spironolactone 1 x 25 mg, furosemide 1x40mg, digoksin 1 x 0,25 mg, acetilsalycilat
acid 1x 75 mg, dan PO asam folat 2x1 tablet.

44
BAB V
KESIMPULAN

Gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek yang
disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat atau
latihan, edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat
Dari kasus ini didapatkan kesimpulan Tn.S, usia 59 Tahun pasien datang dengan
keluhan sesak napas ± 12 jam SMRS. Sesak dirasakan tiba tiba dan terus menerus.
Bila sesak, pasien lebih nyaman dalam posisi duduk atau berbaring dengan 2-3
bantal. Sesak sudah sering dirasakan hilang timbul selama ± 1 bulan. Sesak sering
dirasakan pada malam hari sehingga pasien sulit tidur ataupun terkadang terbangun
tiba-tiba pada malam hari. Pasien juga mengeluhkan sering berkeringat dingin, dan
cepat merasa lelah saat beraktivitas. Dari hasil pembacaan EKG didapatkan Sinus
takikardi, Infark anteroseptal. Dari hasil pembacaan X-Ray didapati adanya
Kardiomegali dengan aorta elongasi dan kalsifikasi, dan DD/ awal edema paru, efusi
pleura kiri.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka
pasien didiagnosa dengan CHF NYHA III + CKD stage V. Untuk terapi yang
diberikan kepada pasien meliputi O24 L/menit nasal kanul, IVFD RL 500 cc 10 tpm,
Inj. Furosemid 1 x 40 mg , PO Clopidogrel 1x75 mg, PO Candesartan 1x8 mg, PO
amlodipin 1x10 mg, PO asam folat 2x1 tablet dan rencana HD.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Siswanto, Bambang dkk. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Edisi Pertama.


Jakarta: PERKI;2015
2. Ghanie A. Gagal Jantung Kronik. Dalam : Sudoyo AW, et.al, editor. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam edisi VI jilid I; 2014. Hlm: 1148
3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 2005.h. 632-9.
4. Fuster V, Harrington RA, Narula J, Eapen ZJ. Hurst’s The Heart. Edisi Ke 14.
McGrawHill Education:New York. 2017.
5. Anonym.Chronic Heart Failure. Australian Prescriber. 2017;40(4)
6. Tambuwun, Panda L, Rampengan H.Gambaran Pasien Gagal Jantung dengan
Penyakit Hipertensi yang Menjalani Rawat Inap di RSUP Prof.
Dr.R.D.Kandom Manado periode september-November 2016.Jurnal e-
Chinic(eCl).Manado: 2016;4(2)
7. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga,
2007.h. 11-116.
8. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC, 2009.h.
40-1.
9. Saputra L. Buku saku Harrison kardiologi. Tangerang: KARISMA, 2012.h.
145-158.
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing, 2010.h. 1583-842.
11. Naga SS. Buku panduan lengkap ilmu penyakit dalam. Jogjakarta: DIVA
Press, 2012.h. 96-107
12. Anonim. Aterosklerosis dan Berbagai Faktor Risikonya. E print Universitas
Diponegoro. Diakses melalui http://eprints.undip.ac.id/29345/3/Bab_2.pdf
pada pada 7 juni 2020 pukul 08.50
13. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah:
Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2006.

46

Anda mungkin juga menyukai