Anda di halaman 1dari 51

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / Maret 2020


** Pembimbing / dr. Susiati, M. Ked, Sp. KJ

DEPRESI BERAT TANPA GEJALA PSIKOTIK


Eko Arizal, S. Ked *
Khory Aurora Berty, S. Ked *
Della Rafika Sari, S. Ked *
dr. Susiati, M. Ked, Sp. KJ **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION (CRS)

DEPRESI BERAT TANPA GEJALA PSIKOTIK

DISUSUN OLEH

Eko Arizal, S. Ked *


Khory Aurora Berty, S. Ked *
Della Rafika Sari, S. Ked *

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas


Bagian Ilmu Psikiatri di Rumah Sakit Jiwa Jambi Program Studi Profesi Dokter

Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Jambi, Maret 2020

PEMBIMBING

dr. Susiati, M. Ked, Sp.KJ

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
case report session (CRS) ini dengan judul ―Depresi Berat Tanpa Gejala
Psikotik”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas Bagian Ilmu Psikiatri di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Susiati, M. Ked, Sp. KJ selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga laporan case report session (CRS) ini dapat terselesaikan dengan
baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan
case report session (CRS) ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Sebagai penutup semoga kiranya laporan case report session (CRS) ini dapat
bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Maret 2020

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Depresi atau major depressive disorder,juga dikenal sebagai depresi unipolar


atau gangguan depresi berat merupakan problem kesehatan masyarakat yang
cukup serius.1,2 World health Organization (2012), menyatakan bahwa saat ini
depresi diperkirakan terjadi hampir pada 350 juta orang di dunia. Survey
kesehatan mental dunia yang dilakukan di 17 negara menemukan rata-rata sekitar
1 dari 20 orang dilaporkan mengalami episode depresi.1
Gangguan depresi merupakan gangguan yang dapat menggangu kehidupan
dan dapat diderita tanpa memandang usia, jenis kelamin maupun latar belakang
spasienial. Gangguan depresi dapat terjadi tanpa disadari sehingga penderita
terkadang terlambat ditangani dan menimbulkan penderitaan yang berat.
Gangguan depresi memiliki potensi yang signifikan terhadap morbiditas dan
mortalitas, memberikan kontribusi untuk bunuh diri, gangguan dalam hubungan
interpersonal, penyalahgunaan zat, dan kehilangan waktu produktif. Dengan
perawatan yang tepat, 70-80% dari individu dengan gangguan depresi
menunjukkan perbaikan gejala.3
Tingginya prevalensi gangguan depresi di dunia dan dampak yang serius
akibat gangguan depresi sehingga perlu dilakukan pembahasan yang mendalam
mengenai gangguan depresi.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


1. Nama : Ny. A
2. Tanggal Lahir/Umur : Tarutung, 10 Oktober 1951/70 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Alamat : Jl. Orang kayu pingai talang banjar RT 27
5. Suku/Bangsa : Batak/Indonesia
6. Agama : Islam
7. Status Perkawinan : Menikah
8. Pekerjaan : Tidak bekerja
9. Pendidikan : SD
10. MRS tanggal : 11 Maret 2020

2.2 ANAMNESIS
2.2.1 Keluhan Utama
Os Susah tidur sejak ± 2 bulan SMRS
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke POLI Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi atas
keinginan sendiri diantar oleh anaknya dengan keluhan susah tidur sejak ± 2
bulan yang lalu. Os mengaku sangat sulit untuk memulai tidur walaupun os
sudah memejamkan matanya tetapi masih tidak bisa untuk tidur.Selama 2
bulan ini os sama sekali tidak tidur, ketika berusaha untuk tidur os merasa
sakit kepala dan pusing, os merasa gelisah, gemetar, karena selalu memikirkan
penyakitnya yang tidak kunjung sembuh.
Keluhan dirasakan berawal dari ketika os mempunyai gejala sakit lambung
sejak ± 1 tahun yang lalu, menurut keterangan keluarga os susah untuk makan
dan memilih – milih makanan jika mau makan. os sudah pernah berobat ke
dokter karena penyakitnya tersebut dan pernah dirawat. Os juga memiliki

5
penyakit diabetes melitus, asam urat dan kolesterol yang tinggi,hipertensi. os
memiliki penyakit katarak dan pernah disarankan untuk operasi namun tidak
dilakukan karena pertimbangan penyakit diabetes pasien. Sejak saat itu os
mulai selalu merasakan sedih, sering murung, dan kehilangan minat untuk
beraktifitas, dan kalaupun melakukan aktifitas os merasakan sering cepat
lelah.
Os selalu kepikiran akan penyakitnya yang terlalu banyak yang tidak
kunjung sembuh meskipun keluarga memberikan dukungan kepada pasien
untuk tidak terbebani dengan penyakitnya. Sekarang keseharian os lebih
banyak menghabiskan waktu dirumah, os tidak bekerja lagi karena sudah
berumur dan disarankan banyak untuk beristirahat.
Os juga mengeluhkan selera makan yang menurun, os sulit untuk makan,
sehingga os mengalami penurunan berat badan.
Os tidak ada mendengar bisikan-bisikan, os tidak ada keinginan untuk
bunuh diri, os tidak ada merasakan dirinya punya pengalaman yang tidak
dipunyai orang lain, os tidak ada merasa dikejar-kejar ingin dibunuh orang
lain.
Riwayat bahagia, semangat menggebu, suka memberi dan perasaan senang
berlebih dalam kurun waktu minimal 2 minggu sebelum keluhan depresi
muncul disangkal.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


1. Gangguan Mental dan Emosi
Riwayat gangguan mental dan emosi tidak ada sebelumnya.
2. Gangguan Psikosomatis
Tidak didapatkan kelainan
3. Kondisi Medik
Pasien memiliki penyakit gastritis, asam urat, Hipertensi, diabetes melitus
dan katarak.
4. Riwayat Penggunaan Zat Narkotika dan Alkohol
Tidak ada Riwayat penggunaan zat narkotika dan alkohol

6
5. Gangguan Neurologi
Tidak ada riwayat gangguan neurologi

2.2.4 Riwayat Keluarga


Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan serupa tidak ada.

Struktur Keluarga
No Nama L/P Usia Hubungan Sifat
1. Tn. A L Alm Ayah pasien Tegas,disiplin, penyayang
2. Ny. W P Alm Ibu pasien Ramah, penyayang
3. Tn. D L 73 th Kakak laki-laki Tegas, penyayang
pasien
4. Ny. A P 70 th Pasien Tidak mudah Cemas,
Orangnya percaya diri
5. Tn. B L 71 th Suami pasien Baik, penyayang
6. Tn. H L 64 th Adik laki-laki Patuh, disiplin
pasien
7. Ny.I P 58 th Adik perempuan Baik, patuh, penyanyang
pasien

Genogram :

7
Keterangan :

Pasien pria

wanita
(pria) meninggal

(wanita) menin

2.2.5 Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat prenatal dan perinatal
Pasien lahir cukup bulan, merupakan kehamilan yang diharapkan dan
direncanakan. Pasien lahir ditolong oleh dukun beranak. Pasien lahir
dengan berat badan cukup dan tidak ada kelainan fisik.
2. Riwayat masa kanak-kanak awal (0-3 tahun)
Pasien lupa mengenai riwayat masa kanak-kanak awal
3. Riwayat masa kanak-kanak menengah (3-11 tahun)
Pasien pergi ke sekolah dengan berjalan bersama teman-temannya. Pasien
merupakan anak yang sering menghabiskan masa kecilnya dengan bermain
bersama teman-teman seusianya.
4. Masa pubertas hingga dewasa
a. Hubungan sosial
Pasien merupakan pribadi yang mudah bergaul. Pasien memiki cukup
banyak teman, baik laki-laki maupun perempuan.
b. Riwayat sekolah
Pasien tidak lulus SD.
c. Perkembangan kognisi dan motorik
Pasien lupa mengenai perkembangan kognisi dan motorik.
d. Masalah emosi dan fisik
Pasien bukan merupakan pribadi yang pencemas, pasien adalah orang
yang percaya diri.

8
e. Riwayat Psikoseksual
Pasien pertama kali tertarik dengan lawan jenis saat usia 14 tahun.
Sekarang pasien sudah menikah dan berhubungan baik dengan
suaminya.
f. Latar belakang agama
Pasien sudah 3 kali berganti agama dari kristen ke islam, lalu ke
kristen lagi, lalu ke islam lagi sampai sekarang.
g. Riwayat pekerjaan
Pasien merupakan ibu rumah tangga yang sudah tidak bekerja lagi.
h. Aktivitas sosial
Pasien bila ada masalah selalu bercerita kepada suami dan anaknya.
i. Kehidupan seksual
Orientasi seksual pasien terhadap lawan jenis baik.
j. Riwayat pernikahan
Pasien sudah menikah
k. Riwayat militer dan masalah hukum
Pasien tidak pernah melakukan pendidikan militer. Pasien tidak
pernah terlibat dengan masalah hukum dan kepolisian.

2.3 Status Internistik


1. Pemeriksaan Tanda Vital
 Kesadaran :Compos mentis
 TD :150/90 mmHg
 Nadi : 80 x/menit
 Suhu :36,5º C
 RR :18 x/menit
2. Status Gizi
 Tinggi Badan :162 cm
 Berat Badan :60 kg
 IMT :22,9 kg/m2(normoweight)
3. Status Generalisata

9
Kulit : Turgor baik
Kepala : Normochepal, rambut hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor (+/+), lensa keruh (+/+).
Hidung : Deformitas (-), epistaksis (-)
Telinga : Serumen minimal, Nyeri tekan (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Trakea terletak ditengah
Thorax
Paru
 Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, pergerakan dada simetris,
retraksi dinding dada (-), sikatriks (-)
 Palpasi : Fremitus dada kanan = kiri
 Perkusi : Sonor pada kedua paru
 Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing
(-/-)

Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba
 Perkusi : Batas atas : ICS II linea parastenalis sinistra
Batas bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
 Auskultasi : BJ1- BJ2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
 Inspeksi : Abdomen datar, distensi (-), ikterik (-), sikatriks (-)
 Auskultasi : Bising usus normal
 Palpasi : Supel
 Perkusi : Timpani di keempat kuadran, pekak alih (-)

10
Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, edema (-/-), CRT 2detik
 Inferior : Akral hangat, edema (-/-), CRT 2detik

Pemeriksaan Neurologis
 GCS : 15 (E4 V6 M5)
 Pemeriksaan Psikometrik : Tidak dilakukan pemeriksaan

4. Pemeriksaan Penunjang Lainnya :


a. Laboratorium darah rutin : Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4 Status Psikiatri


a. Keadaan Umum
1. Penampilan : Pasien datang dalam keadaan tenang, penampilan sesuai
usianya, kondisi fisik terlihat sehat namun seperti tidak bersemangat
dan lemas, pakaian rapi.
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor : Kooperatif
4. Pembicaraan
a. Kuantitas: Terjadi peningkatan kuantitas pembicaraan
b. Kualitas: Koheren
c. Tidak ada hendaya berbahasa.
d. Sikap terhadap pemeriksa :Pasien kooperatif, kontak mata adekuat.
5. Orientasi
 Tempat: baik, pasien dapat mengetahui bahwa ia sedang berada di
Poli Jiwa RSJD Jambi
 Waktu: baik, pasien mengetahui bahwa pemeriksaan berlangsung di
pagi hari
 Orang: baik, pasien mengenal anaknya dan keluarganya.
6. Sikap dan tingkah laku: Pasien kooperatif dengan pemeriksa, kontak
mata dengan pemeriksa terarah, serta pasien mampu menjawab

11
pertanyaan.
b. Gangguan berpikir
1. Bentuk pikir : realistik
2. Arus pikir : koheren
3. Isi pikir :Waham (-), Preokupasi terhadap penyakitnya.
c. Alam perasaan
1. Mood : Depresi
2. Afek : appropriate
d. Persepsi
1. Halusinasi : (-)
2. Ilusi : (-)
e. Fungsi intelektual
1) Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan
a. Taraf pendidikan : Pasien tidak lulus SD.
b. Pengetahuan umum : Mudah dinilai, karena pasien menjawab
saat diajukan pertanyaan
2) Daya konsentrasi dan perhatian
a. Konsentrasi dan perhatian pasien baik.
3) Orientasi
a. Waktu : Baik, pasien mengetahui saat wawancara saat pagihari.
b. Tempat : Baik, pasien mengetahui dia sedang berada di rumah sakit
jiwa Jambi.
c. Orang : Baik, pasien mengetahui istri dan keluarga serta
mengetahui sedang diwawancara oleh siapa.
4) Daya Ingat
a. Daya ingat jangka panjang : Baik, pasien dapat mengingat
b. Daya ingat jangka menengah : Baik, pasien dapat mengingat
c. Daya ingat jangka pendek : Baik, pasien dapat mengingat
d. Daya ingat segera : Baik, pasien dapat mengingat
5) Kemampuan baca tulis : Baik
6) Pikiran abstrak : Baik

12
f. Pengendalian impuls : Baik
g. Daya nilai : Baik
h. Tilikan : Derajat 4
i. Taraf dapat dipercaya : Dapat dipercaya
2.5 Diagnosis Banding
1. Episode depresi berat tanpa gejala psikotik
2. Insomnia
3. Gangguan bipolar

2.6 Diagnosis Multiaksial


Aksis I : Depresi berat tanpa gejala psikotik
Aksis II :
Aksis III : Gastritis, diabetes melitus, hipertensi, asam urat,
Aksis IV :
Aksis V : GAF 50-41

2.7 Penatalaksanaan
1 Sertralin 1 x 50 mg
2 Olanzapin 2 x 5 mg
3 Neurodex 1 x 50 mg

IX. PROGNOSIS
1) Prognosis ke arah baik
 Pasien menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya
 Pasien rutin untuk kontrol dan minum obat
 Respon terhadap pengobatan baik
 biaya pengobatan dibantu oleh BPJS.

2) Prognosis ke arah buruk


 Gangguan ini sudah berlangsung sejak 2 bulan yang lalu
 Adanya beberapa gejala somatic yang dialami pasien

13
Berdasarkan data-data diatas dapat disimpulkan prognosis pasien ini
adalah:

 Ad vitam : dubia ad malam


 Ad functionam : dubia ad malam
 Ad sanationam : dubia ad malam

14
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
American Psychological Association (APA) memberikan definisi depresi
merupakan perasaan sedih atau kosong yang disertai dengan penurunan minat
terhadap aktivitas yang menyenangkan, gangguan tidur dan pola makan,
penurunan kemampuan berkonsentrasi, perasaan bersalah yang berlebihan, dan
munculnya pikiran tentang kematian atau bunuh diri. Depresi adalah suatu
gangguan keadaan tonus perasaan yang secara umum ditandai oleh rasa
kesedihan, apatis, pesimisme, dan kesepian. Depresi terkadang bersifat familial,
dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas karena penyalahgunaan zat
kimia atau keinginan bunuh diri.1

Depresi merupakan salah satu diantara bentuk sindrom gangguan


keseimbangan mood (suasana perasaan). Perasaan sedih atau depresi bukanlah hal
yang abnormal dalam konteks peristiwa atau situasi yang penuh tekanan. Namun
orang dengan gangguan mood (mood disorder) yang luar biasa parah atau
berlangsung lama dapat mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi dalam
memenuhi tanggung jawab secara normal. Depresi dapat diartikan sebagai salah
satu bentuk gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan sedih yang
berlebihan, murung, tidak bersemangat, perasaan turunnya harga diri, putus
harapan, selalu merasa dirinya gagal, sampai ingin bunuh diri. 1

3.2 Epidemiologi

Gangguan depresif dapat terjadi pada semua umur, dengan riwayat


keluarga mengalami gangguan depresif, biasanya dimulai pada usia 15 dan 30
tahun. Usia paling awal dikatakan 5-6 tahun sampai 50 tahun dengan rerata pada
usia 30 tahun. Gangguan depresif berat rata-rata dimulai pada usia 40 tahun (20-
50 tahun). Epidemiologi ini tidak tergantung ras dan tak ada korelasinya dengan
spasienioekonomi. Perempuan juga dapat mengalami depresi pasca melahirkan

15
anak. Beberapa orang mengalami gangguan depresif musiman, di negara barat
biasanya pada musim dingin. Gangguan depresif ada yang merupakan bagian
gangguan bipolar (dua kutub: kutub yang satu gangguan depresif, kutub lainnya
mania).

Gangguan depresif berat adalah suatu gangguan dengan prevalensi


seumur hidup kira-kira 15%, pada perempuan mungkin sampai 25%.
Perempuan mempunyai kecenderungan dua kali lebih besar mengalami
gangguan depresif daripada laki-laki.

3.3 Etiologi
a. Faktor Organobiologi

Amin Biogenik. Norepinefrin dan serotonin adalah dua neurotransmitter yang


paling terlibat dalam patofisiologi gangguan mood.

Norepinefrin. Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respon klinik


anti depresan mungkin merupakan peran langsung sistem noradrenergik dalam
depresi.

Dopamine. Aktivitas depresi mungkin berkurang pada depresi. Reseptor


dopamine dan meningkatnya fungsi regulasi presinaptik dopamine
memperkaya hubungan antara dopamine dan gangguan mood. Jalur dopamine
mesolimbik mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor
dopamine D1 mungkin hipoaktif pada depresi.

Serotonin. Aktivitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin bertanggung


jawab untuk mengontrol regulasi afek, agresi, tidur, dan nafsu makan.
Serotonin yang berkurang di celah sinap bertanggung jawab untuk terjadinya
depresi.3,4

b. Faktor Genetika
Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat pertama dari
penderita gangguan depresi berat kemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali lebih besar
daripada sanak saudara derajat pertama subyek kontrol untuk penderita
gangguan. Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan angka kesesuaian

16
pada kembar monozigotik adalah kira-kira 50 %, sedangkan pada kembar
dizigotik mencapai 10 sampai 25 %.3

c. Faktor psikologi

Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu pengamatan klinis yang


telah lama direplikasi bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress
lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood daripada episode
selanjutnya, hubungan tersebut telah dilaporkan untuk pasien dengan
gangguan depresi berat. Data yang paling mendukung menyatakan bahwa
peristiwa kehidupan paling berhubungan dengan perkembangan depresi
selanjutnya adalah kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun. Stressor
lingkungan yang paling berhubungan dengan onset satu episode depresi adalah
kehilangan pasangan. Faktor risiko lain adalah kehilangan pekerjaan dimana
orang yang keluar dari pekerjaannya beresiko 3 kali lebih besar untuk
timbulnya gejala dibandingkan yang bekerja.3

3.4 Patogenesis

3.4.1 Teori Biologi

Telah dipikirkan selama berabad-abad bahwa setidaknya beberapa bentuk


depresi disebabkan oleh atau dipelihara oleh gangguan fungsi otak, dan sejak
tahun 1960-an, telah dimungkinkan untuk mempelajari proses neurobiologis
tertentu yang terkait dengan etiologi dan patogenesis gangguan mood. Beberapa
penelitian telah menginformasikan penelitian di bidang ini. Pertama, heritabilitas
gangguan suasana perasaan telah menyarankan bahwa dasar-dasar neurobiologi
depresi mungkin terkait dengan gen tertentu. Kedua, pemahaman yang lebih rinci
tentang neurobiologi respons stres telah menginformasikan model stres-diatesis
interaktif dari kerentanan. Ketiga, penemuan generasi pertama penatalaksanaan
"somatik" (yaitu, ECT dan antidepresan TCA dan MAOI) pada tahun 1940-an dan
1950-an menunjukkan target neurobiologis yang berpotensi reversibel untuk
intervensi. Metodologi untuk mempelajari neurobiologi gangguan suasana

17
perasaan telah berkembang lebih canggih, penelitian yang menggunakan indikator
tidak langsung dari fungsi otak, seperti kadar metabolit monoamine atau
kortisolurin, plasma, atau CSF, sebagian besar telah digantikan oleh penelitian
yang dipandu secara translasi dari transkrip gen dan proteomik. Demikian juga,
pengukuran kasar fungsi regional otak, seperti rekaman potensi yang ditimbulkan
atau pola aktivitas electroencephalographic (EEG) saat bangun dan tidur, sebagian
besar telah memberikan cara untuk strategi neuroimaging yang memungkinkan
aktivitas daerah atau sirkuit saraf tertentu untuk diperiksa saat istirahat dan selama
tantangan provokatif.1
Perubahan dalam aktivitas saraf dan dalam efisiensi pemrosesan informasi
dalam masing-masing dari sebelas daerah otak yang ditunjukkan di sini dapat
menyebabkan gejala episode depresi besar. Fungsionalitas di setiap wilayah otak
secara hipotesis dikaitkan dengan konstelasi gejala yang berbeda. PFC, korteks
prefrontal; BF, otak depan basal; S, striatum; NA, nucleus accumbens; T, talamus;
Hy, hipotalamus; A, amygdala; H, hippocampus; NT, pusat neurotransmitter
batang otak; SC, sumsum tulang belakang; C, serebelum. 1

Gambar 3.3 Gejala depresi dan sirkuit di otak1

Tanda-tanda, gejala, dan pengalaman subjektif yang terkait dengan


depresi telah lama terkait disfungsi proses sistem saraf pusat dasar (SSP).

18
Sehubungan dengan fungsi kortikal, depresi melibatkan beberapa gangguan
pemrosesan informasi. Kebanyakan orang yang depresi secara otomatis
menafsirkan pengalaman dari perspektif negatif, dan aksesnya ke memori
negatif. Keadaan depresi yang lebih parah, kognisi dan keterampilan pemecahan
masalah semakin lengkapi dengan konsentrasi yang buruk dan menurunnya
kemampuan untuk menggunakan pemikiran abstrak. Sebuah monolog virtual
pikiran dan gambar negatif tampaknya berjalan dengan autopilot, dan, tidak
seperti keadaan normal kesedihan, ventilasi ke orang kepercayaan memiliki
sedikit efek yang menguntungkan. Pada kasus yang lebih ekstrim, delusi atau
halusinasi, atau keduanya, benar-benar mendistorsi pengujian realitas. Perubahan
neurokognitif ini menunjukkan disfungsi yang melibatkan hipokampus,
korteksprefrontal (PFC), amigdala dan struktur limbik lainnya.

Karakteristik depresi berdasarkan biologis lainnya melibatkan penurunan


minat dan hilangnya reaktivitas suasana hati: Aktivitas yang spontan, tujuan yang
disutradarai menurun, dan peristiwa yang seharusnya meningkatkan suasana
perasaan memiliki sedikit atau tidak berpengaruh sama sekali. Satu berkorelasi
kehilangan minat adalah penurunan arti penting penguatan. Bahkan fungsi
dasar seperti nafsu makandan libido berkurang dalam depresi berat.
Anhedonia dan penurunan titik perilaku nafsu makan untuk disfungsi sirkuit saraf
yang terlibat dalam antisipasi dan penyempurnaan penghargaan, yang melibatkan
thalamus, hipotalamus, nukleus akumbens, anterior cingulate, dan PFC.1

Tingkat depresi yang lebih berat dan persisten, termasuk yang


diklasifikasikan sebagai gangguan depresi mayor, berhubungan dengan gangguan
neurobiologis yang luas, yang pada gilirannya terkait dengan setidaknya
beberapa perbedaan yang diamati dalam presentasi klinis dan respons
terhadap perawatan khusus. Beberapa gangguan lebih baik dipahami sebagai
sifat, yang mungkin diwariskan atau diperoleh, sedangkan yang lain jelas
tergantung pada tingkatan dan dapat dipulihkan dengan pengobatan atau remisi
spontan. Beberapa kelainan yang bergantung pada tingkatan terkait dengan
gangguan depresi mayor, yang terjadi lebih sering pada pasien yang lebih tua

19
dengan gejala yang lebih berat, termasuk peningkatan tidur fase Rapid Eye
Movements (REM), pemeliharaan tidur yang buruk, hiperkortisolisme, gangguan
imunitas seluler, penurunan aliran darah otak anterior dan metabolisme glukosa,
dan peningkatan metabolisme glukosa di amigdala. Bersama-sama, perubahan ini
tampaknya mencerminkan efek progresif dari respons jangka pendek adaptif
terhadap stres berkelanjutan. Begitu bermanifestasi dalam bentuk ini, episode
depresi berat atau depresi melankolis cenderung lebih lama, lebih
melumpuhkan, lebih mudah kambuh, dan lebih mungkin mendapat manfaat dari
farmakoterapi atau ECT (vis-à-vis nonspesifik atau intervensi psikoterapi).1,4

Hipotesis di neurotropik dari tingkat depresi dinyatakan bahwa depresi


dapat disebabkan oleh turunnya sintesis protein yang terlibat dalam neurogenesis
dan plastisitas sinaptik. Salah satu mekanisme kandidat yang telah diusulkan
sebagai tempat kemungkinan cacat dalam transduksi sinyal dari reseptor
monoamina dalam depresi adalah gen target untuk faktor neurotropik yang
diturunkan dari otak (BDNF). Biasanya, BDNF menopang kelangsungan hidup
neuron otak, tetapi di bawah tekanan, gen untuk BDNF dapat ditekan. Stres dapat
menurunkan level 5HT dan dapat meningkat secara akut, kemudian secara kronis
berkurang, baik NE dan DA. Perubahan neurotransmiter monoamine bersama
dengan jumlah BDNF yang kurang dapat menyebabkan atrofi dan
kemungkinan apoptosis neuron yang rentan di hippocampus dan area otak
lainnya seperti prefrontal cortex. Konsep tentang atrofi hippocampal yang telah
dilaporkan berkaitan dengan stres kronis dan depresi mayor dan berbagai
gangguan kecemasan, terutama PTSD. Untungnya, beberapa kehilangan
neuronal ini bisa reversibel. Yaitu, pemulihan transduksi sinyal transduksi yang
berhubungan dengan monoamine oleh antidepresan dapat meningkatkan BDNF
dan faktor trofik lainnya dan berpotensi mengembalikan sinapsis yang hilang. Di
beberapa area otak seperti hippocampus, tidak hanya dapat sinaps berpotensi
dipulihkan, tetapi ada kemungkinan bahwa beberapa neuron yang hilang bahkan
mungkin digantikan oleh neurogenesis.5

20
Neuron dari daerah hipokampus dan amygdala biasanya menekan aksis
hipotalamus- hipofisis-adrenal, jadi jika stres menyebabkan neuron hippokampus
dan amigdala menjadi atrofi, dengan hilangnya input penghambatan ke
hipotalamus, ini dapat menyebabkan untuk overaktivitas sumbu HPA. Pada
depresi, kelainan pada aksis HPA telah lama dilaporkan, termasuk peningkatan
kadar glukokortikoid dan ketidakpekaan sumbu HPA terhadap penghambatan
umpan balik. Beberapa bukti menunjukkan bahwa glukokortikoid pada tingkat
tinggi bahkan bisa menjadi racun bagi neuron dan berkontribusi pada atrofi
mereka di bawah tekanan kronis. Pengobatan antidepresan baru dalam pengujian
yang menargetkan reseptor corticotropin-releasing factor 1 (CRF-1), reseptor
vasopresin 1B, dan reseptor glukokortikoid, dalam upaya untuk menghentikan
dan bahkan membalikkan kelainan HPA ini pada depresi dan stres lainnya.
terkait penyakit kejiwaan.5

Peningkatan aktivitas HPA adalah ciri respons stres mamalia dan salah
satu hubungan paling jelas antara depresi dan biologi stres kronis.
Hiperkortisolemia pada depresi menunjukkan satu atau lebih gangguan sentral
berikut: penurunan tonus 5-HT penghambatan; peningkatan drive dari NE, ACh,
atau CRH; atau penurunan inhibisi umpan balik dari hippocampus.

Bukti peningkatan aktivitas HPA terlihat pada 20 hingga 40 persen pasien


rawat jalan yang depresi dan 40 hingga 60 persen pasien rawat inap yang depresi.
Pasien yang lebih tua, terutama mereka dengan gangguan depresi yang sangat
berulang atau psikotik, adalah yang paling mungkin untuk menunjukkan
peningkatan aktivitas HPA. Meskipun hypercortisolism adalah salah satu korelasi
biologis terbaik dari melankolis atau depresi endogen, hampir tidak ada kelainan
spesifik. Misalnya, periode singkat kelaparan atau beberapa minggu kurang
tidur secara parsial dapat menyebabkan hiperkortisolisme pada orang yang
sehat. 1

Subkelompok pasien depresi yang lebih besar (20 hingga 30 persen)


menunjukkan respons TSH yang tumpul terhadap tantangan TRH. Jenis respons
ini biasanya menunjukkan hipertiroidisme, namun beberapa pasien depresi

21
memiliki peningkatan hormon tiroid yang signifikan secara klinis. Respons
TSH yang tumpul pada orang eutiroid dapat diakibatkan oleh penurunan
regulasi hipofisis akibat peningkatan TRH ―drive. Karena neuron yang
mengandung TRH telah diidentifikasi dalam berbagai daerah kortikal, kelainan
ini mungkin memiliki asal suprahypothalamic. Peningkatan sekresi TRH sentral,
pada gilirannya, dapat dihasilkan dari respon homeostasis terhadap penurunan
neurotransmisi noradrenergik. Manfaat terapeutik terapi ajuvan dengan 1-
triiodothyronine (T3) atau hormon tiroid lainnya dapat dimediasi oleh peredam
respon homeostasis yang gagal ini. Kelainan ini mungkin paling umum pada
individu yang memiliki kemampuan untuk mengubah tiroksin menjadi T3.
Implikasi terapeutik utama dari respons TSH yang tumpul adalah bukti
peningkatan risiko kambuh meskipun terapi antidepresan preventif. Dari catatan,
tidak seperti tes penekanan deksametason (DST), respons TSH tumpul terhadap
TRH sering tidak menormalkan dengan pengobatan yang efektif.1

3.4.2 Teori Kognitif

Teori belajar telah lama menjadi cabang psikologi perilaku. Aaron Beck,
menemukan bahwa teori psikoanalitik tidak cukup menjelaskan mimpi pasien
depresi, mengembangkan teori depresi berdasarkan mendidik pasien tentang
pemikiran negatifnya, atau kognisi. Beck dan rekannya kemudian berhasil
menguji CBT, sebuah perawatan yang dibangun di atas teori ini, dalam uji klinis.
Model kognitif didasarkan pada pengakuan bahwa orang tidak objektif;
sebaliknya, persepsi idiosinkratik individu tentang peristiwa memengaruhi emosi
dan perilakunya. Individu yang depresi merasakan realitas dengan cara tertekan
yang subjektif. Pembahasan yang rumit tentang teori kognitif ada, dan penjelasan
kognitif telah diperpanjang dari asal depresif awal mereka ke berbagai
psikopatologi. Brad Alford dan Beck berpendapat bahwa teori kognitif
memberikan paradigma yang komprehensif dan koheren untuk psikopatologi.

Observasi awal Beck tentang depresi besar memiliki arti-penting dan


kesederhanaan yang patut diulang. Dia mencatat bahwa pasien yang depresi
cenderung memiliki pikiran miring dan negatif tentang :

22
1. Diri mereka sendiri
2. Lingkungan mereka
3. Masa depan, suatu klaster yang ia sebut trias kognitif.

Teori kognitif telah mengeksplorasi bentuk serta isi karakteristik berpikir


pasien depresi. Tidak hanya kognisi yang condong ke negatif dan pesimis,
tetapi jenis distorsi tertentu terjadi. Orang yang depresi cenderung terlibat
dalam "semua atau tidak sama sekali‖, pemikiran dikotomi: Jika segala sesuatu
tidak sepenuhnya satu arah, maka mereka harus menjadi lawan. Individu yang
depresi membuat kesimpulan yang tidak berdasarkan akal sehat (negatif)
tentang peristiwa, secara selektif mendeskripsikan detail negatif di luar
konteks, generalisasi berlebihan (menyimpulkan aturan negatif dari satu
kejadian), memperbesar (negatif) dan meminimalkan (yang positif), dan
mengambil peristiwa pribadi yang mungkin tidak secara langsung tentang
mereka.

Terapi kognitif, penatalaksanaan yang mengikuti dari pendekatan ini,


termasuk diskusi Socrates dan evaluasi pikiran pasien, menimbang bukti yang
mendukung dan bertentangan dengan pemikiran tersebut. Pasien secara aktif
menguji hipotesis berdasarkan pemikiran otomatis (―Saya akan gagal pada apa
pun yang saya lakukan) dengan mencoba berbagai perilaku yang dipilih sebagai
pekerjaan rumah. Ketika pasien belajar untuk mengenali sifat irasional dari
pemikiran depresif, dia dapat menantang dan bukan sekadar memercayainya dan
dapat mulai memadamkan pemikiran tersebut, menggantikan pemikiran irasional
otomatis dengan tanggapan rasional. Hasil penelitian berulang kali menunjukkan
bahwa pendekatan ini berkhasiat dalam mengobati gangguan mood dan sindrom
kejiwaan lainnya.1,4

Memang, individu yang depresi sering melaporkan pemikiran negatif


tentang diri mereka sendiri: "Saya pecundang," "Semua yang saya lakukan
salah," "Saya lemah dan rusak." Lingkungan tampak bermusuhan dan luar
biasa: "Bahkan jika saya merasa mampu— yang tidak saya lakukan — tidak
mungkin saya bisa mengatasi apa yang harus saya lakukan ― Teman-teman saya

23
akan bereaksi buruk jika saya mencoba berbicara‖ ―Dia akan menolak
saya‖.Akhirnya, bukan hanya hal-hal yang terlihat suram di masa sekarang,
tetapi tidak ada prospek yang melegakan di masa depan: ― Tidak akan pernah
menjadi lebih baik.‖ Ketiga aspek dari perspektif negatif ini bertemu untuk
menyediakan secara meyakinkan, pandangan dunia yang suram dan putus asa.
Pandangan ini membantu menjelaskan mengapa pasien depresi tidak melihat
jalan keluar dari kesengsaraan dan memikirkan untuk bunuh diri. Model kognitif,
yang dikembangkan oleh Aaron Beck di University of Pennsylvania, berhipotesis
bahwa berpikir sepanjang garis negatif (misalnya, berpikir bahwa seseorang tidak
berdaya, tidak layak, atau tidak berguna) adalah ciri khas depresi klinis.
Akibatnya, depresi didefinisikan ulang dalam hal trias kognitif, yang menurut
pasien menganggap diri mereka tidak berdaya, menafsirkan sebagian besar
peristiwa yang tidak menguntungkan vis-à-vis the self, dan percaya masa depan
menjadi putus asa. Dalam formulasi terbaru dalam psikologi akademis, kognisi
ini dikatakan dicirikan oleh gaya atribusi negatif yang bersifat global, internal,
dan stabil dan yang ada dalam bentuk skema mental laten yang
menghasilkan interpretasi bias dari peristiwa kehidupan. Karena model
kognitif didasarkan pada pengamatan retrospektif dari orang yang sudah
depresi, hampir tidak mungkin untuk membuktikan bahwa atribusi kausal seperti
skemata mental negatif mendahului dan, oleh karena itu, predisposisi untuk
depresi klinis; mereka dapat dengan mudah dianggap sebagai manifestasi
subklinis depresi. Kepentingan teoritis dari model kognitif terletak pada jembatan
konseptual yang disediakan antara model depresi egopsikologis dan perilaku. Hal
ini juga menyebabkan sistem psikoterapi baru dan diterima secara luas yang
mencoba untuk mengubah gaya atribusi negatif, untuk meringankan keadaan
depresi, dan, akhirnya, untuk membentengi pasien dari penyimpangan di masa
depan menjadi berpikir negatif, putus asa, dan depresi.1,4

3.4.3 Teori Interpersonal

Teori interpersonal berasal dari era setelah Perang Dunia II, ketika
muncul sebagai respons sesat terhadap penekanan psikoanalisis yang lebih

24
intrapsikis. Teori psikoanalitik menekankan pentingnya pengalaman hidup awal,
dan banyak terapis pada waktu itu melihat struktur psikis pasien sebagai
dasarnya dibentuk pada akhir masa remaja. Psikiater seperti Adolf Meyer,
Harry Stack Sullivan, Erich Fromm, dan Frieda Fromm-Reichmann menantang
teori saat ini dengan menekankan pengaruh dampak nyata dari peristiwa
kehidupan saat ini pada psikopatologi pasien mereka, yang berfokus pada
pertemuan lingkungan dan interpersonal daripada intrapsychic yang
mendasarinya.

Sullivan menciptakan istilah "interpersonal" sebagai rubrik untuk


mempertimbangkan pengalaman hidup saat ini. Dia meneliti komunikasi di
bidang sosial, pandangan yang lebih "eksternal" daripada psikoanalisis
tradisional.

Para peneliti mengembangkan sejumlah data terkait tentang masalah


interpersonal yang terkait dengan depresi. Sebagai contoh, penelitian
menunjukkan bahwa dukungan antarpribadi melindungi seseorang terhadap
depresi: Memiliki orang yang dapat dipercaya untuk berbicara mengurangi risiko
mengembangkan episode depresi. Pemicu utama kehidupan, termasuk kematian
orang lain yang signifikan, perjuangan dalam hubungan penting, dan pergolakan
seperti perubahan status perkawinan, perumahan, status pekerjaan, atau kesehatan
fisik telah terbukti meningkatkan risiko episode depresi pada individu yang
rentan. Selain itu, onset episode depresif menyebabkan kerusakan dalam
hubungan dan fungsi sosial.

John Bowlby mendalilkan bahwa orang-orang memiliki dorongan insting


yang evolusioner untuk membentuk ikatan emosional. Bukti binatang sekarang
mendukung teori ini. Komponen dasar dari sifat manusia ini menjamin
kelangsungan hidup bayi: Anak-anak harus memiliki orang tua terdekat atau
tersedia untuk makan dan perlindungan. Ketika anak- anak berkembang,
mereka mulai mengeksplorasi lingkungan mereka, secara bertahap bergerak
keluar dari "basis aman" dari sosok lampiran mereka. Gangguan dalam hubungan
pengasuhan awal ini dapat menyebabkan kerentanan gaya lampiran. Misalnya,

25
kehilangan ibu seseorang di dekade pertama kehidupan telah terbukti menjadi
faktor risiko untuk depresi berikutnya. Anak-anak dengan keterikatan masa kecil
yang tidak aman mungkin tidak belajar untuk meminta bantuan dari orang lain.
Ketika individu yang rentan menghadapi stressor atau merasa tidak adanya atau
tidak memadainya dukungan interpersonal selama masa stres, mereka mungkin
tidak berdaya untuk merespons secara efektif dan rentan untuk mengembangkan
gejala. Lebih jauh lagi, individu dengan gaya keterikatan yang tidak aman
mungkin mengalami kesulitan dalam mengembangkan hubungan yang nyaman di
mana mereka dapat mengandalkan dukungan pada saat dibutuhkan.1,4

3.4.4 Teori Psikoanalitik

Fitur umum untuk banyak teori psikoanalitik depresi termasuk perasaan


kerentanan narsistik yang indah yang berasal dari berbagai sumber,
termasuk kehilangan awal atau pengalaman dengan orang tua dirasakan
sebagai traumatis unempathic, frustasi, atau menolak. Rasa tidak berdaya atau
ketidakmampuan dalam kaitannya dengan pengalaman- pengalaman ini, disertai
fantasi kerusakan atau pengebirian, dapat berkontribusi pada kerentanan ini.
Kerusakan yang dihasilkan dalam regulasi self-esteem adalah umum untuk
semua pasien yang depresi, yang rentan terhadap citra diri yang tidak mudah
dicintai, rusak, atau tidak memadai.

Pasien depresi merasa bahwa mereka gagal memenuhi ambisi mereka


atau nilai moral mereka dalam ego ideal, mekanisme intrapsik yang memicu rasa
bersalah dalam depresi. Banyak psikoanalis yang berhipotesis bahwa agresi yang
diakibatkannya terhadap orangtua yang frustasi, atau terhadap diri sendiri sebagai
rusak, berkontribusi secara meyakinkan terhadap kecenderungan terhadap
depresi. Pada pasien yang depresi, agresi sebagian besar diarahkan sendiri. Rasa
bersalah (sadar atau tidak sadar) atau rasa malu secara teoretis dihasilkan dari
perasaan gagal yang dirasakan pasien, dengan perasaan diri yang berkurang.
Kesulitan dalam pengaturan harga diri berkontribusi pada representasi diri
menjadi ―buruk‖ atau memalukan di luar kendali, memperparah masalah asli
dalam lingkaran setan. 1,4

26
 Respon terhadap kehilangan / Kemarahan ke Dalam

Pemahaman psikoanalitik klasik tentang depresi dinyatakan oleh Karl


Abraham, Freud, dan Sandor Rado dan menekankan reaksi pasien yang depresi
terhadap kehilangan objek, dalam kenyataan atau dalam fantasi. Dalam
formulasi-formulasi ini, respons yang sangat besar terhadap kehilangan diyakini
terjadi sebagian karena kerugian saat ini memicu kerugian sebelumnya,
kehilangan masa kanak-kanak, juga baik dari alam fantasi atau realitas. Para
penulis ini mencatat hubungan objek ambivalen atau bermusuhan pasien yang
lemah, bersama dengan lampiran objek yang ditandai oleh ketergantungan
berlebihan, ditandai dengan penekanan pada kebutuhan kepuasan dalam
hubungan emosional. Depresi besar hanya terjadi setelah ikatan ke objek hancur.
Dalam Mourning and Melancholia, Freud menyoroti cara di mana pasien
depresi secara irasional menyerang diri mereka sendiri. Dalam formulasinya, ini
terjadi karena aspek objek ambivalen menjadi terinternalisasi, atau dimasukkan,
ke dalam rasa diri pasien, dan permusuhan yang diarahkan ke objek justru
diarahkan pada diri. Keadaan ini berfungsi untuk mempertahankan hubungan
dengan orang lain (objek) dalam kenyataan.

 Merasa bersalah (Guilt)

Melanie Klein mendalilkan bahwa pasien yang depresi takut bahwa


mereka tidak dapat melindungi "yang lain" yang diidealkan, atau yang baik, yang
diinternalisasi dari kerusakan, impuls yang penuh kemarahan. Meskipun
menekankan sisi yang berbeda dari depresi mayor, pandangan ini bertepatan
dengan fokus Freud pada penghancuran ikatan objek pada depresi mayor.
Akibatnya, karakteristik pasien depresi yaitu rasa bersalah, penghambatan, dan
berkembangnya superego yang menghukum. Namun, tidak semua depresi
ditandai oleh rasa bersalah yang berlebihan, dan deskripsi Klein hanya berlaku
untuk subset pasien ini. Klein juga menyoroti bahaya bahwa pasien yang depresi
memprediksikan ―kemenangan‖ atas orang tua atau saudara kandung melalui
kesuksesan hidup apa pun: Keberhasilan dialami sebagai penghinaan yang
agresif terhadap orang yang dicintai atau sebagai perusakan kepada orang lain.

27
Klein berteori bahwa idealisasi dan devaluasi adalah "pertahanan manik"
melawan rasa bersalah dan rasa kehilangan yang dialami dalam depresi.

 Penurunan dalam Regulasi Self-Esteem

Ciri umum pasien dengan depresi berat adalah hilangnya harga diri.
Namun kehilangan harga diri dapat terjadi tanpa adanya depresi. Edward Bibring
tidak setuju dengan formulasi Klein yang menekankan pentingnya superego
hukuman dan berpendapat bahwa konflik tentang agresi dan kehilangan objek
adalah penentu sekunder dalam depresi. Dia memandang depresi sebagai akibat
dari perasaan tidak berdaya, gangguan harga diri, dan kemarahan yang
diarahkan sendiri yang dipicu oleh kegagalan untuk hidup sesuai dengan
aspirasi narsistik dari setiap fase perkembangan.Brenner menyatakan
bahwa fantasi-fantasi ini disertai dengan agresi reaktif terhadap orang-orang yang
disalahkan atas pengaruh menyakitkan, dengan konsekuensi rasa
bersalah.Banyak psikoanalis kontemporer memperkuat model-model ini
dalam pemahaman mereka tentang depresi, sementara mengakui pentingnya
regulasi harga diri yang lemah. Edith Jacobson menekankan pengembangan
representasi diri dan objek pada pasien depresi. Dia mencatat kekecewaan
pasien depresi dengan angka orang tua, yang mengakibatkan devaluasi dan
degradasi citra mereka dan representasi diri, terutama ketika pemisahan yang
matang belum tercapai.

 Kekurangan dari Caregiver Awal

Psikoanalis telah memberikan pribadi, wajah intrapsikik ke pengamatan


epidemiologi terkenal tentang hubungan antara depresi orangtua (terutama ibu)
dan depresi berikutnya pada anak-anak. Hans Kohut menggambarkan depresi
terkait dengan pengalaman kekosongan mendalam pada pasien yang orang
tuanya tidak dapat berempati dengan pengalaman afektif awal mereka. Begitulah
yang terjadi, karena banyak orang tua dari pasien yang depresi itu sendiri
mengalami depresi. Pasien-pasien ini mendambakan hubungan kompensasi

28
(hubungan "selfobject", pengalaman mirroring, dan hubungan idealisasi),
membuat mereka rentan terhadap kekecewaan, karena hubungan nyata tidak
dapat memenuhi fantasi kompensasi ini.1,4

3.5 Diagnosis

Depresi ditandai dengan gejala yang umumnya terbagi dalam dua


kategori: psikologis, dan somatik (atau fisik). Yang pertama dicirikan oleh
kesedihan yang terus-menerus, yang disebut "dysphoria," dan keadaan yang
terus-menerus kekurangan kenikmatan atau kesenangan biasa dalam kegiatan
yang sebelumnya menyenangkan, disebut "anhedonia." Awalnya
dikembangkan di Inggris dan sedang diselidiki di Universitas Columbia di
New York City, depresi atipikal mengacu pada kelelahan yang ditumpangkan
pada sejarah kecemasan dan fobia somatik, bersama dengan tanda vegetatif
terbalik (suasana yang lebih buruk di malam hari, insomnia, kecenderungan
untuk tidur nyenyak dan makan berlebihan). Pengalaman menunjukkan bahwa
tanda vegetatif terbalik lainnya meningkatkan minat dan / atau hasrat seksual,
meskipun tetap tidak terdeskripsikan dalam literatur ini. Tidur terganggu pada
paruh pertama malam pada banyak orang dengan gangguan depresi atipikal, dan
iritabilitas, hipersomnolen, dan kelelahan siang hari. Temperamen pasien-pasien
ini dicirikan oleh sifat-sifat yang sensitif. MAOI dan antidepresan serotonergik
tampaknya menunjukkan beberapa spesifisitas untuk pasien seperti itu, yang
merupakan alasan utama bahwa depresi atipikal dianggap serius.1,4

29
Gambar 3.4 Dimensi gejala episode depresi mayor5

ICD-10 telah menetapkan pedoman diagnostik tertentu untuk


mendiagnosis episode depresif. Durasi minimum episode adalah 2 minggu dan
setidaknya dua dari tiga gejala depresi, kehilangan minat atau kesenangan dan
peningkatan kelelahan harus ada. Episode depresif dapatdinilai ringan, sedang
atau berat tergantung pada jumlah dan keparahan gejala. Episode depresi yang
terjadi dengan halusinasi, delusi, atau pingsan depresif selalu dikodekan
sebagai 'parah dengan fitur psikotik.Episode biasanya mulai selama periode
prodromal berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Pada DSM-5 diagnosis
gangguan depresi utama membutuhkan salah satu dari berikut: (1) suasana hati
disforik atau (2) penurunan minat dalam kegiatan biasa. Gejala seperti itu harus
dipertahankan setidaknya selama 2 minggu, dan tidak dapat dijelaskan dengan
proses lain yang diketahui menyebabkan gejala depresi, seperti berkabung
normal, kondisi fisik tertentu yang umumnya terkait dengan depresi, atau
gangguan mental lainnya. Ini bisa menjadi satu episode atau, umumnya,
berulang, atau keduanya. Berdasarkan DSM-5, Gangguan depresi meliputi
disruptive mood dysregulation, gangguan depresi mayor, gangguan depresi
persisten (distimia), premenstual dysphoric disorder, substance/ medication-
induce depressive disorder, gangguan depresi yang berhubungan dengan kondisi
medis lainnya, gangguan depresi yang tidak spesifik, dan gangguan depresi yang

30
tidak tergolongkan. Tidak seperti DSM-IV, pada DSM-5, gangguan depresi
sudah dipisahkan dengan gangguan afektif bipolar. Gangguan utama pada
penyakit ini adalah penampakan sedih saat ini, kosong, atau mood yang iritabel,
diikuti dengan perubahan somatik dan kognitif secara signifikan
mempengaruhi fungsi sehari-hari seseorang. Macam-macam gangguan depresi
pada DSM-5 ini kemudian dibedakan berdasarkan durasinya, waktu atau
etiologinya. Kriteria Depresi menurut Diagnostic And Statistical Manual Of
Mental Disorder, Fifth Edition (DSM-5), yang menggunakan istilah Major
Depressive Disorder (MDD) atau selanjutnya disebut Gangguan Depresi
Mayor (GDM) yaitu harus memenuhi kriteria :6

A. Lima atau lebih dari gejala dibawah ini yang sudah ada bersama-sama selama
2 minggu dan memperlihatkan perubahan fungsi dari sebelumnya; minimal
terdapat 1 gejala dari (1) mood yang depresi atau (2) hilangnya minat.
Catatan : Jangan memasukkan gejala yang merupakan bagian dari
gangguan kondisi medis lainnya.
1. Mood depresi sepanjang hari, hampir setiap hari, yang ditunjukkan oleh
baik laporan subyektif (misalnya perasaan sedih, kosong, tidak ada
harapan) atau observasi orang lain (misalnya terlihat menangis). (Catatan
: pada anak-anak dan remaja, bisa mood yang iritabel).
2. Secara nyata terdapat penurunan minat atas seluruh rasa senang,
aktifitas harian, hampir setiap hari (yang ditandai oleh perasaan subyektif
atau objektif).
3. Kehilangan atau peningkatan berat badan yang nyata tanpa usaha
khusus (contoh : perubahan 5% atau lebih berat badan dalam 1 bulan
terakhir), atau penurunan dan peningkatan nafsu makan yang hampir
terjadi setiap hari. (catatan : Pada anak-anak, perhatikan kegagalan
mencapai berat badan yang diharapkan)
4. Sulit tidur atau tidur berlebih hampir setiap hari.
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (teramati oleh
orang lain, bukan semata-mata perasaan gelisah atau perlambatan yang
subyektif).

31
6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7. Perasaan tidak berguna atau rasa bersalah yang mencolok (bisa
bersifat waham) hampir setiap hari (bukan semata-mata menyalahkan
diri atau rasa bersalah karena menderita sakit).
8. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, atau penuh
keragu-raguan hampir setiap hari (baik sebagai hal yang dirasakan secara
subyektif atau teramati oleh orang lain).
9. Pikiran berulang tentang kematian (bukan sekedar takut mati),
pikiran berulang tentang ide bunuh diri dengan atau tanpa rencana yang
jelas, atau ada usaha bunuh diri atau rencana bunuh diri yang jelas.

B. Gejala-gejala ini secara klinis nyata menyebabkan distress atau hendaya

dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting kehidupannya.

C. Episodenya tidak terkait dengan efek fisiologis zat atau kondisi medis lainnya.

Catatan : Kriteria A-C menggambarkan episode depresi.


Respon kehilangan yang bermakna (misalnya berduka, masalah financial, lolos
dari bencana, penyakit berat atau disabilitas) termasuk perasaan sedih yang
berat, pemikiran tentang kehilangan, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, dan
penurunan berat badan seperti yang terdapat di kriteri A, mungkin menyerupai
depresi. Walaupun gejala-gejala tersebut mungkin dapat dipahami atau
dipertimbangkan sebagai respon normal terhadap kehilangan yang bermakna,
harus secara hati-hati tetap dipertimbangkan. Keputusan ini tidak dapat
dipungkiri membutuhkan pelatihan keterampilan klinis berdasarkan riwayat
hidup individu dan norma budaya dalam menentukan distress akibat
kehilangan.

D. Keberadaan episode depresi tidak dapat dijelaskan pada gangguan


skizoafektif, skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau spektrum
skizofrenia lainnya yang tidak spesifik.

E. Tidak pernah dijumpai episode manik atau hipomanik.

32
33
Klasifikasi menurut PPDGJ III:7

F32 Episode Depresi

 Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat)


- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja ) dan menurunnya
aktivitas
 Gejala lainnya
- Konsentrasi dan perhatian berkurang
- Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

34
- Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
- Tidur terganggu
- Nafsu makan berkurang
 Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode
lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung
cepat
 Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0) sedang (F32.1) dan berat
(F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama).
Episode depresif berikutnaya harus diklasifikan dibawah salah satu diagnosis
gangguan depresif berulang (F 33.0)

F32.0 Episode Depresif Ringan

Kriteria diagnosis

 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut


diatas
 Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
 Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya

Karakter kelima: F32.00 = tanpa gejala somatik


F32.01 = dengan gejala somatik
F32.1 Episode Depresif Sedang

Kriteria diagnostik

 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari gejala utama depresi seperti pada


episode depresi ringan (F30.0)
 Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu

35
 Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan
urusan rumah tangga
Karakter kelima: F32.10 = tanpa gejala somatik
F32.11 = dengan gejala somatik

F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik

Kriteria diagnostik

 Semua 3 gejala utama depresi harus ada


 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantarnaya
harus berintensitas berat
 Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor)
yangmencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejala nya secara rinci, dalam hal demikian, penilaian
secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan
 Episode depresif biasanya akan harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka
masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang
dari dua minggu
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

F.32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik

Kriteria diagnostik

 Episode depresi berat yang memenuhi kriteri menurut F32.2 tersebut diatas
 Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan
ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien
merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik
biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh atau bau kotoran atau
daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada
stupor

36
 Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau
tidak serasi dengan afek (mood congruent)

F32.8 Episode Depresif Lainnya

F32.9 Episode Depresif YTT

3.6 Tatalaksana

Tatalaksana non Farmakologis

Memilih pengobatan harus mencakup evaluasi seberapa parah episode


depresif telah terjadi, ketersediaan sumber daya pengobatan, dan keinginan
pribadi pasien. Untuk depresi ringan sampai berat, psikoterapi berbasis bukti sama
efektifnya dengan farmakoterapi. Terdapat sedikit bukti bahwa kombinasi antara
farmakoterapi dan psikoterapi untuk pengobatan dini lebih unggul daripada
pengobatan lainnya untuk depresi tanpa komplikasi. Oleh karena itu, pengobatan
kombinasi harus dipertimbangkan ketika terjadi depresi berat, komorbiditas
dengan kondisi lain, atau tidak adanya respon yang memadai pada monoterapi. 8

Penatalaksanaan gangguan depresi dapat dilakukan dengan psikoterapi.


Terdapat tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang digunakan dalam
pengobatan depresif berat adalah terapi kognitif, terapi interpersonal, dan terapi
perilaku. National Institute of Mental Health (2002) telah menemukan predictor
response terhadap berbagai pengobatan sebagai berikut ini: 1) disfungsi sosial
yang rendah menyatakan respons yang baik terhadap terapi interpersonal; 2)
disfungsi kognitif yang rendah menyatakan respons yang baik terhadap terapi
kognitif-perilaku dan farmakoterapi; 3) disfungsi kerja yang tinggi mengarahkan
respons yang baik terhadap farmakoterapi; 4) keparahan depresi yang tinggi
menyatakan respons yang baik terhadap terapi interpersonal dan farmakoterapi. 8

Terapi interpersonal dikembangkan oleh Gerald Klerman, memusatkan pada


satu atau dua masalah interpersonal pasien yang sedang dialami sekarang, dengan
menggunakan dua anggapan, yang pertama yakni masalah interpersonal sekarang
kemungkinan memiliki akar pada hubungan awal yang disfungsional. Kedua,

37
masalah interpersonal sekarang kemungkinan terlibat dalam mencetuskan atau
memperberat gejala depresif sekarang.8

1. Terapi Fisik dan Terapi Perubahan Perilaku

Electro Convulsive Therapy (ECT)

ECT adalah terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak. Metode terapi
semacam ini sering digunakan pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko
bunuh diri yang besar dan respon terapi dengan obat antidepresan kurang baik.
Pada penderita dengan risiko bunuh diri, ECT menjadi sangat penting karena ECT
akan menurunkan risiko bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di rumah sakit
menjadi lebih pendek.8

Pada keadaan tertentu tidak dianjurkan ECT, bahkan pada beberapa


kondisi tindakan ECT merupakan kontra indikasi. ECT tidak dianjurkan pada
keadaan:8

 Usia yang masih terlalu muda ( kurang dari 15 tahun )


 Masih sekolah atau kuliah
 Mempunyai riwayat kejang
 Psikosis kronik
 Kondisi fisik kurang baik
 Wanita hamil dan menyusui

Selain itu, ECT dikontraindikasikan pada : penderita yang menderita


epilepsi, TBC milier, tekanan tinggi intra kracial dan kelainan infark jantung.
Depresif berisiko kambuh manakala penderita tidak patuh, ketidaktahuan,
pengaruh tradisi yang tidak percaya dokter, dan tidak nyaman dengan efek
samping obat. Terapi ECT dapat menjadi pilihan yang paling efektif dan efek
samping kecil. Terapi perubahan perilaku meliputi penghapusan perilaku yang
mendorong terjadinya depresi dan pembiasaan perilaku baru yang lebih sehat.
Berbagai metode dapat dilakukan seperti CBT (Cognitive Behaviour Therapy)
yang biasanya dilakukan oleh konselor, psikolog dan psikiater.8

38
Electro Convulsive Therapy adalah terapi dengan mengalirkan arus listrik ke
otak. Terapi menggunakan ECT biasa digunakan untuk kasus depresi berat yang
mempunyai resiko untuk bunuh diri. ECT juga diindikasikan untuk pasien depresi
yang tidak merespon terhadap obat antidepresan.8

Terapi ECT terdiri dari 6 – 12 treatment dan tergantung dengan tingkat


keparahan pasien. Terapi ini dilakukan 2 atau 3 kali seminggu, dan sebaiknya
terapi ECT dilakukan oleh psikiater yang berpengalaman. Electro Convulsive
Therapy akan kontraindikasi pada pasien yang menderita epilepsi, TBC miller,
gangguan infark jantung, dan tekanan tinggi intra karsial. 8

2. Psikoterapi

Psikoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan atau


mengurangi keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik
atau pola perilaku maladaptif. Terapi dilakukan dengan jalan pembentukan
hubungan profesional antar terapis dengan penderita. Psikoterapi pada penderita
gangguan depresif dapat diberikan secara individu, kelompok, atau pasangan
disesuaikan dengan gangguan psikologik yang mendasarinya. Psikoterapi
dilakukan dengan memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimisme.
Dalam pengambilan keputusan untuk melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi
oleh penilaian dari dokter atau penderitanya.8

Teknik psikoterapi tersusun seperti teori terapi tingkah laku, terapi


interpersonal, dan terapi untuk pemecahan sebuah masalah. Dalam fase akut terapi
efektif dan dapat menunda terjadinya kekambuhan selama menjalani terapi
lanjutan pada depresi ringan atau sedang. Pasien dengan menderita depresi mayor
parah dan atau dengan psikotik tidak direkomendasikan untuk menggunakan
psikoterapi. Psikoterapi merupakan terapi pilihan utama utuk pasien dengan
menderita depresi ringan atau sedang.8

Tatalaksana Farmakologi

Antidepresan adalah obat yang dapat digunakan untuk memperbaiki


perasaan (mood) yaitu dengan meringankan atau menghilangkan gejala

39
keadaan murung yang disebabkan oleh keadaan sosial – ekonomi, penyakit
atau obat – obatan. Antidepresan adalah obat yang digunakan untuk mengobati
kondisi serius yang dikarenakan depresi berat. Kadar NT (nontransmiter)
terutama NE (norepinefrin) dan serotonin dalam otak sangat berpengaruh
terhadap depresi dan gangguan SSP. Rendahnya kadar NE dan serotonin di
dalam otak inilah yang menyebabkan gangguan depresi, dan apabila kadarnya
terlalu tinggi menyebabkan mania. Oleh karena itu antideresan adalah obat
yang mampu meningkatkan kadar NE dan serotonin di dalam otak. 1

Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) merupakan obat terbaru


dengan batas keamanan yang lebar dan memiliki spektrum efek samping obat
yang berbeda – beda. SSRI diduga dapat meningkatkan serotonin ekstraseluler
yang semula mengaktifkan autoreseptor, aktivitas penghambat pelepasan
serotonin dan menurunkan serotonin ekstraseluler ke kadar sebelumnya.
Untuk saat ini SSRI secara umum dapat diterima sebagai obat lini pertama.1

A. Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI).

SSRI adalah obat antidepresan yang mekanisme kerjanya menghambat


pengambilan serotonin yang telah disekresikan dalam sinap (gap antar
neuron), sehingga kadar serotonin dalam otak meningkat. Peningkatan kadar
serotonin dalam sinap diyakini bermanfaat sebagai antidepresan SSRI
memiliki efikasi yang setara dengan antidepresan trisiklik pada penderita
depresi mayor. Pada pasien depresi yang tidak merespon antidepresan trisiklik
(TCA) dapat diberikan SSRI. Untuk gangguan depresi mayor yang berat
dengan melankolis antidepresan trisiklik memiki efikasi yang lebih besar
daripada SSRI, namun untuk gangguan depresi bipolar SSRI lebih efektif
dibandingkan antidepresan trisiklik , hal ini dikarenakan antidepresan trisiklik
dapat memicu timbulnya mania dan hipomania.9

Obat antidepresan yang termasuk dalam golongan SSRI seperti


Citalopram, Escitalopram, Fluoxetine, Fluvoxamine, Paroxetine, dan
Sertraline. Fluoxetine merupakan antidepresan golongan SSRI yang memiliki
waktu paro yang lebih panjang dibandingkan dengan anidepresan golongan

40
SSRI yang lain, sehingga fluoxetine dapat digunakan satu kali sehari (Mann,
2005). Efek samping yang ditimbulkan Antidepresan SSRI yaitu gejala
gastrointestinal (mual, muntah, dan diare), disfungsi sexsual pada pria dan
wanita, pusing, dan gangguan tidur. Efek samping ini hanya bersifat
sementara.9

B. Antidepresan Trisiklik (TCA)


Antidepresan trisiklik (TCA) merupakan antidepresan yang mekanisme
kerjanya menghambat pengambilan kembali amin biogenik seperti
norepinerin (NE), Serotonin (5 – HT) dan dopamin didalam otak, karena
menghambat ambilan kembali neurotransmitter yang tidak selektif,sehingga
menyebabkan efek samping yang besar ( Prayitno, 2008). Antidperesan
trisiklik efektif dalam mengobati depresi tetapi tidak lagi digunakan sebagai
obat lini pertama, karena efek sampingnya dan efek kardiotoksik pada pasien
yang overdosis TCA. Efek samping yang sering ditimbulkan TCA yaitu efek
kolinergik seperti mulut kering, sembelit, penglihatan kabur, pusing, takikardi,
ingatan menurun, dan retensi urin. Obat – obat yang termasuk golongan TCA
antara lain Amitripilin, Clomipramine, Doxepin, Imipramine, Desipiramine,
Nortriptyline.9

C. Serotonin /Norepinephrin Reuptake Inhibitor (SNRI)


Antidepresan golongan Serotonin /Norepinephrin Reuptake Inhibitor
(SNRI) mekanisme kerjanya mengeblok monoamin dengan lebih selektif
daripada antidepresan trisiklik, serta tidak menimbulkan efek yang tidak
ditimbulkan antidepresan trisiklik. Antidepresan golongan SNRI memiliki aksi
ganda dan efikasi yang lebih baik dibandingkan dengan SSRI dan TCA dalam
mengatasi remisi pada depresi parah. Obat yang termasuk golongan SNRI
yaitu Venlafaxine dan Duloxetine. Efek samping yang biasa muncul pada obat
Venlafaxine yaitu mual, disfungsi sexual. Efek samping yang muncul dari
Duloxetine yaitu mual, mulut kering, konstipasi, dan insomnia .9

41
D. Antidepresan Aminoketon
Antidepresan golongan aminoketon adalah antidepresan yang memiliki
efek yang tidak begitu besar dalam reuptake norepinefrin dan serotonin.
Bupropion merupakan satu – satunya obat golongan aminoketon. Bupropion
bereaksi secara tidak langsung pada sistem serotonin, dan efikasi Bupropion
mirip dengan antidepresan trisiklik dan SSRI. Bupropion digunakan sebagai
terapi apabila pasien tidak berespon terhadap antidepresan SSR. Efek samping
yang ditimbulkan Bupropion yaitu mual, muntah, tremor, insomnia, mulut
kering, dan reaksi kulit.9

E. Antidepresan Triazolopiridin
Trazodone dan Nefazodone merupakan obat antidepresan golongan
triazolopiridin yang memiliki aksi ganda pada neuron seratonergik. Mekanisme
kerjanya bertindak sebagai antagonis 5 – HT2 dan penghambat 5 – HT, serta
dapat meningkatkan 5 – HT1A .Trazodone digunakan untuk mengatasi efek
samping sekunder seperti pusing dan sedasi, serta peningkatan availabilitas
alternatif yang dapat diatasi. Efek samping yang ditimbulkan oleh Trazodone
adalah sedasi, gagguan kognitif, serta pusing. Sedangkan efek samping yang
ditimbulkan Nefazodone yaitu sakit kepala ringan, ortostatik hipotensi,
mengantuk, mulut kering, mual, dan lemas. 9

F. Antidepresan Tetrasiklik
Mirtazapin adalah satu – satunya obat antidepresan golongan tetrasiklik.
Mekanisme kerjanya sebagai antagonis pada presinaptic α2 – adrenergic
autoreseptor dan heteroreseptor, sehingga meningkatkan aktivitas
nonadrenergik dan seratonergik. Mirtazapin bermanfaat untuk pasien depresi
dengan gangguan tidur dan kekurangan berat badan. Efek samping yang
ditimbulkan berupa mulut kering, peningkatan berat badan, dan konstipasi. 9

G. Mono Amin Oxidase Inhibitor ( MAOI )


Mono Amin Oxidase Inhibitor adalah suatu enzim komplek yang

42
terdistribusi didalam tubuh, yang digunakan dalam dekomposisi amin
biogenik (norepinefrin, epinefrin, dopamin, dan serotonin). MAOI bekerja
memetabolisme NE dan serotonin untuk mengakhiri kerjanya dan supaya
mudah disekresikan. Dengan dihambatnya MAO, akan terjadi peningkatan
kadar NE dan serotonin di sinap, sehingga akan terjadi perangsangan SSP. 9
MAOI memiliki efikasi yang mirip dengan antidepresan trisiklik. MAOI
juga dipakai untuk pasien yang tidak merespon terhadap antidepresan trisiklik.
Enzim pada MAOI memiliki dua tipe yaitu MAO – A dan MAO – B. Kedua
obat hanya akan digunakan apabila obat – obat antidepresan yang lain sudah
tidak bisa mengobati depresi ( tidak manjur ). Moclobomida merupakan suatu
obat baru yang menginhibisi MAO – A secara ireversibel, tetapi apabila pada
keadaan overdosis selektivitasnya akan hilang. Selegin secara selektif
memblokir MAO – B dan dapat digunakan sebagai antidepresan pada dosis
yang tinggi dan beresiko efek samping. MAO – B sekarang sudah tidak
digunakan lagi sebagai antidepresan
Obat – obat yang tergolong dalam MAOI yaitu Phenelzine,
Tranylcypromine, dan Selegiline. Efek samping yang sering muncul yaitu
postural hipotensi ( efek samping tersebut lebih sering muncul pada pengguna
phenelzine dan Tranylcypromine ), penambahan berat badan, gangguan sexual
(penurunan libido, anorgasmia). 9

H. Terapi Tambahan
Digunakannya terapi tambahan yang untuk meningkatkan efek
antidepresan serta mencegah terjadinya mania.
1) Mood Stabilizer
Lithium dan Lomotrigin biasa digunakan sebagai mood stabilizer.
Litium adalah suatu terapi tambahan yang efektif pada pasien yang tidak
memberikan respon terhadap pemberian monoterapi antidepresan. Lomotrigin
adalah antikonvulsan yang mereduksi glutamateric dan juga digunakan
sebagai agen terapi tambahan pada depresi mayor dan juga digunakan untuk
terapi dan pencegahan relapse pada depresi bipolar. Beberapa mood stabilizer

43
yang lain yaitu Valproic acid, divalproex dan Carbamazepin ini semua
digunakan untuk terapi mania pada bipolar disorder. Divalproex dan
Valproate digunakan untuk mencegah kekambuhan kembali

2) Antipsikotik
Antipsikotik digunakan untuk meningkatkan efek antidepresan. Ada 2
macam antipsikotik yaitu typical antipsikotik dan atypical antipsikotik. Obat –
obat yang termasuk typical antipsikotik yaitu Chorpromazine, Fluphenazine,
dan Haloperidol. Antipsikotik typical bekerja memblok dopamine D 2 reseptor.
Atypical antipsikotik hanya digunakan untuk terapi pada depresi mayor resisten
dan bipolar depresi. Obat – obat yang termasuk dalam Atypical antipsikotik
clozapine, olanzapine, dan aripripazole.

44
3.7 Prognosis
Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan. Keadaan
ini cenderung merupakan gangguan yang kronis dan pasien cenderung mengalami
relaps. Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan
depresif memiliki kemungkinan 50 % untuk pulih di dalam tahun pertama.10

Rekurensi episode depresi berat juga sering, kira-kira 30 sampai 50 % dalam


dua tahun pertama dan kira-kira 50 sampai 70 % dalam 5 tahun. Insidensi relaps
adalah jauh lebih rendah dari pada angka tersebut pada pasien yang meneruskan
terapi psikofarmakologis profilaksis dan pada pasien yang hanya mengalami satu
atau dua episode depresi.10

45
Indikator prognosis. Identifikasi indikator prognosis baik dan buruk pada
depresi berat.10

Kemungkinan prognosis baik: episode ringan, tidak ada gejala psikotik,


waktu rawat inap singkat, indikator psikososial meliputi mempunyai teman akrab
selama masa remaja, fungsi keluarga stabil, lima tahun sebelum sakit secara
umum fungsi sosial baik. Sebagai tambahan, tidak ada komorbiditas dengan
gangguan psikiatri lain, tidak lebih dari sekali rawat inap dengan depresi berat,
onset awal pada usia lanjut.10

Kemungkinan prognosis buruk: depresi berat bersamaan dengan distimik,


penyalahgunaan alkohol dan zat lain, ditemukan gejala cemas, ada riwayat lebih
dari sekali episode depresi sebelumnya.10

46
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien datang ke POLI Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi


atas keinginan sendiri diantar oleh anaknya dengan keluhan susah tidur sejak ±
2 bulan yang lalu. Os mengaku sangat sulit untuk memulai tidur walaupun os
sudah memejamkan matanya tetapi masih tidak bisa untuk tidur.Selama 2
bulan ini os sama sekali tidak tidur, ketika berusaha untuk tidur os merasa
sakit kepala dan pusing, os merasa gelisah, gemetar, karena selalu memikirkan
penyakitnya yang tidak kunjung sembuh.
Keluhan dirasakan berawal dari ketika os mempunyai gejala sakit
lambung sejak ± 1 tahun yang lalu, menurut keterangan keluarga os susah
untuk makan dan memilih – milih makanan jika mau makan. os sudah pernah
berobat ke dokter karena penyakitnya tersebut dan pernah dirawat. Os juga
memiliki penyakit diabetes melitus, asam urat dan kolesterol yang
tinggi,hipertensi. os memiliki penyakit katarak dan pernah disarankan untuk
operasi namun tidak dilakukan karena pertimbangan penyakit diabetes pasien.
Sejak saat itu os mulai selalu merasakan sedih, sering murung, dan kehilangan
minat untuk beraktifitas, dan kalaupun melakukan aktifitas os merasakan
sering cepat lelah.
Os selalu kepikiran akan penyakitnya yang terlalu banyak yang
tidak kunjung sembuh meskipun keluarga memberikan dukungan kepada
pasien untuk tidak terbebani dengan penyakitnya. Sekarang keseharian os
lebih banyak menghabiskan waktu dirumah, os tidak bekerja lagi karena sudah
berumur dan disarankan banyak untuk beristirahat.
Os juga mengeluhkan selera makan yang menurun, os sulit untuk
makan, sehingga os mengalami penurunan berat badan.
Os tidak ada mendengar bisikan-bisikan, os tidak ada keinginan
untuk bunuh diri, os tidak ada merasakan dirinya punya pengalaman yang
tidak dipunyai orang lain, os tidak ada merasa dikejar-kejar ingin dibunuh
orang lain.

47
Riwayat bahagia, semangat menggebu, suka memberi dan perasaan
senang berlebih dalam kurun waktu minimal 2 minggu sebelum keluhan
depresi muncul disangkal.
Berdasarkan anamnesis keluhan yang dialami pasien yang telah
dilakukan secara autoanamnesis, maka pasien didiagnosis mengalami episode
depresif berat karena memenuhi kriteria penegakan diagnosis berdasarkan
PPDGJ III yang dialami lebih dari 2 minggu. 3 gejala utama ditemukan pada
pasien, yaitu adanya afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan,
berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas ditambah gejala lainnya yaitu konsentrasi dan perhatian
berkurang, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang serta adanya
pesimistis.
Pada pasien ini dilakukan terapi psikoterapi. Psikoterapi merupakan
terapi yang digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi keluhan-
keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku
maladaptif. Terapi dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan profesional
antar terapis dengan penderita. Psikoterapi pada penderita gangguan depresif
dapat diberikan secara individu, kelompok, atau pasangan disesuaikan dengan
gangguan psikologik yang mendasarinya. Psikoterapi dilakukan dengan
memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimisme. Dalam
pengambilan keputusan untuk melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi oleh
penilaian dari dokter atau penderitanya. Untuk edukasi pada pasien ini adalah
dengan menyarankan pasien untuk rutin kontrol ulang dan mengerjakan hal-
hal yang positif untuk masa depannya. Dengan kontrol ulang secara rutin,
dokter dapat mengevaluasi efektivitas terapi sehingga dokter dapat
memberikan terapi yang adekuat pada pasien.
Pada pasien ini, selain psikoterapi diberikan farmakoterapi berupa
sertraline 1 x 50 mg. Sertraline merupakan obat anti-depresan dari golongan
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor). Selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI) bertindak secara khusus pada neurotransmitter serotonin.
Obat ini menghambat pengambilan kembali serotonin dari sinaps ke sel saraf,

48
sehingga meningkatkan kadar serotonin pada celah sinaps. Sertraline
merupakan obat SSRI yang memiliki efek kardiologik, sedasi, dan otonomik
yang minimal. Olanzapine memiliki efek sedasi yang tinggi sehingga
diharapkan dapat mengatasi gangguan tidur pada pasien. Obat-obatan
seringkali efektif mengontrol gejala serius dari depresi tetapi orang-orang
dengan depresi juga harus belajar untuk mengenali pola masing-masing gejala
dan mempelajari cara-cara untuk mengatasinya.
Prognosis pada pasien ini yaitu terdiri dari 2, yaitu prognosis ke arah
baik dan progosis ke arah buruk. Prognosis ke arah baik karena pasien
menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya pasien rutin untuk kontrol ulang
dan minum obat, respon terhadap pengobatan baik serta biaya pengobatan
dibantu oleh BPJS. Sementara prognosis ke arah buruk kemungkinan terjadi
karena gangguan yang dialami pasien sudah berlangsung lama serta
banyaknya gejala somatic lain yang dialami pasien.

49
KESIMPULAN

1. Gangguan depresif adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood


sebagai masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan
episode depresif, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan
gangguan depresif unipolar serta bipolar.
2. Gangguan depresif dapat terjadi pada semua umur, dengan riwayat
keluarga mengalami gangguan depresif, biasanya dimulai pada usia 15
dan 30 tahun
3. Diagnosis gangguan depresif dapat merujuk pada Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia Edisi Ketiga
(PPDGJ III) dan menurut Diagnpasientic and Statistical Manual of
Mental Disorder, Fouth Edition, Text Revision (DSM IV-TR)
4. Gangguan depresif dapat dibagi mwnjadigangguan depresif ringan,
sedang, berat, berat tanpa gejala psiskotik dan berat dengan gejala
psikotik.
5. Penatalaksanaan gangguan depresi terbagi dalam farmakoterapi dan
psikoterapi.

50
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Depression A Global Public Health Concern.


Diakses 29 Maret 2016. Di unduh dari :
http://www.who.int/mental_health/management/depression/who_paper_dep
ression_wfmh_2012.pdf
2. Saddock, Benjamin, dkk. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2010.
3. Maslim, Rusdi. BukuSaku Diagnosis GangguanJiwa PPDGJ III.
PenerbitBagianIlmuKedokteranJiwa FK-UnikaAtma Jaya, Komplek RS
Atma Jaya, Jakarta. 2003
4. Tomb, David A. 2011. Buku Saku Psikiatri Ed 7. Jakarta: EGC
5. Marwick,K; Birrel,M., 2013. The Mood (Affective) Disorders in Crash
Course Psychiatry, 4th Edition. Edinburgh : Elsevier Ltd.
6. Friedman, Edward S.; Anderson, Ian M, 2014. Handbook of
Depression, second Edition. London : Springer Healthcare, a part of
Springer Science+Business Media
7. Stahl, Stephen M.; Muntner, Nancy, 2013. Mood Disorders in Stahl‗s
Essential Psychopharmacology, Neuroscientific Basis and Practical
Application, 4 th edition. New York : Cambridge University Press
8. APA, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th
edition. Washington DC : American Psychiatric Association
9. Fakhruddin H. a 62 years old woman with recurrent depressive disorder,
current episode moderate, with somatic symptoms. Jurnal Agromed Unila.
2015;2(1): 3-4
10. Johnstone, Eve C; Owens, David Cunningham; et al, 2010. Mood Disorders
in Companion to Psychiatric Studies, 8th Edition. Edinburgh : Elsevier Ltd
11. Ismail RI, Siste K. Gangguan depresi. Dalam: elvira SD, Hadisukanto G.
Buku ajar psikiatri. 2017. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

51

Anda mungkin juga menyukai