SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Program
Studi S-1 Farmasi STIKes Bakti Tunas Husada
2.1 Hiperlipidemia
2.1.1 Klasifikasi Hiperlipidemia
Hiperlipidemia adalah suatu kondisi kelebihan lemak dalam sirkulasi darah.
Dapat disebut juga dengan hiperlipoproteinemia karena substansi lemak yang
mengalir di peredaran darah terikat oleh protein karena lemak merupakan partikel
yang tidak larut air. Secara umum, hiperlipidemia dapat dibedakan menjadi 2 sub
kategori yaitu hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia (Harikumar, dkk.,
2013).
2.1.2 Etiologi
Klasifikasi hiperlipidemia berdasarkan etiologinya dibedakan menjadi tiga
yaitu, dislipidemia primer yang disebabkan karena kelainan genetik spesifik dan
dislipidemia sekunder yaitu, dislipidemia yang terjadi karena penyakit lain yang
menyebabkan kelainan metabolism lemak dan lipoprotein, serta hiperlipidemia
idiopatik, yaitu hiperlipidemia yang belum dapat diketahui secara pasti
penyebabnya.
1. Dislipidemia Primer
Dislipidemia primer diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Fredrickson,
yang berdasarkan pada elektroforesis atau ultrasentrifugasi lipoprotein.
1) Tipe I, yaitu kenaikan kolesterol dengan kadar trigliserida yang tinggi
2) Tipe II, yaitu kenaikan kolesterol dengan kadar trigliserida yang normal
3) Tipe III, yaitu kenaikan kolesterol dan trigliserida
4) Tipe IV, kenaikan trigliserida, munculnya aterom dan kenaikan asam urat
5) Tipe V, kenaikan trigleserida saja
(Harikumar, dkk., 2013)
2. Dislipidemia Sekunder
Dislipidemia sekunder atau dislipidemia didapat memiliki bentuk yang
mirip dengan dislipidemia primer. Dislipidemia sekunder dapat meingkatkan
resiko aterosklerosis dini, pancreatitis, atau berbagai komplikasi lainnya.
Penyebab tersering dari dislipidemia sekunder ini adalah diabetes mellitus,
penggunaan obat diuretik, beta bloker, dan esterogen jangka panjang.
Dislipidemia sekunder dapat juga disebabkan oleh penyakit hipotiroidisme, gagal
ginjal, nefrotik sindrom, ikterik obstruktif, cushing syndrome, anoreksia nervosa,
konsumsi alcohol, serta dapat pula disebabkan oleh penyakit endokrin yang
langka atau penyakit gangguan metabolisme lainnya (Harikumar, dkk., 2013).
2.1.3 Patofisiologi
Secara umum, hiperlipidemia terjadi berdasarkan beberapa mekanisme.
(1) Penurunan ekskresi trigliserida kaya lipoprotein dan inhibisi lipoprotein lipase
dan trigliserida lipase.
(2) Faktor-faktor lainnya seperti resistensi insulin, defisiensi carnitine, dan
hipertiroidisme yang dapat menyebabkan kelainan metabolisme lemak.
(3) Pada sindrom nefrotik, penurunan kadar protein albumin dalam sirkulasi
menyebabkan kenaikan sintesis lipoprotein untuk mempertahankan tekanan
onkotik plasma
(Majid, 2013).
Kolesterol LDL normalnya bersirkulasi di dalam tubuh sekitar dua
setengah hari, kemudian berikatan dengan reseptor LDL di sel-sel hati, untuk
kemudian di endositosis. LDL dalam tubuh hilang, dan sintesis kolesterol oleh
liver di supresi oleh mekanisme HMG-CoA reduktase. Pada kondisi
hiperkolesterolemia familial, fungsi reseptor LDL terganggu atau bahkan hilang,
sehingga LDL bersirkulasi di darah lebih lama yaitu empat setengah hari. Hal ini
menyebabkan kenaikan kadar LDL darah, namun lipoprotein lainnya tetap
normal. Pada mutasi dari ApoB, terjadi penurunan ikatan partikel LDL dengan
reseptor, sehingga terjadi kenaikan kadar LDL (Harikumar, dkk., 2013).
2.1.4 Manisfestasi Klinik
Manifestasi klinik dari hiperlipidemia muncul karena adanya endapan lipid
pada sistem vaskular dan mata. Secara umum kebanyakan pasien tidak akan
menunjukan gejala tertentu untuk jangka waktu yang panjang sebelum muncul
bukti klinis. Pasien dengan sindrom metabolik dapat memiliki tiga atau lebih
presentasi klinik berikut : obesitas abdominal, dislipidemia aterogenik,
peningkatan tekanan darah, resistensi insulin dengan atau tanpa intoleransi
glukosa, keadaan protrombotik, atau keadaan proinflamatori.
2.1.5 Diagnosis
Kapan disebut lipid normal, sebenarnya sulit untuk dipatok satu angka,
oleh karena normal untuk seseorang belum tentu normal untuk orang lain yang
disertai faktor risiko koroner multipel. Walaupun demikian National Cholesterol
Education Program Adult Treatment Panel III ( NCEP-ATP III ) telah membuat
satu batasan yang dapat dipakai secara umum untuk diagnostik dislipidemia tanpa
melihat faktor risiko koroner seseorang. Dibawah ini dapat dilihat beberapa nilai
untuk mengukur kadar dislipidemia menurut NCEP-ATP III.
(Tinggi) (Tinggi)
≥ 240 mg/dL ≥ 500 mg/dL
(Tinggi) ≥ 190 mg/Dl (Sangat Tinggi)
(Sangat tinggi)
Sumber :
AHA/ACC/AACVPR/AAPA/ABC/ACPM/ADA/AGS/APhA/ASPC/NLA/PCNA
Guideline on the Management of Blood Cholesterol: A Report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical
Practice Guidelines, 2018.
Pada kelompok usia dewasa muda, pengukuran faktor risiko
memungkinkan estimasi risiko ASCVD seumur hidup. (Lihat kalkulator risiko
yang disediakan di situs web ACC dan AHA.) Muda orang dewasa dengan
hiperkolesterolemia sedang (LDL-C .) 160-189 mg/dL [4.1-4,8 mmol/L]) dapat
menjadi kandidat obat penurun kolesterol. Setelah usia 20 tahun, faktor risiko
tradisional harus dinilai setiap 4 sampai 6 tahun.
Pada orang dewasa yang bebas dari ASCVD, tradisional Faktor risiko
ASCVD harus dinilai setiap 4 hingga 6 menit bertahun-tahun. Orang dewasa
berusia 40 hingga 75 tahun adalah kandidat potensial untuk terapi statin.
Pemilihan pasien untuk terapi statin adalah proses multistep.
Langkah Pertama untuk menentukan risiko individu ASCVD klinis adalah
untuk mengkategorikan pasien ke dalam 4 kategori risiko, dari tinggi sampai
rendah. Kategori dengan risiko keseluruhan tertinggi (pencegahan sekunder dan
tingkat LDL-C primer 190 mg/dL [≥4,9 mmol/L]) memerlukan pengobatan segera
untuk menurunkan risiko ASCVD tanpa menggunakan perhitungan risiko dengan
PCE, yang diperkenalkan pada tahun 2013. Orang dewasa berusia 40 hingga 75
tahun dengan diabetes mellitus memerlukan inisiasi a statin intensitas sedang
tanpa menggunakan perhitungan risiko oleh PCE; namun, masuk akal untuk
menggunakan PCE untuk stratifikasi risiko lebih lanjut.
kategori keempat termasuk orang dewasa berusia 40 hingga 75 tahun yang
risiko ASCVD 10-tahunnya diperkirakan oleh PCE. Ini mengarah ke diskusi
risiko dokter-pasien untuk dipertimbangkan pro dan kontra terapi statin; faktor
yang perlu dipertimbangkan adalah skor PCE, ada atau tidak adanya faktor
peningkat risiko lainnya, manfaat potensial dari gaya hidup intensif terapi,
kemungkinan efek samping terkait statin atau interaksi obat-obat, dan pilihan
pasien. Jika status risiko tetap tidak pasti setelah pertimbangan ini, pengukuran
CAC dapat memberikan informasi tambahan untuk membantu membuat
keputusan sehubungan dengan terapi statin.
2.2 Obat-obat antihiperlipidemia
a. Fibrat
Derivat asam fibrat seperti gemfibrozil, benzafibrat dan fenofibrat adalah pilihan
terapi untuk trigliseridemia. Fibrat dapat menurunkan trigliserida plasma hingga
50%, dan meningkatkan kadar HDL-C plasma hingga 20%.Mekanisme kerja
fibrat adalah memodulasi aktivitas reseptor aktivasi peroksisom proliferator di
hati, sehingga menurunkan sekresi VLDL oleh hati dan meningkatkan lipolysis
trigliserida di plasma. Fibrat juga mereduksi jumlah LDL dan meningkatkan
HDL-C (Yuan, dkk., 2007).
b. Statin
Statin adalah inhibitor koenzim 3-hidroksi-metilglutaril. Statin bukan pilihan
terapi lini pertama apabila kadar trigliserida plasma lebih dari 5 mmol/liter. Sama
seperti fibrat, statin pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan jarang
sekali menimbulkan miopati atau toksik pada hati. Penggunaan kombinasi statin
dan fibrat direkomendasikan pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dan efektif untuk
mengontrol resiko kardiovaskular (Yuan, dkk., 2007).
c. Niacin
Penggunaan niacin secara rutin dapat menurunkan kadar trigliserida plasma
hingga 45%, meningkatkan HDL-C plasma hingga 25% dan menurunkan LDL-C
hingga 20%. Namun, penggunaan niacin sering menimbulkan efek samping yaitu
gatal-gatal, cutaneous flushing, dan light headedness. Efek samping ini dapat
diminimalkan dengan cara memulai terapi dari dosis rendah kemudian
ditingkatkan secara bertahap ke dosis target. Efek samping lain mungkin muncul
tetapi jarang seperti meningkatnya enzim hati, meningkatnya asam urat,
gastrointestinal distress dan intoleransi glukosa (Yuan, dkk., 2007).
2.3 Farmakoekonomi
Farmakoekonomi merupakan multidisiplin ilmu yang mencakup ilmu
ekonomi dan kesehatan yang bertujuan meningkatkan taraf kesehatan dengan
meningkatkan efektivitas perawatan kesehatan. Farmakoekonomi juga membantu
pembuat kebijakan dan penyedia pelayanan kesehatan dalam membuat keputusan
dan mengevaluasi keterjangkauan dan akses penggunaan obat yang rasional
(Khoiriyah, 2018).
Ada empat metode yang umum digunakan dalam studi farmakoekonomi,
keempat metode tersebut yaitu:
1. COST EFFECTIVENESS ANALYSIS (CEA)
A. Pengertian
Cost effectiveness analysis atau CEA merupakan suatu metoda yang
didesain untuk membandingkan antara outcome kesehatan dan biaya yang
digunakan untuk melaksanakan program tersebut atau intervensi dengan alternatif
lain yang menghasilkan outcome yang sama (Vogenberg, 2001).
Analisis cost-effectiveness merupakan salah satu cara untuk memilih dan
menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda
dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria penilaian pogram mana
yang akan dipilih adalah berdasarkan discounted unit cost dari masing-masing
alternatif program sehingga program yang mempunyai discounted unit cost
terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis/pengambil keputusan
(Tjiptoherianto dan Soesetyo, 1994).
B. Prinsip Dasar
Cost Effectiveness Analysis (CEA) digunakan apabila benefit sulit
ditransformasikan dalam bentuk uang sehingga CEA sangat baik untuk mengukur
efisiensi di bidang sosial, khususnya bidang kesehatan yang bersifat program atau
intervensi pada tingkat daerah. Sesungguhnya untuk bidang kesehatan
memberikan nilai rupiah bagi setiap hasil yang diperoleh tidaklah mudah.
Sekalipun misalnya dua program sama-sama berhasil memperpendek atau
mempersingkat lama perawatan, misalnya dari lima menjadi dua hari, namun nilai
tiga hari yang berhasil ditekan tersebut tidak sama antara satu program dengan
program yang lain. Untuk orang yang kebetulan tidak mempunyai pekerjaan, tentu
nilai rupiahnya akan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan seseorang yang
kebetulan menjabat menjadi seorang manajer. Karena kesulitan mengubah hasil
program kesehatan ke dalam bentuk nilai uang, maka tidak mengherankan kalau
bidang kesehatan banyak menggunakan teknik analisis efektifitas biaya atau CEA.
Untuk melaksanakan CEA, harus ada satu atau beberapa kondisi di bawah ini :
a. Ada satu tujuan intervensi yang tidak ambigu, sehingga ada ukuran yang
jelas dimana efektifitas dapat diukur. Contohnya adalah dua jenis terapi bisa
dibandingkan dalam hal biayanya per year of life yang diperoleh, atau,
katakanlah, dua prosedur screening dapat dibandingkan dari segi biaya per
kasus yang ditemukan. Atau;
b. Ada banyak tujuan, tetapi intervensi alternatif diperkirakan memberikan
hasil yang sama. Contohnya adalah dua intervensi bedah memberikan hasil
yang sama dalam hal komplikasi dan kekambuhan.
CEA terdiri dari tiga proses, yaitu :
1) Analisis biaya dari setiap alternatif atau program.
2) Analisis efektifitas dari tiap alternatif atau program.
3) Analisis hubungan atau ratio antara biaya dan efektifitas alternatif atau
program.
Ada 2 macam analisis efektivitas biaya, yaitu :
a. Analisis jangka pendek Merupakan analisis yang dilakukan untuk jangka
waktu kurang dari 1 tahun. Analisis jangka pendek ini merupakan analisis
yang paling banyak dan sering dilakukan. Dalam analisis jangka pendek ini
biaya satuan (unit cost) dihitung dari biaya depresiasi.
b. Analisis jangka panjang Merupakan analisis yang dilakukan untuk jangka
waktu lebih dari 1 tahun. Dalam analisis jangka panjang ini biaya satuan
(unit cost) yang digunakan adalah berupa nilai discounted unit cost, dimana
dalam perhitungannya tanpa mempertimbangkan biaya depresiasi.
Alasan Menggunakan Cost Effectiveness Analysis
a. Benefit bidang kesehatan
1. Sulit mengukur benefit tingkat kesembuhan, hilangnya produktivitas akibat
sakit atau cacat dan lain-lainnya.
2. Program kesehatan yang bersifat lintas sektoral sulit menentukan dampak
suatu program tertentu.
3. Program terpadu sulit menentukan keluaran program yang murni
b. Cost bidang kesehatan
1. Program terpadu dan lintas sektoral akan menyulitkan menilai sarana
peralatan maupun personil yang benar-benar digunakan untuk program
tersebut.
2. Pendayagunaan peran serta masyarakat akan menyulitkan menentukan biaya
operasional.
3. Bantuan lokal, regional, nasional, dan internasional.
Tahap Penghitungan Cost Effectiveness Analysis
Tahapan dalam menghitung Cost Effectiveness Analysis (CEA) yaitu sebagai
berikut:
a. Mengidentifikasi unsur biaya dari alternatif program yang ada.
b. Menghitung total cost atau present value cost dengan rumus:
ct 1
c. Present value cost = t atau Present value cost = Ct x
(1+n) (1+n)t
d. Dimana merupakan nilai discount factor
e. Menghiitung objective atau output yang berhasil.
f. Menghitung cost effectiveness ratio (CER):
Total Cost ( Present value cost)
g. CER =
Σ Objective
h. Membandingkan CER dari masing-masing alternatif program.
i. Memilih CER yang terkecil dari program untuk direkomendasi.
Pada penggunaan metode AEB perlu dilakukan penghitungan rasio biaya rerata
dan rasio inkremental efektivitas-biaya (RIEB = incremental cost-effectiveness
ratio/ICER). Dengan RIEB dapat diketahui besarnya biaya tambahan untuk setiap
perubahan satu unit efektivitasbiaya. Selain itu, untuk mempermudah
pengambilan kesimpulan alternatif mana yang memberikan efektivitas-biaya
terbaik, pada kajian dengan metode AEB dapat digunakan tabel efektivitas-biaya.
Dengan menggunakan tabel efektivitas-biaya, suatu intervensi kesehatan secara
relatif terhadap intervensi kesehatan yang lain dapat dikelompokkan ke dalam satu
dari empat posisi, yaitu:
1. Posisi Dominan Kolom G (juga Kolom D dan H)
Jika suatu intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih tinggi dengan
biaya sama (Kolom H) atau efektivitas yang sama dengan biaya lebih rendah
(Kolom D), dan efektivitas lebih tinggi dengan biaya lebih rendah (Kolom G),
pasti terpilih sehingga tak perlu dilakukan AEB.
2. Posisi Didominasi Kolom C (juga Kolom B dan F)
Sebaliknya, jika sebuah intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih
rendah dengan biaya sama (Kolom B) atau efektivitas sama dengan biaya lebih
tinggi (Kolom F), apalagi efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih tinggi
(Kolom C), tidak perlu dipertimbangkan sebagai alternatif, sehingga tak perlu
pula diikutsertakan dalam perhitungan AEB.
3. Posisi Seimbang Kolom E
Sebuah intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas dan biaya yang
sama (Kolom E) masih mungkin untuk dipilih jika lebih mudah diperoleh
dan/atau cara pemakaiannya lebih memungkinkan untuk ditaati oleh pasien,
misalnya tablet lepas lambat yang hanya perlu diminum 1 x sehari versus tablet
yang harus diminum 3 x sehari. Sehingga dalam kategori ini, ada faktor lain
yang perlu dipertimbangkan di samping biaya dan hasil pengobatan, misalnya
kebijakan, ketersediaan, aksesibilitas, dan lain-lain.
4. Posisi yang memerlukan pertimbangan efektivitas biaya Kolom A dan I
Jika suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas yang lebih rendah
dengan biaya yang lebih rendah pula (Kolom A) atau, sebaliknya, menawarkan
efektivitas yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih tinggi, untuk melakukan
pemilihan perlu memperhitungkan RIEB.
Efektivitas-biaya Biaya lebih rendah Biaya sama Biaya lebih tinggi
Efektivitas lebih A B C
rendah (Perlakuan (Didominasi)
perhitungan RIEB)
Efektivitas sama D E F
Efektivitas lebih G H I
tinggi (Dominan) (Perlu
perhitungan
RIEB)
b. Perhitungan ICER
1) Tentukan 2obat yang memiliki biaya lebih rendah dengan efektivitas
lebih rendah ke biaya lebih tinggi dengan efektivitas lebih tinggi.
2) Tentukan ICER
Biaya terapi obat A−Biaya terapi obat B
Rumus ICER =
Efektivitas obat A−Efektivitas obat B
DAFTAR PUSTAKA
AHA/ACC/AACVPR/AAPA/ABC/ACPM/ADA/AGS/APhA/ASPC/NLA/PCNA
Guideline on the Management of Blood Cholesterol: A Report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task
Force on Clinical Practice Guidelines, 2018.
Anwar, T. (2004). Dislipidemia Sebagai Faktor Risiko Utama Penyakit Jantung
Koroner. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. e- USU
Repository: 1-10.
Aziz, Zarina, Stella Cyriac, V. Beena, and P.T. Philomina. 2012. Comparison of
Cholesterol Content In Chicken, Duck And Quail Eggs. Department
of Veterinary Physicology College of Veterinary and Animal Science
Dawley. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M.,
2011, Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. Eight
Edition : Hyperlipidemia, McGraw-Hill, 0-07-141613-7
Harikumar K, Althaf S.A, Kumar B.K, Ramunaik M, Suvarna C.H. 2013. A
Review on Hyperlipidemic. International Journal Of Novel Trends In
Pharmaceutical Sciences. www.ijntps.org diakses pada tanggal 9
Oktober 2017.
Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes Ri.
Khoiriyah, S.D., Lestari, K. 2018. Review artikel: kajian farmakoekonomi yang
mendasari pemilihan pengobatan di Indonesia. Farmaka, Suplemen
16(3):134- 145.
Setya Enti Rikomah, 2016, Farmasi Klinik, Yogyakarta : Deepublish
Spellman, 2003, Combination therapy for dislipidemia. JAOA. Suplement 1. Vol
103.
Shi Y, Guo R, Wang X, Yuan D, Zhang S, Wang J, Yan X, Wang C. The
Regulation of Alfalfa Saponin Extract on Key Genes Involved in
Hepatic 48 Cholesterol Metabolism in Hyperlipidemic Rats. PLoS
One. 2014 Feb 5;9(2):e88282