Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

GRAVES DISEASE

Pembimbing:
dr. Nunik Royyani, Sp. Rad

Disusun Oleh:
Friska Lestari 112170033

SMF ILMU RADIOLOGI RSUD WALED


Periode 14 Mei – 9 Juni 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Graves disease”.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Nunik Royyani, Sp.Rad
atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan di dalamnya.
Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di
kemudian hari.
Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang
turut membaca untuk memahami penyakit pankreatitis akut.

Cirebon, Mei 2018

Penulis
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................3
BAB I.............................................................................................................................5
1.1 Latar Belakang.................................................................................................6
1.2 Tujuan..............................................................................................................8
BAB II............................................................................................................................9
2.1 Anatomi dan Fisiologi tiroid...........................................................................7
2.2 Graves disease.................................................................................................8
2.2.1 Definisi............................................................................................................8
2.2.2 Etiologi............................................................................................................8
2.2.3 Patogenesis....................................................................................................14
2.2.3 Manifestasi Klinis.........................................................................................16
2.2.4 Pemeriksaan penunjang.................................................................................19
2.2.5 Komplikasi....................................................................................................23
2.2.6 Tatalaksana....................................................................................................24
BAB III.........................................................................................................................25
BAB IV........................................................................................................................42
4

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun
1830, adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisme
(produksi berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi
darah. Graves disease lazim juga disebut penyakit Basedow. Struma adalah
istilah lain untuk pembesaran kelenjar tiroid. Goiter adalah suatu pembesaran
kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya dapat bermacam-macam.1
Graves disease merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang
paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua
umur, sering ditemukan pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit
Graves yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan
hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme)
dan sering disertai oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang.2-4
Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara
pasti. Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan
dalam mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatkan risiko
menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, Graves disease
dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya
antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor
Antibody / TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi.2,3
Diantara pasien-pasien dengan hipertiroid, 60 – 80% merupakan Grave
disease, tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insidensi
tiap tahun pada wanita berusia diatas 20 tahun sekitar 0,7% per 1000, tertinggi
pada usia 40 – 60 tahun. Angka kejadian penyakit grave 1/5 – 1/10 pada laki-
laki maupun perempuan, dan tidak umum diapatkan pada anak-anak.5

1.2 Tujuan
5

Tujuan dari penulisan referat ini adalah :


1. Untuk memperdalam pengetahuan dokter muda mengenai Graves disease
dan dapat mengetahui perbedaan Graves disease, tiroiditis Hashimoto dan
de Quervain’s tiroiditis dalam pemeriksaan penunjang radiologi khususnya
dan dalam pemeriksaan keseluruhan (anamnesis,pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang) pada umumnya.
2. Untuk melatih dokter muda agar mampu berpikir kritis dan ilmiah dalam
menyusun karya tulis ilmiah.

BAB II
6

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar, yang
normalnya memiliki berat 15 - 20 gram. Tiroid mengsekresikan tiga macam
hormon, yaitu tiroksin (T4), triiodotironin (T3), dan kalsitonin. Secara
anatomi, tiroid merupakan kelenjar endokrin (tidak mempunyai ductus) dan
bilobular (kanan dan kiri), dihubungkan oleh isthmus (jembatan) yang terletak
di depan trachea tepat di bawah cartilago cricoidea. Kadang juga terdapat
lobus tambahan yang membentang ke atas (ventral tubuh), yaitu lobus
piramida.

Gambar 2.1 Anatomi kelenjar tiroid.1

Kelenjar tiroid dialiri oleh beberapa arteri:


1. A. thyroidea superior cabang dari A. Carotis communis
2. A. thyroidea inferior cabang dari A. subclavia
3. Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari
aorta atau A. anonyma.
Kelenjar tiroid mempunyai 3 pasang vena utama:
7

1. V. thyroidea superior (bermuara di V. jugularis interna).


2. V. thyroidea medialis (bermuara di V. jugularis interna).
3. V. thyroidea inferior (bermuara di V. anonyma kiri).
Persarafan kelenjar tiroid:
1. Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior
2. Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens
(cabang N.vagus)
3. N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya
pita suara terganggu (serak/stridor)

Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

Gambar 2.2 Sintesis dan sekresi hormon tiroid

1. Iodide Trapping, yaitu penangkapan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.


2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga
mencapai status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim
peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan
residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula
melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Pembentukan iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)
menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT
(monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini
diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
8

5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi


dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada
dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan
dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.
Pengangkutan Tiroksin dan Triiodotirosin ke Jaringan
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik
secara cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan
kurang dari 0,1% T4 tetap berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini
memang luar biasa mengingat bahwa hanya hormon bebas dari keseluruhan
hormon tiroid memiliki akses ke sel sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek.
Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:
1. TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55% T4
dan 65% T3 yang ada di dalam darah.
2. Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik,
termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3.
3. TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.
Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3
memiliki aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun,
sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian dirubah menjadi T3, atau
diaktifkan, melalui proses pengeluaran satu yodium di hati dan ginjal. Sekitar
80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang mengalami proses pengeluaran
yodium di jaringan perifer. Dengan demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid
yang secara biologis aktif di tingkat sel.
Fungsi Fisiologis Hormon Tiroid :
1) Meningkatkan transkripsi gen ketika hormon tiroid (kebanyakan T3)
berikatan dengan reseptornya di inti sel.
9

2) Meningkatkan jumlah dan aktivitas mitokondria sehingga pembentukkan ATP


(adenosin trifosfat) meningkat.
3) Meningkatkan transfor aktif ion melalui membran sel.
4) Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak, terutama pada masa
janin

2.2 Graves Disease


2.2.1 Definisi
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab
tersering hipertiroidisme adalah suatu penyakit autonium yang biasanya
ditandai oleh produksi autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada
kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari
hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar
tiroid/struma difus, oftamopati (eksoftalmus / mata menonjol) dan kadang-
kadang dengan dermopati.2,6,7,8
2.2.2 Etiologi
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang
disebabkan thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan
dan mengaktifkan thyrotropin receptor (TSHR) pada sel tiroid yang
mensintesis dan melepaskan hormon tiroid. Penyakit Graves berbeda dari
penyakit imun lainnya karena memiliki manifestasi klinis yang spesifik,
seperti hipertiroid, vascular goitre, oftalmopati, dan yang paling jarang
infiltrative dermopathy.7
Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana
15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita
penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves,
ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5
kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada
semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun
sampai 40 tahun.2,7
Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis,
infeksi, faktor trauma psikis, iod Basedow, penurunan berat badan secara
10

drastis, chorionic gonadotropin, periode post partum, kromosom X, dan


radiasi eksternal (Moelyanto, 2007).
1. Faktor genetik
Penyakit Hashimoto dan penyakit graves sering terjadi secara
mengelompok dalam keluarga nampak bersifat genetik. Dalam praktek
sehari-sehari sering ditemukan pengelompokkan penyakit graves dalam
satu keluarga atau keluarga besarnya dalam beberapa generasi.
Abnormalitas ini meliputi antibodi anti-Tg, respon TRH yang abnormal.
Meskipun demikian TSAb jarang ditemukan. Predisposisi untuk
penderita penyakit gaves diturunkan lewat gen yang mengkode antigen
HLA.
Setidaknya ada dua gen yang dipostulasikan berperan dalam
penyakit graves. Pertama gen dari HLA, yang kedua gen yang
berhubungan dengan alotipe IgG rantai berat (IgG heavy chain) yang
disebut Gm. Pada orang kulit putih (Eropa) hubungan erat terlihat
antara penyakit graves dan HLA-B8 dan HLA-D3 sedangakan pada
orang Jepang HLA-Bw35 dan DW13, untuk Cina HLA-BW 4 dan di
Filipina seperti dilaporkan oleh Pascasio erat dengan HLA-B13 dengan
risk-ration 5,1.
Adanya gen Gm menunjukkan bahwa orang tersebut mampu
memproduksi immunoglobulin tertentu. Sehingga gen HLA berparan
dalam mengatur fungsi limfosit T-supresor dan T-helper dalam
memroduksi TSAb, dan Gm menunjukkan kemampuan limfosit B
untuk membuat TSAb.
2. Faktor imunologis
Penyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang
organ spesifik, yang ditandai oleh adanya antibodi yang merangsang
kelenjar tiroid (thyroid stimulating antibody atau TSAb).
Teori imunologis penyakit graves :
a. persistensi sel T dan sel B yang autoreaktif
11

b. diwariskannya HLA khusus dang en lain yang berespon


immunologic khusus
c. rendahnya sel T dengan fungsi suppressor
d. adanya cross reacting epitope
e. adanya ekspresi HLA yang tidak tepat
f. adanya klon sel T atau B yang mengalami mutasi
g. stimulus poliklonal dapat mengaktifkan sel T
h. adanya reeksposure antigen oleh kerusakan sel tiroid.
Ehrlich menyatakan bahwa dalam keadaan normal sistem
imun tidak bereaksi atau memproduksi antibodi yang tertuju pada
komponen tubuh sendiri yang disebut mempunyai toleransi
imunologik terhadap komponen diri. Apabila toleransi ini gagal dan
sistem imun mulai bereaksi terhadap komponen diri maka mulailah
proses yang disebut autoimmunity. Akibatnya ialah bahwa antibodi
atau sel bereaksi terhadap komponen tubuh, dan terjadilah penyakit.
Toleransi sempurna terjadi selama periode prenatal. Toleransi diri ini
dapat berubah atau gagal sebagai akibat dari berbagai faktor,
misalnya gangguan faktor imunologik, virologik, hormonal dan
faktor lain, sedangkan faktor-faktor tersebut dapat berefek secara
tunggal maupun sinkron dengan faktor lainnya. Adanya autoantibodi
dapat menyebabkan kerusakan autoimune jaringan, dan sebaliknya
seringkali autoantibodi ini akibat dari kerusakan jaringan.
Pada penyakit graves anti-self-antibody dan cell mediated
response, yang biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya
mencakup meningkatnya TSAb, Anti TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi
antibodi terhadap jaringan orbita, TBII dan respons CMI (Cell
Mediated Immunoglobulin).
Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan karena
TSAb. Setelah terikat dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku
sebagai agonis TSH dan merangsang adenilat siklase dan cAMP.
Diperkirakan ada seribu reseptor TSH pada setiap sel tiroid. Kecuali
12

berbeda karena efeknya yang lama, efek seluler yang ditimbulkannya


identik dengan efek TSH yang berasal dari hipofisis. TSAb ini dapat
menembus plasenta dan transfer pasif ini mampu menyebabkan
hipertiroidisme fetal maupun neonatal, tetapi hanya berlangsung
selama TSAb masih berada dalam sirkulasi bayi. Biasanya
pengaruhnya akan hilang dalam jangka waktu 3-6 bulan.
Pada penyakit graves terjadi kegagalan sistem imun umum.
Terbentuknya TSAb dapat disebabkan oleh:
a. Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya
antibodi yang dapat bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah
satu bahan yang banyak diteliti adalah organisme Yersinia
enterocolica. Beberapa subtipe organisme ini mempunyai binding
sites untuk TSH, dan beberapa pasien dengan penyakit graves
juga menunjukkan antibodi terhadap anti-Yersinia.
b. Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan
normal komponen tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH
berubah jadi antigenik, sehingga bertindak sebagai stimulus bagi
pembentukan TSAb.
c. Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang
selama dirahim tidak deleted. Kemampuan sel T untuk
membentuk TSAb harus dirangsang dan mengalami diferensiasi
menjadi antibody-secreting cells yang secara terus-menerus
distimulasi. Aktivasi, pengembangan dan kelanjutannya mungkin
terjadi karena rangsangan interleukin atau sitokin lain yang
diproduksi oleh sel T helper inducer.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyakit graves adalah
kondisi autoimmun dimana terbentuk antibody terhadap reseptor TSH.
Penyakit graves adalah gangguan multifaktorial, susceptibilitas genetik
berinteraksi dengan faktor endogen dan faktor lingkungan untuk
menjadi penyakit. Termasuk dalam hal ini HLA-DQ dan HLA-DR juga
gen non HLA seperti TNF-β, CTLA 4 (Cytotoxic T Limphocyte Antigen
4), dan gen reseptor TSH. Penyakit graves bersifat poligenik dan
13

suseptibilitas gennya dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti stress,


merokok, dan beberapa faktor infeksi.
2. Trauma Psikis
Pada stress kadar glukokortikoid naik tetapi justru menyebabkan
konversi dari T3 ke T4 terganggu, produksi TRH terhambat, dan
akibatnya produksi hormon tiroid justru turun. Secara teoritis stress
mengubah fungsi limfosit T supresor atau T helper, meningkatkan
respon imun dan memungkinkan terjadinya penyakit graves. Baik stress
akut maupun kronik menimbulkan supresi sistem imun lewat non
antigen specific mechanism, diduga karena efek kortisol dan CRH
ditingkat sel immun.
3. Radiasi Tiroid eksternal
Dilaporkan kasus eksoftalmus dan tirotoksikosis sesudah
mengalami radioterapi daerah leher karena proses keganasan. Secara
teoritis radiasi ini yang merusak kelenjar tiroid dan menyebabkan
hipotiroidisme, dapat melepaskan antigen serta menyulut penyakit
tiroid autoimmun. Iradiasi memberi efek bermacam-macam pada subset
sel T, yang mendorong disregulasi imun.
4. Chorionic Gonadothropin Hormon
Hipertiroidisme dapat disulut oleh stimulator yang dihasilkan
oleh jaringan trofoblastik. Tirotropin trofoblast ini bukan suatu IgG,
tetapi secara imunologik cross-react dengan TSH manusia. Diduga
bahan ini ialah hCG (yang mempunyai sub unuit alfa yang sama dengan
TSH) atau derivat hCG yang desialated. Efek yang menyerupai efek
TSH pun dikeluarkan oleh karsinoma testis embrional (seminoma
testis). Secara klinis gejala tirotoksikosis ini terlihat pada hyperemesis
gravidarum, dimana T4 dan juga T3 dapat meningkat disertai
menurunnya TSH, kalau hebat maka klinis terlihat tanda
hipertiroidisme juga. Apabila muntahnya berhenti maka kadar hormon
tiroid diatas kembali normal.
2.2.3 Patofisiologi
14

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap


antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan
merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen
tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH di
dalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan
fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi
didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas
dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor
penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan
dermopati pada penyakit Graves.3
Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar
tiroid yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor
TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64
kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang
diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan
kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen
diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon
gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II
(MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada
limfosit T.3
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer
cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen
yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-
otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit
akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga
menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat
stimulasi sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan
menyebabkan terjadinya akumulasi glikosaminoglikans. 3
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan
katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya
15

hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena


terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung.3

Gambar 2.3 Patogenesis Graves disease.3

2.2.4 Manifestasi klinis


Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu
tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri
tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme
akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala
hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis
yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas,
keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun
walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan
kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati
dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.
Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai
dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag
16

(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan


kegagalan konvergensi. Gambaran klinik klasik dari penyakit graves
antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan
eksoftalmus.2,4
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American
Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan
singkatan NOSPECS):
a. Tidak ada gejala dan tanda
b. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
c. Perubahan jaringan lunak orbita
d. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
e. Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
f. Perubahan pada kornea (keratitis)
g. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai
keadaan awal tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila
keadaan tirotoksikosisnya diobati secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi
proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita. Kelas 2, ditandai
dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita,
kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3,
ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel
exophthalmometer. Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata
berupa proses infiltratif terutama pada musculus rectus inferior yang akan
menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai
musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam
menggerakkan bola mata kesamping. Kelas 5, ditandai dengan perubahan
pada kornea (terjadi keratitis). Kelas 6, ditandai dengan kerusakan nervus
opticus, yang akan menyebabkan kebutaan.4
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot
ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi
oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler
akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan
pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia.
Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT
17

scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior,


akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan.4
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang
umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek,
hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang
cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves dapat
berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan
pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang.4
Sedangkan pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis
yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan
miopati, ditandai dengan adanya palpitasi , dyspnea d’effort, tremor,
nervous dan penurunan berat badan.4
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang
relatif jarang ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000
kehamilan. Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita
penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan
hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi
iodine radioaktif atau karena pembedahan.
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak
juga dapat dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks
newcastle yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.1 Indeks Wayne


Indeks Wayne
Gejala Yang Baru Timbul Dan
No Nilai
Atau Bertambah Berat
1 Sesak saat kerja +1
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3
9 Nafsu makan turun -3
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3
18
19

No Tanda Ada Tidak Ada


1 Tyroid teraba +3 -3
2 Bising tyroid +2 -2
3 Exoptalmus +2 -
4 Kelopak mata tertinggal gerak bola mata +1 -
5 Hiperkinetik +4 -2
6 Tremor jari +1 -
7 Tangan panas +2 -2
8 Tangan basah +1 -1
9 Fibrilasi atrial +4 -
Nadi teratur
< 80x per menit - -3
10
80 – 90x per menit - -
> 90x per menit +3 -
Hipertiroid jika indeks ≥ 20

2.2.5 Pemeriksaan penunjang


A. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada
skema dibawah ini:
20

Gambar 2.4 Skema interpretasi pemeriksaan laboratorium

Autoantibodi tiroid, TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada


penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab lebih
spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam
keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa
tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas.3
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit
Graves dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme
umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar
tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-
tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan
dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4
rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar
hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.4
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di
membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon
tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi.
Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar
hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang
tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan
pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh
karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar
TSH sampai angka mendekati 0,05 mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik,
dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4).2-4
B. Pemeriksaan penunjang lain
1) Pemeriksaan kadar serum hormon dalam darah,
untuk memastikan diagnosis dan menilai berat ringan penyakit
(severity) serta merencanakan pengobatan. Meskipun pemeriksaan
tunggal FT4 atau TSH dirasakan cukup, tetapi karena masing-masing
mempunyai kelemahan maka banyak ahli menganjurkan untuk
menggunakan sedikitnya 2 macam pemeriksaan fungsi tiroid yang
21

tidak saling selalu tergantung satu sama lain. Untuk maksud tersebut,
penggunaan FT4 dan TSH-sensitif memadai.
2) Pemeriksaan radioaktif yodium uptake leher,
pemeriksaan 24 jam akan menunjukkan nilai lebih tinggi dari normal,
lebih-lebih di daerah dengan defisiensi yodium. Kini karena
pemeriksaan T4, FT4 dan TSH-s mudah dan dijalankan dimana-mana
maka RAIU jarang digunakan. Pemeriksaan ini dianjurkan pada :
kasus dengan dugaan toksik namun tanpa gejala khas (timbul dalam
jangka pendek, gondok kecil, tanpa oftalmopati, tanpa riwayat
keluarga, dan test antibodi negatif). Dengan uji tangkap tiroid, dapat
dibedakan etiologi tirotoksikosis apakah morbus graves atau sebab lain
3) Sidik tiroid
Jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba
atau teraba nodul yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom
marine-lenhardt ditemukan waktu melakukan sidik tiroid, yang
ditandai dengan satu atau lebih nodul (cold nodul) atas dasar kelenjar
toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada gondok non
toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk
menyingkirkan kemungkinan keganasan. Graves selalu dengan gondok
hyperthyroid diffuse, mengenai 2 lobus tiroid, TRAb dan TPOAb
4) Pemeriksaan terhadap antibodi.
Pada tiroiditis, prevalensi Ab anti Tg lebih tinggi. Titer akan
menurun dengan pengobatan OAT dan menetap selama remisi, namun
meningkat sesudah pengobatan RAI. Anti TPOAb diperiksa untuk
menggantikan anti-Tg-Ab, sebab hampir semua anti Tg-Ab positif juga
positif untuk anti TPO-Ab, tetapi tidak sebaliknya.
5) Ultrasonografi
22

Gambar 2.5 Pembesaran tiroid yang difus dan hipoechoic

Ultrasound dengan evaluasi warna-Doppler merupakan


pemeriksaan yang cost-effective pada pasien hipertiroid. Karakteristik
ultrasound sangat penting untuk diagnosis Graves disease untuk
membantu selama terapi. Kriteria diagnostik patologi studi ultrasound
adalah peningkatan volume kelenjar, heterogenitas dan parenkim
hypoechogenicity, peningkatan difus vaskularisasi di parenkim yang
dikenal dengan thyroid inferno dan ditandai dengan peningkatan
kecepatan arteri tiroid.

Gambar 2.6 Thyroid inferno santos


23

C. Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang
berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus
terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain:
1) Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.
2) Terapi yodium radioaktif.
3) Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak
diobati secara adekuat.
4) Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma,
infeksi akut, alergi obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda
hipermetabolisme berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi:
a. Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai
41°C disertai dengan flushing dan hiperhidrosis.
b. Takhikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.
c. Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai
koma.
d. Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari
simpanan hormon tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum penderita
dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada
penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid.4
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat
peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi
terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor
terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif
terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi.4
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2%
dari seluruh kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu
terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian
intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan
preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung
24

kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir
rendah serta peningkatan angka kematian perinatal.4
2.2.6 Penatalaksanaan Graves Disease
Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom
penyakit Graves adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya
terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat
ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat
penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium
Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain
berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan
obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang
menyertainya (Subekti, 2001; Shahab, 2002).

1. Obat-obatan
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan
imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan
imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat
golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya
sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.
Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi
biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat
oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin,
mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis
tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah
menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU,
tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi
T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang
memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan
kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon
lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis
tunggal.
25

Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai


dosis dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT.
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU
dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang
biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah
pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-
obat antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi
keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis
kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Dosis PTU dimulai dengan
100 – 200 mg/hari dan metimazol / tiamazol dimulai dengan 20 – 40
mg/hari dosis terbagi untuk 3 – 6 minggu pertama. Setelah periode ini
dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan
biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan
sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol / tiamazol 5 – 10
mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan
kadar FT4 dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum
memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan
bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-
faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas
fisis dan psikis
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan
methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3,
sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase
akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat
diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis
methimazole 40 mg setiap pagi selama 1 – 2 bulan, dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan
timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai
efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati,
26

lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat
sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan
dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif..
Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,
dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian
terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik,
Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut.
Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum
memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk
leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-
bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping,
penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali
fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan
yang lain seperti radioiodine 131I atau operasi. Bila timbul efek
samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan
obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat
penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan
kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan
sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna
menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan
sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan
eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil
yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian
evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang
menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati
dengan Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
27

2) Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian


Obat Anti Tiroid dosis rendah.
3) Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT4 (atau FT3 bila
terdapat T3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang
memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah,
kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan
eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah
berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata.7,8
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida,
sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis
tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas,
dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di
samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat,
meskipun sedikit, menurunkan kadar T3 melalui penghambatannya
terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar
80 mg/hari.
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat
beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan
nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40
mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol.3,7
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik.
Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit
kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi
ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat
golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan
gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh
fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan
bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam
terapi penghambat monoamin oksidase.6,7
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated
radiographic contras, potassium perklorat dan litium karbonat,
28

meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi


jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit
Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis
tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium
radioaktif.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia
muda dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang
ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan,
aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6
bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama
pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi
setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%.
Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama
pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan.
Kadar yodium yang tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar
tiroid kurang sensitif terhadap OAT.11
2. Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin
Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves
dengan cara kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada
tahun 1991 melaporkan bahwa angka kekambuhan rendah yaitu hanya
1,7% pada kelompok penderita yang mendapat terapi kombinasi
methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok
kontrol yang hanya mendapatkan terapi methimazole.10
3. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita
dengan struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam
keadaan eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu).
Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau
potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk
mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat
ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan
tiroid yangn harus diangkat.
29

Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein


dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu
banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi
relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2 – 3 gram jaringan tiroid.
Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen
tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves.
Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan
komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.3
4. Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (131I) telah dikenal sejak
lebih dari 50 tahun yang lalu. Radionuklida 131I akan mengablasi kelenjar
tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2
mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang
berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti
dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan
fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat
tergantung pada jumlah 131I yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas
kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid
dini (dalam waktu 2 – 6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. 131I
dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk
kemudian dengan cepat pula terakumulasi di dalam kelenjar tiroid.
Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman,
tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun
teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari
ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif.11
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil
atau menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan
yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak
hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut
pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi
diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan
yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme
30

anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh
dengan OAT.12
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat
jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah
terjadi karena massa yodium dalam dosis 131I yang diberikan sangat kecil,
hanya 1 mikrogram. Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu,
dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama menunggu efek yodium
radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan atau OAT. Respons
terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh
besarnya dosis 131I dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis
kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari.4
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif
adalah hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh
besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin
tinggi angka kejadian hipotiroidisme.5
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat
jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10%
dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya. Efek
samping lain yang perlu diwaspadai adalah:
1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya
antigen tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH),
dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian
I131
2. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya
sangat jarang terjadi)
3. Gastritis radiasi (jarang terjadi)
4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara
mendadak (leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk
mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT
terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi
jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau
selama 3 sampai 6 bulan pertama. Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi
31

tiroid cukup dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk


mendeteksi adanya hipotiroidisme.7
32

BAB III
PEMBAHASAN

Ultrasound dengan evaluasi warna-Doppler merupakan pemeriksaan yang


cost-effective pada pasien hipertiroid. Dengan akurasi yang sama dengan
penunjang diagnostik lainnya dan tanpa kontraindikasi. Sebuah penelitian
prospektif menunjukkan bahwa temuan ultrasound tiroid dapat memprediksi hasil
pengobatan radioiodine, dan, pada pasien dengan penyakit Graves, temuan
normoechogenic dan pembesaran kelenjar berhubungan dengan peningkatan
radioresistance.12
Karakteristik ultrasound sangat penting untuk diagnosis Graves disease
dan dalam terapi. Kriteria diagnostik patologi studi ultrasound pada Grave’s
disease adalah peningkatan volume kelenjar, heterogenitas dan hypoechogenicity,
peningkatan difus vaskularisasi pada parenkim dan ditandai dengan peningkatan
kecepatan arteri tiroid.12

Gambar 3.1 Pembesaran volume tiroid. Gambar memperlihatkan aksis


transversal dari tiroid (a) aksis longitudinal pada lobus kanan (b) dan aksis
longitudinal dari lobus kiri (c).13
33

Pada graves disease, volume kelenjar meningkat di atas normal melebihi 6


-15 cm. Kondisi yang merubah gambaran normal kelenjar tiroid seperti karena
penyakit tiroid autoimun, akan menyebabkan heterogenitas dan hipechogenisitas
difus, dengan gambaran balok fibrotik. Selalu pikirkan bahwa hipoechogenic pada
tiroid disebabkan oleh penyakit autoimun dan pada Graves disease hipoekogenitas
disebabkan karena hipervaskularisasi dan hiperseluller. Vitti et al, meneliti pada
105 pasien Graves disease memperlihatkan gambaran ekogenitas yang rendah
pada tiroid.13

Gambar 3.2 heterogen dan hypoechogenicity yang difus, dengan gambaran


balok fibrotik di longitudinal axis dari lobus kanan.13
34

Gambar 3.3 Hipervaskularisasi pada parenkim.14

Pencitraan aliran warna menunjukkan peningkatan aliran darah ke


seluruh parenkim, seperti yang terlihat pada gambar di atas, yang dimana pada
auskultasi dapat didengarkan sebagai bruit. Peningkatan difus dari vaskularisasi
parenkim, yang dikenal sebagai "tiroid inferno ” dalam warna Doppler khas untuk
Graves disease.13

Gambar 3.4 Thyroid inferno.13

Subakut granulomatous tiroiditis (de Quervain’s disease)


35

De quervain’s disease adalah bentuk tiroiditis subakut yang biasanya


didahului oleh infeksi virus saluran pernafasan atas seperti virus mumps, measles,
coxsackie, adenovirus, dan influenza. Pada ultrasonografi paling sering
memberikan gambaran daerah yang kurang jelas dari penurunan echogenisitas
dengan tidak adanya vaskularisasi atau vaskularisasi yang menurun di daerah
yang terkena. Kelainan dapat bilateral ataupun unilateral. Ukuran kelenjar tiroid
sebagian besar normal tetapi kadang-kadang dapat membesar atau bahkan lebih
kecil dari normal.15

Gambar 3.5 Ultrasound pada lobus kanan tiroid menunjukkan daerah tidak
beraturan yang tidak jelas dari hypoechogenicity heterogen tanpa
peningkatan aliran pada pemeriksaan warna Doppler.15

Tiroiditis Hashimoto
Tiroiditis Hashimoto adalah penyakit autoimun yang pertama kali
dijelaskan oleh Hakaru Hashimoto pada tahun 1912. Antibodi terhadap thyroid
peroxidase yaitu antithyroid peroxidase antibody (anti-TPO) dan atau
antithyroglobulin (anti-Tg) menyebabkan destruksi secara bertahap folikel di
kelenjar tiroid. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan mengukur
antibodi tersebut di dalam darah. Namun, sebagian kecil pasien mungkin tidak
memperlihatkan adanya antibodi tersebut di dalam darah. Beberapa persen
populasi juga dapat memiliki antibodi ini tanpa menderita tiroiditis Hashimoto.
Oleh karena itu, sangat membantu untuk menegakkan diagnosis tiroiditis
36

Hashimoto dengan gambar yang khas dalam ultrasonografi. Penyakit ini terjadi
jauh lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria (10-20: 1), dan paling
umum antara 45 dan 65 tahun. Penyakit ini juga diyakini sebagai penyebab paling
umum hipotiroidisme primer.16
Sulit untuk secara sonografi membedakan tiroiditis Hashimoto dari
patologi tiroid lainnya. Fitur ultrasound dapat bervariasi tergantung pada tingkat
keparahan dan fase penyakit. Kelenjar tiroid yang membesar secara difus dengan
echotexture heterogen adalah presentasi sonografi yang umum ditemukan. Namun
kelenjar tiroid yang kecil dan atrofi didapatkan pada tahap lanjut dari penyakit.16,17
Jika tiroiditis Hashimoto didiagnosis pada tahap awal, tiroid didapatkan
ukurannya normal dan area hypoechoic terjadi dalam pola difus seperti yang telah
disebutkan sebelumnya. Namun dalam fase hipertiroid dari tiroiditis Hashimoto
(hashitoxicosis), diperlukan untuk membedakan gambaran dari fase ini dengan
gambaran pada Graves disease. Diferensial diagnosis ultrasound antara
hashitoxicosis dan Graves disease didasarkan pada tingkat vaskularisasi, dimana
Graves disease ditandai dengan peningkatan vaskularisasi dalam warna Doppler
(thyroid inferno). Sedangkan pada tiroiditis Hashimoto, bahkan pada awal tahap
hipertiroidisme menunjukkan vaskularisasi yang normal atau hanya sedikit
meningkat. Ultrasound warna Doppler juga biasanya dapat menunjukkan aliran
darah yang menurun, tetapi terkadang dapat pula ditemukan hipervaskularisasi
mirip dengan thyroid inferno. Kriteria untuk diagnosis banding pada temuan USG
antara hashitoxicosis dan penyakit Graves diringkas tabel dibawah.16,17

Tabel 3.1 Perbedaan Graves disease dan tiroiditis Hashimoto15


37

Adanya mikronodul hypoechoic (ukuran 1-6 mm) dengan septa echogenic


di sekitarnya juga dianggap memiliki nilai prediktif positif yang relatif tinggi
untuk tiroiditis Hashimoto, dan diduga kuat merupakan tiroiditis kronis.
Gambaran ini dapat dideskripsikan sebagai pola pseudonodular atau giraffe
pattern atau septa echogenic fibrosa yang halus memberikan gambaran
pseudolobular appearance.16
Dapat ditemukan adanya nodul servikal reaktif yang prominen, terutama di
level VI, namun dengan ciri morfologis normal. 16
Pasien memiliki risiko tinggi untuk karsinoma tiroid papiler, sehingga
adanya nodul yang diskret harus dipertimbangkan untuk dilakukan biopsi.
Terkadang ditemukan adanya nodul yang besar yang dapat disebut sebagai
nodular tiroiditis Hashimoto.16,17

Gambar 3.6 Tiroiditis Hashimoto pada lobus kanan dengan tidak adanya
peningkatan vaskularisasi yang tervisualisi.16
38

Kelenjar tiroid hypoechoic micronodular atau echotexture yang kasar


dari kelenjar, warna Doppler menunjukkan penambahan vaskularisasi
dari kelenjar.14

Tabel 3.2 perbanding temuan sonografi pada tiroid normal, tiroiditis dan
graves disease.13
39

BAB IV
KESIMPULAN

Penyakit Graves (goiter diffusa toksik) yang merupakan penyebab tersering


hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai
predisposisi genetik yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita
dibanding pria, terutama pada usia 20 - 40 tahun.1-3
Gambaran klinik klasik dari penyakit graves adalah hipertiroidisme, goiter
difus dan eksoftalmus. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan
percepatan proses pematangan tulang. Pada penderita usia tua (>60 tahun),
manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi
kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea d’effort,
tremor, gugup dan penurunan berat badan.5
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH.
Bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya
ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan, yang paling sering
digunakan adalah USG warna Doppler yang cost effective dan membantu dalam
diagnostik dan terapi Graves disease. Gambaran yang dapat dibedakan dari
Graves disease dengan penyakit tiroid lainnya adalah adanya hipervaskularisasi
yang dikenal dengan thyroid inferno. Walaupun gambaran ini dapat ditemukan
pada penyakit autoimun tiroid lain yaitu tiroiditis Hashimoto, namun tiroiditis
Hashimoto biasanya menunjukan vaskularisasi yang normal, menurun ataupun
sedikit meningkat. Thyroid inferno tidak didapatkan pada diferensial diagnosis
lainnya yaitu tiroiditis subakut granulomatosa (de Quervain’s tiroiditis), yang
dimana pada USG warna Doppler menunjukkan penurunan vaskularisasi atau
bahkan tidak adanya vaskularisasi.13-17
Pembesaran volume kelenjar tiroid terjadi pada Graves disease, tiroiditis
Hashimoto dan de Quervain’s tiroiditis. Namun, pada tiroiditis Hashimoto
kelenjar tiroid dapat menunjukkan ukuran yang kecil karena atrofi pada tahap
lanjut penyakit dan pada de Quervainne’s tiroiditis dapat pula menunjukkan
40

ukuran kelenjar tiroid yang lebih kecil dari normal. Temuan yang khas pada
tiroiditis Hashimoto adalah didapatkan adanya mikronodul hypoechoic (ukuran 1-
6 mm) dengan septa echogenic yang menandakan keadaan kronis dari penyakit.
Ekogenitas yang hypoechoic sama-sama ditemukan pada Graves disease, tiroiditis
hashimoto dan de Quervainne’s tiroiditis. 13-17

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 2013.
2. Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment
Pengelolaan Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2014: hal 1 – 5
3. Shahab A, 2013, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi
Juli 2013, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 – 18
41

4. Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa
Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 2005: hal 1049 – 1058, 1070 – 1080
5. Weetman P. A., Grave’s Disease. The New England Journal of Medicine.
Massachusetts Medical Society. 2015.
6. Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2009: hal 263 – 265
7. Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi
3, EGC, Jakarta, 2010: hal 606 – 630
8. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof. Dr.Ahmad
H. Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2014: hal 2144 – 2151
9. Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik
Edisi 1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-
281
10. Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 4, Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 2016 : hal 594 – 598
11. Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 2014: hal 725 – 778
12. Ankle, S. K. 2018. https://emedicine.medscape.com/article/127491-overview
(diakses 24 Mei 2018)
13. Dos Santos, T.A.R.R., Pina, R.O.G., de Souza, M.T.P. and Chammas, M.C.
(2014) Graves’ Disease Thyroid Color-Flow Doppler Ultrasonography
Assessment: Review Article. Health, 6, 1487-1496
14. Bell, D.J. 2018. Graves disease. https://radiopaedia.org/cases/graves-disease
(diakses 24 Mei 2018)
15. Sharma, R. 2018. De Quervain thyroiditis. Tersedia di
https://radiopaedia.org/articles/de-quervain-thyroiditis (diakses 24 Mei
2018)
16. Harsch, I. A. 2012. Hashitoxicosis – Three Cases and a Review of the
Literature
17. Parkkunam, J. 2015. Role of Ultrasound in Thyroid Disorders

Anda mungkin juga menyukai