GRAVES DISEASE
Pembimbing:
dr. Nunik Royyani, Sp. Rad
Disusun Oleh:
Friska Lestari 112170033
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Graves disease”.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Nunik Royyani, Sp.Rad
atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan di dalamnya.
Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di
kemudian hari.
Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang
turut membaca untuk memahami penyakit pankreatitis akut.
Penulis
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................3
BAB I.............................................................................................................................5
1.1 Latar Belakang.................................................................................................6
1.2 Tujuan..............................................................................................................8
BAB II............................................................................................................................9
2.1 Anatomi dan Fisiologi tiroid...........................................................................7
2.2 Graves disease.................................................................................................8
2.2.1 Definisi............................................................................................................8
2.2.2 Etiologi............................................................................................................8
2.2.3 Patogenesis....................................................................................................14
2.2.3 Manifestasi Klinis.........................................................................................16
2.2.4 Pemeriksaan penunjang.................................................................................19
2.2.5 Komplikasi....................................................................................................23
2.2.6 Tatalaksana....................................................................................................24
BAB III.........................................................................................................................25
BAB IV........................................................................................................................42
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
5
BAB II
6
TINJAUAN PUSTAKA
tidak saling selalu tergantung satu sama lain. Untuk maksud tersebut,
penggunaan FT4 dan TSH-sensitif memadai.
2) Pemeriksaan radioaktif yodium uptake leher,
pemeriksaan 24 jam akan menunjukkan nilai lebih tinggi dari normal,
lebih-lebih di daerah dengan defisiensi yodium. Kini karena
pemeriksaan T4, FT4 dan TSH-s mudah dan dijalankan dimana-mana
maka RAIU jarang digunakan. Pemeriksaan ini dianjurkan pada :
kasus dengan dugaan toksik namun tanpa gejala khas (timbul dalam
jangka pendek, gondok kecil, tanpa oftalmopati, tanpa riwayat
keluarga, dan test antibodi negatif). Dengan uji tangkap tiroid, dapat
dibedakan etiologi tirotoksikosis apakah morbus graves atau sebab lain
3) Sidik tiroid
Jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba
atau teraba nodul yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom
marine-lenhardt ditemukan waktu melakukan sidik tiroid, yang
ditandai dengan satu atau lebih nodul (cold nodul) atas dasar kelenjar
toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada gondok non
toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk
menyingkirkan kemungkinan keganasan. Graves selalu dengan gondok
hyperthyroid diffuse, mengenai 2 lobus tiroid, TRAb dan TPOAb
4) Pemeriksaan terhadap antibodi.
Pada tiroiditis, prevalensi Ab anti Tg lebih tinggi. Titer akan
menurun dengan pengobatan OAT dan menetap selama remisi, namun
meningkat sesudah pengobatan RAI. Anti TPOAb diperiksa untuk
menggantikan anti-Tg-Ab, sebab hampir semua anti Tg-Ab positif juga
positif untuk anti TPO-Ab, tetapi tidak sebaliknya.
5) Ultrasonografi
22
C. Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang
berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus
terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain:
1) Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.
2) Terapi yodium radioaktif.
3) Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak
diobati secara adekuat.
4) Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma,
infeksi akut, alergi obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda
hipermetabolisme berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi:
a. Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai
41°C disertai dengan flushing dan hiperhidrosis.
b. Takhikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.
c. Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai
koma.
d. Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari
simpanan hormon tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum penderita
dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada
penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid.4
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat
peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi
terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor
terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif
terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi.4
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2%
dari seluruh kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu
terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian
intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan
preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung
24
kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir
rendah serta peningkatan angka kematian perinatal.4
2.2.6 Penatalaksanaan Graves Disease
Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom
penyakit Graves adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya
terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat
ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat
penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium
Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain
berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan
obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang
menyertainya (Subekti, 2001; Shahab, 2002).
1. Obat-obatan
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan
imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan
imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat
golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya
sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.
Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi
biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat
oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin,
mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis
tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah
menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU,
tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi
T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang
memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan
kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon
lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis
tunggal.
25
lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat
sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan
dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif..
Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,
dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian
terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik,
Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut.
Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum
memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk
leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-
bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping,
penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali
fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan
yang lain seperti radioiodine 131I atau operasi. Bila timbul efek
samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan
obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat
penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan
kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan
sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna
menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan
sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan
eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil
yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian
evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang
menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati
dengan Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
27
anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh
dengan OAT.12
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat
jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah
terjadi karena massa yodium dalam dosis 131I yang diberikan sangat kecil,
hanya 1 mikrogram. Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu,
dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama menunggu efek yodium
radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan atau OAT. Respons
terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh
besarnya dosis 131I dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis
kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari.4
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif
adalah hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh
besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin
tinggi angka kejadian hipotiroidisme.5
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat
jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10%
dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya. Efek
samping lain yang perlu diwaspadai adalah:
1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya
antigen tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH),
dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian
I131
2. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya
sangat jarang terjadi)
3. Gastritis radiasi (jarang terjadi)
4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara
mendadak (leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk
mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT
terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi
jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau
selama 3 sampai 6 bulan pertama. Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi
31
BAB III
PEMBAHASAN
Gambar 3.5 Ultrasound pada lobus kanan tiroid menunjukkan daerah tidak
beraturan yang tidak jelas dari hypoechogenicity heterogen tanpa
peningkatan aliran pada pemeriksaan warna Doppler.15
Tiroiditis Hashimoto
Tiroiditis Hashimoto adalah penyakit autoimun yang pertama kali
dijelaskan oleh Hakaru Hashimoto pada tahun 1912. Antibodi terhadap thyroid
peroxidase yaitu antithyroid peroxidase antibody (anti-TPO) dan atau
antithyroglobulin (anti-Tg) menyebabkan destruksi secara bertahap folikel di
kelenjar tiroid. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan mengukur
antibodi tersebut di dalam darah. Namun, sebagian kecil pasien mungkin tidak
memperlihatkan adanya antibodi tersebut di dalam darah. Beberapa persen
populasi juga dapat memiliki antibodi ini tanpa menderita tiroiditis Hashimoto.
Oleh karena itu, sangat membantu untuk menegakkan diagnosis tiroiditis
36
Hashimoto dengan gambar yang khas dalam ultrasonografi. Penyakit ini terjadi
jauh lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria (10-20: 1), dan paling
umum antara 45 dan 65 tahun. Penyakit ini juga diyakini sebagai penyebab paling
umum hipotiroidisme primer.16
Sulit untuk secara sonografi membedakan tiroiditis Hashimoto dari
patologi tiroid lainnya. Fitur ultrasound dapat bervariasi tergantung pada tingkat
keparahan dan fase penyakit. Kelenjar tiroid yang membesar secara difus dengan
echotexture heterogen adalah presentasi sonografi yang umum ditemukan. Namun
kelenjar tiroid yang kecil dan atrofi didapatkan pada tahap lanjut dari penyakit.16,17
Jika tiroiditis Hashimoto didiagnosis pada tahap awal, tiroid didapatkan
ukurannya normal dan area hypoechoic terjadi dalam pola difus seperti yang telah
disebutkan sebelumnya. Namun dalam fase hipertiroid dari tiroiditis Hashimoto
(hashitoxicosis), diperlukan untuk membedakan gambaran dari fase ini dengan
gambaran pada Graves disease. Diferensial diagnosis ultrasound antara
hashitoxicosis dan Graves disease didasarkan pada tingkat vaskularisasi, dimana
Graves disease ditandai dengan peningkatan vaskularisasi dalam warna Doppler
(thyroid inferno). Sedangkan pada tiroiditis Hashimoto, bahkan pada awal tahap
hipertiroidisme menunjukkan vaskularisasi yang normal atau hanya sedikit
meningkat. Ultrasound warna Doppler juga biasanya dapat menunjukkan aliran
darah yang menurun, tetapi terkadang dapat pula ditemukan hipervaskularisasi
mirip dengan thyroid inferno. Kriteria untuk diagnosis banding pada temuan USG
antara hashitoxicosis dan penyakit Graves diringkas tabel dibawah.16,17
Gambar 3.6 Tiroiditis Hashimoto pada lobus kanan dengan tidak adanya
peningkatan vaskularisasi yang tervisualisi.16
38
Tabel 3.2 perbanding temuan sonografi pada tiroid normal, tiroiditis dan
graves disease.13
39
BAB IV
KESIMPULAN
ukuran kelenjar tiroid yang lebih kecil dari normal. Temuan yang khas pada
tiroiditis Hashimoto adalah didapatkan adanya mikronodul hypoechoic (ukuran 1-
6 mm) dengan septa echogenic yang menandakan keadaan kronis dari penyakit.
Ekogenitas yang hypoechoic sama-sama ditemukan pada Graves disease, tiroiditis
hashimoto dan de Quervainne’s tiroiditis. 13-17
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 2013.
2. Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment
Pengelolaan Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2014: hal 1 – 5
3. Shahab A, 2013, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi
Juli 2013, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 – 18
41
4. Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa
Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 2005: hal 1049 – 1058, 1070 – 1080
5. Weetman P. A., Grave’s Disease. The New England Journal of Medicine.
Massachusetts Medical Society. 2015.
6. Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2009: hal 263 – 265
7. Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi
3, EGC, Jakarta, 2010: hal 606 – 630
8. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof. Dr.Ahmad
H. Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2014: hal 2144 – 2151
9. Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik
Edisi 1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-
281
10. Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 4, Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 2016 : hal 594 – 598
11. Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 2014: hal 725 – 778
12. Ankle, S. K. 2018. https://emedicine.medscape.com/article/127491-overview
(diakses 24 Mei 2018)
13. Dos Santos, T.A.R.R., Pina, R.O.G., de Souza, M.T.P. and Chammas, M.C.
(2014) Graves’ Disease Thyroid Color-Flow Doppler Ultrasonography
Assessment: Review Article. Health, 6, 1487-1496
14. Bell, D.J. 2018. Graves disease. https://radiopaedia.org/cases/graves-disease
(diakses 24 Mei 2018)
15. Sharma, R. 2018. De Quervain thyroiditis. Tersedia di
https://radiopaedia.org/articles/de-quervain-thyroiditis (diakses 24 Mei
2018)
16. Harsch, I. A. 2012. Hashitoxicosis – Three Cases and a Review of the
Literature
17. Parkkunam, J. 2015. Role of Ultrasound in Thyroid Disorders