Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

STRUMA

PEMBIMBING :
dr. Bayu Hendratmoko, Sp.B

DISUSUN OLEH:
Medyauli Trianardi
1765050305

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


PERIODE 10 DESEMBER 2018 – 23 FEBRUARI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat

dengan judul “ Struma “ sebagai pemenuhan salah satu syarat di Kepaniteraan Klinik

Ilmu Bedah.

Berbagai kendala yang telah penulis hadapi sehingga dapat terselesaikannya

referat ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Atas bantuan yang

telah diberikan, baik waktu, moril maupun materil maka selanjutnya ucapan terimakasih

penulis sampaikan kepada dr. Bayu Hendratmoko, Sp.B selaku dosen pembimbing yang

telah banyak memberikan bimbingan, serta masukan kepada penulis di dalam

menyelesaikan referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini tidak luput

dari kesalahan dan kekurangan baik dari segi materi maupun bahasa yang disajikan.

Untuk itu penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang tidak

disenagaja. Semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan prmbaca

pada umumnya dalam memberikan sumbang piker dan perkembangan ilmu pengetahuan

kedokteran, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna

memperoleh hasil yang lebih baik di dalam penyempurnaan referat ini dari penulisan

sampai dengan isi dan pembahasannya.

Jakarta, Januari 2019


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................................
i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................................
1

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................................
2

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................................


2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................................


3

2.1 Anatomi Kelenjar tiroid...........................................................................................................................

2.2 Fisiologi Hormon Tiroid..........................................................................................................................

2.3 Definisi ...................................................................................................................................................

2.4 Patofisiologi.............................................................................................................................................

2.5 Klasifikasi................................................................................................................................................

2.5.1 Struma Difusa Toksik...........................................................................................................................

2.5.2 Struma Nodosa Toksik..........................................................................................................................

2.5.3 Struma Difusa Nontoksik......................................................................................................................

2.5.4 Struma Nodosa Nontoksik....................................................................................................................

2.5.5 Karsinoma Tiroid..................................................................................................................................

2.6 Diagnosis.................................................................................................................................................

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................................

3.1 Kesimpulan..............................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................................

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Struma atau goiter atau gondok merupakan suatu keadaan pembesaran kelenjar
tiroid yang dapat disebabkan oleh banyak penyebab. Struma merupakan suatu penyakit
yang sering dijumpai sehari-hari, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti,
struma dengan atau tanpa kelainan fungsi metabolisme dapat didiagnosis secara tepat.1

Survey epidemiologi untuk struma endemik sering ditemukan di daerah


pegunungan seperti pegunungan Alpen, Himalaya, Bukit Barisan dan daerah pegunungan
lainnya. Untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering pada wanita dibanding
pria. Pada wanita ditemukan 20-27 kasus dari 1.000 wanita, sedangkan pria 1-5 dari
1.000 pria.
Penyakit kelenjar endokrin mempunyai bentuk yang terbatas. Kelenjar endokrin
dapat menghasilkan hormon secara berlebihan, umpamanya pada penyakit Graves, yaitu
hiperfungsi kelenjar tiroid atau menghasilkan terlalu sedikit hormon, misalnya pada
miksudem akibat hipofungsi kelenjar tersebut. Kelainan grandula thyroidea dapat berupa
gangguan fungsi seperti tirotoksikosis atau perubahan susunan kelenjar dan
morfologinya, seperti penyakit tiroid nodular. Berdasarkan patologinya, pembesaran
tiroid umumnya disebut struma.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah
besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga
sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada
permukaan belakang kelenjar tyroid.

Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin
trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea
sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah
kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di
leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak.

Kelenjar tiroid mempunyai berat sekitar 25 – 30 gram dan terletak antara tiroidea
dan cincin trakea keenam. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh suatu lapisan yang
disebut true capsule.

3
Gambar : Anatomi Kelenjar Tiroid

Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a.


Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel lymfoid
diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya
berasal dari pleksus perifolikular.

Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis


yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis
dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang
langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran
keganasan.

Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak di dorsal
tiroid sebelum masuk ke laring.

4
Gambar :

2.2 Fisiologi Hormon Tiroid

Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang mensekresikan hormon Tiroksin
atau T4, triiodotironin atau T3 dan kalsitonin. Di dalam darah sebagian besar T3 dan T4 terikat
oleh protein plasma yaitu albumin, Thyroxin Binding Pre Albumin (TBPA) dan Thyroxin Binding
Globulin (TGB). Sebagian kecil T3 dan T4 bebas beredar dalam darah dan berperan dalam
mengatur sekresi TSH. Hormon tiroid dikendalikan oleh thyroid-stimulating hormone (TSH)
yang dihasilkan lobus anterior glandula hypofise dan pelepasannya dipengaruhi oleh
thyrotropine-releasing hormone ( TRH ). Kelenjar thyroid juga mengeluarkan calcitonin dari
parafolicular cell, yang dapat menurunkan kalsium serum berpengaruh pada tulang.

Fungsi hormon tiroid antara lain :

1) meningkatkan kecepatan metabolisme

2) efek kardiogenik

3) simpatogenik

4) pertumbuhan dan sistem saraf

5
Gambar : Sintesis dan Sekresi
Hormon Tiroid

2.3 Definisi

Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya dianggap


membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran kelenjar tiroid
sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar sekali dan mengadakan penekanan pada
trakea, membuat dilatasi sistem vena serta pembentukan vena kolateral. Pembesaran
kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek fisiologisnya, klinis, dan
perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi menjadi :
1) Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi

a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus,


seperti yang ditemukan pada Grave’s disease.

b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah


satu lobus, seperti yang ditemukan pada Plummer’s disease.

6
2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada
tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi

a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter

b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid

Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :

1) Hiperplasia dan Hipertrofi

Setiap organ apabila dipicu untuk bekerja akan mengalami kompensasi


dengan cara memperbesar dan memperbanyak jumlah selnya. Demikian
juga dengan kelenjar tiroid pada saat pertumnuhan akan dipacu untuk
bekerja memproduksi hormon tiroksin sehingga lama kelamaan akan
membesar, misalnya saat pubertas dan kehamilan.

2) Inflamasi atau Infeksi

Proses peradangan pada kelenjar tiroid seperti pada tiroiditis akut,


tiroiditis subakut (de Quervain) dan tiroiditis kronis (Hashimoto)

3) Neoplasma

Jinak dan ganas

Struma menimbulkan gejala klinis dikarenakan oleh perubahan kadar hormon


tiroid di dalam darah. Kelenjar tiroid dapat menghasilkan hormon tiroid dalam kadar
berlebih atau biasa disebut hipertiroid maupun dalam kadar kurang dari normal atau biasa
disebut hipotiroid. Gejala yang timbul pada hipertiroid adalah :

 Peningkatan nafsu makan dan penurunan berat badan

 Tidak tahan panas dan hiperhidrosis

 Palpitasi, sistolik yang tinggi dan diastolik yang rendah sehingga


menghasilkan tekanan nadi yang tinggi (pulsus celler) dan dalam jangka
panjang dapat menjadi fibrilasi atrium

7
 Tremor

 Diare

 Infertilitas, amenorrhae pada wanita dan atrofi testis pada pria

 Exophtalmus

Gejala yang timbul pada hipotiroid adalah kebalikan dari hipertiroid :

 Nafsu makan menurun dan berat badan bertambah

 Tidak tahan dingin dan kulit kering bersisik

 Bradikardi, tekanan sistolik yang rendah dan tekanan nadi yang lemah

 Gerak tubuh menjadi lamban dan edema pada wajah, kelopak mata dan
tungkai.

2.4 Patofisiologi

Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan dalam
struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH,
TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan
menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel
maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa.

Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan


peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan
hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus
menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error
sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen.

Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang
termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang

8
resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan
tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin.

2.5 Klasifikasi Struma

3.1 Struma Difusa Toksik

3.1.1 Definisi

Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Grave’s Disease. Penyakit ini juga biasa
disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus, hipertiroidi dan
eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda dengan gejala seperti
berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi terhafap panas, penurunan
berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi berupa amenorrhea, dan
polidefekasi ( sering buang air besar ). Klinis sering ditemukan adanya pembesaran
kelenjar tiroid, kadang terdapat juga manifestasi pada mata berupa exophthalmus dan
miopatia ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak diketahui pasti,
tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap reseptor TSH, yang
menimbulkan stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit ini juga ditandai
dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.

9
3.1.2 Patofisiologi

Grave’s Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan system
imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai Thyroid Receptor
Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara
berlebiham, sehingga TSH tidak dapat menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid
dalam tubuh menjadi meningkat.

3.1.3 Gejala Klinis

Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan


metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat jelas.
Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan seringkali
asupan (intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi penurunan berat
badan secara drastis.

Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk


peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/ cardiac
output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat. Irama nadi
meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus celer; penderita akan
mengalami takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan saraf autonom
dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan
fibrilasi ventrikel. Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga
sering timbul polidefekasi dan diare.

10
Gambar : penderita penyakit Graves
Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita sulit
tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi,
kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat
menggangu.

Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea yang


tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal, biasanya
cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan
elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroidi tersebut.

Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia.


Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap reseptor
pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat dan jaringan
lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot mata
terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata
akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.

Gambar : Skema patogenesis


penyakit Graves

11
3.1.4 Tatalaksana

Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/


hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol.
Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan
yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi
dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid
besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen
meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

3.2 Struma Nodosa Toksik

3.2.1 Definisi

Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus yang
disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia dewasa muda
sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik.
Pertama kali dibedakan dari penyakit Grave’s oleh Plummer, maka disebut juga Plummer’s
disease.

3.2.2 Patofisiologi

Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar tiroid yang
tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera diobati, dalam 15-20 tahun
dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dari nontoksik
menjadi toksik antara lain adalah nodul tersebut berubah menjadi otonom sendiri (berhubungan
dengan penyakit autoimun), pemberian hormon tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif
sebagai pengobatan.

3.2.3 Gejala Klinis

12
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Grave’s disease dengan Plummer’s
disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang membedakan adalah saat
pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat merasakan pembesaran yang hanya terjadi
pada salah satu lobus.

3.2.4 Tatalaksana

Terapi yang diberikan pada Plummer’s Disease juga sama dengan Grave’s yaitu
ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian
antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih
antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau
tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika
pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang
baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai
terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

3.3 Struma Difusa Nontoksik

3.3.1 Definisi

Struma difusa nontoksik atau struma endemik adalah penyakit yang ditandai
dengan pembesaran kelenjar tiroid yang terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan
berhubungan dengan defisiensi diet dalam harian. Epidemologi Endemik goiter
diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada populasi anak sekolah dasar/preadolescent
(6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa penelitian. Goiter endemik terjadi karena
defisiensi yodium dalam diet. Kejadian goiter endemik sering terjadi di derah pegnungan,
seperti di himalaya, alpens, daerah dengan ketersediaan yodium alam dan cakupan
pemberian yodium tambahan belum terlaksana dengan baik

3.3.2 Patofisiologi

Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya


defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan oleh kelainan
sintesis hormon tiroid kongenital ataupun goitrogen (agen penyebab goiter

13
seperti intake kalsium berlebihan maupun sayuran familiBrassica). Kurangnya iodin
menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis. Hal ini akan memicu
peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating hormone) ke dalam darah sebagai efek
kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi dari
sel folikuler tiroid, sehingga terjadi pembesaran tiroid secara makroskopik. Pembesaran
ini dapat menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik tersebut
kebutuhan hormon tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti defisiensi
iodin endemik, pembesaran ini tidak akan dapat mengompensasi penyakit yang ada.
Kondisi itulah yang dikenal dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid
mengikuti level dan durasi defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.
Goiter Difus
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang
tampak tanpa membentuk nodul. Benttuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik
(fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel. Dapat juga
disebut sebagai goiter koloid karena sel folikel yang membesar tesebut umumnya
dipenuhi oleh koloid. Kelainan ini muncul pada goiter endemik dan sporadik.
Goiter endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya
mengandung sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di daerah
teresebut. Contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes atau Himalaya.
Sementara itu, goiter sporadik muncul lebih jarang dan dapat disebabkan oleh
berbagai hal, yaitu konsumsi bahan yang menghambat sintesis hormon tiroid atau
gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang turun secara herediter.
Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan involusi koloid.
Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris, walaupun
pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150 gram). Folikel-folikelnya dilapisi
oleh sel kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di
keseluruhan kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau kebutuhan
tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel sehingga terbentuk
folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara makroskopik tiroid akan
terlihat coklat dan translusen, sementara secara histologis akan terlihat bahwa folikel
dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya gepeng dan kuboid.

14
3.3.3 Gejala Klinis

Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran kelenjar tiroid.


Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan eutiroid, namun sebagian lagi mengalami
keadaaan hipotiroid. Hipotiroidisme lebih sering terjadi pada anak-anak dengan defek biosintetik
sebagai penyebabnya, termasuk defek pada transfer yodium.

3.3.4 Tatalaksana

Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan struma dan mengatasi
hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian SoL Lugoli selama 4-6 bulan. Bila ada
perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai tahun dan kemudian tapering off dalam 4 minggu.
Bila 6 bulan sesudah pengobatan struma tidak juga mengecil maka pengobatan medikamentosa
tidak berhasil dan harus dilakukan tindakan operatif.

3.4 Struma Nodosa Nontoksik

3.4.1 Definisi

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik
teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme . Istilah struma
nodosa menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan
pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada tubuh,
maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa nontoksik. Kelainan ini sangat
sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.

3.4.2 Patofisiologi

SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis terjadi 10%
populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis terjadi pada seseorang yang

15
tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang belum
diketahui dengan jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis hormon tiroid
atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium, propiltiourasil, fenilbutazone, atau
aminoglutatimid.

3.4.3 Gejala Klinis

Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah tidak adanya
gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada palpasi
dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai
membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala
kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup
dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodusa tidak mengganggu
pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan
trakea bila pembesarannya bilateral. Struma nodusa unilateral dapat menyebabkan
pendorongan sampai jauh kea rah kontra lateral. Pendorongan yang berarti menyebabkan
gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dyspnea dengan stridor inspiratoar. Keluhan
yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup laring dan
epidlotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea.

3.4.4 Tatalaksana

Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-macam


teknik operasinya antara lain :

a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan
seberat 3 gram

b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus

c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid

16
d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan dan
sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk
mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus.

3.5 Karsinoma Tiroid

3.5.1 Definisi

Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari sel) yang
terjadi pada kelenjar tiroid. Kanker tiroid adalah sutu keganasan pada tiroid yang memiliki 4 tipe
yaitu: papiler, folikuler, anaplastik dan meduller. Kanker tiroid jarang menyebabkan pembesaran
kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul) dalam kelenjar. Sebagian besar
nodul tiroid bersifat jinak, biasanya kanker tiroid bisa disembuhkan
Kanker tiroid sering kali membatasi kemampuan menyerap yodium dan membatasi
kemampuan menghasilkan hormon tiroid, tetapi kadang menghasilkan cukup banyak hormon
tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme.

3.5.2 Klasifikasi karsinoma tiroid


1. Karsinoma papiler
Karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan merupakan jenis paling umum dari karsinoma tiroid.
Lebih sering terdapat pada anak dan dewasa muda dan lebih banyak pada wanita. Terkena radiasi
semasa kanak ikut menjadi sebab keganasan ini. Pertama kali muncul berupa benjolan teraba
pada kelenjar tiroid atau sebagai pembesaran kelenjar limfe didaerah leher. Metastasis dapat
terjadi melalui limfe ke daerah lain pada tiroid atau, pada beberapa kasus, ke paru.
2. Karsinoma folikuler
Karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan merupakan 20-25 % dari karsinoma
tiroid. Karsinoma folikuler terutama menyerang pada usia di atas 40 tahun.Karsinoma
folikuler juga menyerang wanita 2 sampai 3 kali lebih sering daripada pria. Pemaparan terhadap
sinar X semasa kanak-kanak meningkatkan resiko jenis keganasan ini. Jenis ini lebih infasif
daripada jenis papiler.
3. Karsinoma anaplastik
Karsinoma ini sangat ganas dan merupakan 10% dari kanker tiroid. Sedikit lebih sering pada
wanita daripada pria. Metastasis terjadi secara cepat, mula-mula disekitarnya dan kemudian
keseluruh bagian tubuh. Pada mulanya orang yang hanya mengeluh tentang adanya tumor

17
didaerah tiroid. Dengan menyusupnya kanker ini disekitar, timbul suara serak, stridor, dan sukar
menelan. Harapan hidup setelah ditegakkan diagnosis, biasanya hanya beberapa bulan.
4. Karsinoma parafolikular
Karsinoma parafolikular atau meduller adalah unik diantara kanker tiroid. Karsinoma ini
umumnya lebih banyak pada wanita daripada pria dan paling sering di atas 50 tahun. Karsinoma
ini dengan cepat bermetastasis, sering ketempat jauh seperti paru, tulang, dan hati. Ciri khasnya
adalah kemampuannya mensekresi kalsitonin karena asalnya. Karsinoma ini sering dikatakan
herediter.

3.5.3 Perbedaan Nodul Tiroid Jinak dan Ganas

Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul tiroid
jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik :

1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan sukar
digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan kemudian
menjadi lunak.

2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul yang
mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia adenomatosa yang sudah
berlangsung lama.

3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupaka tanda keganasan, walaupun nodul ganas
tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis, dan enoftalmus
merupakan tanda infiltrasi ke jaringan sekitar

4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas.

5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas terutama yang
tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif

6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional
atau perubahan suara menjadi serak.

7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleidomastoideus
karena desakan pembesaran nodul (Berry’s Sign)

2.6 Penegakkan Diagnosis Struma

18
2.6.1 Anamnesis

Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa benjolan di leher
yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau hipotiroidnya. Jika pasien
mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi
sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan menelan, gangguan bernafas dan
perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari
kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk
mengetahui apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang
dengan keluhan ke arah gejala-gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauh
ke arah hiper atau hipo dan ada tidaknya benjolan di leher.

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling pertama
dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-tanda
gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.

Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut benar adalah
kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien diminta untuk
menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak saat menelan, sementara
jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening
leher. Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan :

 Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, ismus

 Ukuran: dalam sentimeter, diameter, Panjang

 Jumlah nodul: satu (nodusa), atau lebih dari satu (multinodusa)

 Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras

 Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi

 Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus sternokleidomastoidea

 Kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada pembesaran atau tidak

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

19
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit tiroid
terbagi atas :

1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk mengetahui kadar


T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA)
dan ELISA dalam serum atau plasma darah. Kadar normal T4 total pada orang
dewasa adalah 50-120 ng/dl. Kadar normal untuk T3 pada orang dewasa adalah
0,65-1,7 ng/dl.

2. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi terhadap


macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum penderita dengan
penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin dan thyroid stimulating
hormone antibody

3. Pemeriksaan radiologis

 Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau pembesaran


struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa
diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya menjadi pilihan.

 USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul,


membedakan antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya jaringan
kanker yang tidak menangkap iodium dan bisa dilihat dengan scanning
tiroid.

 Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131 yang


didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran, bentuk
lokasi dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid (distribusi dalam
kelenjar). Uptake normal 15-40% dalam 24 jam. Dari hasil scanning tiroid
dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu cold nodule bila uptake nihil atau kurang
dari normal dibandingkan dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan
fungsi yang rendah dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk yang kedua
adalah warm nodule bila uptakenya sama dengan sekitarnya, menunjukkan
fungsi yang nodul sama dengan bagian tiroid lain. Terakhir adalah hot

20
nodule bila uptake lebih dari normal, berarti aktifitasnya berlebih dan
jarang pada neoplasma.

4. FNAB.

Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan
sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.

2.7 Penatalaksanaan

2.7.1 Non Operatif

Indikasi Pemberian obat antitiroid:

 Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang menetap, pada
pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan tirotoksikosis.

 Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau sesudah
pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.

 Persiapan tiroidektomi

 Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia

 Pasien dengan krisis tiroid

2.7.2 Operatif

Indikasi operasi pada struma adalah :

1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa

21
2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan

3. Struma dengan gangguan kompresi

4. Kosmetik

Kontraindikasi pada operasi struma :

1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya

2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang


belum terkontrol

3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit


digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang
demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosisnya.
Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukanreseksi
trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher
yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.

Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah


nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut
suspek maligna, maka dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable.

Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi
insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan tindakan
debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek
maligna yang operable atau suspek benigna dapat dilakukan tindakan
isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil patologi anatomi membuktikan
bahwa lesi tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus
ditentukan terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.

Komplikasi pembedahan tiroid :

a. Perdarahan dari A. Tiroidea superior

22
b. Dispneu

c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto laring terjadi


kelemahan

d. Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara penderita menjadi


lenih lemah dan sukar mengontrol suara nada tinggi, karena terjadi
pemendekan pita suara oleh karena relaksasi M. Krikotiroid.
Kemungkinan nervus terligasi saat operasi

23
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kesimpulan

Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat penting untuk
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat untuk mengetahui ada
tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid dalam
tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang dapat diketahui secara dini.

Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk menentukan


diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. Dengan menegakkan diagnosis pasti maka kita dapat
mnentukkan tatalaksana yang tepat bagi struma yang dialami oleh pasie. Apakah memerlukan
tindakan pembedahan, atau cukup diberi pengobatan dalam jangka waktu tertentu.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Tallane S, Monoarfa A, Wowiling PA. Profil struma non toksik pada pasien di RSUP
Prof. Dr. RD Kandou Manado periode Juli 2014-Juni 2016. e-CliniC. 2016;4(2).

2. Widjosono, Garitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor Syamsuhidayat
R.Jong WB, Edisi , EGC, Jakarta, 2012 : 806-819.

3. Kariadi KS Sri Hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik & Hipertiroidisme :
Buku Ajar Ilmu Pneyakit Dalam, Edisi Keiga, Penerbit FKUI, Jakarta, 1996 : 757-
778.

4. Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat, Buku
Dua, EGC, Jakarta, 2002 : 1071-1078.

5. Liberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit
Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 :s 15-19.

25

Anda mungkin juga menyukai