Oleh:
Pembimbing:
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Referat:
Pembimbing,
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan
klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Periode 20 Januari 2020- 24 Februari 2020.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul ”Blow Out Fracture”.
Referat ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen
Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. A.K.Ansyori,Sp. M(K)M.Kes.MARS.Ph-
d selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini
dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
BAB I
4
PENDAHULUAN
5
klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis banding, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi
dan prognosis. Pemahaman yang lebih dalam diharapkan dapat membantu menegakkan
diagnosa blow-out fracture lebih awal dan memberikan penatalaksanaan yang tepat sehingga
prognosisnya baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
6
Blow-out fracture merupakan fraktur tulang dasar orbita yang disebabkan peningkatan
tiba-tiba dari tekanan intraorbital tanpa keterlibatan rima orbita. Blow-out fracture sebagian
besar terjadi pada dasar orbita dan sebagian kecil terjadi pada dinding medial dengan atau
tanpa disertai fraktur dasar orbita. Fraktur tulang dasar orbita yang disertai pergeseran ke atas
biasanya disertai juga dengan fraktur kraniofacial luas yang melibatkan rima orbita. Tipe ini
tidak sesuai dengan teori hidraulik dan buckling sehingga tidak termasuk blow-out fracture
murni22.
2.2. ANATOMI
Rongga orbita berbentuk seperti buah pear dengan volume + 30 ml pada orang dewasa.
Permukaan orbita memiliki tinggi + 35 mm dan lebar + 45 mm. Lebar maksimal orbita
terletak 1 cm dibelakang batas orbita anterior. Jarak antara permukaan orbita dengan apex
orbita pada orang dewasa bervariasi yaitu 40 – 45 mm2.
Dinding orbita dibentuk oleh tujuh tulang yaitu tulang frontal, sphenoid, maksila,
lakrimal, ethmoid, palatina dan zigomatik. Bagian superior / atap orbita dibentuk oleh tulang
frontal dan tulang sphenoid ala minor. Bagian medial dibentuk oleh tulang maksila, lakrimal,
ethmoid dan tulang sphenoid ala minor. Sebagian besar dinding medial dibentuk oleh tulang
ethmoid. Struktur tipis dari dinding medial (paper-thin structure) sesuai dengan namanya
yaitu lamina papyracea. Bagian lateral disusun oleh tulang zigomatik dan the greater wing
dari tulang sphenoid. Dinding lateral merupakan dinding yang paling tebal dan kuat. Dinding
inferior/dasar orbita disusun oleh tulang maksila, zigomatik dan palatina. Dasar orbita
merupakan atap dari sinus maksilaris2,7.
Terdapat enam otot ekstraokular yang berfungsi menggerakkan bola mata yaitu dua otot
oblik dan empat otot rektus. Masing-masing memiliki fungsi primer dan sekunder kecuali
otot rektus lateral dan medial yang hanya memiliki fungsi primer. Fungsi dari masing-masing
otot tersebut dapat dilihat pada tabel12,19.
7
Formanen optikum terletak pada apex rongga orbita yang dilalui oleh saraf optik, arteri
ophtalmika, vena ophtalmika dan saraf simpatis yang berasal dari pleksus karotid. Fisura
orbita superior di sudut orbita atas temporal dilalui oleh saraf lakrimal (N.V), saraf frontal
(N.V), saraf troklear (N.IV), saraf okulomotor (N.III), saraf nasosiliar (N.V), abdusen (N.VI),
arteri oftalmika dan vena oftalmika. Fisura orbita inferior terletak di dasar tengah temporal
orbita, dilalui oleh saraf dan arteri infra orbita. Fosa lakrimal terletak di sebelah temporal
atas12,19.
Nervus cranialis III mempersarafi musculus levator palpebra superior, musculus rektus
superior, musculus rektus inferior, musculus rektus medialis, musculus oblik inferior. Nervus
cranialis IV mempersarafi musculus oblik superior. Nervus cranialis VI mempersarafi
musculus rektus lateralis12,19.
Orbita terutama memperoleh darah arterial dari arteri ophtalmika, dibantu juga oleh
arteri infraorbitalis. Otot ekstraokuler mendapatkan perdarahan dari cabang arteri
ophthalmika. Muskulus rektus lateral dan oblik inferior juga mendapatkan perdarahan dari
cabang arteri lakrimal dan arteri infraorbital. Arteri sentralis retina menembus nervus optikus
dan melintas didalamnya untuk meninggalkannya di diskus nervus optikus. Cabang arteri
sentralis retina meluas pada permukaan dalam retina7,19.
Penyaluran darah balik dari orbita terjadi melalui vena opthalmika superior dan inferior
yang melintas melewati fissura orbitalis superior dan langsung memasuki sinus cavernosus.
Vena sentralis retina bermuara langsung dalam sinus cavernosus tetapi kadang-kadang
bersatu dengan salah satu vena ophthalmika19.
8
Gambar 2. A. Dinding lateral tulang orbita. B. Dinding medial tulang orbita2.
2.3. EPIDEMIOLOGI
Blow-out fracture sering terjadi pada orang dewasa terutama dewasa muda. Laki–laki
lebih sering terkena daripada perempuan. Blow-out fracture pada wanita dewasa sering
terjadi karena kekerasan. Blow-out fracture jarang terjadi pada anak-anak, dimana angka
kejadian fraktur daerah wajah pada anak - anak hanya sebesar 5% dari seluruh kasus (dewasa
dan anak-anak) dan 10% nya terjadi pada umur kurang dari 5 tahun. Anak laki–laki lebih
sering mengalami fraktur daerah wajah dengan ratio 1,5 : 1 (laki-laki : wanita), hal ini
disebabkan karena anak laki-laki lebih sering terlibat kekerasan dan kecelakaan olahraga4.
9
Berdasarkan statistik dari The Swedish Board of Health and Welfare, sekitar 110.000-
120.000 orang di swedia dirawat di rumah sakit tiap tahunnya karena trauma fisik, dimana
300 orang mengalami fraktur daerah wajah dan 10-15% mengalami trauma orbita. Sebuah
penelitian di Iran selama lebih dari lima tahun menyebutkan penyebab tersering dari trauma
orbita adalah kecelakaan lalu lintas (54%), terjatuh (20,3%), kekerasan (9,7%). Penelitian di
swedia juga mendukung kecelakaan lalu lintas sebagai penyebab utama trauma orbita,
sedangkan kejadian trauma orbita pada tentara Amerika sebagian besar terjadi karena
kekerasan. Di Amerika, blow-out fracture terjadi pada 4-16% fraktur wajah. Insidennya meningkat
hingga 30-55% jika disertai dengan zygomaticomaxillary complex fracture. Pada penelitian lain,
blow-out fracture didapatkan pada 9% kasus dari 400 penderita kecelakaan lalu lintas yang
mengalami fraktur pada wajah5,14.
2.4. ETIOLOGI
Blow-out fracture disebabkan oleh trauma tumpul tak langsung pada orbita yang
merupakan mekanisme proteksi untuk mengurangi tekanan intraorbita yang meningkat secara
tiba-tiba dengan dekompresi melalui bagian paling lemah dari dinding orbita yaitu dasar
orbita dan dinding medial orbita. Blow-out fracture dapat terjadi karena kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan olahraga, terjatuh atau karena kekerasan. Trauma
maksilofasial sering terjadi pada mereka yang tidak mengenakan sabuk pengaman saat
mengendarai mobil, terutama terjadi pada negara berkembang14.
2.5. PATOFISIOLOGI
Mekanisme dari blow-out fracture masih belum jelas, namun ada dua teori yang
menjelaskan mekanisme ini yaitu teori buckling dan hydraulic. Teori Buckling ini pertama
kali dinyatakan oleh LeFort dan 70 tahun kemudian ditegaskan kembali oleh Fujino. Teori ini
menyatakan suatu konduksi dimana jika suatu benturan langsung mengenai rima orbita, maka
akan ditransfer menuju tulang yang paling lemah dan tipis, khususnya dasar orbita dan
menyebabkan fraktur di daerah ini. Waterhouse pada tahun 1999 mempelajari teori ini lebih
mendalam dimana benturan pada rima orbita menyebabkan fraktur yang besar dari dinding
dasar dan dinding medial orbita. Fraktur ini sering menyebabkan herniasi dari isi orbita5.
Teori hydraulic dikemukakan oleh Pfeiffer pada tahun 1943. Teori ini menyatakan
pukulan yang diterima bola mata ditransmisikan menuju dinding orbita sehingga
menyebabkan fraktur. Waterhouse juga mempelajari teori ini lebih mendalam dimana terjadi
10
fraktur kecil pada anterior dan mid medial tulang dasar orbita akibat benturan pada bola mata.
Herniasi dari isi orbita juga sering terjadi 5,17,22,24.
Blow-out fracture dapat terjadi murni atau berhubungan dengan trauma yang lain.
Trauma lain misalnya fraktur zigomatik kompleks, fraktur nasoethmoidal kompleks, fraktur
maksila dan panfacial. Penderita blow out fracture murni hanya sebesar 28,6%5.
Penderita blow-out fracture sering mengeluh nyeri intraokular, mati rasa pada area
tertentu di wajah, tidak mampu menggerakkan bola mata, melihat ganda bahkan kebutaan.
Tanda klinis dari blow-out fracture murni adalah edema, hematoma, enophtalmus, restriksi
gerakan bola mata, anasthesia infraorbital, trauma nervus cranialis dan emphysema dari
orbita dan palpebra3,15.
Jenis fraktur tulang dasar orbita pada anak-anak berbeda dengan pada orang dewasa.
Fraktur tulang dasar orbita pada anak-anak terdapat ekimosis dan eritema minimal. Fraktur
tulang dasar orbita yang terjadi merupakan jenis trapdoor dimana muskulus rektus inferior
dan soft tissue perimuskular terjepit sehingga menimbulkan keterbatasan gerak bola mata,
mual dan muntah. Hal ini disebabkan karena elastisitas yang tinggi dari tulang orbita anak-
anak sehingga prolaps dari jaringan orbita terjepit kuat dalam tulang yang mengalami fraktur.
Jaringan dan otot yang terjepit menyebabkan diplopia berat dan oculocardiac reflex4,5,10,25.
2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
11
Gambar 4. CT scan potongan koronal pada pasien anak-anak menunjukkan soft tissue yang terjepit dan distorsi
muskulus rektus inferior pada fraktur tipe trapdoor pada medial dasar orbita4
Gambar 5. CT scan pasien dewasa dengan > 50% fraktur tulang dasar orbita dan herniasi soft tissue20
12
Gambar 6. Rontgen kepala tampak depan memperlihatkan tanda alis mata hitam pada mata kiri (tanda panah
panjang). Atap dari sinus maksilaris memperlihatkan irregularitas ringan dibandingkan mata kanan namun
fraktur tidak tampak jelas. Area lucent di sebelah lateral memperlihatkan udara ekstrakranial di fossa temporal
dan infratemporal8.
Trauma orbita umumnya memiliki gejala klinis yang mirip sehingga blow out fracture
harus dapat dibedakan dari fraktur lainnya. Zygomaticomaxillary complex fracture (ZMC)
dan Naso-orbito-ethmoidal fracture (NOE) merupakan fraktur orbita selain blow out fracture
yang sering terjadi. Zygomaticomaxillary complex fracture (ZMC) merupakan fraktur yang
melibatkan tulang zigoma dan maksila. Manifestasi klinis ZMC adalah depresi lengkungan
zigoma, nyeri, hematom periorbital, epistaksis, perdarahan sub konjungtiva dan ekimosis
kulit sekitarnya11,21.
13
wajah tampak lebih datar dan melebar, epistaksis, ekimosis periorbital, rhinorea CSF (cairan
cerebro-spinal), emphisema subcutaneus (bila melibatkan tulang ethmoid) dan epifora bila
tulang duktus nasolakrimalis juga terkena. Musculus rectus medial dapat terjebak sehingga
terjadi limitasi gerakan horizontal11,21.
2.9. DIAGNOSIS
Evaluasi ABC (airway, breathing and circulation) selalu dilakukan pada setiap kasus
trauma wajah karena trauma pada daerah wajah sangat potensial menyebabkan gangguan
ABC. Pengamanan ABC harus dilaksanakan segera setelah pasien datang. Pemeriksaan dan
penatalaksanaan trauma awal dilaksanakan setelah ABC pasien terkendali11.
Kasus blow-out fracture sebagian besar tidak memerlukan tindakan operasi. Blow-out
fracture orbita biasanya hanya diobservasi 5-10 hari untuk melihat penyerapan hematom.
14
Pemberian steroid oral 1 mg/kgBB/hari selama 7 hari pertama dapat mengurangi edema dan
resiko diplopia yang disebabkan kontraktur dan fibrosis musculus rektus inferior3.
Penderita blow-out fracture disarankan untuk tidak meniup hidung mereka selama
beberapa minggu untuk mencegah emphysema orbita. Dekongestan hidung sering digunakan
sebagai pencegahan. Antibiotika profilaksis digunakan untuk mencegah selulitis orbita jika
fraktur menyebabkan hubungan langsung obita dengan rongga sinus14.
Indikasi operasi pada blowout fracture masih kontroversial, namun beberapa indikasi
yang disarankan untuk dilakukan operasi adalah adanya diplopia, enophtalmus, fraktur luas
yang melibatkan setengah dari dasar orbita dan hasil CT scan menunjukkan adanya otot yang
terjepit dan tidak ada perbaikan klinis dalam 1-2 minggu. Operasi dilakukan pada diplopia
dengan restriksi gerakan ke atas dan atau ke bawah 300 dari posisi primer dengan hasil forced
duction test positif dalam 7-10 hari setelah trauma. Hal ini menunjukkan jaringan yang
terjebak mempengaruhi fungsi musculus rektus inferior. Diplopia bisa bertambah parah
setelah dua minggu sehubungan dengan edema orbita, dan perdarahan. Vertikal diplopia akan
persisten jika dalam waktu dua minggu tidak dilakukan tindakan3,14.
Enophtalmus lebih dari 2 mm atau secara kosmetik mengganggu penderita merupakan
indikasi dilakukannya operasi. Enophtalmus biasanya tertutupi oleh edema orbita pada saat
awal trauma bahkan hingga beberapa minggu setelahnya sehingga pengukuran yang teliti
sangat diperlukan. Pengukuran enopthalmus dengan eksopthalmometer harus diulang bila
edema orbita sudah berkurang yang biasanya terjadi 10 hari hingga 2 minggu setelah trauma.
Jika enopthtalmus terjadi pada fraktur dasar orbita yang besar, maka tindakan operasi dapat
mencegah terjadinya enophtalmus yang lebih besar di kemudian hari3,9.
Fraktur luas yang melibatkan setengah dari dasar orbita, khususnya jika melibatkan
fraktur luas dinding medial karena berhubungan dengan kosmetik dan deformitas fungsional
memerlukan tindakan operasi. Fraktur yang luas ini ditakutkan akan menyebabkan
enopthalmus susulan. Hasil CT scan yang menunjukkan adanya otot yang terjepit dan tidak
terjadi perbaikan klinis dalam 1-2 minggu juga merupakan indikasi tindakan operasi3,9,14.
Pasien pediatri umumnya diperlukan tindakan operasi karena musculus rectus inferior
terjepit sangat kuat diantara celah fraktur. Pergerakan vertikal bola mata sangat terbatas dan
hasil CT scan menunjukkan musculus rektus inferior terletak di sinus maksilaris. Pergerakan
bola mata dapat merangsang oculocardiac reflex, nyeri, mual dan bradikardia. Tindakan
operasi harus segera dilakukan untuk melepaskan otot yang yang terjebak. Hasil akhir
pergerakan bola mata semakin baik bila semakin cepat dilakukan operasi karena dapat
mengurangi fibrosis otot3,4,13.
15
Gambar 9. A. Pasien usia 13 tahun mengalami trauma tumpul pada mata kiri. Mata kiri tidak dapat digerakkan
ke atas. B. CT scan potongan coronal menunjukkan fraktur kecil pada dasar orbita dan musculus rektus inferior
prolaps menuju sinus maksilaris. C. Reposisi musculus rektus inferior. D. Dua bulan post operasi 3.
Waktu untuk dilakukan operasi pada blow-out fracture sebenarnya masih merupakan
kontroversial. Beberapa ahli menyarankan operasi dilakukan 3 hari setelah trauma bila
terdapat diplopia dan enophtalmus. Dulley B dkk menyarankan operasi 10-14 hari setelah
trauma sedangkan Putamen dkk menyarankan 4-6 bulan menunggu hingga diplopia dan
enopthalmusnya stabil. Namun beberapa ahli menyatakan operasi akan lebih mudah
dilakukan dalam beberapa minggu dibandingkan beberapa bulan karena sikatrik akan
menyulitkan operasi sehingga tindakan operasi pada blowout fracture sebaiknya dilakukan
dalam dua minggu setelah trauma3,16.
Pendekatan operasi blow-out fracture melalui transkutaneus, transantral, incisi
infrasiliar atau incisi konjungtiva (fornik inferior). Kombinasi dengan kantolisis lateral dapat
juga dilakukan. Pendekatan melalui palpebra inferior melalui tahapan : elevasi periorbita dari
dasar orbita, melepaskan jaringan yang prolaps, menempatkan implan pada fraktur. Implan
berfungsi untuk mencegah adhesi berulang dan mencegah prolaps jaringan orbita3,14.
Tehnik endoskopi dengan transmaxilla dan transnasal juga dapat dikerjakan.
Keuntungan dari tehnik endoskopi adalah visualisasi fraktur lebih akurat, insisi kecil, insisi
wajah dapat dihindari, diseksi soft tissue minimal, mengurangi lamanya rawat inap, hasil baik
secara kosmetik. Perkembangan sistem miniplate dan mikroplate serta variasi implan metalik
orbita telah memajukan penatalaksanaan fraktur dasar orbita yang luas dan tidak stabil.
Implan orbita dapat berupa alloplastik (porous polyethylene, supramid, gore-tex, teflon,
silicon sheet, titanium mesh) ataupun autogenous (tulang kranial, iliaka, fascia)3,6,18,24.
16
2.11. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi akibat trauma awal maupun terapi pembedahan. Komplikasi
dari operasi blow-out fracture adalah penurunan tajam penglihatan atau kebutaan, diplopia,
undercorrection / overcorrection dari enophtalmus, retraksi palpebra inferior, hipoesthesia
nervus infraorbita, infeksi, ekstrusi implan, lymphedema dan kerusakan sistem aliran air
mata3,14.
Komplikasi yang dapat terjadi karena trauma awal adalah pergeseran bola mata,
selulitis orbita dan kebutaan. Pergeseran bola mata dapat terjadi karena proptosis, pergeseran
vertikal, pergeseran horizontal, herniasi traumatik menuju sinus maksilaris dan enophtalmus.
Proptosis dapat disebabkan haematom dan pembengkakan jaringan orbita yang dapat
diresorpsi spontan. Bila terjadi hematoma subperiosteal, kemungkinan akan terjadi proptosis
persisten. Pergeseran vertikal sering terjadi pada fraktur orbital karena hematom. Pergeseran
horizontal terjadi bila terkena ligamen medial atau terjadi pergeseran kompleks naso-
ethmoidal. Pergeseran ini juga terjadi bila margin lateral orbita bergeser ke lateral5.
Herniasi traumatik yang terjadi biasanya menuju sinus maksilaris. Komplikasi ini
sangat jarang, terjadi hanya jika defek pada dasar orbita sangat besar. Enophtalmus
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada blow-out fracture namun sering
tetutupi oleh edema dan hematom. Enophtalmus dapat terjadi karena perluasan rongga orbita,
atropi lemak, kontraktur sikatrik dan traksi ke belakang oleh otot yang terjepit. Pergeseran
bola mata umumnya terjadi karena perubahan volume orbita atau pendorongan mata ke
belakang. Implikasinya pada saat dilakukan eksplorasi orbita, dilakukan perbaikan defek
untuk mengembalikan volume awal dari orbita dan melepaskan otot yang terjepit5,23.
Blow-out fracture menyebabkan hubungan langsung antara orbita dan sinus sehingga
beresiko terjadi selulitis orbita bila terdapat sinusitis. Sumbatan aliran darah meningkatkan
resiko ini. Fraktur dasar orbita menyebabkan suplai darah ke lemak infraorbita berkurang
sehingga terjadi selulitis anaerob. Selulitis orbita merupakan kondisi yang serius karena dapat
menyebabkan kebutaan, trombosis sinus kavernosus, meningitis dan abses cerebral5,23.
Kebutaan yang terjadi karena trauma pada bola mata dan pada nervus optikus. Trauma
pada bola mata ini dilaporkan terjadi pada 30% kasus fraktur tulang orbita. Penurunan tajam
penglihatan dapat terjadi pada perdarahan retrobulbar, adanya benda asing dan fragmen
tulang yang mengenai nervus optikus23.
2.12. PROGNOSIS
17
Prognosis umumnya baik, bila dilakukan penatalaksanaan yang tepat. Visus umumnya
baik pasca pembedahan blow-out fracture, kecuali jika terdapat komplikasi saat pembedahan,
misalnya terkenanya saraf optik. Tindakan yang dilakukan dengan hati-hati disertai
pemahaman struktur anatomis yang baik akan memberikan hasil yang baik, meskipun tidak
dapat mengembalikan struktur yang normal seperti sebelum trauma, namun tidak
memperburuk kondisi pasien, terutama fungsi penglihatan21.
BAB III
KESIMPULAN
Blow-out fracture merupakan fraktur tulang dasar orbita yang disebabkan peningkatan
tiba-tiba dari tekanan intraorbital tanpa keterlibatan rima orbita. Blow-out fracture sebagian
18
besar terjadi pada dasar orbita dan sebagian kecil terjadi pada dinding medial dengan atau
tanpa disertai fraktur dasar orbita. Blow out fracture sering terjadi pada dewasa muda dan
jarang terjadi pada anak-anak. Blow-out fracture disebabkan oleh trauma tumpul tak langsung
pada orbita yang merupakan mekanisme proteksi untuk mengurangi tekanan intraorbita yang
meningkat secara tiba-tiba dengan dekompresi melalui bagian paling lemah dari dinding
orbita yaitu dasar orbita dan dinding medial orbita. Mekanisme dari blow-out fracture masih
belum jelas, namun ada dua teori yang menjelaskan mekanisme ini yaitu teori buckling dan
hydraulic.
Diagnosis dari blow-out fracture ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Penderita mengeluh nyeri intraokular, mati rasa pada area
tertentu di wajah, tidak mampu menggerakkan bola mata, melihat ganda bahkan kebutaan.
Pemeriksaan fisik dari penderita blow-out fracture murni didapatkan edema, hematoma,
enophtalmus, restriksi gerakan bola mata, anasthesia infraorbital, trauma nervus cranialis.
Hasil rontgen kepala memperlihatkan gambaran alis mata hitam sedangkan pemeriksaan CT
scan memperlihatkan tulang dasar orbita atau dinding medial yang mengalami fraktur, ukuran
fraktur dan keterlibatan otot ekstraokular. Diagnosis banding dari blow out fracture adalah
Zygomaticomaxillary complex fracture (ZMC) dan Naso-orbito-ethmoidal fracture (NOE).
Kasus blow-out fracture sebagian besar tidak memerlukan tindakan operasi. Indikasi
yang disarankan untuk dilakukan operasi adalah adanya diplopia, enophtalmus, fraktur luas
yang melibatkan setengah dari dasar orbita dan hasil CT scan menunjukkan adanya otot yang
terjepit dan tidak ada perbaikan klinis dalam 1-2 minggu. Komplikasi dapat terjadi akibat
trauma awal maupun terapi pembedahan. Prognosis blow out fracture umumnya baik, bila
dilakukan penatalaksanaan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
19
3. American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012b. Orbital Trauma. In: Orbit,
Eyelids, and Lacrimal System. Basic and clinical science course. Section 7. San
Fransisco. American Academy of Ophthalmology, p 95-106.
4. Bansagi, Z.C. and Meyer, D.R. 2000. Internal Orbital Fractures in the Pediatric Age
Group. American Academy of Ophthalmology, 107:829-836.
5. Chaudry, I.A. 2010. Orbital Fractures: Timing of Surgical Repair. Saudy Journal of
Ophthalmology, 24:35-36.
6. Ducic, Y. and Verret, D.J. 2009. Endoscopic Transantral Repair of Orbital Floor
Fracture. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation,
140:849-854.
7. Eva, P.R. and Whitcher, D. 2004. Anatomy & Embryology of the Eye. General
Ophthalmology. Lange Medical Publication. Singapore. Ed 16. p 1-28.
8. Feyaerts, F. and Hermans, R., 2009. The Black Eyebrow Sign in Orbital Blowout
Fracture. JBR-BTR, 92:251-252.
9. Furuta dkk, M., Yago, K. and Iida, T. 2006. Correlation Between Ocular Motility and
Evaluation of Computed Tomography in Orbital Blow-out fracture. American Journal
of Ophthalmology. 142:1019-1025.
10. Gennaro, P., Mitro, V., Gabrielle, G., Giovannetti, F. and Facchini, A. 2012. An
Orbital Roof and Anterior Skull Base Fracture: Case Report. European Review for
Medical and Pharmacological Sciences. 16:117-120.
11. Gleinser, D.M. 2010. Pediatric Facial Fracture. The American Academy of
Opthalmology. 4:86-99.
12. Ilyas, S., 2009. Anatomi dan Fisiologi Mata. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. Ed 3. p 1-13.
13. John, D.N. 2012. Pediatric Orbital Trauma: The Silent Trap-door. In: Pediatric
Ophthalmology 2012. Chicago. The American Academy of Opthalmology. p.30-31.
14. Joseph, M.J. and Glaves, I.P., 2011, Orbital Fractures : a Review. Clinical
Ophthalmology, 5:95-100
15. Kahana, A., Lucarelli, M.J., Burkat, C.N. and Dortzbach, R.K. 2008. Orbital
Fractures. In: Surgical Atlas of Orbital Diseases. p. 220-243.
16. Kakati, C., Bhattacharjee, K., Barua, J., Kuri, G. and Bhattacharjee, H. 2010.
Management Profile of Orbital Blow Out Fracture- Surgery or Conservative?. AIOC,
510-512.
17. Long, J. and Tann, T. 2002. Orbital Trauma. Ophtalmology Clinics of North America,
15:249 – 253.
18. Metzger, M.C., Schon, R., Weyer, N., Rafii. A., Gellrich, N.C., Schmelzeisen, R., et
all. 2006. Anatomical 3-dimensional Pre-bent Titanium Implant for Orbital Floor
Fractures.American Academy of Ophtalmology, 113:1863-1868.
19. Moore, K.L. and Agur, A.M.R. 2002. Kepala. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta. Penerbit
Hipokrates. Ed 1. p 342-401.
20
20. Pharbhu, K.C., Galler, K.E., Li,C. and Mawn, L.A. 2008. Underestimation of Soft
Tissue Entrapment by Computed Tomography in Orbital Floor Fractures in the
Pediatric Population. American Academy of Ophthalmology, 115:1620-1625.
21. Salam, R.A. and Toukhy, E.E. 2009. Management of Orbital Trauma and Fractures.
In: Clinical Diagnosis & Management of Ocular Trauma. New Delhi. Jaypee
Brotherhs Medical Publisher (P) LTD. p108-124
22. Silva, D.J. and Rose, G.E. 2011. Orbital Blowout Fractures and Race. American
Academy of Ophthalmology. 118:1677-1680.
23. Simon, B.G., Bush, S., Selva, D. and McNab, A.A. 2005, Orbital Cellulitis: A Rare
Complication after Orbital Blowout Fracture, American Academy of Ophthalmology,
112:2030-2034.
24. Thiagarajan, B. and Ulaganathan, V. 2012. Blow Out Fracture Orbit Endoscopic
Reduction A Novel Management Modality. Webmed Central. 3:5.
25. Wang, N.C., Ma, L., Wu, S.Y., Yang, F.R. and Tsai, Y.J. 2010. Orbital Blow-out
fractures in Children: Characterization and Surgical Outcome. Chang Gung Med
Journal, 33:313-320.
21