HIFEMA
Oleh :
Tio Wisnu Pradana Putra
222011101014
Pembimbing :
dr. Bagas Kumoro, Sp. M
Oleh :
Tio Wisnu Pradana Putra
222011101014
Pembimbing :
dr. Bagas Kumoro, Sp. M
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL............................................................................................i
HALAMAN JUDUL…..........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 ANATOMI ORBITA...................................................................................3
2.2 HIFEMA......................................................................................................8
2.1.1 Definisi.....................................................................................................8
2.1.2 Etiologi dan pathogenesis........................................................................9
2.1.3 Epidemiologi..........................................................................................11
2.1.4 Klasifikasi...............................................................................................12
2.1.5 Diagnosis................................................................................................13
2.1.6 Diagnosa Banding..................................................................................18
2.1.7 Management...........................................................................................18
2.1.8 Prognosis................................................................................................22
BAB 3. PENUTUP................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I PENDAHULUAN
Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang
dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan
rongga orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu
fungsi mata sebagai indra penglihat. Trauma okuli merupakan salah satu penyebab
yang sering menyebabkan kebutaan unilateral pada anak dan dewasa muda,
karena kelompok usia inilah yang sering mengalami trauma okuli yang parah.
Dewasa muda (terutama laki-laki) merupakan kelompok yang paling sering
mengalami trauma okuli. Penyebabnya dapat bermacam-macam, diantaranya
kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan lalu
lintas.
Prevalensi kebutaaan akibat trauma okuli secara nasional belum diketahui
dengan pasti, namun pada Survey Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran
pada tahun 2000-2006 didapatkan bahwa trauma okuli dimasukkan ke dalam
penyebab kebutaan lain-lain sebesar 0,15% dari jumlah total kebutaan nasional
yang berkisar 1,5%. Trauma okuli juga bukan merupakan 10 besar penyakit mata
yang menyebabkan kebutaan.
Secara umum trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli
perforans dan trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma okuli
berdasarkan mekanisme trauma terbagi atas trauma mekanik (trauma tumpul dan
trauma tajam), trauma radiasi (sinar inframerah, sinar ultraviolet, dan sinar X) dan
trauma kimia (bahan asam dan basa).
Sebagai seorang dokter harus memikirkan apakah kasus yang dihadapi
merupakan true emergency yang merupakan kasus sangat gawat dan harus
ditangani dalam hitungan menit atau jam, ataukah urgent case yang harus
ditangani dalam hitungan jam atau hari. Sehingga membutuhkan diagnosa dan
pertolongan cepat dan tepat. Trauma okuli merupakan kedaruratan mutlak di
bidang ocular emergency. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma
okuli adalah erosi kornea, iridoplegia, hifema, iridosiklitis, subluksasi lensa,
luksasi lensa anterior, luksasi lensa posterior, edema retina dan koroid, ablasi
1
retina, ruptur koroid, serta avulsi papil saraf optik.
Hifema merupakan keadaan dimana terjadi perdarahan pada bilik mata
depan dapat terjadi akibat trauma tumpul pada mata. Darah ini berasal dari iris
atau badan siliar yang robek. Menurut Duke Elder (1954), hifema disebabkan oleh
robekan pada segmen anterior bola mata yang kemudian dengan cepat akan
berhenti dan darah akan diabsorbsi dengan cepat. Hal ini disebut dengan hifema
primer. Bila oleh karena sesuatu sebab misalnya adanya gerakan badan yang
berlebihan, maka timbul perdarahan sekunder atau hifema sekunder yang
pengaruhnya akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang.
Adanya hifema memiliki beberapa konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan
intraokuler, kornea terkena darah, pembentukan sinekia posterior atau anterior,
dan katarak. Oleh karena hifema dapat menyebabkan penurunan penglihatan yang
signifikan, maka setiap dokter harus memperhatikan diagnosis, evaluasi, dan tata
laksana hifema.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 2. Cavum Orbita Penampang Sagital (Sumber : Gray,2017)
4
Di ruang orbita terdapat 3 lubang yang dilalui pembuluh darah, saraf yang
masuk ke dalam mata, yang terdiri dari :
1. Foramen optikum yang dilalui n. optikus dan n. oftalmika
2. Formaen orbitalis superior yang dilalui oleh n. lakrimalis, n. frontalis, n.
trochlearis, v. oftalmika, n. occulomotorius, n. nasosiliaris, serta serabut
saraf simpatik.
3. Fissura orbitalis inferior yang dilalui nervus, vena, dan arteri infraorbitalis
(7).
5
2. M. Oblique superior (N. IV)
3. M. Oblique inferior (N. III)
4. M. Rektus medialis (N III)
5. M. rektus superior (N III)
6. M. rektus inferior (N III)
6
Gambar 5. Vaskularisasi orbita (Sumber : Khurana , 2019)
7
Gambar 7. Nervus yang mempersarafi otot-otot mata (Sumber : Khurana,
2019)
2.2 HIFEMA
2.2.1 DEFINISI
Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata
depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma
tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur
dengan humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang terkumpul di bilik
mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang. Walaupun darah yang
terdapat di bilik mata depan sedikit, tetap dapat menurunkan penglihatan.
Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dapat terjadi akibat trauma
tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Bila pasien duduk
hifema akan terlihat terkumpul dibawah bilik mata depan dan hifema dapat
memenuhi seluruh ruang bilik mata depan (11).
8
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Kadang-kadang terlihat
iridoplegia dan iridodialisis. Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora
dan blefarospasme. Gaya-gaya kontusif sering merobek pembuluh darah di iris
dan merusak sudut bilik mata depan. Darah di dalam aqueous dapat membentuk
suatu lapisan yang dapat terlihat (hifema). Glaukoma akut terjadi bila anyaman
trabekular tersumbat oleh fibrin dan sel atau bila pembentukan bekuan darah
menimbulkan bokade pupil. Angka kejadian dari hifema traumatic diperkirakan
12 kejadian per 100.000 populasi, dengan pria terkena tiga sampai lima kali
lebih sering daripada wanita. Lebih dari 70 persen dari hifema traumatic terdapat
pada anak-anak dengan angka kejadian tertinggi antara umur 10 sampai 20 tahun
(12).
Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker
mungkin juga bisa menyebabkan perdarahan pada COA. Trauma tumpul dapat
merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan
merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut COA. Tetapi dapat juga
terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat
bergerak dalam ruang COA, mengotori permukaan dalam kornea (14).
Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan teraktivasinya
mekanisme hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokular,
spasme pembuluh darah, dan pembentukan fibrin merupakan mekanisme
pembekuan darah yang akan menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini dapat
meluas dari bilik mata depan ke bilik mata belakang. Bekuan darah ini
biasanya berlangsung hingga 4-7 hari. Setelah itu, fibrinolisis akan terjadi.
Setelah terjadi bekuan darah pada bilik mata depan, maka plasminogen akan
diubah menjadi plasmin oleh aktivator kaskade koagulasi. Plasmin akan
memecah fibrin, sehingga bekuan darah yang sudah terjadi mengalami disolusi.
Produk hasil degradasi bekuan darah, bersama dengan sel darah merah dan
debris peradangan, keluar dari bilik mata depan menuju jalinan trabekular dan
aliran uveaskleral.
Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut
perdarahan primer. Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak.
Perdarahan sekunder biasanya timbul pada hari ke 5 setelah trauma.
Perdarahannya biasanya lebih hebat daripada yang primer. Oleh karena itu
seseorang dengan hifema harus dirawat sedikitnya 5 hari.
10
Dikatakan perdarahan sekunder ini terjadi karena resorpsi daribekuan
darah terjadi terlalu cepat sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu yang
cukup untuk regenerasi kembali (15). Penyembuhan darah pada hifema
dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel darah merah melalui sudut COA
menuju kanal schlem sedangkan sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan
iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di
daerah ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk
hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke
dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan
disebut hemosiderosis atau imbibisi kornea, yang hanya dapat ditolong dengan
keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang
penuh disertai glaukoma.
Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa temuan klinis
yang berhubungan. Resesi sudut mata dapat ditemukan setelah trauma tumpul
mata. Hal ini menunjukkan terpisahnya serat longitudinal dan sirkular dari otot
siliar. Resesi sudut mata dapat terjadi pada 85 % pasien hifema dan berkaitan
dengan timbulnya glaukoma sekunder di kemudian hari. Iritis traumatik,
dengan sel-sel radang pada bilik mata depan, dapat ditemukan pada pasien
hifema. Pada keadaan ini, terjadi perubahan pigmen iris walaupun darah sudah
dikeluarkan. Perubahan pada kornea dapat dijumpai mulai dari abrasi endotel
kornea hingga ruptur limbus. Kelainan pupil seperti miosis dan midriasis dapat
ditemukan pada 10 % kasus. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah
siklodialisis, iridodialisis, robekan pupil, subluksasi lensa, dan ruptur zonula
zinn. Kelainan pada segmen posterior dapat meliputi perdarahan vitreus, jejas
retina (edema, perdarahan, dan robekan), dan ruptur koroid. Atrofi papil dapat
terjadi akibat peninggian tekanan intraocular (16).
2.2.3 EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian dari hifema traumatic diperkirakan 12 kejadian per
100.000 populasi, dengan pria terkena tiga sampai lima kali lebih sering
daripada wanita. Lebih dari 70 persen dari hifema traumatic terdapat pada
anak-anak dengan angka kejadian tertinggi antara umur 10 sampai 20 tahun
(3).
11
2.2.4 KLASIFIKASI
a) Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi: (16)
1. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang
disebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat trauma
pada segmen anterior bola mata.
2. Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi mata).
3. Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier, sehingga
pembuluh darah pecah.
4. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah (contohnya juvenile
xanthogranuloma).
5. Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).
b) Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu:
1. Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2.
2. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.
c) Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade (Sheppard) :
1. Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga COA (58%)
2. Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA (20%)
3. Grade III : darah mengisi hampir total COA (14%)
4. Grade IV : darah memenuhi seluruh COA (8%)
12
Gambar 9. Grading Hifema (Sumber : Gharaibeh, 2019)
2.2.5 DIAGNOSIS
Adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya dapat memastikan
adanya hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA
(dapat diperiksa dengan flashlight), kadang-kadang ditemukan gangguan visus.
Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari conjunctiva dan pericorneal,
fotofobia (tidak tahan terhadap sinar), penglihatan ganda, blefarospasme,
edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai
gangguan umum yaitu letargic, disorientasi atau somnolen (17).
Gambar 10. Hifema pada 1/3 bilik mata depan dan Hifema pada ½ bilik
mata depan (Sumber : Gharaibeh, 2019)
13
Gambar 12. Hifema nampak darah pada bilik mata depan, hanya memenuhi
sebagian bilik mata depan (Sumber : Nofityari, 2019)
Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang
berair. Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan
darah yang terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak.
14
Bila pasien
duduk, hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah COA, dan hifema
dapat memenuhi seluruh ruang COA. Otot sfingter pupil mengalami
kelumpuhan, pupil tetap dilatasi (midriasis), dapat terjadi pewarnaan darah
(blood staining) pada kornea, anisokor pupil (18).
Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena
darah mengganggu media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini
secara langsung dapat mengakibatkan tekanan intraokuler meningkat
akibat bertambahnya isi kamera anterior oleh darah. Kenaikan tekanan
intraokuler ini disebut glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat
terjadi akibat massa darah yang menyumbat jaringan trabekulum yang
berfungsi membuang humor aqueous yang berada di kamera anterior. Selain
itu akibat darah yang lama berada di kamera anterior akan mengakibatkan
pewarnaan darah pada dinding kornea dan kerusakan jaringan kornea (19).
Anamnesis
Yang perlu di tanyakan saat menganamnesis pasien hifema:
o Mekanisme trauma (termasuk arah dan kekuatan trauma).
o Waktu terkena, waktu terjadi penurunan visus, sebelumnya apakah ada
menggunakan pelindung mata. Biasanya penurunan visus terjadi setelah
trauma. Penurunan visus yang juga bisa disebabkan adanya perdarahan
sekunder atau perdarahan yang terus menerus.
o Perlu ditanyakan juga obat-obatan yang dikonsumsi pasien sebelumnya
yang mengandung antikoagulan seperti aspirin, NSAID, warfarin, dan
jangan lupa tanyakan riwayat kleuarga tentang penyakit sickle cell.
Pemeriksaan
Pemeriksaan mata yang lengkap harus dilakukan pada setiap kasus. Curigai
adanya kerusakan mata terbuka sampai terbukti sebaliknya. Setiap kontrol,
visus, kerusakan jaringan, luas hifema dan TIO harus dicatat. Pemeriksaan
yang dilakukan berupa:
15
Pemeriksaan okuler secara lengkap.
- Pemeriksaan luar dan periokuler harus dilakukan untuk mengevaluasi
tingkat keparahan trauma
- Pemeriksaan segmen posterior mungkin sulit dilakukan karena trauma yang
terjadi dapat menghalangi pemeriksaan segmen posterior.
- Pemeriksaan harus dilakukan dengan sistematis dengan tujuan
mengidentifikasi dan melindungi mata.
- Hindari kerusakan lebih lanjut dan minimalisasi kemungkinan ekstrusi
intraokular.
- Gambarkan luas dan lokasi tempat terjadinya pembekuan
- Ukur Tekanan intraokuler (TIO)
- Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen;
visus dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan
retina.
- Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler
okuler, glaukoma.
- Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan
iridocorneal contact, aqueous flare, dan synechia posterior.
- Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
- Ketajaman penglihatan dan gerakan bola mata, sangat penting untuk dinilai
Tentukan ketajaman penglihatan seakurat mungkin pada masingmasing
mata.
Periksakan pergerakan bola mata, bila terganggu harus dievaluasi apakah
terjadi fraktur pada lantai orbita
- Palpebra
Palpebra dan trauma kelenjar lakrimal dapat menunjukan adanya trauma
yang dalam pada mata.
Laserasi pada palpebra dapat menyebabkan perforasi bola mata.
- Konjungtiva
16
Laserasi konjungtiva dapat terjadi pada kerusakan sklera yang serius.
Perdarahan konjungtiva yang berat dapat mengindikasikan ruptur bola
mata.
- Pupil
Periksa bentuk, ukuran, refleks cahaya, dan afferent pupillary defect (APD).
Bentuk lancip, tetesan air, atau ireguler bisa terjadi pada ruptur bola mata.
Segmen anterior
Pada pemeriksaan dengan lampu slit, bisa ditemukan defek pada iris,
laserasi kornea.
Bilik mata depan dangkal dapat menjadi tanda ruptur bola mata dengan
prognosis yang buruk.
Pada ruptur posterior dapat ditemukan bilik mata depan dalam pada ekstrusi
vitreous pada segmen posterior.
Orbita
Periksa adanya deformitas tulang, benda asing, dan dislokasi bola mata.
Benda asing pada mata yang tertanam atau bila terjadi perforasi harus dijaga
hingga dilakukan pembedahan.
Temuan lain
Perdarahan viteous setelah trauma menunjukan adanya robekan retina atau
koroid, avulsi saraf optikus, atau adanya benda asing.
Robekan retina, edema, ablasio, dan hemoragi dapat terjadi pada ruptur bola
mata.
Pemeriksaan Penunjang
USG
Dilakukan untuk melihat apakah terdapat kerusakan pada struktur segmen
17
posterior (20).
Pemeriksaan Laboratorium
- Dilakukan untuk melihat kemungkinan penyakit sickle cell dengan cara
pemeriksaan slide darah merah, elektroforesis hemoglobin,
Darah dapat terkumpul di bilik mata depan karena trauma trivial pada kasus –
kasus (21):
- Rubeosis Iridis
- Neoplasma maligna
- Xanthogranuloma juvenil
- Lensa intraokular (terutama bila bilik mata depan atau iris terfiksasi)
Sebagai tambahan, pada perdarahan spontan, kecurigaan kearah
abnormalitas faktor pembekuan darah dan trauma terbuka tersembunyi harus
dipikirkan.
2.2.7 MANAJEMEN
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak
berjalan demikian maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun perawatan
penderita hifema traumatik ini masih banyak diperdebatkan, namun pada
dasarnya adalah (22) :
• Menghentikan perdarahan.
• Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder.
• Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan mempercepat
absorbsi.
18
• Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain.
• Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita
dengan traumatik hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar
yaitu perawatan dengan cara konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang
disertai dengan tindakan operasi.
19
Anaroxil, Adona AC, Coagulen, Transamin, vit K dan vit C. Pada hifema
yang baru dan terisi darah segar diberi obat anti fibrinolitik (di pasaran obat
ini dikenal sebagai transamine/ transamic acid) sehingga bekuan darah tidak
terlalu cepat diserap dan pembuluh darah diberi kesempatan untuk
memperbaiki diri dahulu sampai sembuh.
Perawatan Operasi
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma
sekunder, tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea. Dan tidak ada
pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 -
5 hari. Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila
tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan bola
mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi kornea
dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6
hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea.
Tindakan operatif dilakukan untuk mencegah terjadinya sinekia
anterior perifer bila hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus
bertahan selama 9 hari. Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada atau
setelah 4 hari. Dari keseluruhan indikasinya adalah sebagai berikut :
1. Empat hari setelah onset hifema total
2. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
3. Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama 4 hari
(untuk mencegah atrofi optic)
4. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ COA selama 6 hari
dengan tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
5. Hifema mengisi lebih dari ½ COA yang menetap lebih dari 8-9 hari (untuk
mencegah peripheral anterior synechiae)
6. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya
dengan tekanan Intra ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam. Jika
Tekanan Inta Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari,
pembedahan tidak boleh ditunda. Suatu studi mencatat atrofi optic pada 50
persen pasien dengan total hifema ketika pembedahan terlambat. Corneal
bloodstaining terjadi pada 43% pasien. Pasien dengan sickle cell
21
hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan intra ocular tidak
terkontrol dalam 24 jam.
Tindakan operasi yang dikerjakan adalah :
1. Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan
cairan/darah dari bilik depan bola mata dengan teknik sebagai berikut :
dibuat insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan
permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka
koagulum dari bilik mata depan akan keluar. Bila darah tidak keluar
seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam fisiologis. Biasanya
luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahut. Parasentese dilakukan
bila TIO tidak turun dengan diamox atau jika darah masih tetap terdapat
dalam COA pada hari 5-9.
2. Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik.
3. Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka
korneoscleranya sebesar 1200
2.2.8 PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada
kamera okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa
disertai glaukoma, prognosisnya baik (bonam) karena darah akan diserap
kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan hifema yang
telah mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa besar
glaukoma tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila
tajam penglihatan telah mencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosis
penderita adalah buruk (malam) karena dapat menyebabkan kebutaan (26)
22
BAB III
PENUTUP
23
DAFTAR PUSTAKA
10. Gharaibeh, A., Savage, H. I., Scherer, R. W., Goldberg, M. F., & Lindsley,
K. (2019). Medical interventions for traumatic hyphema. In Cochrane
Database of Systematic Reviews (Vol. 2019, Issue 1). John Wiley and Sons
Ltd. https://doi.org/10.1002/14651858.CD005431.pub4
24
12. Nofityari, E., Ilahi, F., & Ariani, N. (2019). Analisis Karakteristik Pasien Trauma
Mata di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2016. In Jurnal Kesehatan Andalas
(Vol. 8, Issue 1). http://jurnal.fk.unand.ac.id
13. Rizkia, T., & Suhanda, R. (2022). Hifema grade i : a case series. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala , 22(4), 350–353.
https://doi.org/10.24815/jks.v22i4.28796
14. Nurwasis, dkk. 2017. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata:
Hifema pada Rudapaksa Tumpul. Hal 137-139. Penerbit: FK Unair, Surabaya.
15. Welch RG, Cruz BM, Hernández FY. Rupture of the eyeball. Rev Cub Med Mil .
2018;47(4):1-7.
17. Supit, W. (2021). Trauma Okular oleh Serangan Kerbau“ Laporan Kasus.
E-CliniC, 9(2), 424–428. https://doi.org/10.35790/ecl.v9i2.33847
18. Cambas AAA, Albert CA, Rodríguez LEI, et al. Trauma hyphema in a
patient with hemoglobinopathy. Rev Cub Oftal. 2018;31(4):67-73.
19. Dea Gratia Putri S, Dea and Rani Himayani, Rani and Muhammad Yusran,
Yusran (2019) Ulkus Kornea Impending Perforasi. Majority, 8 (1). pp. 35-
39. ISSN 2337-3776
21. Juandy A. Buku ajar oftalmologi. Edisi Pert. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2017. 551 p.
25
ligamentum flavum in lumbar spine stenosis is associated with increased
miR-155 level. Dis Markers. 2014;2014.
25. Paul RE, Augsburger JJ. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 19.
Jakarta: EGC; 2019. 542 p.
26