Anda di halaman 1dari 26

TUGAS REFERAT SEMESTER IV

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN – RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN MATA

DI SUSUN OLEH :
MUHAMMAD NUR ANAS

PEMBIMBING :
dr. Aditya P. Kartinofan, Sp.An
MODERATOR :
dr. Aunun Rofiq, Sp.An

DEPARTERMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNSOED/ RS. MARGONO SOEKARJO
PUWOKERTO
2023/ 2024
LEMBAR PENGESAHAN

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN MATA

DI SUSUN OLEH :
MUHAMMAD NUR ANAS

TELAH DISETUJUI OLEH :


Pembimbing : Moderator :
\

dr. Aditya P. Kartinofan, Sp.An dr. Aunun Rofiq, Sp.An

DEPARTERMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNSOED/ RS. MARGONO SOEKARJO
PUWOKERTO
2023/ 2024
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Operasi mata memiliki masalah tersendiri yang unik termasuk regulasi dari
tekanan intraokular, pengaturan ekspansi gas intraokular, pencegahan refleks
okulokardiak dan manajemen konsekuensinya, manajemen efek sistemik obat
mata, dan penggunaan sedasi ringan maupun sedang. Pemilihin penggunaan obat-
obatan anestesi menimbulkan tantangan tersendiri bagi para anestisiologis dalam
anestesi pada operasi mata. Selain itu terdapat dua teknik anestesi yang umum
dilakukan pada operasi mata yaitu anestesi general dan anestesi regional.
Pemilihan teknik anestesi berdasarkan keperluan dari operator dan untuk menjaga
kenyamanan dari pasien saat pembedahan. Tidak hanya itu, faktor- faktor lain
juga harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan teknik anestesi dan
penggunaan obat- obatannya karena operasi pada mata memiliki keunikan
tersendiri.
Anestesi general digunakan pada sekitar 35% kasus operasi mata, dimana
kebanyakan pada operasi retina yang lama dan operasi strabismus pada anak-anak.
Indikasi dari anestesi general ini diantaranya pasien tidak kooperatif, operasi mata
yang tidak boleh ada gerakan (akinesia), prosedur operasi lama (lebih dari 3-4
jam), daerah operasi tidak memungkinkan untuk dilakukan anestesi regional, lokal
maupun topikal. Masalah mana yang lebih aman antara anestesi general dan
anestesi regional masih menjadi perdebatan. Kedua teknik ini menunjukkan tidak
ada perbedaan pada post operasi dalam hal ingatan pasien, fungsi kognitif dan
saturasi oksigen (Basta, 2008).
Operasi mata merupakan tantangan yang unik untuk anestesi, termasuk
regulasi tekanan intraokuler (TIO), pencegahan dan pengelolaannya, serta refleks
okulokardiak (OCR). Pemahaman tentang mekanisme dan pengelolaan potensi
masalah ini dapat mempengaruhi hasil pembedahan (Morgan, et al, 2013).
Refleks okulokardiak merupakan refleks trigeminovagal dengan
manifestasi aritmia jantung yang dapat berupa bradikardia, denyut jantung
ektopik, ventrikuler takikardia, atau asistol yang dapat menjadi berbahaya bila
tidak diantisipasi dan ditangani dengan segera. Insidensi OCR paling sering terjadi
pada operasi strabismus pada anak-anak juga pada operasi retina dan operasi non
mata yang mengakibatkan penekanan atau tarikan pada bola mata (Feldman,
2010; Allison, 2000).
Untuk dapat memhami komplikasi potensial yang dapat ditimbulkan,
sangat penting untuk memahami teknik anestesia umum, regional, lokal, dan
sedasi untuk operasi mata akan mempengaruhi outcome pre operasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI MATA


Bola mata mempunyai diameter sekitar 24 mm. Bola mata bersama
ligamentum, fascia, dan otot-otot ekstra okuler berada dalam ruang orbita yang
berbentuk seperti piramida yang tersusun atas tulang frontalis, zygomaticum,
sphenoidalis, maksilaris, palatinus, lakrimalis, dan ethmoidalis. Bagian tepi atas
orbita ada lekukan atau kanal dekat akhir medial untuk transmisi syaraf supra
orbita dan foramen di bawah tepi bagian bawah untuk transmisi syaraf infraorbita.
Penunjuk ini digunakan untuk prosedur blok retrobulber, peribulber atau teknik
blok yang lain dan untuk injeksi obat anestesi lokal yang akan memblok di daerah
syaraf tersebut (Feldman, 2010; McGoldrick, 2006).
Bola mata terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Lapisan paling luar fibrosa sklera yang berhubungan ke depan dengan
kornea dan keduanya ditutup oleh konjunctiva yang merupakan
permukaan dalam dari pelpebra. Fungsi dari sklera sebagai proteksi,
memberikan rigiditas untuk memberi bentuk bola mata,
2. Lapisan tengah yaitu lapisan vaskuler tersusun oleh koroid di bagian
posterior, badan silier dan iris di bagian anterior,
3. Lapisan dalam syaraf retina (McGoldrick, 2006; Feldman, 2010).
Struktur penting lainnya yang mengelilingi bola mata adalah otot-otot
ekstraokuler. Gerakan bola mata dimungkinkan dengan adanya otot-otot bola
mata yang terdiri dari :
1. Muskulus rektus medialis,
2. Muskulus rektus lateralis,
3. Muskulus rektus superior,
4. Muskulus rektus inferior,
5. Muskulus oblikus superior,
6. Muskulus oblikus inferior.
Keempat muskulus rektus berorigo pada anulus fibrosus pada apeks orbita dan
insersionya pada sklera membentuk ruangan berupa konus otot berisi syaraf, arteri
dan vena (Feldman, 2010).
Otot-otot bola mata mendapatkan persyarafan dari nervus kranialis adalah
sebagai berikut :
1. Nervus okulomotorius (N III) mempersyarafi : muskulus rektus medialis,
muskulus rektus superior, muskulus rektus inferior, muskulus oblikus
inferior dan muskulus levator palpebra superior,
2. Nervus troklearis (N IV) bersifat motorik mempersyarafi muskulus oblikus
superior,
3. Nervus abdusens (N VI) bersifat motorik mempersyarafi muskulus rektus
lateralis (Feldman, 2010; Basta, 2008).

2.2 TEKANAN INTRAOKULAR


2.2.1 Fisiologi Tekanan Intraokular
Mata merupakan organ berbentuk bulat dengan dinding yang kaku. Jika
konten dari mata tersebut meningkat, maka tekanan intraokular akan meningkat
yang mana rentang normalnya antara 12mmHg – 20 mmHg. Contohnya pada
kasus glaukoma yang disebabkan oleh obstruksi aliran keluar dari aqueous humor.
Sama halnya dengan peningkatan volume darah intraokular akan meningkatkan
tekanan intraokular. Peningkatan pada tekanan pembuluh darah vena akan
meningkatkan tekanan intraokular karena dapat mengurangi drainase dari aqueous
humor dan meningkatkan volume darah koroid. Perubahan ekstrim pada tekanan
darah arteri dan ventilasi juga dapat mempengaruhi tekanan intraokular. Beberapa
kejadian seperti laringoskopi, intubasi, dan obstruksi airway, batuk, dan posisi
Trendelenburg juga dapat mempengaruhi tekanan intraokular.
Mengurangi ukuran dari bola mata tanpa merubah volume dari kandungan
bola mata juga dapat meningkatkan tekanan intraokular. Tekanan pada mata
akibat penggunaan topeng yang ketat, posisi telentang, dan perdarahan retrobulbar
juga dapat meningkatkan tekanan intraokular.
Tekanan intraokular dapat berfungsi untuk mempertahakan bentuk dan
fungsi optikal dari mata. Perubahan variasi normal dari tekanan bola mata masih
dapat ditoleransi oleh kondisi mata yang normal. Contohnya pada saat berkedip
akan meningkatkan tekanan intraokular sebanyak 5 mmHg, dan menyipitkan mata
akibat dari kontraksi dari otot orbicularis oculi, dapat meningkatkan tekanan
intraokular hingga lebih dari 50mmHg. Walaupun terjadi peningkatan tekanan
intraokular sementara pada pasien dengan tekanan arteri oftalmikus yang rendah
contohnya pada pasien dengan hipotensi, arteriosklerosis pada arteri retina dapat
memperngaruhi perfusi retina dan dapat menyebabkan iskemik. Ketika bola mata
dibuka saat insisi pada operasi atau pada trauma perforasi, tekanan intraokular
berhubungan dengan tekanan atmosfer. Berbagai factor yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraokular pada kondisi bola mata terbuka dapat
menyebabkan drainase aqueous humor atau ekstrusi dari cairan vitrous melalui
daerah luka yang dapat menyebabkan komplikasi yang serius hingga terjadi
penurunan penglihatan yang permanen (Morgan, et al, 2013).

2.2.2 Efek Obat Anestesi pada Tekanan Intraokular


Kebanyakan obat – obatan anestesi menurunkan tekanan tekanan
intraokular atau bahkan tidak memberikan efek apapun (tabel 2.1). Obat anestasi
inhalasi menurukan tekanan intraokular pada dosis yang digunakan untuk anestesi
dalam. Penurunan tekanan intraokular ini memiliki beberapa efek, yaitu
penurunan tekanan darah mengurangi volume koroid, relaksasi tekanan dinding
otot ekstraokuli bawah, dan konstriksi pupil yang melancarkan aliran dari aqueous
humor. Obat – obatan anestsi intravena juga dapat menurunkan tekanan
intraokular, kecuali ketamine, yang mana dapat meningkatkan tekanan darah arteri
dan tidak memiliki efek relaksasi otot ekstraokuli.
Penggunaan obat antikolinergik topikal menyebabkan dilatasi pupil
(midriasis), yang man adapt menyebabkan atau memperburuk glaukoma sudut
tertutup. Penggunaan atropine dan glikopirolate sistemik untuk premedikasi tidak
ada hubungan dengan hipertensi intraokular, bahkan pada pasien dengan
glaukoma. Penggunaan Susinilkolin dapat meningkatkan tekanan intraokular 5 –
10 mmHg pada 5 – 10 menit pasca pemberian, hal ini terjadi akibat kontraksi otot
– otot ekstraokuli yang lama. Meski demikian, terdapat penelitian yang dilakukan
pada 1000 pasien dengan cidera mata tebruka, tidak ada yang mengalami ektrusi
isi dari bola mata pasca pemberian Susinilkolin. Tidak seperti otot lainnya, otot –
otot ekstraokuli mengandung miosit dengan neuromuscular junction yang
multiple, dan derpolarisasi berulang sel miosit oleh pemberian Susinilkoline
menyebabkan kontraksi yang berkepanjangan. Akibat dari peningkatan tekanan
intraokular dapat menimbulkan beberapa efek. Hal ini dapat menimbulkan
peningkatan tekanan intraokular palsu pada pasien glaukoma dibawah pengaruh
obat anestesi sehingga berpotensi menyebabkan pembedahan yang tidak
diperlukan Nondepolarizing Neuromuscular Blockers (NMBs) tidak
menyebabkan peningkatan tekanan intraocular (Morgan, et al, 2013).

Tabel 2.1. Efek Obat – Obat Anestesi pada Tekanan Intraokular (Morgan, et al,
2013).

Jenis Obat Efek pada TIO


Anestesi inhalasi

 Agen volatile

 Nitrous Oxide
Anestesi intravena
 Propofol 
 Benzodiazepines 
 Ketamine ?
 Opioids 
Muscle relaxants
 Susinilkoline 
 Nondepolarizers -/
2.3 REFLEKS OKULOKARDIAK
Traksi pada otot – otot ekstraokuli, tekanan pada bola mata, dan pemberian
blok retrobulbar, dan trauma pada mata dapat menimbulkan disaritmia jantung
yang bervariasi dari bradikardi dan ventricular ektopi hingga sinus arrest atau
ventricular fibrilasi. Refleks ini terdiri dari aferen trigeminus (V1) dan jalur eferen
Vagal. Refleks okulokardiak paling sering terjadi pada pasien pediatri dengan
operasi strabismus. Meski demikian refleks ini dapat terjadi pada berbagai
kelompok usia dan pada saat dilakukan prosuder pada mata, termasuk ekstraksi
katarak, enukleasi, dan perbaikan retinal detachment. Pada pasien sadar, relfeks
okulokardiak dapat disertai dengan mual.
Pengunaan propilaksis untuk reflek okulokardiak masih kontroversial.
Obat – obatan antikolinergik terkadang cukup membantu mengurangu refkeks
okulokardiak, dan penggunaan atropine dan glikopirolate intravena sebelum
pembedahan lebih efektif daripada premedikasi intramuscular. Meski demikian,
penggunaan antikolinergik harus hati – hati pada pasien dengan atau mungkin
memiliki penyakit jantung coroner karena berpotensi meningkatkan heart rate
yang dapat menginduksi iskemik miokard. Vntrikular takikardi dan ventikular
fibrilasi pasca pemberian antikolinergik juga telah dilaporkan terjadi. Retrobulbar
Blockade atau anestesi dalam dengan inhalasi juga dapat mencetuskan refleks
okulokardiak.
Tatalaksana jika terjadi refleks okulokardiak, yaitu: 1. Segera beritahu
operator dan hentikan sementara stimulasi operasi hingga heart rate meningkat;
2. Konfirmasi ventilasi, oksigenasi, dan kedalaman anestesi yamg adekuat; 3.
Pemberian atropine intervena (10 mcg/kg) jika bradikardi menetap; dan 4. Jika
masih menetap, infiltrasi dari otot rektus dengan anestesi lokal. Refleks lama
kelamaan akan hilang akibat kelelahan dari otot – otot ekstraokuli (Morgan, et al,
2013).

2.4 EKSPANSI GAS INTRAOKULAR


Gelembung gas diinjeksikan oleh ophthalmologist ke dalam posterior
chamber pada operasi vitreous. Injeksi udara intrevetreal cenderung memipihkan
retina yang lepas dan mengekibatkan penyembuhan secara anatomis. Gelembung
udara dapat diabsobsi dalam 5 hari melalui difusi gradual melewati jaringan
terdekat menuju pembuluh darah. Ukuran gelembung akan meningkat apabila
dilakukan pemberian nitrous oxide karena 35 kali lebih larut daripada nitrogen
yang ada di darah. Jika terjadi pengembangan gelembung saat mata tertutup akan
terjadi peningkatan tekanan intraokular.
Sulfur hexaflurida merupakan gas yang memiliki kelarutan pada darah
yang lebih rendah dibandingkan nitrogen dan kelarutannya lebih rendah
dibandingkan nitrous oxide. Durasi aksinya yang lebih panjang hingga 10 hari
dibandingn gelembung udara biasa memiliki efek terapi yang lebih
menguntungkan. Meskipun injeksi Sulfur hexaflurida dengan volume yang tinggi
menyebabkan ekspansi gelembung secara perlahan tidak menyebabkan
peningkatan tekanan intraokular. Jika pasien menghirup nitrous oxide, gelembung
akan ekspansi dengan cepar dan menyebabkan hipertensi intraokular. Inspirasi
70% konsentrasi dari nitrous oxide hampir meningkatkan ekspansi gelembung
berukuran 1- mL sebenyak 3 kali dan dapat meningkatkan tekanan intraokular 2
kali lipat saat mata tertutup dalam 30 menit. Penghentian penggunaan nitrous
oxide menyebabkan reabsorbsi gelembung yang menyebabkan terjadi
pencampuran nitrous oxide dan sulfur hexaflurida. Penurunan tekanan intraokular
yang mendadak dapat menyebabkan terjadinya retinal detachment.
Komplikasi yang melibatkan ekspansi gas gelembung dapat dihindari
dengan penghentian penggunaan nitrous oxide selama 15 menit sebelum injeksi
udara atau sulfur hexaflurida, atau dengan menghindari penggunaan nitrous oxide.
Waktu yang diperlukan untuk mengeliminasi nitrous oxide dari darah dipengaruhi
beberapa faktor termasuk aliran udarah segar, dan kemampuan ventilasi alveolar.
Anestesi dalam harus dipertahankan dengan agen anestesi pengganti. Nitrous
oxide harus dihindari hingga gelembung diabsorbsi selama 5 hari pasca injeksi
udara dan 10 hari pasca injeksi sulfur hexaflurida . Banyak ophthalmologist
meminta untuk tidak menggunakan nitrous oxide (Morgan, et al, 2013).
2.5 EFEK SISTEMIK OBAT – OBATAN OFTALMIK
Obat tetes mata topikal akan diabsorbsi secara sistemik melalui pembuluh
darah di kantong konjungtiva dan mukosa duktus nasolakrimalis. Satu tetes
(biasanya sekitar 1/20mL) dari 10% Phenylephrine mengandung sekitar 5 mg
obat. Apabila dibandingkan dengan dosis intravena dari Phenylephrine (0,05 – 0,1
mg) yang digunakan untuk mengobati pasien dewasa dengan hipertensi. Medikasi
yang diberikan secara topikal ke mukosa diabsorbsi secara sistemik dengan laju
absorbsi menengah jika dibandingkan dengan laju absorbsi setelah injeksi
intravena dan injeksi subkutan (dosis toksis Phenylephrine pada pemberian
subkutan yaitu 10 mg). Anak – anak dan orang tua memiliki risiko terkena efek
toksik terhadap medikasi topikal dan harus diberikan setidaknya cairan
Phenylephrine 2,5%. Namun, kelompok usia ini merupakan yang paling banyak
dalam kasus operasi mata.
Echotiophate merupakan cholinesterase inhibitor yang irreversible yang
digunakan pada pasien glaukoma. Pemberian secara topikal menyebabkan
absorbsi sistemik dan mengurangi reaksi kolinesterase plasma. Oleh karena
Susinilkolin dimetabolisme oleh enzim ini maka pemberian bersamaan dengan
Echotiophate akan memperpanjang durasi aksinya. Paralisis biasanya tidak lebih
dari 20 – 30 menit, meski demikian, apnea pasca operasi jarang dijumpai. Inhibisi
dari aktivitas kolinesterase bertahan selama 3 – 7 minggu pasca pemberhentian
penggunaan Echotiophate. Efek samping muskarinik, seperti bradikardi selama
induksi, dan dapat dicegah dengan pemberian obat aintikolinergik intravena
(seperti, atropine, glycopyrolate).
Obat tetes mata Ephinephrine dapat menyebabkan hipertensi, takikardi,
dan disaritmia ventrikel yang mana efek disaritmogenik yang dipotensikan oleh
halothane. Pemberian Ephinephrine langsung pada bilik mata depan tidak ada
hubungannya dengan kejadian toksisitas kardiovaskular.
Timolol, merupakan nonselective β-adrenergic antagonist, menurukan
tekanan intraokular dengan menurunkan produksi aqueous humor. Timolol topikal
umumnya digunakan pada pasien glaukoma, namun terkadang dapat menurukan
heart rate. Pada beberapa kasus, namun jaran, dikatakan ada asosiasi dengan
atropine resistant bradikardi, hipotensi, dan bronkospasme selama anestesi umum
(Morgan, et al, 2013).

2.6. ANESTESI GENERAL PADA OPERASI MATA


Pemilihan antara anestesi umum dan lokal harus diputuskan bersama
pasien, anestesiologis, dan operator. Belum ada kesimpulan prosedur mana yang
lebih aman. Anestesi lokal dapat menyebabkan ketakutan pasien karena tetap
sadar selama operasi atau nyeri yang tidak tertangani secara adekuat. Anestesi
umum diindikasikan untuk pasien yang tidak kooperatif, karena gerakan kepala
sedikit saja dapat berbahaya pada pembedahan mikro, dan pada tehnik
pembedahan dimana anestesi lokal dikontraindikasikan (Morgan, et al, 2013).
2.6.1 Premedikasi
Pasien yang akan menjalani pembedahan mata dapat beragam, khususnya
yang akan menjalani prosedur multipel dan kemungkinan terjadi kebutaan
permanen. Pasien dewasa seringkali tua dengan berbagai penyakit sistemik
(hipertensi, DM, penyakit arteri koroner). Semua faktor tersebut harus
dipertimbangkan dalam pemilihan obat premedikasi (Morgan, et al, 2013).
Pada pasien pediatrik dengan kelainan mata kongenital sering diikuti
dengan kelainan kongenital organ lain dan memerlukan penanganan khusus
(Feldman, 2010).
Premedikasi yang ideal harus bisa mengendalikan ansietas dan PONV
tanpa mempengaruhi TIO. Tidak ada bukti pemberian atropin i.m. akan
meningkatkan TIO, meskipun pada pasien glaukoma. Benzodiazepin seperti
midazolam dan diazepam adalah ansiolisis yang efektif serta mempunyai
kemampuan amnestik. Tetapi harus dihindari dosis yang besar karena dapat
menyebabkan midriasis, hal ini harus dihindari pada pasien glaukoma sudut
sempit. Midazolam 2-4 mg i.m.30 menit preoperatif atau 1-2 mg i.v. segera
sebelum retrobulber blok atau sebagai alternatif diazepam 5-10 mg p.o. 1 jam
preoperatif bisa digunakan dan sangat efektif digunakan (Wu, 2007).
Narkotik, jika digunakan harus diberikan dengan kombinasi antiemetik
seperti promethazine (phenergan), hidroksizin (vistaril), atau droperidol.
Barbiturat memberikan tingkat sedasi yang bervariasi dengan durasi yang panjang
tetapi tidak memberikan analgesia, amnesia, atau pengendalian ansietas (Wu,
2007).

2.6.2 Induksi
Pemilihan tehnik induksi untuk operasi mata biasanya tergantung lebih ke
arah kondisi medis pasien daripada penyakit matanya atau tipe pembedahannya.
Pengecualian pada pasien ruptur bole mata yang kuncinya adalah menjaga TIO
dengan induksi yang smooth. Batuk selama intubasi harus dihindari dengan
anestesi yang dalam dan paralisis yang cukup. Respon TIO terhadap laringoskopi
dan intubasi endotrakeal dapat dihindari dengan pemberian lidokain i.v. 1,5 mg/kg
atau fentanyl 3-5 g/kg. Pelumpuh otot non depolarisasi bisa digunakan untuk
menggantikan suksinilkolin (Morgan, et al, 2013; Wu, 2007; Feldman, 2010).

2.6.3 Monitoring dan Maintenance


Operasi mata sering menjauhkan anestesiologis dari airway pasien.
Membuat pulse oksimetri sangat dibutuhkan untuk pemantauan. Monitoring
sirkuit dari kebocoran atau ekstubasi yang tidak disengaja sangat penting.
Kemungkinan kinking atau obstruksi ET bisa diminimalisir dengan menggunakan
reinforced ET atau preformed right angle ET. Kemungkinan disritmia karena
OCR membutuhkan monitoring EKG. Pada anak suhu sering meningkat selama
operasi mata karena penutupan dari kepala sampai ujung kaki (Morgan, et al,
2013; Lentschener, 2002).
Nyeri dan stress oleh pembedahan mata termasuk lebih sedikit
dibandingkan pembedahan intra abdominal. Kurangnya stimulasi kardiovaskuler
dan kebutuhan untuk anestesi yang adekuat dapat berakibat hipotensi pada pasien
tua. Problem ini dapat dihindari dengan memberikan hidrasi i.v. yang adekuat
serta memberikan efedrin dosis kecil 2-5 mg atau memantapkan paralisis
intraoperatif dengan pelumpuh otot non depolarisasi yang memungkinkan level
anaestesi yang lebih ringan (Morgan, et al, 2013).
Muntah akibat stimulasi vagal merupakan masalah post operatif yang
umum khususnya setelah operasi strabismus. Efek valsava dan peningkatan CVP
yang menyertai muntah dapat merugikan pembedahan dan meningkatkan resiko
aspirasi. Pemberian metoklopramid intraoperatif 10 mg pada dewasa atau dosis
kecil droperidol 20 g/kg akan berguna. Ondansetron karena mahal diberikan
khusus pada pasien yang mempunyai riwayat mual muntah post operatif (Morgan,
et al, 2013; Madan, 2005; Welters, 2000).

2.6.4 Ekstubasi dan Pemulihan


Walaupun materi untuk penjahitan modern dan tehnik penutupan luka
mengurangi resiko dehisensi, pemulihan yang smooth tetap dibutuhkan. Batuk
selama ekstubasi dapat dicegah dengan ekstubasi selama pasien masih teranestesi
dalam. Pada saat operasi berakhir obat pelumpuh otot direverse dan nafas spontan
akan kembali. Agen anestesi diteruskan selama penyedotan jalan nafas, N2O
dihentikan dan lidokain i.v. 1,5 mg/kg dapat diberikan untuk menumpulkan
refleks batuk. Ekstubasi membutuhkan waktu 1-2 menit setelah lidokain diberikan
dan selama respirasi spontan 100% oksigen. Kontrol airway yang tepat sangat
penting sampai refleks batuk dan menelan kembali. Tetapi tehnik ini tidak tepat
untuk pasien dengan resiko aspirasi (Morgan, et al, 2013; Wu, 2007; Feldman,
2010).
Nyeri post operatif yang berat tidak lazim pada operasi mata. Skleral
buckling, enukleasi, dan repair ruptur bola mata merupakan prosedur yang paling
menyakitkan. Dosis kecil narkotik i.v. dapat diberikan (mis. 15-25 mg meperidin
untuk dewasa) biasanya cukup. Nyeri yang berlebihan merupakan tanda hipertensi
intraokuler, abrasi kornea, atau komplikasi pembedahan yang lain (Morgan, et al,
2013).

2.7 ANESTESI REGIONAL PADA OPERASI MATA


Beberapa pilihan teknik anestesi regional yang umum digunakan untuk
operasi mata antara lain anestesi topikal, blok retrobulbar, blok peribulbar, dan
blok sub-Tenon. Semua teknik anestesi ini paling sering dikombinasikan dengan
sedasi intravena. Pada operasi mata, anestesi lokal lebih dipilih dibandingkan
anestesi umum karena anestesi lokal menyebabkan gangguan fisiologis yang lebih
minimal dan kemungkinan terjadinya PONV (Postoperative Nausea and
Vomiting) lebih kecil. Namun, prosedur blok kemungkinan tidak memberikan
akinesia atau analgesia mata yang memadai. Beberapa pasien mungkin tidak dapat
berbaring diam selama operasi. Untuk alasan ini, peralatan yang tepat dan
personel yang memadai untuk menginduksi anestesi umum harus tersedia
(Morgan, et al, 2013).
2.7.1 Anestesi Topikal
Anestesi lokal telah digunakan sebagai metode utama untuk memfasilitasi
kondisi bebas nyeri pada operasi katarak di Inggris. Beberapa obat yang
digunakan termasuk oxybuprocaine 0,4%, proxymetacaine 0,5%, tetracaine 0,5%,
atau lidocaine 3,5% dan dapat diberikan dalam bentuk tetes atau gel (Tighe, et al,
2012).
Mata disiapkan dengan mengaplikasikan beberapa tetes anestesi lokal ke
dalam kantung konjungtiva, 5-10 menit sebelum operasi. Anestesi topikal bekerja
dengan cara memblokir cabang terminal dari saraf trigeminal di kornea dan
konjungtiva saja, sehingga tidak memberikan anestesi ke struktur intra-okuler atau
akinesia bola mata. Nyeri yang dirasakan pasien selama pemberian anestesi
topikal bersifat minimal, namun pasien kadang mengeluh nyeri intra-operatif
melalui rute ini. Kerusakan epitel kornea dapat terjadi karena paparan anestesi
lokal (paling sering dengan tetracaine), namun biasanya bersifat reversibel dan
jarang menyebabkan keratopati (Tighe, et al, 2012).

2.7.2 Blok Retrobulbar


Atkinson pada tahun 1936 adalah orang yang pertama kali menjelaskan
teknik anestesi retrobulbar secara rinci, meskipun sebelumnya pernah diutarakan
oleh Knapp pada tahun 1884. Dalam teknik ini, anestesi lokal disuntikkan ke
belakang mata ke dalam konus yang dibentuk oleh otot ekstraokuler. Jarum tipe
25 ditusukkan pada kelopak mata bawah perbatasan pertengahan dan 1/3 lateral
orbita (biasanya 0,5 cm medial ke lateral kantus). Pasien diintruksikan agar
melihat ke supranasal pada saat jarum ditusukkan 3,5 cm di bagian apex otot
konus. Setelah dilakukan aspirasi untuk menghindari injeksi intravaskuler, 3-5 mL
anestesi lokal diinjeksikan dan jarum dilepaskan. Pemblokan nervus fasialis
diperlukan untuk mencegah pasien berkedip. Pemilihan anestesi lokal bervariasi,
tetapi lidokain 2% dan bupivakain 7,5% paling banyak digunakan. Penambahan
epinefrin (1: 200.000 atau 1: 400.000) dapat mengurangi perdarahan dan
memperpanjang anestesi. Hyaluronidase (3 - 7 U / mL), hidroliser polisakarida
jaringan ikat, sering ditambahkan untuk meningkatkan penyebaran retrobulbar
anestesi lokal. Temperatur obat anestesi yang diberikan diupayakan sesuai dengan
suhu tubuh, untuk mengurangi efek nyeri maupun rasa tidak nyaman saat
disuntikkan (Morgan, et al, 2013).
Keberhasilan blok retrobulbar dihubungkan dengan adanya anestesi,
akinesia, dan mencegah refleks okulosefalik. Jumlah cairan anestesi yang
disuntikkan pada anestesi retrobulbar tidak perlu terlalu banyak, yaitu cukup 3,5
mL sudah memberikan hasil anestesi dan akinesia yang baik. Anestesi retrobulbar
yang baik akan mulai memberikan efek anestesi dalam waktu 4-5 menit, dan
lamanya anestesi mencapai puncak sekitar 1-2 jam, dimana efek anestesi akan
berangsur-angsur menurun selama 4 jam (Tighe, et al, 2012).
Komplikasi injeksi retrobulbar anestesi lokal meliputi perdarahan
retrobulbar, perforasi bola mata, atrofi saraf optik, injeksi intravaskular dengan
kejang yang dihasilkan, refleks okulokardiak, blok saraf trigeminal, henti
pernapasan, dan jarang menimbulkan edema paru neurogenik akut. Injeksi kuat
anestesi lokal ke dalam arteri ophthalmic menyebabkan aliran retrograde ke otak
dan dapat menyebabkan kejang seketika. Sindrom apnea blok postretrobulbar
mungkin disebabkan oleh injeksi anestesi lokal ke dalam selubung saraf optik,
dengan penyebaran ke cairan serebrospinal. Sistem saraf pusat terpapar pada
anestesi lokal konsentrasi tinggi, yang menyebabkan perubahan status mental
yang mungkin termasuk tidak sadar. Apnea terjadi dalam 20 menit dan sembuh
dalam satu jam. Pengobatan bersifat suportif, dengan ventilasi tekanan positif
untuk mencegah hipoksia, bradikardia, dan henti jantung. Kecukupan ventilasi
harus terus dipantau pada pasien yang telah menerima anestesi retrobulbar. Injeksi
retrobulbar biasanya tidak dilakukan pada pasien dengan gangguan perdarahan
karena risiko perdarahan retrobulbar, miopia ekstrem karena bola mata yang
memanjang meningkatkan risiko perforasi, atau cedera mata terbuka karena
tekanan dari menyuntikkan cairan di belakang mata dapat menyebabkan ekstrusi
dari isi intraokular melalui luka (Morgan, et al, 2013).

Gambar 2.1 Blok Retrobulbar (Morgan, et al, 2013)

2.7.3 Blok Peribulbar


Anestesi peribulbar menjadi pilihan karena beberapa komplikasi yang
mungkin terjadi jika menggunakan teknik retrobulbar. Pada teknik peribulbar,
jarum suntik hanya ditusukkan di sekitar orbita, sehingga arah jarum tidak perlu
dibelokkan kearah retrobulbar sehingga mengurangi resiko untuk mengalami
komplikasi berat seperti ruptur sklera ataupun trauma pada nervus optikus
(Morgan, et al, 2013).
Efek anestesi dengan teknik peribulbar lebih lambat timbul dibandingkan
retrobulbar, yaitu membutuhkan waktu sekitar 8-12 menit untuk menimbulkan
efek anestesi dan akinesia yang adekuat, sedangkan masa kerjanya sama seperti
teknik retrobulbar. Hal ini mengingat pada teknik retrobulbar dimana zat anestesi
yang disuntikkan langsung mencapai cabang utama nervus III, IV, V, dan VI yang
berada di daerah konus tempat insersi otot-otot ekstraokuler. Volume anestesi
yang disuntikkan lebih besar daripada injeksi retrobulbar, yaitu 6-12 mL
(Salahuddin, 2010).
Pada teknik peribulbar, jarum suntik tidak perlu diarahkan ke daerah
retrobulbar, tetapi cukup tegak lurus menyusuri pinggir orbita. Jarum yang
digunakan adalah jarum berukuran 25G dengan panjang jarum 1,25 inci. Pada saat
awal dilakukan penyuntikan, yaitu pada daerah 1/3 temporal dan jarum baru
masuk beberapa milimeter, dapat disuntikan 1 cc cairan anestesi untuk
mengurangi rasa sakit. Kemudian jarum diteruskan sampai mencapai daerah
ekuator bola mata dengan kedalaman sekitar 3 cm, dimana sebanyak 4 cc cairan
anestesi disuntikkan setelah sebelumnya dilakukan aspirasi terlebih dahulu untuk
memastikan bahwa tidak ada darah yang di aspirasi. Setelah itu jarum ditarik
tegak lurus sampai keluar dan dapat diberikan suntikan kedua pada bagian atas di
daerah nasal sebanyak 2 cc untuk menambah efek akinesia (Salahuddin, 2010).

Gambar 2.2 Blok Peribulbar (Salahuddin, 2010)

2.7.4 Blok Sub-Tenon


Anestesi sub-tenon dapat dijadikan pilihan karena memberikan beberapa
keuntungan, seperti risiko anestesi yang sangat minimal dibandingkan teknik
retrobulbar, serta jumlah obat anestesi yang digunakan sangat sedikit, hanya 1-2
cc. Persiapan penderita sebelum dilakukan anestesi sub-tenon adalah dengan
pemberian anestesi topikal lidocaine 4%, yaitu sebanyak satu tetes tiap 10 menit
selama 20 menit menjelang operasi. Setelah pasien berada di meja operasi dan
dilakukan tindakan asepsis, dilakukan insisi pada konjungtiva inferior bagian
nasal sekitar 3 mm dari limbus, menggunakan gunting konjungtiva sampai
kelihatan bagian sklera. Jika terjadi perdarahan, diatasi dengan kauterisasi.
Melalui luka insisi tersebut dimasukkan kanula sub-tenon menyusuri dinding bola
mata sampai mencapai daerah ekuator, lalu disuntikkan sebanyak 1 cc larutan
anestesi campuran lidocaine 2% dan bupivacaine hydrochloride 0,75%. Tunggu 3-
5 menit agar laruran anestesi ini mengalami difusi ke seluruh lingkaran ekuator
untuk memberikan efek anestesi dan akinesia yang baik (Tighe, et al, 2012).

Gambar 2.3 Blok Sub-Tenon (Tighe, et al, 2012)

2.8 Ablasio Retina Regmatogenosa


2.8.1 Definisi
Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel batang
retina dari sel epitel pigmen retina. Pada ablasio retina regmatogenosa, terjadi
robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel
dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreus)
yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga
mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid (Feltgen &
Walter, 2014).

2.8.2 Epidemiologi
Angka kejadian ablasio retina adalah 1 dari 15.000 orang. Ablasio retina
paling sering dikaitkan dengan miopia, afakia, pseudofakia, dan trauma. Sekitar
40-50% dari semua pasien dengan ablasio memiliki miopia tinggi (>6 dioptri), 30-
35% pernah menjalani operasi pengangkatan katarak, dan 10-20% pernah
mengalami trauma okuli (Feltgen & Walter, 2014).
2.8.3 Diagnosis
Ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
oftalmologi dan pemeriksaan penunjang. Gejala umum pada ablasio retina yang
sering dikeluhkan penderita adalah (Fraser & Steel 2010):
a. Floaters (terlihat benda melayang-layang) yang terjadi karena adanya
kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau
degenerasi vitreus.
b. Fotopsi (kilatan cahaya), tanpa adanya sumber cahaya di sekitarnya, yang
umumnya terjadi sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya atau
dalam keadaan gelap.
c. Penurunan tajam penglihatan, penderita mengeluh penglihatannya sebagian
seperti tertutup tirai yang semakin lama semakian luas. Pada keadaan yang
telah lanjut, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan yang berat.
Pada ablasio regmatogenosa, pada tahap awal masih relatif terlokalisir,
tetapi jika hal tersebut tidak diperhatikan oleh penderita maka akan berkembang
menjadi lebih berat jika berlangsung sedikit demi sedikit menuju ke arah makula.
Keadaan ini juga tidak menimbulkan rasa sakit. Kehilangan penglihatan dapat
tiba-tiba terjadi ketika kerusakannya sudah parah. Pasien biasanya mengeluhkan
adanya awan gelap atau tirai di depan mata (Fraser & Steel 2010).
Selain itu perlu dianamnesa adanya faktor predisposisi yang menyebabkan
terjadinya ablasio retina seperti adanya riwayat trauma, riwayat pembedahan
sebelumnya seperti ekstraksi katarak, pengangkatan corpus alienum intraokuler,
riwayat penyakit mata sebelumnya (uveitis, perdarahan vitreus, ambliopia,
glaukoma, dan retinopati diabetik). Riwayat keluarga dengan sakit mata yang
sama serta riwayat penyakit yang berhubungan dengan ablasio retina (diabetes
mellitus, tumor, eklamsia, dan prematuritas) (Fraser & Steel 2010).
Adapun tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pemeriksaan oftalmologi
antara lain (Feltgen & Walter, 2014):
1. Pemeriksaan visus. Dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat
terlibatnya makula lutea atau kekeruhan media refrakta atau badan kaca yang
menghambat sinar masuk. Tajam penglihatan akan sangat terganggu bila
makula lutea ikut terangkat.
2. Tekanan intraokuler biasanya sedikit lebih tinggi, normal, atau rendah.
3. Pemeriksaan funduskopi. Merupakan salah satu cara terbaik untuk
mendiagnosa ablasio retina dengan menggunakan oftalmoskop inderek
binokuler. Pada pemeriksaan ini retina yang mengalami ablasio tampak
sebagai membran abu-abu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler
koroid. Jika terdapat akumulasi cairan pada ruang subretina, didapatkan
pergerakan undulasi retina ketika mata bergerak. Pembuluh darah retina yang
terlepas dari dasarnya berwarna gelap, berkelok-kelok dan membengkok di
tepi ablasio. Pada retina yang terjadi ablasio telihat lipatan-lipatan halus. Satu
robekan pada retina terlihat agak merah muda karena terdapat pembuluh
koroid dibawahnya.
4. Electroretinography (ERG) adalah dibawah normal atau tidak ada.
5. Ultrasonography mengkonfirmasikan diagnosis.

2.8.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan. Pada
pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara (Moisseiev, et al, 2017) :
a. Scleral buckle
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa
terutama tanpa disertai komplikasi lainnya. Tujuan skleral buckling adalah untuk
melepaskan tarikan vitreus pada robekan retina, mengubah arus cairan intraokuler,
dan melekatkan kembali retina ke epitel pigmen retina. Prosedur meliputi
lokalisasi posisi robekan retina, menangani robekan dengan cryoprobe, dan
selanjutnya dengan skleral buckle (sabuk). Pertama-tama dilakukan cryoprobe
atau laser untuk memperkuat perlengketan antara retina sekitar dan epitel pigmen
retina. Sabuk dijahit mengelilingi sklera dengan jahitan tipe matras pada sklera,
sehingga terjadi tekanan pada robekan retina sehingga terjadi penutupan pada
robekan tersebut. Penutupan retina ini akan menyebabkan cairan subretinal
menghilang secara spontan dalam waktu 1-2 hari.
b. Retinopeksi pneumatik
Retinopati pneumatik merupakan metode yang sering digunakan pada
ablasio retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada bagian
superior retina. Tujuan dari retinopeksi pneumatik adalah untuk menutup
kerusakan pada retina dengan gelembung gas intraokular dalam jangka waktu
yang cukup lama hingga cairan subretina direabsorbsi. Teknik pelaksanaan
prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung gas (SF6 atau C3F8) ke
dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina dan
mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui robekan. Jika robekan dapat ditutupi
oleh gelembung gas, cairan subretinal biasanya akan hilang dalam 1-2 hari.
c. Vitrektomi
Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio
regmatogenosa yang disertai traksi vitreus atau perdarahan vitreus. Cara
pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil pada dinding bola mata
kemudian memasukkan instrumen pada ruang vitreous melalui pars plana. Setelah
itu dilakukan vitrektomi dengan vitreous cutter untuk menghilangkan berkas
badan kaca, membran, dan perlengketan- perlengketan. Teknik dan instrumen
yang digunakan tergantung tipe dan penyebab ablasio.

2.8.5 Prognosis
Penatalaksanaan bedah berhasil pada 80% pasien ablasio retina. Hasil
akhir perbaikan pada penglihatan tergantung dari beberapa faktor, misalnya
keterlibatan makula. Dalam keadaan dimana ablasio telah melibatkan makula,
ketajaman penglihatan jarang kembali normal. Lubang, robekan, atau tarikan baru
mungkin terjadi dan menyebabkan ablasio retina yang baru. Suatu penelitian telah
melaporkan bahkan setelah pemberian terapi preventif pada robekan retina, 5% -
9% pasien dapat mengalami robekan baru pada retina (Fraser & Steel 2010).
BAB V
KESIMPULA
N

Terdapat dua teknik anestesi yang umum dilakukan pada operasi mata,
yaitu anestesi general dan anestesi regional. Anestesi regional lebih dipilih
dibandingkan anestesi general. Namun untuk pasien yang tidak kooperatif dan
prosedur operasi yang lama, anestesi general menjadi pilihan. Pada penggunaan
anestesi general perlu diperhatikan efek obat pada tekanan intraokular, refleks
okulokardiak, maupun efek sistemik dari obat tersebut. Pada kasus dengan
diagnosis RRD dilakukan anestesi general menggunakan obat-obatan yang
terbukti tidak meningkatkan tekanan intraocular dan tidak menimbulkan reflex
okulokardiak.
DAFTAR PUSTAKA

Allison, C.E., Lange, J.J.D., & Koole, F.D. 2000. A Comparison of the Incidence of the
Okulokardiak and Oculorespiratory Reflekses During Sevoflurane or
Halothane Anesthesia for Strabismus Surgery in Children.
Anesthesia&Analgesia, 90: 306-10.
Basta, S.J. 2008. Anesthesia for Ophthalmic Surgery. Edited by Longnecker DE,
Brown DL, Newman MF, Zapol WM. The McGraw-Hill Companies, 65: 1558-
81.
Feldman, M.A., & Pate, A. 2010. Anesthesia for Eye, Ear, Nose, and Throat Surgery in
Miller’s Anesthesia, Seventh Edition. Churcill Livingstone Inc., 75: 2378-88.
Feltgen, N., & Walter, P. 2014. Rhegmatogenous retinal detachment-an
ophthalmologic emergency. Deutsches Arzteblatt international, 111(1-2), 12–
22.
Fraser, S., & Steel, D. 2010. Retinal detachment. BMJ clinical evidence, 2010, 0710.
Folino T.B dan Parks L. J. 2018. Propofol. NYIT College of Osteopathic Medicine.
27(1). Pp. 21 – 30.
Gilani, S.M., Jamil, M., Akbar, F., & Jehangir, R. 2005. Anticholinergic Premedication
for Prevention of Okulokardiak Refleks During Squint Surgery. J Ayub Med
Coll Abbottabad, 17(4).
Goerlich T.M., Foja C., Olthoff D., 2000. Effects of sevoflurane versus propofol on
okulokardiak refleks--a comparative study in 180 children. Klinik und
Poliklinik für Anästhesiologie und Intensivtherapie der Universität Leipzig.
25(1). Pp. 17 – 21.
Jong T. P., Hyun K. L., Kyu Y. J., and Dea J. U. 2013. The effects of desflurane and
sevoflurane on the intraokular pressure associated with endotracheal
intubation in pediatric ophthalmic surgery. The Korean Society of
Anesthesiologist. 64(2). Pp. 117 – 121.
Lavery, G. G., McGalliard J.N., Mirakhur, R.K., & Sheperd, W.F. 2006. The effects of
atracurium on intraokular pressure during steady state anaesthesia and rapid
sequence induction : a comparison with succinylcholine. Can Anaesth Soc J, 33
(4): 437-42.
Hert, S. D., & Moerman A., 2015. Sevoflurane. F1000 Research. 4. Pp. 626.
Lentschener, C., Ghimouz, A., & Bonnichan, P. 2002. Acute Postoperative Glaukoma
After Nonocular Surgery Remains a Diagnostic Challenge.
Anesthesia&Analgesia, 94: 1034-5.
Lévêque, M., Rokotoseheno, J.,C., Mimouni, F., Rouffy P., & Egreteau, J.,P., 2007.
Effect of Propofol on Intraokular Pressure During the Induction of Anesthesia.
6(4). Pp. 306 – 8.
Madan, R., Bhatia, A., & Chakithandy, S. 2005. Prophylactic Dexamethason for
Postoperative Nausea and Vomiting in Pediatric Strabismus Surgery: A Dose
Ranging and Safety Evaluation Study. Anesthesia&Analgesia, 100: 1622-6.
McGoldrick, K.E. & Gayer, S.I. 2006. Anesthesia and the Eye. In Clinical Anesthesia.
Fifth Edition. Edited by Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Lippincott
Williams & Wilkins, 33: 975-97.
Moisseiev, E., Loewenstein, A., Moshiri, A., & Yiu, G. 2017. The Management of
Retinal Detachment: Techniques and Perspectives. Journal of Ophthalmology,
2017, 5807653.
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., & Murray, M.J. 2013. Anesthesia for Opthalmic Surgery.
In : Clinical Anesthesiology, Fifth Edition. Lange Medical Books/McGraw-Hill,
p. 1023-85.
Mostafa, S.M., Lockhart, A., Kumar, D., & Bayoumi, M. 2003. Comparison of effects of
fentanyl and alfentanil on intra-ocular pressure : a double blinded trial.
Anesthesia, 41 : 493-8.
Oberacher-Velten, I., Praser, C., Rochon, J., Itter, K., Helbig, H., & Lorenz, B. 2011.
The effects of midazolam on intraokular pressure in children during
examination under sedation. Br J Opthalmol, 95: 1102-5.
O’Donoghue E., Batterbury M., Lavy T., 2004. Effect on intraokular pressure of local
anaesthesia in eyes undergoing intraokular surgery. British Journal of
Opthalmology. 78. Pp. 605 – 607.
Salahuddin, A., 2010. Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia
for Ophthalmic Evisceration Surgery. In Anastesia & Critical Care, 28 (2), 71-
9.
Tighe, R., Burgess, P. I., & Msukwa, G. 2012. Teaching corner: Regional anaesthesia
for ophthalmic surgery. Malawi medical journal : the journal of Medical
Association of Malawi, 24(4), 89–94.
Welters, I.,D., Menges, T., & Graf, M. 2000. Reduction of Postoperative Nausea and
Vomiting by Dimenhydrinate Suppositories after Strabismus Surgery in
Children, Anesthesia&Analgesia, 90: 311-4.
Wu, T.H. & Acquadro, M.A. 2007. Anesthesia for Head and Neck Surgery in Clinical
Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. Seventh Edition.
Lippincott Williams & Wilkins, 25: 464-69.

Anda mungkin juga menyukai