DI SUSUN OLEH :
MUHAMMAD NUR ANAS
PEMBIMBING :
dr. Aditya P. Kartinofan, Sp.An
MODERATOR :
dr. Aunun Rofiq, Sp.An
DI SUSUN OLEH :
MUHAMMAD NUR ANAS
PENDAHULUAN
Tabel 2.1. Efek Obat – Obat Anestesi pada Tekanan Intraokular (Morgan, et al,
2013).
2.6.2 Induksi
Pemilihan tehnik induksi untuk operasi mata biasanya tergantung lebih ke
arah kondisi medis pasien daripada penyakit matanya atau tipe pembedahannya.
Pengecualian pada pasien ruptur bole mata yang kuncinya adalah menjaga TIO
dengan induksi yang smooth. Batuk selama intubasi harus dihindari dengan
anestesi yang dalam dan paralisis yang cukup. Respon TIO terhadap laringoskopi
dan intubasi endotrakeal dapat dihindari dengan pemberian lidokain i.v. 1,5 mg/kg
atau fentanyl 3-5 g/kg. Pelumpuh otot non depolarisasi bisa digunakan untuk
menggantikan suksinilkolin (Morgan, et al, 2013; Wu, 2007; Feldman, 2010).
2.8.2 Epidemiologi
Angka kejadian ablasio retina adalah 1 dari 15.000 orang. Ablasio retina
paling sering dikaitkan dengan miopia, afakia, pseudofakia, dan trauma. Sekitar
40-50% dari semua pasien dengan ablasio memiliki miopia tinggi (>6 dioptri), 30-
35% pernah menjalani operasi pengangkatan katarak, dan 10-20% pernah
mengalami trauma okuli (Feltgen & Walter, 2014).
2.8.3 Diagnosis
Ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
oftalmologi dan pemeriksaan penunjang. Gejala umum pada ablasio retina yang
sering dikeluhkan penderita adalah (Fraser & Steel 2010):
a. Floaters (terlihat benda melayang-layang) yang terjadi karena adanya
kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau
degenerasi vitreus.
b. Fotopsi (kilatan cahaya), tanpa adanya sumber cahaya di sekitarnya, yang
umumnya terjadi sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya atau
dalam keadaan gelap.
c. Penurunan tajam penglihatan, penderita mengeluh penglihatannya sebagian
seperti tertutup tirai yang semakin lama semakian luas. Pada keadaan yang
telah lanjut, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan yang berat.
Pada ablasio regmatogenosa, pada tahap awal masih relatif terlokalisir,
tetapi jika hal tersebut tidak diperhatikan oleh penderita maka akan berkembang
menjadi lebih berat jika berlangsung sedikit demi sedikit menuju ke arah makula.
Keadaan ini juga tidak menimbulkan rasa sakit. Kehilangan penglihatan dapat
tiba-tiba terjadi ketika kerusakannya sudah parah. Pasien biasanya mengeluhkan
adanya awan gelap atau tirai di depan mata (Fraser & Steel 2010).
Selain itu perlu dianamnesa adanya faktor predisposisi yang menyebabkan
terjadinya ablasio retina seperti adanya riwayat trauma, riwayat pembedahan
sebelumnya seperti ekstraksi katarak, pengangkatan corpus alienum intraokuler,
riwayat penyakit mata sebelumnya (uveitis, perdarahan vitreus, ambliopia,
glaukoma, dan retinopati diabetik). Riwayat keluarga dengan sakit mata yang
sama serta riwayat penyakit yang berhubungan dengan ablasio retina (diabetes
mellitus, tumor, eklamsia, dan prematuritas) (Fraser & Steel 2010).
Adapun tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pemeriksaan oftalmologi
antara lain (Feltgen & Walter, 2014):
1. Pemeriksaan visus. Dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat
terlibatnya makula lutea atau kekeruhan media refrakta atau badan kaca yang
menghambat sinar masuk. Tajam penglihatan akan sangat terganggu bila
makula lutea ikut terangkat.
2. Tekanan intraokuler biasanya sedikit lebih tinggi, normal, atau rendah.
3. Pemeriksaan funduskopi. Merupakan salah satu cara terbaik untuk
mendiagnosa ablasio retina dengan menggunakan oftalmoskop inderek
binokuler. Pada pemeriksaan ini retina yang mengalami ablasio tampak
sebagai membran abu-abu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler
koroid. Jika terdapat akumulasi cairan pada ruang subretina, didapatkan
pergerakan undulasi retina ketika mata bergerak. Pembuluh darah retina yang
terlepas dari dasarnya berwarna gelap, berkelok-kelok dan membengkok di
tepi ablasio. Pada retina yang terjadi ablasio telihat lipatan-lipatan halus. Satu
robekan pada retina terlihat agak merah muda karena terdapat pembuluh
koroid dibawahnya.
4. Electroretinography (ERG) adalah dibawah normal atau tidak ada.
5. Ultrasonography mengkonfirmasikan diagnosis.
2.8.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan. Pada
pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara (Moisseiev, et al, 2017) :
a. Scleral buckle
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa
terutama tanpa disertai komplikasi lainnya. Tujuan skleral buckling adalah untuk
melepaskan tarikan vitreus pada robekan retina, mengubah arus cairan intraokuler,
dan melekatkan kembali retina ke epitel pigmen retina. Prosedur meliputi
lokalisasi posisi robekan retina, menangani robekan dengan cryoprobe, dan
selanjutnya dengan skleral buckle (sabuk). Pertama-tama dilakukan cryoprobe
atau laser untuk memperkuat perlengketan antara retina sekitar dan epitel pigmen
retina. Sabuk dijahit mengelilingi sklera dengan jahitan tipe matras pada sklera,
sehingga terjadi tekanan pada robekan retina sehingga terjadi penutupan pada
robekan tersebut. Penutupan retina ini akan menyebabkan cairan subretinal
menghilang secara spontan dalam waktu 1-2 hari.
b. Retinopeksi pneumatik
Retinopati pneumatik merupakan metode yang sering digunakan pada
ablasio retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada bagian
superior retina. Tujuan dari retinopeksi pneumatik adalah untuk menutup
kerusakan pada retina dengan gelembung gas intraokular dalam jangka waktu
yang cukup lama hingga cairan subretina direabsorbsi. Teknik pelaksanaan
prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung gas (SF6 atau C3F8) ke
dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina dan
mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui robekan. Jika robekan dapat ditutupi
oleh gelembung gas, cairan subretinal biasanya akan hilang dalam 1-2 hari.
c. Vitrektomi
Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio
regmatogenosa yang disertai traksi vitreus atau perdarahan vitreus. Cara
pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil pada dinding bola mata
kemudian memasukkan instrumen pada ruang vitreous melalui pars plana. Setelah
itu dilakukan vitrektomi dengan vitreous cutter untuk menghilangkan berkas
badan kaca, membran, dan perlengketan- perlengketan. Teknik dan instrumen
yang digunakan tergantung tipe dan penyebab ablasio.
2.8.5 Prognosis
Penatalaksanaan bedah berhasil pada 80% pasien ablasio retina. Hasil
akhir perbaikan pada penglihatan tergantung dari beberapa faktor, misalnya
keterlibatan makula. Dalam keadaan dimana ablasio telah melibatkan makula,
ketajaman penglihatan jarang kembali normal. Lubang, robekan, atau tarikan baru
mungkin terjadi dan menyebabkan ablasio retina yang baru. Suatu penelitian telah
melaporkan bahkan setelah pemberian terapi preventif pada robekan retina, 5% -
9% pasien dapat mengalami robekan baru pada retina (Fraser & Steel 2010).
BAB V
KESIMPULA
N
Terdapat dua teknik anestesi yang umum dilakukan pada operasi mata,
yaitu anestesi general dan anestesi regional. Anestesi regional lebih dipilih
dibandingkan anestesi general. Namun untuk pasien yang tidak kooperatif dan
prosedur operasi yang lama, anestesi general menjadi pilihan. Pada penggunaan
anestesi general perlu diperhatikan efek obat pada tekanan intraokular, refleks
okulokardiak, maupun efek sistemik dari obat tersebut. Pada kasus dengan
diagnosis RRD dilakukan anestesi general menggunakan obat-obatan yang
terbukti tidak meningkatkan tekanan intraocular dan tidak menimbulkan reflex
okulokardiak.
DAFTAR PUSTAKA
Allison, C.E., Lange, J.J.D., & Koole, F.D. 2000. A Comparison of the Incidence of the
Okulokardiak and Oculorespiratory Reflekses During Sevoflurane or
Halothane Anesthesia for Strabismus Surgery in Children.
Anesthesia&Analgesia, 90: 306-10.
Basta, S.J. 2008. Anesthesia for Ophthalmic Surgery. Edited by Longnecker DE,
Brown DL, Newman MF, Zapol WM. The McGraw-Hill Companies, 65: 1558-
81.
Feldman, M.A., & Pate, A. 2010. Anesthesia for Eye, Ear, Nose, and Throat Surgery in
Miller’s Anesthesia, Seventh Edition. Churcill Livingstone Inc., 75: 2378-88.
Feltgen, N., & Walter, P. 2014. Rhegmatogenous retinal detachment-an
ophthalmologic emergency. Deutsches Arzteblatt international, 111(1-2), 12–
22.
Fraser, S., & Steel, D. 2010. Retinal detachment. BMJ clinical evidence, 2010, 0710.
Folino T.B dan Parks L. J. 2018. Propofol. NYIT College of Osteopathic Medicine.
27(1). Pp. 21 – 30.
Gilani, S.M., Jamil, M., Akbar, F., & Jehangir, R. 2005. Anticholinergic Premedication
for Prevention of Okulokardiak Refleks During Squint Surgery. J Ayub Med
Coll Abbottabad, 17(4).
Goerlich T.M., Foja C., Olthoff D., 2000. Effects of sevoflurane versus propofol on
okulokardiak refleks--a comparative study in 180 children. Klinik und
Poliklinik für Anästhesiologie und Intensivtherapie der Universität Leipzig.
25(1). Pp. 17 – 21.
Jong T. P., Hyun K. L., Kyu Y. J., and Dea J. U. 2013. The effects of desflurane and
sevoflurane on the intraokular pressure associated with endotracheal
intubation in pediatric ophthalmic surgery. The Korean Society of
Anesthesiologist. 64(2). Pp. 117 – 121.
Lavery, G. G., McGalliard J.N., Mirakhur, R.K., & Sheperd, W.F. 2006. The effects of
atracurium on intraokular pressure during steady state anaesthesia and rapid
sequence induction : a comparison with succinylcholine. Can Anaesth Soc J, 33
(4): 437-42.
Hert, S. D., & Moerman A., 2015. Sevoflurane. F1000 Research. 4. Pp. 626.
Lentschener, C., Ghimouz, A., & Bonnichan, P. 2002. Acute Postoperative Glaukoma
After Nonocular Surgery Remains a Diagnostic Challenge.
Anesthesia&Analgesia, 94: 1034-5.
Lévêque, M., Rokotoseheno, J.,C., Mimouni, F., Rouffy P., & Egreteau, J.,P., 2007.
Effect of Propofol on Intraokular Pressure During the Induction of Anesthesia.
6(4). Pp. 306 – 8.
Madan, R., Bhatia, A., & Chakithandy, S. 2005. Prophylactic Dexamethason for
Postoperative Nausea and Vomiting in Pediatric Strabismus Surgery: A Dose
Ranging and Safety Evaluation Study. Anesthesia&Analgesia, 100: 1622-6.
McGoldrick, K.E. & Gayer, S.I. 2006. Anesthesia and the Eye. In Clinical Anesthesia.
Fifth Edition. Edited by Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Lippincott
Williams & Wilkins, 33: 975-97.
Moisseiev, E., Loewenstein, A., Moshiri, A., & Yiu, G. 2017. The Management of
Retinal Detachment: Techniques and Perspectives. Journal of Ophthalmology,
2017, 5807653.
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., & Murray, M.J. 2013. Anesthesia for Opthalmic Surgery.
In : Clinical Anesthesiology, Fifth Edition. Lange Medical Books/McGraw-Hill,
p. 1023-85.
Mostafa, S.M., Lockhart, A., Kumar, D., & Bayoumi, M. 2003. Comparison of effects of
fentanyl and alfentanil on intra-ocular pressure : a double blinded trial.
Anesthesia, 41 : 493-8.
Oberacher-Velten, I., Praser, C., Rochon, J., Itter, K., Helbig, H., & Lorenz, B. 2011.
The effects of midazolam on intraokular pressure in children during
examination under sedation. Br J Opthalmol, 95: 1102-5.
O’Donoghue E., Batterbury M., Lavy T., 2004. Effect on intraokular pressure of local
anaesthesia in eyes undergoing intraokular surgery. British Journal of
Opthalmology. 78. Pp. 605 – 607.
Salahuddin, A., 2010. Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia
for Ophthalmic Evisceration Surgery. In Anastesia & Critical Care, 28 (2), 71-
9.
Tighe, R., Burgess, P. I., & Msukwa, G. 2012. Teaching corner: Regional anaesthesia
for ophthalmic surgery. Malawi medical journal : the journal of Medical
Association of Malawi, 24(4), 89–94.
Welters, I.,D., Menges, T., & Graf, M. 2000. Reduction of Postoperative Nausea and
Vomiting by Dimenhydrinate Suppositories after Strabismus Surgery in
Children, Anesthesia&Analgesia, 90: 311-4.
Wu, T.H. & Acquadro, M.A. 2007. Anesthesia for Head and Neck Surgery in Clinical
Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. Seventh Edition.
Lippincott Williams & Wilkins, 25: 464-69.